Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN KARDIOLOGI & LAPORAN KASUS

KEDOKTERAN VASKULAR April 2018


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

ST ELEVATION MYOCARD INFARCTION

DISUSUN OLEH :
Ainun Aniah Hasyim (C111 14 085)

SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Akhtar Fajar M, Sp.JP, FIHA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KARDIOLOGI & KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
LEMBAR PENGESAHAN

1
Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Ainun Aniah Hasyim


NIM : C111 14 085
Judul Laporan Kasus :ST Elevasi Miocardial Infarction (STEMI)

Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Departemen Kardiologi dan


Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 2 April 2018

Supervisor Pembimbing,

dr. Akhtar Fajar M, SP.JP, FIHA

KATA PENGANTAR

2
Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT atas rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Infark Miokard Akut
Tanpa Elevasi ST (NSTEMI)”
Sepanjang penyusunan laporan kasus ini, beberapa pihak-pihak yang
memberikan kontribusi baik sumbangan waktu, ide, tenaga, dan dukungan
sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Untuk itu, tidak ada yang
dapat kami sampaikan kecuali rasa terima kasih mendalam kepada semua pihak
yang telah membantu, khususnya kepada pembimbing kami, dr. Akhtar Fajar M,
SpJP, FIHA
Kami menyadari laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna.Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan
laporan kasus selanjutnya.Terima kasih.

Makassar, 23 Maret 2018

Penulis

DAFTAR ISI

3
Halaman sampul......................................................................................................1

Halaman pengesahan..............................................................................................2

Kata Pengantar........................................................................................................3

Daftar Isi.................................................................................................................4

BAB 1 Laporan Kasus............................................................................................5

BAB 2 Diskusi Kasus……….……………………………………………......….12

Daftar Pustaka ………………………..............................................................36

BAB 1
LAPORAN KASUS

4
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. I
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Polri/TNI
Agama : Islam
Alamat : BTN Pondok Asri I Blok B5/11
Tanggal Masuk : 21 Maret 2018
No RM : 817578
Unit Kerja : IGD PJT

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri dada
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri dada dialami sejak 3 hari yang lalu dan semakin memberat sejak 12
jam sebelum masuk PJT. Nyeri dirasakan saat pasien mengendarai mobil
dalam perjalanan menuju ke kantor. Nyeri dirasakan seperti tertindih
beban berat dengan durasi nyeri ± 30 menit. Nyeri dirasakan menjalar
hingga ke punggung belakang disertai keringat dingin. Pasien juga
mengeluhkan nyeri pada ulu hati. Mual muntah ada, warna muntah
normal. Sesak napas tidak ada. Riwayat nyeri dada dan sesak napas
sebelumnya tidak ada, riwayat hipertensi disangkal, riwayat DM tidak ada.
Pasien juga memiliki kebiasaan merokok 2 bungkus per hari selama ± 20
tahun, dan sudah berhenti selama ± 1 tahun.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat nyeri dada dan sesak sebelumnya tidak ada
2. Riwayat penyakit jantung sebelumnya tidak ada
3. Riwayat hipertensi disangkal
4. Riwayat diabetes mellitus tidak ada
5. Riwayat dislipidemia disangkal

5
1. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat keluarga dengan penyakit jantung tidak ada
 Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus tidak ada
 Riwayat keluarga dengan hipertensi tidak ada
4. Riwayat Kebiasaan
 Riwayat merokok ada selama ± 20 tahun dengan 2 bungkus rokok
per hari (sudah berhenti selama ± 1 tahun)
 Riwayat minum alkohol tidak ada
 Riwayat suka makan makanan berlemak
 Aktifitas fisik kurang

III. FAKTOR RISIKO


a. Tidak dapat dimodifikasi:
- Usia 52 tahun
- Jenis kelamin laki laki
1. Dapat dimodifikasi:
1. Riwayat Merokok
2. Kebiasaan makan makanan berlemak
3. Aktifitas fisik kurang

IV. PEMERIKSAAN FISIS


• Status generalis
Sakit sedang / gizi overweight/ compos mentis
BB : 68 kg
TB : 170 cm
IMT : 23,53 (overweight)
GCS : E4M6V5

