Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

FRAMBUSIA: GAMBARAN KLINIS DAN


PENANGANGANNYA

Oleh
Fa’izah Rahmadhani S NIM 142011101056
Nely Masruroh NIM 142011101061
Tria Yudiana NIM 142011101047
Sarbrina Nur Faizah NIM 182011101064
Ahmad Baihaqi NIM 142011101030
Billy Jusup Kurniawan NIM 142011101052

Pembimbing
Prof. dr. Bambang Suhariyanto, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

LAB/KSM ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSD dr. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2019
REFERAT

FRAMBUSIA: GAMBARAN KLINIS DAN


PENANGANGANNYA

disusun guna melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSD dr. Soebandi Jember

Oleh
Fa’izah Rahmadhani S NIM 142011101056
Nely Masruroh NIM 142011101061
Tria Yudiana NIM 142011101047
Sarbrina Nur Faizah NIM 182011101064
Ahmad Baihaqi NIM 142011101030
Billy Jusup Kurniawan NIM 142011101052

Pembimbing
Prof. dr. Bambang Suhariyanto, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

LAB/KSM ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSD dr. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2019

2
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................... 2
DAFTAR ISI ................................................................................................ 3
BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................... 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 5
2.1 Definisi .................................................................................................... 5
2.2 Epidemiologi ........................................................................................... 6
2.3 Etiologi .................................................................................................... 6
2.4 Pathogenesis ............................................................................................ 8
2.5 Manifestasi Klinis .................................................................................... 10
2.5.1 Temuan Kulit ................................................................................. 10
2.5.2 Temuan Non-Kulit ........................................................................ 14
2.6 Diagnosis ................................................................................................. 14
2.6.1 Pemeriksaan Laboratorium............................................................ 14
2.6.2 Pemeriksaan Histopatologi ............................................................ 15
2.6.3 Pemeriksaan Radiologi .................................................................. 15
2.7 Diagnosis Banding................................................................................... 16
2.8 Tatalaksana ............................................................................................. 22
2.9 Komplikasi .............................................................................................. 25
2.10 Prognosis ............................................................................................... 25
BAB 3. KESIMPULAN .............................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 28

3
BAB 1. PENDAHULUAN

Penyakit frambusia ini merupakan penyakit yang berkaitan dengan


kemiskinan dan hampir bisa dikatakan hanya menyerang mereka yang berasal dari
kaum termiskin serta masyarakat kesukuan yang terdapat di daerah-daerah terpencil
yang sulit dijangkau. Pada awalnya, koreng yang penuh dengan organisme
penyebab ditularkan melalui kontak dari kulit ke kulit, atau melalui luka di kulit yang
didapat melalui benturan, gigitan, maupun pengelupasan. Pada mayoritas pasien,
penyakit frambusia terbatas hanya pada kulit saja, namun dapat juga mempengaruhi
tulang bagian atas dan sendi. Walaupun hampir seluruh lesi frambusia hilang dengan
sendirinya, infeksi bakteri sekunder dan bekas luka merupakan komplikasi yang
umum. Setelah 5 -10 tahun, 10% dari pasien yang tidak menerima pengobatan
akan mengalami lesi yang mampu mempengaruhi tulang rawan, kulit, serta
jaringan halus yang akan mengakibatkan disabilitas serta stigma sosial.
Beban penyakit selama periode 1990an, frambusia merupakan permasalahan
kesehatan masyarakat yang terdapat hanya di tiga negara di Asia Tenggara, yaitu
India, Indonesia dan Timor Leste. Berkat usaha yang gencar dalam pemberantasan
frambusia, tidak terdapat lagi laporan mengenai penyakit ini sejak tahun 2004.
Sebelumnya, penyakit ini dilaporkan terdapat di 49 distrik di 10 negara bagian dan
pada umumnya didapati pada suku-suku didalam masyarakat. India kini telah
mendeklarasikan pemberantasan penyakit frambusia dengan sasaran tidak adanya
lagi laporan mengenai kasus baru dan membebaskan India dari penyakit ini sebelum
tahun 2008.
Frambusia adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif. Banyak dijumpai pada daerah-daerah tropis dengan curah hujan dan
kelembapan yang tinggi, antara lain di Afrika Utara, Eropa Timur, Amerika
Tengah, Amerika Selatan, dan Indonesia. Pada musim hujan dengan kelembapan
udara yang tinggi, penularan penyakit ini memingkat, menyebabkan kejadian
kasus baru bertambah. Selain itu, muncul juga erupsi pada kasus-kasus laten
sehingga menghasilkan angka kejadian kasus yang tinggi. Frambusia umumnya
terjadi pada anak-anak dan orang dewasa, terutama di daerah endemik dengan
kebersihan perorangan yang kurang dan sosial ekonomi yang rendah.

4
BAB 2 TINJAUN PUSTAKA

2.1 Definisi
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh
Treptonema pallidum sp. pertenue yang memiliki 3 stadium dalam proses
manifestasi ulkus seperti ulkus atau granuloma (mother yaw), lesi non-destruktif
yang dini dan destruktif atau adanya infeksi lanjut pada kulit, tulang dan perios.
Penyakit ini adalah penyakit kulit menular yang dapat berpindah dari orang yang
sakit frambusia kepada orang sehat dengan luka terbuka atau cedera/ trauma
(Greenwood, 2007).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan, kasus frambusia didefinisikan
sebagai berikut, antara lain:
1. Kasus Frambusia suspek, yang selanjutnya disebut suspek adalah seseorang
yang menunjukkan satu atau lebih gejala/tanda klinis selama > 2 minggu,
sebagai berikut:
a. Papul atau papilloma
b.Ulkus fambusia (terdapat krusta, dan tidak sakit)
c. Makula papula
d. Hiperkeratosis di telapak tangan atau kaki (early)
e. Perubahan pada tulang dan sendi (early)

