Anda di halaman 1dari 13

Psikoneuroimunologi: Sebuah Pendekatan Bio-psiko-sosial

Terhadap Kesehatan dan Penyakit

ROBERT ZACHARIAE

2009 Penulis. Kompilasi Jurnal 2009


Asosiasi Fisiologi Skandinavia

Kata Kunci:

Psikoneuroimunologi; imunologi; teori sistem; kesehatan; stress; pembelajaran; emosi;


proses sensoris

Abstrak

Sejak awal 1980an, daerah interdisipliner dari psikoneuroimunologi telah mengeksplorasi


kompleks interaksi dua arah antara otak, kebiasaan, dan sistem imun. Diambil secara
bersamaan, penelitian ini telah mengembangkan batas dari pertanyaan yang dapat kita
tanyakan tentang organisme dengan menantang paradigma biomedis tentang sistem imun
sebagai autonom yang mendominasi. Psikoneuroimunologi telah memainkan peran yang
penting dalam membuktikan dasar biologis untuk ide lama bahwa pikiran dapat berperan
dalam kesehatan dan penyakit. Artikel ini mendeskripsikan perkembangan dari
psikoneuroimunologi dan kajian ulang dari sejumlah temuan utama yang menjelaskan
fenomena psikologi dari hubungan potensial untuk memahami otak-kebiasaan-interaksi
imun, termasuk pembelajaran, emosi, stress, dan peran proses sensoris.

Pendahuluan

Beberapa dekade yang lalu, telah terjadi peningkatan ilmiah bersamaan dengan ketertarikan
publik terhadap kemungkinan psikologis dan faktor sosial ikut serta dalam fisiologi manusia,
dan penelitian yang sedang berkembang telah menyediakan bukti untuk keikutsertaan
psikososial dalam perkembangan dan dan sejumlah kejadian penyakit medis.
Psikoneuroimunologis, sebuah area interdisipliner dari penelitian, menguji bahwa interaksi
antara otak, kebiasaan, dan sistem imun memainkan peran penting dalam eksplorasi
terhadap kebiasaan dan mekanisme biologis yang menghubungkan faktor psikososial,
kesehatan, dan penyakit (Zachariae, 1996). Dengan menantang konsep biomedis dari
sistem imun sebagai sistem pertahanan autonom, psikoneuroimunologi menunjukkan
pergeseran dari dominasi paradigma bimedis sebelumnya tentang kesehatan dan penyakit
terhadap pendekatan interdisipliner bio-psiko-sosial (Engel, 1977). Selanjutnya, dalam
perkembangan psikoneuroimunologi dan beberapa temuan utama dalam bidang ini akan
dijelaskan.

Sejarah Awal Psikoneuroimunologi

Kebiasaan dari sistem imun, seperti interaksi antara antibody dan antigen, dapat
diinvestigasi dengan mudah dipahami melalui cloning sel secara in vitro, yaitu tes pada
tabung di luar organism hidup, dan hal ini tidak diragukan lagi berkontibusi terhadap fakta
bahwa untuk decade-dekade sebelumnya pandangan ilmiah normal yang dominan dari
sistem imun telah menjadi salah satu pertahanan "otonom" terhadap ancaman eksternal dan
internal untuk organisme, yang mana pada dasarnya tidak berhubungan dengan sistem dan
proses lain dalam organism. Dalam sejarah, fokus dominan dari penelitian imunologi adalah
pada interaksi antara sitem imun dan antigen asing dan antara berbagai komponen dari
sistem imun itu sendiri, sejumlah kecil studi yang menyimpang telah muncul pada
beberapa tahun. Studi pertama, yang cukup beralasan untuk dapat disebut sebagai
psikoimunologis, telah dipublikasikan pada 1919 dan menyarankan bahwa emosi negatif
dapat mempengaruhi sistem imun pasien denga tuberculosis (Ishigami, 1919). Pada
1920an, serangkaian studi pada hewan tentang interaksi antara otak dan sistem imun telah
diselenggarakan di Uni Soviet oleh orang-orang Pavlov (1849-1936), mengindikasikan
bahwa respon imun dapat dipengaruhi oleh kondisi klasik. Pemaparan berulang dari
rangsangan netral (contoh: panas) dengan antigen stimulasi imun (contoh: bakteri inaktif)
telah menunjukkan hasil berupa aktivasi respon imun saat rangsang netral dipresentasikan
sendiri (Metalnikov & Chorine, 1926). Pada 1950an dan 1960an, hasil dari sejumlah kecil
studi menyatakan bahwa stress psikologis dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
(Rasmussen, Marsh & Brill, 1957) dan memperparah penyakit autoimun seperti Lupus
(Fessel & Solomon, 1960) dan artritis rheumatoid (Solomon, Amkraut & Kasper, 1964).
Istilah psikoneuroimunologi itu sendiri, belim tercipta hingga 1981, saat hal ini muncul
sebagai judul dari antologi (kumpulan puisi, cerita, dll) yang mengkaji ulang bukti yang ada
pada waktu itu tentang hubungan antara kebiasaan, neural, endokrin, dan proses sistem
imun (Ader, 1981). Pertemuan psikoneuroimunologi resmi pertama diadakan pada 1986
mengusulkan beberapa pertanyaan penting: (1) Apakah terdapat interaksi antara otak dan
sistem imun? (2) Jika ya, bagaimanakah mereka terhubung? (3) Apakah keduanya
berhubungan timbal balik? Dan (4) apakah keduanya tidak penting atau penting untuk
memahami kesehatan dan penyakit? (Cohen, 1987)

Sistem Imun Dalam Organisme Hidup: Sebuah Pendekatan Sistemik

Terhadap pertanyaan pertama: apakah terdapat interaksi antara otak dan sistem imun, hal
ini tidak mungkin bila dipandang dengan kerangka kerja konvensional pandangan imunologi
autonom. Hal ini membutuhkan kerangka kerja yang lebih luas, seperti yg ditunjukkan
dengan perspektif sistem keseluruhan dari organism (von Bertalanffy, 1969). Dari perspektif
ini, kita harus berharap bahwa berbagai sistem dari organisme telah mengembangkan
kemampuan untuk berinteraksi secara koheren dengan tujuan regulasi diri dalam
mempertahankan keseimbangan internal yang dinamis saat beradaptasi pada tantangan
dari perubahan lingkungan eksternal dan internal (Zachariae, 1996). Saat imunologi
konvensional telah mampu untuk menjelaskan sejumlah fenomena imunologi penting secara
independen dari proses lain, pemahaman secara lengkap dari kebiasaan pada sistem imun
dalam organism hidup membutuhkan investigasi dari kerjasama antara elemen sistem imun
itu sendiri dan kebergantungan mereka terhadap elemen lain dari sistem secara
keseluruhan.

