EPIDURAL HEMATOM
Oleh :
Firstra Sabilli 1940312108
Preseptor :
dr. Hesty Lidya Ningsih, Sp.BS
Puji Syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas kehendak-Nya penulis
dapat menyelesaikan grand case dengan judul “Epidural Hematom”. Grand case ini dibuat
sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Bagian Ilmu Bedah periode 2 November – 28
November 2020.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Hesty Lidya
Ningsih, Sp.BS selaku preseptor yang telah memberikan masukan yang berguna dalam proses
penyusunan grand case ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan
yang juga turut membantu dalam upaya penyelesaian grand case ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi isi, susunan bahasa maupun
sistematika penulisan grand case ini. Untuk itu kritik dan saran pembaca sangat penulis
harapkan. Akhir kata penulis berharap kiranya grand case ini dapat menjadi masukan yang
berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain yang terkait dengan
masalah kesehatan khususnya mengenai Epidural Hematom.
Penulis
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Batasan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
1.4 Metode Penulisan 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Anatomi Kepala 3
2.2 Definisi 7
2.3 Epidemiologi 8
2.4 Etiologi 8
2.5 Patogenesis 8
2.6 Manifestasi Klinis 10
2.7 Prinsip Diagnosis 10
2.8 Tatalaksana 14
2.9 Prognosis 21
BAB 3 ILUSTRASI KASUS 22
BAB 4 DISKUSI 29
DAFTAR PUSTAKA 31
Trauma kapitis atau cedera kepala merupakan trauma mekanik yang mengenai kepala
baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga menimbulkan gangguan fungsi neurologis
(gangguan fisik, kognitif, dan fungsi psikososial) yang bersifat temporer maupun permanen.
Insiden cedera kepala terbanyak adalah pada kelompok usia produktif (terutama pada usia 15-24
tahun) dan lansia >65 tahun. Selain itu, insiden cedera kepala lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan.1
Hematom epidural merupakan perdarahan yang terjadi diantara lapisan tualng tengkorak
dengan duramater.1 Sumber perdarahan biasanya berasal dari robeknya arteri meningea media.
Arteri meningea media masuk kedalam tengkorak melalui foramen spinosum dan berjalan
diantara duramater dengan permukaan dalam tulang temporal.2 Persentase hematoma epidural
yakni 2% dari semua cedera kepala dan juga persentasenya sekitar 15% dari semua trauma
kepala yang fatal. Laki-laki lebih sering mengalami hematom epidural dibandingkan perempuan.
Selain itu, kejadiannya lebih tinggi di kalangan remaja dan dewasa muda. Usia rata-rata pasien
yang mengalami hematom epidural adalah 20 hingga 30 tahun, dan jarang terjadi setelah usia 50
hingga 60 tahun.3
Gejala klinis hematom epidural berupa penurunan kesadaran singkat yang diikuti dengan
perbaikan kesadaran yang tidak selalu mencapai level awal dan kemudian diikuti lagi dengan
penurunan kesadaran kembali selama beberapa jam atau yang dikenal dengan istilah lucid
interval. Klinis tersebut dapat disertai dengan defisit neurologis berupa hemiparesis kontralateral,
dilatasi pupil ipsilateral, serta distress pernafasan. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
untuk menunjang diagnosis hematom epidural adalah pemeriksaan CT-Scan. Pada pemeriksaan
CT-Scan akan tampak gambaran lesi hiperdens bikonveks. Tatalaksana hematom epidural adalah
dengan melakukan evakuasi hematom dan mengehetikan perdarahan.1,2
Makalah grand case ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, pathogenesis
dan patofisiologi, manifestasi klinis, tatalaksana, komplikasi, serta prognosis dari Epidural
Hematom.
Tujuan penulisan makalah grand case ini adalah untuk mengetahui definisi,
epidemiologi, etiologi, pathogenesis dan patofisiologi, manifestasi klinis, tatalaksana,
komplikasi, serta prognosis dari Epidural Hematom.
