Anda di halaman 1dari 12

Spinal Muscular Atrophy atau biasa disingkat SMA merupakan kumpulan

dari penyakit genetik yang menyebabkan degenerasi dari sel anterior horn dan
menyebabkan atrofi & kelemahan dari otot, dengan mayoritas dari kasus SMA
menyebabkan mortalitas. Spinal muscular atrophy paling sering disebabkan oleh
kelainan autosomal resesif yang menyebabkan adanya mutasi atau delesi dari gen
5q13 survival of motor neuron (SMN1), yang merupakan 95% dari penyebab
SMA. Spinal muscular atrophy memiliki tingkat severitas yang sangat bervariasi,
dan gejala dari SMA kemudian dikelompokkan menjadi 4 tipe berdasarkan usia
onset dan fungsi motorik yang terdampak pada SMA.4–6

4. Thomas W Prior, PhD, FACMG, Meganne E Leach, MSN, PNP, and Erika
Finanger M.
Spinal Muscular Atrophy. 2020;
5. Kolb SJ, Kissel JT. Spinal Muscular Atrophy. Neurol Clin. 2015
Nov;33(4):831–46.
6. Schorling DC, Pechmann A, Kirschner J. Advances in Treatment of Spinal
Muscular
Atrophy - New Phenotypes, New Challenges, New Implications for Care. J
Neuromuscul Dis. 2020;7(1):1–13.

Spinal muscular atrophy (SMA) adalah kelainan autosomal resesif yang


diturunkan secara genetik dengan berbagai fenotip yang memiliki manifestasi
neuromuskular berupa kelemahan otot progresif dan penurunan tonus otot yang
berhubungan dengan destruksi dari unit motorik alfa.1

1. Burr P, Reddivari AKR. Spinal muscle atrophy. StatPearls Publishing [Internet]. 2021
[cited 2021 Sep 21]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ books/ NBK560687/

Etiologi
Spinal muscular atrophy merupakan penyakit genetik neurodegeneratif
dengan angka insidensi berkisar antara 1:6000 sampai 1:10000 dan mereka
dengan karier mutasi SMN1 berkisar antara 1/40 sampai dengan 1/60 dari
populasi. Spinal muscular atrophy merupakan penyakit genetik dengan mortalitas
tertinggi pada anak-anak. 3,7
3. Arnold WD, Kassar D, Kissel JT. Spinal muscular atrophy: diagnosis and
management in a new therapeutic era. Muscle Nerve. 2015 Feb;51(2):157–67.
7. Adele D’Amico,1 Eugenio Mercuri,corresponding author2 Francesco D Tiziano
3 and Enrico Bertini. Spinal Muscular Atrophy. StatPearls Publ. 2021;

. Etiologi Pada 95% kasus, SMA terjadi karena adanya homozygous


deletion dari gen SMN1 di kromosom 5q13. Namun, hal ini tidak menjelaskan
adanya varietas fenotip penyakit yang dihasilkan. Ada dua tipe SMN, yaitu versi
telemoeric (SMN1) dan centromeric (SMN2). Transkripsi SMN1 memproduksi
mRNA fungsi penuh yang bisa membuat protein SMN. Sedangkan transkripsi
SMN2 hanya menghasilkan mRNA fungsional sebanyak 10-15% sehingga protein
SMN yang dikodekan lebih sedikit. SMN2 berbeda dengan SMN1 dimana terjadi
substitusi C-T di ekson 7 yang mempromosikan splicing saat transkripsi sehingga
ekson 7 tersingkirkan. Pada pasien SMA, SMN1 berjumlah sedikit sehingga
produksi protein SMN bergantung pada SMN2 untuk alpha motor neuron.
Sehingga, jumlah SMN2 berhubungan dengan fenotipe derajat keparahan SMA.1
1. Pierce Burr; Anil Kumar Reddy Reddivari. Spinal Muscular Atrophy. StatPearls
Publ [Internet]. 2022; Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560687/

