Anda di halaman 1dari 20

VAGINOSIS BACTERIAL PADA KEHAMILAN:

temuan saat ini serta petunjuk di masa depan

Bacterial Vaginosis in Pregnancy:


Current Findings and Future Directions

Deborah B. Nelson1 and George Macones1,2

Vaginosis bakteri (Bacterial vaginosis, BV) adalah suatu kondisi vagina yang
sangat umum dan merupakan penyebab nomor satu dari vaginitis baik pada wanita
hamil maupun tidak hamil (1). Meskipun tidak termasuk dalam kelompok Penyakit
yang harus dilaporkan, studi baru-baru ini telah menemukan prevalensi BV berkisar
15-30 % pada wanita yang tidak-hamil; hingga 50% pada wanita hamil (2-5). Namun,
sebagian besar kasus BV tidak menunjukkan gejala dan tetap tidak dilaporkan dan
tidak diobati (3-6). Sebelumnya, BV dianggap sebagai kondisi jinak, namun BV
terkait dengan banyak kondisi ginekologi dan komplikasi kehamilan termasuk
penyakit radang panggul, selulitis posthysterectomy vagina cuff, endometritis,
Infeksi cairan ketuban, kelahiran prematur, persalinan prematur, ketuban pecah
dini, dan kemungkinan aborsi spontan (7-12). Peran BV yang asimtomatik,
dibandingkan dengan yang simptomatik, terhadap kondisi obstetrik maupun
ginekologi selama ini hanya sedikit dipelajari, meskipun arah penelitian bergeser
menuju penentuan hubungan independen tersebut. Pada studi-studi klinis dan
laboratorium, infeksi BV telah terbukti menjalar naik ke endometrium dan
menyerang plasenta, namun dampak selengkapnya migrasi ini dalam hal
perkembangan plasenta awal dan selanjutnya serta pertumbuhan janin masih tidak
jelas (13). Tujuan artikel ini adalah untuk meninjau latar belakang, diagnosis, dan
pengobatan BV terhadap kehamilan; membahas epidemiologi dan konsekuensi BV
pada kehamilan; dan garis besar temuan penelitian saat ini dan arah penelitian
masa depan yang memfokuskan secara eksklusif pada konsekuensi dari BV pada
kehamilan.

1
LATAR BELAKANG
BV adalah infeksi vagina superfisial, polimikrobial, yang melibatkan
penurunan jumlah Lactobacillus yang menghasilkan hidrogen-peroxide, dan
pertumbuhan berlebih dari Bakteri anaerobik serta Bakteri gram negatif atau Gram-
variabel (14-15). Penurunan jumlah Lactobacillus ini menyebabkan pertumbuhan
berlebih dari bakteri anaerob, termasuk Mycoplasma hominis, Bacteroides sp,
Mobiluncus sp, dan Gardnerella vaginalis (14-15). Meskipun sebagian besar dari
organisme ini juga terdapat dalam jumlah kecil pada vagina normal, Mobiluncus
jarang ditemukan dan merupakan penanda sensitif untuk diagnosis BV (16). Di sisi
lain, Gardnerella telah dilaporkan terdapat hingga 50% pada wanita dengan tanda-
tanda atau gejala BV; Oleh karena itu, temuan Gardnerella bukan merupakan
diagnostik definitif BV (17,18). Tampaknya penurunan jumlah Lactobacillus, yang
berkebalikan dengan peningkatan organisme lainnya, mempengaruhi flora vagina
dan mungkin merupakan prediktor yang paling penting dalam terjadinya BV
selanjutnya (19).
Beberapa studi pada wanita tidak-hamil yang mengumpulkan seri sampel
flora vagina telah menyimpulkan bahwa terdapat beberapa kejadian (baik terkait
perilaku, hormonal, atau lingkungan) yang menyebabkan perubahan flora normal
vagina. Studi baru-baru ini yang menggabungkan pengukuran berulang kadar flora
vagina antara perempuan sepanjang siklus menstruasi, melaporkan tingkat tinggi
presentasi BV selama fase folikular siklus menstruasi dan resolusi spontan BV
selama fase luteal. Hasil ini menunjukkan bahwa hormon seks endogen dapat
mendukung dan membantu dalam mempertahankan tingkat tinggi Lactobacillus
dan menggambarkan potensi hormon seks dalam mempengaruhi organisme yang
terdapat dalam Vagina (6,20,21).
Saat ini, kami mengetahui belum ada studi terhadap ibu hamil yang
menggambarkan perubahan flora vagina atau prevalensi BV selama kehamilan.
Fokus ditujukan pada penilaian prevalensi BV menurut usia kehamilan dan korelasi

2
antara peningkatan kadar hormon seks dan presentasi BV. Selain itu, saat ini belum
diketahui apakah proporsi kasus yang simptomatik dan asimptomatik bervariasi
menurut usia gestasi. Munculnya BV pada usia kehamilan tertentu mungkin
merupakan suatu faktor yang mempengaruhi terjadinya komplikasi selanjutnya
pada kehamilan, dan resiko penyakit mungkin berubah berdasarkan adanya BV yang
positif ditemukan selama tahapan usia kehamilan yang berbeda. Misalnya, resiko
persalinan prematur akibat BV pada trimester pertama selama perkembangan awal
fetus dan plasenta, mungkin berbeda dibandingkan resiko persalinan prematur
pada trimester kedua dan ketiga, selama berlimpahnya fungsi plasenta.

