Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS KECIL HEPATOMA

Diajukan kepada Yth : dr. Suharno, Sp.PD

Disusun oleh : Nurul Fajri Jeanita Indriasari Agha Chandra Sari G1A211090 G1A212074 G1A212075

SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS HEPATOMA

Diajukan untuk memenuhi syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal : Desember 2012

Disusun oleh : Nurul Fajri Jeanita Indriasari Agha Chandra Sari G1A211090 G1A212074 G1A212075

Purwokerto,

November2012

Pembimbing,

dr. Suharno, Sp.PD

BAB I STATUS PENDERITA

A. Identitas Penderita Nama Umur Jenis kelamin Alamat : Tn. D. K. : 49 tahun : Laki-laki : Ds Mendelem Rt 01/09 Kec. Belik Pemalang Agama Status Pendidikan terakhir Pekerjaan Penghasilan Tanggal masuk IGD RSMS Tanggal masuk bangsal Tanggal periksa No.CM : Islam : Menikah : Sekolah Dasar (SD) : Buruh batu : Rp 25.000 per hari : 28 November 2012 pkl 13.15 : 28 November 2012 pkl 13.45 (R. Mawar) : 01 Desember 2012 pkl. 11.45 : 785780

B. Anamnesis Keluhan utama Keluhan tambahan Kaki bengkak, benjolan pada perut bagian atas, mual, cepat kenyang, BAK seperti air teh, penurunan berat badan. : Nyeri perut kanan atas.

Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 5 bulan yang lalu. Nyeri terasa terus-menerus saat kumat. Nyeri dirasakan bertambah berat sampai pasien tidak bisa bekerja. Nyeri diperberat dengan aktivitas atau dengan perubahan posisi dan diperingan dengan istirahat dan tidak banyak berpindah posisi. Perut membesar sejak 1,5 bulan yang lalu disertai pembengkakan kedua kaki. Perut yang membesar terasa perih dan seperti

ditusuk-tusuk. Pasien merasa lebih cepat kenyang dan mual sejak 5 bulan yang lalu dan mengalami penurunan berat badan sekitar 15 kg. Pasien juga mengeluhkan air kencing seperti teh. Pasien sebelumnya beberapa kali memeriksakan diri ke dokter dengan keluhan mual atau nyeri perut. Pada bulan November pasien sempat dirawat di RS Nirmala selama 4 hari karena nyeri perut. Kemudian pasien dirujuk ke RSMS.

Riwayat Penyakit Dahulu 1. Riwayat keluhan yang sama 2. Riwayat hipertensi 3. Riwayat DM 4. Riwayat penyakit jantung 5. Riwayat asam urat 6. Riwayat alergi 7. Riwayat mondok November 8. Riwayat Pengobatan : Disangkal : Diakui (nyeri perut kanan atas) : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Diakui di RS Nirmala pada bulan

Riwayat penyakit keluarga 1. Riwayat keluhan yang sama 2. Riwayat sakit kuning 3. Riwayat hipertensi 4. Riwayat DM 5. Riwayat penyakit jantung 6. Riwayat penyakit ginjal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal

Riwayat sosial ekonomi 1. Occupational Saat ini pasien adalah seorang buruh batu. Sudah 1,5 bulan pasien tidak bekerja karena sakit. Penghasilan sejak sakit mengandalkan istri pasien sebagai buruh tani.

2. Diet Pasien adalah perokok lebih dari 25 tahun dengan menghabiskan 5 batang rokok setiap harinya. 3. Drug Pasien mengkonsumsi jamu, minuman energi (Kuku Bima) dan obat warung (Oskadon). Kuku bima dikonsumsi setiap bekerja, sedangkan Oskadon rutin diminum setiap sore selama 6 bulan terakhir. Pasien tidak pernah mengkonsumsi alkohol.

C. Pemeriksaan Fisik Dilakukan di bangsal Mawar RSMS, 1 Desember 2012. 1. Keadaan umum 2. Kesadaran 3. Vital sign Tekanan Darah Nadi Respiration Rate Suhu 4. Berat badan 5. Tinggi badan : 110/70 mmHg : 72 x/menit regular, isi dan tekanan cukup : 16 x/menit : 35,30C : 45 kg : 153 cm : Sedang, tampak kesakitan : Compos Mentis

6. Indeks Massa Tubuh : 19,22 kg/m2 (normal) 7. Status generalis a. Pemeriksaan kepala 1) Bentuk kepala Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-) 2) Rambut Warna rambut hitam, mudah dicabut dan terdistribusi merata 3) Mata Simetris, konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+), edema pappebra (-/-), reflex cahaya (+/+) normal, pupil bulat isokor diameter 3 mm

