Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM

ANALISIS FARMASI (KLT-SPEKTROFOTODENSITOMETRI


IDENTIFIKASI KANDUNGAN BKO (PARASETAMOL) DALAM
SEDIAAN JAMU DENGAN METODE KLT-SPEKTRODENSITOMETRI)

DISUSUN OLEH :
GELOMBANG IV
KELOMPOK 2

Novela Paulina Trihulda A 19021068

Nur Wahyuni 19021069


Nuzul Qori Ramadhani F 19021070
Oka Dharma Putra 19021071
Putu Arlin Widya Apriliani 19021072

Nama Dosen : Ni Putu Linda Laksmiani, S.Farm.,M.Si.,Apt

PRODI FARMASI KLINIS


UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
2021
PERCOBAAN IV
KLT-SPEKTROFOTODENSITOMETRI
IDENTIFIKASI KANDUNGAN BKO (PARASETAMOL) DALAM SEDIAAN JAMU
DENGAN METODE KLT-SPEKTRODENSITOMETRI

I. TUJUAN
1. Mengetahui prinsip dan cara pemisahan sampel dengan menggunakan metode KLT.
2. Mampu mengidentifikasi BKO pada sediaan jamu
II. DASAR TEORI
Jamu adalah obat tradisional berbahan alami warisan budaya yang telah diwariskan
secara turun-temurun dari generasi ke generasi untuk kesehatan. Pengertian jamu dalam
Permenkes No. 003/Menkes/Per/I/2010 adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan serian (generik), atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Menkes,
2010).
Dalam pemasarannya jamu disajikan dalam bermacam-macam jenis, diantaranya jamu
gendong, jamu godokan, serbuk seduhan, pil dan cairan. Satu jenis jamu disusun dari berbagai
tanaman obat yang jumlahnya antara 5 sampai 10 macam, bahkan bisa lebih. Jamu tidak
memerlukan pembuktian ilmiah sampai uji klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris, jamu
juga harus memenuhi persyaratan keamanan dan standar mutu (Suharmiati et al., 2006).
Jamu adalah salah satu bentuk obat tradisional yang tidak diperbolehkan mengandung
bahan kimia obat (BKO) (Wirastuti et al, 2013). Beberapa BKO yang diduga ditambahkan
pada jamu dengan klaim khasiat stamina pria adalah Sildenafil Sitrat, Tadalafil, Vardenafil
HCl, Yohimbin HCl, dan Kofein (BPOM RI, 2006).
Kromatografi merupakan suatu proses pemisahan yang mana analit-analit dalam sampel
terdistribusi antara dua fase yaitu fase diam dan gerak. Fase diam dapat berupa bahan padat
dalam bentuk molekul kecil atau dalam bentuk cairan yang dilapiskan pada pendukung padat
atau dilapiskan pada dinding kolom. Sedangkan fase gerak dapat berupa gas atau cairan. Jika
gas digunakan sebagai fase gerak maka prosesnya dikenal sebagai kromatografi gas. Dalam
kromatografi cair dan juga kromatografi lapis tipis, fase gerak yang digunakan berbentuk cair
(Rohman, 2009).
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah tipe kromatografi cair yang fase diamnya berupa
lapisan tipis sorben partikel yang seragam dalam bentuk pelat gelas, aluminium foil, atau
plastik. Dalam prosedur dasar KLT, larutan sampel diaplikasikan ke dalam pelat, dan pelat
dikembangkan dengan memasukkannya ke dalam bejana tertutup dan bagian dasar dari bejana
diisi dengan fase geraknya (eluen) yang biasanya teridir dari campuran dari beberapa pelarut.
Setelah pengembangan, pelat di angkat dari bejana dan ditandai untuk dihitung nilai Rf-nya
(nisbah antara jarak pita yang terpisah dan jarak eluennya) (Sherma & Fried 2005)
Menurut Wulandari (2011), pemilihan eluen merupakan faktor yang paling berpengaruh
pada sistem KLT. Eluen dapat terdiri dari satu pelarut atau campuran dua sampai enam
pelarut. Campuran pelarut harus saling sampur dan tidak ada tanda-tanda kekeruhan. Fungsi
eluen dalam KLT :
1. Untuk melarutkan campuran zat,
2. Untuk mengangkat atau membawa komponen yang akan dipisahkan melewati sorben
fase diam sehingga noda memiliki Rf dalam rentang yang dipersyaratkan
3. Untuk memberikan selektivitas yang memadai untuk campuran senyawa yang akan
dipisahkan. Eluen juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Memiliki kemurnian yang cukup,
b. Stabil,
c. Memiliki viskositas rendah,
d. Memiliki partisi isotermal yang linier,
e. Tekanan uap yang tidak terlalu rendah atau tidak terlalu tinggi,
f. Toksisitas serendah mungkin.

