Ganggan Kecemasan
Kecemasan
Kecemasan Normal
patologis
Kecemasan
Contoh : Cemas
menyeluruh(selalu cemas
dengan berlebihan pada tiap
waktu), fobia, dan ganguan
cemas lainnya
Kecemasan
membuat
orang
segera
mngambil
langkah
yang
diperlukan.Mencegah kerusakan dengan cara menyadarkan seseorang untuk
melakukan tindakan tertentu yang mencegah bahaya.
Contoh :
-
Contoh perbedaan :
Ketakutan : emosi yang ditimbulkan oleh kendaraan yang datang dengan cepat
saat seseorang sedang menyebrang jalan. sifat akut ketakutan
Kecemasan : emosi yang timbul seperti kegelisahan samar-samar yang dialami
seseorang saat bertemu seseorang yang baru atau lingkungan baru. kronisitas
kecemasan
(Kaplan, Sadock, 1997).
Neurotransmiter
Neurotransmiter
A Norepinephrine
Gejala kronis yang ditunjukan oleh pasien dengan gangguan cemas berupa
serangan panik, insomnia, terkejut, dan autonomic hyperarousal, merupakan
karakteristik dari peningkatan fungsi noradrenergik. Teori umum dari keterlibatan
norepinephrine pada gangguan cemas, adalah pasien tersebut memiliki
kemampuan regulasi sistem noradrenergik yang buruk terkait dengan
peningkatan aktivitas yang mendadak. Sel-sel dari sistem noradrenergik
terlokalisasi secara primer pada locus ceruleus pada rostral pons, dan memiliki
akson yang menjurus pada korteks serebri, sistem limbik, medula oblongata, dan
medula spinalis. Percobaan pada primata menunjukan bila diberi stimulus pada
daerah tersebut menimbulkan rasa takut dan bila dilakukan inhibisi, primata
tersebut tidak menunjukan adanya rasa takut. Studi pada manusia, didapatkan
pasien dengan gangguan serangan panik, bila diberikan agonis reseptor adrenergik ( Isoproterenol ) dan antagonis reseptor -2 adrenergik dapat
mencetuskan serangan panik secara lebih sering dan lebih berat. Kebalikannya,
clonidine, agonis reseptor -2 menunjukan pengurangan gejala cemas.
B Serotonin
Ditemukannya banyak reseptor serotonin telah mencetuskan pencarian peran
serotonin dalam gangguan cemas. Berbagai stress dapat menimbulkan
peningkatan 5-hydroxytryptamine pada prefrontal korteks, nukleus accumbens,
amygdala, dan hipotalamus lateral. Penelitian tersebut juga dilakukan
berdasarkan penggunaan obat-obatan serotonergik seperti clomipramine pada
gangguan obsesif kompulsif. Efektivitas pada penggunaan obat buspirone juga
menunjukkan kemungkinan relasi antara serotonin dan rasa cemas. Sel-sel tubuh
yang memiliki reseptor serotonergik ditemukan dominan pada raphe nuclei pada
rostral brainstem dan menuju pada korteks serebri, sistem limbik, dan
hipotalamus.
C GABA
Peran GABA pada gangguan cemas sangat terlihat dari efektivitas obat-obatan
benzodiazepine, yang meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor GABA tipe A.
Walaupun benzodiazepine potensi rendah paling efektif terhadap gejala
gangguan cemas menyeluruh, benzodiazepine potensi tinggi seperti alprazolam
dan clonazepam ditemukan efektif pada terapi gangguan serangan panik
Pada suatu studi struktur dengan CT scan dan MRI menunjukan peningkatan
ukuran ventrikel otak terkait dengan lamanya pasien mengkonsumsi obat
benzodiazepine. Pada satu studi MRI, sebuah defek spesifik pada lobus temporal
kanan ditemukan pada pasien dengan gangguan serangan panik. Beberapa studi
pencitraan otak lainnya juga menunjukan adanya penemuan abnormal pada
hemisfer kanan otak, tapi tidak ada pada hemisfer kiri. fMRI, SPECT, dan EEG
menunjukan penemuan abnormal pada korteks frontal pasien dengan gangguan
cemas, yang ditemukan juga pada area oksipital, temporal, dan girus
hippocampal. Pada gangguan obsesif kompulsif diduga terdapat kelainan pada
nukleus kaudatus. Pada PTSD, fMRI menunjukan pengingkatan aktivitas pada
amygdala.