2. Kasus Frambusia probable, yang selanjutnya disebut kasus probable, adalah


kasus suspek yang memiliki kontak erat dengan kasus Frambusia. Secara teknis,
kontak erat dengan kasus Frambusia konfirmasi diartikan sebagai:
a. Kontak lebih dari 20 jam per minggu
b. Waktu kontak antara 9-90 hari sebelum munculnya lesi Frambusia

3. Kasus Frambusia konfirmasi, yang selanjutnya disebut kasus adalah kasus


suspek atau kasus probable Frambusia dengan hasil positif pada uji serologi
(Rapid Diagnostic Test/RDT). Jika hasil tes tersebut meragukan, dapat
dilakukan tes Rapid Plasma Reagen (RPR) atas rekomendasi pakar.

5
4. Kasus suspek/probable RDT (-), yang kemudian disebut kasus RDT (-) adalah
kasus suspek atau kasus probable dengan hasil pengujian RDT negatif (-)
(PERMENES, 2017).

2.2 Epidemiologi
Frambusia terutama menyerang anak-anak yang tinggal di daerah tropis di
pedesaan yang panas, lembab, ditemukan pada anak-anak umur antara 2–15 tahun
lebih sering pada laki-laki. Prevalensi frambusia secara global menurun drastis
setelah dilakukan kampanye pengobatan dengan penisilin secara masal pada
tahun 1950-an dan 1960-an sehingga menekan peningkatan kasus frambusia,
namun kasus frambusia mulai ditemukan lagi di sebagian besar daerah
khatulistiwa dengan penyebaran infeksi tetap berfokus di daerah Amerika Latin,
Kepulauan Karibia, India dan Thailand. Di daerah endemik frambusia prevalensi
infeksi meningkat selama musim hujan. Menurut WHO (2006) bahwa kasus
frambusia di Indonesia pada tahun 1949 meliputi NAD, Jambi, Bengkulu,
Sumatera Selatan, Jawa (Jawa Timur) dan sebagian besar Wilayah Timur
Indonesia yang meliputi Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Untuk menjangkau daerah-daerah kantong frambusia yang jumlahnya
tersebar di beberapa Propinsi dan beberapa Kabupaten di Indonesia maka
dilakukan survei daerah kantong frambusia yang dimulai tahun 2000. Propinsi
yang masih mempunyai banyak kantong frambusia diprioritaskan untuk
dilakukan sero-survei, yaitu NAD, Jambi, Jawa Timur, Banten, Sulawesi
Tenggara dan NTT. Hal ini di pengaruhi oleh 3 faktor yang penting, yaitu faktor
host (manusia), agent (vector) dan environtment (lingkungan) termasuk di dalam
faktor host yaitu pengetahuan, sikap dan perilaku perorangan. (Depkes, 2004).

2.3 Etiologi
Penyakit Frambusia (yaws) pertama kali ditemukan oleh Castellani, pada
tahun 1905 yang berasal dari bakteri besar (spirocheta), bentuk spiral dan motil
dari famili (spirochaetaceae) dari ordo spirochaetales yang terdiri dari 3 genus

6
yang phatogen pada manusia (treponema, borelia dan leptospira). Spirochaeta
mempunyai ciri yang sama dengan pallidum yaitu panjang, langsing ”helically
coiled”, bentuk spiral seperti pembuka botol dan basil gram negatif. Treponema
memiliki kulit luar yang disebut glikosaminoglikan, di dalam kulit memiliki
peptidoglikan yang berperan mempertahankan integritas struktur organisme
(Jawetz, et al, 2008).
Genus treponema terdiri dari Treponema pallidum subspesies pallidum
yang menyebabkan sifilis, Treponema pallidum subspecies perteneu yang
menyebabkan frambusia (yaws/puru/pian), treponema pallidum subspecies
endemicum yang menyebabkan sifilis (disebut bejel) dan treponema carateum
yang menyebabkan pinta (Jawetz, et al, 2008; Greenwood, et al 2007).
Kuman penyebab frambusia adalah Treponema pertenue. Bentuk kumannya
sangat mirip dengan Treponema pallidum (kuman penyebab penyakit sifilis).
Frambusia ditularkan secara kontak langsung non seksual (person to person
contact) melalui cairan getah (exudate) dan serum dari lesi kulit pasien
frambusia. Treponema pertenue tidak dapat menembus kulit yang utuh. Luka
kecil pada kulit, lecet, dan goresan serta bekas gigitan serangga dapat
menyebabkan penetrasi kuman.

Gambar 2.1 Penampakan Treponema Pertenue menggunakan mikroskop


elektron

7
Gambar 2.2 Treponema Pertenue pada pewarnaan gram

2.4 Pathogenesis
Frambusia terjadi akibat adanya kontak berulang antar individu yang
memungkinkan terjadinya penetrasi Treponema pallidum pertenue. Bakteri ini
tidak dapat menembus kulit utuh, sehingga diperlukan adanya luka kecil pada
kulit, lecet atau goresan, serta bekas gigitan serangga untuk memungkinkan
terjadinya penetrasi kuman. Infeksi bakteri Treponema parteneu berbentuk
spirochetes yang berada di lapisan epidermis kulit (Pusponegoro, 2016).
Rata-rata masa inkubasi frambusia adalah 21 hari dengan rentang waktu
10-90 hari. Selama masa inkubasi, T. pallidum pertenue menginvasi aliran
limfatik subkutan dan menyebarkan melalui pembuluh darah. Lesi ulseratif akan
berkembang di masa-masa awal dan mengandung banyak spirochetes. Spirochetes
ini dapat ditularkan baik secara langsung maupun tidak langsung (Djuanda, 2007).
 Penularan secara langsung
Terjadi melalui kontak langsung kulit-ke-kulit via cairan getah (exudate)
dan serum dari lesi kulit penderita frambusia pada orang lain. Penularan
juga mungkin terjadi melalui kontak kulit-mukosa.
 Penularan secara tidak langsung
Terjadi melalui perantara benda atau serangga, tetapi hal ini sangat jarang
terjadi.
Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema partenue
dapat mengalami 2 kemungkinan, antara lain sebagai berikut.