Parameter dari kromatografi lapis tipis adalah faktor retensi (Rf) merupakan
perbandingan jarak yang ditempuh solut dengan jarak yang ditempuh fase gerak.Adapun
rumusnya adalah sebagai berikut :

jarak yang ditempuh solut (cm)


Rf =
jarak yang ditempuh fase gerak (cm)

Nilai Rf biasanya lebih kecil dari 1, sedangkan jika dikalikan dengan 100 akan bernilai 1-
100, sehingga parameter ini dapat digunakan untuk perhitungan kualitatif dalam pengujian
sampel pada kromatografi lapis tipis (Sumarno,2001). Pada Rf kurang 0,2 belum terjadi
kesetimbangan antara komponen senyawa dengan fase diam dan fase gerak sehingga bentuk
noda biasanya kurang simetris. Pada bilangan Rf diatas 0,8 noda analit akan diganggu oleh
absorbansi pengotor lempeng fase diam yang teramati pada visualisasi dengan lampu UV
(Wulandari,2011).

Densitometri merupakan metode analisis instrumental penentuan analit secara kualitatif


maupun kuantitatif berdasarkan interaksi radiasi elektromagnetik (REM) dengan noda analit
pada fase diam KLT.Metode ini biasa disebut metode KLT Densitometri. Penentuan kualitatif
analit KLT-Densitometri dilakukan dengan cara membandingkan nilai Rf analit dan baku.
Noda analit yang memiliki Rf sama dengan baku yang diidentifikasi kemurnian analit dengan
cara membandingkan spektrum densitometri analit dan baku. Penentuan kuantitatif analit
dilakukan dengan cara membandingkan luas area noda analit dengan luas area noda baku pada
fase diam yang diketahui konsentrasinya atau menghitung densitas noda analit dan
membandingkannya dengan densitas noda baku. Interaksi radiasi elektromagnetik (REM)
merupakan intensitas cahaya yang mengenai molekul senyawa dalam noda.Interaksi radiasi
elektromagnetik dengan noda pada fase diam KLT menentukan intensitas cahaya yang
diabsorpsi, ditransmisi, dipantulkan (refleksi) oleh noda analit dari intensitas REM semula.
Apabila pada fase diam tidak ada noda, maka cahaya yang jatuh akan dipantulkan kembali.
Tetapi jika cahaya tersebut dijatuhkan pada pelat yang terdapat noda dari suatu senyawa,
maka sebagian cahaya akan diserap dan intensitas yang dipantulkan akan berbeda dengan
intensitas cahaya yang datang (Wulandari, 2011).

Metode KLT densitometri ini memiliki beberapa kelebihan yang memiliki spesifitas yang
tinggi, dapat dipercaya, pengerjaanya relatif mudah dan cepat, biaya pengoprasian relatif
murah, polaritas pelarut dan pelarut campuran dapat diubah dalam waktu yang singkat dan
dalam jumlah pelarut yang digunakan sedikit (Wulandari,2013). Jika dibandingkan dengan
metode KCKT, metode KLT memiliki kelebihan yaitu pelaksanaan yang lebih mudah dan
lebih murah, serta peralatan yang digunakan lebih sederhana. Selain itu, metode KLT
memberikan fleksibilitas yang besar dalam hal fase gerak, mempunyai berbagai teknik dalam
berbagai pemisahan, proses kromatografi dapat diikuti dengan mudah dan semua komponen
dalam sampel dapat dideteksi karena metode ini memungkinkan terjadinya pemisahan sampel
secara serentak (Wulandari,2013).
III.ALAT BAHAN

3.1 Alat
a. Neraca analitik
b. Sendok tanduk
c. Kertas Perkamen
d. Kertas saring
e. Botol vial
f. Labu ukur 10 ml
g. Bulb filler
h. Labu erlenmeyer
i. Beaker glass
j. Oven
k. Pipet ukur
l. Chamber
m. Spektrofotodensitometer
n. Alat sentrifugasi
o. Plat KLT silika gel 90 F254
p. Pipet tetes
q. Batang pengaduk
r. Mortir dan stamper
s. Pipet 2 μL
t. Sudip

3.2. Bahan

a. Larutan stok parasetamol 1mg/mL

b. Larutan Seri Standar Parasetamol konsentrasi 100 µg/mL.

c. Metanol

d. Serbuk Curcuma domesticate rhizoma 200 mg, serbuk Curcumae rhizoma 200
mg, dan serbuk Zingiber officinale rhizoma 100 mg.