4) Telinga Discharge (-), deformitas (-) 5) Hidung Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-) 6) Mulut Bibir sianosis (+), lidah sianosis (-)

b. Pemeriksaan leher Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-) Palpasi : JVP 5+2 cm H2O

c. Pemeriksaan thoraks Paru Inspeksi : Dinding dada tampak simetris, tidak tampak ketertinggalan gerak antara hemithoraks dextra dan sinistra, kelainan bentuk dada (-), eksperium diperpanjang (-), retraksi interkostalis (-) Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri Perkusi : Perkusi orientasi seluruh lapang paru sonor Batas paru-hepar SIC V LMCD Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+ Ronki basah halus -/Ronki basah kasar -/Wheezing -/Jantung Inspeksi Palpasi : Ictus Cordis tampak di SIV V 2 jari medial LMCS : Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari medial LMCS dan tidak angkat Perkusi : Batas atas kanan Batas atas kiri Batas bawah kanan : SIC II LPSD : SIC II LPSS : SIC IV LPSD

Batas bawah kiri Auskultasi

: SIC V, 2 jari medial LMCS

: S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-)

d. Pemeriksaan abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi Hepar : Cembung : Bising usus (+) normal : Timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+) : Nyeri tekan (+) kuadran kanan atas, undulasi (+) : teraba 5 jari BACD, permukaan berbenjol, tepi tumpul, konsistensi keras (batas kanan: 5 jari BACD, kiri: 2 jari BACS, bawah: 3 jari di atas umbilical) Lien : Tidak teraba

e. Pemeriksaan ekstremitas Ekstremitas Pemeriksaan superior Dextra Edema Sianosis Akral dingin Reflek fisiologis Reflek patologis + Sinistra + Ekstremitas inferior Dextra + + Sinistra + + -

D. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium tanggal 28 November 2012 Hematologi Darah Lengkap Hemoglobin Leukosit Hematokrit Eritrosit Trombosit : 13.7 g/dl : 8960 /ul : 38 % : 4.4 x10 /ul : 233.000/ul
6

(14 18 g/dl) (4800 10800/ul) (42 52 %) (4,7 6,1 x 106/ul) (150.000 400.000/ul)

MCV MCH MCHC RDW MPV Hitung Jenis Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit Kimia Klinik Bilirubin Bilirubin Total Bilirubin Direk

: 87.4 fL : 31.4 pg : 36.0 % : 17.8 % : 10.2 fL

(79 99 fL) (27 31 pg) (33 37 %) (11,5 14,5 %) (7.2 11.1 fL) (0.00 1.00 %) (2.00 4.00 %) (2.00 5.00 %) (40.0 70.0 %) (25.0 40.0 %) (2.00 8.00 %)

: 0.2 % : 0.2 % : 0.00% : 75.8 % : 13.4 % : 10.4 %

: 5.23 mg/dL : 4.33 mg/dL

(0.00 1.10) (0.00 0.30) (0.00 1.10) (15 37 U/L) (30 65 U/L) (14.90 30.52 mg/dl) (0.00 1.30 mg/dl) ( 200 mg/dl) (136 145) (3.5 5.1) (93 107)

Bilirubin Indirek : 0.90 mg/dL SGOT SGPT Ureum darah Kreatinin darah Glukosa sewaktu Natrium Kalium Klorida : 1112 U/L : 124 U/L : 51.4 mg/dl : 0.66 mg/dl : 41 mg/dl : 133 mmol/L : 4.9 mmol/L : 96 mmol/L

Laboratorium tanggal 29 November 2012 Sero Imunologi HBsAg Anti HCV CEA AFP : Reaktif : Non reaktif : 1.81 mg/dl : 151.30 mg/dl (non reaktif) (non reaktif) (< 4.7) ( 7.00)

E. Resume 1. Anamnesis a. Nyeri perut kanan atas b. Kencing seperti air teh c. Mual d. Cepat kenyang e. Kaki bengkak f. Perut membesar g. Perut perih seperti ditusuk-tusuk h. Penurunan berat badan i. Riwayat merokok selama 25 tahun j. Riwayat konsumsi minuman energi setiap bekerja dan obat warung setiap hari.

2. Pemeriksaan fisik a. Vital sign : TD: 110/70 mmHg b. Kepala c. Mata : rambut mudah dicabut : konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (+/+) :

d. Pemeriksaan abdomen Inspeksi : cembung Perkusi Palpasi Hepar

: pekak alih (+), pekak sisi (+) : nyeri tekan (+) kuadran kanan atas, undulasi (+) : teraba 5 jari BACD, permukaan berbenjol, tepi tumpul, konsistensi keras (batas kanan: 5 jari BACD, kiri: 2 jari BACS, bawah: 3 jari diatas umbilical)

e. Ekstremitas Ekstremitas inferior dextra dan sinistra terdapat edema.

