Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KIMIA KLINIK
PEMERIKSAAN DARAH IMUNOSEROLOGI

DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
AMALIAH PRATIWI
CINDI AFRIYANI
MOH IRSYAD OLII
PUPUT TILOME
WIDYA S KISMAN

PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN


STIKES BINA MANDIRI GORONTALO
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejarah perkembangan konsep imunologi dimulai sejak zaman Hippocrates
(460-377 SM) sampai saat ini. Hippocrates adalah seorang pakar perabotan asal
yunani yang sangat terkenal ketika itu dan dihadiahi gelar “Bapa Perubatan”.
Hippocrates berpendapat bahwa sakit disebabkan karena bukan disebabkan hal-
hal yang bersifat supranatural. Penyakit terjadi karena adanya keterkaitan elemen-
elemen bumi berupa api, uadara dan air. Elemen-elemen tersebut menyebabkan
kondisi dingin, kering, panas dan lembab. Kondisi ini mempengaruhi sejumlah
cairan dalam tubuh seperti darah, cairan empedu kuning, dan cairan empedu
hitam. Pada zaman ini Hippocrates telah menghubungkan antara kejadian sakit
dengan factor-faktor lingkungan. Claudius Galenus atau Galen, seorang pakar
perobatan, pakar bedah, serta alih falsafah sal pergamos, menyatakan bahwa
penyakit terjadi akibat adanya interaksi antara tiga factor yaitu tubuh, sikap atau
cara hidup, dan atmosfer. Dia mencetuskan teori miasma yang menganggab
bahwa penyakit disebabkan oleh zat halus (gas busuk) dari permukaan bumi.
Miasma dianggab sebagai uap beracun atau kabut berisi partikel dari materi
membusuk yang menyebabkan penyakit. Penyakit berhubungan dengan racun
yang keluar dari hasil fakto-faktor lingkungan seperti air,yang terkontaminasi,
udara kotor, dan kondisi lingkungan yang buruk, infeksi tersebut menyebar tidak
melalui individu ke individu lain, akan tetapi hanya mempengaruhi individu-
individu yang tinggal dalam daerah tertentu yang memunculkan uap busuk
tersebut. Dapat dikatakan pada galen ini telah ada pemikiran bahwa penyakit
terjadi karena dipengaruhi oleh lingkungan dan sikap hidup.
Pada tahun 1546, seseorang fisikawan sekaligus penyair asal itali mengajukan
teori contagion yang menyatakan bahwa pada penyakit infeksi terdapat suatu zat
yang dapat memindahkan penyakit tersebut dari satu individu ke individu lain,
tetapi zat tersebut sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan mata dan pada

2
waktu itu belum dapat diidentifikasi. Menurut konsep ini sakit terjadi karena
adanya proses kontak atau bersinggungan dengan sumber penyakit. Dapat
dikatakan pada masa ini, telah ada pemikiran adanya konsep penularan. Pada
tahun 1798 Edward Jenner mengamati bahwa seserang dapat terhindar dari
inveksi fariola secara alamiah, bila ia telah terpajan sebelumnya dengan cacar sapi
sejak saat itu, mulai dipakailah vaksin cacar walaupun pada waktu itu belum
diketahui bagaimana mekanisme yang sebenarnya terjadi. Memang imunologi
tidak akan maju bila tidak diiringi dengan kemajuan dalam bidang teknologi,
terutama teknologi kedokteran. Pada mulanya imunologi merupakan cabang
mikrobiologi yang mempelajari respon tubuh, terutama respon kekebalan
terhadap penyakit infeksi.pada tahun 1546,Girolamo Fracastoro mengajukan teori
contagion yang menyatakan bahwa pada penyakit infeksi terdapat suatu zat yang
dapat memindahkan penyakit tersebut dari satu individu ke individu lainnya,
tetapi zat tersebut sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan mata dan pada
waktu itu belum dapat diidentifikasi. Imunologi adalah ilmu yang mempelajari
struktur dan fungsi imunitas. Imunologi berasal dari kedokteran dan penelitian
awal akibat dari imunitas sampai penyakit. Sebutan imunitas yang pertama kali
diketahui adalah selama wabah Athena tahun 430 SM.
Dengan ditemukannya mikroskop maka kemajuan dalam bidang mikrobiologi
meningkat dan mulai dapat ditelusuri penyebab penyakit infeksi. Penelitian ilmiah
mengenai imunologi baru dimulai setelah Louis Pasteur pada tahun 1880
menemukan penyebab penyakit infeksi dan dapat membiak mikroorganisme serta
menetapkan teori kuman (germ theory) penyakit. Penemuan ini kemudian
dilanjutkan dengan diperolehnya vaksin rabies pada manusia tahun 1885.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan IgG, IgA IgE, IgD dan IgM?
2. Bagaimana cara penentuan IgM?
3. Bagaimana Pemeriksaan Imunologis Khusus?
4. Bagaimana Pembentukan Antibodi?

