Anda di halaman 1dari 36

Grand Case

EPIDURAL HEMATOM

Oleh :
Firstra Sabilli 1940312108

Preseptor :
dr. Hesty Lidya Ningsih, Sp.BS

BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas kehendak-Nya penulis
dapat menyelesaikan grand case dengan judul “Epidural Hematom”. Grand case ini dibuat
sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Bagian Ilmu Bedah periode 2 November – 28
November 2020.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Hesty Lidya
Ningsih, Sp.BS selaku preseptor yang telah memberikan masukan yang berguna dalam proses
penyusunan grand case ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan
yang juga turut membantu dalam upaya penyelesaian grand case ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi isi, susunan bahasa maupun
sistematika penulisan grand case ini. Untuk itu kritik dan saran pembaca sangat penulis
harapkan. Akhir kata penulis berharap kiranya grand case ini dapat menjadi masukan yang
berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain yang terkait dengan
masalah kesehatan khususnya mengenai Epidural Hematom.

Padang, November 2020

Penulis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas i


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Batasan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
1.4 Metode Penulisan 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Anatomi Kepala 3
2.2 Definisi 7
2.3 Epidemiologi 8
2.4 Etiologi 8
2.5 Patogenesis 8
2.6 Manifestasi Klinis 10
2.7 Prinsip Diagnosis 10
2.8 Tatalaksana 14
2.9 Prognosis 21
BAB 3 ILUSTRASI KASUS 22
BAB 4 DISKUSI 29
DAFTAR PUSTAKA 31

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas ii


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma kapitis atau cedera kepala merupakan trauma mekanik yang mengenai kepala
baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga menimbulkan gangguan fungsi neurologis
(gangguan fisik, kognitif, dan fungsi psikososial) yang bersifat temporer maupun permanen.
Insiden cedera kepala terbanyak adalah pada kelompok usia produktif (terutama pada usia 15-24
tahun) dan lansia >65 tahun. Selain itu, insiden cedera kepala lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan.1
Hematom epidural merupakan perdarahan yang terjadi diantara lapisan tualng tengkorak
dengan duramater.1 Sumber perdarahan biasanya berasal dari robeknya arteri meningea media.
Arteri meningea media masuk kedalam tengkorak melalui foramen spinosum dan berjalan
diantara duramater dengan permukaan dalam tulang temporal.2 Persentase hematoma epidural
yakni 2% dari semua cedera kepala dan juga persentasenya sekitar 15% dari semua trauma
kepala yang fatal. Laki-laki lebih sering mengalami hematom epidural dibandingkan perempuan.
Selain itu, kejadiannya lebih tinggi di kalangan remaja dan dewasa muda. Usia rata-rata pasien
yang mengalami hematom epidural adalah 20 hingga 30 tahun, dan jarang terjadi setelah usia 50
hingga 60 tahun.3
Gejala klinis hematom epidural berupa penurunan kesadaran singkat yang diikuti dengan
perbaikan kesadaran yang tidak selalu mencapai level awal dan kemudian diikuti lagi dengan
penurunan kesadaran kembali selama beberapa jam atau yang dikenal dengan istilah lucid
interval. Klinis tersebut dapat disertai dengan defisit neurologis berupa hemiparesis kontralateral,
dilatasi pupil ipsilateral, serta distress pernafasan. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
untuk menunjang diagnosis hematom epidural adalah pemeriksaan CT-Scan. Pada pemeriksaan
CT-Scan akan tampak gambaran lesi hiperdens bikonveks. Tatalaksana hematom epidural adalah
dengan melakukan evakuasi hematom dan mengehetikan perdarahan.1,2

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1


1.2 Batasan Masalah

Makalah grand case ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, pathogenesis
dan patofisiologi, manifestasi klinis, tatalaksana, komplikasi, serta prognosis dari Epidural
Hematom.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah grand case ini adalah untuk mengetahui definisi,
epidemiologi, etiologi, pathogenesis dan patofisiologi, manifestasi klinis, tatalaksana,
komplikasi, serta prognosis dari Epidural Hematom.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan makalah grand case ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
merujuk kepada berbagai literatur.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kepala

Anatomi kepala terdiri atas kulit kepala, tengkorak, meningen otak, sistem ventrikuler
dan kompartemen intrakranial.4,5
Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu skin atau kulit,
connective tissue/jaringan penyambung, aponeuris/galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang
berhubungan langsung dengan tengkorak, loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
dan perikranium yaitu jaringan penunjang longgar yang memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan biasanya terjadi perdarahan subgaleal.4
Dikarenakan scalp banyak mengandung pembuluh darah, laserasi scalp dapat
menyebabkan kehilangan darah yang berat, syok hemoragik dan bahkan kematian. Pasien yang
ditransport dengan waktu yang lama paling berisiko untuk mengalami komplikasi ini.5

Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa
tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah
tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat
temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.4
Dasar tulang tengkorak berbentuk ireguler dan permukaannya dapat menyebabkan injuri
ketika otak bergerak dalam tulang tengkorak selama aselerasi dan deselerasi yang terjadi selama
peristiwa traumatic. Fossa anterior lobus frontalis, fossa media lobus temporal dan fossa
posterior terdapat serebellum dan batang otak bagian bawah.5

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


Meninges
Meninges melapisi otak dan terdiri atas tiga lapis: duramater, arachnoid mater, dan pia
mater. Duramater bersifat keras, membran fibrosa yang melekat ke lapisan dalam tulang
tengkorak. Pada tempat tertentu, dura membelah menjadi dua dan terdapat sinus venousus, yang
menyuplai drainage vena mayor dari otak. Sinus sagital superior midline drains ke sinus
transverse bilateral dan sinus sigmoid yang biasanya lebih besar pada sisi kanan. Laserasi sinus
venosus ini dapat menyebabkan hemoragis masif.5
Arteri meningea terletak diantara dura dan permukaan internal tulang tengkorak pada
ruang epidural. Fraktur tengkorak dapat menyebabkan laserasi arteri ini dan menyebabkan
epidural hematom. Kerusakan pembuluh darah meningeal yang terbanyak adalah arteri meningea
media, yang terletak disekitar fossa temporal. Hematoma dari kerusakan arteri pada lokasi ini
dapat menyebabkan deteriorasi yang cepat dan kematian. Epidural hematom juga dapat terjadi
akibat injuri sinus duraal dan dari fraktur tengkorak yang menyebar secara lambat dan
menyebabkan tekanan yang lebih sedikit pada otak. Bagaimanapun, kebanyakan epidural
hematom merupakan kegawatdaruratan yang mengancam nyawa yang harus dievaluasi oleh ahli
bedah saraf secepat mungkin.5