Meskipun dianggap agak sesat saat itu, seorang imunologis Niels Jerne (1911-1994), dalam
Teori Jaringan-nya yang kontroversi tentang sistem imun (Jerne, 1974), menitikberatkan
pada kesamaan fungsional yang terlihat antara sistem imun dan otak. Baik otak dan sistem
imun adalah self-referential, yaitu termasuk dalam pengenalan dari diri sendiri melawan
bukan diri sendiri, dan, menurut Jerne, jaringan imun membentuk identitas dari organism
pada tingkat molekuler. Sama dengan itu, seperti telah dinyatakan oleh perkembangan
terkini dalam ilmu saraf, jaringan saraf otak dapat dilihat sebagai bentukan dari
neuromatriks, menggambarkan fisiologi diri sendiri dari organisme (Melzack, 1993). Lebih
jauh lagi, kedua sistem termasuk respon bawaan seperti karakteristik yang didapat melalui
interaksi dengan lingkungan, seperti pembelajaran dan memori. Akhirnya, baik otak dan
sistem imun dapat dideskripsikan sebagai organ sensori. Saat lima indera klasik
memungkinkan kita untuk mengenali apa yang kita lihat, dengar, sentuh, kecap, dan bau,
sistem imun dapat dinyatakan sebagai indera keenam yang memambpukan kita untuk
mengenali bakteri, virus, sel kanker, dan entitas lain yang terlalu kecil untuk dilihat, disentuh,
dirasakan, atau dibau (Blalock, 1984). Saat tantangan terhadap pandangan autonom dari
sistem imun dengan jelas metateoritis, hal ini menginspirasi para peneliti untuk
memunculkan sejumlah pertanyaan yang tidak dapat ditanyakan pada imunologi
konvensional. Pertanyaan mereka dan jawabannya membentuk dasar dari
psikoneuroimunologi.

Interaksi Otak-Imun

Lebih dari 3 dekade terakhir, penelitian psikoneuroimunologi telah member bukti untuk
komunikasi timbal balik (dua arah) yang luas antara otak dan sistem imun. Bukti muncul dari
berbagai sumber. Pertama, studi hewan sebelumnya mengindikasi bahwa lesi otak kiri dan
kanan menghasilkan bentuk berbeda dari penekanan dan aktivasi berbagai pengukuran
imun (Biziere, Guillaumin, Degenne, Bardos & Renoux, 1985). Kedua, Penelitian dalam
bentuk besar telah mengidentifikasi kabel-keras hubungan saraf antara otak dan sistem
imun. Sebagai contoh, terdapat bukti dalam inervasi simpatis dan parasimpatis dari organ
dan jaringan berhubungan dengan sistem imun, termasuk kelenjar limfe, thymus, limpa, dan
sumsum tulang belakang, dan hubungan sel saraf-imun lain ditemukan di kutan, gastro-
intestinal, dan jaringan mukosa (Bellinger, Lorton, Lubahn & Felten, 2001). Akhirnya, kini
telah diketahui bahwa sistem imun dan saraf berkomunikasi melalui bahasa biokimia umum
yang termasuk hormone neuroendokrin, neurotransmitter, sitokin, dan reseptor respektifnya
(Carr & Blalock, 1991). Diambil bersamaan, bukti yang ada telah mengkonfirmasi
keberadaan dari kompleks jaringan otak-imun dua arah, yang menyediakan dasar biologis
untuk gagasan anekdot kuno bahwa pikiran dapat memainkan peran pada kesehatan dan
penyakit dengan kemampuannya untuk mempengaruhi proses biologi yang relevan.
Gambar 1 merangkum jalur komunikasi yang terbukti antara otak dan sistem imun.

Gambar 1. Jaringan otak-imun dua arah

Respon Imun yang Dipelajari

Efek Lingkungan-Otak-Kebiasaan-Imun
Keberadaan dari jaringan otak-imun yang luas menunjukkan bahwa sistem imun harus
setidaknya sebagian di bawah keikutsertaan proses psikologis. Contoh dari fenomena psikologis
dari relevansi potensial untuk memahami koneksi otak-kebiasaan-imun termasuk pembelajaran,
stress psikologis, emosi, dan proses sensori.

