SURVEILANS
Oleh:
Pertama-tama kami ucapkan terima kasih kepada Allah SWT, karena atas rahmat-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “SURVEILANS” ini tepat pada
waktunya. Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat
dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah surveilans ini (Surveillance) sebenarnya berasal dari bahasa perancis yang
berarti mengamati tentang sesuatu. meskipun konsep surveilans telah berkembang
cukup lama, tetapi seringkali timbul kerancuan dengan kata “surveillance” dalam
1
bahasa inggris yang berarti mengawasi perorangan yang sedang
dicurigai. Sebelum tahun 1950, surveilans memang diartikan sebagai upaya
pengawasan secara ketat kepada penderita penyakit menular, sehingga
penyakitnya dapat ditemukan sedini mungkin dan diisolasi secepatnya
serta dapat diambil langkah-langkah pengendalian seawal mungkin (Noor, 2008).
Istilah tersebut awalnya dipakai dalam bidang penyelidikan atau intelligent untuk
memata - matai orang yang dicurugai, yang dapat membahayakan. Surveilans
kesehatan masyarakat awalnya hanya dikenal dalam bidang epidemiologi, namun
dengan berkembangnya berbagai macam teori dan aplikasi diluar bidang
epidemiologi, maka surveilans menjadi cabang ilmu tersendiri yang diterapkan
luas dalam kesehatan masyarakat. Surveilans sendiri mencakup masalah
borbiditas, mortalitas, masalah gizi, demografi, Penyakit Menular, Penyakit Tidak
menular, Demografi, Pelayanan Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan
Kerja, dan beberapa faktor resiko pada individu, keluarga, masyarakat dan
lingkungan sekitarnya (Wuryanto A, 2010).
1.2 Tujuan
2
3. Memahami dan mempelajari peran puskesmas dalam penyelenggaraan
surveilans
4. Memahami aplikasi surveilans di Puskesmas Pasar Ambon, Bandar
Lampung.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Istilah surveilans semula berasal dari bahasa Perancis ‘surveillance’ yang secara
harfiah dapat diartikan sebagai ‘mengamati tentang sesuatu’. Menurut WHO
dalam Kepmenkes RI No.1116 tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan menyebutkan bahwa surveilans
merupakan proses pengumpulan, pengolahan, analisis, interpretasi data secara
sistematik dan terus menerus serta melakukan penyebaran informasi kepada unit
yang membutuhkan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan atau
kebijakan (KepMenkes, 2003).
4
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-
masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan
secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan
penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan
(Chandra, 2007).
5
2.2 Tujuan Surveilans
1. Tujuan umum
Memperoleh informasi yang digunakan sebagai prasyarat program kesehatan
dan bertujuan untuk menyediakan informasi tentang situasi, kecenderungan
penyakit, faktor risikonya serta masalah kesehatan masyarakat dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya sebagai bahan pengambilan keputusan
(Permenkes, 2014).
2. Tujuan khusus
a. Mengumpulkan data untuk terselenggaranya kewaspadaan dini terhadap
kemungkinan terjadinya KLB/wabah dan dampaknya (baik di puskesmas,
rumah sakit, dan laboraturium sebagai sumber data Surveilans Terpadu
Penyakit)
b. Memungkinkan terselenggaranya investigasi dan penanggulangan
KLB/wabah
c. Mendistribusikan data Surveilans Terpadu Penyakit kepada unit surveilans
Dinas kesehatan Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Ditjen P2MPL
d. Melaksanakan pengolahan dan penyajian data penyakit dalam bentuk
tabel, grafik, peta, dan analisis epidemiologi lebih lanjut pada surveilans
Dinas kesehatan Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Ditjen P2MPL.
e. Mendistribusikan hasil pengolahan dan penyajian data penyakit beserta
hasil analisis epidemiologi lebih lanjut dan rekomendasi program terkait di
puskesmas, rumah sakit, laboratorium, kabupaten/Kota, propinsi, nasional,
pusat penelitian, pusat kajian, perguruan tinggi, dan sektor terkait lainnya
(Weraman, 2010; Permenkes, 2014).
