ETIOLOGI
Kusta yang merupakan penyakit kronis ini disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae (M.leprae). Kuman ini adalah kuman aerob, berbentuk
batang dengan ukuran 1-8 μ, lebar 0,2 – 0,5 μ, sifatnya tahan asam sehingga tidak
mudah untuk diwarnai. M.leprae biasanya berkelompok dan ada pula yang
tersebar satu-satu. Kuman ini hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu
dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.
Masa belah diri kuman kusta ini memerlukan waktu yang sangat lama
dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Sehingga masa tunas pun
menjadi lama, yaitu sekitar 2–5 tahun.
Kuman Kusta ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya
dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan juga testis, kecuali susunan saraf pusat.
Kusta yang merupakan penyakit menahun ini dalam jangka panjang dapat
menyebabkan anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya.
Mikobakteriae merupakan kelompok bakteri berbentuk basil, bersifat aerob
yang tidak membentuk spora. Meskipun mereka tidak terwarnai dengan baik,
segera setelah diwarnai mereka mempertahankan dekolorisasi oleh asam atau
alkohol, oleh karena itu dinamakan basil “cepat asam” (Brooks, 453:2005).
Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada lepra. Kuman ini berbentuk
batang tahan asam yang termasuk familia Mycobacteriaeceae atas dasar
morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiripan genetik dengan mikobakterium
lainnya (Isselbacher, 808:1999).
Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah
bentuk utuh, bentuk pecah – pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated ),
bentuk globus dan bentuk clumps. Bentuk utuh , diman dinding selnya masih
utuh, mengambil zat warna merata, dan panjangnya biasanya empat kali lebarnya.
Bentuk pecah – pecah, dimana dinding selnya terputus sebagian atau seluruhnya
dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular, dimana kelihatan
seperti titik – titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk globus,
dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung
ikatan atau berkelompok – kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang
terdiri dari 40 – 60 BTA sedangkan kelompok besar adalah kelompok yang terdiri
dari 200 – 300 BTA. Bentuk clumps, dimana beberapa bentuk granular
membentuk pulau – pulau tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA (Wahyuni,
4-5:2009).
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006
didapatkan jumlah pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita.
Dari data tersebut didapatkan jumlah pasien terbanyak dari benua Asia dengan
jumlah pasien yang terdaftar sebanyak 116.663 dan dari data didapatkan India
merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta terbanyak dengan
jumlah 82.901 penderita. Namun Micronesia F. S merupakan negara dengan
jumlah rata-rata prevalensi per 10.000 penduduk terbanyak di dunia, yaitu dengan
9,64 per 10.000 jumlah penduduk. Sementara Indonesia pada 2006 tercatat
memiliki jumlah penderita sebanyak 22.175 (WHO). Pada Poli Kulit dan Kelamin
RSUD dr. SOEBANDI, Jember dari tahun 1999 sampai tahun 2001 didapatkan
jumlah pasien sebanyak 140 penderita, dengan 74 pasien dengan tipe multibasiler
dan 66 kasus dengan tipe pausibasiler (Erlan. J.S. et all, 21:2003).
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat
dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah
yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi
karena faktor etnik
Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik
Burma dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga
mengindikasikan hal yang sama: kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada
etnik China dibandingkan etnik Melayu atau India. Demikian pula dengan
kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta
dibandingkan etnik Jawa atau Melayu (Depkes RI, 8:2006).
Sudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam
kejadian kusta. Hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya
peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun, bahkan
hilang. Kasus kusta imor pada negara tersebut ternyata tidak menularkan kepada
orang yang sosial ekonomi tinggi. Kegagalan kasus kusta impor untuk
menularkan pada kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena tingkat sosial
ekonomi yang tinggi (Depkes RI, 8:2006).
Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut
umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden, kaena pada
saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengn kata lain kejadian penyakit
sering terkait pada umur pada saat timbulnya penyakit. Pada penyakit kronik
seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur pada saat
timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta
diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3
minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia
muda dan produktif (Depkes RI, 8:2006).
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sebagian
besar negara di dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa
laki-laki lebih banyak terserang dibandingkan wanita. Relatif rendahnya kejadian
kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi.
Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya, laki-laki lebih banyak terpapar
dengan faktor resiko akibat gaya hidupnya (Depkes RI, 8:2006).
FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN TERJADINYA PENYAKIT
KUSTA
a. Sumber Penularan
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai
sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse,
dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus (Depkes RI,
9:2006).
b. Cara Keluar dari Pejamu (Host)
Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu
kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan
jumlah kuman sebesar 10-10. Dan telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas
dari penderita tipe Lepromatous merupakan sumber kuman yang terpenting dalam
lingkungan (Depkes RI, 9:2006).
c. Cara Penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi
dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup)
keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum
diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis
penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan penderita.
Penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak menjadi
sumber penularan bagi orang lain (Depkes RI, 10:2006).
d. Cara Masuk ke Pejamu
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum
dapat dipastikan. Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan
bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh (Depkes RI, 10:2006).
e. Pejamu
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan
penderita, hal ini disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman
obligat intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan
seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor
infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Dari
studi keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe
penyakit yang berkembang setelah infeksi (Depkes RI, 10:2009).
Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil
(5%) dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh
sendiri dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit (Depkes RI, 10:2006).
PATOGENESIS
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua.
Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell
receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC
sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan
dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui
CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan
berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu
differensiasi To menjadi Th1 (Wahyuni, 6:2009).
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan
fagositosis makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae
akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya
lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan
mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan
melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan
radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal
membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan
akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama
kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang
makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini
akan membentuk granuloma (Wahyuni, 6-7:2009).
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi
dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan
mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan
mengaktifasi sel mast (Wahyuni, 7:2009).
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan
tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2.
Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi
dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih
tinggi dibandingkan dengan Th1(Wahyuni, 7:2009).
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum
tulang dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik
merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat
– tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh serta organ – organ yang
mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih
dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya peptida
dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator
CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah
dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari
CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M.
Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan diasumsikan
melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2 polimorfisme
dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy (Wahyuni, 8:2009).
PATOGENESIS KERUSAKAN SARAF PADA PASIEN KUSTA
M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein
laminin 2 yang akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan
lalu akan mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan
mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag.
Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang
melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang
dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih
banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga
akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous
sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non
professional (Wahyuni, 8:2009).
PATOGENESIS REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit
kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi
penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi
kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi lepra non nodular
merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type Hipersensitivity
Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan
berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem
imunitas selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading
reaction / reversal reaction , dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid (
peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada respon terhadap
terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous (
penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi
(Wahyuni, 8:2009).
Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya
hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum
lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi
dengan antibodi membentuk kompleks imun dan mengendap pada pembuluh
darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan merangsang netrofil
untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel (Wahyuni,
8:2009).
GAMBARAN KLINIS
Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal
ini dapat berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan,
kelemahan otot-otot dan kulit kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar
keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa kelainan pada saraf tepi, kulit,
rambut, otot, tulang, mata, dan testis.
Gambar.......
Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley
dan Jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe
Intermediate (I). Lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik
dan kulit disekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas,
bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipostesia atau
sedikit penebalan saraf.
Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada
dua yaitu primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan
merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas,
tulang – tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat
kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama
karena kerusakan saraf.
Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari
anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi
hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada
N.medianus adalah anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis
lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari
telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari – jari atau
pergelangan tangan. Pada N. Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah,
bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot
peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah anestesi telapak kaki, claw toes , dan
paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah cabang
temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal, mandibular
serta servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan
mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea dan
konjungtiva mata.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak
jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat
membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya,
mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian –
bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan
kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan
keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan
alopesia. Pada tipe lepromatous dapat timbul ginekomastia akibat gangguan
keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus
seminiferus testis.
Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai
dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang
berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi.
Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relape resistent. Relapse
sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai
dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena kuman yang dorman
aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat, baik dosis maupun
lama pemberiannya.
Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang
tidak begitu tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small
satellite skin makulopapular skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta
tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat.
Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan
komplikasi organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi
ringan dan berat.
Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak
teratur, dan nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi
nekrosis dan ulserasi yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan
parut. Dari hasil histopatologi ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem,
proliferasi endotelial pembuluh darah dan banyak basil M.leprae di endotel
kapiler.
Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri
tekann dan meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama
satua atau dua minggu tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi
demam, limfadenopati, dan athralgia.
PEMERIKSAAN PASIEN
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit
juga harus diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan
dengan menggunakan alat – alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas
untuk rasa raba, tabung reaksi masing – masing dengan air panas dan es, pensil
tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada tidaknya dehidrasi di daerah
lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara menggoresnya
mulai dari tengah lesi, yang kadang – kadang dapat membantu, tetapi bagi
penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk
menentukannya.