• Tanda vital
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 80 kali per menit
Pernapasan : 20 kali per menit

6
Suhu : 36.6° C
• Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata : Anemis (-), ikterus (-), pupil isokor (d= 2 mm ODS)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : JVP R+2 cm H2O, limfadenopati dan pembesaran tiroid
tidak ada
• Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor kiri dan kanan, batas paru-hepar ICS 6 kanan
Auskultasi : vesikular, bunyi tambahanronchi -/-, wheezing -/-
• Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis jantung tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis jantung tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan di ICS 5 garis parasternalis
kanan, dan batas jantung kiri di ICS 6 linea
axillaris anterior. Batas jantung atas di ICS 2.
Auskultasi : S I/II murni regular, murmur tidak ada
• Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien
tidak teraba.
Perkusi : Timpani (+), kesan normal
• Pemeriksaan Ekstremitas
Hangat, edema (-)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
.Laboratorium (21/03/2018)
No Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hematolgi Rutin

7
1 WBC 9,26 4,00-10,0 10^3/ul
2 RBC 4,62 4,00-6,00 10^6/ul
3 HGB 13,2 12,0-16,0 gr/dl
4 HCT 39,4 37,0-48,0 %
5 MCV 85,2 80,0-97,0 fL
6 MCH 28,6 26,5-33,5 Pg
7 MCHC 33,5 31,5-35,0 gr/dl
8 PLT 298 150-400 10^3/ul
Koagulasi
1 PT 9,9 10-14 Detik
2 INR 0,90 --
3 APTT 26,2 22,0-30,0 Detik
KIMIA DARAH
Glukosa
1 GDS 118 140 Mg/dl
FRAKSI LIPID
1 Kolesterol total 191 200 Mg/dl
2 Kolesterol HDL 35 L (> 55), P (> 65) Mg/dl
3 Kolesterol LDL 116 < 130 Mg/dl
4 Trigliserida 121 200 Mg/dl
FUNGSI GINJAL
1 Ureum 24 10-50 Mg/dl
2 Kreatinin 1,48 L (<1,3); P( <1,1) Mg/dl
FUNGSI HATI
1 SGOT 67 <38 U/L
2 SGPT 18 <41 U/L
Penanda Jantung
1 CK 378,65 L(<190);P(<167) U/L
2 CK-MB 48,5 <25 U/L
IMUNOSEROLOGI
Imunoserologi lain
1 Troponin I >10 <0,01 Ng/ml
Elektrolit
1 Natrium 141 136-145 Mmol/l
2 Kalium 4,8 3,5-5,1 Mmol/l
3 Klorida 108 97-111 Mmol/l

.EKG (22/03/2018)

8
Gambaran EKG Posterior:

Interpretasi
 Ritme : sinus
 Heart Rate : 75 kali per menit
 Regularitas : Reguler
 Axis : Normoaxis
 Gelombang P : Normal, durasi 0,08 detik
 PR interval : Normal, durasi 0.18 detik
 Gelombang Q : Tampak Q patologis (> 1/3 amplitudo
gelombang R) pada lead III, aVF, V7-9
 QRS Kompleks : Normal, durasi 0,06 detik
 Segmen ST : isoelektrik
 Gelombang T : Tampak T inverted pada lead V7-9
Kesimpulan : Old Myocard Infarc Infero Posterior

VI.DIAGNOSIS
STEMI Inferoposterior onset > 12 jam killip 1

9
VII.TERAPI
1. NaCl 0,9% (500 ml/24 jam/drips)
2. Aspilet 80mg/24 jam/ oral
3. Clopidogrel 75mg/24jam/oral
4. ISDN 5 mg sublingual (jika nyeri dada)
5. Farsorbid 10 mg/8 jam/oral
6. Alprazolam 6,5 mg/24 jam/oral
7. Arixtra 2.5 mg/24 jam/subkutan
8. Captopril 6,25 mg/8 jam/oral
9. Atorvastatin 40 mg/24 jam/oral
Usul : X Ray Thorax, Echocardiografi