IV. PROSEDUR KERJA

4.1. Perhitungan Pembuatan Larutan


M 1 × V 1=M 2 ×V 2
mg mg
1 ×V 1 =0.1 ×5 mL
mL mL
0,5 mg
V 1=
1 mg/mL
V 1=0,5 mL

4.2. Prosedur Kerja

1. Pembuatan Larutan Stok Parasetamol 1 mg/mL


Ditimbang 10 mg serbuk parasetamol kemudian dimasukkan
ke beaker glass, ditambahkan metanol dan diaduk hingga larut.
Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, ditambahkan metanol
hingga tanda batas dan digojog hingga homogen. Dimasukkan ke
dalam botol vial, ditutup dan diberikan label.
2. Pembuatan Larutan Seri Standar Parasetamol konsentrasi 100
µg/mL.
Dipipet larutan standar parasetamol sebanyak 0,5 mL
larutan baku parasetamol 1 mg/mL dengan pipet ukur dan
dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL. Ditambahkan metanol
hingga tanda batas lalu digojog hingga homogen dan dipindahkan
ke dalam botol vial lalu diberikan label.
3. Pembuatan Larutan Sampel
Ditimbang serbuk Curcuma domesticate rhizoma 200 mg,
serbuk Curcumae rhizoma 200 mg, dan serbuk Zingiber officinale
rhizoma 100 mg. Masing-masing serbuk ditimbang sebanyak tiga
kali, dibungkus dengan kertas perkamen, dan diberi label I, II, dan
III. Digerus tablet parasetamol. Kemudian ditimbang serbuk tablet
parasetamol 200 mg, sebanyak tiga kali dan diberi label I, II, dan
III. Serbuk yang telah ditimbang dan diberi label dicampur dalam
mortir dan digerus dengan stamper hingga homogen. Tiga
campuran serbuk ditimbang kembali dan masing-masing dilarutkan
dengan 10 mL metanol dalam beaker glass. Sampel dimasukkan ke
dalam tabung sentrifugasi selama 10 menit untuk masing-masing
sampel dengan kecepatan 2000 rpm untuk satu sampel, lalu
disaring menggunakan kertas saring. Tiga larutan sampel siap
ditotolkan pada plat KLT.
4. Pembuatan Fase Gerak.
Dipipet toluena sebanyak 6,5 mL, etil asetat dipipet
sebanyak 3,5 mL, asam asetat glasial dipipet sebanyak 0,02 mL.
Ketiga larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml.
Digojog homogen, dimasukkan ke dalam botol gelap dan ditutup
dengan aluminium foil.
5. Identifkasi Parasetamol dengan Metode KLT
Spektrofotodensitometri.
Digunakan plat KLT Aluminium Silika Gel 90 F254 9 cm x10
cm untuk menetapkan kadar parasetamol dan natrium diklofenak.
Dilakukan pencucian plat KLT dengan menggunakan pelarut
metanol dan diaktivasi pada suhu ±1080C selama 10 menit.
Dijenuhkan chamber menggunakan fase gerak toluena : etil asetat :
asam asetat glasial (6,5 : 3,5 : 0,02 v/v/v) sebanyak 10 mL.
Ditotolkan larutan baku sebanyak 2 µL kemudian larutan sampel
plat tersebut dielusi dalam Chamber yang telah dijenuhkan dengan
fase gerak. Plat dikeringkan dengan cara diangin-anginkan selama
10 menit lalu dianalisis dengan menggunakan
spektrofotodensitometer. Plat dimasukkan kedalam CAMAG TLC-
SCANNER 3, kemudian discan dengan panjang gelombang 245 nm
dan 273 nm. Dilakukan identifikasi terhadap puncak senyawa
parasetamol dan natrium diklofenak untuk mengetahui nilai Rf dan
di identifikasi parasetamol dari nilai Rf dan spektrumnya.