6
intervensi kesehatan dengan segera. Karena itu dibutuhkan suatu sistem surveilans
yang dapat memberikan informasi peringatan dini dari klinik dan laboratorium
(Mandl KD, 2004).
1. Individual Surveillance
Individual surveillance (surveilans individu) mendeteksi dan memonitor
individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya
pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning dan sifilis. Surveilans individu
mendeteksi dan memonitor individu individu yang mengalami kontak dengan
penyakit serius, memungkinkan dilakukan isolasi institusional segera terhadap
kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Karantina
merupakan isolasi yang membatasi gerak dan aktivitas orang orang atau
binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular
selama periode menular. Karantina total dan karantina parsial merupakan dua
jenis karantina yang bertujuan mencegah transmisi penyakit selama masa
inkubasi. Dengan karantina total membatasi kebebasan gerak kontak semua
orang yang terpapar, sedangkan karantina persial membatasi kontak secara
selektif berdasarkan tingkat kerawanan dan bahaya transmisi penyakit.
Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera
terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai
contoh, karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan
aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu
7
kasus penyakit menular selama periode menular. Tujuan karantina adalah
mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi
(Last, 2001).
Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS antara 1980
dan SARS. Dikenal dua jenis karantina yaitu Karantina total dan Karantina
parsial. Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar
penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang
yang tak terpapar. Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara
selektif, berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya
transmisi penyakit. Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan
penyakit campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja. Satuan
tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di pos-pos lainnya
tetap bekerja. Karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan
masalah legal, politis, etika, moral dan filosofi tentang legitimasi,
akseptabilitas dan efektivitas langkah-langkah pembatasan tersebut untuk
mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).
2. Disease Surveillance
Disease surveillance (surveilans penyakit) adalah melakukan pengawasan
terus-menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit,
melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-
laporan penyakit dan kematian serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian
surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu. Melakukan pengawasan
terus menerus terhadap distribusi dan kecendrungan insidensi penyakit,melalui
pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan laporan
penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Fokus surveilans penyakit
adalah penyakit bukan pada suatu individu (orang), negara negara
menggunakan surveilans penyakit yang didukung melalui program program
vertikal (pusat-daerah). Pada banyak negara, pendekatan surveilans penyakit
biasanya didukung melalui program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program
surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa dari sistem
surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak
8
terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan
biaya. Banyak program surveilans penyakit vertikal yang berlangsung paralel
antara satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan fungsi penunjang
masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumberdaya masing-masing dan
memberikan informasi duplikatif sehingga mengakibatkan inefisiensi.
3. Syndromic Surveillance
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan
terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-
masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-
indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum
konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator
individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda atau temuan
laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh
konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.Surveilans sindromik dapat
dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional. Sebagai contoh,
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan kegiatan
surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip
influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik dokter di
Amerika Serikat. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi
melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan
batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah
kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin dan
jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut berguna untuk memonitor
aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu burung dan antraks,
sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat digunakan sebagai
instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al.,
2004; Sloan et al., 2006).
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari
fasilitas kesehatan, laboratorium atau anggota komunitas pada lokasi tertentu
disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel
merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan
9
menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan Quade,
2010).
5. Integrated Surveillance
Integrated surveillance (surveilans terpadu) menata dan memadukan semua
kegiatan surveilans disuatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/
kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu
menggunakan struktur, proses dan personalia yang sama, melakukan fungsi
mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit.
Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan
kebutuhan data khusus penyakit-penyakit tertentu (Sloan et al., 2006).
10
penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda
(WHO, 2002).
11
a. Surveilans Penyakit Menular
1) Surveilans penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
2) Surveilans penyakit
demam berdarah
3) Surveilans malaria
4) Surveilans penyakit
zoonosis
5) Surveilans penyakit
filariasis
6) Surveilans penyakit
tuberkulosis
7) Surveilans penyakit
diare
8) Surveilans penyakit
tifoid
9) Surveilans penyakit
kecacingan dan penyakit perut lainnya
10) Surveilans penyakit
kusta
11) Surveilans penyakit
frambusia
12) Surveilans penyakit HIV/AIDS
13) Surveilans hepatitis
14) Surveilans penyakit menular seksual
15) Surveilans penyakit pneumonia, termasuk penyakit infeksi saluran
pernafasan akut berat (severe acute respiratory infection).