DIAGNOSIS
Terdapat dua test diagnostik yang umumnya dilakukan untuk BV. Kriteria
Amsel, tes yang sering digunakan dalam klinik, meliputi penilaian 4 kondisi klinis,
dimana adanya 3 atau lebih kondisi tersebut berkaitan dengan diagnosis BV
(Gambar 1). Kondisi tersebut meliputi peningkatan pH vagina > 4.5, terdapat bau
amis atau zat amina jika cairan vagina dicampur dengan kalium hidroksida 10% (tes
whiff), adanya “clue cell” (sel petunjuk) pada sediaan basah, serta sekret (discharge)
vagina yang homogen. Singkatnya, clue cell adalah sel-sel epitel vagina yang
diselubungi oleh bakteri yang lebih tampak berbintik-bintik daripada tembus
pandang, dengan tepi yang tidak jelas atau bergerigi karena adanya bakteri yang
melekat (22).

3
Gambar 1. Tes diagnostik untuk vaginosis bakterial. KOH, Kalium Hidroksida.

Kriteria Amsel yang diperbarui menentukan setidaknya 20% sel yang ada
harus lah sel petunjuk (clue cell), meskipun perubahan kriteria ini mungkin akan
menurunkan sensitivitas tes (7). Di masa lalu, kriteria Amsel adalah metode yang
paling umum digunakan untuk mengidentifikasi BV, meski mungkin terdapat
kesulitan yang sulit dipisahkan dari masing-masing parameter individual. Penilaian
pH vagina tidak spesifik karena peningkatan pH vagina mungkin merupakan
konsekuensi dari banyak kondisi traktus genital lainnya, pelaksanaan tes bau juga
bersifat subjektif dalam penilaiannya bagi setiap klinisi serta kurang sensitif,
demikian juga identifikasi sel petunjuk mungkin bervariasi tergantung skill dan
interpretasi ahli yang memeriksa secara mikroskopik, serta kualitas sampel yang
diambil (11).
Test kedua yang umum digunakan meliputi pewarnaan Gram cairan vagina
dan penggunaan kriteria Nugent untuk identifikasi kasus BV (Gambar 1). Metode ini
terbukti memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi dibanding kriteria
Amsel (89% dan 83%, masing-masing) (23,24). Diambil sediaan apusan vagina dan
dioleskan ke gelas objek, dikeringkan dengan udara terbuka, dan kemudian

4
diwarnai dengan Gram. Jumlah ketiga morfotipe dihitung dan dijumlahkan:
Lactobacillus, Mobiluncus, dan Gardnerella. Untuk Lactobacillus, skor berkisar dari 0
sampai 4; 0 menunjukkan bahwa 30 atau lebih organisme yang ditemukan, dan 4
menunjukkan bahwa tidak ada organisme yang ditemukan dalam sampel.
Sebaliknya, untuk Gardnerella, skor 0 menunjukkan bahwa tidak ada organisme
yang ditemukan dan skor tertinggi, 4, menunjukkan bahwa 30 atau lebih organisme
yang ditemukan. Untuk Mobiluncus, skor berkisar 0-2, dengan skor 2 menunjukkan
lima atau lebih organisme diidentifikasi dalam sampel. Ringkasan skor BV dihitung
mulai dari 0 sampai 10; skor ini bersifat dikotomik (memiliki 2 aspek terpisah atau
berlawanan), dengan nilai 7 dan lebih menunjukkan adanya kasus BV (25).
Validitas diagnosis BV melalui metode pengambilan apusan (baik yang
diambil sendiri maupun yang disediakan oleh jasa provider) telah diuji. Sediaan
apusan vagina yang dikumpulkan sendiri mungkin lebih berguna bagi penelitian
epidemiologik karena metode ini tidak perlu merekrut partisipan dengan seting
klinis tertentu, dan ini memungkinkan pengambilan sampling yang berulang dalam
penelitian yang dirancang untuk mengukur status BV pada beberapa titik waktu.
Dua penelitian yang dilakukan terhadap wanita tidak-hamil yang menilai validitas
pengambilan sampel apusan yang diambil sendiri dibandingkan yang disediakan
provider dalam mendeteksi BV menunjukkan validitas yang sangat baik saat kedua
metode itu dibandingkan (26).
Kriteria Nugent adalah tes yang paling sering digunakan dalam studi
epidemiologi seperti studi berskala besar yang dilakukan oleh Maternal-Fetal
Medicine Network Units of the National Institute of Child Health and Human
Development (27,28). Metode ini memiliki beberapa keuntungan yang meliputi: 1)
memberikan rekaman data permanen yang dapat kemudian dikaji ulang untuk
mengkonfirmasi diagnosis BV dan menilai keandalan pembacaannya; 2) melaporkan
stadium BV intermediet, yang sangat berguna dalam studi longitudinal yang
menguji sampel cairan vagina serial untuk perubahan status BV; dan 3) menghitung
jumlah ketiga organisme individual, memungkinkan penilaian risiko penyakit

5
organisme spesifik. Baru-baru ini, BV mulai dipertimbangkan sebagai suatu kondisi
dengan spektrum positivitas. Saat ini, kasus BV diklasifikasikan sebagai positif atau
negatif tanpa mendefinisikan organisme spesifiknya atau penilaian risiko organisme
spesifik penyebab penyakit. Selain itu, untuk kita ketahui, hubungan antara BV dan
risiko penyakit yang belum dinilai (belum di-assesment) mengindikasikan bahwa
ringkasan BV skor itu sendiri, mulai 0-7, menunjukkan derajat kontinu positivitas BV.
Di masa depan, penelitian yang dilakukan sebaiknya menghubungkan antara risiko
penyakit yang respon dosis, dengan Skor BV individual serta meneliti pengaruh
organisme yang terpisah terhadap terjadinya penyakit. Dengan demikian, kita
berada dalam tahap awal keduanya, yakni mengidentifikasi dan mendiagnosis BV
serta menentukan hubungan antara BV dan luaran (hasil) kehamilan yang tidak
diinginkan.