VIII. RESUME

Nyeri dada dialami sejak 3 hari yang lalu dan semakin memberat
sejak 12 jam sebelum masuk PJT. Nyeri dirasakan saat pasien
mengendarai mobil dalam perjalanan menuju ke kantor. Nyeri dirasakan
seperti tertindih beban berat dengan durasi nyeri ± 30 menit. Nyeri
dirasakan menjalar hingga ke punggung belakang disertai keringat dingin.
Pasien juga mengeluhkan nyeri pada ulu hati. Mual muntah ada, warna
muntah normal. Sesak napas tidak ada.
Riwayat nyeri dada pertama kali dirasakan hari minggu (18 Maret
2018) saat tidak beraktivitas. Gambaran nyeri yang dirasakan sama seperti
keluhan saat ini, bahkan memberat. Kemudian pasien dibawa ke
puskesmas terdekat dan diberikan obat maag dan anti nyeri. Keluhan
membaik, sampai muncul lagi pada hari rabu (21 Maret 2018).
Riwayat nyeri dada dan sesak napas sebelumnya tidak ada, riwayat
hipertensi disangkal, riwayat DM tidak ada. Pasien juga memiliki
kebiasaan merokok 2 bungkus per hari selama ± 20 tahun, dan sudah
berhenti selama ± 1 tahun. Selain itu, pasien suka makan makanan
berlemak dan aktifitas fisik yang kurang.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis,
tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 80 x/menit, frekuensi napas 20x/menit
dan suhu 36,6 oC. Kesan gizi overweight dengan IMT 23,53 kg/m2. Hasil
pemeriksaan kepala dan leher dalam batas normal, perkusi toraks

10
didapatkan batas jantung kiri pada ICS VI linea axillaris anterior.
Pemeriksaan abdomen dan ekstremitas tidak ada kelainan.
Hasil pemeriksaan laboratorium: PT 9,9 detik (memendek),
kreatinin 1,48 mg/dl, SGOT 67 U/L, CK 378,65 U/L, CK-MB 48,5
U/L,Troponin I >10 Ng/ml. Pemeriksaan EKG : Old Myocard Infarc
Infero Posterior.

BAB 2

DISKUSI KASUS

1. DEFINISI
Infark miokard akut adalah kerusakan jaringan otot jantung akibat iskemik
hebat yang terjadi secara tiba-tiba. Iskemik tersebut disebabkan oleh oklusi
pembuluh darah koroner. Bila infark akibat iskemik hanya mengenai sedikit
bagian miokardium, maka hasil gambaran EKG lebih sering tidak menunjukkan
kelainan. Sindrom ini disebut non-ST-segment elevation myocardial infarction
(NSTEMI). Sebaliknya, bila infark yang terjadi mengenai wilayah miokardium
yang cukup luas, maka hasil EKG akan menunjukkan elevasi segmen ST,
sehingga penyakitnya disebut ST-segment elevation myocardial infarction
(STEMI). (NICE, 2011)
STEMI adalah sindrom klinis yang ditandai sebagai nyeri dada khas
iskemik, yaitu nyeri dada tembus ke belakang, memberat saat beraktivitas,
menjalar ke lengan kiri, dan disertai keringat dingin. Gejala ini disertai hasil
gambaran EKG yang menunjukkan elevasi segmen ST dan peningkatan kadar
enzim jantung sebagai penanda nekrosis otot jantung. (AHA, 2013)

2. EPIDEMIOLOGI
Di dunia, coronary artery disease (CAD) adalah penyakit dengan angka
mortalitas yang tinggi. Lebih dari tujuh juta orang setiap tahun meninggal

11
akibat CAD, atau sekitar 12,8%. Di Eropa, 1 dari 6 wanita dan 1 dari 7 pria
meninggal karena infark miokard. (ESC, 2012)
Angka mortalitas penyakit kardiovaskular di Indonesia mengalami
peningkatan setiap tahunnya, mencapai angka 30% pada tahun 2004
dibandingkan sebelumnya hanya sekitar 5 % pada tahun 1975. Data terakhir
dari National Heart Survey, menunjukkan bahwa penyakit
serebrokardiovaskular merupakan penyebab utama kematian di Indonesia.
Studi kohort selama 13 tahun di tiga daerah di provinsi Jakarta
menunjukkan bahwa PJK merupakan penyebab utama kematian di Jakarta.
Data dari Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) dari tahun 2008-2009
mencatat sebanyak 2013 orang menderita SKA, dimana sebanyak 654 orang
mengalami STEMI (Irmalita, 2015)
Mortalitas STEMI dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya: usia,
klasifikasi killip, waktu tunda pengobatan, cara pengobatan, riwayat infark
miokard sebelumnya, diabetes mellitus, gagal ginjal, dan jumlah arteri
koroner yang mengalami oklusi. (ESC, 2012)