Pembelajaran adalah fungsi primer dari otak yang mana organisme beradaptasi pada
lingkungan. Satu contoh dari peran otak dalam modulasi sistem imun disediakan oleh studi yang
menunjukkan bahwa respon imun dapat dimodifikasi oleh kondisi klasik. Studi terdahulu dari
peneliti Soviet yang dijelaskan di atas tidak disadari secara luas saat itu, dan eksperimen
pengkondisian psikoneuroimunologi modern yang pertama merupakan hasil dari temuan yang
berhubungan dengan keuntungan oleh psikolog Robert Ader. Percobaan rasa keengganan
menggunakan cairan minuman dengan perasa sakarin sebagai rangsangan pengkondisian
dipapar dengan rangsangan tak terkondisi dalam bentuk agen perangsang mual tak berasa (dan
imunosupresan) (siklofosfamid) mengungkapkan bahwa beberapa hewan mati saat sesudah itu
dipapar dengan stimulus terknodisi saja. Hal ini menuntun pada hipotesis bahwa efek
imunosupresif yang terkondisi dari agen yang menginduksi mual telah mengambil tempat, yang
mana telah dikonfirmasi dalam eksperimen berikutnya (Ader & Cohen, 1975). Pada tahun-tahun
selanjutnya, studi pada hewan seperti pada manusia telah mengkonfirmasi bahwa sejumlah
besar parameter imun dapat menekan dan merangsang menggunakan berbagai tipe rangsang
farmakologis dan lingkungan sebagai rangsang yang tidak terkondisi (Ader & Cohen, 2001).
Pasien kanker yang diobati dengan agen sitotoksik seringkali mengalami efek samping dalam
bentuk mual, muntah, dan lemah sama dengan efek imunosupresifnya (Zachariae, Paulsen,
Mehlsen, Jensen, Johansson & von der Maase, 2007b). Beberapa pasien menunjukkan efek
samping yang terkondisi atau mendahului, dengan lingkungan rumah sakit dan rasa dan bau
yang berhubungan dengan sediaan pengobatan sebagai rangsangan yang terkondisi (Zachariae,
Paulsen, Mehlsen, Jensen, Johansson & von der Maase 2007a), dan studi menggunakan
pengobatan kanker sebagai percobaan alami telah menunjukkan hasil dari imunitas yang
terkondisi (contohnya Bovbjerg, Redd, Maier et al., 1990)

Kekuatan dari asosiasi pembelajaran bergantung pada beberapa faktor. Kepribadian dengan ciri-
ciri tertentu berhubungan dengan persepsi sensoris dan keikutsertaan imajinasi seperti dapat
terhipnotis dan absorbsi (Zachariae, Jorgensen & Christensen, 2000b) berasosiasi dengan
peningkatan kemampuan untuk terkondisikan (Zachariae et al., 2007a) dan peningkatan
reaktivitas dari saraf autonom dan sistem imun (Ehrnrooth, Zachariae, Svendsen iet al., 2002;
Zachariae, Jorgensen, Bjerring & Svendsen, 2000a; Zachariae, Jorgensen, Christensen, Bjerring,
1997). Terminologi pembelajaran berbasis keadaan/state-dependent learning (SDL) menjelaskan
fenomena bahwa kebiasaan yang dipelajari dalam satu keadaan fisiologis lebih dapat diingat
dengan baik saat retensi diuji pada keadaan yang sama (Overton, 1991). Walaupun konsep dari
SDL secara umum diaplikasikan pada memori dan kebiasaan manusia, hipotesa bahwa SDL juga
diaplikasikan pada memori dan kebiasaan dari sistem imun telah dikonfirmasi dalam eksperimen
yang menunjukkan bahwa respon hipersensitivitas tipe terlambat (alergi) lebih kuat saat individu
telah disensitisasi dengan allergen eksperimental dan kemudian diekspose pada tantangan
dengan allergen yang sama di bawah kondisi psikofisiologi yang sama dari relaksasi atau tanpa
relaksasi (Zachariae et al., 1997).

Stress dan imunitas

Bukti yang ada menunjukkan bahwa stres akut umumnya terkait dengan peningkatan kekebalan
dan stres kronis atau jangka panjang dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh (Dhabhar &
McEwen, 1997). Hal ini masuk akal ditinjau dari sudut pandang evolusi yang menjelaskan bahwa
stres berhubungan dengan peningkatan kekebalan, yang mempersiapkan tubuh untuk
menangani lebih efektif potensial infeksi, tetapi tampaknya bahwa dalam stres jangka panjang,
mekanisme otak yang sama berhubungan dengan penekanan beberapa parameter kekebalan
sistem kekebalan tubuh, seperti produksi antibodi dan perbaikan lain, seperti respon alergi dan
inflamasi (Dhabhar & McEwen, 2001). Penjelasan terbaik yang sekarang muncul bahwa sistem
kekebalan telah berkembang dan memiliki kemampuan untuk meningkat dan menurun dalam
respon terhadap kondisi yang berbeda, misalnya, meningkat selama infeksi dan menurun untuk
menghindari reaksi autoimun ketika tidak ada respon yang diperlukan. Konsep "allostasis"
merupakan proses yang terlibat dalam adaptasi terhadap situasi stres, seperti peningkatan
jumlah sel imunitas yang beredar dan meningkatkan imunitas yang diperantarai sel, sementara
"beban allostatic" menunjukkan kemampuan fisiologis tubuh, misalnya dalam keadaan imunitas
yang rendah terhadap antigen atau peradangan kronis, ketika mekanisme ini sering diaktifkan
untuk waktu yang lama. Pola yang berbeda dari respon imun tergantung pada waktu dan durasi
dari stresor dan dipengaruhi oleh stress hormon seperti glukokortikoid dan katekolamin.

Sementara penelitian menunjukkan efek dari berbagai jenis stresor pada kekebalan dan proses
peradangan (Herbert & Cohen, 1993b) telah memberikan bukti untuk mekanisme potensial yang
menghubungkan stres dengan peningkatan risiko beberapa penyakit, termasuk infeksi, alergi,
penyakit autoimun, dan bahkan penyakit kardiovaskular, bukti saat ini untuk hubungan antara
stres dan kanker kurang meyakinkan. Salah satu alasan bisa menjadi fokus penelitian yang
terbatas sejauh ini. Prognosis pasien kanker banyak yang tidak hanya terkait dengan kanker itu
sendiri, tetapi juga untuk komplikasi yang terkait dengan kanker dan pengobatannya, seperti
infeksi dan pengobatan yang tertunda karena imunosupresi (Bovbjerg, Valdimarsdottir &
Zachariae, 1999). Stres telah terbukti meningkatkan kerentanan terhadap infeksi (Pedersen,
Bovbjerg & Zachariae, 2009b), dan untuk mempengaruhi immuno-kompetensi, misalnya diukur
dari kekuatan dari respon kekebalan terhadap vaksinasi (Pedersen, Zakharia & Bovbjerg, 2009c).
Peran stres dalam risiko infeksi pada pasien kanker, bagaimanapun, sejauh ini hanya
dieksplorasi dalam sebuah studi yang menunjukkan bahwa stres yang diukur sebelum
pengobatan dikaitkan dengan peningkatan risiko masuk rumah sakit dengan infeksi selama
pengobatan (Pedersen, Zakharia, Jensen, Bovbjerg, Andersen & von der Maase, 2009d).