V. SKEMA KERJA
1. Pembuatan Larutan Stok Parasetamol 1 mg/mL

Ditimbang 10 mg serbuk parasetamol kemudian dimasukkan ke beaker


glass, ditambahkan metanol dan diaduk hingga larut

Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, ditambahkan metanol hingga tanda


batas dan digojog hingga homogen

Dimasukkan ke dalam botol vial, ditutup dan diberikan label

2. Pembuatan Larutan Seri Standar Parasetamol konsentrasi 100 µg/mL


Dipipet larutan standar parasetamol sebanyak 0,5 mL larutan baku
parasetamol 1 mg/mL dengan pipet ukur dan dimasukkan ke dalam labu
ukur 5 mL.

Ditambahkan metanol hingga tanda batas lalu digojog hingga homogen dan
dipindahkan ke dalam botol vial lalu diberikan label.

3. Pembuatan Larutan Sampel

Ditimbang serbuk Curcuma domesticate rhizoma 200 mg, serbuk


Curcumae rhizoma 200 mg, dan serbuk Zingiber officinale rhizoma 100
mg. Masing-masing serbuk ditimbang sebanyak tiga kali, dibungkus
dengan kertas perkamen, dan diberi label I, II, dan III.
Digerus tablet parasetamol. Kemudian ditimbang serbuk tablet parasetamol
200 mg, sebanyak tiga kali dan diberi label I, II, dan III.

Serbuk yang telah ditimbang dan diberi label dicampur dalam mortir dan
digerus dengan stamper hingga homogen.

Tiga campuran serbuk ditimbang kembali dan masing-masing dilarutkan


dengan 10 mL metanol dalam beaker glass.

Sampel dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi selama 10 menit untuk


masing-masing sampel dengan kecepatan 2000 rpm untuk satu sampel, lalu
disaring menggunakan kertas saring

Tiga larutan sampel siap ditotolkan pada plat KLT


4. Pembuatan Fase Gerak

Dipipet toluena sebanyak 6,5 mL, etil asetat dipipet sebanyak 3,5 mL,
asam asetat glasial dipipet sebanyak 0,02 mL. Ketiga larutan tersebut
dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml.

Digojog homogen, dimasukkan ke dalam botol gelap dan ditutup dengan


aluminium foil.

5. Identifkasi Parasetamol dengan Metode KLT Spektrofotodensitometri

Digunakan plat KLT Aluminium Silika Gel 90 F254 9 cm x10 cm untuk


menetapkan kadar parasetamol dan natrium diklofenak

Dilakukan pencucian plat KLT dengan menggunakan pelarut metanol dan


diaktivasi pada suhu ±1080C selama 10 menit

Dijenuhkan chamber menggunakan fase gerak toluena : etil asetat : asam


asetat glasial (6,5 : 3,5 : 0,02 v/v/v) sebanyak 10 mL

Ditotolkan larutan baku sebanyak 2 µL kemudian larutan sampel plat


tersebut dielusi dalam Chamber yang telah dijenuhkan dengan fase gerak
Plat dikeringkan dengan cara diangin-anginkan selama 10 menit lalu
dianalisis dengan menggunakan spektrofotodensitometer

Plat dimasukkan kedalam CAMAG TLC- SCANNER 3, kemudian discan


dengan panjang gelombang 245 nm dan 273 nm

Dilakukan identifikasi terhadap puncak senyawa parasetamol dan natrium


diklofenak untuk mengetahui nilai Rf dan di identifikasi parasetamol dari
nilai Rf dan spektrumnya
VI. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN

10 cm

8 cm

6cm
C

4 cm

Jamu baku parasetamol

Berikut adalah hasil dari identifikasi BKO pada Jamu Pegal Linu XXXX dengan
sistem kromatografi yang sama dengan pengujian praktikum materi 4 sebelumnya.

- Didapatkan kromatogram seperti diatas


- Serta dilakukan juga identifikasi spektrum dimana didapatkan data sebagai berikut:

No Spot Kemiripan dengan spektrum baku parasetamol


1 A 95%
2 B 99%
3 C 50%
Maka tentukanlah:

1. Rf dan HRf dari masing-masing spot


2. Tentukan apakah ada BKO parasetamol pada sediaan jamu? Jelaskan alasan kalian!

Jawab
1. Hasil perhitungan Rf dan HRf
a. Spot A
jarak yang ditempuh solut (cm)
Rf =
jarak yang ditempuh fase gerak (cm)
8 cm
Rf =
10 cm
Rf =0.8
HRf =0.8 ×100
HRf =80 %
b. Spot B
jarak yang ditempuh solut (cm)
Rf =
jarak yang ditempuh fase gerak (cm)
6 cm
Rf =
10 cm
Rf =0.6
HRf =0.6 ×100
HRf =60 %