PENGOBATAN
Yang dimaksud dengan "kesembuhan"? Biasanya, kesembuhan untuk BV
mengacu pada resolusi (berkurang hingga menghilangnya) gejala dan mungkin
skrining BV secara berulang memberi hasil negatif. Kita mengetahui dari studi klinis
bahwa BV dapat mengalami resolusi spontan maupun rekurensi. Namun faktor-
faktor yang berkontribusi terhadap resolusi maupun rekurensi ini masih belum
diketahui. Selain itu, faktor-faktor predisposisi seperti perilaku, hormonal, atau
lingkungan wanita terhadap beberapa kasus berulang BV juga tidak jelas. Pada bab
atau bagian ini akan dikaji mengenai terapi terkini untuk mengobati BV yang terjadi
selama kehamilan. Hal ini penting untuk mengenali bahwa tes diagnostik yang telah
kami jelaskan, yang digunakan untuk mendeteksi BV, mengambil sampel cairan dari
vagina; Namun, kita tahu bahwa BV naik ke saluran kelamin bagian atas. Oleh
karena itu, penting untuk mengenali faktor-faktor yang memprediksi naiknya infeksi
BV dan efektivias terapi pengobatan untuk mengatasi infeksi saluran genital bagian
bawah dan atas. Studi efektivitas yang dimaksud mengacu pada angka kesembuhan
untuk kasus awal BV dan bukan untuk kekambuhan pasien. Sebanyak 30% wanita

6
mengalami relaps dalam waktu 1 bulan pengobatan, dengan kekambuhan spontan
terjadi lebih sering di antara wanita yang diobati dengan antibiotik topikal
dibandingkan dengan antibiotik sistemik (29).
Pengobatan sistemik oral yang paling umum untuk BV baik pada wanita
hamil dan tidak hamil adalah metronidazol (30). Rata-rata tingkat kesembuhan
individual yang diberikan metronidazol 500 mg dua kali sehari selama 7 hari berkisar
antara 84% hingga 96%, sedangkan angka kesembuhan individu yang diberi 2 gram
metronidazole dosis tunggal adalah 54-62% (31). Sebelumnya, terdapat
kekhawatiran mengenai penggunaan metronidazol selama trimester pertama
kehamilan sebelum berakhirnya proses organogenesis (32,33). Namun, sebuah studi
berskala kecil yang meneliti anak-anak yang terpapar metronidazol dalam rahim
mengindikasikan tidak ada bukti efek teratogenik jangka panjang (34). Meskipun
telah lama dianggap sebagai pengobatan yang efektif untuk mengurangi gejala yang
berkaitan dengan BV, artikel menarik baru-baru ini melaporkan bahwa konsentrasi
tinggi metronidazol, lebih dari 5.000 μg/ml, benar-benar menekan pertumbuhan
Lactobacillus dan konsentrasi 1.000-4.000 μg/ml secara signifikan menghambat
pertumbuhan Lactobacillus (35). Oleh karena itu, dosis metronidazol mungkin
penting dalam menentukan baik penyembuhan maupun tingkat kekambuhan.
Pengobatan sistemik kedua untuk BV adalah klindamisin oral. Suatu percobaan
klinis diketahui menggambarkan efektivitas klindamisin. Studi tersebut melaporkan
bahwa pemberian 300 mg klindamisin dua kali sehari selama 7 hari menghasilkan
tingkat kesembuhan 94% (31). Tercatat bahwa semua studi efikasi yang telah
dilakukan pada wanita tidak hamil, dengan asumsi bahwa tingkat kesembuhan BV
antara wanita hamil adalah sama. Dua pengobatan topikal untuk BV termasuk gel
vagina metronidazole 0,75% dan klindamisin krim vagina 2%. Dengan pemberian
metronidazol vagina dua kali sehari selama 5 hari dilaporkan angka kesembuhan
yang terjadi berkisar 75-81%, sedangkan pengobatan dengan krim klindamisin
dilaporkan memberi kesembuhan pada 82-96% kasus BV (36). Efektifitas
pengobatan dengan krim klindamisin selama 3 hari dibanding 7 hari memberikan

7
hasil setara dan ditoleransi dengan baik dalam pengobatan BV (). Perlu ditekankan
sekali lagi, pengobatan topikal ini hanya mengurangi/menyembuhkan infeksi
saluran genital bawah namun tidak menyembuhkan infeksi saluran genital bagian
atas. Apa hubungan antara resolusi infeksi saluran genital bawah dan resolusi
saluran genital bagian atas? Saat ini, jawabannya adalah tidak diketahui.

EPIDEMIOLOGI: FAKTOR RISIKO


Banyak informasi yang diketahui tentang mikrobiologi dan identifikasi BV;
Namun, terbatas informasi yang ada mengenai faktor-faktor atau perilaku yang
meningkatkan suatu risiko wanita terhadap BV selama kehamilan. Prediktor BV saat
ini terbatas pada ras, aktivitas seksual, status sosial ekonomi, dan mungkin douching
vagina (pencucian/pembilasan vagina dengan cairan yang disemprotkan ke dalam
vagina). Sebagian besar studi epidemiologi yang dilakukan sampai saat ini untuk
menentukan faktor risiko BV berfokus pada kasus simptomatik dan termasuk hasil
dari perempuan yang mencari perawatan di klinik penyakit menular seksual atau
klinik kebidanan dalam kota. Generalisasi dari literatur saat ini tidak jelas karena
kasus asimtomatik belum diperiksa secara menyeluruh dan data saat ini hanya
mewakili sebagian dari wanita usia reproduksi. Meskipun demikian, prevalensi BV
yang dilaporkan pada ibu hamil berkisar dari 10 hingga 35%, dengan tingkat yang
lebih tinggi terjadi di antara perempuan Afrika-Amerika, perempuan berpenghasilan
rendah, atau wanita dengan penyakit menular seksual sebelumnya (10,38,39).
Study mengenai prematuritas dan Infeksi vagina, yang meneliti BV pada wanita
hamil antara 23 dan 26 minggu kehamilan, menemukan 2,0-sampai 2,5 kali lipat
peningkatan risiko BV kalangan wanita hamil Afrika-Amerika dibandingkan dengan
wanita hamil kulit Putih. Sejumlah penelitian telah mengkonfirmasikan setidaknya
terdapat resiko 2 kali lipat peningkatan BV pada perempuan Afrika-Amerika
mungkin karena paparan lingkungan atau perilaku atau stressor (40,41).
Perempuan dengan status sosial ekonomi rendah dan wanita-wanita yang
mengaku menderita tingkat stres psikososial yang lebih tinggi juga mengalami