Spinal muscular atrophy merupakan penyakit neurodegeneratif monogenik


yang dikarakterisasikan dengan hilangnya alpha motor neuron yang menghasilkan
atrofi otot dan kelemahan. 95% dari kasus SMA dihasilkan dari delesi dari
survival motor neuron 1 (SMN1). Gen SMN1 memberikan kode terhadap protein
survival motor neuron (SMN). Abnormalitas dari gen SMN1 karena adanya delesi
atau mutasi akan menghasilkan kurangnya ekspresi dari fungsi protein SMN.
Mutasi gen lain juga bisa menghasilkan gambaran SMA.8
Gen SMN1 merupakan bentuk telomer terdiri dari 9 ekson sedangkan
SMN2 merupakan gen centromeric homologus. Kedua gen ini terletak pada
daerah genomik yang tidak stabil pada kormosom 5. Gen SMN1 dan SMN2
berbeda pada 5 nukleotida, dimana salah satunya adalah lokasi regio koding dari
protein SMN. Nukleotida sitosin C pada ekson 7 di SMN1 digantikan dengan
nukleotida timin (T) di gen SMN2 , dan regio yang dikodekan ekson 7 merupakan
kunci utama dari fungsi protein, karena bisa menyebabkan splicing mRNA.
Pada SMN 1 splicing menghasilkan mRNA full-length dengan fungsi
penuh. Sedangkan pada SMN2, ekson 7 terlompati pada produksi mRNA. Dari
situ, terbentuklah protein SMN yang tidak stabil, yaitu SMNΔ7. Protein ini akan
secara mudah dan cepat terdegradasi oleh sel. Gen SMN2 tidak memberikan
relevansi signifikan pada kelompok individu yang sehat, tetapi memiliki
signifikansi pada pasien SMA, karena gen tersebut yang bertanggung jawab atas
produksi protein SMN tersebut. 10% dari protein SMN yang diekspresikan lewat
gen SMN2 bersifat sepenuhnya aktif. Oleh karena itu, jumlah SMN2 yang tinggi
akan mengkompensasi rendahnya produksi protein SMN dan akan mengurangi
tingkat keparahan dari SMA. Pasien SMA memiliki setidaknya satu gen SMN2
dimana varietas dari cetakan gen tersebut akan menghasilkan banyak tipe SMA.
Fenotipe SMA yang ringan sering diasosiasikan dengan jumlah SMN2 yang lebih
banyak. Namun, banyak faktor lain yang berkontribusi pada keparahan penyakit,
bukan hanya dari jumlah SMN2 saja. Beberapa faktor lain yang menjadi alasan
varietas fenotip penyakit SMA yakni saat pasien memiliki jumlah cetakan SMN2
seperti plastin-3 dan neurocalcin delta. Hilangnya SMN protein sepenuhnya
merupakan kasus yang letal pada pasien.1,2,9,10
Gambar 2.1. Patogenesis SMA3

Protein SMN merupakan sebuah polipeptida dengan 294 asam amino


dengan 32kDa. Protein ini diekspresikan pada sitoplasma dan nukelus sel
eukaryotic. Protein SMA ini berguna untuk beberapa aktvitas fisiologis seperti
interaksi dengan small nuclear ribonucleoproteins (snRNP) dan membentuk
kompleks multiprotein yang mengintervensi transkripsi, translasi, dan
metabolisme mRNA. Protein SMN yang fungsional akan bergabung menjadi
kompleks SMN, sementara protein yang tidak stabil sulit untuk membentuk
kompleks tersebut. Oleh karena itu, pembentukan kompleks SMA yang fungsional
pun akan berkurang. Konsekuensi dari hal tersebut adalah banyak defek pada jalur
seluler seperti proses splicing. Mekanisme molekular ini digambarkan sebagai
penyebab dari penyakit SMA. Protein SMN juga memiliki peranan penting dalam
kehidupan lower motor neurons dari tulang belakang terutama pada masa
perkembangan awal. Jumlah protein SMN di tulang belakang manusia berkurang
mulai dari periode fetal sampai 3 bulan setelah lahir. Berkurangnya protein SMN
akan mengarah pada kematian motor neuron dan 19 menyebabkan disfungsi
motor. Protein SMN merupakan elemen yang penting dalam transport mRNA di
neuron. Jumlah protein yang sedikit akan mengganggu transport mRNA dan
menjadi benih dari berkembangnya SMA.8 Kurangnya jumlah protein SMN juga
memerikan pengaruh pada organ seperti jantung, pankreas, dan hati. Oleh karena
itu, SMA diperkirakan sebagai salah satu penyakit yang bersifat multisistemik.1