Penulisan makalah grand case ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
merujuk kepada berbagai literatur.
Anatomi kepala terdiri atas kulit kepala, tengkorak, meningen otak, sistem ventrikuler
dan kompartemen intrakranial.4,5
Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu skin atau kulit,
connective tissue/jaringan penyambung, aponeuris/galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang
berhubungan langsung dengan tengkorak, loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
dan perikranium yaitu jaringan penunjang longgar yang memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan biasanya terjadi perdarahan subgaleal.4
Dikarenakan scalp banyak mengandung pembuluh darah, laserasi scalp dapat
menyebabkan kehilangan darah yang berat, syok hemoragik dan bahkan kematian. Pasien yang
ditransport dengan waktu yang lama paling berisiko untuk mengalami komplikasi ini.5
Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa
tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah
tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat
temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.4
Dasar tulang tengkorak berbentuk ireguler dan permukaannya dapat menyebabkan injuri
ketika otak bergerak dalam tulang tengkorak selama aselerasi dan deselerasi yang terjadi selama
peristiwa traumatic. Fossa anterior lobus frontalis, fossa media lobus temporal dan fossa
posterior terdapat serebellum dan batang otak bagian bawah.5
Gambar 2.1 Lapisan Pelindung Otak. Tampak kulit kepala, tulang tengkorak, dan lapisan
meninges otak. Tiga lapis meninges yang terdiri dari duramater, araknoidmater, dan piamater.5
Di bawah duramater adalah lapisan meningeal kedua: tipis, transparan, arachnoid mater.
Karena dura tidak melekat ke membran arachnoid dibawahnya, terdapat suatu ruang potensial
antara lapisan ini, ruang subdural, dimana dapat terjadi perdarahan dilokasi ini. Pada cedera otak,
Otak
Otak terdiri atas serebrum, batang otak, dan serebellum. Serebrum terdiri atas hemisfer
kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falx serebri. Hemisfer kiri mengatur kemampuan bahasa
pada orang tangan kanan dan lebih dari 85% orang kiri. Lobus frontal mengontrol fungsi
eksekutif, emosi, fungsi mototrik, dan pada sisi dominan, ekspresi speech (area motor speech).
Lobus parietal meneruskan fungsi sensoris dan orientasi spasial, lobus temporal meregulasi
dungsi memori tertentu, dan lobus oksipital bertanggungjawab terhadap penglihatan.5
Gambar 2.2 Anatomi Otak Manusia. Otak manusia terdiri atas serebrum, batang orak, dan
serebellum.5
Batang otak terdiri atas midbrain, pons, dan medulla. Pada midbrain dan pons bagian atas
terdapat reticular activating system, yang bertanggungjawab terhadap kesadaran. Pusat vital
kardiorespirasi terdapat pada medulla, yang terhubung dengan spinal cord. Lesi kecil pada
batang otak dapat berhubungan dengan defisit neurologis berat.5Serebellum, mengatur fungsi
Sistem Ventrikel
Ventrikel merupakan suatu sistem yang merupakan ruang yang berisi cairan LCS dan
akuaduktus dalam otak. CSF diproduksi secara konstan didalam ventrikel dan diabsorbsi oleh
permukaan otak. Terdapatnya darah pada CSF dapat mengganggu proses reabsorpsi,
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Edema dan lesi massa seperti hematom dapat
menyebabkan pergeseran sistem ventrikel, dapat diidentifikasi melalui CT scan.5
Kompertemen intrakranial
Partisi meningeal membagi otak menjadi beberapa bagian. Tentorium serebelli membagi
kavitas intrakranial menjadi kompartemen supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa
kranii media) dan kompartemen infratentorial (berisi fosa kranii posterior). Midbrain lewat
melalui suatu bukaan yang disebut hiatus tentorial atau notch. Nervus okulomotor (N.III)
berjalan melalui tepi tentorium dan dapat terkompresi ketika terjadi herniasi lobus temporal.
