dari penyakit genetik yang menyebabkan degenerasi dari sel anterior horn dan
menyebabkan atrofi & kelemahan dari otot, dengan mayoritas dari kasus SMA
menyebabkan mortalitas. Spinal muscular atrophy paling sering disebabkan oleh
kelainan autosomal resesif yang menyebabkan adanya mutasi atau delesi dari gen
5q13 survival of motor neuron (SMN1), yang merupakan 95% dari penyebab
SMA. Spinal muscular atrophy memiliki tingkat severitas yang sangat bervariasi,
dan gejala dari SMA kemudian dikelompokkan menjadi 4 tipe berdasarkan usia
onset dan fungsi motorik yang terdampak pada SMA.4–6
4. Thomas W Prior, PhD, FACMG, Meganne E Leach, MSN, PNP, and Erika
Finanger M.
Spinal Muscular Atrophy. 2020;
5. Kolb SJ, Kissel JT. Spinal Muscular Atrophy. Neurol Clin. 2015
Nov;33(4):831–46.
6. Schorling DC, Pechmann A, Kirschner J. Advances in Treatment of Spinal
Muscular
Atrophy - New Phenotypes, New Challenges, New Implications for Care. J
Neuromuscul Dis. 2020;7(1):1–13.
1. Burr P, Reddivari AKR. Spinal muscle atrophy. StatPearls Publishing [Internet]. 2021
[cited 2021 Sep 21]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ books/ NBK560687/
Etiologi
Spinal muscular atrophy merupakan penyakit genetik neurodegeneratif
dengan angka insidensi berkisar antara 1:6000 sampai 1:10000 dan mereka
dengan karier mutasi SMN1 berkisar antara 1/40 sampai dengan 1/60 dari
populasi. Spinal muscular atrophy merupakan penyakit genetik dengan mortalitas
tertinggi pada anak-anak. 3,7
3. Arnold WD, Kassar D, Kissel JT. Spinal muscular atrophy: diagnosis and
management in a new therapeutic era. Muscle Nerve. 2015 Feb;51(2):157–67.
7. Adele D’Amico,1 Eugenio Mercuri,corresponding author2 Francesco D Tiziano
3 and Enrico Bertini. Spinal Muscular Atrophy. StatPearls Publ. 2021;
1. Pierce Burr; Anil Kumar Reddy Reddivari. Spinal Muscular Atrophy. StatPearls
Publ [Internet]. 2022; Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560687/
2. Ogino S, Wilson RB. Spinal muscular atrophy: molecular genetics and
diagnostics. Expert Rev Mol Diagn. 2004 Jan;4(1):15–29.
3. Arnold WD, Kassar D, Kissel JT. Spinal muscular atrophy: diagnosis and
management in a new therapeutic era. Muscle Nerve. 2015 Feb;51(2):157–67.
8. Shababi M, Lorson CL, Rudnik-Schöneborn SS. Spinal muscular atrophy: A
motor neuron disorder or a multi-organ disease? J Anat. 2014;224(1):15–28.
9. Jablonka S, Rossoll W, Schrank B, Sendtner M. The role of SMN in spinal
muscular atrophy. J Neurol. 2000 Mar;247 Suppl 1:I37-42.
10. Hahnen E, Forkert R, Marke C, Rudnik-Schöneborn S, Schönling J, Zerres K, et
al. Molecular analysis of candidate genes on chromosome 5q13 in autosomal recessive
spinal muscular atrophy: evidence of homozygous deletions of the SMN gene in
unaffected individuals. Hum Mol Genet. 1995 Oct;4(10):1927–33.
3. Arnold WD, Kassar D, Kissel JT. Spinal muscular atrophy: diagnosis and
management in a new therapeutic era. Muscle Nerve. 2015 Feb;51(2):157–67.
5. Kolb SJ, Kissel JT. Spinal Muscular Atrophy. Neurol Clin. 2015 Nov;33(4):831–
46.
7. Adele D’Amico,1 Eugenio Mercuri,corresponding author2 Francesco D Tiziano
3 and Enrico Bertini. Spinal Muscular Atrophy. StatPearls Publ. 2021;
0 Hanya beberapa
Prenatal Gagal nafas
minggu
1
0-6 bulan Tidak dapat duduk sendiri < 1 tahun
2 < 18 Tidak dapat berdiri, dapat duduk
> 25 tahun
bulan sendiri
3 > 18 Gangguan dalam berdiri dan berjalan
Dewasa
bulan saat dewasa
4
30 tahun Dapat berdiri tanpa bantuan Dewasa
Tabel 2.1. Tipe-tipe SMA
2.7. Diagnosis
Diagnosis molecular merupakan cara diagnosis standar pada SMA.