8
 Infeksi effective
Terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit berkembang
biak, menyebar di dalam tubuh, dan menimbulkan gejala-gejala penyakit.
Hal ini dapat terjadi jika T. pertenue yang masuk ke dalam kulit cukup
virulen sehingga orang yang mendapat infeksi tidak kebal terhadap
penyakit frambusia.
 Infeksi ineffective
Terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak dapat
berkembang biak dan kemudian mati tanpa dapat menimbulkan gejala-
gejala penyakit. Hal ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke
dalam kulit tidak cukup virulen untuk melawan kekebalan tubuh target.
Skema perjalanan penyakit frambusia menurut Hacket dan Bull (1956)
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Infeksi

Gejala
pertama

Masa laten Gejala


dini frambusia dini

Gejala
frambusia
lanjut
Sembuh Masa laten
sendiri lanjut
(Hacket dan Bull, WHO, 1956)

9
2.5 Manifestasi Klinis
2.5.1 Temuan Kulit
Frambusia ditularkan melalui kontak kulit langsung dengan lesi infeksi
dan difasilitasi oleh abrasi atau erosi kulit. Anak-anak paling sering terkena,
hingga usia 15 tahun, dengan insiden puncak antara 6 dan 10 tahun. Penyakit ini
menyerang orang-orang yang tinggal di komunitas pedesaan di bawah kondisi
sanitasi yang buruk di daerah tropis di dunia dengan suhu rata-rata di atas 27 ° C
(80 ° F) dan curah hujan deras.
Lesi primer frambusia biasanya papula yang berkembang 21 hari (kisaran,
9 hingga 90 hari) setelah kontak awal. Papula berevolusi menjadi lesi proliferasi,
eksudatif, papilomatosa berdiameter 2 sampai 5 cm atau berevolusi menjadi ulkus,
ulkus nontender, paling sering terletak di kaki. Lokasi genital sangat jarang. Lesi
primer ini dikenal dengan nama yang berbeda, termasuk "mother yaws," "maman
pian," atau "buba madre" (Gambar 1). Bahkan jika tidak diobati, lesi sembuh
secara spontan selama periode 3 hingga 6 bulan, meninggalkan bekas luka
berpigmen.

Gambar 2.1 Lesi primer “maman pian”

Seorang pasien mungkin memiliki primer dan lesi sekunder secara


bersamaan. Lesi sekunder muncul setelah 1 hingga 2 bulan (hingga 24 bulan).
Mereka mewakili penyebaran hematogen dan limfatik ke kulit dan tulang. Pada
kulit, lesi dapat bersifat eksudatif, proliferatif, dan papillomatosa (Gambar 2)
(pianom dalam bahasa Prancis) atau kering dan papulosquamous (pianida dalam

10
bahasa Prancis). Papula eksudatif (pianom atau frambresioma) biasanya
digeneralisasi, bilateral, dan simetris, mulai dari beberapa milimeter hingga
berdiameter 2 cm, lembut, basah, berwarna kekuningan merah, dengan permukaan
lembab atau kerak. (Cooley,2014)

Gambar 2.2 Lesi sekunder “pianome”

Oleh karena menyerupai raspberry, mereka adalah lesi yang paling


representatif dari frambusia. Mereka dapat mempengaruhi kulit kepala dan
lipatan; di lokasi yang terakhir, mereka mungkin menyerupai kondiloma lata dari
sifilis. Lesi mukosa cenderung terletak di sekitar lubang alami, menunjukkan
sebagai bilateral eksudatif, angular cheilitis (Gambar 3). Papula papulosquamous
yang kering (pianida) berlipat ganda dan digeneralisasi, dan mereka dapat
memiliki morfologi annular atau diskoid, dengan kerah skuamosa (tinea yaws),
dikelompokkan dalam pola corymbose.

Gambar 2.3 Lesi mukosa dan perioral pada frambusia

11
Pada wajah, lesi dapat menyerupai psoriasis atau dermatitis seboroik.
Beberapa, lesi kemerahan berhubungan dengan musim hujan; mereka menjadi
langka dan terbatas pada daerah intertriginosa di iklim kering. Pada telapak tangan
dan telapak kaki, lesi dapat juga berupa papula eksudatif atau plak
papulosquamous, keratodermik, dengan kecenderungan membentuk fisura
(Gambar 2.4). Karena lesi akral lunak atau nyeri, pasien menggunakan gaya
berjalan yang aneh, yang dikenal sebagai frambusia. Onikia pianik adalah
paronychia yang berasal dari lesi hiperkeratotik pada lipatan kuku (Unger
dkk.,2011)