8
peningkatan kejadian BV. Dalam studi terbaru yang dilakukan terhadap populasi
obstetrik, prevalensi BV dilaporkan berkisar kurang dari 10% di antara pasien swasta
sampai di atas 35% di kalangan perempuan berpenghasilan rendah dan tingkat
pendidikan yang rendah, meskipun studi ini tidak melakukan penyesuaian terhadap
ras (42,43). Culhane et al. menilai pengaruh stres jangkapanjang pada ibu, yang
diukur oleh Cohen dengan skala stres, dan menemukan bahwa dengan faktor
independen sosiodemografi dan prilaku, stres maternal jangkapanjang masih
merupakan prediktor bermakna untuk BV pada kalangan wanita hamil (44).
Studi epidemiologik menemukan bahwa aktivitas seksual dini, jumlah
partner seksual yang banyak selama usia kehidupan, wanita dengan partner seksual
yang baru, dan wanita dengan penyakit menular seksual sebelumnya juga memiliki
resiko peningkatan BV (45-47). BV lebih lazim ditemukan pada wanita yang baru
saja menderita penyakit menular seksual. Namun kejadian BV mungkin lebih
merupakan akibat langsung dari pajanan patogen infeksius, dibanding perilaku
seksual itu sendiri. Kenyataannya, banyak patogen yang terbukti dapat mengubah
keseimbangan flora normal vagina dengan menurunkan jumlah Lactobacillus dan
meningkatkan proliferasi bakteri anaerob serta kejadian BV selanjutnya. Meski
penyakit menular seksual dapat terjadi bersama-sama dengan BV, misalnya
trichomoniasis dan BV, BV bukan termasuk penyakit menular seksual (48-51).
Misalnya studi yang dilakukan di antara gadis-gadis usia sekolah menemukan angka
kejadian BV yang sebanding antara gadis virgin dan non-virgin (masing-masing 12%
dan 15%) (49). Lebih jauh, meski organisme anaerob pada banyaknya kasus BV telah
dikultur dari pria pasangan seksual si wanita, pengobatan terhadap pria yang
menjadi pasangan wanita tersebut bukan merupakan cara yang dapat diandalkan
untuk menurunkan rekurensi BV pada wanita. Di lain pihak, studi skala kecil
terhadap pasangan lesbian monogami menyimpulkan bahwa jika salah satunya
positif menderita BV maka pasangannya memiliki peningkatan resiko BV sebanyak
20 kali lipat lebih tinggi (odd rasio = 19,7 dengan interval kepercayaan 95%: 2,1 ;

9
588,0), ini menguatkan temuan sebelumnya oleh Gardner dan Duke bahwa BV
dapat ditransmisikan melalui inokulasi secara langsung sekret vagina (50,52).
Beberapa perilaku seperti douching vagina telah diteliti sebagai faktor resiko
BV. Di antara wanita yang tidak hamil, vaginal douching yang mereka laporkan
tercatat meningkatkan resiko BV (53,54). Holzman et al menemukan resiko
peningkatan BV lebih dari dua kali lipat pada wanita yang melaporkan pernah
melakukan vaginal douching 2 bulan sebelumnya (4). Belum ada studi yang
dipublikasikan hingga saat ini yang meneliti peran vaginal douching terhadap BV di
antara wanita hamil. Vaginal douching mungkin mengubah flora normal,
menurunkan Lactobacillus dan menciptakan lingkungan yang meningkatkan
pertumbuhan berlebihan bakteri anaerob; di samping itu, douching mungkin
dilakuan karena sudah terdapat gejala BV (seperti duh vagina dan bau tak sedap)
atau adanya penyakit menular seksual (53,54). Saat ini sedang dilakukan studi
prospektif untuk menjawab pertanyaan tersebut.

EPIDEMIOLOGI: DAMPAK YANG TIDAK DIINGINKAN TERHADAP WANITA HAMIL


BV sangat lazim terjadi pada kalangan wanita usia subur, namun untuk suatu
kondisi umum, resiko kelanjutan dari dampak yang tidak diinginkan pada wanita
hamil terbatas (11,56). Temuan resiko yang relatif rendah untuk berbagai kejadian
mungkin kenyataannya disebabkan definisi yang tidak tepat mengenai
pajanan/paparan. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, BV adalah sindrom
dengan berbagai derajat positivitas. Literatur saat ini telah meneliti hubungan
antara positivitas BV terhadap luaran kesehatan (health outcome), namun hingga
kini kami mengetahui belum ada studi yang meneliti organisme tertentu terhadap
resiko penyakit. Sebagai tambahan, masih belum jelas, apakah BV merupakan faktor
resiko penyakit, atau apakah pajanan terhadap BV atau berbagai organisme
penyebab perubahan inflamasi, yang lebih penting dalam memprediksi luaran yang
tidak diinginkan. Kita mengetahui bahwa diagnosis BV dari traktus genital bagian
bawah berkaitan dengan: 1) peningkatan potensi patogen lainnya untuk mencapai