1. Pierce Burr; Anil Kumar Reddy Reddivari. Spinal Muscular Atrophy. StatPearls
Publ [Internet]. 2022; Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560687/
2. Ogino S, Wilson RB. Spinal muscular atrophy: molecular genetics and
diagnostics. Expert Rev Mol Diagn. 2004 Jan;4(1):15–29.
3. Arnold WD, Kassar D, Kissel JT. Spinal muscular atrophy: diagnosis and
management in a new therapeutic era. Muscle Nerve. 2015 Feb;51(2):157–67.
8. Shababi M, Lorson CL, Rudnik-Schöneborn SS. Spinal muscular atrophy: A
motor neuron disorder or a multi-organ disease? J Anat. 2014;224(1):15–28.
9. Jablonka S, Rossoll W, Schrank B, Sendtner M. The role of SMN in spinal
muscular atrophy. J Neurol. 2000 Mar;247 Suppl 1:I37-42.
10. Hahnen E, Forkert R, Marke C, Rudnik-Schöneborn S, Schönling J, Zerres K, et
al. Molecular analysis of candidate genes on chromosome 5q13 in autosomal recessive
spinal muscular atrophy: evidence of homozygous deletions of the SMN gene in
unaffected individuals. Hum Mol Genet. 1995 Oct;4(10):1927–33.

Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Spinal muscular atrophy dapat dibagi


menjadi 5 tipe berdasarkan usia saat terjadi gejala dan otot-otot yang
terdampak:3,5,7