Fiber parasimpatik yang berfungsi dalam konstriksi pupil terletak pada permukaan N.III,
kompresi pada permukaan fiber selama herniasi menyebabkan dilatasi pupil karena aktivitas
simaptik yang berlawanan, sering disebut blown pupil.5
Bagian otak yang biasanya mengalamai herniasi melalui notch tentorial adalah bagian
medial lobus temporal, yang dikenal dengan unkus. Herniasi unkal juga menyebabkan kompresi
traktus kortikospinal (pyramidal) pada midbrain. Traktus motoris lewat pada sisi berlawanan
pada foramen magnum, sehingga kompresi pada tingkat midbrain menyebabkan kelemahan pada
sisi tubuh yang berlawanan (kontralateral hemiparesis). Dilatasi pupil ipsilateral berhubungan
dengan hemiparesis kontralateral merupakan tanda klasik herniasi unkal. Pendorongan massa lesi
pada sisi berlawanan dengan midbrain terhadap tepi tentorial menyebabkan hemiparesis dan
dilatasi pupil pada sisi yang sama dengan hematom.5
Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak
Gambar 2.3 Vaskularisasi Otak. Gambaran anastomose pembuluh darah yang membentuk
sirkulus willisi yang berasal dari dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.6
Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.2
2.2 Definisi
Epidural hematom (EDH) merupakan perdarahan yang terjadi diantara lapisan tualng
tengkorak dengan duramater.1 Sumber perdarahan biasanya berasal dari robeknya arteri
meningea media. Arteri meningea media masuk kedalam tengkorak melalui foramen spinosum
dan berjalan diantara duramater dengan permukaan dalam tulang temporal.2
Persentase epidural hematom (EDH) yakni 2% dari semua cedera kepala dan juga
persentasenya sekitar 15% dari semua trauma kepala yang fatal. Laki-laki lebih sering
mengalami EDH dibandingkan perempuan. Selain itu, kejadiannya lebih tinggi di kalangan
remaja dan dewasa muda. Usia rata-rata pasien yang mengalami EDH adalah 20 hingga 30
tahun, dan jarang terjadi setelah usia 50 hingga 60 tahun dimana seiring bertambahnya usia
seseorang, duramater menjadi lebih melekat pada tulang diatasnya. Hal ini mengurangi
kemungkinan terjadinya hematoma di ruang antara tulang tengkorak dengan duramater.3
2.4 Etiologi
EDH utamanya disebabkan oleh gangguan struktur duramater dan pembuluh darah kepala
biasanya diakibatkan karena fraktur. Akibat trauma kapitis, tulang tengkorak retak. Fraktur yang
paling ringan, adalah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang
berupa bintang (stelatum) atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke
dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio). Pada
EDH yang terjadi yaitu pecahnya pembuluh darah, biasanya adalah arteri meningea media yang
kemudian mengalir ke dalam ruang diantara duramater dan tengkorak.7
Kasus EDH 85% disebabkan oleh putusnya arteri meningea media, perdarahan lain dapat
disebabkan oleh pecahnya vena meningeal media atau sinus dural dan fraktur yang menyebabkan
perdarahan dari diploeica (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi arteri dan vena
diploeica.7
Pada cedera kepala, dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subarachnoid, rongga
subdural (subdural hematom) dan antara duramater dengan tengkorak (epidural hematom) atau
ke dalam substansi otak sendiri. Pada EDH perdarahan terjadi diantara tulang tengkorak dan
duramater. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal apabila salah satu cabang arteri
meningea media robek. Robekan ini sering terjadi pada fraktur didaerah yang bersangkutan dan
EDH tanpa disertai cedera lain pada fase awal tidak akan menunjukkan gejala. Gejala
akan muncul ketika hematom sudah membesar sehingga menimbulkan pendesakan dan
