Anda di halaman 1dari 10

PsikoNeuroImunologi adalah sebuah bidang penyelidikan yang memeriksa hubungan antara

stress, system imun dan kesehatan. Stress mungkin mengurangi sebuah kemampuan meniru dan efek
negatif respons neuroendokrin dan pada akhirnya kegagalan fungsi imun. Peristiwa trauma mungkin
merusak hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) aksis dan system saraf simpatis (SNS), merangsang tingkat
serius yang lebih tinggidan sakit yang mengancam nyawa termasuk penyakit jantung. Secara spesifik,
peristiwa trauma kehidupan memicu system respons inflamasi jadi mereaksi lebih cepat stress kehidupan
berikutnya dan meningkatkan inflamasi sebuah peran etiologi dalam banyak penyakit kronis.

PSIKONEUROIMUNOLOGI
Pada awal perkembangannya, psikoneuroimunologi difahami sebagai field
of study. Pemahaman ini didasarkan atas keterlibatan tiga bidang kajian, yaitu (1)
Psikologi, (2) Neurologi, (3) Imunologi (Putra ST, 1999).
Notosoedirdjo M M, 1998, menyatakan bahwa psikoneuroimunologi
adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara sistem imunitas dan perilaku
melalui sistem saraf. Sedangkan imunitas berupa suatu jaringan alat tubuh yang
melindungi badan dari invasi bakteri, virus dan benda asing.
Secara historis, konsep psikoneuroimunologi muncul sekitar tahun 1975,
oleh R. Ader dan C. Holder (Putra ST, 1999). Psikoneuroimunologi muncul
setelah munculnya konsep pemikiran imunopatobiologik dan imunopatologik.
Fakta imunopatobiologik menunjukkan bahwa kerentanan individu dan metastasis
pada individu yang mengalami stres disebabkan oleh penurunan ketahanan
imunologik. Sedangkan kelainan mukosal yang memunculkan pemikiran respon
imun yang melukai merupakan fakta imunopatologik. Karena kedua pendekatan
model berpikir tersebut dalam mengungkap patogenesis dianggap kurang holistik,
maka muncullah ilmu baru yang sekarang dikenal dengan psikoneuroimunologi,
yang dikembangkan atas dasar keterkaitan antara tiga konsep, yaitu behavior,
neuroendokrin dan konsep imunologik (Putra ST, 1999).

Sistem limbik, hipotalamus dan pengaturan emosi


Kata “limbik” berarti pembatasan. Istilah limbik digunakan untuk
menjelaskan struktur tepi di sekeliling region basal dari serebrum. Sistem limbik
ini berhubungan erat dengan emosi, kegiatan motorik dan sensoris bawah sadar,
serta perasaan intrinsik mengenai rasa nyeri dan kesenangan (Lieben P, 1999;
Soleh, 2005).
Psikologi
Neurologi Imunologi
Gambar konsep psikoneuroimunologi (Putra ST, 1999)
Dokumen scrib.com Page 2
Bagian utama sistem limbik adalah hipotalamus. Selain perannya
mengatur perilaku, area ini mengatur banyak kondisi internal dari tubuh, seperti
suhu tubuh, osmolaritas cairan tubuh dan dorongan untuk makan dan minum serta
pengaturan berat badan (Guyton, 1996; Soleh, 2005). Fungsi internal ini secara
bersama-sama disebut fungsi vegetatif otak dan pengaturannya berkaitan erat
dengan perilaku. Sistem limbik menghasilkan banyak sekali pengaturan emosi
untuk menyiapkan area otak lain ke dalam suatu aksi dan bahkan menghasilkan
pengaturan motivasi untuk proses belajar itu sendiri (Guyton & Hall, 1997; Soleh,
2005).
