Anda di halaman 1dari 5

Panduan Praktik Klinis

SMF : Pediatri

RSD dr. Soebandi Jember

2018-2019

DEMAM TIFOID
1. Pengertian Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman
gram negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut
bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara
berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.
1. Suspek Demam tifoid (suspect typhoid fever)
Termasuk dalam suspek tifoid apabila seorang pasien secara klinis
memiliki tanda-tanda demam tifoid tetapi belum dibantu dengan
pemeriksaan penunjang.
2. Demam tifoid klinis (probable typhoid fever)
Termasuk demam tifoid klinis atau sangat mungkin kasus tifoid
adalah pasien dengan gejala demam tifoid yang didukung dengan
pemeriksaan serologi widal yang dinyatakan positif. Pemeriksaan
widal satu kali dengan titer O 1/320 atau tergantung kepada
tingkat sensitivitaswidal pada masing-masing daerah.
3. Demam tifoid konfirmasi (confirmed typhoid fever)
Termasuk disini yaitu kasus yang sudah dipastikan tifoid dengan
menunjukkan hasil biakan positif untuk salmonella typhii atau
pemeriksaan serologi widal serial dengan menunjukkan kenaikan
titer 4 kali lipat pada interval pemeriksaan 5-7 hari.
2. Anamnemsis a. Demam, onset (hitung lama demam dari awal sakit sampai dibawa
ke pusat pengobatan), tipe demam (demam terutama pada malam
hari dan turun menjelang pagi hari), menggigil atau tidak, keringat
dingin, sejak kapan mulai demam tinggi terus tanpa suhu turun,
disertai kejang atau tidak
b. Gejala gastrointestinal, Diare (sejak kapan, frekuensi, ampas +/-,
konsistensi, volume tiap diare, warna, darah, lender), konstipasi
(sejak kapan mulai tidak BAB), mual atau muntah, anoreksia,
malaise, perut kembung
c. Gejala SSP, apakah anak sempat mengalami tidak sadar? Atau
hanya sebatas ngelindur atau mengigau saja waktu tidur.
d. Riwayat Penyakit dahulu ditanyakan untuk mencari tahu apakah
pernah sakit seperti ini, karena demam tifoid adalah infeksi yang
sangat mungkin menjadikan penderitanya sebagai carier atau
pembawa meskipun tidak menunjukkan gejala
e. Riwayat Terapi, bila sudah mendapatkan terapi baik hanya
antipiretik dan atau antibiotika klinis penyakit kemungkinan sangat
mungkin sudah mengalami perubahan
f. Riwayat kehidupan sosial adalah yang tidak boleh dilupakan
mengingat salah satu faktor resiko terjadinya penyakit adalah
lingkungan yang padat dan sanitasi perorangan yang kurang baik.
g. Riwayat makanan penderita perlu dicari kebiasaan makan atau
minum sembarangan atau di tempat yang kurang sehat dan mudah
dihinggapi lalat dan vektor penyakit yang lain. Riwayat pemberian
ASI juga perlu diketahui karena pentingnya ASI dalam
pembentukan IgA yang berperan dalam imunologi lokal dalam
saluran cerna. Anak yang minum susu formula sejak kecil tentunya
memiliki saluran cerna yang kurang diproteksi dengan baik oleh
Imunoglobulin.
h. Riwayat Imunisasi. Selain imunisasi wajib pemerintah juga telah
ditemukan vaksin untuk penyakit ini. Bila setelah diimunisasi
pasien tetap terinfeksi Tifoid sangat mungkin titer antibodi yang
dibentuk oleh vaksinasi sebelumnya tidak cukup kuat untuk
mengantisipasi infeksi berikutnya. Atau terdapat kegagalan dalam
vaksinasi yang dipengaruhi banyak faktor.

3. Pemeriksaan fisik a. Keadaan Umum : tampak lemah atau lebih rewel dari
biasanya, atau mengalami penurunan kesadaran mulai dari
delirium, stupor hingga koma.
b. Kepala dan leher : dehidrasi, Tifoid Tongue dengan pinggir
yang hiperemi sampai tremor.
c. Pemeriksaan Thorax : pada umumnya jarang didapatkan
kelainan, kecuali pada demam tifoid dengan komplikasi
pleuritis
d. Pemeriksaan Abdomen : meteorismus , bising usus
meningkat. hepato-splenomegali dengan nyeri tekan minimal.
e. Extremitas, thorax, abdomen, atau punggung biasanya
didapatkan rose spot atau Roseola
4. Pemeriksaan a. Laboratoris: Leukopenia, anesonofilia
penunjang b. Kultur empedu (+) : darah pada minggu I ( pada minggu II
mungkin sudah negatif) ; tinja minggu II, air kemih minggu III
c. Reaksi Widal (+) : titer > 1/200. Biasanya baru positif pada
minggu II, pada stadium rekonvalescen titer makin meninggi
d. Identifikasi antigen : Elisa, PCR. IgM S typhi dengan Tubex TF
cukup akurat
dengan
e. Identifikasi antibodi : Elisa, typhi dot dan typhi dot M
5. Kriteria diagnosis Anamnemsis yang cermat
Pemeriksaan fisik dan penunjang yang mendukung diagnosis
6. Diagnosis Kerja Demam tifoid