3. FAKTOR RISIKO
Faktor Resiko yang Dapat Dimodifikasi :
a. Dislipidemia (peningkatan LDL, penurunan HDL)
Peningkatan kadar LDL dalam sirkulasi darah berhubungan dengan
kejadian aterosklerosis dan penyakit jantung koroner. Ketika kadarnya
berlebih, LDL dapat berakumulasi di subendotel dan mengalami
modifikasi kimiawi yang dapat lebih jauh merusak lapisan intima sehingga
mencetuskan pembentukan lesi aterosklerotik. Fungsi dari HDL adalah
sebagai transportasi kolesterol dari jaringan ke hati, sehingga apabila kadar
HDL menurun dalam darah, maka akan diikuti dengan penumpukan
kolesterol. Selain itu, HDL juga memiliki fungsi antioksidatif dan anti-
inflamasi yang dibutuhkan oleh tubuh. (Lilly LS, 2016)

b. Merokok

12
Merokok dapat menjadi faktor pencetus terjadinya aterosklerosis dan
penyakit jantung iskemik dengan berbagai mekanisme, yaitu
meningkatkan modifikasi oksidatif dari LDL, menurunkan kadar HDL,
disfungsi endotel yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan dan
peningkatan stress oksidatif, peningkatan adhesivitas platelet, dan lain-
lain. Berhenti merokok dapat mengembalikan beberapa dari efek buruk
yang telah ditimbulkan, sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya
penyakit jantung koroner. (Lilly LS, 2016)

c. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah merusak endotel dari vascular dan dapat
meningkatkan permeabilitasnya. Angiotensin II yang merupakan mediator
dari hipertensi dapat bekerja sebagai vasokonstriktor dan stimulator dari
stress oksidatif serta sitokin proinflamasi yang dapat mencetuskan
terjadinya atherogenesis. (Lilly, LS, 2016)

d. Diabetes Mellitus, Sindroma Metabolik


Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolesmia yang
memungkinan timbulnya aterosklerosis dan berkaitan dengan proliferasi
sel otot polos pembuluh darah arteri koroner, sintesis kolesterol,
trigliserida, fosfolipid, peningkatan kadar LDL dan kadar HDL yang
rendah. (Lilly LS, 2016)

e. Kurang Aktivitas (Sedentary Life)


Aktivitas seperti olahraga dapat mencegah terjadinya atherogenesis
dan bermanfaat untuk memperbaiki profil lipid, tekanan darah, sensitivitas
insulin, dan pembentukan NO (nitric oxide). (Lilly LS, 2016)

Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi


. 1. Usia

13
Kerentanan terhadap atherosclerosis pembuluh darah koroner
meningkat seiring bertambahnya usia. Namun demikian jarang timbul
penyakit serius sebelum umur 40 tahun, sedangkan mulai usia 40-60 tahun
insiden miokard infark meningkat 5 kali lipat. Hal ini terkait dengan
kemungkinan terjadinya atherosclerosis yang semakin besar, terkait
dengan deposit lemak serta elastisitas pembuluh darah yang makin
menurun seiring dengan bertambahnya umur (Lilly LS, 2016)

. 2. Jenis Kelamin
Laki-laki usia 35-44 tahun memiliki resiko 5-6 kali lebih besar
dibanding perempuan untuk terkena penyakit jantung koroner. Namun,
setelah wanita menopause, insidensi terjadinya hampir sama. Dengan
asumsi hormon estrogen pada wanita yang mempengaruhi kadar lipid,
dengan menurunkan kadar LDL, meningkatkan HDL serta trigliserida.
Disparitas ini akan berkurang seiring dengan pertambahan usia, dengan
wanita 10 tahun kemudian. Walaupun begitu wanita cenderung lebih
mendapati penyakit jantung koroner yang lebih kompleks karena
pertambahan umur yang lebih tua disertai lebih banyak faktor
komorbiditas. (Lilly LS, 2016)