Dengan tingginya efisiensi dari uji molekular dan tingginya frekuensi SMA di
bayi hipotonik, maka perlu dikonsiderasikan pengecekan molecular pada kondisi
bayi tersebut. Biopsi otot dan electrodiagnostic testing merupakan prosedur
standar untuk evaluasi, tetapi sejak adanya uji molecular, pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut bersama dengan investigasi diagnosis lain tidak terlalu
penting.1
Pasien dengan SMA memiliki homozygous loss of function dari kedua
cetakan SMN1, sehingga uji genetik untuk melihat delesi tersebut akan
mengonfirmasi 95% pasien dengan 21 penyakit tersebut. Pasien lain dengan
SMN-related SMA akan berbentuk compound heterozygotes dengan delesi SMN1
tunggal, serta mutasi frameshift, nonsense, atau missense di cetakan SMN1
lainnya. Oleh karena itu, jika delesi homozygous SMN1 tidak tergambarkan pada
pasien dengan suspek SMA, maka dosage analysis dari SMN1untuk mencari
delesi dari salah satu SMN1 serta pengurutan sisa gen SMN1 untuk mencari
mutasi, perlu dilakukan. Delesi homozygous dari SMN1 100% spesifik untuk
diagnosis SMA, dan derajat keparahan penyakit bergantung pada SMN2.
Kebanyakan individu yang sehat akan memiliki 0-3 cetakan SMN2, tetapi 10%
individu sehat tidak memilikinya. Oleh karena SMA berhubungan dengan
rendahnya protein SMN, bukan hilang total, maka tidak ada pasien yang
dilaporkan kehilangan kedua gen SMN1 dan SMN2. Sebuah masalah pada
diagnosis molecular muncul karena adanya populasi prenatal dan presimtomatik.
Tingkat keparahan SMA, tidak semata-mata bergantung pada protein SMN2.
Maka dari itu, kounseling genetik perlu diberikan pada pasien dan keluarga
terutama pada populasi presimtomatik. 3,11
Uji carrier bisa dilakukan. Frekuensi carrier pada suatu populasi adalah
1:47 dan 1:72 di populasi lain. Dosage testing SMN1 akan mengidentifikasi 95%
carrier, tetapi sisa 5% dari carrier bisa mengalami delesi dari 1 kromosom pada
gen SMN1 dengan duplikasi SMN1 di kromosom lain, atau delesi pada 1
kromosom dengan mutase SMN1 pada kromosom lainnya. Situasi seperti ini tidak
akan teridentifikasi pada dosage testing, sehingga perlu dilakukan kounseling
genetik.2,3
2.8. Diagnosis Banding Pada bayi dengan hipotonia dan kelemahan, beberapa
diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan antara lain:4 • Miopati kongenital •
Distropi myotonik congenital • Sindrom myasthenic kongenital • Miopati metabolik •
Kelainan kongenital dari neuron motorik dan saraf perifer (congenital hypomyelinating
neuropathy) • Kelainan non-neuromuskular speerti Prader-Willi syndrome, ensefalopati
iskemik akut hipoksia, sepsis neonatal, dan kondisi metabolik atau diskinetik Beberapa
penyakit kelemahan otot yang sering dibandingkan dengan SMA adalah poliomyelitis dan
Duchene Motor Dystrophy dengan perbandingan sebagai berikut:
TATA LAKSANA Penanganan pasien SMA selama ini sebagian besar untuk
tujuan suportif dan cenderung ke arah paliatif, terutama pada SMA tipe 0, I, dan II.