3
4.3 Tujuan
Agar mahasiswa dapa mengetahui ilmu yang mempelajari tentang
imunoserologi spesifiknya pada IgG, IgM dan IgA.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
21. Pengertian Imunologi
Imunologi Adalah suatu cabang yang luas dari ilmu Biomedis yang mencakup
kajian mengenai semua aspek system imun ( Kekebalan) pada semua Organisme.
Imunologi antara lain mempelajari peranan fisiologis system imun baik baik
dalam keadaan sehat maupun sakit ; malfunsi system imun pada gangguan
imunologi (penyakit autoimun, hipersensivitas, defisiensi imun, penolakan
allograft), karakteristik, fisik, kimiawi, dan fisiologis komponen-komponen
system imun in vitro, in situ, dan in vivo. Imunologi memiliki bebagai penerapan
pada berbgai disiplin ilmu dan karenanya dipecah menjadi beberapa
subdisiplin.Imunitas atau kekebalan adalah system mekanisme pada organisme
yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi
dan membunuh pathogen serta sel tumor.Imunitas adalah merupakan jawaban
reaksi tubuh terhadap bahan asing secara molekuler maupun seluler
(Hasdianah dkk,2014).
Imunologi Adalah ilmu yang mempelajari tentang imunitas atau kekebalan
akibat adanya rangsangan molekul asing dari luar maupun dari dalam tubuh
manusia.Manusia mempunyai sistem pelacakan dan penjagaan terhadap benda
asing yang dikenal dengan sistem imun, dimana dapat melindungi tubuh terhadap
penyebab penyakit pathogen seperti virus, bakteri, parasit, jamur.Sistem imun
terbagi menjadi dua yaitu imun non spesifik (innate immunity) dan sistem imun
spesifik (adaptive immunity).Kedua sistem ini yang melindungi tubuh dan
mengeliminasi agen penyakit, jika tubuh kita tidak memiliki pertahanan tubuh
yang tinggi, pada akhirnya tubuh kita akan jatuh sakit dan mungkin akan berujung
kepada kematian. Dibutuhkan sistem kekebalan tubuh untuk menjaga agar tubuh
kita bisa melawan serangan apapun baik dari dalam maupun dari luar.Sistem
imunitas yang sehat adalah jika dalam tubuh bisa membedakan antara diri sendiri
dan benda asing yang masuk kedalam tubuh bisa membedakan antara diri sendiri

5
dan benda asing yang masuk kedalam tubuh.Biasanya ketika ada benda asing
yang masuk kedalam tubuh. Biasanya ketika ada benda asing yang memicu
respons imun masuk kedalam tubuh (antigen) dikenali maka terjadilah proses
pertahan diri (Hasdianah dkk,2014).
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari tentang proses pertahanan atau
imunitas tubuh terhadap senyawa makromolekuler atau organisme asing yang
masuk ke dalam tubuh. Zat asing yamg masuk tersebut dapat berupa virus, bakteri
protozoa atau parasit lainnya. Disamping itu tubuh juga dapat mengembangkan
respon imun terhadap protein tertentu yang terdapat didalam tubuh sendiri yang
disebut autoimunitas dan terhadap keberadaan sel yang tidak di kehendaki, yaitu
respon imunitas tubuh terhadap sel tumor. Lini pertama pertahanan tubuh kita
terhadap masuknya mikroorganisme adalah jaringan tubuh, antara lain kulit. Jika
pertahanan ini pertama tidak mampu menhan masuknya mikrorganisme maka sel-
sel pertahanan tubuh lainnya akan segera bekerja dengan cepat untuk
mengatasinya. Sel-sel magrofag dan neutrofil merupakan sel masuknya pertahan
tubuh yang mampu menelan dan memusnahkan organism asing yang masuk
kedalam tubuh kita tanpa adanya antibody.Beberapa senyawa penting lainnya
yang terdapat di permukaan sel epitel, senyawa yang terdapat dalam cairan
sekresi seprti air mata dan saliva serta zat yang terdapat di dalam peredaran darah
segera bekerja untuk mempertahankan tubuh dari ancaman organisme asing yang
masuk kedalam tubuh kita.Lini pertama sistem pertahanan tubuh ini di sebut
dengan”innate” atau sistem imun nonspesifik (Radji M, 2015).
2.2 Imunoglobulin
Imunoglobulin merupakan substansi pertama yang diidentifikasi sebagai
molekul dalam serum yang mampu menetralkan sejumlah mikroorganisme
penyebab infeksi.Molekul ini dibentuk oleh sel B dengan 2 bentuk yang berbeda,
yaitu sebagai reseptor permukaan antigen dan sebagai antibody yang disekresikan
ke cairan ekstraseluler.Antibodi yang disekresikan dapat berfungsi sebagai
adaptor yang mengikat antigen yang spesifik, sekaligus jembatan yang

6
menghubungkan antigen dengan sel sistem imun atau mengaktivasi komplemen
(Utari dkk,2016).
Antigen adalah bahan yang dapat bereaksi dengan produk respons imun dan
merupakan sasaran respons imun. Antigen disebut juga imunogen yaitu bahan
yang dapat menimbulkan respons imun. Epitop atau determinan antigen adalah
bagian antigen yang menginduksi pembentukan antibodi dan dapat diikan dengan
spesifik oleh bagian antibody dan limfosit. Hapten adalah determinan dengan
berat molekul rendah dan baru menjadi imunogen bila diikat oleh molekul besar
dan dapat mengikat antibodi. Contoh hapten adalah golongan antibiotic (Utari
dkk,2016).
Antibodi adalah bahan larut digolongkan dalam protein yang disebut globulin
dan sekarang dikenal sebagai imunoglobulin. Imunoglobulinn dibentuk oleh sel
plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen.
Semua molekul imunoglobulin mempunyai 4 rantai polipeptida dasar yaitu:
1. Dua rantai polipeptida pendek yang identik. Rantai polipeptida ini dinamakan
rantai L (light chain) atau rantai ringan
2. Dua rantai polipeptida panjang yang identik, rantai polipeptida ini disebut
rantai H (heavy chain) atau rantai berat.
Pada pertengahan rantai H didapatkan ikatan yang disebut ikatan
disulfida.Tiap rantai L diikat pada bagian tengah rantai H di sebelahnya.
Imunoglobulin (Ig) dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel
B akibat adanya kontak dengan antigen. Antibodi yang terbentuk spesifik ini
akan mengikat antigen baru lainnya yang sejenis. Bila serum protein dipisahkan
secara elektroforesis, maka imunoglobulin ditemukan terbanyak dalam fraksi
gammaglobulin meskipun ada pula yang ditemukan pada fraksi alfa dan beta.
Adapun Kelas-kelas Imunoglobulin sebagai berikut:
1. Imunoglobulin G (IgG)
a. IgG merupakan komponen utama imunoglobulin serum, dengan berat
molekul 160.000 dalton. Kadarnya dengan serum sekitar 13 mg/ml
merupakan 75% dari semua imunoglobulin. IgG ditemukan dalam