10
jalan menuju traktus genital bagian atas, 2) adanya enzim yang menurunkan
kemampuan lekosit untuk mengurangi infeksi, dan 3) peningkatan kadar sitokin
yang menstimulasi produksi endotoksin prostaglandin. Kenyataannya, Imseis et al
melaporkan tingginya kadar IL-1 beta, suatu sitokin inflamasi, di antara wanita hamil
dengan BV. Spandorfer et al menemukan tingginya kadar sitokin IL-1 beta dan IL-8
servik di antara wanita tidak-hamil yang menderita BV. Penelitian tentang BV di
masa depan perlu berupaya mendefinisikan pajanan BV dan menekankan
konsekuensi inflamasi dari pajanan BV serta resiko luaran kehamilan yang tidak
diinginkan. Bagian selanjutnya akan mengkaji studi-studi yang dilakukan saat ini
yang meneliti peran BV terhadap luaran kehamilan.
Kebanyakan studi epidemiologik yang dirancang untuk meneliti peran BV
terhadap luaran kehamilan berfokus pada resiko persalinan prematur, meski banyak
dari studi tersebut secara tidak tepat menggabungkn persalinan prematur dengan
KPD. Dalam banyak kasus, studi-studi tersebut menunjukkan secara konsisten
peningkatan resiko persalinan prematur hingga dua kali lipat di antara wanita yang
didiagnosis dengan BV, khususnya BV yang didiagnosis pada awal trimester kedua
(11,55,56). Studi-studi review metaanalisis yang dilakukan baru-baru ini yang
menyelidiki peran BV terhadap persalinan prematur melaporkan summary odds
rasio sebesar 1,6 yang mengindikasikan 60% peningkatan rasio persalinan prematur
pada wanita hamil dengan BV. Sejumlah kecil studi telah menilai hubungan antara
Bv dengan luaran persalinan prematur, berat lahir rendah, serta ketuban pecah dini.
Suatu studi meneliti beberap luaran kehamilan yang terkait denganBV yang
didiagnosis selama trimester pertama kehamilan melaporkan 2,6 kali lipat
peningkatan resiko persalinan prematur (interval kepercayaan 95% 1,3 ; 4,9) serta
peningkatan 7,3 kali lipat resiko ketuban pecah dini (interval kepercayaan 95% 1,8 ;
29,4) (11). Studi lainnya menemukan bahwa BV yang didiagnosis pada trimester
kedua behubungan dengan persalinan prematur dan ketuban pecah dini dan bahwa
BV terhitung 83% memiliki resiko lahir prematur (64).

11
Dengan semakin bertambahnya literatur, mulai muncul dugaan adanya
peningkatan resiko abortus spontan pada wanita hamil dengan BV (12,65,66).
Banyak studi melaporkan peningkatan 3-5 kali lipat resiko abortus spontan di antara
wanita hamil yang didiagnosis dengan BV pada trimester pertama, meski studi ini
ter-hampered oleh ukuran jumlah sampel yang sedikit (12,65). Dua studi tambahan
lainnya pada wanita-wanita hamil yang beresiko tinggi juga melaporkan
peningkatan aborsi spontan di antara wanita yang didiagnosis BV (66,67). Suatu
studi yang meneliti wanita-wanita yang sedang menjalani pengobatan infertilitas,
menemukan lebih dari 2 kali lipat peningkatan resiko abortus spontan pada wanita
dengan BV, setelah penyesuaian dengan usia ibu, riwayat persalinan dengan bayi
lahir hidup sebelumnya, serta mereka yang merokok (resiko relatif 2,67; interval
kepercayaan 95%: 1,26; 5,63) (66).
Banyak uji klinis telah meneliti efikasi pengobatan BV secara topikal maupun
oral dalam menurunkan resiko persalinan prematur dan menemukan tidak adanya
penurunan resiko di antara wanita hamil yang mendapat terapi topikal BV (68,69).
Meski kontroversial, studi mengenai terapi oral mendukung pendekatan terapi yang
berbeda terhadap wanita hamil simptomatik, asimptomatik dan yang beresiko
tinggi. Wanita hamil dengan BV yang simptomatik yang diterapi untuk meringankan
gejala dengan pencegahan efek samping (misalnya, kelahiran prematur, persalinan
prematur, ketuban pecah dini/KPD) lebih dipilih/diinginkan namun sayangnya tidak
terdokumentasi dengan baik (31). Pengobatan terhadap wanita hamil dengan BV
positif yang asimptomatik serta kemungkinan mengurangi efek buruknya terhadap
kehamilan juga masih belum jelas. Tiga studi klinis random dengan kontrol-plasebo
yang terpisah mengindikasikan penurunan resiko kelahiran prematur setelah
pengobatan dengan metronidazol. Di lain pihak, dalam dua buah studi, penurunan
ini hanya ditemukan pada sebagian kecil wanita hamil asimptomatik yang beresiko
tinggi (70-72). Dalam kenyataannya, suatu studi metaanalisis dari semua uji
kontrolrandom terhadap BV pada kehamilan menemukan tiadanya manfaat
pengobatan BV pada wanita dengan resiko menengah terhadap luaran

12
kehamilannya (73). Sebagai tambahan, dalam satu uji klinis yang dilakukan saat ini
tidak ditemukan penurunan kejadian kelahiran prematur di antara wanita-wanita
hamil asimptomatik resiko tinggi maupun resiko rendah setelah pengobatan dengan
metronidazol oral (28). Dalam praktek klinik, wanita hamil asimptomatik resiko
tinggi umumnya di skrining pada awal trimester kedua dan diterapi dengan
metronidazol oral, namun manfaat terapi ini dalam menurunkan resiko kelahiran
prematur masih belum jelas (74).