Gambar 2.1 Lapisan Pelindung Otak. Tampak kulit kepala, tulang tengkorak, dan lapisan
meninges otak. Tiga lapis meninges yang terdiri dari duramater, araknoidmater, dan piamater.5

Di bawah duramater adalah lapisan meningeal kedua: tipis, transparan, arachnoid mater.
Karena dura tidak melekat ke membran arachnoid dibawahnya, terdapat suatu ruang potensial
antara lapisan ini, ruang subdural, dimana dapat terjadi perdarahan dilokasi ini. Pada cedera otak,

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


bridging veins yang melewati permukaan otak ke sinus venosus di dalam dura dapat robek,
menyebabkan terbentuknya hamatoma subdural.5
Lapisan ketiga, pia mater, melengket pada permukaan otak. Cairan cerebrospinal mengisi
ruang antara arachnoid mater yang tahan air dan piamater (ruang subarachnoid), sebagai bantalan
otak dan spinal cord. Perdarahan pada ruang berisi cairan ini (perdarahan subarahnoid) biasanya
diikuti dengan kontusio otak dan injuri pembuluh darah besar pada dasar otak.5

Otak
Otak terdiri atas serebrum, batang otak, dan serebellum. Serebrum terdiri atas hemisfer
kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falx serebri. Hemisfer kiri mengatur kemampuan bahasa
pada orang tangan kanan dan lebih dari 85% orang kiri. Lobus frontal mengontrol fungsi
eksekutif, emosi, fungsi mototrik, dan pada sisi dominan, ekspresi speech (area motor speech).
Lobus parietal meneruskan fungsi sensoris dan orientasi spasial, lobus temporal meregulasi
dungsi memori tertentu, dan lobus oksipital bertanggungjawab terhadap penglihatan.5

Gambar 2.2 Anatomi Otak Manusia. Otak manusia terdiri atas serebrum, batang orak, dan
serebellum.5

Batang otak terdiri atas midbrain, pons, dan medulla. Pada midbrain dan pons bagian atas
terdapat reticular activating system, yang bertanggungjawab terhadap kesadaran. Pusat vital
kardiorespirasi terdapat pada medulla, yang terhubung dengan spinal cord. Lesi kecil pada
batang otak dapat berhubungan dengan defisit neurologis berat.5Serebellum, mengatur fungsi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


koordinasi dan keseimbangan, terproyeksi posterior pada fossa posterior dan berhubungan
dengan spinal cord, batang otak, dan hemisfer serebri.5

Sistem Ventrikel
Ventrikel merupakan suatu sistem yang merupakan ruang yang berisi cairan LCS dan
akuaduktus dalam otak. CSF diproduksi secara konstan didalam ventrikel dan diabsorbsi oleh
permukaan otak. Terdapatnya darah pada CSF dapat mengganggu proses reabsorpsi,
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Edema dan lesi massa seperti hematom dapat
menyebabkan pergeseran sistem ventrikel, dapat diidentifikasi melalui CT scan.5

Kompertemen intrakranial
Partisi meningeal membagi otak menjadi beberapa bagian. Tentorium serebelli membagi
kavitas intrakranial menjadi kompartemen supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa
kranii media) dan kompartemen infratentorial (berisi fosa kranii posterior). Midbrain lewat
melalui suatu bukaan yang disebut hiatus tentorial atau notch. Nervus okulomotor (N.III)
berjalan melalui tepi tentorium dan dapat terkompresi ketika terjadi herniasi lobus temporal.
Fiber parasimpatik yang berfungsi dalam konstriksi pupil terletak pada permukaan N.III,
kompresi pada permukaan fiber selama herniasi menyebabkan dilatasi pupil karena aktivitas
simaptik yang berlawanan, sering disebut blown pupil.5
Bagian otak yang biasanya mengalamai herniasi melalui notch tentorial adalah bagian
medial lobus temporal, yang dikenal dengan unkus. Herniasi unkal juga menyebabkan kompresi
traktus kortikospinal (pyramidal) pada midbrain. Traktus motoris lewat pada sisi berlawanan
pada foramen magnum, sehingga kompresi pada tingkat midbrain menyebabkan kelemahan pada
sisi tubuh yang berlawanan (kontralateral hemiparesis). Dilatasi pupil ipsilateral berhubungan
dengan hemiparesis kontralateral merupakan tanda klasik herniasi unkal. Pendorongan massa lesi
pada sisi berlawanan dengan midbrain terhadap tepi tentorial menyebabkan hemiparesis dan
dilatasi pupil pada sisi yang sama dengan hematom.5

Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai
katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.6

Gambar 2.3 Vaskularisasi Otak. Gambaran anastomose pembuluh darah yang membentuk
sirkulus willisi yang berasal dari dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.6

Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.2

2.2 Definisi

Epidural hematom (EDH) merupakan perdarahan yang terjadi diantara lapisan tualng
tengkorak dengan duramater.1 Sumber perdarahan biasanya berasal dari robeknya arteri
meningea media. Arteri meningea media masuk kedalam tengkorak melalui foramen spinosum
dan berjalan diantara duramater dengan permukaan dalam tulang temporal.2

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


2.3 Epidemiologi

Persentase epidural hematom (EDH) yakni 2% dari semua cedera kepala dan juga
persentasenya sekitar 15% dari semua trauma kepala yang fatal. Laki-laki lebih sering
mengalami EDH dibandingkan perempuan. Selain itu, kejadiannya lebih tinggi di kalangan
remaja dan dewasa muda. Usia rata-rata pasien yang mengalami EDH adalah 20 hingga 30
tahun, dan jarang terjadi setelah usia 50 hingga 60 tahun dimana seiring bertambahnya usia
seseorang, duramater menjadi lebih melekat pada tulang diatasnya. Hal ini mengurangi
kemungkinan terjadinya hematoma di ruang antara tulang tengkorak dengan duramater.3