3. Pemeriksaan Penunjang Pemersiksaan laboratorium tanggal 28 November 2012 Hemoglobin Hematokrit : 13.7 g/dl : 38 % (14 18 g/dl) (42 52 %)

Eritrosit MCH RDW Eosinofil Batang Segmen Limfosit Hemoglobin Hematokrit Eritrosit MCH RDW Eosinofil Batang Segmen Limfosit

: 4.4 x106/ul : 31.4 pg : 17.8 % : 0.2 % : 0.00% : 75.8 % : 13.4 % : 13.7 g/dl : 38 % : 4.4 x106/ul : 31.4 pg : 17.8 % : 0.2 % : 0.00% : 75.8 % : 13.4 %

(4,7 6,1 x 106/ul) (27 31 pg) (11,5 14,5 %) (2.00 4.00 %) (2.00 5.00 %) (40.0 70.0 %) (25.0 40.0 %) (14 18 g/dl) (42 52 %) (4,7 6,1 x 106/ul) (27 31 pg) (11,5 14,5 %) (2.00 4.00 %) (2.00 5.00 %) (40.0 70.0 %) (25.0 40.0 %)

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 29 November 2012 HBsAg CEA AFP : Reaktif : 1.81 mg/dl : 151.30 mg/dl (non reaktif) (< 4.7) ( 7.00)

F. Diagnosis Hepatoma

G. Usulan Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan X Foto Thoraks 2. Pemeriksaan EKG 3. Pemeriksaan USG Abdomen 4. Pemeriksaan Laboratorium: albumin, globulin, 5. Pemeriksaan CT-Scan

H. Penatalaksanaan Non Farmakologi 1. Bed rest 2. Edukasi penyakit

Farmakologi : 1. IVFD D5% 20 tpm 2. Inj. Ceftriaxon 2x1 gr iv 3. Inj. Rantin 2x1 amp. iv 4. Inj. Ketorolac 2x1 amp. iv 5. Curcuma 3x1 tab po

I.

Prognosis Ad vitam Ad sanationam Ad functionam : dubia ad malam : dubia ad malam : dubia ad malam

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Hepatoma atau hepatocellular carcinoma (HCC) merupakan tumor ganas hati primer yang berasal dari hepatosit (Budihusodo, 2007). Hepatoma merupakan tumor hati primer yang paling banyak terjadi dan termasuk dalam urutan kelima tumor yang paling banyak terjadi di dunia. Insidensi paling tinggi terjadi pada wilayah sub-Sahara dan Asia (Motola-Kuba, ZamoraValdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006). Hepatoma merupakan sebuah neoplasma dengan angka kejadian yang terus meningkat di seluruh dunia (Bruix et al., 2001). Dalam 5 8 tahun angka kejadian hepatoma dari beberapa Negara yang berbeda dihitung dan didapatkan bahwa angka kejadian hepatoma meningkat (Bruix dan Sherman, 2005). Angka harapan hidup 5 tahun pada pasien dengan hepatoma kurang dari 5 persen tanpa adanya pengobatan. Penyakit infeksi hati kronik apapun dapat menyebabkan hepatoma, namun sekitar 80 persen terjadi karena sirosis hati. Sekitar 90 sampai 95 persen dari seluruh kejadian hepatoma, merupakan konsekuensi biologis dari infeksi virus hepatitis B dan virus hepatitis C yang persisten. Hepatoma seringkali tanpa gejala sampai pada tahap lanjut atau diameter tumor sudah mencapai 10 cm. tindakan pencegahan terhadap hepatoma diperlukan karena buruknya prognosis dan kurang efektifnya terapi pada hepatoma. Tindakan pembedahan merupakan terapi pilihan pada pasien hepatoma dengan tumor yang kecil dan masih terbatas pada satu lobus hati. Pada tumor yang lebih besar atau sudah melebih dari satu lobus hati sehingga tidak dapat dihilangkan, maka diperlukan tindakan transplantasi hati dengan tingkat keberhasilan sekitar 20 30 persen (Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006).

B. Faktor Resiko Etiologi dari hepatoma bervariasi tergantung pada lokasi geografis. Di wilayah endemic hepatoma, penyebab utamanya adalah infeksi virus Hepatitis

B, namun pada wilayah dengan resiko rendah disebabkan oleh sirosis hati karena infeksi virus kronik atau konsumsi alkohol (Motola-Kuba, ZamoraValdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006). 1. Hepatitis B Hubungan antara infeksi kronik virus hepatitis B dengan timbulnya hepatoma terbukti kuat. Di Amerika Serikat, 25 persen pasien dengan hepatoma adalah karier kronik virus hepatitis B. sekitar 60 -90 persen pasien dengan hepatitis B yang berkaitan dengan hepatoma mengidap sirosis hati, namun perkembangan sirosis hati tidak diperlukan untuk menjadi hepatoma. Umur saat terjadi infeksi merupakan faktor resiko penting terhadap kronisitas yang memicu terjadinya hepatoma. Infeksi kronik virus hepatitis B menjadi hepatoma disebabkan oleh beberapa faktor. Karsinogenisitas virus hepatitis B terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi DNA virus hepatitis B ke dalam DNA sel penjamu, dan aktifitas protein spesifik virus hepatitis B berinteraksi dengan sel hati. Koinsidensi infeksi virus hepatitis B dengan pajanan agen seperti aflatoksin dapat menyebabkan hepatoma tanpa melalui sirosis hati (Budihusodo, 2007; Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006). Virus hepatitis B memicu terjadinya inflamasi kronik dengan proliferasi sleuler yang tinggi dan kesalah replikasi dengan restorasi DNA yang rendah, menghasilkan sel premaligna dan virus hepatitis B bermediasi dengan aktifitas intrahepatik oleh sel Natural Killer (NK), memicu ketahanan imun yang rendah. Jenis kelamin juga berhubungan dengan hepatoma karena adanya hubungan antara kadar testosterone yang tinggi dengan tumor hati awal. Angka kejadian hepatoma pada wanita lebih rendah daripada pria, namun angka perbandingan keduanya belum ditentukan (Bruix dan Sherman, 2005; Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006). 2. Hepatitis C Pada wilayah dengan insidensi infeksi virus hepatitis B yang rendah, maka peranan virus hepatitis C (HCV) menjadi karsinoma menjadi