• Spinal muscular atrophy tipe 0 merupakan SMA yang ada pada


neoenatus dengan kelemahan otot dan hipotonia dengan riwayat berkurangnya
gerakan janin. Pada PF, akan ditemukan arefleksia, diplegia wajah, atrial septal
defects, dan kontraktur pada sendi. Kegagalan nafas menjadi masalah utama pada
tipe 0, dan biasanya bayi tidak dapat hidup di atas usia 6 bulan.
• Spinal muscular atrophy tipe 1 atau disebut juga sebagai Werdnig-
Hoffman disease merupakan tipe SMA yang paling berbahaya dan paling sering
(50% dari seluruh kasus SMA). Mereka dengan SMA tipe 1 akan mulai
menunjukkan gejala pada usia <6 bulan, dengan karakteristik tidak bisa duduk
sendiri, hipotonia, tidak dapat mengontrol gerakan kepala, dan refleks tendon
negatif. Hipotonia akan membentuk postur kaki kodok saat berbaring. Selain itu
dikarenakan ada kelemahan otot interkostal, dada akan membentuk “bell-shaped”
dan akan ada pola nafas yang paradoksal yang disebut “belly-breathing”. Otot
lidah, wajah, dan faringeal juga akan melemah, menyebabkan gangguan menelan,
fasikulasi lidah, resiko aspirasi, failure to thrive, dan pada akhirnya kegagalan
nafas dalam 2 tahun pertama usianya. SMA tipe 1 memliki 1-2 SMN2. Spinal
muscular atrophy tipe 2 akan mulai menunjukkan gejala pada usia 7-18 bulan.
Pasien dapat duduk tanpa bantuan dan beberapa bisa berdiri sendiri, namun tidak
dapat berjalan sendiri. Refleks tendon dalam negatif, dan sering ditemukan tremor
ekstremitas atas, kontraktur sendi-sendi, dan kifoskoliosis pada usia <1 tahun.
Gejala lain yang dapat ditemukan antara lain kelemahan menelan, kelemahan
mengunyah, dan kegagalan nafas yang dikarenakan kelemahan otot interkostal
dan skoliosis. SMA tipe 2 merupakan 20% dari seluruh kasus SMA.
• Spinal muscular atrophy tipe 3 mulai menunjukkan gejala kelemahan
otot proksimal pada masa kanak-kanak. Pasien dengan SMA tipe 3 biasanya dapat
melakukan seluruh tingkat motorik mayor, termasuk berjalan sendiri. Beberrapa
pasien pada tipe 3 memerlukan bantuan kursi roda, namun ada juga yang dapat
hidup seperti biasanya dengan kelemahan otot yang minor. SMA tipe 3 disebut
juga sebagai Kugelberg-Welander disease dengan frekuensi 30% dari seluruh
SMA. Pada tipe 3 tidak terdapat kelemaan otot respirtori yang signifikan dalam
pembentukan kegagalan nafas. Tipe 3 ini dapat dibagi menjadi tipe 3a (pada
mereka dengan usia onset 18 bulan – 3 tahun) dan tipe 3b (usia onset 3-30 tahun).
• Spinal muscular atrophy tipe 4 ada pada pasien dengan onset >18 tahun
dan gejala yang ringan, yaitu mereka yang bisa berjalan dengan baik pada masa
dewasa dan tanpa gangguan respiratori ataupun nutrisi. SMA tipe 4 memiliki 3-5
SMN2.

3. Arnold WD, Kassar D, Kissel JT. Spinal muscular atrophy: diagnosis and
management in a new therapeutic era. Muscle Nerve. 2015 Feb;51(2):157–67.
5. Kolb SJ, Kissel JT. Spinal Muscular Atrophy. Neurol Clin. 2015 Nov;33(4):831–
46.
7. Adele D’Amico,1 Eugenio Mercuri,corresponding author2 Francesco D Tiziano
3 and Enrico Bertini. Spinal Muscular Atrophy. StatPearls Publ. 2021;