2.4 Etiologi

EDH utamanya disebabkan oleh gangguan struktur duramater dan pembuluh darah kepala
biasanya diakibatkan karena fraktur. Akibat trauma kapitis, tulang tengkorak retak. Fraktur yang
paling ringan, adalah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang
berupa bintang (stelatum) atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke
dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio). Pada
EDH yang terjadi yaitu pecahnya pembuluh darah, biasanya adalah arteri meningea media yang
kemudian mengalir ke dalam ruang diantara duramater dan tengkorak.7
Kasus EDH 85% disebabkan oleh putusnya arteri meningea media, perdarahan lain dapat
disebabkan oleh pecahnya vena meningeal media atau sinus dural dan fraktur yang menyebabkan
perdarahan dari diploeica (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi arteri dan vena
diploeica.7

2.5 Patogenesis dan Patofisiologi

Pada cedera kepala, dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subarachnoid, rongga
subdural (subdural hematom) dan antara duramater dengan tengkorak (epidural hematom) atau
ke dalam substansi otak sendiri. Pada EDH perdarahan terjadi diantara tulang tengkorak dan
duramater. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal apabila salah satu cabang arteri
meningea media robek. Robekan ini sering terjadi pada fraktur didaerah yang bersangkutan dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


dapat juga terjadi didaerah frontal atau oksipital.8,9 Kadang-kadang, trauma pada daerah parieto-
oksipital atau fossa posterior menyebabkan robeknya sinus venousus sehingga terjadi EDH.10
EDH biasanya disebabkan oleh gaya kontak linear singkat ke tulang calvaria yang
menyebabkan pemisahan antara periosteal duramater dari tulang dan gangguan pembuluh darah
yang disebabkan shearing stress (tegangan geser). Fraktur tengkorak terjadi pada 85-95% kasus
deasa, tetapi jarang terjadi pada anak-anak karena plastisitas calvaria yang masih imatur. Struktur
arteri atau vena dapat terganggu sehingga menyebabkan perluasan hematoma yang cepat.
Namun, manifestasi kronis atau tertunda dapat terjadi jika vena-vena terlibat. Perluasan
hematoma biasanya dibatasi oleh sutura karena perlekatan duramater yang ketat pada lokasi ini.
Analisis terbaru mengungkapkan bahwa EDH dapat melintasi sutura pada sebagian kecil kasus.10
Arteri meningea media di dalam tengkorak masuk melalui foramen spinosum dan
berjalan antara duramater dan tulang di permukaan dan os temporal. Perdarahan yang terjadi
menimbulkan EDH dan desakan oleh hematom dapat melepaskan duramater lebih lanjut dari
tulang kepala sehingga hematom dapat bertambah besar.5,11
Hematom yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus
temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus
mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-
tanda neurologik yang dapat dikenali oleh tim medis. Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi
arteria yang mengurus formasi retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilang nya
kesadara. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf
ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis
yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral,
refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babisnki positif.12,13
Dengan makin membesarnya hematom, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah
yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut
peningkatan TIK antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi
pernafasan. Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terus terpompa keluar
hingga semakin membesar.12,13
Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera
sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang
progresif, diikuti kesadaran yang berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut lucid interval. Fenomea lucid interval
terjadi karena cedera primer yang ringan pada EDH. Sementara, pada subdural hematom (SDH)
cedera primernya hampir selalu berat atau EDH dengan trauma primer yang berat tidak akan
mengalami lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami
fase sadar.5,11

2.6 Manifestasi Klinis

EDH tanpa disertai cedera lain pada fase awal tidak akan menunjukkan gejala. Gejala
akan muncul ketika hematom sudah membesar sehingga menimbulkan pendesakan dan
peningkatan tekanan intrakranial. Gejala tersebut dapat berupa sakit kepala, mual, muntah, serta
penurunan kesadaran. Klinis tersebut dapat disertai dengan defisit neurologis berupa hemiparesis
kontralateral, dilatasi pupil ipsilateral, serta distress pernafasan.1,2
Manifestasi klinis khas EDH berupa penurunan kesadaran singkat yang diikuti dengan
perbaikan kesadaran yang tidak selalu mencapai level awal dan kemudian diikuti lagi dengan
penurunan kesadaran kembali selama beberapa jam atau yang dikenal dengan istilah lucid
interval.1 Jika EDH disertai dengan cedera otak seperti memar otak, maka manifestasi klinis
lucid interval serta tanda dan gejala lainnya akan menjadi kabur.2

2.7 Prinsip Diagnosis


2.7.1 Anamnesis

Tanyakan terkait mekanisme cedera, ketinggian jatuh, kondisi permukaan, kerusakan


kendaraan, penggunaan airbag, penggunaan sabuk pengaman dan riwayat tertusuk bagian
kendaraan atau laporan keparahan dari lokasi kecelakaan. Riwayat penyakit komorbid, riwayat
pengobatan (terutama antikoagulan), penyalahgunaan alkohol dan/atau intoksikasi alkohol juga
merupakan hal penting dalam melakukan assesment pada traumatic brain injury. Selain itu,
adanya defisit neurologikal fokal, kejang, muntah atau penurunan kesadaran meningkatkan
perhatian pada cedera kepala.14

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


2.7.2 Pemeriksaan Fisik

Advanced Trauma Life Support (ATLS) digunakan sebagai panduan untuk pemeriksaan
terfokus trauma dengan prosedur menyelamatkan nyawa secara simultan, cervical spine
protection, tatalaksana dan pencitraan. Lakukan pemeriksaan GCS kemudian klasifikasikan
cedera kepala sebagai cedera kepala berat (skor GCS 3-8), cedera kepala sedang (skor GCS 9-
13) atau cedera kepala ringan (skor GCS 14 atau 15). Jika diperlukan intubasi, lakukan
penialaian GCS pre-intubasi dan catat skor terbaik pasien. Kemudian, tentukan respon pupil,
pada pasien yang tidak responsif, pupil unilateral yang terfiksasi dan dilatasi mengindikasikan
hematom intrakranial dengan herniasi uncal yang membutuhkan tindakan dekompresi segera.
Pupil bilateral yang terfiksasi dan dilatasi menggambarkan peningkatan tekanan intrakranial
dengan perfusi otak yang buruk, herniasi uncal bilateral, efek obat (seperti atropin) atau hipoksia
berat. Pupil pinpoint bilateral menggambarkan kemungkinan adanya paparan opiat atau lesi
pontine sentral. Fungsi motorik yang berubah, dapat menunjukkan cedera otak, spinal cord atau
cedera nerfus perifer. Nilai gerakan pada pasien koma dengan mengamati reaksi pasien terhadap
rangsangan bebahaya seperti tekanan nail bed. Pada pasien yang tidak responsif, pola pernapasan
dan pergerakan bola mata dapat memberikan ifnromasi mengenai fungsi batang otak.14
Pemeriksaan fisik harus termasuk evaluasi sequele trauma dan defisit neurologis, yang
terdiri dari:15,16