Sekitar tahun 1950-an, McLeland P, ahli neurologi mengemukakan bahwa
pusat emosi terletak pada sistem limbik dengan hipokampus. Namun, pada
penelitian Joseph Le Doux membuktikan bahwa hipokampus kurang terlibat
langsung dalam emosi. Sedangkan prefrontal-amigdala, merupakan bagian
penting bagi letak emosi (Goleman D, 1997; Soleh, 2005). Ahli nuerologi
berpendapat bahwa hipokampus yang sudah lama dianggap sebagai kunci struktur
sistem limbik, ternyata lebih berkaitan dalam perekaman dan pemaknaan pola
persepsi ketimbang reaksi emosional. Sumbangan utama hipokampus adalah
dalam hal penyediaan ingatan terperinci akan korteks, pemahaman emosional,
hipokampuslah yang mengenali perbedaan makna, misalnya, ular di kebun
binatang dan ular di halaman rumah (Goleman D, 1995; Soleh, 2005). Dengan
kata lain, hipokampus sebagai spesialis ingatan, dan penyimpanan, sedangkan
amigdala spesialis masalah emosional.
Berbagai penelitian membuktikan bahwa pemuda yang amigdalanya
dibuang untuk mengendalikan penyakit epilepsinya, pemuda tersebut menjadi
sama sekali tidak berminat kepada manusia, menarik diri dari hubungan antar
manusia. Meskipun ia mampu mengimbangi percakapan, ia tidak mampu
mengenali sahabatnya, kerabat, bahkan ibunya, tetap pasif meskipun menghadapi
kecemasan. Tanpa amigdala, ia telah kehilangan semua pemahaman tentang
perasaan. Amigdalalah yang berfungsi sebagai semacam gudang ingatan
emosional, dan dengan demikian makna emosional itu sendiri hidup tanpa
amigdala merupakan kehidupan tanpa makna pribadi sama sekali (Goleman D,
1995; Soleh, 2005). Pengaruh emosi melalui amigdala dapat digambarkan sebagai
berikut :

PSIKONEUROIMUNOLOGI
Pada awal perkembangannya, psikoneuroimunologi difahami sebagai field of study.
Pemahaman ini didasarkan atas keterlibatan tiga bidang kajian, yaitu (1) Psikologi, (2)
Neurologi, (3) Imunologi (Putra ST, 1999). Notosoedirdjo M M, 1998, menyatakan bahwa
psikoneuroimunologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara sistem imunitas dan
perilaku melalui sistem saraf. Sedangkan imunitas berupa suatu jaringan alat tubuh yang
melindungi badan dari invasi bakteri, virus dan benda asing. Secara historis, konsep
psikoneuroimunologi muncul sekitar tahun 1975, oleh R. Ader dan C. Holder (Putra ST, 1999).
Psikoneuroimunologi muncul setelah munculnya konsep pemikiran imunopatobiologik dan
imunopatologik. Fakta imunopatobiologik menunjukkan bahwa kerentanan individu dan
metastasis pada individu yang mengalami stres disebabkan oleh penurunan ketahanan
imunologik. Sedangkan kelainan mukosal yang memunculkan pemikiran respon imun yang
melukai merupakan fakta munopatologik. Karena kedua pendekatan model berpikir tersebut
dalam mengungkap patogenesis dianggap kurang holistik, maka muncullah ilmu baru yang
sekarang dikenal dengan psikoneuroimunologi, yang dikembangkan atas dasar keterkaitan antara
tiga konsep, yaitu behavior, neuroendokrin dan konsep imunologik (Putra ST, 1999). Sistem
limbik, hipotalamus dan pengaturan emosi
Kata “limbik” berarti pembatasan. Istilah limbik digunakan untuk menjelaskan struktur
tepi di sekeliling region basal dari serebrum. Sistem limbik ini berhubungan erat dengan emosi,
kegiatan motorik dan sensoris bawah sadar, serta perasaan intrinsik mengenai rasa nyeri dan
kesenangan (Lieben P, 1999; Soleh, 2005).