Modulasi imun oleh emosi

Kajian sistematis literatur umumnya menyimpulkan bahwa emosi negatif seperti depresi dikaitkan
dengan peningkatan mortalitas (Cuijpers & Smit, 2002), dan sebaliknya emosi yang positf dapat
dikaitkan dengan penurunan mortalitas (Chida & Steptoe, 2008). Meskipun ada bukti yang baik
tentang hubungan antara depresi dan kekebalan (Herbert & Cohen, 1993a), tidak jelas sampai
sejauh mana hubungan ini dapat menjelaskan hubungan antara depresi dan kematian. Namun,
emosi positif dan negatif tersebut merupakan mekanisme psikologis yang penting, yang
membantu tujuan yang adaptif dalam pengaturan perilaku, kita harus berharap bahwa perubahan
dalam keadaan emosional akan tercermin dalam perubahan dalam sistem kekebalan tubuh.
Hipotesis ini didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa keadaan emosional yang
diinduksi dapat mempengaruhi parameter imunologi dan inflamasi. Dalam satu studi, suasana
hati yang negatif ditemukan terkait dengan penekanan dan suasana hati positif dengan
peningkatan kemotaksis, ukuran fungsi kekebalan tubuh (Zachariae, Bjerring, Zachariae et al.,
1991). Di sisi lain, respon inflamasi kulit terhadap histamin,suatu model reaksi alergi tipe cepat
ditemukan meningkat setelah suasana hati yang negatif dan menurun setelah mood positif
(Zachariae, Jorgensen, Egekvist & Bjerring, 2001). Perlu dicatat bahwa hubungan antara
suasana hati dan arah respon imun atau respon inflamasi bukan pertanyaan sederhana terkait
dengan suasana hati yang positif meningkat dan negatif dengan penekanan, tetapi dalam
konkordansi dengan implikasi klinis, yaitu bahwa mengurangi kemotaksis dan peningkatan reaksi
inflamasi dikaitkan dengan hasil klinis negatif.

Dalam kondisi alami, hubungan antara kekebalan tubuh dan emosi mungkin dimediasi oleh
faktor-faktor perilaku lainnya. Dampak negatif dikaitkan dengan kualitas tidur terganggu
(Thomsen, Mehlsen, Christensen & Zachariae, 2003), yang pada gilirannya diketahui
mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh (Born, 1999), dan studi lain telah menegaskan bahwa
asosiasi itu ditemukan antara depresi dan fungsi kekebalan yang ditemukan di populasi klinis,
seperti infeksi HIV, sebagian dimediasi oleh kualitas tidur terganggu (Cruess, Antoni, Gonzalez
dkk., 2003).

Teori bahwa berbagai jenis penghambatan emosional, seperti alexithymia (Jorgensen, Zachariae,
Skytthe & Kyvik, 2007) dan represi emosional (Jorgensen & Zachariae, 2006) berhubungan
dengan peningkatan risiko gejala somatik, telah menimbulkan hipotesis bahwa penghambatan
emosional dapat menjadi faktor risiko untuk perkembangan kanker (Leshan, 1959). Temuan
berikutnya, bagaimanapun, menunjukkan bahwa kenaikan tingkat represi yang sering ditemukan
pada pasien kanker dapat menjadi respon yang berupaya untuk diagnosis kanker, dibanding ciri-
ciri kepribadian premorbid (Zachariae, Jensen, Pedersen et al., 2004). Ini tidak
mengesampingkan kemungkinan bahwa represif dapat dikaitkan dengan prognosis kanker yang
lebih buruk. Memahami teori ini akan ditingkatkan, jika hubungan yang jelas antara
penghambatan emosional dan kanker-relevan kekebalan-langkah dapat diidentifikasi. Hanya
beberapa studi sejauh ini yang membahas masalah ini masi memberi hasil yang beragam (e.g.
Esterling, Antoni, Kumar & Schneiderman, 1993; Jamner, Schwartz & Leigh, 1988).

Modulasi sukarela dari sistem kekebalan tubuh melalui gambaran sensorik

Sementara fenomena psychoneuroimmunologic yang dijelaskan di atas masih dapat dipahami


sebagai sebuah "otonom" - yaitu non-sukarela gagasan bahwa sistem kekebalan tubuh dapat
dipengaruhi oleh proses sukarela adalah kontroversial dari sudut pandang konvensional
biomedis. Namun, ada bukti yang berkembang bahwa ini memang dimungkinkan dengan
mengubah persepsi sensori melalui berbagai teknik psikologis seperti memberi gambaran atau
hypnosis (Zachariae, 2001). Respon tubuh terhadap rangsangan eksternal yang berpotensi
merusak diatur oleh sejumlah mekanisme yang sangat terintegrasi, yang melibatkan sistem saraf
pusat dan perifer. Kedua sistem berinteraksi dengan tujuan menghasilkan respon endokrin, saraf
kardiovaskular, kekebalan tubuh, dan sensorik (SNS) sistem yang menampilkan reaksi fisiologis
dan perilaku yang paling adaptif dalam kondisi yang berbeda.