penting. Prevalensi anti-HCV pada pasien hepatoma di Cina dan Afrika Selatan sekitar 30% sedangkan di Eropa Selatan dan Jepang 70 80 %. Resiko hepatoma pada pengidap hepatitis C 17 kali lipat lebih besar daripada yang bukan pengidap hepatitis C. Terdapat hubungan langsung antara insidensi hepatoma dengan stadium lanjut dari fibrosis hati pada hepatitis kronik yang aktif. HCV berhubungan dengan proses inflamasi nonspesifik yang memicu proliferasi hepatosit yang berhubungan dengan peningkatan kadar alanine-amnotransferase (ALT), pasien dengan aktifitas inflamasi dan proliferasi yang tinggi lebih rentan terhadap progresi ke arah hepatoma. Terdapat efek langsung virus terhadap karsinogenesis, seperti protein inti HCV menghambat apoptosis

(Budihusodo, 2007; Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, MendezSachez, 2006). 3. Sirosis hati Sirosis hati merupakan faktor resiko utama hepatoma di duni dan melatarbelakangi 80% kasus hepatoma. Setiap tahun tiga sampai lima persen pasien dengan sirosis hati akan menjadi hepatoma, dan menjadi penyebab utama kematian pada sirosis hati. Sirosis hati disebabkan oleh konsumsi alkohol yang merupakan faktor resiko perkembangan menjadi hepatoma. Insidensi hepatoma pada stadium 4 sirosis biliaris primer sama dengan insidensi sirosis karena hepatitis C. Nodul regeneratif adalah karakteristik lesi pada sirosis hati. Keadaan ini menunjukkan kurangnya saluran empedu dan buruknya organisir hepatosit yang disebabkan oleh fibrosis dan proliferasi kolangiosit. Lesi tersebut diklasifikasikan menjadi mikro dan makronodular (Bruix dan Sherman, 2005; Budihusodo, 2007; Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006). 4. Aflatoksin Aflatoksin adalah roksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan A. parasiticus, yang berkembang di dalam makanan seperti kacangkacangan. Hal ini menyebabkan perubahan pada DNA hepatosit. Metabolism aflatoksin menghasilkan aflatoksin B1-8,9-epoksida, produk toksin yang menyebabkan mutasi G menjadi T pada gen p53 pada kodon

249 up-regulating insulin-like growth factor II yang memicu berkurangnya apoptosis dan pembentukan hepatoma. Intak aflatoksin berperan pada pembentukan hepatoma hanya pada pasien dengan kronik hepatitis B. karena pada pasien dengan infeksi virus hepatitis B yang disertai dengan konsumsi aflatoksin meningkatkan resiko 59 kali menjadi hepatoma (Bruix et al., 2001; Budihusodo, 2007; Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006). 5. Obesitas Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, didapatkan peningkatan angka mortalitas sebesar lima kali lipat akibat hepatoma pada kelompok obesitas. Obesitas merupakan faktor resiko utama untuk nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD), khususnya non-alcoholic steatohepatitis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan berlanjut menjadi hepatoma (Budihusodo, 2007). 6. Diabetes mellitus Diabetes mellitus (DM) merupakan faktor resiko baik untuk penyakit hati kronik maupun untuk hepatoma melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatitis non alkoholik. DM dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan insulin-like growth factor yang merupakan faktor promotif potensial untuk kanker (Budihusodo, 2007). 7. Hemokromatosis herediter Hemokoromatosis herediter merupakan penyakit resesif autosomik dimanaterdapat perubahan dalam penyerapan zat besi, menginduksi deposisi dalam hati dan organ lain. Hemokromatosis herediter menjadi faktor resiko signifikan terhadap hepatoma karena berhubungan dengan 200 resiko utama hepatoma. Toksisitas besi pada hati diproduksi oleh radikal bebas, pembentukan peroksidase organ sel menyebabkan kematian sel dengan fibrosis dan sirosis (Budihusodo, 2007; Motola-Kuba, ZamoraValdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006). 8. Alkohol Peminum alkohol berisiko menjadi hepatoma melalui sirosis hati alkoholik. Alkoholisme meningkatkan resiko hepatoma pada pasien

dengan infeksi virus hepatitis B dan virus hepatitis C. efek hepatotoksik alkohol berdasarkan dose-dependent sehingga asupan alkohol sedikit tidak meningkatkan resiko hepatoma (Budihusoso, 2007). 9. Wilsons Disease Wilsons Disease adalah penyakit keturunan dengan adanya mutasi dalam gen ATP7B dan perubahan sirkulasi plasma tembaga dan eksresi empedu. Tembaga bebas yang berlebihan dapat memicu cedera sitoplasmik, sirosis dan hepatoma (Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006).