- Bradikardia/hipertensi (indikasi peningkatan TIK)


- Fraktur pada tulang tengkorak, hematom, laserasi kulit
- CSF otorrhea atau rhinorrhea
- Hemotimpanum
- Perubahan kesadaran (GCS): GCS sangat penting dalam menilai kondisi klinis pasien dengan
cedera kepala sebab GCS berhubungan dengan prognosis pasien.21
- Intsabilitas columna vertebrae
- Anisokor
- Cedera saraf facial
- Kelemahan pada anggota gerak (hemiparesis kontralateral akibat kompresi cerebral
peduncle)
- Defisit neurologis lain (aphasia, kehilangan lapangan pandang, ataxia)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Foto Polos Kepala


Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural hematoma.
Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada film
untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea media.17,18,19
Pada foto polos kepala sering ditemukan fraktur melintasi cabang arteri meningeal media.
Fraktur oksipital, forntal atau verteks juga dapat diamati. Kehadiran fraktur tulang tengkorak
tidak selalu menjamin keberadaan EDH. Namun, lebih dari 90% kasus EDH dikaitkan dengan
fraktur kranial. Pada anak-anak, angka ini lebih rendah karena deformabilitas kranial yang lebih
besar.20,21

Computed Tomography (CT-Scan)


Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara
intracranial lainnya. Pada EDH biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi
pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal.
Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi
kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi
pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh
darah.17,18,19

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


Gambar 2.4 CT-Scan Epidural Hematom. Tampak gambaran hiperdens (high density) berbentuk
bikonveks (panah hitam) dimana sering didapatkan pada region temporoparietal otak. Pada
gambar juga tampak scalp hematoma (panah putih).22

Hasil CT-Scan otak pada pasien EDH adalah gambaran hiperdens (perdarahan)
bikonveks di tulang tengkorak dan duramater, umumnya di daerah temporal.22
Dengan teknologi CT-Scan diagnosis EDH bisa ditegakkan dengan cepat dan akurat.
Lokasi perdarahan dan perkiraan volume perdarahan juga dapat diperkirakan dengan tepat.
Kelainan lain seperti SDH, perdarahan intraserebral, perdarahan intraventrikel, hidrosefalus,
edema serebri dan tumor yang dapat mengakibatkan peningkatan TIK juga dapat dilihat dari CT
Scan.23,24,25

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi
duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan
batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk
menegakkan diagnosis.17,18,19

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


Gambar 2.5 MRI Epidural Hematom. Tampak massa hiperintens bikonveks yang berada
diantara tulang tengkorak dan duramater.17,18,19

Pemeriksaan Laboratorium
Nilai hematokrit, kimia darah dan profil koagulasi (termasuk jumlah trombosit) sangat
penting dalam penilaian etiologi pasien dengan EDH, apakah perdarahan akibat spontan atau
traumatik. Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang dapat
menyebabkan koagulasi intravaskular diseminata. Keadaan gangguan koagulasi pada pasien
perlu diketahui jika operasi akan dilakukan. Kehadiran koagulopati dapat dikaitkan dengan
prognosis yang buruk. Pada orang dewasa, EDH jarang menyebabkan penurunan hematokrit
yang signifikan.26

2.8 Tatalaksana

Primary Survey26,27
Lakukan primary survey pada seluruh pasien cedera kepala, terutama pasien dengan
penurunan kesadaran, meliputi pemeriksaan dan penatalaksanaan :

1) Airway (Jaga jalan nafas dengan perlindungan terhadap servikal spine)


Langkah pertama pada ABC adalah Airway/saluran nafas (A) dan membebaskan
jalan nafas dari benda-benda obstruktif. Namun, jika pernafasan tampak terancam,
intubasi nasotrakeal atau endotrakeal dengan leher pada posisi netral harus dilakukan
dengan sangat hati-hati sesegera mungkin. Kadang kala, trauma pada wajah mencegah

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


pemasangan intubasi, dan krikotiroidektomi atau trakeostomi dapat menjadi pilihan jika
diperlukan.
2) Breathing (pernafasan)
Setelah saluran nafas dibebaskan, langkah berikutnya adalah
Breathing/pernafasan (B). Rata-rata dan ritme pernafasan, juga suara nafas, harus
dievaluasi. Perubahan pola pernafasan dapat mencerminkan disfungsi sistem saraf pusat
pada level tertentu. Lesi hemisferik bilateral yang dalam dan basal ganglia dapat
menyebabkan respirasi Cheyne-Stokes (pernafasan dengan periode hiperventilasi dan
apnea yang silih berganti), dan hiperventilasi neurogenik sentral dapat diakibatkan oleh
lesi pada mesensefalik atau pontine bagian atas. Pernafasan ataksik muncul pada fase
terminal, dimana hanya medullary yang masih dapat berfungsi. Analisa gas darah harus
diperiksa pada semua pasien dengan cedera kepala, karena hipoksemia sering terjadi.
Oksigen harus diberikan untuk menjaga kadar PaO2 dalam batas normal; hiperventilasi
direkomendasikan untuk menjaga PaCO2 diantara 25 dan 30 mmHg, karena hipokarbia
merupakan serebral vasokontriktor yang kuat, mengurangai volume darah otak dan, oleh
sebab itu, tekanan intrakranial. Foto polos dada harus diperoleh untuk memastikan tidak
ada cedera pada rongga dada seperti pneumothorak, kontusi paru atau aspirasi.
3) Circulation (nadi, tekanan darah, tanda-tanda syok dan kontrol perdarahan)
Kemudian perhatian diarahkan pada status Circulatory/sirkulasi (C) pasien, yang
dapat digambarkan oleh tekanan darah. Karena shok jarang terjadi akibat cedera kepala
murni, pemeriksaan dengan teliti harus dilakukan untuk mencari penyebab lain (yaitu,
ruptur lien atau fraktur tulang panjang). Kateter vena sentral, pada subklavian atau vena
jugular interna, seringkali memiliki peran yang tak ternilai dalam mengevaluasi dan
mengobati pasien-pasien dengan cedera multipel. Bersamaan dengan nilai hematokrit,
tekanan vena sentral dapat membedakan shok hipovolemik dengan beberapa kasus shok
neurogenik yang disebabkan oleh cereda kord spinal.
4) Disability (level kesadaran dan status neurologis lain)
Pada primary survey ini dilakukan pemeriksaan status neurologis dasar yang
disebut AVPU (Alert, Verbal stimuli response, Painful stimuli response or unresponsive).
Evaluasi neurologis yang cepat dan berulang dilakukan setelah selesai primary survey,
meliputi derajat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan gejala