Sebagai contoh, reaksi inflamasi dari kulit yang ditampilkan untuk diatur sebagian oleh jalur naik
dan turun antara otak dan SNS (Zakharia, 1996). Sebagai contoh, penelitian pada hewan telah
menunjukkan bahwa kerusakan saraf sensoris menekan reaksi radang kulit untuk histamin, dan,
pada manusia, reaksi peradangan kulit dapat ditekan dengan anestesi lokal. Hal ini menunjukkan
bahwa intensitas reaksi inflamasi lokal, seperti pembakaran, sebagian bergantung pada umpan
balik sensoris ke otak dari daerah yang terkena. Hal ini juga diketahui bahwa sugesti hypnosis
dapat mempengaruhi persepsi diri yang dilaporkan oleh rangsangan sensoris seperti nyeri dan
menghubungkan otak dan sensorik (Zakharia & Bjerring, 1994; Zacharia, Andersen, Bjerring,
Jorgensen & Arendt-Nielsen, 1998; Zacharia, Bjerring, Arendt-Nielsen, Nielsen & Gotliebsen
1991a), dan sistem bio-psiko-sosial yang terintegrasi, kita karenanya harus mengubah persepsi
psikologis yang diinduksi untuk mengurangi reaksi inflamasi lokal. Hipotesis ini dikonfirmasi
dalam sebuah studi yang menunjukkan respon inflamasi terhadap histamine berkurang dalam
kondisi hipnosis analgesia, dibandingkan dengan reaksi dalam kondisi kontrol, dengan
penurunan potensi otak yang ditimbulkan oleh mengkonfirmasi mengurangi rasa sakit yang
ditimbulkan selama hipnosis analgesia (Zachariae & Bjerring, 1990 ).

Penelitian lain menunjukkan bahwa sugesti hypnosis untuk menghilangkan atau meningkatkan
reaksi kulit dapat mempengaruhi reaksi inflamasi kulit yang berhubungan dengan alergi tipe
cepat dan tipe respon imun tipe lambat yang relevan dengan eczema, psoriasis dan penyakit kulit
lainnya (Zachariae, Bjerring & arendt- Nielsen, 1989). Hasil lain menunjukkan bahwa system
kekebalan tubuh sensitif terhadap pengaruh psikologis baik selama fase belajar dari respon
imun dan sensitisasi atau selama tantangan berikutnya atau retensi (Zachariae & Bjerring,
1993;. Zachariae et al, 1997). Hasil yang tersedia menunjukkan perubahan sukarela dalam reaksi
imun local membutuhkan jalur sensorik yang cukup kuat ( Locke, Ransil, Zachariae et al, 1994b)
dan bahwa efek pada komponen kekebalan spesifik dari kulit dan mukosa yang mungkin dapat
dimediasi melalui pengaruh saraf pada proses vascular local bukan oleh efek differensial
langsung pada jenis tertentu dari sel-sel kekebalan (Zachariae, Hansen, Andersen et al., 1994).
Sementara kedua intervensi dapat mempengaruhi fungsi berbagai sel kekebalan dalam darah
dibandingkan dengan tanpa intervensi, hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan
antara efek relaksasi dan gambaran panduaan, menunjukkan bahwa efek pada sel-sel di aliran
darah perifer mungkin karena efek nonspesifik dari relaksasi yang lebih umum dan pengurangan
stress, melalui aktivitas system system saraf otonom. Beberapa studi telah meneliti aplikasi klinis
dari temuan ini, tapi hasil awal menunjukkan bahwa pasien dengan kekebalan terkait penyakit
kulit seperti psoriasis dapat mengambil manfaat dari intervensi psikologis (Zackharia, Oster, &
Kragballe Bjerring, 1996)

Efek imun ,otak dan perilaku

Seperti yang diharapkan dari teori system kehidupan, jalur antara otak dan system kekebalan
tubuh tidak mungkin searah dan harus memiliki setidaknya beberapa jenis umpan balik dari
system kekebalan tubuh ke otak ( Zakhariae, 1996). Hal ini ditunjukkan paling jelas oleh studi
tentang perilaku penyakit yang disebut sitokin yang diinduksi selama infeksi (Dantzer, 2001).
Pada tingkat perilaku, individu yang terkena menunjukkan aktivitas tertekan, kehilangan
ketertarikan pada lingkungan, dan mengurangi konsumsi makanan dan secara subjektif, infeksi
berhubungan dengan kelelahan, gangguan mood dan meningkatnya rasa nyeri. Perubahan ini
dapat diinduksi secara eksperimental pada hewan yang sehat dan manusia dengan suntikan
sitokin pro-inflamasi ( misalnya interleukin-1) yang biasanya dikeluarkan oleh sel kekebalan
tubuh selama respon terhadap infeksi virus atau bakteri. orang bisa berpendapat bahwa pola
sifat penyakit yang disebabkan oleh system kekebalan tubuh adalah suatu keadaan motivational,
dibanding konsekuensi yang disebabkan kelemahan fisiologis dan hal ini menunjukkan suatu
respon dimana perilaku adaptif yang mendukung perubahan proses fisiologis yang terjadi selama
infeksi. Sebagai contoh, peningkatan suhu badan dibutuhkan untuk menghasilkan demam
meninggalkan sedikit ruang kegiatan mahal yang tidak ada gunanya untuk melawan pathogen
infeksius dan penurunan tingkat karakter aktifitas penyakit dapat dipandang sebagai strategi
yang sangat terorganisir yang sangat penting bagi kehidupan organism ( Dantzer,2001)

Perspektif pada sifat penyakit yang disebabkan oleh sitokin dapat menyebabkan perspektif baru
dalam psychoneuroimunology kanker. Kanker biasanya berhubungan dengan peningkatan
inflamasi dan meningkatnya kejadian depresi yang ditemukan diantara pasien yang menderita
kanker (Christensen, zacharieae, Jensen et al, 2009) bisa, setidaknya sebagian, merupakan
sindrom penyakit yang disebabkan oleh sitokin (Raison & Miller,2003). Seperti peradangan telah
dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk, hal ini secara teoritis dapat menjelaskan hubungan
yang ditemukan antara depresi dan angka kematian pada kanker. Bidang lain yang menarik
adalah keluhan umum yang mengganggu fungsi kognitif setelah terapi kanker , sering disebut
pasien sebagai otak yang dikemo. Karena keluhan kognitif cenderung disebabkan oleh obat
kemoterapi sendiri ( Mehlsen, Pedersen, Jensen & Zacharia, 2009 Pedersen, Rossen, Mehlsen,
pedersen & von der Maase Zacharia, 2009a), kemungkinan disebabkan oleh kanker yang
dipengaruhi imun pada otak.