C. Tanda dan Gejala Manifesasi klinik dari hepatoma berdasarkan wilayah dengan insidensi rendah dan tinggi. Ada tiga gejala klinis utama, yaitu nyeri perut kuadran kanan atas, perburukan kondisi umum pasien sirosis hati, asimptomatik. Hepatoma pada tahap awal tanpa ada gejala dan ketika menjadi bergejala maka hepatoma sudah berlanjut dan meluas. Metastase dari hepatoma biasanya pada paru, kelenjar adrenal, dan tulang (Motola-Kuba, ZamoraValdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006). Tabel 1. manifestasi klinis berdasarkan wilayah insidensi rendah dan tinggi Symptoms Wilayah insidensi rendah 53 58 % 19 73 % 33 % 33 % 1 19% 3 12 % Wilayah insidensi tinggi 62 95 % 19 73 % < 33% 47 60 % 15 %

Nyeri perut Penurunan berat badan Massa abdomen Anoreksia Hematemesis Nyeri tulang Tanda Hepatomegali 56 74 % 86 98 % Asites 55 61 % 30 51 % Splenomegali 15 48 % 27 57 % Demam 10 % 38 % Ikterik 44 % 25 % (Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006) Gambaran umum pada hepatoma dapat berupa nyeri hebat dengan atau tanpa hepatomegali, perubahan yang mendadak pada penderita sirosis hati berupa kegagalan fungsi hati, perdaraha varises, asites yang hemoragis,

perdarahan intraperitoneal mendadak tanpa trauma, sakit mendadak dengan panas dan nyeri perut, dan metastase jauh di tempat lain dengan atau tanpa gejala klinis. Umumnya, tampak benjolan di perut bagin atas. Seringkali benjolan terasa nyeri terus-menerus, menembus ke belakang atau ke daerah bahu. Nyeri meningkat bila pasien bernapas dalam karena rangsangan peritoneum pada permukaan benjolan. Berat badan dapat menurun, timbul ikterus yang menunjukkan perjalanan penyakit yang progresif. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembesara hati yang berbenjol, kerasm kadang nyeri tekan (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).

D. Pemeriksaan penunjang a. Pencitraan Ultrasonografi hati dapat mendeteksi hepatoma yang lebih dari 2 cm, namun sangat buruk mendeteksi lesi yang kurang dari 2 cm. CT-Scan telah menggantikan ultrasonografi untuk mendeteksi hepatoma. Kontras dimasukkan pada 3 tahap, yaitu sebelum kontras dimasukan, fase arterial saat penampakkan tumor lebih jelas, dan fase vena portal saat parenkim hati tampak jelas. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat digunakan untuk diagnostic gambaran hepatoma karena dapat membedakan antara nodul regenerative dan perlemakan tahap awal pada hepatoma (MotolaKuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006).

Gambar 1. Gambaran MRI Hepatoma b. Alfa-fetoprotein Alfa-fetoprotein (AFP) merupakann komponen fetal serum yang penting, disintesis di endoderm visceral dari sac vitelin saat perkembangan fetus, setelah perkembangan hati. Kadar AFP meningkat pada 60 70 % pasien hepatoma dan kadar lebih dari 400 ng/mL. pada hepatoma stadium lanjut, kadar AFP dapat normal. Namun hasil positif fapat pula ditemukan pada hepatitis akut atau kronik dan pada kehamilan. Kadar AFP akan kembali normal dengan cepat pada kasus hepatoma yang telah direseksi (Budihusodo, 2007; (Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, MendezSachez, 2006). c. Antigen karsinoembrioner (CEA) CEA berperan penting dalam dependen adhesi seluler dan proses metastase. Hal ini karena efek langsung atau karena respon modulasi. CEA bereaksi dengan reseptor, memfasilitasi sekresi sitokin yang menstimulus ekspresi adhesi molekul dan retensi dari sel tumor hati (Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006).

E. Patofisologi dan Patogenesis Hepatokarsinogenesis adalah proses lambat selama perubahan genom mengubah fenotip hepatoseluler untuk memproduksi intermediate

hepatoseluler yang berkembang menjadi karsinoma hepatoseluler. Selama tahap pre-neoplastik dimana hati sering menjadi tempat hepatitis kronis,

sirosis, atau keduanya, siklus hepatosit dipercepat oleh jalur mitogenik. Yang memicu produksi monoclonal hepatosit yang menyimpang. Pengembangan hepatosit displastik di nodul dan munculnya karsinoma hepatoseluler berhubungan dengan akumulasi perubahan gen dan kromosom yang ireversibel, tapi fenotip gen keganasannya heterogen. Fenotip hepatosit ganas diproduksi dari gangguan beberapa gen yang fungsinya berbeda,

menghasilkan varian molekul dari karsinoma hepatoseluler (Thorgeirsson dan Grisham, 2002).