Tipe Onset Kegagalan Fungsi Otot Angka Harapan Hidup

0 Hanya beberapa
Prenatal Gagal nafas
minggu
1
0-6 bulan Tidak dapat duduk sendiri < 1 tahun
2 < 18 Tidak dapat berdiri, dapat duduk
> 25 tahun
bulan sendiri
3 > 18 Gangguan dalam berdiri dan berjalan
Dewasa
bulan saat dewasa
4
30 tahun Dapat berdiri tanpa bantuan Dewasa
Tabel 2.1. Tipe-tipe SMA
2.7. Diagnosis
Diagnosis molecular merupakan cara diagnosis standar pada SMA.
Dengan tingginya efisiensi dari uji molekular dan tingginya frekuensi SMA di
bayi hipotonik, maka perlu dikonsiderasikan pengecekan molecular pada kondisi
bayi tersebut. Biopsi otot dan electrodiagnostic testing merupakan prosedur
standar untuk evaluasi, tetapi sejak adanya uji molecular, pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut bersama dengan investigasi diagnosis lain tidak terlalu
penting.1
Pasien dengan SMA memiliki homozygous loss of function dari kedua
cetakan SMN1, sehingga uji genetik untuk melihat delesi tersebut akan
mengonfirmasi 95% pasien dengan 21 penyakit tersebut. Pasien lain dengan
SMN-related SMA akan berbentuk compound heterozygotes dengan delesi SMN1
tunggal, serta mutasi frameshift, nonsense, atau missense di cetakan SMN1
lainnya. Oleh karena itu, jika delesi homozygous SMN1 tidak tergambarkan pada
pasien dengan suspek SMA, maka dosage analysis dari SMN1untuk mencari
delesi dari salah satu SMN1 serta pengurutan sisa gen SMN1 untuk mencari
mutasi, perlu dilakukan. Delesi homozygous dari SMN1 100% spesifik untuk
diagnosis SMA, dan derajat keparahan penyakit bergantung pada SMN2.
Kebanyakan individu yang sehat akan memiliki 0-3 cetakan SMN2, tetapi 10%
individu sehat tidak memilikinya. Oleh karena SMA berhubungan dengan
rendahnya protein SMN, bukan hilang total, maka tidak ada pasien yang
dilaporkan kehilangan kedua gen SMN1 dan SMN2. Sebuah masalah pada
diagnosis molecular muncul karena adanya populasi prenatal dan presimtomatik.
Tingkat keparahan SMA, tidak semata-mata bergantung pada protein SMN2.
Maka dari itu, kounseling genetik perlu diberikan pada pasien dan keluarga
terutama pada populasi presimtomatik. 3,11
Uji carrier bisa dilakukan. Frekuensi carrier pada suatu populasi adalah
1:47 dan 1:72 di populasi lain. Dosage testing SMN1 akan mengidentifikasi 95%
carrier, tetapi sisa 5% dari carrier bisa mengalami delesi dari 1 kromosom pada
gen SMN1 dengan duplikasi SMN1 di kromosom lain, atau delesi pada 1
kromosom dengan mutase SMN1 pada kromosom lainnya. Situasi seperti ini tidak
akan teridentifikasi pada dosage testing, sehingga perlu dilakukan kounseling
genetik.2,3