KESIMPULAN
BV merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang luas, terhitung
dari banyaknya kasus vaginitis dan keputihan yang terjadi di Amerika Serikat.
Meskipun asimptomatik, BV merupakan kondisi vagina yang paling sering terdapat
pada wanita hamil, jumlah sebenarnya tdak diketahui karena lebih dari separuh
kasus tidak diketahui. Penelitian dilakukan untuk menghitung prevalensi BV yang
simptomatik dan asimptomatik di antara wanita hamil untuk menentukan apakah
kejadian BV yang berbeda menurut usia gestasi akan memberi manfaat. Karena
terbatasnya informasi yang tersedia mengenai faktor-faktor dan perilaku yang
menempatkan wanita mengalami peningkatan resiko BV pada kehamilan, maka
diperlukan penelitian tambahan dalam hal ini. Sangat penting untuk dilakukan suatu
studi epidemiologi berskala besar untuk membedakan apakah faktor-faktor prilaku,
hormonal, atau lingkungan dan atau komorbiditas yang mempengaruhi peningkatan
resiko BV pada kehamilan dan untuk mengeksplorasi hubungan ras, status
sosioekonomi, penyakit menular seksual, dan vaginal douching terhadap adanya BV.
Studi yang dilakukan saat ini yang menghubungkan antara BV dengan
dampak merugikan terhadap luaran kehamilan, mengukur dan mengkategorikan
positivitas BV dari sampel-sampel yang diambil dari traktus genital bagian bawah.
Pengukuran ini secara moderat terkait dengan resiko dampak yang merugikan,
dengan asumsi yang mungkin adalah naiknya bakteri dari traktur genital bagian
bawah menuju ke atas. Kondisi-kondisi biologis maupun lingkungan yang

13
menyebabkan naiknya bakteri ini sangat menarik perhatian namun belum diteliti
secara adekuat hingga kini. Sebagai tambahan, prediktor kejadin BV yang berulang
maupun kesembuhan BV secara spontan juga penting. Hanya ketika faktor-faktor
penentu mikrobiobiologik, epidemiologik dan sosiologik ini diteliti secara
menyeluruh, kita sebagai komunitas kesehatan masyarakat mulai memahami dan
mencegah kejadian BV dalam kehamilan.

14
REFERENSI

1. Rein MF, Holmes KK. Non-specific vaginitis, vulvovaginal candidiasis, and


trichomoniasis clinical features, diagnosis and management. Curr Clin Top Infect
Dis 1983;4:281–315.
2. Fleury FS. Adult vaginitis. Clin Obstet Gynecol 1981;24:407–38.
3. McGregor JA, French JI. Bacterial vaginosis in pregnancy. Obstet Gynecol Surv
2000;55(5 suppl 1):1–19.
4. Holzman C, Leventhal JM, Qiu H, et al. Factors linked to bacterial vaginosis in
nonpregnant women. Am J Public Health 2001;91:1664–70.
5. Cristiano L, Coffetti N, Dalvai G, et al. Bacterial vaginosis:prevalence in
outpatients, association with some micro-organisms and laboratory indices.
Genitourin Med 1989;65:382–7.
6. Amsel R, Totten PA, Spiegel CA, et al. Non-specific vaginitis: diagnostic and
microbial and epidemiological associations. Am J Med 1983;74:14–22.
7. Eschenbach DA, Hillier S, Critchlow C, et al. Diagnosis and clinical manifestations
of bacterial vaginosis. Am J Obstet Gynecol 1988;158:819–28.
8. Abner KP, Hessol NA, Padian NS, et al. Risk factors for plasma cell endometritis
among women with cervical Neisseria gonorrhoeae, cervical Chlamydia
trachomatis, or bacterial vaginosis. Am J Obstet Gynecol 1998;178:987–90.
9. Meis PJ, Goldenburg RL, Mercer B, et al. The preterm prediction study:
significance of vaginal infections. Am J Obstet Gynecol 1995;173:1231–5.
10. Hillier SL, Martius J, Krohn M, et al. A case-control study of chorioamniotic
infection and histologic chorioamnionitis in prematurity. N Engl J Med
1988;319:972–8.
11. Kurki T, Sivonen A, Renkonen OV, et al. Bacterial vaginosis in early pregnancy
and pregnancy outcome. Obstet Gynecol 1992; 80:173–7.
12. Hay PE, Lamont RF, Taylor-Robinson D, et al. Abnormal bacterial colonization of
the genital tract and subsequent preterm delivery and late miscarriage. BMJ
1994;308:295–8.
13. Peipert JF, Montagno AG, Cooper AS, et al. Bacterial vaginosis as a risk factor for
upper genital tract infection. Am J Obstet Gynecol 1997;177:1184–7.
14. Eschenbach DA, Dazick PR, Williams BL, et al. Prevalence of hydrogen peroxide
producing Lactobacillus species in normal women and women with bacterial
vaginosis. J Clin Microbiol 1989;27:251–6.
15. Spiegel CA, Amsel R, Eschenbach D, et al. Anaerobic bacteria in nonspecific
vaginitis. N Engl J Med 1980;303:601–7.
16. Hillier SL, Critchlow CW, Stevens CE, et al. Microbiological, epidemiological and
clinical correlates of vaginal colonisation by Mobiluncas species. Genitourin Med
1991;67:26–31.
17. Hill GB. The microbiology of bacterial vaginosis. Am J Obstet Gynecol 1993;169(2
pt 2):450–4.