Gambar 2. Kronologis pembentukan karsinoma hepatoseluler (Thorgeirsson dan Grisham, 2002) Hepatoma pada manusia ditemukan setelah adanya proses lebih dari 30 tahun setelah infeksi hepatitis B atau hepatitis C sejak terdiagnosis pertama kali. Selama perjalanan pre-neoplastik menjadi hepatoma, perubahan ekspresi gen hampir seluruhnya kuantitatif, terjadi oleh mekanisme epigenetik dengan tidak terdeteksinya perubahan struktur gen atau kromosom. Peningkatan ekspresi dari transforming growth factor (TGF-) dan insulin like growth factor-2 (IGF-2) memicu proliferasi hepatosit menjadi cepat. TGF dan IGF-2 hasil dari kombinasi produksi sitokin sel inflamasi kronis. Hepatosir monoclonal berkembang bersama dengan pemendekan telomere progresif dan

re-ekspresi dari kompleks enzim telomerase (Thorgeirsson dan Grisham, 2002). Mekanisme karsinogenesis hepatoma belum sepenuhnya diketahui. Apapun agen penyebabnya, transformasi maligna hepatosit, dapat terjadi melalui peningkatan perputaran hepatosit yang diinduksi oleh cedera dan regenerasi kronik dalam bentuk inflamasi dan kerusakan oksidatif DNA. Hal ini dapat menimbulkan perubahan genetic seperti perubahan kromosom, aktivasi onkogen seluler atau inaktivasi gen supresor tumor, yang mungkin bersama dnegan kurang baiknya penanganan DNA mismatch, aktivasi telomerase, serta induksi factor pertumbuhan dan angiogenik. Hepatitis virus kronik, alcohol, dan penyakit hati metabolic seperti hemokromatosis dan defisiensi antiripsin-alfa1, mungkin menjalankan peranannya terutama melalui jalur ini (cedera kronik, regenerasi, dan sirosis). Dilaporkan bahwa virus hepatitis B dan mungkin juga virus hepatitis C dalam keadaan tertentu juga berperan langsung pada pathogenesis molecular hepatoma. Aflatoksin dapat menginduksi mutasi pada gen supresor tumor p53 dan ini menunjukkan bahwa factor lingkungan juga berperan pada tingkat molecular untuk berlangsungnya proses hepato karsinogenesis (Budihusodo, 2007). Hilangnya heterozigositas (LOH=lost of heterozygosity) juga

dihubungkan dengan inaktivasi gen supresor tumor. LOH dan delesi alelik adalah hilangnya satu salinan (kopi) dari bagian tertentu suatu genom. Pada manusia, LOH dapat terjadi di banyak bagian kromosom. Infeksi virus hepatitis B dihubungkan engan kelainan di kromosom 17 atau pada lokasi di dekat gen p53. Pada kasus HCC, lokasi integrasi virus hepatitis B DNA di dalam kromosom sangat bervariasi (acak). Oleh karena itu, virus hepatitis B mungkin berperan sebagai agen mutagenic insersional non selektif. Integrasi acapkali menyebabkan terjadinya beberap perubahan dan selanjutnya mengakibatkan proses translokasi, duplikasi terbalik, delesi dan rekombinan. Semua perubahan ini dapat berakibat hilangnya gen-gen supresi tumor maupun gen-gen seluler penting lain. Dengan analisis Southern Blot, potongan (sekuen) virus hepatitis B yang telah terintegrasi ditemukan di dalam jaringan tumor/HCC, tidak ditemukan di luar jaringan tumor. Produk gen X, lazim

disebut HBx, dapat berfungsi sebagai transaktivator transkripsional dari berbagai gen seluler yang berhubungan dengan kontrol pertumbuhan. Ini menimbulkan hipotesis bahwa HBx mungkin terlibat pada

hepatokarsinogenesis oleh virus hepatitis B (Budihusodo, 2007). Di wilayah endemic virus hepatitis B ditemukan hubungan yang bersifat dose-dependent antara pajanan AFB1 dalam diet dengan mutasi pada kodon 249 dari p53. Mutasi ini spesifik untuk HCC dan tidak memerlukan integrasi virus hepatitis B ke dalam DNA tumor. Mutasi gen p53 terjadi pada sekitar 30% kasus HCC di dunia, dengan frekuensi dan tipe mutasi yang berbeda menurut wilayah geografik dan etiologi tumornya (Budihusodo, 2007). Infeksi kronik virus hepatitis C dapat berujung pada HCC setelah berlangsung puluhan tahun dan umumnya didahuluioleh terjadinya sirosis. Ini menunjukkan peranan penting dari proses cedera hati kronik diikuti oleh regenerasi dan sirosis pada proses hepatokarsinogenesis oleh virus hepatiTIS C (Budihusodo, 2007).