Pemeriksaan Saraf Tepi
Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri
atau tidak. Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis
magnus, N.radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis
posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan
kanan, adanya pembesaran atau tidak, pembesaran reguler/irreguler, perabaan
keras/kenyal, dan yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau tidak (Daili,
21:2003). Pada tipe lepromatous biasanya kelainan sarafnya billateral dan
menyeluruh sedangkan tipe tuberkoloid terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah menebal
dan saraf mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak (Daili,
21:2003).
Rifampicin Dapson
Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan
tepat maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen
seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal
tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu
immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti
reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik
dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1
selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak
diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik
dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian
obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya
prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4
– 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen
(8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling dan dosis
total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik.
Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400
mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau
sedang.Digunakan prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal
pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis
diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon maksimal.
PENGOBATAN KUSTA UNTUK SITUASI KHUSUS
Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO
expert committe pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus, yaitu:
a.Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin
Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit
penyerta atau resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini, adalah:
Lama Pengobatan Jenis Obat Dosis
6 Bulan Klofazimin 50 mg/hari
Ofloksasin 400 mg/hari
Minosiklin 100 mg.hari
Diikuti dengan 18 bulan Klofazimin dengan 50 mg/hari
Ofloksasin atau 400 mg/hari
Minosiklin 100 mg/hari
Pada tahun 1994 WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy
menyatakan klaritromisisn 500 mg/hari dapat menggantikan ofloksasin atau
minosiklin pada regimen di atas.
b.Penderita yang menolak kofazimin
Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit. Untuk itu
klofazimin pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama
12 bulan atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.
Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy merekomendasikan
juga regimen MDT-MB alternatis selama 24 bulan:
-. Rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan,
-. Ofloksasin 400 mg/bulan selama 24 bulan, dan
-. Minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan
c.Penderita yang tidak dapat diobati dengan DDS
Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB
maupun MB, obat ini harus dihentikan.
Regimen pengganti DDS berikut diberikan selama 6 bulan dengan cara:
Rifampisin Klofazimin
Dewasa 600 mg/bln 50 mg/hari dan 300 mg/bulan
Anak-anak 450 mg/bln 50 mg/hari dan 150 mg/bulan
KOMPLIKASI
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan
infeksi kronik sekunderdapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun
ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang
ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non
noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan
menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder.
PROGNOSIS
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah
manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan
kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah,
prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum
adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi komplikasi
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI PASIEN
NAMA : Suhaimi
UMUR : 35 tahun
JENIS KELAMIN : laki-laki
ALAMAT : Kediri
TANGGAL PEMERIKSAAN : 7 Juni 2012
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : bercak putih pada kulit
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh bercak putih pada kulit sejak 2 bulan yang lalu
awalnyaterdapat bercak kemerahan kecil di daerah lengan kanan
bawah semakin lama semakin membesar dan meluas dan menyebar ke
lengan atas, dada, perut, punggung, wajah dan lutut.
Pasien tidak mengeluh gatal ataupun nyeri pada bercak-bercak tsb,
pasien mengeluh terasa tebal pada bercak-bercak tsb. Pasien
merasakan tebal tapi tidak terlalu jelas dengan daerah kulit normal
yang dirasakan. Pasien mengatakan bila terbentur sesuatu terasa lebih
sakit dari pada sebelum pasien muncul bercak-bercak ini. Pada malam
hari pasien merasakan kulit seperti di tarik-tarik. Pasien menyangkal
adanya rontok bulu mata, alis, dan demam.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat asma,
kencing manis, darah tinggi di sangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal ada keluarga atau teman pasien yang
mengalami keluhan yang serupa. Riwayat alergi makanan dan obat
pada keluarga di sangkal.
Riwayat Alergi
Pasien mengaku memiliki alergi makanan laut, apabila pasien
makananan laut maka akan timbul bintik-bintik yang gatal. Riwayat
alergi obat, cuaca, debu, disangkal.
Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku meminum paracetamol pada saat pasien
merasakan nyeri pada kulitnya.
Riwayat Sosial
Pasien adalah petugas rumah sakit yang bertugas mengantar
oksigen, pasien mengaku pada saat bertugas di RS terdapat penderita
yang mengalami gejala kulit yang sama seperti pasien. Pasien tiap hari
bertemu dengan penderita tersebut selama 2 minggu.
V. DIAGNOSIS KERJA
Morbus Hansen MultiBasiler reaksi kusta tipe 1
VII. PENATALAKSANAAN
MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan
selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini,
dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum
obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuk tipe
PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Rifampicin : 600 mg/bulan diminum di depan petugas
kesehatan
Dapson : 100 mg/hari diminum di rumah
Lamprene : 300mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50 mg/hari diminum di rumah