Beberapa pemeriksaan diagnostik molekular adalah sebagai berikut:2


 Linkage Analysis Lokasi dari regio kritikal SMA membuat pemeriksaan
linkage analysis menjadi memungkinkan. Linkage analysis merupakan
pemeriksaan genetik pertama untuk SMA. Dari sentromer ke telomer,
marker yang telah ditemukan adalah D5S679, D5S680, D5S125, D5S681,
D5S435, D5S629, D5S823, D5S1556/D5F150 (intragenic/SMN1
promoter region), D5S149 (intragenic/SMN1 promoter region), D5S557,
D5S610, D5S351, 5´-MAP1B, 3´-MAP1B, D5S112, D5S127 dan D5S539.
 PCR Single-Strand Conformation Polymorphism Pemeriksaan ini
digunakan untuk mendeteksi delesi homozygous dari SMN1 di ekson 7
dan ekson 8. Namun PCR-SSCP ini biasa digunakan untuk keperluan
penelitian.
 PCR-RFLP Pemeriksaan ini merupakan metode yang paling umum untuk
mengonfirmasi diagnosis SMA dengan cara mendeteksi delesi
homozygous SMN1.
 Quantitative SMN Gene Dosage Analysis Dikarenakan PCR-RFLP tidak
bisa membedakan carriers dengan satu cetak SMN1 dari individu nornal
dengan 2 cetakan SMN1, suatu pemeriksaan kuantitatif untuk mendeteksi
SMA carriers.
 SMN1 Small Intragenic Mutation Analysis Pemeriksaan ini tidak
dilakukan secara rutin karena proses DNA sequencing perlu dilakukan
sehingga terlalu intensif.
 Prenatal & Preimplantation Genetic Testing Pemeriksaan prenatal untuk
mendeteksi hilangnya SMN1 homozygous bisa dilakukan pada chorionic
villous sampling (CVS) atau cairan amnitoik.
Di Indonesia sendiri, pemeriksaan genetik untuk mendiagnosa SMA sudah
bisa dilakukan di beberapa daerah seperti Jogja, Jakarta, dan Bandung.
Pemeriksaan MLPA (Multiple Ligation Probe Amplification) bisa dilakukan
untuk mendeteksi delesi SMN1, tetapi jarang digunakan karena pertimbangan
harga yang cukup mahal. Untuk mendiagnosa SMA di Indonesia, lebih sering
digunakan pemeriksaan PCR untuk mendeteksi delesi gen SMN1 karena
harganya yang lebih terjangkau. Pemeriksaan quantitative PCR (qPCR)
menggunakan SYBR Green Detection membantu untuk menentukan jumlah
gen SMN2 sehingga tingkat keparahan manifestasi klinis dan terapi
kedepannya bisa ditentukan. Sebelum adanya diagnostik molecular, beberapa
studi diagnosis lain untuk mendemonstrasikan adanya denervasi seperti
elektrodiagnositk dan biopsi otot merupakan alat-alat diagnosis SMA yang
penting. Elektrodiagnostik ini sekarang hanya dilakukan pada pasien atipikal
atau pasien dengan ahasil uji delesi SMN1 dan mutasi SMN1 negatif. Biopsi
otot sekarang sudah tidak lagi terindikasi sebagai fitur dari denervasi. Dengan
menimbang frekuensi SMA dan efisiensi uji genetik membaut pemeriksaan
yang tidak diperlukan dan invasif perlu dihindari. Elektrodiagnostik
menunjukan fitur-fitur hilangnya motor neuron yang konsisten dengan
hilangnya fungsi saraf motor. Pada penyakit dengan late onset dimana tunkai
dengan kelemahan membuat banyak diagnosis banding, uji elektrodiagnostik