7
berbagai cairan seperti cairan serebrospinal dan urin. IgG dapat
menembus fetus dan berperan sebagai imunitas bayi sampai umur 6-9
bulan.
b. IgG dan komplemen bekerja saling membantu sebagai opsonin dan
pemusnanan antigen. IgG memiliki sifat opsonin yang efektif karena sel
fagosit memiliki reseptor untuk fraksi FC dari IgG sehingga dapat
mempererat hubungan antara fagosit dan sel sasaran. Selanjutnya
opsonisasi tersebut dibantu oleh reseptor komplemen pada permukaan
fagosit.
c. IgG juga berperan pada imunitas seluler karena dapat merusak antigen
seluler melalui interaksi dengan sistem komplemen. IgG ditemukan
banyak dalam darah, cairan sistem saraf pusat (SSP) dan peritoneal.
d. IgG adalah antibody yang mudah berdifusi masuk kedalam cairan
interestial, merupakan antibody utama yang terdapat dalam darah,
berperan sebagai antibody utama yang timbul bila tubuh dimasuki
antigen untuk yang kedua kalinya atau lebih (respon sekunder). IgG dapat
menembus plasenta sehingga dapat menembus janin dan bayi terhadap
penyakit tertentu (Utari dkk,2016).
2. Imunoglobulin A (IgA)
a. IgA ditemukan dengan jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya
dalam cairan sekresi saluran napas, saluran cerna, saluran kemih, air
mata, keringat, air ludah, dan air susu lebih tinggi dalam bentuk IgA
sekretori. Baik IgA dalam serum maupun dalam sekresi fungsinya dapat
menetralisir toksin atau virus dan mencegah kontak antara toksin atau
virus dengan sel sasaran. Berat molekulnya adalah 165.000dalton.
b. IgA dalam serum dapat mengaglutinasikan dan mengganggu motilitas
kuman sehingga mudah difagositosis. IgA dapat pula meningkatkan
fungsi sel polimorfonuklear (opsonisasi) karena memiliki reseptor Fc dari
IgA. IgA dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif, tidak

8
seperti halnya IgG dan IgM yang dapat mengaktifkan komplemenjalur
klasik.
c. Iga juga diduga berperan dalam imunitas terhadap cacing pita, defisiensi
IgA sering disertai dengan dibentuknya antibodi terhadap antigen
makanan dan inhalan pada alergi. Kadar IgA yang tinggi dalam serum
ditemukan pada infeksi kronis saluran napas dan cerna. Seperti
tuberkulosis, sirosis alkoholik, kolitis ulseratif, dan penyakit crone
d. IgA banyak terdapat dalam cairan sekresi membrane mukosa dan serosa
(kolostrum air susu ibu, air mata, secret usus dan bronkus, air ludah)
dengan demikian dapat melindungi membrane seromukosa dari serangan
bakteri dan virus. IgA juga terdapat dalam darah dan merupakan antibody
utama pada air susu (Utari dkk,2016).
3. Imunoglobulin M (IgM)
a. IgM adalah antibodi pertama yang dibentuk dalam respon imun. Nama M
berasal dari Macroglobulin dengan berat molekul 900 dalton
b. IgM mempunyai rumus bangun pentamer dan merupakan imunoglobulin
terbesar. Molekul-molekul tersebut diikat oleh fraksi Fc
c. Kebanyakan sel B memiliki IgM pada permukaannya sebagai reseptor
antigen. IgM dibentuk paling dahulu pada respons imun primer, oleh
sebab itu, kadar IgM yang tinggi menunjukkan adanya infeksi dini
d. Bayi yang baru lahir hanya memiliki IgM 10% dari kadar lgM orang
dewasa. Oleh karena IgM ibu tidak dapat menembus plasenta Fetus umur
12 minggu sudah mulai membentuk IgM bila sel B-nya sudah dirangsang
oleh infeksi intrauterine seperti sifilis, rubella toksoplasmosis dan virus
sitomegalo. Kadar IgM anak akan mencapai kadar IgM dewasa pada usia
1 tahun
e. Kebanyakan antibodi alamiah seperti isoaglutinin, golongan darahAB,
adalah IgM. IgM dapat mencegah gerakan mikroorganisme patogen,
memudahkan fagositosis dan aglutinator kuat terhadap antigen. IgM juga
merupakan antibodi yang dapat mengaktifkan komplemen dengan kuat.

9
f. IgM adalah kelas imunoglobulin yang responsnya pendek yaitu hanya
beberapa hari kemudian menurun. Fenomena inilah yang menjadi acuan
seseorang infeksinya akut atau tidak.
g. IgM memiliki berat molekul yang besar, terutama terdapat dalam darah.
Merupakan antibody yang pertama muncul setelah masuknya antigen
yang pertama kaji kedalam tubuh, sebagai antibody utama terhadap
bakteri gram negative, sebagai aglutinator dan pembentukan opsonin
(Utari dkk,2016).
4. Imunoglobulin D (IgD)
a. IgD ditemukan dengan kadar yang sangat rendah dalam sirkulasi.
Mungkin hal tersebut disebabkan oleh karena IgD tidak dilepaskan sel
plasma dan sangat rentan terhadap degradasi oleh proses proteolitik. IgD
merupakan komponen permukaan utama sel B dan petanda dari
diferensiasi sel B yang telah matang.
b. IgD tidak mengikat komplemen, mempunyai aktivitas antibodi terhadap
antigen berbagai makanan dan autoantigen. Selanjutnya IgD bersama
IgM pada permukaan sel B sebagai reseptor antigen.
c. Salah satu sifat IgD yang berbeda dengan imunoglobulin lain adalah IgD
lebih lentur dibanding imunoglobulin lain karena mempunyai bagian
engsel yang lebih panjang sehingga dapat melakukan ikat silang dengan
antigen polivalen secara efisien. Selain itu IgD sangat peka terhadap
enzim proteolitik, hal inilah yang menyebabkan IgD pendek (2-3 hari)
d. IgD diduga berfungsi untuk merangsang pembentukan antibody oleh sel
plasma, kemungkinan bertindak sebagai reseptor pada membrane sel.
(Utari dkk,2016).
5. Imunoglobulin E (IgE)
a. IgE memiliki berat molekul 200.000 dalton. IgE disebut juga antibody
reagenik dan merupakan lg dengan jumlah paling sedikit dalam serum,
tetapi memiliki efek cukup besar.