Gambar 2.4 Lesi pada kaki

Semua frambusia sekunder sembuh, baik secara spontan atau setelah


perawatan, penyembuhan dengan disertai atau tanpa jaringan parut. Jika tidak
diobati, pasien akan memasuki fase laten dan tetap seperti itu selama sisa
hidupnya. Frambusia yang kambuh cenderung melokalisasi di daerah perioral,
perianal, dan aksila. Kekambuhan dapat terjadi selama 5 tahun setelah infeksi
awal.
Sekitar 10% dari pasien yang tidak diobati berkembang ke fase tersier.
Lesi stadium akhir ini adalah nodul gummatous subkutan dengan kerusakan
jaringan masif dan nekrosis, kadang-kadang menyebabkan ulserasi serpiginosa
yang besar, diikuti oleh deformitas dan kontraktur yang melemahkan. Manifestasi
paling umum yang terkait dengan keadaan ini adalah hasil dari keterlibatan

12
simultan dari kulit dan struktur tulang. Penghancuran lengkap tulang rawan
hidung dan runtuhnya piramida hidung menghasilkan kelainan bentuk yang
dikenal sebagai gangosa (Gambar 2.5). Dischromia pintoid dan hiperkeratosis
palmoplantar telah dijelaskan pada stadium akhir ini (Gambar 2.6).

Gambar 2.5 Gangosa pada tulang rawan hidung

Gambar 2.6 Dischromia pintoid dan hiperkeratosis palmoplantar

Di daerah dengan transmisi yang berkurang, karena kondisi iklim atau


setelah perawatan massal, bentuk penyakit yang lebih ringan dapat terlihat, terkait
dengan beberapa lesi (atenuated frambusia).

13
2.5.2 Temuan Non-Kulit
Atralgia, limfadenopati generalisata, sakit kepala, dan malaise sering
terjadi, serta perubahan cairan serebrospinal asimptomatik. Temuan nonkutan
yang paling penting merujuk pada keterlibatan struktur osteoarticular. Pada
frambusia sekunder, osteoperiostitis dini jari (daktilitis) atau tulang panjang
(lengan bawah, fibula, dan tibia) dapat menyebabkan pembengkakan nyeri tulang
pada malam hari.
Perubahan awal pada tulang dapat divisualisasikan pada radiografi, dan
periosteum yang menebal dapat diraba secara klinis; pembengkakan jari secara
fusiform pada kedua falang proksimal merupakan ekspresi umum dari daktilitis
ini (tangan hantu). Jumlah rata-rata tulang yang terlibat adalah tiga, dengan
keterlibatan tangan dan kaki yang sama. Eksostosis tulang hipertrofik spesifik
daerah paranasal yang dikenal sebagai goundou jarang terlihat saat ini.
Pada fase akhir frambusia, selain keterlibatan wajah sentral yang merusak
yang dikenal sebagai rhinopharyngitis obliterans atau gangosa, pasien juga dapat
mengalami kelainan bentuk hidung pelana, membungkuk pada tibia, atau tulang
kering pedang. Manifestasi lain termasuk keberadaan node juxta-articular.
Berlawanan dengan sifilis tersier, frambusia tidak terkait dengan penyakit
kardiovaskular atau neurologis. Atrofi optik, bagaimanapun, telah dilaporkan pada
stadium tersier. T. pallidum spp. pertenue tidak ada kaitannya dengan penularan
bawaan dari ibu ke bayinya. (Unger dkk., 2011)

2.6 Diagnosis
Diagnosis mudah di daerah endemis, meskipun frambusia yang
dilemahkan mungkin lebih menantang. Petugas kesehatan yang tidak terbiasa
dengan penyakit ini mungkin memerlukan metode laboratorium untuk
mengkonfirmasi diagnosis.
2.6.1 Pengujian Laboratorium
Treponema dapat dideteksi dalam sediaan basah menggunakan mikroskop
lapangan gelap. Namun, ketersediaan metode yang langka di pedesaan

14
membuatnya tidak praktis. Bantuan diagnostik terbaik adalah pengujian serologi
menggunakan teknik yang sama seperti pada sifilis. Tes aglutinasi non-
treponemal, seperti RPR dan VDRL, dapat digunakan untuk diagnosis dan tindak
lanjut setelah perawatan, seperti yang digunakan pada sifilis. Positif palsu dapat
dilihat pada pasien dengan penyakit tropis lainnya seperti malaria dan kusta, serta
pada penyakit rematik. Hasil tes treponemal, seperti TPHA, TPPA, dan
penyerapan antibodi treponemal neon (FTA-ABS) juga positif, tetapi sebagai pada
sifilis, mereka tetap positif selamanya dan tidak berguna untuk tindak lanjut.
Tes diagnostik cepat baru, termasuk strip imunokromatografi yang
dikembangkan untuk sifilis, juga sangat berguna dan mudah digunakan dalam
pengaturan perawatan primer. Diagnosis banding dengan sifilis sendiri mungkin
rumit; dalam reaksi rantai polimerase waktu nyata tetap, dalam kasus seperti itu,
teknik pilihan, walaupun mahal dan terbatas pada pusat penelitian. Sedemikian
kasus, data epidemiologis dan klinis perlu dievaluasi dengan cermat untuk
menegakkan diagnosis yang benar.
2.6.2 Histopatologi
Temuan histologis frambusia sangat mirip dengan sifilis dan termasuk
hiperplasia epidermal, spongiosis fokal, dan infiltrat kulit. Beberapa penulis
menggambarkan akumulasi awal neutrofil di epidermis tetapi sumber yang lain
menyatakan bahwa sebagian besar plasmositik sejak awal. Sel plasma
mendominasi di semua lesi yang berevolusi. Perbedaan penting dengan sifilis
adalah bahwa frambusia tidak menyebabkan perubahan vaskular atau proliferasi
endotel. Pewarnaan imunohistokimia yang sama dengan yang digunakan pada
sifilis cukup berguna pada frambusia dengan menunjukkan spirochetes dalam
jumlah besar di tingkat epidermis (Beehner M., 2011)
2.6.3 Pemeriksaan Radiologis
Studi radiografi sangat berharga dalam kasus periostitis dan keterlibatan
tulang; reaksi periosteal layering bawang dan hilangnya kejelasan korteks terlihat
pada foto polos (Gambar 2.7). Pelengkungan tulang tibia, osteitis destruktif tulang
wajah (seperti terlihat pada gangosa), dan periostitis hipertrofik dan eksostosis
yang terlihat pada gondou cukup jelas pada studi radiologi.