sangat membantu. Pemeriksaan electromyogram (EMG) akan memberikan
gambaran hilangnya beberapa saraf motor atau aksonal yaitu melalui
denervasi aktif dan kompensasi reinervasi, serta aksi potensial unit motor.
Aktivitas spontan abnormal dalam bentuk fibrilasi biasanya juga menjadi
salah satu tanda dari gambaran SMA. Evaluasi dari EMG volunter akan
menunjukan drop out dan kompensasi pembesaran aksi potensial dari unit
motor/ motor unit action potentials (MUAPs). Pada kasus SMA yang berat,
MUAPs akan memberikan gambaran penurunan amplitude dan durasi.3

Pemeriksaan elektrofisiologi seperti electromyogram (EMG), compound muscle


action potential (CMAP), dan motor unit number estimation (MUNE) dapat membantu
memberikan korelasi dengan derajat keparahan klinis, status fungsional. 12
Studi konduksi saraf dapat memberikan gambaran chronic motor axonal loss
dimana sensory nerve action potential tetap terjaga. Amplitude CMAP akan dipengaruhi
dengan velositas konduksi yang tersisa. Oleh karena itu, CMAP dapat menggambarkan
keparahan klinis SMA dan fungsinya. Biasanya, pada kasus SMA ringan, CMAP akan
memberikan gambaran yang normal. Oleh karena itu, CMAP biasanya digunakan sebagai
biomarker dari prognosis. MUNE merupakan estimasi dari jumlah neuron motorik atau
akson yang mempersarafi otot. Populasi SMA memberikan gambaran kehilangan unit
motor yang sama. Selain dari kehilangan unit motor, adanya kegagalan transmisi
neuromuskular juga terlihat dari uji MUNE. Namun, perubahan ini belum diketahui
apakah berhubungan dengan defek primer di transmisi neuromuscular junction atau efek
sekunder dari dervesi dan reinervasi. Uji Creatine Kinase biasanya normal pada SMA tipe
1. Sedangkan, pada SMA tipe lain, level creatine kinase bisa meningkat. 2,12
Pemeriksaan biopsi otot sekarang tidak lagi digunakan untuk mendiagnosis SMA.
Pada pasien dengan hasil negative pada uji delesi atau mutase SMN1, manifestasi
denervasi harus diuji dengan pengecekan yang tidak invasif seperti EMG. Biopsi otot
tidak bisa membedakan subtipe SMA. Pada bayi dengan SMA tipe 1 dan 2, biopsy otot
bisa menunjukkan serat yang sudah atrofi diantara yang normal dan hipertrofi. Serat yang
atrofi ini menunjukkan SMA tipe 1 dan 2, dimana kedua tipe tersebut biasanya
menunjukkan lebih banyak bentuk bulat dibandingkan bersudut. Serat-serat yang
hipertrofi biasanya ada pada tipe 1. Pada kasus SMA tipe 2 dan 3 yang ringan, biasanya
terbentuk gambaran serat yang atrofi dan seragam diantara serat otot yang tidak atrofi.
Beberapa penemuan klasik adalah sebagai berikut: 1
- Degenerasi dan hilangnya spinal motor neurons dengan neurogenic pattern of muscle
morphology
- Neuronal chromatolysis dengan hilangnya myelinated axon pada akar anterior dan
posterior
- Hilangnya myelin di segmen lumbar dan torakal tertama jalur kortikospinal