10
b. IgE mudah diikat mastosit, basofil dan eosinofil yang pada
permukaannya memiliki reseptor untuk fraksi FC dari IgE. IgE dibentuk
oleh sel plasma dalam selaput lendir saluran napas dan cerna. Kadar IgE
meningkat pada reaksi alergi, infeksi cacing, skistosomiasis, hidatid,
trikinosis dan diduga berperan pada imunitas terhadap parasit. IgE
disebut juga antibodi reagin. Proteksi terhadap parasit diperoleh melalui
ADCC dengan akibat dilepaskannya granul eosinofil yang toksik untuk
parasit
c. IgE fumgsinya masih belum jelas. IgE penting dalam pertahanan tubuh
terhadap parasit dan infeksi-infeksi lainnya. Kadar IgE meningkat pada
penyakit alergi seperti eksim dan asma (Utari dkk,2016).
2.3 Pembentukan Antibodi
Bila antigen pertama kali masuk ke dalam tubuh, terjadilah respons imun
primer yang ditandai dengan munculnya IgM beberapa hari setelah pemaparan.
Saat antara pemaparan antigen dan munculnya IgM disebut lag phase. Kadar IgM
mencapai puncaknya setelah 7 hari.Pada 6 sampai 7 hari setelah pemaparan, di
dalam serum mulai dapat terdeteksi IgG sedang IgM menurun. IgG mencapai
puncaknya pada 10–14 hari setelah pemaparan antigen (Sacher R A, 2004).
Bila pemaparan antigen terjadi kedua kali, terjadi respons imun sekunder atau
disebut juga booster.Baik IgM maupun IgG secara cepat meningkat dengan lag
phase yang pendek. Puncak kadar IgM juga lebih singkat dibanding respons imun
primer, sebaliknya kadar IgG meningkat jauh lebih tinggi dan berlangsung lama.
Perbedaan tersebut disebabkan adanya sel B dan sel T memori akibat pemaparan
yang pertama (Sacher R A, 2004).
Perbedaan dalam respons imun primer dan sekunder, kadar antibodi, lamanya
lag phase bergantung pada jenis, dosis dan cara masuk antigen serta uvitas teknik
yang digunakan untuk mengukur antibodi. Imunoglobulin ditentukan oleh tipe
rantai beratnya. IgG mempunyai rantai berat mu, IgA mempunyai rantai berat
alfa, IgE mempunyai rantai berat epsilon, dan IgD mempunyai rantai berat delta.
Molekul antibody yang diproduksi oleh satu klon sel plasma mempunyai rantai

11
berat yang persis sama dan juga mempunyai hanya satu tipe rantai ringan.
Terdapat dua tipe umum rantai ringan yang disebut kappa maupun lambda
terdapat di semua kelas antibody.Secara keseluruhan, terdapat predominasi kappa
dibandingkan lamda dengan rasio secara kasar 3:2 dalam serum individu normal
(Sacher R A, 2004).
Respon imunologis terhadap infeksi atau antigen asing lain khasnya
poliklonal, sedangkan proliferasi ganas sel limfoid khasnya monoclonal. Pada
beberapa keadaan klinis, tidak selalu mungkin untuk memastikan suatu proliferasi
limfoid dengan kajian ekspresi protein rantai ringan. Subkelas immunoglobulin
terjadi karena perbedaan minor pada rantai berat yang terjadi didaerah konstan
pada beberapa kelas. Terdapat empat subkelas IgG (IgG1,IgG2,IgG3 dan IgG4),
dua IgA (IgA1 dan IgA2).Beberapa perbedaan subkelas ini mengakibatkan
perubahan fungsi suatu immunoglobulin.Contohnya molekul IgG1, IgG2 dan
IgG3 secara umum dapat berkaitan dengan komplemen, sementara IgG4 tidak.
IgG3 mempunyai struktur yang memungkinkannya untuk berada dalam sirkulasi
dalam waktu yang jauh lebih pendaak dari pada subkelas IgG lain sebelum
dibersihkan. IgG2 maternal tidak dapat menembus plasenta masuk ke sirkulasi
fetal, sedangkan subkelas IgG lain dapat. IgG1 dapat dipecah dan diinaktivasi
oleh beberapa enzim bakteri (streptokokus dan gonokokus), sedangkan IgA2 tidak
rentan terhadap protease tersebut.Satu modifikasi lebih lanjut pada IgA terjadi
saat IgA menembus sel epitel dan masuk ke dalam sekresi tubuh seperti saliva,
yang IgA-nya merupakan immunoglobulin utama. Modifikasi ini meliputi
pelekatan IgA pada segmen protein lain yang disebut secretory piece
(Sacher R A, 2004).
Respon imun yang khas dimulai dengan peningkatan antibody IgM terhadap
antigen yang menstimulasi (imunogen).Fase ini diikuti dengan produksi antibody
IgG terhadap antigen tersebut.Stimulasi berulang dengan antigen tersebut
mengakibatkan produksi antibody IgG terhadap antigen tersebut. Stimulasi
berulang dengan antigen tersebut mengakibatkan produksi antibody IgG yang
lebih besar, tetapi dengan waktu keterlambatan (lag time) yang lebih pendek