peningkatan tekanan intrakranial. Gejala tersebut dapat berupa sakit kepala, mual, muntah, serta
penurunan kesadaran. Klinis tersebut dapat disertai dengan defisit neurologis berupa hemiparesis
kontralateral, dilatasi pupil ipsilateral, serta distress pernafasan.1,2
Manifestasi klinis khas EDH berupa penurunan kesadaran singkat yang diikuti dengan
perbaikan kesadaran yang tidak selalu mencapai level awal dan kemudian diikuti lagi dengan
penurunan kesadaran kembali selama beberapa jam atau yang dikenal dengan istilah lucid
interval.1 Jika EDH disertai dengan cedera otak seperti memar otak, maka manifestasi klinis
lucid interval serta tanda dan gejala lainnya akan menjadi kabur.2
Advanced Trauma Life Support (ATLS) digunakan sebagai panduan untuk pemeriksaan
terfokus trauma dengan prosedur menyelamatkan nyawa secara simultan, cervical spine
protection, tatalaksana dan pencitraan. Lakukan pemeriksaan GCS kemudian klasifikasikan
cedera kepala sebagai cedera kepala berat (skor GCS 3-8), cedera kepala sedang (skor GCS 9-
13) atau cedera kepala ringan (skor GCS 14 atau 15). Jika diperlukan intubasi, lakukan
penialaian GCS pre-intubasi dan catat skor terbaik pasien. Kemudian, tentukan respon pupil,
pada pasien yang tidak responsif, pupil unilateral yang terfiksasi dan dilatasi mengindikasikan
hematom intrakranial dengan herniasi uncal yang membutuhkan tindakan dekompresi segera.
Pupil bilateral yang terfiksasi dan dilatasi menggambarkan peningkatan tekanan intrakranial
dengan perfusi otak yang buruk, herniasi uncal bilateral, efek obat (seperti atropin) atau hipoksia
berat. Pupil pinpoint bilateral menggambarkan kemungkinan adanya paparan opiat atau lesi
pontine sentral. Fungsi motorik yang berubah, dapat menunjukkan cedera otak, spinal cord atau
cedera nerfus perifer. Nilai gerakan pada pasien koma dengan mengamati reaksi pasien terhadap
rangsangan bebahaya seperti tekanan nail bed. Pada pasien yang tidak responsif, pola pernapasan
dan pergerakan bola mata dapat memberikan ifnromasi mengenai fungsi batang otak.14
Pemeriksaan fisik harus termasuk evaluasi sequele trauma dan defisit neurologis, yang
terdiri dari:15,16
Hasil CT-Scan otak pada pasien EDH adalah gambaran hiperdens (perdarahan)
bikonveks di tulang tengkorak dan duramater, umumnya di daerah temporal.22
Dengan teknologi CT-Scan diagnosis EDH bisa ditegakkan dengan cepat dan akurat.
Lokasi perdarahan dan perkiraan volume perdarahan juga dapat diperkirakan dengan tepat.
Kelainan lain seperti SDH, perdarahan intraserebral, perdarahan intraventrikel, hidrosefalus,
edema serebri dan tumor yang dapat mengakibatkan peningkatan TIK juga dapat dilihat dari CT
Scan.23,24,25
Pemeriksaan Laboratorium
Nilai hematokrit, kimia darah dan profil koagulasi (termasuk jumlah trombosit) sangat
penting dalam penilaian etiologi pasien dengan EDH, apakah perdarahan akibat spontan atau
traumatik. Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang dapat
menyebabkan koagulasi intravaskular diseminata. Keadaan gangguan koagulasi pada pasien
perlu diketahui jika operasi akan dilakukan. Kehadiran koagulopati dapat dikaitkan dengan
prognosis yang buruk. Pada orang dewasa, EDH jarang menyebabkan penurunan hematokrit
yang signifikan.26
2.8 Tatalaksana
Primary Survey26,27
Lakukan primary survey pada seluruh pasien cedera kepala, terutama pasien dengan
penurunan kesadaran, meliputi pemeriksaan dan penatalaksanaan :
Secondary Survey
Lakukan pemeriksaan serial (perhatikan skor GCS, tanda lateralisasi, dan reaksi pupil)
untuk mendeteksi kerusakan neurologis sedini mungkin. Tanda awal yang diketahui dari herniasi
lobus temporal (uncal) adalah pelebaran pupil dan hilangnya respons pupil terhadap cahaya.