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


cedera spinal. GCS adalah metode yang cepat untuk menentukan level kesadaran dan
dapat memprediksi outcome pasien.
5) Exposure
Seluruh tubuh pasien diekspose untuk pemeriksaan dan penanganan menyeluruh,
dengan memperhatikan faktor suhu dan lingkungan.

Secondary Survey
Lakukan pemeriksaan serial (perhatikan skor GCS, tanda lateralisasi, dan reaksi pupil)
untuk mendeteksi kerusakan neurologis sedini mungkin. Tanda awal yang diketahui dari herniasi
lobus temporal (uncal) adalah pelebaran pupil dan hilangnya respons pupil terhadap cahaya.
Trauma langsung pada mata juga dapat menyebabkan respons pupil abnormal dan mungkin
membuat evaluasi pupil menjadi sulit. Namun, dalam penatalaksanaan trauma otak, cedera otak
harus dipertimbangkan terlebih dahulu. Pemeriksaan neurologis lengkap dilakukan selama
secondary survei.26,27
Catat mekanisme cedera dan berikan perhatian khusus pada hilangnya kesadaran,
termasuk lamanya waktu pasien tidak responsif, aktivitas kejang apa pun, dan tingkat
kewaspadaan selanjutnya. Tentukan durasi amnesia untuk kejadian baik sebelum (retrograde)
dan setelah (antegrade) insiden traumatis. Pemeriksaan serial dan dokumentasi skor GCS penting
pada semua pasien.26,27

Tatalaksana Bedah
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial yaitu adanya massa hematoma
kira-kira 40cc, massa dengan pergeseran garis tengah melebihi 5 mm, EDH dan SDH ketebalan
lebih dari 5mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS 8 atau kurang, kontusio serebri dengan
diameter 2cm dengan efek massa yang jelas atau pergeseran garis tengah lebih dari 5mm, pasien-
pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai berkembangnya tanda-tanda lokal
dan peningkatan tekanan intrakranial lebih dari 25mmHg.28
Tindakan operasi untuk kasus EDH merupakan jenis tindakan yang efektif, dengan biaya
yang relatif ringan serta memberikan manfaat yang besar. Pasien EDH yang dioperasi dalam
waktu 4 jam pasca kejadian memberikan hasil perbaikan yang bermakna.28

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


Beberapa ahli bedah menganut pada four hour rules, hasil dari hal tersebut dipublikasikan
di Fakultas Kedokteran Virginia, isinya adalah:29

1) Pasien-pasien yang dioperasi dalam waktu 4 jam trauma mempunyai angka mortalitas
30%, dibandingkan dengan angka mortalitas 90% jika dioperasi dalam waktu lebih dari 4
jam.
2) Fungsional survival rate mencapai 65% dapat dicapai jika dioperasi dalam waktu 4 jam.
3) Faktor-faktor lain yang berhubungan adalah ICP pasca operasi ICP <20 mmHg
mempunyai 79% pasien sembuh secara fungsional, pemeriksaan saraf inisial, umur bukan
suatu faktor, gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.
Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di
belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga.
Pasien seperti ini harus diobservasi dengan teliti, setiap orang memiliki kumpulan gejala
yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersamaan
pada saat terjadi cedera kepala.

Indikasi dilakukannya tindakan bedah pada kasus epidural hemarom (EDH) adalah
sebagai berikut:

1) Volume hematoma >30 cm2 pada hasil CT Scan dengan GCS berapapun.
2) Pada pasien dengan GCS <9 harus dilakukan evaluasi pembedahan secepatnya.
3) EDH yang progresif.

Bila volume hematom <30 cm2, ketebalan <15 mm, dan midline shift <5 mm pada pasien
dengan GCS >8 dan tanpa defisit neurologi, dapat diterapi konservatif dengan pemeriksaan CT-
Scan serial. Yang perlu diperhatikan adalah risiko pembesaran lesi. CT Scan untuk follow up
pada pasien yang tidak dioperasi harus dilakukan dalam 6-8 jam. Sekitar 23% kasus EDH
mengalami pembesaran, paling sering dalam 8 jam setelah trauma. Pembesaran tidak terjadi lagi
36 jam setelah trauma.30

Terapi medikamentosa
Tujuan utama protokol perawatan intensif adalah mencegah terjadinya kerusakan
sekunder otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan
suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan sel tersebut dapat pulih dan kembali ke

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


fungsi normal. Terapi medikamentosa antara lain cairan intravena, hiperventilasi, manitol,
furosemid, steroid, barbiturate dan antikejang.

a. Memperbaiki serta Mempertahankan Fungsi Vital31

Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang dapat
menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian
oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : guna-kan cairan NaC1 0,9%
atau Dextrose in saline.
Cairan intravena harus diberikan sesuai kebutuhan untuk resusitasi dan mempertahanakan
normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu juga
diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebihan. Jangan diberikan cairan hipotonik. Juga,
penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat
buruk pada otak yang cedera. Karena itu, cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan
Ringer Laktat atau garam fisiologis. Kadar natrium serum perlu dimonitor pada pasien dengan
cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan endema otak sehingga harus
dicegah.