12
setelah stimulus antigenic yang berhasil. Kemampuan system imun untuk mengat
dan berespons dengan lebih efisien terhadap suatu antigen disebut respon
anamnestic.Urutan waktu IgM yang diikuti IgG digunakan secara luas dalam
diagnosis penyakit infeksi. Secara umum, kata IgM yang bermakna terhadap
suatu virus, bakteri atau agen infeksius lain di interpretasikan sebagai bukti
adanya infeksi akut, sedangkan kadar IgG spesifik yang tinggi konsisten dengan
persistensi imunitas pada fase konvaselen setelah infeksi terdahulu. Aplikasi
umum prinsip ini adalah pengukuran antibody IgM terhadap virus hepatitis A
untuk mendiagnosis infeksi akut atau baru dengan virus tersebut. Antibody kelas
IgG terhadap virus hepatitis A hanya menunjukan infeksi lampau dan tidak terlalu
berguna secara klinis untuk evaluasi hepatitis saat ini (Sacher R A, 2004).
2.4 Komponen Yang Terpenting Dalam Imunoasai
Dari konsep dasar iimunoasai dapat diketahui bahwa komponen terpenting
dari imunoasai ialah antibody yaitu suatu molekul protein yang dibentuk in
vivo.Antibody yang terdapat di dalam serat adalah molekul yang besar dengan
berat molekul > 150.000 dalton.Mereka adalah protein yang tergolong dalam
kelas immunoglobulin. Immunoglobulin ini di bagi dalam subgroup (kelas) yang
diberi nama sesuai dengan hurup abjad sebaagai berikut: Ig G, Ig A, Ig M, Ig E.
Antisera yang di pakai untuk imunoasai atau serologi terutama mengandung
subgroup Ig G, Ig M dan mungkin Ig A (Sacher R A, 2004).
Bagian yang terikat pada antigen terletak pada variable region (bagaian
variebel). Pembagian menjadi bagian yang konstan dan bagian yang variable dari
suatu molekul antibody didasarkan pada variebilitas dari urutan sam amino
dalam suatu kelas immunoglobulin variasi urutan asam amino menyebabkan
variasi pula pada bagian yang mengikat antigen dan menimbulkan berbagai
bentuk tempat ikatan antigen (antigen binding sites) sehingga dapat menciptakan
sampai 101 macam antigen binding sites (Sacher R A, 2004).
1. Spesifisitas Dari Antibodi
Ikatan antara antigen dan antibody adalah spesifik seperti kunci dengan
anak kuncinya, namun spesifisitas ini tidak mutlak, reaksi silang dapat juga

13
terjadi dengan struktur molekul antigen lain yang mirip dengan antigen
pasangannya, jadi spesifisitas reaksi antigen dan antibody di samping
dipengaruhi spesifisitas antibodinya, tergantung pula pada kemurnian
antigennya (Sacher R A, 2004).
Berpijak pada landasan tersebut, antibody yang amat spesifik adalah
antibody yang memiliki binding sel yang hanya dapat mengikat antigen
dengan struktur molekul yang unik saja, sebaliknya antibody yang tidak
spesifik adalah antibody yang dapat mengikat berbagai macam antigen yang
menunjukan struktur molekul yang berbeda (Sacher R A, 2004).
2. Aviditas Dari Antibodi
Aviditas dari antibody adalah jumlah binding sites yang potensial dari
antibody terhadap antigen yang spesifik. Atas dasar ini ,maka antibody
mempunyai struktur bilateral yang penting, valensi dari sebagian bear
antibody minimal dua. Jadi sebagian besar antibody adalah bivalen atau
multivalent, namun bila antibody tersebut dipakai dalam konsentrasi yang
amat rendah (pengenceran amat besar) dia dapat bereaksi sebagai komponen
yang monovalen (Sacher R A, 2004).
3. Aviditas Dari Antibodi
Aviditas dari antibody adalah besarnya kemampuan antibody untuk
mengikat antigen. Jadi antobodi dengan aviditas yang besar akan
menunjukan tendensi untuk mengikat antigen yang banyak. Aviditas
merupakan refleksi dari afinitas (besarnya daya ikat) dan jumlah binding
sites (valensi) (Sacher R A, 2004).
4. Ukuran Kuantitas Antibodi
Untuk ukuran menenukan derajat imunitas, kadar antibody atau bahan lain
dalam serum harus dapat diukur dan dinyatakan dalam suatu satuan atau unit
tertentu, Ada beberapa cara penentuan kadar antibody dalam serum .
a. Kualitatif Hanya dinyatakan adanya atau tak adanya suatu bahan/
antibody dalam serum dengan melihat adanya perubahan dari bahan yang