Kesimpulan

Seperti yang dibahas diatas, penelitian psychoneuroimunologi selama tiga dekade terakir telah
menunjukkan adanya interaksi antara otak dan sistem kekebalan tubuh dan hasil sejumlah studi
menunjukkan bahwa faktor psikososial yang negative seperti depresi dan stress berhubungan
dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Walaupun masih kurang , bagaimanapun ,
terdapat bukti yang cukup meyakinkan bahwa hubungan antara faktor psikososial dan kesehatan
dan penyakit dimediasi oleh jalur otak dan system imun dan penelitian lebih lanjut masih
diperlukan. Penelitian psychoneuroimmunologic telah mengungkapkan kompleksitas tingkat
tinggi dari hubungan otak dan sistem imun dan fungsi adaptasi dari banyak interaksi, hal ini
masih jauh dari dimengerti sepenuhnya. Hal ini membuat sulit untuk menginterprtasi berbagai
hasil imun dalam studi tentang faktor psikososial dan imunitas dan menunjukkan bahwa janji
menguatkan system imun yang biasa dipromosikan oleh para pendukung terapi komplementer
dan alternative hanya kiasan yang sedikit masuk akal dari perspektif ilmiah (Zachariae, 1996).
Meskipun bidang psikoneuroimunologi telah memberikan hasil yang menjanjikan, pertanyaan
penting apakah manipulasi perilaku seperti stress atau intervensi dapat mempengaruhi
kekebalan sehingga dapat mempengaruhi kesehatan dan kelangsungan hidup tetap masih harus
dijawab.

References

Ader, R. (1981). Psychoneuroimmunology. New York: Academic Press.

Ader, R. & Cohen, N. (1975). Behaviorally conditioned immunosupression. Psychosomatic


Medicine, 37, 333340. PubMed,Web of Science Times Cited: 353

Ader, R. & Cohen, N. (2001). Conditioning and immunity. in R.Ader, D. L.Felten & N.Cohen
(Eds.), Psychoneuroimmunology (3rd edn, pp. 334). New York: Academic Press.

Bellinger, D. L., Lorton, D., Lubahn, C. & Felten, D. L. (2001). Innervation of lymphoid organs -
Association of nerves with cells of the immune system and their implications in disease. in
R.Ader, D. L.Felten & N.Cohen (Eds.), Psychoneuroimmunology (3rd edn, pp. 55111). New
York: Academic Press.

Biziere, K., Guillaumin, J. M., Degenne, D., Bardos, P. & Renoux, M. (1985). Lateralized
neocortical modulation of the T-cell lineage. In R.Guillemin et al. (Eds.), Neural modulation of
immunity (pp. 8194). New York: Raven Press.
Blalock, J. E. (1984). The immune system as a sensory organ. Journal of Immunology, 132,
10671070. PubMed,Web of Science Times Cited: 348

Born, J. (1999). Sleep and immune function. In M.Schedlowski & U.Tewes (Eds.),
Psychoneuroimmunology An interdisciplinary introduction (pp. 417442). New York: Kluwer
Academic/Plenum Publishers.

Bovbjerg, D., Valdimarsdottir, H. B. & Zachariae, R. (1999). Psychoneuroimmunology in


oncology. in M.Schedlowski & U.Tewes (Eds.), Psychoneuroimmunology: A textbook (pp.
473486). New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers.

Bovbjerg, D. H., Redd, W. H., Maier, L. A., Holland, J. C., Lesko, L. M., Niedzwiecki, D., et al.
(1990). Anticipatory immune suppression and nausea in women receiving cyclic
chemotherapy for ovarian cancer. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 58, 153
157. CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited: 50

Carr, D. J. J. & Blalock, J. E. (1991). Neuropeptide hormones and receptors common to the
immune and neuroendocrine systems: Bidirectional pathway of intersystem communication.
in R.Ader, D. L.Felten & N.Cohen (Eds.), Psychoneuroimmunology (2nd edn, pp. 573588).
New York: Academic Press.

Chida, Y. & Steptoe, A. (2008). Positive psychological well-being and mortality: A quantitative
review of prospective observational studies. Psychosomatic Medicine, 70, 741756.
CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited: 23

Christensen, S., Zachariae, R., Jensen, A. B., Vaeth, M., Moller, S., Ravnsbaek, J., et al. (2009).
Prevalence and risk of depressive symptoms 34 months post-surgery in a nationwide
cohort study of Danish women treated for early stage breast-cancer. Breast Cancer
Research and Treatment, 113, 339355. CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited: 5

Cohen, J. J. (1987). Methodological issues in behavioral immunology. Immunology Today, 8, 33


34. CrossRef,Web of Science Times Cited: 15

Cruess, D. G., Antoni, M. H., Gonzalez, J., Fletcher, M. A., Klimas, N., Duran, R., et al. (2003).
Sleep disturbance mediates the association between psychological distress and immune
status among HIV-positive men and women on combination antiretroviral therapy. Journal of
Psychosomatic Research, 54, 185189. CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited:
14

Cuijpers, P. & Smit, F. (2002). Excess mortality in depression: A meta-analysis of community


studies. Journal of Affective Disorders, 72, 227236. CrossRef,PubMed,Web of Science
Times Cited: 86

Dantzer, R. (2001). Cytokine-induced sickness behavior: Mechanisms and implications. Annals of


the New York Academy of Science, 933, 222234. PubMed,Web of Science Times Cited:
211