Trauma langsung pada mata juga dapat menyebabkan respons pupil abnormal dan mungkin
membuat evaluasi pupil menjadi sulit. Namun, dalam penatalaksanaan trauma otak, cedera otak
harus dipertimbangkan terlebih dahulu. Pemeriksaan neurologis lengkap dilakukan selama
secondary survei.26,27
Catat mekanisme cedera dan berikan perhatian khusus pada hilangnya kesadaran,
termasuk lamanya waktu pasien tidak responsif, aktivitas kejang apa pun, dan tingkat
kewaspadaan selanjutnya. Tentukan durasi amnesia untuk kejadian baik sebelum (retrograde)
dan setelah (antegrade) insiden traumatis. Pemeriksaan serial dan dokumentasi skor GCS penting
pada semua pasien.26,27
Tatalaksana Bedah
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial yaitu adanya massa hematoma
kira-kira 40cc, massa dengan pergeseran garis tengah melebihi 5 mm, EDH dan SDH ketebalan
lebih dari 5mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS 8 atau kurang, kontusio serebri dengan
diameter 2cm dengan efek massa yang jelas atau pergeseran garis tengah lebih dari 5mm, pasien-
pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai berkembangnya tanda-tanda lokal
dan peningkatan tekanan intrakranial lebih dari 25mmHg.28
Tindakan operasi untuk kasus EDH merupakan jenis tindakan yang efektif, dengan biaya
yang relatif ringan serta memberikan manfaat yang besar. Pasien EDH yang dioperasi dalam
waktu 4 jam pasca kejadian memberikan hasil perbaikan yang bermakna.28
1) Pasien-pasien yang dioperasi dalam waktu 4 jam trauma mempunyai angka mortalitas
30%, dibandingkan dengan angka mortalitas 90% jika dioperasi dalam waktu lebih dari 4
jam.
2) Fungsional survival rate mencapai 65% dapat dicapai jika dioperasi dalam waktu 4 jam.
3) Faktor-faktor lain yang berhubungan adalah ICP pasca operasi ICP <20 mmHg
mempunyai 79% pasien sembuh secara fungsional, pemeriksaan saraf inisial, umur bukan
suatu faktor, gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.
Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di
belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga.
Pasien seperti ini harus diobservasi dengan teliti, setiap orang memiliki kumpulan gejala
yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersamaan
pada saat terjadi cedera kepala.
Indikasi dilakukannya tindakan bedah pada kasus epidural hemarom (EDH) adalah
sebagai berikut:
1) Volume hematoma >30 cm2 pada hasil CT Scan dengan GCS berapapun.
2) Pada pasien dengan GCS <9 harus dilakukan evaluasi pembedahan secepatnya.
3) EDH yang progresif.
Bila volume hematom <30 cm2, ketebalan <15 mm, dan midline shift <5 mm pada pasien
dengan GCS >8 dan tanpa defisit neurologi, dapat diterapi konservatif dengan pemeriksaan CT-
Scan serial. Yang perlu diperhatikan adalah risiko pembesaran lesi. CT Scan untuk follow up
pada pasien yang tidak dioperasi harus dilakukan dalam 6-8 jam. Sekitar 23% kasus EDH
mengalami pembesaran, paling sering dalam 8 jam setelah trauma. Pembesaran tidak terjadi lagi
36 jam setelah trauma.30
Terapi medikamentosa
Tujuan utama protokol perawatan intensif adalah mencegah terjadinya kerusakan
sekunder otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan
suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan sel tersebut dapat pulih dan kembali ke
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang dapat
menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian
oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : guna-kan cairan NaC1 0,9%
atau Dextrose in saline.