14
diperiksa, misalnya adanya presipitas pada uji VDRL mikro, atau adanya
perubahan warna pada penentuan HBs antigen secara ELISA
b. Semikuantitatif kadar dari antibody atau bahan lain dalam serum di
tentukan dengan cara pengenceran serum secara progresif .kuantitas dari
antibody dalam hal ini dinyatakan dalam bentuk titer. Titer adalah harga
kebalikan dari pengenceran serum yang terbesr yang masih member
reaksi positif, misalnya serum diencerkan 2 kali, 4 kali, 8 kali, 16 kali,32
kali, dan 64 kali. Reaksi positif didapatkan pada pengenceran 2 kali, 4
kali, 8 kali, 16 kali, 32 kali, dan 64 kali.memberi hasil yang negative
maka titernya ialah 1 : 16
c. Kuantitatif; umunya ditentukan dengan menggunakan beberapa
(biasanya 5) sera baku yang telah diketahui kadar dari bahan yang akan
ditentukan, misalnya antibody dan di buat kurva baku untuk melihat
akurasi dari kurva baku tersebut dipakai serum control yang mempunyai
rentang kadar tertentu. Kurva baku ini dapat di pakai untuk menentukan
kadar dari suatu bahan didalam spesimn yang di periksa
(Sacher R A, 2004).
2.5 Pemeriksaan Imunologis serum
Banyak cara yang dapat dipakai untuk mengukur kadar imunoglobulin dalam
serum atau cairan tubuh lainnya. Peningkatan atau penurunan imunoglobulin
yang utama secara luas tampak pada pengukuran protein total dan albumin
dalam serum. Perbedaan antara kedua nilai tersebut menunjukan nilai globulin
serum, dengan imunoglobulin merupakan komponen utama dari fraksi gama
globulin. Karena fraksi globulin juga yang lain dapat bervariasi, apresiasi yang
lebih baik untuk kuantitas imunoglobulin bisa didapat dari elektroforesis protein
yang langsung mengukur gama globulin total. Gama globulin secara kualitatif
dapat dibedakan sebagai distribusi monoklonal (sempit) atau poliklonal (lebar)
dengan pemeriksaan secara visual terhadap strip elektroforesis atau dengan
pemindaian densitometrik (Sacher R A, 2004).

15
Tahap berikutnya dalam evaluasi kualitatif terhadap peningkatan gama
globulin adalah IEF atau EFI, menggunakan reagen antiboditerhadap rantai berat
atau rantai ringan imunoglobuin manusia. Teknik ini memperlihatkan adanya
predominasi dari IgD atau IgE, atau IgM, atau peningkatan ketiganya. Pada kasus
yang jarang suatu pengecualian pita protein yang tidak teridentifikasi pada
daerah gama mungkin IgD atau IgE, keduanya dapat dideteksi memakai antibodi
terhadap IgD atau IgE. Bila ada predominasi pada satu kelas imunoglobulin,
perlu ditentukan apakah komponen proteinnya monoklonal atau poliklonal.
Penentuan ini berasarkan adanya satu jenis rantai ringan saja ( yaitu kappa atau
lambda) menunjukan gamopati menoklonal. Temuan ini khas untuk
mielomamultipel atau diskrasia sel plasma yang lain dan kelaian limforetikuler.
Dilain pihak, jika ditemukan kedua rantai ringan kappa dan lambda dalam jumlah
besar, peningkatan imunoglobulin ini adalah poliklonal.Respon sejenis ini sering
kali tampak pada keadaan peradangan kronis atau infeksi kronis
(Sacher R A, 2004).
Kuantitas jenis imunoglobulin berguan untuk pemantauan perkembangan
suatu penyakit seperti mieloma : pada keadaan ini banyaknya protein monoklonal
dalam serum sebanding dengan aktifitas penyakit. Pengukuran serial sebaiknya
dilakukan dengan rentang paling tidak beberapa minggu untuk memberi
kesempatan pembersihan alami dari sirkulasi setelah terapi mieloma yang
berhasil. Pada kasus yang plasma pasiennya diganti melalui plasma feresis untuk
menurunkan kadar imunoglobulin monoklonal yang tinggi akan menyebabkan
hipervsikositas dan masalah sirkulasi ( biasanya IgM), keberhasilan pembuangan
tersebut dapat dipastikan dengan pengukuran imunoglobulin secara kualitatif
segera setelah prosedur tersebut selesai. Metode untuk kuantitasi biasanya
memerlukan presipitasi dalam larutan dengan nefelometri pada alat otomatis
(waktu pemeriksaan beberapa menit) atau difusi melalui agarose untuk
membentuk cicin resipitas (suatu prosedur yang lamanya satu sampai dua hari)-
keduanya memakai antibodi terhadap imunoglobulin manusia yang spesifik kelas
(Sacher R A, 2004).

16
Diagnosis suatu keadaan imunodefisiensi juga sangat bergantung pada kadar
kuantitatif imunoglobulin. Kadar IgG, IgA dan IgM yang sangat rendah
mendekati nol khas untuk agamaglobulinemia. Disenfeksi selektif dari satu kelas
imunoglobulin ditetapkan melalui kuantitasi, misalnya defisiensi IgA. Pada
kondisi ini terdapat resiko yang unik untuk terjadinya reaksi anafilaktik pada
transfusi darah yang mengandung IgA pada individu yang didefisien, akibat
antibodi terhadap IgA (Sacher R A, 2004).
Selain itu memastikan keadaan defisiensi dan gamopati, imunoglobulin juga
diukur untuk memastikan dan memantau peningkatan yang ringan sebagai
indeksprogresifitas penyakit pada kondisi autoimun seperti lupus eritematosis
sitematik dan artritis reuartritis reumatoik. Dekomuntasi kadar dibawah normal
juga berguna dalam menerangkan imunodefisiensi ringan terutama pada anak.
Dengan demikian, perlu dicatat bahwa kadar imunoglobulin dalam keadaan
normal sedikit meningkat pada masa kanak kanak sampai pematangan. Oleh
karena itu, interpretasi dari kadar kualitatif imunoglobulin pada anak anak
memerlukan rentang rujukan yang spesifik untuk kelompok umur
(Sacher R A, 2004).
Beberapa pasien memebentuk imunoglobulin dengan kadar tinggi yang akan
mengalami presipitas pada keadaan dingin dan dapat menyebabkan sumbatan
pada kapiler kecil pada bagian tubuh(misalnya ujung jari dan telingan) yang
terpajan pada suhu yang dingin dimusim dingin. Krioglobulin ini diukur dengan
mengambil sampel darah, dan menjaganya tetap hangat selama sentrifugasi, dan
kemudian mendinginkan serum tersebut dalam lemari es untuk diamati
embentukan presifitasnya dalam satu sampai dua hari.Prosedur ini dikerjakan
dalam tabung bergradasi khusus.Volume presipitat yang mengendap kemudian
dibaca sebagai presentase dari seluru sampel serum untuk mendapatakan nilai
numerik dari krikrik yang analog dengan hematokrik. Krioglobulin tersebut
selanjutnya dapat dicuci, dilarutkan kembali pada temperatur hangat, dan
diidentifikasi secara khusu sebagai kelas imunoglobulin dengan IEF, Efi atau
analisis imunologis lain (Sacher R A, 2004).