12
7) Surveilans infeksi yang berhubungan dengan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
4. Evaluasi
Hasil evaluasi data sistem surveilans selanjutnya dapat digunakan untuk
perencanaan, penanggulangan khusus serta program pelaksanaannya, untuk
kegiatan tindak lanjut(follow up), untuk melakukan koreksi dan perbaikan-
perbaikan program dan pelaksanaan program, serta untuk kepentingan
evaluasi maupun penilaian hasil kegiatan (Murti, B. 2010)
Surveilans mencakup dua fungsi manajemen: (1) fungsi inti; dan (2) fungsi
pendukung. Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan
langkah-langkah intervensi kesehatan masyarakat. Kegiatan surveilans
mencakup deteksi, pencatatan, pelaporan data, analisis data, konfirmasi
epidemiologis maupun laboratoris, umpan-balik (feedback). Langkah intervensi
kesehatan masyarakat mencakup respons segera (epidemic type response) dan
respons terencana (management type response). Fungsi pendukung (support
activities) mencakup pelatihan, supervisi, penyediaan sumber daya manusia dan
laboratorium, manajemen sumber daya, dan komunikasi (WHO, 2001; McNabb
et al., 2002).
Terdapat dua jenis pendekatan surveilans antara lain surveilans aktif dan
surveilans pasif. Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk
kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan
tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan
mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus
(case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks.
Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan
oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu.
Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan
15
surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans
pasif (Mandl KD et al, 2004).
Pada surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data
penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas
pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk
dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah
penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat
dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans
pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang
dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan
laporan biasanya rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggungjawab
utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing.
Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat sederhana
dan ringkas (Mandl KD et al, 2004).
Masalah kesehatan disebabkan oleh berbagai sebab, oleh karena itu secara
operasional masalah-masalah kesehatan tidak dapat diselesaikan oleh sektor
kesehatan sendiri, diperlukan tatalaksana terintegrasi dan komprehensif dengan
16
kerjasama yang antar sektor dan antar program sehingga ruang lingkup surveilans
epidemiologi meliputi (Buton, 2008):
17
- Surveilans gangguan akibat kecelakaan dan tindak kekerasan.
18
b. Indikator Proses
Indikator proses digunakan untuk memantau dan melacak aktivitas seperti
pelatihan, supervisi, pengembangan pedoman, dan pengembangan fungsi
pengawasan inti.
c. Indikator Output
Indikator output digunakan untuk mengukur hasil dari kegiatan yang
dilakukan, mis. laporan dan interpretasi pengawasan data, umpan balik yang
disediakan, proporsi kesehatan, staf terlatih dalam pengawasan dan
tanggapan, dan apakah pengawasan dilakukan sesuai rencana.
d. Indikator Hasil
Indikator hasil digunakan untuk mengukur sejauh mana tujuan pengawasan
yang sedang dicapai dan termasuk kualitas sistem pengawasan, kelayakan
dari setiap respon wabah dan kegunaan dari sistem.
e. Indikator Dampak
Indikator dampak digunakan untuk mengukur sejauh mana tujuan
keseluruhan dari sistem pengawasan dan respons adalah tercapai, mis.
penurunan tingkat fatalitas kasus penyakit rawan epidemi, perubahan dalam
pola morbiditas penyakit menular yang ditargetkan atau perubahan perilaku,
staf kesehatan dan populasi umum.
19
5. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas
Kesehatan Propinsi sebesar 90%.
6. Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen PPM
& PL Depkes sebesar 100%.
7. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen PPM &
PL Depkes sebesar 90%.
8. Distribusi data dan informasi bulanan Kabupaten/Kota, propinsi dan nasional
sebesar 100%.
9. Umpan balik laporan bulanan Kabupaten/Kota, propinsi dan nasional sebesar
100%.
10. Penerbitan buletin Epidemiologi di Kabupaten/Kota adalah 4 kali setahun.
11. Penerbitan buletin Epidemologi di propinsi dan nasional adalah sebesar 12
kali setahun.