15
18. Aroutcheva AA, Simoes JA, Behbakht K, et al. Gardnerella vaginalis isolated from
patients with bacterial vaginosis and from patients with health vaginal
ecosystems. Clin Infect Dis 2001;33:1022–7.
19. Klebanoff SJ, Hillier SL, Eschenbach DA, et al. Control of the microbial flora of
the vagina by H202-generating lactobacilli. J Infect Dis 1991;164:94–100.
20. Hay PE, Morgan DJ, Iscon CA, et al. A longitudinal study of bacterial vaginosis
and other changes in the vaginal flora during pregnancy.
21. Hay PE, Ugwamadu A, Chowns J. Sex, thrush and bacterial vaginosis. Int J STD
AIDS 1997;8:603–8.
22. Lichtman R, Duran P. The vulva and vagina. In: Lichtman R, Papera S, eds. Well
woman care. Norwalk, CT: Appleton & Lange, 1990.
23. Schwebke JR, Hillier SL, Sobel JD, et al. Validity of the vaginal Gram stain for the
diagnosis of bacterial vaginosis. Obstet Gynecol 1996;88:573–6.
24. Mastrobattista JM, Bishop KD, Newton ER. Wet smear compared with Gram
stain diagnosis of bacterial vaginosis in asymptomatic pregnant women. Obstet
Gynecol 2000;96:504–6.
25. Nugent RP, Krohn MA, Hillier SL. Reliability of diagnosing bacterial vaginosis is
improved by a standardized method of Gram stain interpretation. J Clin
Microbiol 1991;29:297–301.
26. Schwebke JR, Morgan SC, Weiss HL. The use of sequential self-obtained vaginal
smears for detecting changes in the vaginal flora. Sex Transm Dis 1997;24:236–
9.
27. Carey JC, Klebanoff MA, Hauth JC. Metronidazole to prevent preterm delivery in
pregnant women with asymptomatic bacterial vaginosis. N Engl J Med
2000;342:534–40.
28. Goepfert AR, Goldenberg RL, Andrews WW, et al. The Preterm Prediction Study:
association between cervical interleukin 6 concentration and spontaneous
preterm birth. National Institute of Child Health and Human Development.
Maternal-Fetal Medicine Units Network. Am J Obstet Gynecol 2001;184:483–8.
29. Hay PE. Recurrent bacterial vaginosis. Sex Transm Dis 1998; 16:769–73.
30. Joesoef MR, Schmid GP, Hillier SL. Bacterial vaginosis: review of treatment
options and potential clinical indications for therapy. Clin Infect Dis
1999;28(suppl 1):S57–S65.
31. Greaves WL, Chungafung J, Morris B, et al. Clindamycin versus metronidazole in
the treatment of bacterial vaginosis.Obstet Gynecol 1988;72:799–802.
32. Rusha M, Shwak P. Introduction of lung tumors and malignant lymphoma in
mice by metronidazole. J Natl Cancer Inst 1972;48:721–9.
33. Cavaliere A, Bacci M, Amorisi A, et al. Introduction of lung tumors and
lymphomas in BALB/C mice by metronidazole.Tumori 1983;69:379–82.
34. Thapa PB, Whitlock JA, Brockman Worell KG, et al. Prenatal exposure to
metronidazole and risk of childhood cancer: a retrospective cohort study of
children younger than 5 years. Cancer 1998;83:1461–8.

16
35. Simoes JA, Aroutcheva AA, Shott S, et al. Effect of metronidazole on the growth
of vaginal Lactobacillus in vitro. Infect Dis Obstet Gynecol 2001;9:41–5.
36. Ferris DG, Litaker MS, Woodward L, et al. Treatment of bacterial vaginosis: a
comparison of oral metroxidazole, metrotridazole vaginal gel and clindamycin
vaginal cream. J Fam Pract 1995;41:443–9.
37. Sobel J, Peipert JF, McGregor JA, et al. Efficacy of clindamycin vaginal ovule (3-
day treatment) vs. clindamycin vaginal cream (7-day treatment) in bacterial
vaginosis. Infect Dis Obstet Gynecol 2001;9:9–15.
38. Rauh VA, Culhane JF, Hogan VK. Bacterial vaginosis: a public health problem for
women. J Am Med Womens Assoc 2000;55:220–2.
39. Schwebke JR. Vaginal infections. In: Goldman MB, Hatch MC, eds. Women and
health. San Diego, CA: Academic Press, 2000.
40. Schmid GP. The epidemiology of bacterial vaginosis. Int J Gynaecol Obstet
1999;67:S17–S20.
41. Goldenberg RL, Klebanoff MA, Nugent R, et al. Bacterial colonization of the
vagina during pregnancy in four ethnic groups: vaginal infections and
prematurity study group. Am J Obstet Gynecol 1996;174:1618–21.
42. Minkoff H, Grunebaum A, Schwarz R. Risk factors for prematurity and
premature rupture of membranes: a perspective study of vaginal flora in
pregnancy. Am J Obstet Gynecol 1984;150:965–72.
43. Gardner HJ, Dampeer T, Dukes C. The prevalence of vaginitis. Am J Obstet
Gynecol 1957;73:1080–7.
44. Culhane JF, Rauth V, McCollum KF, et al. Maternal stress is associated with
bacterial vaginosis in human pregnancy. Matern Child Health J 2001;5:127–34.
45. Barbone F, Austin H, Louv WC, et al. A follow-up study of methods of
contraception, sexual activity and rates of trichomoniasis, candidiasis and
bacterial vaginosis. Am J Obstet Gynecol 1990;163:510–14.
46. Moi H. Prevalence of bacterial vaginosis and its association with genital
infections, inflammation and contraceptive methods in women attending
sexually transmitted disease and primary health clinics. Int J STD AIDS
1990;1:86–94.
47. Paavonen J, Miettinen A, Stevens CE, et al. Mycoplasma hominis in non-specific
vaginitis. Sex Transm Dis 1983;45:271–5.
48. Franklin TL, Monif GR. Trichomonas vaginalis and bacterial vaginosis:
coexistence in vaginal wet mount preparations from pregnant women. J Reprod
Med 2000;45:131–4.
49. Bump RC, Buesching WJ 3rd. Bacterial vaginosis in virginal and sexually active
adolescent females: evidence against exclusive sexual transmission. Am J Obstet
Gynecol 1988;158:935–9.
50. Berger BJ, Kolton S, Zenilman JM, et al. Bacterial vaginosis in lesbians: a sexually
transmitted disease. Clin Infect Dis 1995;21:1402–5.
51. Morris MC, Rogers PA, Kinghorn GR. Is bacterial vaginosis a sexually transmitted
infection? Sex Transm Infect 2001;77:63–8.