17
Bila imunoglobulin diproduksi dalam pola kelaian oleh mieloma dan sel
sejenis, rantai ringannya diproduksi berlebihan dan dilepaskan kesirkulasi.
Rantai ringan kappa dan lambda bebas ini masuk kedalam urin dengan
molekulnya berukuran kecil (Sacher R A, 2004).
Biopsi ginjal biasanya dicari deposisi IgG, IgA dan IgM pada glomeruli
untuk membantu menegakan diagnosis glomerulonefritis. Kompleks imun yang
terdiri dari antigen dan antibodi yang bersirkulasi secara normal akan disaring
dari sirkulasi oleh glomerulus. Adanya kompleks tersebut pada glomeruli akan
mengaktivasi komplemen, yang mengakibatkan destruksi jaringan lokal.
Penapisankomplek yang terjadi disirkulasi ini mengakibatkan suatu gambaran
endapan imunoglobulin yang tidak beraturan atau berbenjol-benjol pada
glomerulus.Jika antibodi ditujukan terhadap glomerulus itu sendiri, pola endapan
imunoglobulinnya halus dan lebih homogen dalam glomerulus. Deposisi
imunoglobulin pada jaringan juga bermakna diagnostik pada kelainan auto imun
lain, walaupun pemeriksaan laboratorik pada autoimunitas sebagian besar
digantungkan pada penentuan adanya autoantibodi dalam serum
(Sacher R A, 2004).
2.6 Penentuan IgM
Masalah teknis yang dapat terjadi dalam kaitan dengan adanya antibody IgM
dalam uji ELISA yaitu adanya faktor rematoid terutama pada ELISA sandwich
atau adanya kompetisi dengan IgG dalam rangka penentuan kadar IgM spesifik
pada uji ELISA tak langsung (Handojo I, 2003).
Factor rematoid dapat memberi hasil positif semu dengan mengikat IgG dari
konjugat atau mengikat setiap IgG yang antigen-spesifik dalam sampel. Cara
terbaik untuk mengatasinya yaitu dengan menggunakan konjugat fragmen F (ab’)2
atau dengan mengadakan modifikasi kearah teknik langsung dengan
menambahkan antiboodi berlabel enzim pada tahap kedua sehingga dapat
mengeliminasi setiap immunoglobulin yang dapat mengikat factor rematoid
(Handojo I, 2003).

18
Cara lain yang dapat dipakai yaitu menghilangkan factor rematoid dari serum
penderita sebelum diperiksa dengan uji ELISA, misalnya dengan menggunakan
agregat IgG atau partikel lateks yang dilapisi IgG. Persaingan antara IgM dan IgG
dalam rangka penentuan kadar IgM spesifik memakai uji ELISA tak langsung,
terutama penentuan kadar IgM pada penyakit infeksi di daerah endemis
(Handojo I, 2003).
2.7 Imunoasai untuk penyakit Toxoplasma
1. Uji ELISA IgM anti-Toxoplasma
Pada orang sehat memberi hasil negatif .Pada infeksi yang akut atau baru,
uji IgM ELISA memberi hasil positif. Bila disertai dengan hasil uji IgG
ELISA dengan:
˗ kadar tinggi atau meningkat dua kali, maka infeksi berumur sekitar dua
bulan:
˗ kadar yang menurun, menunjukkan stadium akhir infeksi akut;
˗ kadar yang stabil, menunjukkan adanya infeksi lama dengan IgM
persisten;
˗ kadar IgG negatif/normal, menunjukkan stadium awal dari serokonversi.
Pada infeksi yang menahun atau laten, uji ELISA IgM member hasil
negatif sejak akhir masa akut kecuali yang IgM persisten (Handojo I,
2004).
2. Uji ELISA IgG anti-Toxoplasma
Pada orang sehat yang belum pernah terinfeksi memberi hasil
negatif.Pada infeksi yang akut atau baru ada tiga kemungkinan.pasitif dengan
kadar tinggi atau meningkat tajam dalam tiga minggu.
˗ b. Negatif, yaitu pada awal serokonversi.
˗ c. Positif dengan kadar menurun, yaitu pada akhir masa akut. pada infeksi
menahun atau latent, positif dengan kadar menetap (Handojo I, 2004).
3. Uji ELISA IgA anti-Toxoplasma
Pemeriksaan IgG, dan IgM anti-Toxoplasma yang selama ini menjadi
bagian rutin dari diagnosis toksoplasmosis, tidak selalu dapat memastikan

19
diagnosis infeksi Toxoplasma, terutama yang menyangkut keaktifan penyakit
(akut atau menahun/laten). Untuk membantu interpretasi hasil pemeriksaan
masih dibutuhkan cara pemeriksaan yang lain, terutama sejak diketahui
adanya toksoplasmosis sebagai infeksi oportunistik dari AIDS. Untuk
keperluan tersebut belakangan ini dikembangkan dua jenis pemeriksaan baru,
yaitu uji IgA anti-Toxoplasma, dan uji IgE antiToxoplasma, dan kedua tes ini
dianjurkan untuk dipakai dalam deteksi dini toksoplasmosis pada ibu hamil
(terdeteksi lebih awal dari IgM anti-Toxoplasmosis), dan diagnosis
toksoplasmosis bawaan pada bayi dengan IgM anti-Toxoplasma yang negatif.
Seperti dikemukakan sebelumnya kadar IgA anti-Toxoplasma mencapai
puncaknya dua bulan setelah infeksi, namun tergantung pada asai yang
dipakai, kadang kala dia persisten sampai 11 bulan. Bila antibodi IgA tak
terlacak, menunjukkan bahwa infeksi terjadi sedikitnya tiga bulan
sebelumnya, namun 5% dari penderita dengan infeksi akut tidak pernah
menunjukkan respons IgA. Kadar IgA anti-Toxoplasma yang borderline
kadang kala dapat dilacak bahkan setelah lima tahun, sehingga uji ELISA IgA
anti-Toxoplasma sebagai tes tunggal tak dapat dipakai untuk menentukan
waktu infeksi secara tepat (Handojo I, 2004).
4. Uji ELISA IgE anti-Toxoplasma