15
Gambar 2.7 Gambaran radiologi periostitis pada yaws

2.7 Diagnosis Banding


Beberapa penyakit mirip dengan Frambusia sehingga sering mengacaukan
diagnosis Frambusia, diagnosis banding frambusia sebagai berikut:
2.7.1 Diagnosa Banding Frambusia Dengan Lesi Primer (Stadium 1)
a. Impetigo
Impetigo merupakan infeksi kulit superfisial yang sering ditemukan pada anak.
Terdapat dua bentuk klinis, yaitu: impetigo bulosa dan non-bulosa. Impetigo bulosa
disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus (S. aureus), sedangkan impetigo non-
bulosa dapat disebabkan oleh S. aureus dan Streptococcus grup A spesies
(Streptococcus sp). Lesi kulit pada impetigo non-bulosa diawali oleh vesikel atau
pustul yang dengan cepat berkembang menjadi plak yang tertutup krusta kekuningan
dengan daerah kemerahan di sekitarnya. Distribusi lesi terutama pada daerah wajah,
leher, tangan dan kaki. Tidak didapatkan gejala konstitusi. Limfadenopati regional
dapat terjadi pada sekitar 90% pasien yang tidak diobati. Pada beberapa individu, lesi
dapat mengalami resolusi spontan (Rachmawati, 2014).

16
Gambar 2.1 Impetigo bulosa (Miller, 2019)

Impetigo bulosa ditandai oleh bula tegang berdinding tipis, atau lebih sering
ditemukan berupa erosi yang terasa nyeri dikelilingi oleh sisa atap bula. Distribusi
lesi umumnya pada daerah popok, wajah, dan ekstremitas. Dapat muncul gejala
konstitusi berupa demam dan limfadenopati regional (Rachmawati, 2014).
Diagnosis umumnya dapat ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan langsung
menggunakan pewarnaan Gram dari eksudat lesi menunjukkan kelompok bakteri
berbentuk kokus Gram positif. Secara histopatologi, lesi impetigo bulosa
menunjukkan pembentukan vesikel di daerah sub-korneal atau lapisan granulosum,
terkadang ditemukan sel akantolitik di dalam vesikel. Ditemukan juga spongiosis,
edema pada dermis papilar, dan infiltrasi sel radang campuran antara limfosit dan
netrofil di sekitar pembuluh darah dermis (Rachmawati, 2014).

b. Ulkus tropikum
Ulkus tropikum dapat menyerupai lesi ulsero-papilomatosa pada frambusia tahap
awal. Lesi umumnya cepat berkembang dan nyeri, biasanya berlokasi di tungkai
bawah. Penyakit ini sering mengenai anak-anak dengan gizi kurang. Penyebab infeksi
tersering adalah Bacillus fusiformis dan Borrelia vincentii, namun dapat pula
ditemukan piokokus, B. pyocyaneus, dan B. proteus. Ulkus yang terbentuk umumnya
lonjong atau bulat, tertutup jaringan nekrotik dan secret purulent. Tepi ulkus sedikit
meninggi, dinding tidak bergaung, tetapi sedikit melandai sehingga berbentuk seperti
cawan (Rachmawati, 2014).

17
Gambar 2.2 Ulkus tropikum (Silva dan Calheiros, 2019)

c. Ektima
Ektima merupakan infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri S. aureus atau
Streptococcus sp., ditandai dengan erosi yang tertutup krusta tebal atau dengan dasar
ulkus. Pada umumnya berawal dari lesi impetigo yang tidak diobati. Predileksi lesi
terutama pada ekstremitas bawah. Faktor risiko meliputi higiene perorangan yang
buruk. Lesi yang mengalami ulserasi ditandai oleh ulkus dengan gambaran “punched
out”, yaitu tepi ulkus yang meninggi dengan krusta kuning- keabuan yang tampak
kotor dan materi purulen di antaranya (Rachmawati, 2014).

Gambar 2.3 Ektima (Gomez, 2016)

2.7.2 Diagnosis Banding Frambusia Lesi Sekunder


a. Plantar warts
Merupakan infeksi human papilloma virus (HPV) pada kulit yang sering
ditemukan pada anak dan dewasa muda. Predileksi pada daerah tekanan seperti tumit
dan daerah metatarsal. Penularan melalui kontak langsung dengan lesi dan
autoinokulasi. Masa inkubasi antara 1 hingga 6 bulan. Bentuk lain veruka terdiri atas
veruka vulgaris, veruka plana, dan kondiloma akuminata. Lesi veruka plantar dapat

18
menyerupai papiloma plantar pada frambusia. Jenis kutil, teraba lembut, berbentuk
lesi datar pada telapak kaki yang disebabkan oleh papovavirus (Rachmawati, 2014).