17
52. Gardner HL, Dukes CD. Hemophilus vaginalis vaginitis. Am J Obstet Gynecol
1955;69:962–7.
53. Merchant JS, Oh MK, Klerman LV. Douching a problem for adolescent girls and
young women. Arch Pediatr Adolesc Med 1999;153:834–7.
54. Bruce FC, Fiscella K, Kendrick JS. Vaginal douching and preterm birth: an
intriguing hypothesis. Med Hypotheses 2000;54:448–42.
55. Hillier SL, Nugent RP, Eschenbach DA, et al. Association between bacterial
vaginosis and preterm delivery of a lowbirth- weight infant. N Engl J Med
1995;333:1737–42.
56. Gratocos E, Figueras F, Barranco M, et al. Spontaneous recovery of bacterial
vaginosis during pregnancy is not associated with an improved perinatal
outcome. Acta Obstet Gynecol Scand 1998;77:37–40.
57. Briselden M, Moncla B, Stevens C, et al. Sialidases (neuraminidases) in bacterial
vaginosis and bacterial vaginosis-associated microflora. J Clin Microbiol
1992;30:663–6.
58. McGregor JA, French JI, Jones W, et al. Bacterial vaginosis is associated with
prematurity and vaginal fluid mucinase and sialidase; results of a controlled trial
of topical clindamycin cream. Am J Obstet Gynecol 1994;170:1048–59.
59. Platz-Christensen JJ, Mattsby-Baltzer I, Thomsen P, et al. Endotoxin and
interleukin-1c in the cervical mucus and vaginal fluid of pregnant women with
bacterial vaginosis. Am J Obstet Gynecol 1993;169:1161–6.
60. Platz-Christensen JJ, Brandberg A, Wiqvist N. Increased prostaglandin
concentrations in the cervical mucus of pregnant women with bacterial
vaginosis. Prostaglandins 1992;43:133–4.
61. Cauci S, Monte R, Driussi S, et al. Ipairment of the mucosal immune system: IgA
and IgM cleavage detected in vaginal washings of a subgroup of patients with
bacterial vaginosis. J Infect Dis 1998;178:1698–706.
62. Imseis HM, Greig PC, Livengood CH 3rd, et al. Characterization of the
inflammatory cytokines in the vagina during pregnancy and labor and with
bacterial vaginosis. J Soc Gynecol Investig 1997;4:90–4.
63. Spandorfer DS, Neuer A, Giraldo PC, et al. Relationship of abnormal vaginal
flora, proinflammatory cytokines and idiopathic infertility in women undergoing
IVF. J Reprod Med 2001;46:806–10.
64. Purwar M, Ughade S, Bhagat B, et al. Bacterial vaginosis in early pregnancy and
adverse pregnancy outcome. J Obstet Gynecol Res 2001;27:175–81.
65. McGregor JA, French JL, Parker R, et al. Prevention of premature birth by
screening and treatment for common genital tract infections: results of a
prospective controlled evaluation. Am J Obstet Gynecol 1995;173:157–67.
66. Ralph SG, Rutherford AJ, Wilson JD. Influence of bacterial vaginosis on
conception and miscarriage in the first trimester: cohort study. BMJ
1999;319:220–3.
67. Llahi-Camp JM, Rai R, Ison C, et al. Association of bacterial vaginosis with a
history of second trimester miscarriage. Hum Reprod 1996;11:1575–8.

18
68. Kurkinen-Raty M, Vuopala S, Koskela M, et al. A randomised controlled trial of
vaginal clindamycin for early pregnancy bacterial vaginosis. BJOG
2000;107:1427–32.
69. 69. Kekki M, Kurki T, Pelkonen J, et al. Vaginal clindamycin in preventing preterm
birth and peripartal infections in asymptomatic women with bacterial vaginosis:
a randomized, controlled trial. Obstet Gynecol 2001;97(5 pt 1):643–8.
70. Hauth JC, Goldenberg RL, Andrews WW, et al. Reduced incidence of preterm
delivery with metronidazole and erythromycin in women with bacterial
vaginosis. N Engl J Med 1995;333:1732–6.
71. Morales WJ, Schorr S, Albritton J. Effect of metronidazole in patients with
preterm birth in preceding pregnancy and bacterial vaginosis: a placebo-
controlled, double blind study. Am J Obstet Gynecol 1994;171:345–7.
72. McDonald HM, O’Loughlin JA, Vigneswaran R, et al. Impact of metronidazole
therapy on preterm birth in women with bacterial vaginosis flora (Gardnerella
vaginalis): a randomized placebo controlled trial. Br J Obstet Gynecol
1997;104:1391–7.
73. Guise JM, Mahon SM, Aickin M, et al. Screening for bacterial vaginosis in
pregnancy. Am J Prev Med 2001;20(3 suppl):62–72.
74. Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases.MMWR Morb Mortal
Wkly Rep 1998;47(RR-1):1–118.

19
Jurnal Reading

VAGINOSIS BACTERIAL PADA KEHAMILAN:


TEMUAN SAAT INI SERTA PETUNJUK DI MASA DEPAN
(Bacterial Vaginosis in Pregnancy: Current Findings and Future Directions)
Deborah B. Nelson and George Macones

Epidemiol Rev 2002;24:102–108

Oleh:
Dwi Andriani S.Ked
I1A000061

Pembimbing :
dr. Pribakti B, Sp.OG(K)

BAGIAN/SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSUD ULIN/FK UNLAM
BANJARMASIN

November, 2014

20

Anda mungkin juga menyukai