IgE spesifik anti-Toxoplasma tampaknya lebih menunjukkan fase


yang lebih akut dari pada IgM atau IgA. antibodi ini biasanya hanya ada di
serum selama empat bulan, dan jarang sekali bertahan sampai delapan bulan
(Handojo I, 2004).

2.8 Imunoasai untuk penyakit dengue


1. IgM Captured EISA
Tes ini dipakai sebagai uji konfirmasi untuk melacak adanya IgM
antidengue, namun tes ini agak mahal, membutuhkan banyak tolok ukur
serta membutuhkan kontrol yang cermat.Tes ini sulit untuk dipakai di
lapangan, karena kurang praktis (Handojo I, 2004).

20
Prinsip Dasar Pemeriksaan Goat atau rabbit antihuman IgM dilapiskan
pada fase padat, lalu ditambah serum penderita, sehingga semua IgM-nya
terikat pada fase padat. Untuk memisahkan IgM antidengue dari IgM yang
lain, ditambahkan antigen virus dengue. Adanya IgM antidengue selanjutnya
dilacak dengan antibodi antivirus yang berlabel enzim fosfatase
alkali.Visualisasi adanya ikatan tersebut dilakukan dengan penambahan
substrat berkromogen (p-nitrophenyl phosphate).Reaksi dihentikan dengan
penambahan larutan penghenti reaksi, yaitu NaOH (Handojo I, 2004).
2. IgG Captured ELISA
Prinsip dasarnya sama dengan IgM captured ELISA, hanya rabbit
antihuman-IgM diganti dengan rabbit antihuman-IgG.Interpretasi Hasil
Antibodi IgM terhadap virus dengue timbul 7-10 hari setelah infeksi primer,
dan mencapai titer maksimum dalam waktu 2-3 minggu dan selanjutnya
menurun sampai batas tidak terdeteksi sesudah 3 bulan.Adanya antibodi
spesifik IgM terhadap virus dengue menunjukkan adanya infeksi baru atau
infeksi yang terakhir. Pemeriksaan IgM spesifik ini dapat membantu
diagnosis cepat dengan bahan pemeriksaan serum tunggal (Handojo I, 2004).

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari tentang proses pertahanan atau
imunitas tubuh terhadap senyawa makromolekuler atau organisme asing yang
masuk ke dalam tubuh. Antigen adalah bahan yang dapat bereaksi dengan produk
respons imun dan merupakan sasaran respons imun. Antigen disebut juga
imunogen yaitu bahan yang dapat menimbulkan respons imun. Antibodi adalah
bahan larut digolongkan dalam protein yang disebut globulin dan sekarang
dikenal sebagai imunoglobulin. Imunoglobulin merupakan substansi pertama
yang diidentifikasi sebagai molekul dalam serum yang mampu menetralkan
sejumlah mikroorganisme penyebab infeksi.
Imunoglobulin dibagi menjadi lima kelas, yaitu : IgM, IgA, IgG, IgD dan IgE.
Imunoglobulin M, merupakan antibody yang pertama muncul setelah masuknya
antigen yang pertama kali kedalam tubuh. Imunoglobulin G, merupakan antibody
utama yang terdapat dalam darah, berperan sebagai antibody utama yang timbul
bila tubuh dimasuki antigen untuk yang kedua kalinya atau lebih (respon
sekunder). IgG dapat menembus plasenta sehingga dapat menembus janin dan
bayi terhadap penyakit tertentu. Immunoglobulin A, banyak terdapat dalam
cairan sekresi membrane mukosa dan serosa (kolostrum air susu ibu, air mata,
secret usus dan bronkus, air ludah) dengan demikian dapat melindungi membrane
seromukosa dari serangan bakteri dan virus. IgA juga terdapat dalam darah dan
merupakan antibody utama pada air susu. Immunoglobulin D, berfungsi untuk
merangsang pembentukan antibody oleh sel plasma, kemungkinan bertindak
sebagai reseptor pada membrane sel. Immunoglobulin E, penting dalam
pertahanan tubuh terhadap parasit dan infeksi-infeksi lainnya. Kadar IgE
meningkat pada penyakit alergi seperti eksim dan asma

22
DAFTAR PUSTAKA

Handojo I. 2003. Pengantar Imunoasai Dasar. Fakultas Kedokteran Universitas


Airlangga : Surabaya

Handojo I. 2004. Imunoasai Terapan Pada Beberapa Penyakit Infeksi. Airlangga


University Press : Surabaya

Hasdianah, Dewi P, Peristiowati Y, Imam S. 2014. Imunologi Diagnosis dan Teknik


Biologi Molekuler. Nuha Medika : Yogyakarta

Radji M. 2015. Imunologi dan Virologi. PT. ISFI Penerbitan : Jakarta Barat

Sacher R A. 2004. Tinjauan Klinis hasil pemeriksaan Laboratorium. Buku


Kedokteran : Jakarta

Utari D, Mudiharso, Nurindah T. 2016. Imunoserologi. Buku Kedokteran EGC :


Jakarta

23

Anda mungkin juga menyukai