Bagian utama sistem limbik adalah hipotalamus. Selain perannya mengatur perilaku,
area ini mengatur banyak kondisi internal dari tubuh, seperti suhu tubuh, osmolaritas cairan
tubuh dan dorongan untuk makan dan minum serta pengaturan berat badan (Guyton, 1996;
Soleh, 2005). Fungsi internal ini secara bersama-sama disebut fungsi vegetatif otak dan
pengaturannya berkaitan erat dengan perilaku. Sistem limbik menghasilkan banyak sekali
pengaturan emosi untuk menyiapkan area otak lain ke dalam suatu aksi dan bahkan
menghasilkan pengaturan motivasi untuk proses belajar itu sendiri (Guyton & Hall, 1997; Soleh,
2005).
Sekitar tahun 1950-an, McLeland P, ahli neurologi mengemukakan bahwa pusat emosi
terletak pada sistem limbik dengan hipokampus. Namun, pada penelitian Joseph Le Doux
membuktikan bahwa hipokampus kurang terlibat langsung dalam emosi. Sedangkan prefrontal-
amigdala, merupakan bagian penting bagi letak emosi (Goleman D, 1997; Soleh, 2005). Ahli
nuerologi berpendapat bahwa hipokampus yang sudah lama dianggap sebagai kunci struktur
sistem limbik, ternyata lebih berkaitan dalam perekaman dan pemaknaan pola persepsi
ketimbang reaksi emosional. Sumbangan utama hipokampus adalah dalam hal penyediaan
ingatan terperinci akan korteks, pemahaman emosional, hipokampuslah yang mengenali
perbedaan makna, misalnya, ular di kebun binatang dan ular di halaman rumah (Goleman D,
1995; Soleh, 2005). Dengan kata lain, hipokampus sebagai spesialis ingatan, dan penyimpanan,
sedangkan amigdala spesialis masalah emosional.
Berbagai penelitian membuktikan bahwa pemuda yang amigdalanya dibuang untuk
mengendalikan penyakit epilepsinya, pemuda tersebut menjadi sama sekali tidak berminat
kepada manusia, menarik diri dari hubungan antar manusia. Meskipun ia mampu mengimbangi
percakapan, ia tidak mampu mengenali sahabatnya, kerabat, bahkan ibunya, tetap pasif meskipun
menghadapi kecemasan. Tanpa amigdala, ia telah kehilangan semua pemahaman tentang
perasaan. Amigdalalah yang berfungsi sebagai semacam gudang ingatan emosional, dan dengan
demikian makna emosional itu sendiri hidup tanpa amigdala merupakan kehidupan tanpa makna
pribadi sama sekali (Goleman D, 1995; Soleh, 2005).
Korteks prefrontal bertindak sebagai manajer emosi yang efisien, menimbang-nimbang
reaksi sebelum bertindak adalah dengan menghambat sinyal untuk pengaktifan apa yang telah
dikirim amigdala dan pusat limbik lainnya. Penelitian suasana hati beberapa pasien yang
mengalami cedera pada bagian lobus prefrontal ditemukan bahwa salah satu tugas lobus
prefrontal kiri adalah bertindak sebagai thermostat saraf, mengatur emosi yang tidak
menyenangkan menjadi positif menyenangkan, cinta kasih dan rasa bahagia. Lobus prefrontal
kanan merupakan tempat perasaan negatif seperti rasa takut dan amarah, cemas, agresif.
Kelompok pasien penderita stroke yang cederanya pada korteks prefrontal kiri mudah cemas,
takut yang hebat, sedangkan penderita yang cedera bagian kanan pasien tersebut menjadi kelewat
ceria, santai, berkelakar kelewat batas (Gionatti G, 1972; Soleh, 2005).
Stres dan stresor
Stres merupakan istilah yang membingungkan karena istilah tersebut mempunyai multi
makna. Menurut Cox (1995) untuk mendefinisikan istilah stres sangat sulit mengingat istilah
tersebut digunakan untuk menggambarkan berbagai
Stimulus Channels
1. Features
2. Objects
3. Concepts
4. Contexts
Pengaruh emosi melalui amigdala (Lieben P, 1999; Soleh, 2005) hal yang beragam.