. 3. Herediter/Genetik
Pengaruh dari genetik dapat menjadi faktor risiko yang sangat penting
terhadap terjadinya atherosklerosis. Mutasi dari kromosom 9p21.3
memiliki hubungan yang sangat kuat dengan terjadinya infark miokard.
(Lilly LS, 2016)

4. PATOFISIOLOGI

Sebagian besar Sindrom Koroner Akut adalah manifestasi akut dari plak
ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak
tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi
jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).

14
Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner
yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan
vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan
oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium
mengalami nekrosis (infark miokard). (PERKI, 2015)
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian
pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri
koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa
spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis
setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis. (PERKI,
2015)

Faktor-faktor yang berperan dalam progresi SKA dapat dilihat pada


gambar dibawah ini

15
Gambar 1. Faktor-faktor yang berperan untuk terjadi SKA (Myrtha R, 2012)

4.1. Pembentukan Plak Aterosklerosis


Patofisiologi terjadinya infark miokard akut disebabkan karena ketidak
seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen di miokard akibat
aterosklerosis atau plak. Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak
di tunika intima arteri besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung lama
sampai akhirnya bermanifestasi sebagai SKA. Proses aterosklerosis ini terjadi
melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel, migrasi kolesterol LDL (low-
density lipoprotein) ke dalam tunika intima, respons inflamatorik, dan
pembentukan kapsul fibrosis. (Myrtha R, 2012) Proses pembentukan
aterosklerosis dapat dilihat pada gambar berikut.

16
Gambar 2. Proses Pembentukan Aterosklerosis

1. Disfungsi Endotel

Beberapa faktor risiko sindrom koroner, seperti hipertensi,


hiperkolesterolemia, diabetes, kebiasaan merokok, infeksi dan stres
oksidatif dapat menyebabkan kerusakan endotel dan selanjutnya
menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi endotel mengaktifkan proses
inflamasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi
perbaikan, dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak.

17
Gambar 3. Disfungsi Endotel

Tanda endotel yang mengalami disfungsi adalah sebagai berikut :


1. Berkurangnya bioavailabilitas nitrit oksida dan produksi
endothelin-1 yang berlebihan, yang mengganggu fungsi hemostasis
vaskuler
2. Peningkatan ekspresi molekul adhesif (misalnya P-selektin,
molekul adhesif antarsel, dan molekul adhesif sel pembu-luh darah,
seperti Vascular Cell AdhesionMolecules-1 [VCAM-1])
3. Peningkatan trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa
substansi aktif lokal.

Selanjutnya, terjadi perubahan kondisi endotel, seperti


peningkatan adhesivitas endotel, peningkatan permeabilitas endotel
(sehingga memudahkan migrasi LDL dan monosit ke tunika intima
pembuluh darah), migrasi dan proliferasi sel otot polos dan makrofag,
pelepasan enzim hidrolitik, sitokin,dan faktor pertumbuhan, nekrosis fokal
dinding pembuluh darah, dan kemudian perbaikan jaringan dengan
fibrosis. (Myrtha R, 2012)

18
2. Proses Inflamasi

Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi


menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul
adhesif endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini
mengalami differensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan mencerna LDL
teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi sel
foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks. Makrofag yang teraktivasi
ini melepas-kan zat-zat kemoatraktan dan sitokin (misalnya monocyte
chemoattractant protein-1, tumor necrosis factor α, IL-1, IL-6, CD40, dan
c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses inflamasi dengan
mendatangkan lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh
darah (yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler) pada tempat
terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah bermigrasi dari tunika
media menuju tunika intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul
fibrosis yang menstabilisasi plak dengan cara membungkus inti lipid dari
aliran pembuluh darah. Makrofag juga menghasilkan matriks
metaloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna matriks ekstraseluler dan
menyebabkan terjadinya disrupsi plak. (Myrtha R, 2012)