Sistem Saraf Otonom
Gejala-gejala yang ditimbulkan akibat stimulus terhadap sistem saraf otonom
adalah:
gastrointestinal (diare)
respirasi (takipneu)
Sistem saraf otonom pada pasien dengan gangguan cemas, terutama pada
pasien dengan gangguan serangan panik, mempertunjukan peningkatan tonus
simpatetik, yang beradaptasi lambat pada stimuli repetitif dan berlebih pada
stimuli yang sedang.
Banyak orang
Tempat-tempat umum
Bepergian sendiri
Menghindari situasi fobik harus/sudah merupakan gambaran yang menonjol
Etiologi agorafobia belum diketahui secara pasti tapi patogenesis fobia
berhubungan dengan faktor biologis, genetik, dan psikososial.
DSM IV TR
Menurunnya sensitivitas terhadap reseptor 5HT1A, 5HT2A/2C
Meningkatnya sensitivitas discharge dari reseptor adrenergic pada saraf
pusat, terutama reseptor alfa-2 katekolamin meningkatnya aktivitas
locus coereleus yang mengakibatka teraktivasinya aksis hipotalamuspituitari-adrenal (biasanya berespons abnormal terhadap klonidin pada
pasien dengan panic disorder)
Meningkatnya aktivitas metabolic sehingga terjadi peningkatan laktat
(biasanya sodium laktat yang kemudian diubah menjadi CO2
([hiperseansitivitas batang otak terhadap CO2)
Menurunnya sensitivitas reseptor GABA-A sehingga menyebabkan efek
eksitatorik
melalui
amigdala
dari
thalamus
melalui
nucleus
intraamygdaloid circuitries
Model neuroanatomik memprediksikan panic attack dimediasi oleh fear
network pada otak yang melibatkan amygdale, hypothalamus, dan pusat
batang otak. Terutama pada corticostriatalthalamocortical (CSTC) yang
memediasi cemas bersama dengan sirkuit pada amygdale. Kemudian
sensai tersebut diteruskan ke korteks anterior cingulated dan/atau korteks
orbitofrontal. Selain itu diteruskan juga ke hypothalamus untuk respons
endokrin
Hipotesis keterlibatan genetic namun belum berhasil menentukan gen
pasti
Pine DS. Anxiety disorders: clinical features. In: Kaplan and Sadocks
Perilaku; Gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada koordinasi,
menarik diri, menghindar.
Kognitif; Gangguan perhatian, konsentrasi hilang, mudah lupa, salah tafsir,
bloking, bingung, lapangan persepsi menurun, kesadaran diri yang berlebihan,
kawatir yang berlebihan, obyektifitas menurun, takut kecelakaan, takut mati dan
lain-lain.
Afektif; Tidak sabar, tegang, neurosis, tremor, gugup yang luar biasa, sangat
gelisah dan lain-lain.
(Kaplan, Sadock, 1997).
11.
Bagaimana cara mendiagnosis cemas?
12.
Bagaimana pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
dari cemas?
13.
DD?
14.
Bagaimana Penatalaksanaannya?
TERAPI
Farmakoterapi
Benzodiazepin
Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian benzodiazepin dimulai dengan dosis
terendah dan ditingkatkan sampai mencapai respon terapi, Penggunaan sediaan
dengan waktu paruh menengah dan dosis terbagi dapat mencegah terjadinya
efek yang tidak diinginkan. Lama pengobatan rata-rata adalah 2-6 minggu.
Buspiron
Buspiron lebih efektif dalam memperbaiki gejala kognitif dibanding dengan
gejala somatik. Tidak menyebabkan withdrawl. Kekurangannya adalah efek
klinisnya baru terasa setelah 2-3 minggu. Terdapat bukti bahwa penderita yang
sudah menggunakan benzodiazepin tidak akan memberikan respon yang baik
dengan buspiron. Dapat dilakukan penggunaan bersama antara benzodiazepin
dengan buspiron kemudian dilakukan tapering benzodiazepin setelah 2-3
minggu, disaat efek terapi buspiron sudah mencapai maksimal.
Memperbaiki ansietas tanpa sedasi.
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
Sertraline dan paroxetine merupakan pilihan yang lebih baik daripada fluoksetin.
Pemberian fluoksetin dapat meningkatkan anxietas sesaat. SSRI efektif terutama
pada pasien gangguan anxietas menyeluruh dengan riwayat depresi.
Psikoterapi
Terapi Kognitif Perilaku
Cemas,
Kepaniteraan
Universitas Tarumanegara
Klinik
Ilmu
Kedokteran
Jiwa,