Dhabhar, F. S. & McEwen, B. (2001). Bidirectional effects of stress and glucocorticoid hormones
on immune function: possible explanations for paradoxical observations. In R.Ader, D.
L.Felten & N.Cohen (Eds.), Psychoneuroimmunology (3rd edn, pp. 301338). New York:
Academic Press.
Dhabhar, F. S. & McEwen, B. S. (1997). Acute stress enhances while chronic stress suppresses
cell-mediated immunity in vivo: A potential role for leukocyte trafficking. Brain, Behavior, and
Immunity, 11, 286306. CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited: 258

Ehrnrooth, E., Zachariae, R., Svendsen, G., Jorgensen, M. M., Yishay, M., Sorensen, B. S., et al.
(2002). Increased Thymidylate Synthase mRNA concentration in blood leukocytes following
an experimental stressor. Psychotherapy and Psychosomatics, 71, 97103.
CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited: 4

Engel, G. L. (1977). The need for a new medical model: A challenge for biomedicine. Science,
196, 129136. CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited: 2180

Esterling, B. A., Antoni, M. H., Kumar, M. & Schneiderman, N. (1993). Defensiveness, trait
anxiety, and Epstein-Barr viral capsid antigen antibody titers in healthy college students.
Health Psychology, 12, 132139. CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited: 49

Fessel, W. J. & Solomon, G. F. (1960). Psychosis and systemic lupus erythematosus. California
Medicine, 92, 266270. PubMed

Herbert, T. B. & Cohen, S. (1993a). Depression and immunity: A meta-analytical review.


Psychological Bulletin, 113, 472486. CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited: 431

Herbert, T. B. & Cohen, S. (1993b). Stress and immunity in humans: a meta-analytic review.
Psychosomatic Medicine, 55, 364379. PubMed,Web of Science Times Cited: 492

Ishigami, T. (1919). The influence of psychic acts on the progress of pulmonary tuberculosis.
American Review of Tuberculosis, 2, 470484.

Jamner, L. D., Schwartz, G. E. & Leigh, H. (1988). The relationship between repressive and
defensive coping styles and monocyte, eosinophile, and serum glucose levels: Support for
the opioid peptide hypothesis of repression. Psychosomatic Medicine, 50, 567
575.PubMed,Web of Science Times Cited: 132

Jerne, N. K. (1974). Towards a network theory of the immune system. Annals of Immunology
(Paris), 125C, 373389. PubMed,Web of Science Times Cited: 3206

Jorgensen, M. M. & Zachariae, R. (2006). Repressive coping style and autonomic reactions to
two experimental stressors in healthy men and women. Scandinavian Journal of Psychology,
47, 137148. Direct Link:Abstract,Full Article (HTML),PDF(122K),References

Jorgensen, M. M., Zachariae, R., Skytthe, A. & Kyvik, K. (2007). Genetic and environmental
factors in alexithymia: A population-based study of 8,785 Danish twin pairs. Psychotherapy
and Psychosomatics, 76, 369375. CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited: 7

LeShan, L. (1959). Psychological states as factors in the development of malignant disease: A


critical review. Journal of the National Cancer Institute, 22, 18.

Locke, S. E., Ransil, B. J., Zachariae, R., Molay, F., Tollins, K., Covino, N. A., et al. (1994). Effect
of hypnotic suggestion on the delayed-type hypersensitivity response. JAMA: The Journal of
the American Medical Association, 272, 4752. CrossRef,PubMed,Web of Science Times
Cited: 22
Mehlsen, M., Pedersen, A. D., Jensen, A. B. & Zachariae, R. (2009). No indications of cognitive
side-effects in a prospective study of breast cancer patients receiving adjuvant
chemotherapy. Psychooncology, 18, 248257. Direct Link:Abstract,PDF(159K),References

Melzack, R. (1993). Pain: Past, present and future. Canadian Journal of Experimental
Psychology, 47, 615629. PubMed,Web of Science Times Cited: 41

Metalnikov, S. & Chorine, V. (1926). Rle des rflexes conditionnels dans limmunit. Annales de
lInstitut Pasteur, 40, 900.

Overton, D. A. (1991). Historical context of state dependent learning and discriminative drug
effects. Special issue: Behavioral aspects of drug discrimination. Behavioral Pharmacology,
2, 253264. Web of Science Times Cited: 38

Pedersen, A. D., Rossen, P., Mehlsen, M. Y., Pedersen, C. G., Zachariae, R. & Von Der Maase,
H. (2009a). Long-term cognitive function following chemotherapy in patients with testicular
cancer. Journal of the International Neuropsychological Society, 15, 296
301.CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited: 1

Pedersen, A. F., Bovbjerg, D. & Zachariae, R. (2009b). Stress and susceptibility to infectious
disease: A review of the literature. In R. J.Contrada & A.Baum (Eds.), Handbook of stress
science: Psychology, biology, and health. New York: Springer (in press).

Pedersen, A. F., Zachariae, R. & Bovbjerg, D. (2009c). Psychological stress and antibody
response to influenza vaccination: A meta-analysis. Brain, Behavior, and Immunity, 23, 427
433. CrossRef,Web of Science Times Cited: 2

Pedersen, A. F., Zachariae, R., Jensen, A. B., Bovbjerg, D., Andersen, O. & Von Der Maase, H.
(2009d). Psychological stress predicts the risk of febrile episodes in cancer patients during
chemotherapy. Psychotherapy and Psychosomatics, 78, 258260. CrossRef,PubMed,Web of
Science Times Cited: 1

Raison, C. L. & Miller, A. H. (2003). Depression in cancer: New developments regarding


diagnosis and treatment. Biological Psychiatry, 54, 283294. CrossRef,PubMed,Web of
Science Times Cited: 71

Rasmussen, A. F., Marsh, J. T. & Brill, N. O. (1957). Increased susceptibility to herpes simplex in
mice subjected to avoidance-learning stress or restraint. Proceedings of the Society for
Experimental Biology and Medicine, 96, 183189. PubMed,Web of Science Times Cited:
120

Solomon, G. F., Amkraut, A. A. & Kasper, P. (1964). Immunity, emotions and stress. Annals of
Clinical Research, 6, 313322.