Cairan intravena harus diberikan sesuai kebutuhan untuk resusitasi dan mempertahanakan
normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu juga
diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebihan. Jangan diberikan cairan hipotonik. Juga,
penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat
buruk pada otak yang cedera. Karena itu, cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan
Ringer Laktat atau garam fisiologis. Kadar natrium serum perlu dimonitor pada pasien dengan
cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan endema otak sehingga harus
dicegah.
Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi edema yang terjadi
pada otak:
1) Hiperventilasi.
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan
metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat
diperiksa, paO2 dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 25-30 mmHg.
Umumnya PaCO2 dipertahankan pada 35 mmHg. Hiperventilasi sebaiknya dilakukan
secara selektif dan hanya dalam batas waktu tertentu. Hiperventilasi dalam waktu singkat
(PaCO2 antara 25-30 mm Hg) dapat dilakukan jika diperlukan pada keadaan perburukan
neurologis akut, sementara pengobatan lainnya baru dimulai. Hiperventilasi akan
mengurangi tekanan intrakranial pada pasien dengan perburukan neurologis akibat
2.9 Prognosis
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. X
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 26 tahun
Pekerjaan : -
Alamat : Padang
Status : -
Agama : Islam
Suku : Minang
ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berusia 26 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan
keluhan sebgai berikut:
Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak 16 jam sebelum masuk rumah sakit.
Primary Survey
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Status Lokalis
Regio Capitis :
Inspeksi : jejas (-), deformitas (-)
Palpasi : tanda-tanda fraktur depress (-)
DIAGNOSA KERJA
Penurunan kesadaran ec cedera kepala GCS 8 (E3M4V2) + Susp. perdarahan intrakranial
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 14,8 g/dL
Leukosit : 15.200 /mm3
DIAGNOSA
Cedera kepala GCS 8 (E2M4V2) + Epidural Hematom er Temporal (S)
TATALAKSANA
LAPORAN OPERASI
FOLLOW UP
Kondisi Pasien Pagi Ini
Pasien di ICU
S : Tidak sadar, kejang (-)
O :
- Kesadaran : E1M4VEtt
- TD : 120/80 mmHg
- Nadi : 82 x/menit
- Nafas : 12 x on ventilator
- Suhu : 37 0C
- Regio capitis : dressing baik, drain 50 cc haemmoragik
Pasien laki-laki, 26 tahun masuk IGD RSUD Dr. M. Djamil Padang dengan keluhan
penurunan kesadaran sejak 16 jam sebelum masuk rumah sakit. Penilaian awal pasien ditemukan
jalan nafas paten, bernafas secara spontan dengan frekuensi nafas 22x/menit, tekanan darah
140/80 mmHg, frekuensi denyut nadi 108x/menit dan reguler, kesadaran GCS 8 (E2M4V2),
dengan pupil anisokor 3mm/5mm dan refleks cahaya (+/-). Penurunan reflex cahaya pupil atau
pupil yang tidak isokor, menandakan sudah terdapat depresi pada N. III cranial.
Pasien ditemukan tidak sadarkan diri oleh keluarganya di kamar mandi. Mekanisme
trauma tidak diketahui dan tidak terdapat trauma di bagian lain. Pasien kemudian dibawa ke IGD
RSUP dr. M. Djamil Padang. Pada pasien tidak didapatkan gejala berupa muntah dan kejang.