Gambar 3. Proses Hepatokarsinogenik (Thorgeirsson dan Grisham, 2002)

F. Kriteria Diagnostik Kriteria diagnosis hepatoma berdasarkan European Association for the Study of The Liver pada pasien dengan sirosis hati pada tahun 2000, adalah (Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006): a. Metode non-invasif Kriteria radiologi: lesi fokal 2 cm dengan gambaran hipervaskularisasi arteri dengan dua metode radiologi yang berbeda, yaitu ultrasonografiDoppler, CT-Scan, MRI, dan angiografi. Kriteria campuran: AFP > 400 ng/dL + gambaran hepatoma radiologi. b. Metode invasif Diagnosis histologi: biopsi dengan jarum halus. c. Biopsi hati Biopsi hati merupalan bagian penting dalam mendiagnosis hepatoma, namun masih menjadi kontroversi, tertutama pada pasien yang akan menjalani transplantasi hati. Untuk lesi dengan diameter < 2 cm, dibutuhkan konfirmasi secara histologist. Serum pertanda tumor untuk mendiagnosis hepatoma belum muncul (Talwalkar dan Gores, 2004).

Gambar 4. Algoritma diagnostic hepatoma (Bruix dan Sherman, 2011)

G. Staging Setelah dilakukan penegakan diagnosis, maka diperlukan pembagian stadium dari hepatoma untuk membedakan pasien menjadi kelompok berdasarkan modalitas dan mortalitas. System TNM mengevaluasi ukuran tumor, eek pada nodul limfatik, dan metastase. Namun TNM kurang memberikan nilai prognosis dan sudah jarang digunakan. System CLIP merupakan staging yang mencakup cariabel penting speerti variabel biokimia, ultrasnografi hati, dan pemeriksaan fisik (Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006).

Tabel 2. Staging berdasarkan system CLIP Variabel Child-Pugh Tumor Morfologi tumor 0 A Nodul tunggal Perluasan area 50% < 400 Tidak Poin 1 B Multiple nodul dan area perluasan 50% 400 Ya 2 C Massif atau perluasan area 50%

AFP (ng/dL) Thrombosis vena porta

(Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006)

System BCLC juga menunujukkan keakuratan melebihi system CLIP skor dalam mengidentifikasikan kasus dengan prognosis lebih baik. System BCLC telah siterima secara luas dalam pratkik klinis dan digunakan dalam percobaan klinis terhadap obat-obatan untuk hepatoma. Sehingga, system BCLC menjadi sitem de facto yang digunakan. Tingkat keparahan dari fibrosis hati pada pasien sirosis hati dengn hepatoma berhubungan langsung dengan fungsi hati (Child Class) dan tidak berhubungan dengan usia pasien (Bruix dan Sherman 2011, Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, MendezSachez, 2006; Pesce, A, et al. 2010).

Table 3. Staging berdasarkan system BLCL Stage PST tumor Stadium Okuda Fungsi hati

Stadium A : hepatoma tahap awal A1 0 single < 3 cm A2 0 single < 3 cm

I I

A3 A4 Stadium B : hepatoma intermediate Stadium C : hepatoma advanced Stadium D : hepatoma terminal

0 single < 3 cm

0 3 tumor < 3 cm I II 0 besar dan I II multinodul 1 2 invasi vascular I II atau metastase ekstrahepatik 3 4 lebih banyak III

Tanpa hipertensi porta dan bilirubin serum normal Dengan hipertensi porta dan bilirubin serum normal Hipertensi porta dan kadar bilirubin abnormal Child Pugh A B Child Pugh A B Child Pugh A B

Child Pugh C

(Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006)

H. Terapi Sekitar 10 sampai 13 persen dari pasien hepatoma yang dapat disembuhkan dengan tranplantasi hati, reseksi bedah, dan ablasi tumor. Secara keseluruhan, tranplantasi hati memiliki angka kematian yang rendah. Namun hepatoma merupakan kanker hati yang serng kambuh meskipun telah direseksi bedah kuratif. Pilihan terapi ditentkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor, serta derajat perburukan hepatik (Motola-Kuba, ZamoraValdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006; Budihusodo, 2007). 1. Tindakan non bedah a) Kemoterapi arteri hati Pemberian kemoterapi selektif ke dalam arteri hepatik berdasarkan pemikiran untuk mengirigasi arteri sehingga obat-obatan dapat diberikan langsung pada tumor. Obat yang umumnya digunakan untuk prosedur ini adalah 5-fluoroacil dan 5-fluoroacildesoxiribunocleosid. Namun, pasien hepatoma tahap lanjut memiliki kontraindikasi untuk prosedur ini yaitu