Gambar 2.4 Plantar Warts (Sterling, 2019)

b. Kusta (Leprosy)
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae (M. leprae), yang mengenai kulit dan saraf tepi. Meski belum
terdapat kesepakatan universal mengenai klasifikasi kusta, namun penyakit ini
umumnya diklasifikasikan ke dalam beberapa subtipe, berdasarkan imunitas pasien.
Lesi kusta tipe lepromatosa umumnya lebih mudah diidentifikasi, sedangkan lesi
tuberkuloid memerlukan pemeriksaan saraf untuk menilai gangguan sensibilitas
maupun otonom. Lesi makula pada kusta dapat menyerupai lesi makula atau
makulopapula pada frambusia tahap awal. Dapat dibedakan dengan Frambusia,
karena pada lepra terdapat mati rasa (Rachmawati, 2014).

Gambar 2.5 Kusta (Salgado et al., 2019)

19
c. Psoriasis
Penyakit kulit turunan (herediter) kronis. Lesi banyak terdapat pada lutut, siku,
lengan, badan, dan kepala. Lesinya berwarna keputihan sampai keperak-perakan pada
bagian tepi (Menkes RI, 2017).

Gambar 2.6 Psoriasis (Oakley, 2014)


d. Sifilis
Sifilis adalah suatu penyakit akibat hubungan seksual yang disebabkan oleh
Treponema pallidum, dapat menjangkit seluruh organ tubuh serta dapat menembus
plasenta, dan perjalanan klinisnya melewati beberapa stadium. Pada stadium primer
didapatkan ulkus/luka/tukak, biasanya soliter, tidak nyeri, batasnya tegas, ada
indurasi dengan pembesaran kelenjar getah bening regional (limfadenopati). Pada
stadium sekunder bercak merah polimorfik biasanya di telapak tangan dan telapak
kaki, lesi kulit papuloskuamosa dan mukosa, demam, malaise, limfadenopati
generalisata, kondiloma lata, patchy alopecia, meningitis, uveitis, retinitis (Daili et
al., 2013).

Gambar 2.7 Sifilis (Tudenham dan Zenilman, 2019)

20
e. Moluscum contagiosum
Penyakit kulit yang ditandai dengan papul/nodul dengan delle (lekukan) di
tengahnya, berisi massa seperti nasi. Pada anak-anak biasanya terjadi di muka, badan,
tangan, dan kaki, sedang pada orang dewasa terdapat di sekitar kemaluan (pubis dan
genitalia eksternal) (Menkes RI, 2017).

Gambar 2.8 Moluskum kontagiosum (Oakley dan Vanousova, 2015)

f. Tuberkulosis kutis
Tuberkulosis kutis merupakan infeksi oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis
pada kulit yang bersifat menahun. Infeksi didapat baik secara eksogen maupun
penyebaran secara hematogen, limfogen, dan perkontinuitatum. Sebagian besar kasus
tuberkulosis kutis terkait dengan infeksi pada organ sistemik. Tuberkulosis daktilitis
yang ditandai dengan pembengkakan pada jari tanpa disertai perubahan radiografik
dapat menyerupai polidaktilitis pada frambusia tahap awal (Rachmawati, 2014).

Gambar 2.9 Tuberkulosis verukosa kutis (Sethi, 2019)

21
2.8 Tatalaksana
Terapi antimikroba empiris harus komprehensif dan harus mencakup
semua kemungkinan patogen dalam konteks pengaturan klinis. Rekomendasi
perawatan epidemiologis untuk frambusia adalah sebagai berikut:
 Jika lebih dari 50% anak seropositif (hiperendemik), obati seluruh
populasi
 Jika 10-50% anak seropositif (mesoendemik), obati kasus aktif,
kontak, dan semua anak berusia 15 tahun atau lebih muda
 Jika kurang dari 10 anak seropositif (hipoendemik), obati kasus
aktif, anggota rumah tangga, dan kontak lain yang jelas (Medscape,
2017).

2.8.1 Azitromisin
Azitromisin adalah antibiotik semisintetik yang secara struktural mirip
dengan eritromisin. Ini menghambat sintesis protein dalam sel bakteri dengan
mengikat subunit 50S dari ribosom bakteri. Dalam sebuah penelitian pada anak-
anak di Papua Nugini, azitromisin oral ditemukan sebagai alternatif yang masuk
akal untuk mengobati frambusia; 96% pasien dalam kelompok azitromisin
disembuhkan, dibandingkan dengan 93% pada kelompok benzathine
benzylpenicillin (Medscape, 2017).
Dosis azitromisin oral tunggal telah direkomendasikan untuk digunakan
dalam pengobatan frambusia dini (primer dan sekunder) berdasarkan hasil uji
klinis yang dilakukan di Papua Nugini dan Ghana. Dalam penelitian ini, dosis
tunggal azitromisin (30 mg / kg berat badan; hingga dosis maksimum 2 g) telah
terbukti efektif dan dapat ditoleransi dengan baik dengan efek samping yang
minimal. Tingkat kesembuhan (> 98%) ditemukan setara dengan injeksi
intramuskular tunggal dari penisilin jangka panjang, yang sebelumnya dianggap
sebagai pengobatan pilihan untuk penyakit ini. Pada tahun 2017, Daftar Obat
Esensial WHO telah memasukkan azitromisin sebagai indikasi untuk pengobatan
frambusia. Azitromisin oral telah terbukti efektif dan direkomendasikan oleh

22
WHO untuk pemberantasan frambusia karena tidak adanya risiko anafilaksis
seperti yang terlihat pada penisilin (WHO, 2018).
Untuk pemberantasan frambusia, WHO merekomendasikan azitromisin
(30 mg / kg berat badan; maksimal 2 g) sebagai dosis tunggal oral yang diberikan
kepada seluruh populasi komunitas endemik untuk mengganggu transmisi
penyakit. Sementara azitromisin tidak direkomendasikan untuk anak-anak berusia
kurang dari 6 bulan, dapat diberikan selama kehamilan dan menyusui.
Penggunaan tablet 500 mg lebih disukai daripada tablet 250 mg karena ini
mengurangi jumlah tablet yang harus ditelan oleh individu, membuat perawatan
lebih nyaman dan lebih tidak memberatkan. Untuk anak berusia di bawah 6 tahun,
tablet harus dihancurkan dan dicampur dengan air (WHO, 2018).
Azitromisin dapat menyebabkan mual, muntah, sakit perut, dan diare.
Azitromisin telah ditemukan sebagai obat yang aman untuk digunakan dalam
perawatan massal dengan efek samping minimal dan dapat ditoleransi dengan
baik oleh anak-anak dan orang dewasa (WHO, 2018).