Gejala klinis pada epidural hematom terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Peningkatan TIK terjadi karena terbentuknya hematom yang disebabkan oleh
terganggunya autoregulasi intrakranial. Pasien akan mengalami sakit kepala, mual, dan muntah
yang diikuti dengan penurunan kesadaran.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien di diagnosa kerja dengan
penurunan kesadaran ec cedera kepala GCS 8 (E3M4V2) + Susp. perdarahan intrakranial.
Kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pencitraan berupa CT-Scan kepala. Hasil
pemeriksaan CT scan kepala, ditemukan lesi hiperdens pada bagian temporal sinistra berbentuk
bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Hal ini timbul akibat trauma kapitis dimana
gambaran tersebut menandai adanya epidural hematom.
Terapi medikamentosa yang diberikan berupa pemberian IVFD NaCl 0,9% 8 jam/kolf.
Pemberian cairan intravena dilakukan untuk mempertahankan fungsi vital pasien serta
pemberiannya harus sesuai kebutuhan untuk resusitasi. Keadaan hipovolemia pada pasien
sangatlah berbahaya. Namun, perlu juga diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebihan.
Tatalaksana definitif yang dilakukan pada pasien adalah perencanaan pembedahan
kraniotomi evakuasi hematom emergensi. Infomed consent didapatkan dari keluarga pasien.
Tujuan dari operasi yaitu untuk menghilangkan bekuan darah sehingga dapat menurunkan
tekanan didalam kepala dan mencegah terkumpulnya darah kembali di ruang antara tulang
tengkorak dan lapisan luar pembungkus otak (ruang epidural). Pasien dapat dipulangkan bila
1. Tanto C, Estianti R. Trauma Kapitis. In: Tanto C, Liwang F, Hanifan S, Pradipta EA, editors.
Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2014. p. 984-986.
2. Bajamal AH, Prijambodo B. Sistem Saraf. In: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono
TOH, Rudiman R, editors. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat - De Jong. 3rd ed. Jakarta:
EGC; 2010. p. 934-958.
3. Chicote AE, Gonzalez CA, Ortiz LM, Jimenez AA, Escudero AP, Rodriguez BJC, et al.
Epidemiology of Traumatic Brain Injury in the Elderly Over a 25 Year Period. Revista
Espanola de Anestesiologia Reanimacion. 2018; 65(10): 546-551.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK518982/
4. American College of Surgeons. Advance Trauma Life Suport. United States of America: First
Impression. 1997.
5. Selladurai B, Reilly P. Apidemiology of acute Head Injury. In: initial Management of Head
Injury, A Comprehensive Guide. China: Mc Graw Hill Medical; 2007.
6. Japardi I. Cedera Kepala : Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita
Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004.
7. Sidharta P, Mardjono M. Neurologi Klinis Dasar, Jakarta: Dian Rakyat; 2005.
8. Ersay F, Rapid spontaneous resolution of epidural hematoma,Turkish journal of trauma &
emergency surgey.
9. Gillet J. What’s the Difference Between a Subdural and Epidural Hematoma. Brainline.org.
10. Huisman TA, Tschirch FT. Epidural Hematoma in Children: Do Cranial Sutures Act as A
Barrier?. J Neurodiol. 2008. Medline.
11. Valadka Ab, Narayan RK. Injury to the Cranium. In: Feliciani DV, Moore EE, Mattox KL.
Editors. Trauma 3rd ed. Connecticut: Appleton and Lange; 1999. p. 267-270, 273-275.
12. Anderson S. Mc Carty L. Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi. Ed 4. Anugrah P.
Jakarta: EGC; 1995. p. 1014-1016.
13. Mardjono P. Sidharta P. Mekanisme Trauma Susunan Saraf. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta:
Dian Rakyat; 2003. p. 254-259.
14. Tintinalli JE, Ma OJ, Yealy DM, Meckler GD, Stapczynski JS, Cline DM, et al. Tintinalli’s
emergency medicine : A comprehensive Study Guide. 9th ed. USA: McGraw-Hill. 2011.