b. Mengurangi Edema Otak31

Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi edema yang terjadi
pada otak:

1) Hiperventilasi.
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan
metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat
diperiksa, paO2 dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 25-30 mmHg.
Umumnya PaCO2 dipertahankan pada 35 mmHg. Hiperventilasi sebaiknya dilakukan
secara selektif dan hanya dalam batas waktu tertentu. Hiperventilasi dalam waktu singkat
(PaCO2 antara 25-30 mm Hg) dapat dilakukan jika diperlukan pada keadaan perburukan
neurologis akut, sementara pengobatan lainnya baru dimulai. Hiperventilasi akan
mengurangi tekanan intrakranial pada pasien dengan perburukan neurologis akibat

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


hematoma intrakranial yang membesar, sampai operasi kraniotomi emergensi dapat
dilakukan.
2) Antikonvulsan
Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di RS dengan cedera
kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 faktor yang berkaitan
dengan insiden epilepsi: (1) Kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2)
Perdarahan Intrakranial, atau (3) Fraktur depresi. Penelitian tersamar ganda / double blind
menunjukkan bahwa fenitoin sebagai profilaksis bermanfaat untuk menurunkan angka
insidensi kejang dalam minggu pertama cedera namun tidak setelahnya. Fenitoin atau
fosfenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis awalnya
adalah 1 g yang diberikan secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat
dari 50 mg/menit. Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk
mencapai kadar terapetik serum. Pada pasien dengan kejang berkepanjangan, diazepam
atau lorazepam digunakan sebagai tambahan selain fenitoin sampai kejang berhenti.
3) Cairan hiperosmoler.
Umumnya digunakan cairan Manitol 10-15% per infus untuk “menarik” air dari
ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui
diuresis. Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK) yang
meningkat. Sediaan yang tersedia cairan manitol dengan konsentrasi 20% (20 gram setiap
100 ml larutan). Dosis yang diberikan 0.25 – 1 g/kg BB diberikan secara bolus intravena.
Manitol jangan diberikan pada pasien yang hipotensi, karena manitol tidak
mengurangi tekanan intrakranial pada kondisi hipovolemik dan manitol merupakan
diuretic osmotic yang potensial. Adanya perburukan neurologis yang akut, seperti
terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis maupun kehilangan kesadaran saat pasien dalam
observasi merupakan indikasi kuat untuk diberikan manitol. Pada keadaan tersebut
pemberian bolus manitol (1 g/kgBB) harus diberikan secara cepat (dalam waktu lebih
dari 5 menit) dan pasien segera di bawa ke CT scan ataupun langsung ke kamar operasi
bila lesi penyebabnya sudah diketahui.
Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound, mungkin dapat
dicoba diberikan kembali setelah beberapa jam atau keesokan harinya.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


4) Saline hipertonik
Saline hipertonik juga digunakan untuk mengurangi peningkatan tekanan
intrakranial, dalam konsentrasi 3% hingga 23,4%; ini mungkin agen yang dipilih untuk
pasien dengan hipotensi, karena tidak bertindak sebagai diuretik. Namun, tidak ada
perbedaan antara manitol dan salin hipertonik dalam menurunkan tekanan intrakranial,
dan tidak ada yang cukup menurunkan tekanan intrakranial pada pasien hipovolemik.
5) Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu
yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid
tidak/kurang ber-manfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada
asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis parenteral yang pernah
dicoba juga bervariasi : Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus
yang diikuti dengan 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan
dosis 6-15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6-10 mg.
6) Barbiturate
Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan
serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan
yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi,
walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan
yang ketat.
Barbiturat efektif dalam mengurangi tekanan intrakranial refrakter terhadap
tindakan lain, meskipun mereka tidak boleh digunakan di pada keadaan hipotensi atau
hipovolemia. Selanjutnya, barbiturat sering menyebabkan hipotensi, sehingga mereka
tidak diindikasikan pada fase resusitasi akut. Waktu paruh panjang dari kebanyakan
barbiturat memperpanjang waktu untuk menentukan kematian otak, yang merupakan
pertimbangan pada pasien dengan cedera yang menghancurkan dan kemungkinan tidak
dapat disembuhkan. Barbiturat tidak dianjurkan untuk menginduksi penekanan burst yang
diukur dengan EEG untuk mencegah perkembangan hipertensi intrakranial.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


7) Fenitoin
Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin
(24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk penggunaan
jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.
8) Metode lain
Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-2000 mL/24 jam
agar tidak memperberat edema jaringan. Terdapat laporan yang menyatakan bahwa posisi
tidur dengan kepala (dan leher) yang diangkat 300 akan menurunkan tekanan intrakranial
dan meningkatkan drainase vena. Posisi tidur yang dianjurkan terutama pada pasien yang
berbaring lama adalah kepala dan leher diangkat 300, sendi lutut diganjal membentuk
sudut 1500 dan telapak kaki diganjal membentuk sudut 900 dengan tungkai bawah.

2.9 Prognosis

Prognosis epidural hematom tergantung pada lokasinya (infratentorial lebih buruk),


luasnya hematom,, dan kesadaran saat masuk kamar operasi. Jika ditangani dengan cepat,
prognosis epidural hematom biasanya baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat
dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7 - 15% dan kecacatan pada 5 - 10% kasus. Prognosis
sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi. Pemeriksaan motorik
preoperatif, skor Glasgow Coma Scale (GCS), dan reaktivitas pupil secara signifikan
berhubungan dengan prognosis keadaan fungsional pasien hematoma epidural akut. Kebanyakan
EDH tidak melibatkan kerusakan otak struktural, sehingga secara keseluruhan prognosisnya
sangat baik jika evakuasi bedah segera dilakukan.32

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


BAB 3
ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. X
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 26 tahun
Pekerjaan : -
Alamat : Padang
Status : -
Agama : Islam
Suku : Minang

ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berusia 26 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan
keluhan sebgai berikut:

Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak 16 jam sebelum masuk rumah sakit.