Namun yang perlu dipahami bahwa stres tidak harus mempunyai konsekuensi kondisi yang
patologis. Banyak individu yang merespon sumber stres secara psikologis dan fisiologis sebagai
suatu pengalaman yang menyenangkan dan tidak mengganggu batas keseimbangan. Ada tiga
pendekatan yang digunakan untuk mengkonseptualisasikan stres, yaitu (1) pendekatan rekayasa
(engineering approach), (2) pendekatan medikofisiologis (medicophysiological approach), dan
(3) pendekatan psikologis (psychological approach) (Cox, 1995).
1. Pendekatan Rekayasa
Menurut pendekatan rekayasa, stres merupakan istilah yang menggambarkan
karakteristik stimulus di lingkungan hidup yang tidak menyenangkan atau merusak. Dengan
demikian stress merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan karakteristik
lingkungan yang tidak kondusif untuk tempat tinggal makhluk hidup dan istilah stress digunakan
untuk menamakan penyebab atau stimulus yang mengakibatkan reaksi menegangkan (a strain
reaction) (Cox, 1995).
2. Pendekatan Medikofisiologis
Pendekatan medikofisiologis diperkenalkan oleh Hans Selye, berdasar kajian yang
dilakukan mulai tahun 1950 sampai tahun 1956. Menurut pendekatan medikofisiologis, stress
merupakan kondisi yang ditunjukkan oleh sindrom yang spesifik, yang berisi semua perubahan
yang nonspesifik dari sistem biologis. Dengan kata lain, stress merupakan kondisi spesifik yang
didasari oleh perubahan biologis yang tidak spesifik. Hans Selye seorang ahli ilmu faal,
memaknai stres sebagai perubahan biologis (Cox, 1995).
3. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis memahami stres sebagai istilah yang digunakan untuk
menggambarkan hasil interaksi dinamis antara individu dengan lingkungannya, yang melibatkan
kognisi dan emosi. Kognisi merupakan suatu pemahaman hasil proses pembelajaran sedang
emosi merupakan pencerminan perasaan individu. Pendekatan psikologis ini memperhatikan
kompleksitas internal events yang terjadi pada manusia pada saat berinteraksi dengan
lingkungannya (Cox, 1995).
Konsep stres dalam psikoneuroimunologi
Konsep stres menurut Hans Selye, yaitu stres merupakan sindrom yang spesifik, yang
berisi semua perubahan sistem biologis yang nonspesifik atau merupakan kondisi spesifik yang
didasari oleh perubahan biologis yang nonspesifik (Cox, 1995), merupakan konsep stres yang
sesuai untuk paradigma psikoneuroimunologi. Hal ini mengingat imunoregulasi merupakan
perubahan biologis namun penggambaran sindrom spesifik yang didasari oleh perubahan
perubahan biologis dari sistem imun tersebut belum teraktualisasi dengan jelas. Menurut Weiten
(2004), konsep psikologi yang merupakan penyempurnaan konsep perilaku, yang diketengahkan
oleh Watson, adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan semua perubahan yang mendasari
(perubahan kognisi dan fisiologis). Selanjutnya juga memperhatikan konsep Cox (1995), bahwa
proses pembelajaran akan menghasilkan persepsi maka manusia sebagai individu yang berakal
dan beremosi mempunyai keunikan yang sangat variatif. Atas dasar hal ini maka perpaduan
antara tiga konsep, yaitu konsep psikologis, konsep stres psikologis dan konsep stres biologis ini
merupakan penyempurnaan konsep stres yang sesuai untuk perkembangan paradigma
psikoneuroimunologi.
Konsep stres tersebut menyatakan bahwa stres terdiri dari stress perception dan stress
response. Stress perception ini hasil proses pembelajaran untuk menyeleksi, mengorganisasi,
mengintepretasi dan mengartikan stresor secara benar. Stress perception, selain melibatkan akal,
pengalaman juga emosi. Dengan demikian maka ketepatan persepsi ini akan membuat stress
response menjadi tepat pula. Stress perception merupakan pencerminan kinerja otak yang
mempengaruhi imunoregulasi yang menghasilkan imunitas yang merupakan model stress
response. Berdasarkan konsep stres ini maka setiap stresor yang diterima oleh individu akan
dipelajari dengan seksama sehingga menghasilkan persepsi yang benar yang akhirnya akan
direspon dengan benar pula.
Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah suatu mekanisme untuk mengatasi perubahan yang diterima
atau beban yang diterima. Apabila mekanisme koping ini berhasil maka orang tersebut dapat
beradaptasi terhadap perubahan tersebut atau akan merasakan beban berat menjadi ringan.
Mekanisme koping ini dapat dipelajari, sejak awalnya timbul stresor dan orang menyadari
dampak dari stresor tersebut (Carlson, 1994; Soleh, 2005). Kemampuan dari mekanisme koping
setiap orang tergantung dari temperamen individu dan persepsi serta kognisi terhadap stresor
yang diterima (Carlson, 1994; Soleh, 2005). Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar
dan mengingat. Belajar di sini adalah kemampuan menyesuaikan diri pada pengaruh faktor
internal dan eksternal (Notosoedirdjo M, 1998; Soleh, 2005).
Mekanisme belajar ada 2 macam, yaitu (1) bentuk belajar yang implisit, dan (2) bentuk
belajar yang eksplisit. Belajar yang implisit umumnya bersifat reflektif dan tidak memerlukan
kesadaran. Keadaan ini ditemukan dalam perilaku habituasi, kebiasaan, sensitisasi, dan
conditioning (Bear, 1996; Notosoedirdjo M, 1998; Soleh, 2005).
Lipowski membagi koping dalam dua bentuk yaitu coping style dan coping strategy. Coping
style merupakan mekanisme adaptasi individu meliputi mekanisme psikologis, mekanisme
kognitif dan persepsi. Sifat dasar coping style adalah mengurangi makna suatu konsep yang
dianutnya, misalnya penolakan atau pengingkaran yang bervariasi yang sangat tidak realistis atau
berat (psikotik) hingga pada tingkatan yang sangat ringan saja terhadap suatu keadaan.
Sedangkan coping strategy merupakan coping yang digunakan individu secara sadar dan terarah
dalam mengatasi sakit atau stressor yang dihadapinya. Apabila individu mempunyai mekanisme
coping yang efektif dalam mengahadapi stresor, maka stressor tidak akan menimbulkan stress
yang berakibat kesakitan (disease), tetapi stressor justru menjadi stimulant yang mendatangkan
wellness (kesejahteraan) dan prestasi (Soleh, 2005).
Kelenjar adrenal dan sekresi kortisol
Secara embriologik, kelenjar adrenal terdiri dari dua bagian yang berbeda, yaitu (1)
bagian luar, korteks yang berasal dari mesoderm dan (2) bagian dalam (medulla) yang berasal
dari neuroectoderm (Gani, 1995). Korteks adrenal terdiri dari tiga zona, yaitu (1) Glomerulosa,
(2) Fasciculata, (3) Retikularis. Antara kelenjar adrenal dan hipotalamus terdapat jalur efferen,
yang memungkinkan stres dapat merangsang sekresi ACTH (Gani, 1995; Soleh,2005).
Perkembangan dari zona fasikulata dan retikularis dipengaruhi oleh ACTH. Kelebihan
ACTH akan menyebabkan hiperplasi dan hipertrofi. Sedangkan kekurangan ACTH akan
menyebabkan atropi. Zona fasikulata merespon terhadap medula adrenal yang mengandung
kromafin yang bentuknya tidak teratur. Sel ini berfungsi untuk sintesis dan sekresi katekolamin.
Granula pada sel ini berfungsi untuk menyimpan katekolamin, dimana pada manusia 85%
merupakan epinefrin (Gani, 1995; Soleh, 2005).
Hormon yang disekresi oleh korteks adrenal adalah kortisol, aldosteron dan androgen.