c. Spot C
jarak yang ditempuh solut (cm)
Rf =
jarak yang ditempuh fase gerak (cm)
4 cm
Rf =
10 cm
Rf =0.4
HRf =0.4 ×100
HRf =40 %
2. Ada, Pada hasil pemeriksaan KLT jamu membentuk tiga spot yakni spot A, B, dan C,
spot B memiliki Rf yang sama dengan baku paracetamol dan memiliki 99% kemiripan
dengan spektrum baku paracetamol sehingga dapat dipastikan sampel jamu mengandung
senyawa paracetamol
VII. PEMBAHASAN
Praktikum ini menganalisa kualitatif paracetamol pada jamu menggunakan metode
KLT-Densitometri. Pada praktikum ini fase gerak yang digunakan adalah, toluena, etil asetat
dan asam asetat, dan fase diam digunakan adalah silika yang bersifat polar. Pada krematografi
digunakan fase diam dan fase gerak, fase diam dan fase gerak memiliki polaritas yang
berbeda jika fase gerak bersifat polar dan fase diam bersifat non polar, dikenal dengan fase
terbalik (Anonim, 1995).
Digunakannya toluena, etil asetat dan asam asetat pada praktikum ini adalah
dikarenakan senyawa yang akan diindentifikasi yaitu paracetamol memiliki gugus non-polar,
gugus non polar pada paracetamol yakni gugus yang dilingkari merah dibawah ini.

Gugus non-polar ini akan berinteraksi dengan fase diam yang non-polar (Angeliana,
maria, 2010).
Penambahan sedikit asam asetat pada fase gerak berfungsi untuk mencegah tailing,
tailing atau ekor disebabkan oleh aftinitas mol zat pada bahan penyerap yang lebih besar
dibandingkandengan kemampuan fase bergerak untuk membawa zat- zat tersebut sehingga
banyakbagian dari zat tersebut yang akan tertinggal di fase tetap. Namun tailing dapat
diatasidengan cara melarutkan kembali zat- zat yang terserap kuat pada fase tetap dengan
asamatau dengan melakukan elusi secara bertahap dengan fase bergerak yang semakin
polar.Pemakaian fase gerak yang semakin polar akan berdampak pada perambatan fase yang
semakin cepat. Namun apabila fase tetap yang digunakan bersifat sangat polar justru akan
memperlambat perambatan zat (Sudarmadji, 2007 ).
Fase diam yang digunakan pada praktikum ini adalah Aluminium Silika Gel 90 F254 9
cm x10 cm yang bersifat polar sehingga analit yang bersifat non polar tidak berikatan dengan
fase diam.
Sebelum dilakukan pentotolan, pertama perlu dilakukan penjenuhan chamber,
penjenuhan chamber bertujuan untuk untuk menyamaratakan tekanan uap dari fase gerak
yang digunakan sehingga pemisahan dapat berjalan dengan baik (Kusmardiyani dan Nawawi,
1992). Pada praktikum kali ini penjenuhan chamber menggunakan fase gerak toluena : etil
asetat : asam asetat glasial (6,5 : 3,5 : 0,02 v/v/v) sebanyak 10 mL.
Pencucian plat dilakukan dengan menggunakan metanol den selanjutnya diaktivasi
dengan menggunakan oven pada suhu 110°C selama 30 menit. Aktivasi plat bertujuan untuk
menghilangkan pelarut sisa pencucian dan mengaktifkan gugus silanol dan siloksan dari plat
(Dewi, N. L. A., 2018)
Kemudian sampel ditotolkan pada plat KLT dengan menggunakan pipa kapiler pada
jarak 2 cm dari bagian bawah plat, jarak antara noda adalah 1,5 cm dibiarkan beberapa saat
sehingga mengering. Kemudian plat tersebut dielusi dalam chamber yang telah dijenuhkan
dan plat dikeringkan dengan cara diangin-anginkan selama 10 menit lalu dianalisis dengan
menggunakan spektrofotodensitometer.
Setelah dilakukannya KLT pada sampel jamu didapat tiga buah spot yakni spot A spot
B dan spot C, jarak spot A dari spot semula adalah 8 cm sehingga didapati Rf 0,8, jarak dari
spot B dari titik semula adalah 6 cm sehingga Rfnya adalah 0,6 dan spot C adalah 4 cm
sehingga Rfnya 0,4 dan pada baku parasetamol jarak titik awal dengan titik ahkir adalah 6 cm
sehingga Rfnya adalah 0,6.
Apabila angka Rf larutan uji sama atau mendekati Rf larutan baku pembanding (selisih
angka Rf larutan uji dengan larutan pembanding kurang dari sama dengan 0,05) dan warna
kedua bercak sama, maka dapat disimpulkan bahwa sampel mengandung BKO. Jika angka Rf
larutan uji tidak sama atau tidak mendekati angka Rf larutan pembanding (selisih angka Rf
larutan uji dengan larutan pembanding lebih dari 0,05) dan kedua warna bercak tidak sama
maka sampel tidak mengandung BKO (Annisa Primadiamanti,2018)
Dari kertiga spot tersebut didapati bahwa spot B memiliki Rf yang mendekati dengan Rf
baku parasetamol sehingga sampel jamu ini dicurigai mengandung kandungan parasetamol
sehingga dilakukan analisa densitometri menggunakan alat, didapati bahwa kemiripan
spektrum spot B dengan spektrum parasetamol adalah 99% sehingga sampel jamu yang
dipakai pada praktikum ini mengandung senyawA parasetamol.

VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
VIII.1 Praktikum ini menganalisa kualitatif paracetamol pada jamu menggunakan metode
KLT Densitometri.
VIII.2 Pada praktikum ini fase gerak yang digunakan adalah, toluena, etil asetat dan asam
asetat, dan fase diam digunakan adalah silika yang bersifat polar.
VIII.3 Dilakukan KLT pada sampel jamu didapat tiga buah spot yakni spot A spot B dan
spot C, jarak spot A dari spot semula adalah 8 cm sehingga didapati Rf 0,8, jarak dari
spot B dari titik semula adalah 6 cm sehingga Rfnya adalah 0,6 dan spot C adalah 4 cm
sehingga Rfnya 0,4 dan pada baku parasetamol jarak titik awal dengan titik ahkir adalah
6 cm sehingga Rfnya adalah 0,6.
VIII.4 Dari kertiga spot tersebut didapati bahwa spot B memiliki Rf yang mendekati dengan
Rf baku parasetamol sehingga sampel jamu ini dicurigai mengandung kandungan
parasetamol sehingga dilakukan analisa densitometri menggunakan alat, didapati bahwa
kemiripan spektrum spot B dengan spektrum parasetamol adalah 99% sehingga sampel
jamu yang dipakai pada praktikum ini mengandung senyawA parasetamol.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia ed. IV, Departemen Kesehatan Indonesia, Jakarta
Annisa Primadiamanti, 2018, Identifikasi Hidrokuinon Pada Krim Pemutih Racikan Yang
Beredar Di Pasar Tengah Bandar Lampung Secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT),
JURNAL ANALIS FARMASI Volume 3, No. 2 April 2018 Hal 94 - 101
Badan POM, 2006. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta: BPOM.
Ni Luh Arysinta Dewi, 2018, Pemisahan, Isolasi, dan Identifikasi Senyawa Saponin Dari Herba
Pegagan, Farmasi Udayana
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 003/Menkes/per/i/2010, Saintifikasi
Jamu Dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan, Menteri Kesehatan Republik
Indonesia.
Rohman, Abdul. 2009. Kromatografi Untuk Analisis Obat. Ed I, Graha Ilmu, Yogyakarta
Kusmardiyani, S. dan A. Nawawi. 1992. Kimia Bahan Alam. Jakarta: Universitas Bidang Ilmu
Hayati.
Sharma, S. K., Singh, L. S., dan Singh, S. 2013. Comparative Study between Penicillin and
Ampicillin. Sch. J. App. Med. Sci 1(4): 291–294.
Suharmiati dan Handayani, L., 2006, Cara Benar Meracik Obat Tradisional, 4-6, Agro Pustaka,
Jakarta.
Sumarno, 2001, Kromatografi Teori Dasar, 30-34, Bagian Kimia Farmasi. Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta
Maria Angelina, 2017, Penetapan Kadar Campuran Parasetamol dan Ibuprofen Dalam Tablet
Merek “X” Dengan KLT, Universitas Sanata Dharma
Wirastuti, Ade, 2013, Pemeriksaan Kandungan Bahan Kimia obat (BKO) Prednison Pada
Beberapa Sediaan Jamu Rematik, Jurnal Fitofarmaka Indonesia, Vol. 3 No.1
Wulandari, Lstyo. 2011. Kromatografi Lapis Tipis. Jember : PT Taman Kampus Presindo

Anda mungkin juga menyukai