trombositopenia. Prosedur ini belum terbukti menurunkan mirtalitas dari hepatoma (Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006). b) Kemoembolisasi Kemoembolisasi merupakan pengobatan yang umum digunakan untuk hepatoma yang tidak dapat dilakukan tindakan pembedahan. Terapi ini berdasarkan tujuan untk devaskularisasi tumor secara objektif dimana oksigen dan suplai nutrisi ke tumor akan diblokir, sehingga tumor akan mengalami nekrosis. Agen yang paling umum digunakan untuk terapi ini adalah gelfoam, asam polivinilic, kolagen, iodinized oil, dan angiotensin II (Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006). c) Injeksi ethanol perkutan Injeksi ethanol ke dalam tumor akan meyebabkan dehidrasi, koagulasi intraseluler, nekrosis, oklusi pembuluh darah, dan fibrosis tumor. Teknik ini digunakan terutama pada tumor dengan ukuran 3-5 cm (Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006). d) Radiasi Radiaoterapi jarang digunakan sebagai pengobatan tunggal. Teknik ini dapat digunakan pada tumor dengan diameter kurang dari 8 cm pada pasien dengan Child A dan kurang dari 5 cm pada pasien dengan Child B (Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006). e) Cryosurgery Cryosurgery digunakan pada pasien hepatoma dan sirosis hati, dengan hati yang tidak memadai dan lesi multifocal yang inadekuat. Harapan hidup sekitar 20 persen dalam tiga tahun (Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006). f) Termoterapi Terrmoterapi menggunakan suhu untuk menghancurkan tumor. Teknik ini diperkirakan dapat menghancurkan tumor sampai sebesar 9 cm (Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006).

g) Kemoterapi sistemik

Obat-obatan yang paling umum digunakan sebagai terapi paliatif adalah 5-fluoroacil, doxorubicin, interferon, cisplatine, tamoxifen, dan capecitabine. Interferon menunjukkan dapat mengurangi angka kejadian dan kekambuhan kanker hati pada pasien hepatitis C, bahkan tanpa adanya respon virology (Motola-Kuba, Zamora-Valdes, Uribe, Mendez-Sachez, 2006). 2. Tindakan bedah a) Reseksi hepatik Pada pasien yang bukan sirosis hati, pilihan utama terapi adalah reseksi hati. Namun pada pasien sirosis diperlukan criteria seleksi karena operasi dapt memicu timbulnya gagal hati yang dapat menurunkan angka harapan hidup. Parameter yang digunakan adalah skor Chils Pugh dan derajat hipertensi portal atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi portal saja. Pasien dengan bilirubin normal tanpa hipertensi portal, harapan hidup 5 tahunnya sebesar 70%. Kontraindikasi tindakan ini adalah metastasis ekstrahepatk, hepatoma difus atau multifocal, sirosis stadium lanjut, dan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan pasien menjalani operasi (Budihusodo, 2007). b) Transplantasi hati Pada pasien hepatoma dengan sirosis hati, transplantasi hati memberikan kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan

menggantikan parenkim hati yang mengalami disfungsi. Angka harapan hidup 3 tahun mencapai 80%, bahkan dnegan perbaikan seleksi pasien dan terapi perioperatif dengan obat antiviral seperti lamivudin, ribavirin, dan interferon dapat mencapai angka harapan hidup 5 tahun sebesar 92%. Kematian pasca transplantasi tersering disebabkan oleh rekurensi tumor bahkan mungkin diperkuat oleh obat antirejeksi yang harus diberikan. Tumor dengan diameter kurang dari 3 cm lebih jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang diamterenya lebih dari 5 cm (Budihusodo, 2007).

Gambar 5. Klasifikasi terapi hepatoma (Bruix dan Sherman, 2005).

I. Prognosis Terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi prognosis pasien hepatoma, yaitu: (a) stadium, keagresifan, dan tingkat pertumbuhan tumor, (b) kesehatam umum pasien, (c) fungsi hati pasien, (d) intervensi spesifik pada pasien (Bruix, et al., 2001).

DAFTAR PUSTAKA

Bruix, Jordi, Morris Sherman, Josep M. Llovet, Michael Beaugrand, Riccardo Lencioni, et al. 2001. Special Article: Clinical Management of Hepatocellular Carcinoma. Conclusions of the Barcelona-2000 EASL Conference. Dalam Journal of Hepatology 35; 421-430 Bruix, Jordi, Morris Sherman. 2005. AASLD Practice Guideline: Management of Hepatocellular Carcinoma. Dalam Hepatology Vol 42, No. 5 Bruix, Jordi, Morris Sherman. 2011. AASLD Pratice Guideline: Management of Hepatocellular Carcinoma: An Update. Dalam Hepatology, vol 53, No. 3 Budihusodo, Unggul. 2007. Karsinoma Hati. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Motola-Kuba, Daniel, Daniel Zamora-Valdes, Misael Uribe, Nahum MendezSanchez. 2006. Concise Review: Hepatocellular Carcinoma. An Overview. Dalam Annuals of Hepatology5(1); January March: 16-24 Pesce, A, MA Trovato, A Branca, R Scilletta, TR Portale, S Puleo. 2011. Evaluation of Fibrosis in Cirrhotic Elderly Patients with HCC. Dalam BMC Geriatrics, 11 (suppl 1);A47 Sjamsuhidajat, R, Wim de Jong. 2005. Saluran Hati dan Empedu. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Talwalkar, Jayant A, Gregory J. Gores. 2004. Diagnosis and Staging of Hepatocellular Carcinoma. Dalam Gastroenterology Vol 127; no 5 Thorgeirsson, Snorri S., Joe W. Grisham. 2002. Molecular Pathogenesis of Human Hepatocellular Carcinoma. Dalam Nature Genetics, volume 31, august 2002

Anda mungkin juga menyukai