Kelemahan otot akan menimbulkan gangguan ambulasi yang kemudian mengakibatkan
inaktivitas dan deconditioning. Latihan dalam bentuk fisioterapi, terapi okupasi, dan
terapi wicara dapat mengurangi efek samping inaktivitas. Kombinasi latihan dapat
memperbaiki performa fungsi serta fleksibilitas, memperkuat otot, dan mencegah
kontraktur pada persendian. Terapi ini juga membantu perkembangan motorik anak
seperti kontrol kepala dan tubuh, merangkak, berguling, dan untuk menjaga postur duduk
atau berdiri yang baik. Latihan bertahap sesuai toleransi dan fungsi yang dimiliki
pasien.13,14 Pada pasien SMA fenotip ringan, insiden jatuh dan risiko fraktur akibat
kelelahan dan abnormalitas gait menjadi perhatian, sehingga perlu disertakan dalam
rencana tata laksana pasien.9 Skoliosis juga cukup umum pada pasien SMA tipe II dan
III. Gangguan postur dan motorik ini dapat dibantu dengan alat bantu mobilisasi, brace,
dan fisioterapi. Penggunaan ortosis seperti standing frame dapat digunakan pada pasien
yang masih mampu menahan beban; kursi roda dapat membantu mobilisasi pasien yang
tidak mampu berdiri.6 Komplikasi respiratorik dan gastrointestinal sering menjadi
penyebab morbiditas dan mortalitas pada SMA. Berbagai tindakan seperti latihan batuk
efektif, chest physiotherapy, drainase postural, dan suction oral dapat dilakukan untuk
manajemen sekresi. Tindakan preventif lain adalah imunisasi rutin terhadap bakteri dan
virus penyebab pneumonia. Penurunan fungsi respirasi ini dapat terjadi hingga
memerlukan bantuan ventilasi baik non-invasif maupun invasif, seperti ventilasi mekanik
dengan intubasi atau trakeostomi.4 Tata laksana suportif gangguan fungsi gastrointestinal
dapat dengan meminimalkan kesulitan makan dan menelan. Hal yang dapat dilakukan
adalah modifikasi konsistensi makanan menjadi semisolid untuk kompensasi fungsi
mengunyah yang buruk dan mencegah aspirasi. Penggunaan selang nasogastric atau
gastrostomy tube dapat dipertimbangkan jika asupan oral tidak adekuat atau tidak aman.6
Antasida dan obat inhibisi sekresi asam lambung dapat mengurangi refluks
gastroesofageal.4 Deteksi dini SMA dalam newborn screening masih menjadi kontroversi
medis.2,6,10 SMA tipe 1 memiliki jendela intervensi terapeutik yang pendek karena
hilangnya neuron motorik akibat denervasi terjadi dalam rentang 6 bulan sejak onset
gejala.10 Oleh karena itu, manfaat terbaik dari terapi definitif SMA didapatkan jika dapat
didiagnosis lebih awal dan diberikan terapi secepatnya sebelum terjadi kehilangan neuron
motorik yang semakin banyak. Walaupun demikian, deteksi dini menjadi kontroversi
karena hingga saat ini pun terapi definitif yang efektif masih dalam perkembangan. Pada
akhir tahun 2016, Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat menyetujui
penggunaan nusinersen intratekal, sebagai obat pertama yang dibuat secara spesifik untuk
pasien SMA dengan cara meningkatkan jumlah protein SMN.2,3 Nusinersen adalah
antisense oligonucleotide (ASO) yang didesain untuk menghambat ISS-N1, sehingga
mengubah splicing SMN2 untuk mengikutsertakan ekson 7, memproduksi transkripsi
penuh dan produksi kuantitas protein SMN lebih banyak. Data klinis menunjukkan bahwa
nusinersen efektif memperlambat namun tidak menghentikan progresi penyakit
SMA.2,9,10 FDA menyetujui penggunaan nusinersen untuk seluruh tipe SMA, walaupun
dari penelitian klinis manfaat hanya tampak pada tipe I.2 Terapi definitif untuk SMA late-
onset dan fenotip yang lebih ringan masih dalam tahap penelitian.3,4,10 Pada Mei 2019,
FDA menyetujui penggunaan terapi definitif pengganti gen, yaitu onasemnogene
abeparvovec untuk SMA.15,16 Onasemnogene abeparvovec menggunakan perantara
kapsid adeno-associated virus 9 untuk menghantarkan gen SMN1 pada neuron motorik,
otot, dan jaringan perifer lain melalu injeksi intravena.7,10 Penelitian klinis menunjukkan
adanya peningkatan fungsi motorik dan peningkatan angka harapan hidup, serta
penurunan kebutuhan ventilasi mekanik pada penggunaan terapi pengganti gen ini.15
Terapi ini disetujui oleh FDA bagi SMA tipe I pada anak usia di bawah 2 tahun.
Penggunaan onasemnogene abeparvovec bagi SMA tipe II saat ini masih dalam
penelitian.3
Prognosis penyakit semakin buruk seiring dengan onset gejala yang makin awal.
Pasien dengan onset gejala kurang dari enam bulan mungkin tidak dapat duduk secara
mandiri dan meninggal sebelum usia dua tahun karena gangguan pernapasan. Prognosis
ini berbanding terbalik dengan SMA onset dewasa (tipe IV) yang mengalami kelemahan
otot, namun tetap dapat ambulasi serta memiliki tingkat harapan hidup normal. 6 Hingga
saat ini, terapi disease-modifying seperti agen neuroprotektif, preservasi otot, dan terapi
pengganti genetik SMN1 terus dikembangkan. 2,3,7 Terapi ini diharapkan dapat
memperlambat bahkan mengubah perjalanan penyakit serta mengurangi morbiditas dan
mortalitas akibat SMA.