Thomsen, D. K., Mehlsen, M. Y., Christensen, S. & Zachariae, R. (2003). Rumination


relationship with negative mood and sleep quality. Personality and Individual Differences, 34,
12931301. CrossRef,Web of Science Times Cited: 20

Von Bertalanffy, L. (1969). General systems theory: Foundations, development, applications.


New York: Brazilier.

Zachariae, R. (1996). Mind and immunity: Psychological modulation of immunological and


inflammatory parameters. Copenhagen: Munksgaard.
Zachariae, R. (2001). Hypnosis and immunity. In R.Ader, D. L.Felten & N.Cohen (Eds.),
Psychoneuroimmunology (3rd edn, vol. 2, pp. 133160). New York: Academic Press.

Zachariae, R., Andersen, O. K., Bjerring, P., Jorgensen, M. M. & Arendt-Nielsen, L. (1998).
Effects of an opioid antagonist on pain intensity and withdrawal reflexes during induction of
hypnotic analgesia in high- and low- hypnotizable volunteers. European Journal of Pain, 2,
2534. CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited: 10

Zachariae, R. & Bjerring, P. (1990). The effect of hypnotically induced analgesia on flare reaction
of the cutaneous histamine prick test. Archives of Dermatological Research, 282, 539543.
CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited: 25

Zachariae, R. & Bjerring, P. (1993). Increase and decrease of delayed cutaneous reactions
obtained by hypnotic suggestions during sensitization. Studies on dinitrochlorobenzene and
diphenylcyclopropenone. Allergy, 48, 611. Direct Link:Abstract,PDF(750K),References

Zachariae, R. & Bjerring, P. (1994). Laser-induced pain-related brain potentials and sensory pain
ratings in high and low hypnotizable subjects during hypnotic suggestions of relaxation,
dissociated imagery, focused analgesia, and placebo. International Journal of Clinical and
Experimental Hypnosis, 42, 5680. CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited: 28

Zachariae, R., Bjerring, P. & Arendt-Nielsen, L. (1989). Modulation of type I immediate and type
IV delayed immunoreactivity using direct suggestion and guided imagery during hypnosis.
Allergy, 44, 537542. Direct Link:Abstract,PDF(412K),References

Zachariae, R., Bjerring, P., Arendt-Nielsen, L., Nielsen, T. & Gotliebsen, K. (1991a). The effect of
hypnotically induced emotional states on brain potentials evoked by painful argon laser
stimulation. Clinical Journal of Pain, 7, 130138. PubMed,Web of Science Times Cited: 12

Zachariae, R., Bjerring, P., Zachariae, C., Arendt-Nielsen, L., Nielsen, T., Eldrup, E., et al.
(1991b). Monocyte chemotactic activity in sera after hypnotically induced emotional states.
Scandinavian Journal of Immunology, 34, 7179. Direct
Link:Abstract,PDF(2785K),References

Zachariae, R., Hansen, J. B., Andersen, M., Jinquan, T., Petersen, K. S., Simonsen, C., et al.
(1994b). Changes in cellular immune function after immune specific guided imagery and
relaxation in high and low hypnotizable healthy subjects. Psychotherapy and
Psychosomatics, 61, 7492. PubMed,Web of Science Times Cited: 25

Zachariae, R., Jensen, A. B., Pedersen, C., Jorgensen, M. M., Christensen, S., Lassesen, B., et
al. (2004). Repressive coping before and after diagnosis of breast cancer. Psychooncology,
13, 547561. Direct Link:Abstract,PDF(147K),References

Zachariae, R., Jorgensen, M. M., Bjerring, P. & Svendsen, G. (2000a). Autonomic and
psychological responses to an acute psychological stressor and relaxation: The influence of
hypnotizability and absorption. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis,
48, 388403. CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited: 15

Zachariae, R., Jorgensen, M. M. & Christensen, S. (2000b). Hypnotizability and absorption in a


Danish sample: Testing the influence of context. International Journal of Clinical and
Experimental Hypnosis, 48, 306314.CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited: 9
Zachariae, R., Jorgensen, M. M., Christensen, S. & Bjerring, P. (1997). Effects of relaxation on
the delayed-type hypersensitivity (DTH) reaction to diphenylcyclopropenone (DCP). Allergy,
52, 760764. Direct Link:Abstract,PDF(468K),References

Zachariae, R., Jorgensen, M. M., Egekvist, H. & Bjerring, P. (2001). Skin reactions to histamine of
healthy subjects after hypnotically induced emotions of sadness, anger, and happiness.
Allergy, 56, 734740. Direct Link:Abstract,Full Article (HTML),PDF(106K),References

Zachariae, R., Oster, H. & Bjerring, P. (1994a). Effects of hypnotic suggestions on ultraviolet B
radiation-induced erythema and skin blood flow. Photodermatology, Photoimmunology, and
Photomedicine, 10, 154160. PubMed,Web of Science Times Cited: 11

Zachariae, R., Oster, H., Bjerring, P. & Kragballe, K. (1996). Effects of psychologic intervention on
psoriasis: A preliminary report. Journal of the American Academy of Dermatology, 34, 1008
1015. CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited: 42

Zachariae, R., Paulsen, K., Mehlsen, M., Jensen, A. B., Johansson, A. & Von Der Maase, H.
(2007a). Anticipatory nausea: The role of individual differences related to sensory perception
and autonomic reactivity. Annals of Behavioral Medicine, 33, 6979. CrossRef,PubMed,Web
of Science Times Cited: 3

Zachariae, R., Paulsen, K., Mehlsen, M., Jensen, A. B., Johansson, A. & Von Der Maase, H.
(2007b). Chemotherapy-induced nausea, vomiting, and fatigue: The role of individual
differences related to sensory perception and autonomic reactivity. Psychotherapy and
Psychosomatics, 76, 376384.CrossRef,PubMed,Web of Science Times Cited: 6

Anda mungkin juga menyukai