7. Terapi Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari


pengobalan suportif, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung
penyulit yang terjadi). Kadang-kadang perlu konsultasi ke Divisi
Hematologi, Jantung, Neurologi, bahkan ke Bagian lain/Bedah.

a. Pengobatan Medikamentosa
Obat-obat pilihan pertama adalah Chloramphenicol,
Ampicilline/Amoxycilline atau Cotrimoxazole. Obat pilihan kedua
adalah cephalosporine generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah
Meropenem, Azithromycine dan Fluoroquinolone.
• Chloramphenicole diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari,
terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari.
Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian Chloramphenicole,
diberi
• Ampicilline dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4
kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21
hari, atau
• Amoxyciline dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4
kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari, atau
• Cotrimoxazole dengan dosis (tmp) 8 mg/kgBB/hari terbagi dalam
2 kali pemberian, oral, selama 14 hari.

Pada kasus berat, dapat diberi Ceftriaxone dengan dosis 50 mg/kg


BB/kali dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali
sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus yang diduga mengalami
MDR (Multi Drug Resistance), maka pilihan antibiotik adalah
Meropenem, Azithromycine dan Fluoroquinolon.

b. Penatalaksanaan Penyulit
Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat
dan dengan manifestasi neurologik menonjol, diberi Dexamethasone
dosis tinggi dengan dosis awal 3 mg/kg BB, intravena perlahan
(selama 30 menit), kemudian disusul dengan dosis 1 mg/kg BB
dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali pemberian. Tatalaksana
bedah dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus.

c. Penatalaksanaan Epidemiologis
Meliputi isolasi penderita berupa isolasi gastrointestinal,
sedangkan pemutusan transmisi dengan pengelolaan disposal dan
terapi pembawa kuman ("carrier"), sedangkan pencegahan dengan
melakukan immunisasi.

d. Pencegahan
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara:
umum dan khusus/ imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah
peningkatan hygiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi
saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih,
pembuangan dan pengelolaan sampah).
Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (
minuman / makanan ) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan
rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual
(keliling) minuman/makanan.
Pada saat ini telah ada di pasaran berbagai vaksin untuk
pencegahan demam tifoid. Vaksin chotypa dari kuman dimatikan
(whole cell) tidak digunakan lagi karena efek samping yang terlalu
berat dan daya lindungnya pendek.
Dua vaksin yang aman dan efektif telah mendapat lisensi dan sudah
ada di pasaran. Satu vaksin berdasar subunit antigen tertentu dan yang
lain berdasar bakteri (whole cell) hidup dilemahkan. Vaksin pertama,
mengandung Vi polisakarida, diberikan cukup sekali, subcutan atau
intramuskular. Diberikan mulai usia > 2 tahun. Re-imunisasi tiap 3
tahun. Kadar protektif bila mempunyai antibodi anti-Vi 1 µg/ml.
Vaksin Ty21a hidup dilemahkan diberikan secara oral, bentuk
kapsul enterocoated atau sirup. Diberikan 3 dosis, selang sehari pada
perut kosong. Untuk anak usia ≥ 5 tahun. Reimunisasi tiap tahun.
Tidak boleh diberi antibiotik selama kurun waktu 1 minggu sebelum
sampai 1 minggu sesudah imunisasi.

e. Penderita dinyatakan sembuh


Gejala, tanda sudah hilang dan tidak ada komplikasi.

8. Prognosis Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,


keadaan kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di
Negara maju, dengan terapi antibiotic yang adekuat, angka mortalitas
< 1%. Di Negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan.
Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia dapat
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
9. Penelaah kritis 1. dr. Ahmad Nuri, Sp.A
2. dr. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A
3. dr. M. Ali Shodikin, Sp.A
10. Tingkat evidens III/IV

11. Rekomendasi B

12. Kepustakaan 1. Christie AB. Typhoid and Paratyphoid Fevers in: Infectious Disease
Vol.1, 4thed.
Churchill Livingstone : Medical Division of Longman Group UK
Limited, 1987: 100.
2. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak.
Simposium Infeksi – Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak.
IDAI Cabang Jawa Timur. Malang : IDAI Jawa Timur, 2005:37-50.
3. DEPKES. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Mei 2006.
www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes Hoffman S. : Typhoid
fever in Warren KS dan Mahmpud AAF (eds) : Tropical and
Geographical ed ke-2, New York, Me Graw-Hill Information Services
Co. (1990).
4. Pang T, Koh KL, Puthucheary SD (eds) : Typhoid fever: Strategies
for the 90's, Singapore, World Scientific, (1992).
5. Krugman S, Katz SL, Gershon AA, Wilfred CM (eds) Infectious
disease in children, ed ke 9, St. Louis, Mosby Yerabook Inc. (1992).
5. Cleary Th G. Salmonella species in longess, Pickerling LK, Praber
CG Principles and Practice of Pediatric Infectious Disease
Churchill Livingstone, New York lst ed, 2003 : hal. 830.

Anda mungkin juga menyukai