Gambar 4. Pembentukan fatty streaks

3. Pembentukan Plak Aterosklerosis

19
Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel
otot polos dan makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas
plak dan kecenderungan untuk mengalami ruptur. LDL yang
termodifikasi meningkatkan respons inflamasi oleh makrofag. Respons
inflamasi ini memberikan umpan balik, menyebabkan lebih banyak
migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya mengalami
modifikasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang terstimulasi akan
memproduksi matriks metaloproteinase yang mendegradasi kolagen. Di
sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang membentuk
kapsul fibrosis, merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul fibrosis meni-
pis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran darah
terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan ter-
bentuknya bekuan. Proses pro inflamatorik ini menyebabkan
pembentukan plak dan insta-bilitas.

Gambar 5. Pembentukan aterosklerosis yang lebih kompleks

Sebaliknya ada proses anti inflamatorik yang membatasi


pertumbuhan plak dan mendukung stabilitas plak. Sitokin seperti IL-4
dan TGF-β bekerja mengurangi proses infl amasi yang terjadi pada plak.
Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses penyembuhan luka.
Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah

20
pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lu-men pembuluh
darah dan menjadi rentan mengalami rupture. (Myrtha R, 2012)

4. Ruptur Plak Aterosklerosis dan Trombosis

Gejala oklusi oleh plak aterosklerosis muncul bila stenosis lumen


mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi karena ruptur plak
aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya menyumbat kurang
dari 50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang ruptur dan ada plak
yang tetap stabil belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul fibrosa yang tipis, dan
inflamasi dalam plak merupakan predisposisi untuk terjadinya rupture.
(Myrtha R, 2012)

Gambar 6. Ruptur Plak Aterosklerosis

Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks


subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini
menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi
trombosit, selanjutnya terbentuk thrombus. Trombosit berperan dalam
proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga
melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan
jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan
dengan sistem hemostasis primer yang dimediasi trombosit. (Myrtha R,
2012)

21
Ada 2 macam trombus yang dapat terbentuk :
1. Trombus putih merupakan bekuan yang kaya trombosit. Hanya
menyebabkan oklusi sebagian
2. Trombus merah merupakan bekuan yang kaya fibrin. Terbentuk karena
aktifasi kaskade koagulasi dan penurunan perfusi pada arteri. Bekuan ini
bersuperimposisi dengan trobus putih, menyebabkan terjadinya oklusi
total. (Myrtha R, 2012)

5. DIAGNOSIS
Diagnosis Sindrom Koroner Akut ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih
dari 3 kriteria, yaitu
1. Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan
pemberian nitrat biasa.
2. Perubahan elektrokardiografi (EKG)
3. Peningkatan marker jantung

1. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada
yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina
tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri,
leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat
berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan
angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. (PERKI, 2015)
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di
daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion),
sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang
sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia
muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes,
gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal
dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina

22
ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan
riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah
terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA. (PERKI,
2015)

2. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus
iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis
banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah
halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi
komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut,
hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan
kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis,
kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta,
pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu
dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA. (PERKI, 2015)

3. Elektrocardiogram/EKG
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan
sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan,
sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien
dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior.
Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina
yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG
dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat.
Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
(PERKI, 2015)
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2
sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis
STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1
mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam,

23
bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di
sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40
tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi
segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria
dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah
≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih
tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST
yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen
ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di
mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST
dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru
mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu
pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat
terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia. (PERKI,
2015)

Sadapan dengan Deviasi Segmen


Lokasi Iskemia atau Infark
ST
V1 – V2 Septal
V3 – V4 Anterior
V5 – V6, aVL, I Lateral
Lead II, III, aVF Inferior
V7 – V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel Kanan

Tabel 1. Perkiraan Lokasi Infark Berdasarkan Gambaran Elevasi Segmen ST

Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar


≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan
dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak
persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi
gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk
iskemia akut. (PERKI, 2015)