Primary Survey

- Airway : Bebas, spontan


- Breathing : Spontan, nafas 22 x/menit
- Circulation : TD 140/80 mmHg, Nadi 108 x/menit
- Disability : GCS 8 (E2M4V2), pupil anisokor, 3mm/5mm, RC +/-

Riwayat Penyakit Sekarang

- Penurunan kesadaran selama 16 jam sebelum masuk rumah sakit


- Pasien ditemukan tidak sadarkan diri oleh keluarganya di kamar mandi.
- Mekanisme trauma tidak diketahui.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22


- Muntah (-), kejang (-)
- Tidak ada trauma di bagian lain.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat hipertensi disangkal.


- Riwayat diabetes mellitus disangkal.
- Riwayat gangguan koagulasi disangkal.
- Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat hipertensi dalam keluarga disangkal.


- Riwayat diabetes mellitus disangkal.
- Riwayat gangguan koagulasi dalam keluarga disangkal.

PEMERIKSAAN FISIK

- Keadaan umum : Sakit berat


- Kesadaran umum : GCS 8 (E2M4V2)
- Tekanan darah : 140/80 mmHg
- Nadi : 108 x/menit
- Nafas : 22 x/menit
- Suhu : 37,4 0C

Status Generalis

- Kulit : sianosis (-), ikterik (-)


- Mata : konjungtiva anemis (-)/(-) , pupil anisokor 3mm/5mm, RC +/-
- Telinga : Keluar cairan -/-, sekret -/-, darah -/-
- Hidung : Keluar cairan -/-, sekret -/-, darah -/-
- Mulut : Tidak ditemukan kelainan
- Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba pembesaran KGB dan tiroid.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


- Paru
 Inspeksi : simetris kiri dan kanan
 Palpasi : fremitus kiri dan kanan sama
 Perkusi : sonor
 Auskultasi : SN bronkovesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
- Jantung
 Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial linea mid clavicula dextra
 Perkusi : batas jantung normal
 Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), bising (-)
- Abdomen
 Inspeksi : distensi (-)
 Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
 Perkusi : timpani
 Auskultasi : BU (+) normal
- Ekstremitas : akral teraba hangat, CRT < 2 detik, kelemahan anggota gerak tidak ada

Status Lokalis
Regio Capitis :
Inspeksi : jejas (-), deformitas (-)
Palpasi : tanda-tanda fraktur depress (-)

DIAGNOSA KERJA
Penurunan kesadaran ec cedera kepala GCS 8 (E3M4V2) + Susp. perdarahan intrakranial

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 14,8 g/dL
Leukosit : 15.200 /mm3

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


Pemeriksaan CT-Scan

Gambar 3.1 Gambaran CT Scan Kepala : Bone Window

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


Gambar 3.2 Gambaran CT Scan Kepala : Brain Window

DIAGNOSA
Cedera kepala GCS 8 (E2M4V2) + Epidural Hematom er Temporal (S)

TATALAKSANA

- Pemasangan IVFD NaCl 0,9% 8 jam/kolf


- Informed concent

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26


- Konsul ke bagian anestesi
- Kraniotomi evakuasi emergensi

LAPORAN OPERASI

- Posisi supine dalam general anestesi


- Disinfeksi lapangan operasi
- Insisi Horseshoe di sinistra
- Buka scalp
- Ada fraktur linier er sinistra temporal
- Dilakukan kraniotomi dan ditemukan hematom epidural +50 cc
- Evakuasi hematom
- Tenting duramater
- Tutup bidang operasi lapis demi lapis serta insersikan drain
- Operasi selesai

Gambar 3.3 Foto Intra Operasi kraniotomi evakuasi hematom

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 27


PROGNOSIS

- Quo Ad Vitam : Dubia et bonam


- Quo Ad Functionam : Dubia et bonam
- Quo Ad Sanationam : Dubia et bonam

FOLLOW UP
Kondisi Pasien Pagi Ini
Pasien di ICU
S : Tidak sadar, kejang (-)
O :

- Kesadaran : E1M4VEtt
- TD : 120/80 mmHg
- Nadi : 82 x/menit
- Nafas : 12 x on ventilator
- Suhu : 37 0C
- Regio capitis : dressing baik, drain 50 cc haemmoragik

A : Post craniotomy evakuasi hematom ec EDH temporal (S) H+1


P : Antibiotik dan analgetik, observasi kesadaran

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 28


BAB 4
DISKUSI

Pasien laki-laki, 26 tahun masuk IGD RSUD Dr. M. Djamil Padang dengan keluhan
penurunan kesadaran sejak 16 jam sebelum masuk rumah sakit. Penilaian awal pasien ditemukan
jalan nafas paten, bernafas secara spontan dengan frekuensi nafas 22x/menit, tekanan darah
140/80 mmHg, frekuensi denyut nadi 108x/menit dan reguler, kesadaran GCS 8 (E2M4V2),
dengan pupil anisokor 3mm/5mm dan refleks cahaya (+/-). Penurunan reflex cahaya pupil atau
pupil yang tidak isokor, menandakan sudah terdapat depresi pada N. III cranial.
Pasien ditemukan tidak sadarkan diri oleh keluarganya di kamar mandi. Mekanisme
trauma tidak diketahui dan tidak terdapat trauma di bagian lain. Pasien kemudian dibawa ke IGD
RSUP dr. M. Djamil Padang. Pada pasien tidak didapatkan gejala berupa muntah dan kejang.
Gejala klinis pada epidural hematom terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Peningkatan TIK terjadi karena terbentuknya hematom yang disebabkan oleh
terganggunya autoregulasi intrakranial. Pasien akan mengalami sakit kepala, mual, dan muntah
yang diikuti dengan penurunan kesadaran.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien di diagnosa kerja dengan
penurunan kesadaran ec cedera kepala GCS 8 (E3M4V2) + Susp. perdarahan intrakranial.
Kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pencitraan berupa CT-Scan kepala. Hasil
pemeriksaan CT scan kepala, ditemukan lesi hiperdens pada bagian temporal sinistra berbentuk
bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Hal ini timbul akibat trauma kapitis dimana
gambaran tersebut menandai adanya epidural hematom.
Terapi medikamentosa yang diberikan berupa pemberian IVFD NaCl 0,9% 8 jam/kolf.
Pemberian cairan intravena dilakukan untuk mempertahankan fungsi vital pasien serta
pemberiannya harus sesuai kebutuhan untuk resusitasi. Keadaan hipovolemia pada pasien
sangatlah berbahaya. Namun, perlu juga diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebihan.
Tatalaksana definitif yang dilakukan pada pasien adalah perencanaan pembedahan
kraniotomi evakuasi hematom emergensi. Infomed consent didapatkan dari keluarga pasien.
Tujuan dari operasi yaitu untuk menghilangkan bekuan darah sehingga dapat menurunkan
tekanan didalam kepala dan mencegah terkumpulnya darah kembali di ruang antara tulang
tengkorak dan lapisan luar pembungkus otak (ruang epidural). Pasien dapat dipulangkan bila