Gambar 2.8 Rekomendasi dosis azitromsin berdasarkan kelompok umur


(WHO,2018)

23
2.8.2 Benzathine benzylpenisilin intramuskular
Penisilin long-acting intamuskular tetap efektif dalam pengobatan
frambusia (dosis untuk orang dewasa, 1,2 juta unit; anak-anak berusia kurang dari
10 tahun, 600.000 unit). Di beberapa negara, dosisnya berlipat ganda (WHO,
2018). Setelah suntikan penisilin tunggal, lesi awal menjadi tidak menular setelah
24 jam dan sembuh dalam 1-2 minggu (Medscape, 2017). Mengingat manfaat
azitromisin oral, benzathine benzylpenicillin intramuskular harus
dipertimbangkan sebagai terapi alternatif hanya ketika kasus atau kontaknya
mengembangkan efek samping yang parah terhadap azitromisin atau bagi mereka
yang tidak dapat mentolerir atau menggunakan azitromisin. Benzathine
benzylpenisilin intrinsik diketahui jarang menyebabkan reaksi hipersensitif yang
parah, yang bisa berakibat fatal. Nyeri di tempat suntikan dan reaksi vasovagal
adalah efek samping yang paling umum ditemui (WHO, 2018). Tetrasiklin,
eritromisin, atau doksisiklin harus dipertimbangkan untuk pasien yang alergi
terhadap penisilin (Medscape, 2017).

2.8.3 Terapi Alternatif


Benzathine benzylpenisilin harus dihindari pada pasien yang alergi terhadap
penisilin; tetrasiklin, azitromisin, atau eritromisin adalah terapi alternatif
(Medscape, 2017).
a. Penicillin G benzathine (Bicillin LA)
Penicillin G benzathine mengganggu sintesis mucopeptide dinding sel
selama multiplikasi aktif, yang menghasilkan aktivitas bakterisidal. Ini diberikan
sebagai suntikan tunggal, yang membunuh treponema dalam beberapa menit, dan
lesi menjadi tidak menular setelah 18-24 jam (Medscape, 2017).
b. Tetrasiklin
Tetrasiklin menangani organisme gram positif dan gram negatif, serta
infeksi mikoplasma, klamidia, dan riketsia. Ini menghambat sintesis protein
bakteri dengan mengikat dengan 30S dan, mungkin, 50S subunit ribosom.
Etrasiklin dapat digunakan pada orang dewasa dan anak-anak yang berusia lebih
dari 8 tahun dan alergi terhadap penisilin (Medscape, 2017).

24
c. Erythromycin (E.E.S., Erythrocin, Ery-T ab)
Erythromycin menghambat pertumbuhan bakteri, mungkin dengan
menghalangi disosiasi peptidyl tRNA dari ribosom, menyebabkan RN yang
bergantung pada sintesis protein. Ini digunakan untuk pengobatan infeksi
stafilokokus dan streptokokus. Pada anak-anak, dosis yang tepat ditentukan oleh
usia, berat, dan tingkat keparahan infeksi. Ketika dosis dua kali sehari diinginkan,
setengah dari total dosis harian dapat diminum setiap 12 jam. Untuk infeksi yang
lebih parah, dosisnya bisa dua kali lipat. Erythromycin dapat digunakan pada
orang dewasa dan anak-anak yang alergi terhadap penisilin (Medscape, 2017).
d. Doksisiklin (Adoxa, Alodox, Doryx, Vibramycin)
Doksisiklin dapat digunakan pada orang dewasa dengan alergi penisilin.
Ini menghambat sintesis protein dan, dengan demikian, pertumbuhan bakteri
terhambat dengan cara mengikat ke 30S dan subunit ribosom 50S dari bakteri
yang rentan (Medscape, 2017).

2.9 Komplikasi
Sekitar 10% orang yang menderita frambusia mengembangkan kelainan bentuk
kaki dan hidung setelah 5 tahun jika tidak menerima perawatan. Penyakit dan
komplikasinya menyebabkan ketidakhadiran di sekolah dan mencegah orang dewasa dari
kegiatan pertanian (Rastogi, 2015).

2.10 Prognosis
Jika frambusia tidak diobati, frambusia bisa menjadi kronis, penyakit kambuh
setelah 5-15 tahun, dengan manifestasi klinik pada kulit, tulang, dan sendi. Pada
kebanyakan pasien, frambusia masih terbatas pada kulit, tetapi tulang dan keterlibatan
sendi dapat terjadi. Meskipun lesi pada frambusia menghilang secara spontan, infeksi
bakteri sekunder dan jaringan parut dapat terjadi yang dapat menimbulkan komplikasi
(Heryanto, 2016).
Dalam 10% kasus frambusia, pasien memasuki tahap akhir (tahap tersier) ditandai
dengan lesi kulit yang destruktif dan sangat deformasi tulang dan lesi sendi. Kerusakan
jaringan terjadi di frambusia stage akhir ireversibel. Neurologis dan oftalmologi juga

25
dapat terjadi. Kambuh dapat terjadi interval hingga 5 tahun setelah infeksi (Heryanto,
2016).