2.8. Diagnosis Banding Pada bayi dengan hipotonia dan kelemahan, beberapa
diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan antara lain:4 • Miopati kongenital •
Distropi myotonik congenital • Sindrom myasthenic kongenital • Miopati metabolik •
Kelainan kongenital dari neuron motorik dan saraf perifer (congenital hypomyelinating
neuropathy) • Kelainan non-neuromuskular speerti Prader-Willi syndrome, ensefalopati
iskemik akut hipoksia, sepsis neonatal, dan kondisi metabolik atau diskinetik Beberapa
penyakit kelemahan otot yang sering dibandingkan dengan SMA adalah poliomyelitis dan
Duchene Motor Dystrophy dengan perbandingan sebagai berikut:

TATA LAKSANA Penanganan pasien SMA selama ini sebagian besar untuk
tujuan suportif dan cenderung ke arah paliatif, terutama pada SMA tipe 0, I, dan II.
Kelemahan otot akan menimbulkan gangguan ambulasi yang kemudian mengakibatkan
inaktivitas dan deconditioning. Latihan dalam bentuk fisioterapi, terapi okupasi, dan
terapi wicara dapat mengurangi efek samping inaktivitas. Kombinasi latihan dapat
memperbaiki performa fungsi serta fleksibilitas, memperkuat otot, dan mencegah
kontraktur pada persendian. Terapi ini juga membantu perkembangan motorik anak
seperti kontrol kepala dan tubuh, merangkak, berguling, dan untuk menjaga postur duduk
atau berdiri yang baik. Latihan bertahap sesuai toleransi dan fungsi yang dimiliki
pasien.13,14 Pada pasien SMA fenotip ringan, insiden jatuh dan risiko fraktur akibat
kelelahan dan abnormalitas gait menjadi perhatian, sehingga perlu disertakan dalam
rencana tata laksana pasien.9 Skoliosis juga cukup umum pada pasien SMA tipe II dan
III. Gangguan postur dan motorik ini dapat dibantu dengan alat bantu mobilisasi, brace,
dan fisioterapi. Penggunaan ortosis seperti standing frame dapat digunakan pada pasien
yang masih mampu menahan beban; kursi roda dapat membantu mobilisasi pasien yang
tidak mampu berdiri.6 Komplikasi respiratorik dan gastrointestinal sering menjadi
penyebab morbiditas dan mortalitas pada SMA. Berbagai tindakan seperti latihan batuk
efektif, chest physiotherapy, drainase postural, dan suction oral dapat dilakukan untuk
manajemen sekresi. Tindakan preventif lain adalah imunisasi rutin terhadap bakteri dan
virus penyebab pneumonia. Penurunan fungsi respirasi ini dapat terjadi hingga
memerlukan bantuan ventilasi baik non-invasif maupun invasif, seperti ventilasi mekanik
dengan intubasi atau trakeostomi.4 Tata laksana suportif gangguan fungsi gastrointestinal
dapat dengan meminimalkan kesulitan makan dan menelan. Hal yang dapat dilakukan
adalah modifikasi konsistensi makanan menjadi semisolid untuk kompensasi fungsi
mengunyah yang buruk dan mencegah aspirasi. Penggunaan selang nasogastric atau
gastrostomy tube dapat dipertimbangkan jika asupan oral tidak adekuat atau tidak aman.6
Antasida dan obat inhibisi sekresi asam lambung dapat mengurangi refluks
gastroesofageal.4 Deteksi dini SMA dalam newborn screening masih menjadi kontroversi
medis.2,6,10 SMA tipe 1 memiliki jendela intervensi terapeutik yang pendek karena
hilangnya neuron motorik akibat denervasi terjadi dalam rentang 6 bulan sejak onset
gejala.10 Oleh karena itu, manfaat terbaik dari terapi definitif SMA didapatkan jika dapat
didiagnosis lebih awal dan diberikan terapi secepatnya sebelum terjadi kehilangan neuron
motorik yang semakin banyak. Walaupun demikian, deteksi dini menjadi kontroversi
karena hingga saat ini pun terapi definitif yang efektif masih dalam perkembangan. Pada
akhir tahun 2016, Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat menyetujui
penggunaan nusinersen intratekal, sebagai obat pertama yang dibuat secara spesifik untuk
pasien SMA dengan cara meningkatkan jumlah protein SMN.2,3 Nusinersen adalah
antisense oligonucleotide (ASO) yang didesain untuk menghambat ISS-N1, sehingga
mengubah splicing SMN2 untuk mengikutsertakan ekson 7, memproduksi transkripsi
penuh dan produksi kuantitas protein SMN lebih banyak. Data klinis menunjukkan bahwa
nusinersen efektif memperlambat namun tidak menghentikan progresi penyakit
SMA.2,9,10 FDA menyetujui penggunaan nusinersen untuk seluruh tipe SMA, walaupun
dari penelitian klinis manfaat hanya tampak pada tipe I.2 Terapi definitif untuk SMA late-
onset dan fenotip yang lebih ringan masih dalam tahap penelitian.3,4,10 Pada Mei 2019,
FDA menyetujui penggunaan terapi definitif pengganti gen, yaitu onasemnogene
abeparvovec untuk SMA.15,16 Onasemnogene abeparvovec menggunakan perantara
kapsid adeno-associated virus 9 untuk menghantarkan gen SMN1 pada neuron motorik,
otot, dan jaringan perifer lain melalu injeksi intravena.7,10 Penelitian klinis menunjukkan
adanya peningkatan fungsi motorik dan peningkatan angka harapan hidup, serta
penurunan kebutuhan ventilasi mekanik pada penggunaan terapi pengganti gen ini.15
Terapi ini disetujui oleh FDA bagi SMA tipe I pada anak usia di bawah 2 tahun.
Penggunaan onasemnogene abeparvovec bagi SMA tipe II saat ini masih dalam
penelitian.3

Prognosis penyakit semakin buruk seiring dengan onset gejala yang makin awal.
Pasien dengan onset gejala kurang dari enam bulan mungkin tidak dapat duduk secara
mandiri dan meninggal sebelum usia dua tahun karena gangguan pernapasan. Prognosis
ini berbanding terbalik dengan SMA onset dewasa (tipe IV) yang mengalami kelemahan
otot, namun tetap dapat ambulasi serta memiliki tingkat harapan hidup normal. 6 Hingga
saat ini, terapi disease-modifying seperti agen neuroprotektif, preservasi otot, dan terapi
pengganti genetik SMN1 terus dikembangkan. 2,3,7 Terapi ini diharapkan dapat
memperlambat bahkan mengubah perjalanan penyakit serta mengurangi morbiditas dan
mortalitas akibat SMA.

Anda mungkin juga menyukai