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 29


telah memenuhi kriteria berupa sadar dan orientasi baik, tidak pernah pingsan, tidak ada gejala
neurologis, keluhan berkurang, muntah atau nyeri kepala hilang, tak ada fraktur kepala atau basis
kranii, dan ada yang mengawasi di rumah.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 30


DAFTAR PUSTAKA

1. Tanto C, Estianti R. Trauma Kapitis. In: Tanto C, Liwang F, Hanifan S, Pradipta EA, editors.
Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2014. p. 984-986.
2. Bajamal AH, Prijambodo B. Sistem Saraf. In: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono
TOH, Rudiman R, editors. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat - De Jong. 3rd ed. Jakarta:
EGC; 2010. p. 934-958.
3. Chicote AE, Gonzalez CA, Ortiz LM, Jimenez AA, Escudero AP, Rodriguez BJC, et al.
Epidemiology of Traumatic Brain Injury in the Elderly Over a 25 Year Period. Revista
Espanola de Anestesiologia Reanimacion. 2018; 65(10): 546-551.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK518982/
4. American College of Surgeons. Advance Trauma Life Suport. United States of America: First
Impression. 1997.
5. Selladurai B, Reilly P. Apidemiology of acute Head Injury. In: initial Management of Head
Injury, A Comprehensive Guide. China: Mc Graw Hill Medical; 2007.
6. Japardi I. Cedera Kepala : Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita
Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004.
7. Sidharta P, Mardjono M. Neurologi Klinis Dasar, Jakarta: Dian Rakyat; 2005.
8. Ersay F, Rapid spontaneous resolution of epidural hematoma,Turkish journal of trauma &
emergency surgey.
9. Gillet J. What’s the Difference Between a Subdural and Epidural Hematoma. Brainline.org.
10. Huisman TA, Tschirch FT. Epidural Hematoma in Children: Do Cranial Sutures Act as A
Barrier?. J Neurodiol. 2008. Medline.
11. Valadka Ab, Narayan RK. Injury to the Cranium. In: Feliciani DV, Moore EE, Mattox KL.
Editors. Trauma 3rd ed. Connecticut: Appleton and Lange; 1999. p. 267-270, 273-275.
12. Anderson S. Mc Carty L. Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi. Ed 4. Anugrah P.
Jakarta: EGC; 1995. p. 1014-1016.
13. Mardjono P. Sidharta P. Mekanisme Trauma Susunan Saraf. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta:
Dian Rakyat; 2003. p. 254-259.
14. Tintinalli JE, Ma OJ, Yealy DM, Meckler GD, Stapczynski JS, Cline DM, et al. Tintinalli’s
emergency medicine : A comprehensive Study Guide. 9th ed. USA: McGraw-Hill. 2011.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 31


15. David SL. Epiural Hematoma Clinical Presentation. Medscape. 2018.
16. Cakir M, Saritas A. Acute Epidural Haematoma Due to Contrecoup Head Injury: A Case
Report. Hongkong Journal of Emergency Medicine. 2009; 16(4): 252-254.
17. Justin M. Subdural Hematoma. 2006; Vol 171.
18. Wilkins, Williams L. Contralateral Acute Epidural Hematoma After Decompressive Surgery
of Acute Subdural Hematoma. 2008; Vol 65.
19. Leon J, Maria J. The Infrascanner, A Handheld Device for Screening In Situ for The
Presence of Brain Haematoms. 2010.
20. Gean AD, Fischbein NJ, Purcell DD, et all. Benign anterior temporal epidural hematoma:
indolent lesion with a characteristic CT imaging appearance after blunt head trauma.
Radiology. 2010; 257(1): 212-218.
21. Singh S, Ramakrishnaiah RH, Hedge SV, Glasier CM. Compression of the posterior fossa
venous sinuses by epidural hemorrhage simulating venous sinus thrombosis: CT and MR
findings. Pediatr Radiol. 2016; 46(1): 67-72.
22. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turuna Y. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf.
Jakarta: EGC; 2009..
23. Iskandar J. Cedera Kepala. Jakarta: Buana Ilmu Populer Kelompok Ilmu Gramedia: 2004.
24. Perron AD. How to Read a Head CT scan. In: injury to the Bone and Organs. New York: Mc
Graw Hill; 2008: chp 69. p. 356 – 58.
25. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, Gordon D, Hartl R, Newell DW, et al. Surgical
management of Acute Epidural Hematomas. Neurosurgery. 2006. 58 (3 Suppl): S7-15.
26. Samudrala S, Cooper PR. Traumatic intracranial hematomas. In: Wilkins RH, Rengcachary
SS, editors. Neurosurgery. 2nd ed. New York: McGraw-Hill; 1996. p. 2797-807.
27. ATLS Subcommittee. Advance trauma life support: the tenth edition. J Trauma Acute Care
Surg. 2018; 74(5): 1363-1366.
28. Naroyon Rk. Head injury, in grsmon RG, Hamilton W. Principles of Neurosurgeon. New
York: Raven Press; 1991.
29. Scolotta TA, Scheider JJ. Emergency Management of Trauma 2nd Ed. Mc Graw Hill. 2001.
73-84.
30. Sullivan TP, Jarvik JG, Cohen WA. Follow up of conservatively managed epidural
hematomas: Implications for timing of repat CT. Arm J Neurodiol. 1999. 20: 107-13.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 32


31. Sidharta P, Mardjono M. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2005.
32. Ullman JS. Cerebrovascular Pathophysiology and Monitoring in The Neurosurgical Intensive
Care Unit. Andrews BT. Intensive Care in Neurosurgery. New York: Thieme; 2003. p. 29-
46.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 33

Anda mungkin juga menyukai