Sekresi kortisol dan androgen diatur oleh ACTH, sedangkan sekresi aldosteron juga dipengaruhi
oleh angiotensin dan konsentrasi ion K. Selain oleh ACTH, sekresi kortisol juga dipengaruhi
oleh rangsangan otak sebagai respon terhadap stres, khususnya sekresi kortisol dipengaruhi oleh
3 respon, yaitu : stres, ACTH, diurnal rythme (Guyton, 1996; Soleh, 2005). Peranan ACTH pada
sekresi kortisol terjadi melalui interaksi antara hypothalamic-pituitary-adrenal axis (HPA).
ACTH yang bekerja pada zona fasiculata dan reticularis, merupakan faktor utama dalam
pengaturan sekresi kortisol, androgen dan aldosteron. Sedangkan ACTH sendiri diatur oleh CRH
dan neurotransmiter (Guyton, 1996; McCance & Shelby, 1994; Soleh, 2005).
Hormon korteks adrenal terikat dengan reseptor dalam sitoplasma (reseptor intra seluler).
Interaksi kortisol dengan reseptornya akan menginduksi proses transkripsi dengan jalan
berinteraksi dengan bagian DNA yang disebut glucocorticoid response elements (RGEs).
Berbagai protein yang dihasilkan akan mempengaruhi respon kortisol terhadap berbagai
jaringan. Respon tersebut dapat bersifat stimulasi atau inhibisi, tergantung dari jaringan mana
hormon tersebut bekerja. Walaupun reseptor kortisol sama di semua jaringan, namun terdapat
variasi sintesis protein akibat ekspresi gen spesifik pada berbagai jaringan (Turner & Bagnara,
1988; Guyton, 1996; Soleh, 2005).
Pada sistem kardiovaskuler, kortisol meningkatkan curah jantung dari tonus pembuluh darah
perifer, kemungkinan dengan jalan meningkatkan efek vasokonstriktor lain seperti katekolamin.
Kortisol juga mengatur ekspresi reseptor adrenergik (Gani, 1995; Soleh, 2005). Pada keadaan
kekurangan kortisol yang berat dapat terjadi vasodilatasi yang abnormal, walaupun tidak terjadi
kehilangan cairan, namun pengisian pembuluh darah akan berkurang, tekanan darah akan
menurun dan terjadi shok, terutama rentan terhadap stres. Jadi kortisol berfungsi
mempertahankan integritas dan sifat responsive pembuluh darah dan volume cairan tubuh.
Kelebihan kortisol dapat menyebabkan hipertensi melalui stimulasi rennin pada sistem rennin
angiotensin (Guyton, 1996; Soleh, 2005).
Pada sistem imun, pemberian kortisol meningkatkan pelepasan leokosit (PMN) intravaskuler
dari sumsum tulang, meningkatkan waktu paruh PMN dalam sirkulasi, mengurangi pergerakan
PMN keluar dari pembuluh darah. Kortisol mengurangi konsentrasi limfosit, monosit dan
eosinofil dalam sirkulasi, terutama dengan jalan meningkatkan pergerakan mereka keluar dari
sirkulasi. Pemberian kortisol dalam jangka waktu lama memudahkan seseorang untuk mendapat
infeksi oleh karena penekanan sistem imunologik (Calabres & Nieman, 1996; Soleh, 2005).
Secara ringkas Granner (1988) yang dikutip oleh Soleh (2005), mengemukakan efek kortisol
terhadap sistem imun adalah sebagai berikut :
1. Menekan sintesis imunoglobulin.
2. Menurunkan populasi sel PMN, limfosit dan makrofag dalam darah tepi.
3. Menimbulkan atropi jaringan limfosit dalam timus, limpa dan kelenjar limfe.
Selain mempengaruhi hipotalamus melalui mekanisme umpan balik negatif untuk sekresi
ACTH, juga mempengaruhi tingkah laku dan emosi. Kelebihan kortisol pada awalnya
memberikan euphoria, namun dengan pemberian jangka panjang dapat memberikan gangguan
psikologik, seperti emosi labil, mudah tersinggung, dan depresi. Pada beberapa penderita dapat
terjadi gangguan kognisi seperti gangguan memori dan konsentrasi (Guyton, 1996; Soleh M,
2005).

Anda mungkin juga menyukai