26
BAB 3. KESIMPULAN

Pada awal terjadinya infeksi frambusia, bakteri Treponema pallidum


subspecies perteneu akan berkembang biak di dalam jaringan (epidermis)
penjamu, setelah itu akan muncul lesi inisial berupa papiloma yang berbentuk
seperti buah arbei/raspberry, yang memiliki permukaan yang basah, lembab, tidak
bernanah dan tidak sakit, kadang disertai dengan peningkatan suhu tubuh, sakit
kepala, nyeri tulang dan persendian. Apabila tidak segera diobati bakteri akan
menyerang dan merusak kulit, otot, serta persendian. Proses penyebaran
frambusia ada 2, yaitu penularan secara langsung (direct contact), dan penularan
secara tidak langsung (indirect contact). Gejala klinis frambusia terdiri atas 3
stadium yaitu : Stadium I (primer), Stadium II (sekunder), dan Stadium III
(tersier). Pengobatan frambusia tentu saja menggunakan antibiotic yakni
azitromisin sebagai Lini pertamanya atau Benzatin Penisillin.

Frambusia merupakan penyakit kulit yang dapat menular, banyak hal yang
dapat membuat penyakit frambusia dapat terjadi, salah satunya yaitu kondisi
tempat tinggal yang kotor dan tidak sehat. Oleh karena itu, di harapkan bagi
semua masyarakat untuk selalu memperhatikan kondisi lingkungannya, dan
menjaga kesehatan baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan tempat tinggal.

27
DAFTAR PUSTAKA

Adhi Djuanda, dkk. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Beehner M.2010. Comparison of survival of FU grafts trimmed chubby,


medium, and skeletonized. Hair Transplant Forum Intl. (1):6. New
York: USA.

Chu, D.H. 2008. Chapter 7. Development and Structure of Skin. In : Wolff, K.,
Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B., Paller, A.S., Leffel, D.J. (Eds.) :
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th edition. New York:
McGrawHill. p. 58.

Cooley J. 2014. Bio-enhanced hair restoration. Hair Transplant Forum Intl.


2014;24(4).

Daili, S. F., W. Indriatmi, S. N. Wineko. 2013. Pedoman Tatalaksana Sifilis untuk


Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar, Jakarta: Kemenkes RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Profil Kesehatan Indonesia


2004. Jakarta: Depkes RI.

Djuanda A., Hamzah M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Gomez, J. 2016. Ecthyma. DermNet NZ. https://www.dermnetnz.org. [Diakses 7


Oktober 2019].

Greenwood, D., Slack, R., Peutherer, J. and Barer, M. 2007. Medical


Microbiology. Elsevier, China.

Heryanto. 2016. Penyakit Kulit Frambusia. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan.


12(3): 49-60.

Jawetz et al., 2008. Medical Microbiology. 24th ed. North America: Lange
Medical book.

Medscape. 2017. Yaws. (online).


(https://emedicine.medscape.com/article/1053612-treatment), diakses
tanggal 6 Oktober 2019.

Menteri Kesehatan RI. 2017. PERMENKES No. 8 Tahun 2017 tentang Eradikasi
Frambusia.

28
Miller, L. S. 2019. Superficial Cutaneous Infections and Pyodermas dalam
Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. New York: Mc Graw Hill.

Oakley, A. 2014. Psoriasis. DermNet NZ. https://www.dermnetnz.org. [Diakses 7


Oktober 2019].

Oakley, A. dan D. Vanousova. 2015. Molluscum Contagiosum. DermNet NZ.


https://www.dermnetnz.org. [Diakses 7 Oktober 2019].

Pusponegoro, E. H. D. 2016. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi Ketujuh.


Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Rachmawati, R. 2014. Kesesuaian Gambaran Klinis Frambusia Menurut Pedoman


World Health Organization (WHO) dengan Kepostivan Treponema
pallidum Hemagglutination Assay (TPHA). Tesis. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Rastogi, A. 2015. Yaws. National Health Portal.


https://www.nhp.gov.in/disease/skin/yaws. [Diakses tanggal 6 Oktober
2019].

Republik Indonesia. 2017, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 8 Tahun 2017 Tentang Eradikasi Frambusia. Jakarta

Salgado C. G., A. C. Brito, U. I. Salgado, dan J. S. Spencer. 2019. Leprosy dalam


Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. New York: Mc Graw Hill.

Sethi, A. 2019. Tuberculosis and Infections with Atypical Mycobacteria dalam


Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. New York: Mc Graw Hill.

Silva, S. F. dan D. B. Calheiros. 2019. Tropical Ulcer. Dermatology Atlas.


http://www.atlasdermatologico.com.br/index.jsf. [Diakses tanggal 6 Oktober
2019].

Sterling, J. C. 2019. Human Papilloma Virus Infection dalam Fitzpatrick’s


Dermatology. 9th ed. New York: Mc Graw Hill.

Tuddenham, S. A., dan J. M. Zenilman. 2019. Syphilis dalam Fitzpatrick’s


Dermatology. 9th ed. New York: Mc Graw Hill.

Unger, W. P., dan Shapiro, R. 2011. The hairline eds. Hair Transplantation.
5th ed. 372-372. New York: USA

World Health Organization. 2018. Eradication of Yaws: A Guide for Programme


Managers, World Health Organization, Geneva.

29

Anda mungkin juga menyukai