24
4. Pemeriksaan Enzim Jantung

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka


nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan
kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung,
hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang
dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal
napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner,
kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I
memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit,
kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I
mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T. (PERKI, 2015)
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin
I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA,
pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan
SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya
diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang
meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal
(menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat
(48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk
mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural.
(PERKI, 2015)
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium
sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point
of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif,
lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care testing sebagai
alat diagnostic rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di
laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara

25
point of care testing menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus
diulang di laboratorium sentral. (PERKI, 2015)

5. Pemeriksaan Laboratorium

Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus


dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah
sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.
Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA. (PERKI, 2015)

6. Pemeriksaan Foto Polos Dada

Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang


gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus
dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan
adalah untuk membuat diagnosis banding,identifikasi komplikasi dan
penyakit penyerta. (PERKI, 2015)

6. PENATALAKSANAAN
Tindakan Umum Dan Langkah Awal
Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera
menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan
selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada
pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan
angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau
marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat,
Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.
1. Tirah baring
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi
O2 arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi. Suplemen
oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama,
tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri.

26
3. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A).
4. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
1. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali
pada pasien STEMI yang direncanakan untuk reperfusi
menggunakan agen fibrinolitik atau
2. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan
untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik,
penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)
5. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri
dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika
nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang
setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena
diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis
NTG sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat
(ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti
6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.
(PERKI, 2015)

27
Gambar 7. Algoritma Evaluasi dan Tatalaksana Sindrom Koroner Akut

Tatalaksana STEMI

Prinsip tatalaksana STEMI adalah sebagai berikut:


1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10
menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
• Untuk fibrinolisis ≤30 menit
• Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang dengan
awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang
mampu melakukan IKP)
(PERKI, 2015)

1. TERAPI REPERFUSI
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi
segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga)
baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila

28
terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung,
bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan
perubahan EKG tampak tersendat. Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap
pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki
fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan
waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit
tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih
dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai
diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.
(PERKI, 2015)

2.1 Intervensi koroner perkutan primer (IKP)


IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan
dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120
menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien
dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila
diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang
dengan awitan gejala yang telah lama. Stenting lebih disarankan dibandingkan
angioplasti balon untuk IKP primer. Tidak disarankan untuk melakukan IKP
secara rutin pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan
gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum
diberikan fibrinolisis. (PERKI, 2015)
Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual
(dual antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap
pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal
stents (BMS). (PERKI, 2015)

2.1.1. Farmakoterapi periprosedural

Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet
ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera mungkin
sebelum angiografi, disertai dengan antikoagulan intravena. Aspirin dapat

29
dikonsumsi secara oral (160- 320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP yang
dapat digunakan antara lain:
1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua
kali sehari)
2. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis
loading 600 mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau
diindikasikontrakan.
(PERKI, 2015)

Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya


antara lain:
1. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP
Iib/IIIa rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan
bivarlirudin atau enoksaparin
2. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa) dapat
lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi
3. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer
4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang
direncanakan untuk IKP primer
(PERKI, 2015)

2.2 Terapi fibrinolitik

Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada


tempat – tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam
waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12
jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP
primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak
kontak medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak
awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis
perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi
balon lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.

30
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih
disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin
(streptokinase). Aspirin oral atau intravena harus diberikan. Clopidogrel
diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin. Antikoagulan
direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik
hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga
5 hari. Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:
1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak
terfraksi)
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan
dan infus selama 3 hari
3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena
secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian.
(PERKI, 2015)
Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan IKP
setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien. IKP “rescue”diindikasikan
segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50%
setelah 60 menit disertai tidak hilangnya nyeri dada. IKP emergency diindikasikan
untuk kasus dengan iskemia rekuren atau bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis
yang berhasil. Hal ini ditunjukkan oleh gambaran elevasi segmen ST kembali.
(PERKI, 2015)
Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi
diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya fibrinolisis
inisial. Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk melakukan
revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark) diindikasikan setelah
fibrinolisis yang berhasil. Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah
lisis yang berhasil adalah 3-24 jam. (PERKI, 2015)

31
Gambar 7. Langkah-langkah Reperfusi

2.3. Koterapi antikogulan

1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi


antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat inap, hingga
maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila lama terapi lebih dari 48 jam
karena risiko heparin-induced thrombocytopenia dengan terapi UFH
berkepanjangan.

32
2. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi
antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari
pemberian
3. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH atau fondaparinuks
dengan regimen dosis sama dengan pasien yang mendapat terapi fibrinolisis.
4. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan

Berikut ini merupakan rekomendasi dosis:


• Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai kebutuhan untuk
mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP IIb/IIIA telah diberikan
• Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam 8 jam,
tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir antara 8-12 jam, maka
ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg
• Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan dengan
aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/IIIa

5. Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan


digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya ditambahkan
antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa. (PERKI, 2015)

7. PROGNOSIS
a.Manifestasi Klinis
Selain dari berbagai pertanda klinis yang umum seperti usia lanjut, adanya
diabetes, gagal ginjal dan penyakit komorbid lain, prognosis pasien dapat
diperkirakan melalui presentasi klinis ketika pasien tiba. Adanya gejala saat
istirahat memberikan prognosis yang buruk.Selain itu, nyeri yang
berkelanjutan atau sering serta adanya takikardia, hipotensi dan gagal jantung
juga merupakan pertanda peningkatan risiko dan memerlukan diagnosis dan
penanganan segera. (PERKI, 2015)
b. Pemeriksaan EKG
Pertanda EKG. Hasil EKG awal dapat memperkirakan risiko awal. Pasien
dengan EKG yang normal saat tiba di RS memiliki prognosis yang lebih baik

33
dibandingkan mereka dengan inversi gelombang T. Selain itu, adanya depresi
segmen ST saat tiba, inversi gelombang T yang dalam di sadapan anterior,
depresi segmen ST ≥0,1 mV atau ≥0,05 mV di dua atau lebih sadapan yang
bersebelahan, dan elevasi segmen ST ≥0,1 mV di sadapan aVR memberikan
prognosis yang lebih buruk. (PERKI, 2015)

8. KOMPLIKASI
Usia lanjut, gejala Killip II-IV, penyakit 3 pembuluh, infark dinding anterior,
iskemia berkepanjangan atau berkurangnya aliran TIMI merupakan faktor risiko
terjadi komplikasi kardiak. Beberapa komplikasi mekanis dapat terjadi secara akut
dalam beberapa hari setelah STEMI, meskipun insidensinya belakangan
berkurang dengan meningkatnya pemberian terapi reperfusi yang segera dan
efektif.Semua komplikasi ini mengancam nyawa dan memerlukan deteksi dan
penanganan secepat mungkin. Pemeriksaan klinis berulang (minimal dua kali
sehari) dapat menangkap murmur jantung baru, yang menunjukkan regurgitasi
mitral atau defek septum ventrikel, yang kemudian perlu dikonfirmasi dengan
ekokardiografi segera. CABG secara umum perlu dilakukan apabila pantas saat
operasi pada pasien yang memerlukan operasi darurat untuk komplikasi mekanis
yang berat.
Komplikasi kardiak:
 Regurgitasi katup mitral
 Ruptur jantung
 Ruptur septum ventrikel
 Infark ventrikel kanan
 Perikarditis
 Aneurisma ventrikel kiri
 Trombus ventrikel kiri
(PERKI, 2015)

34
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. Guideline for The Management of ST-Elevation


Myocardial Infarction.American College of Cardiology. 2013; 61:87.
El-Menyar et al. Killip classification in patients with acute coronary syndrome:
insight from a multicenter registry. American Journal of Emergency Medicine.
2012.
European Society of Cardiology. Guidelines for The Management of Acute
Myocardial Infarction in Patients Presenting with ST-Segment Elevation.
European Heart Journal. 2012.
Irmalita, Juzar DA, Andrianto, Setianto By, Tobing DPL, Firman D, et al.
Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. 3rd ed. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2015
Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease. 6th Ed. China: Wolters Kluwer
Health. 2016. p:161-89
National Institute for Health and Clinical Excellence. NICE clinical guideline 126.
London: National Institute for Health and Clinical Excellence. The
management of stable angina. 2011. Dapat diakses melalui:
http://guidance.nice.org.uk/CG126.

35

Anda mungkin juga menyukai