12. Penerbitan profil tahunan atau buku data surveilans epidemiologi
Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional adalah satu kali setahun.
20
Jenis penyelenggaraan surveilans epidemiologi adalah sebagai berikut
(Masrochah, 2006):
21
b. Pola selain kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada
ketentuan yang berlaku untuk keadaan di luar KLB dan atau wabah dan
atau bencana.
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara aktif dan pasif. Jenis data
Surveilans Kesehatan dapat berupa data kesakitan, kematian, dan faktor
risiko. Pengumpulan data dapat diperoleh dari berbagai sumber antara lain
individu, Fasilitas Pelayanan Kesehatan,Unit statistik dan demografi, dan
sebagainya. Metode pengumpulan data dapat dilakukan melalui wawancara,
pengamatan, pengukuran, dan pemeriksaan terhadap sasaran. Dalam
melaksanakan kegiatan pengumpulan data, diperlukan instrumen sebagai alat
bantu. Instrumen dibuat sesuai dengan tujuan surveilans yang akan dilakukan
dan memuat semua variabel data yang diperlukan.
2. Pengolahan data
Sebelum data diolah dilakukan pembersihan koreksi dan cek ulang,
selanjutnya data diolah dengan cara perekaman data, validasi, pengkodean,
alih bentuk (transform) dan pengelompokan berdasarkan variabel tempat,
waktu, dan orang. Hasil pengolahan dapat berbentuk tabel, grafik, dan peta
menurut variabel golongan umur, jenis kelamin, tempat dan waktu, atau
berdasarkan faktor risiko tertentu. Setiap variabel tersebut disajikan dalam
bentuk ukuran epidemiologi yang tepat (rate, rasio dan proporsi). Pengolahan
22
data yang baik akan memberikan informasi spesifik suatu penyakit dan atau
masalah kesehatan. Selanjutnya adalah penyajian hasil olahan data dalam
bentuk yang informatif, dan menarik. Hal ini akan membantu pengguna data
untuk memahami keadaan yang disajikan.
3. Analisis data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode epidemiologi deskriptif
dan/atau analitik untuk menghasilkan informasi yang sesuai dengan tujuan
surveilans yang ditetapkan. Analisis dengan metode epidemiologi deskriptif
dilakukan untuk mendapat gambaran tentang distribusi penyakit atau masalah
kesehatan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya menurut waktu, tempat
dan orang. Sedangkan analisis dengan metode epidemiologi analitik
dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variabel yang dapat
mempengaruhi peningkatan kejadian kesakitan atau masalah kesehatan.
Untuk mempermudah melakukan analisis dengan metode epidemiologi
analitik dapat menggunakan alat bantu statistik. Hasil analisis akan
memberikan arah dalam menentukan besaran masalah, kecenderungan suatu
keadaan, sebab akibat suatu kejadian, dan penarikan kesimpulan. Penarikan
kesimpulan hasil analisis harus didukung dengan teori dan kajian ilmiah yang
sudah ada.
4. Diseminasi Informasi
Diseminasi informasi dapat disampaikan dalam bentuk buletin, surat edaran,
laporan berkala, forum pertemuan, termasuk publikasi ilmiah. Diseminasi
informasi dilakukan dengan memanfaatkan sarana teknologi informasi yang
mudah diakses. Diseminasi informasi dapat juga dilakukan apabila petugas
surveilans secara aktif terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan
monitoring evaluasi program kesehatan, dengan menyampaikan hasil analisis
(Permenkes, 2014).
23
2.12 Surveilans Efektif
a. Kecepatan
Informasi yang diperoleh dengan cepat (rapid) dan tepat waktu (timely)
memungkinkan tindakan segera untuk mengatasi masalah yang
diidentifikasi. Investigasi lanjut hanya dilakukan jika diperlukan informasi
tertentu dengan lebih mendalam. Kecepatan surveilans dapat ditingkatkan
melalui sejumlah cara:
(1) Melakukan analisis sedekat mungkin dengan pelapor data primer, untuk
mengurangi “lag” (beda waktu) yang terlalu panjang antara laporan dan
tanggapan;
b. Akurasi
Surveilans yang efektif memiliki sensitivitas tinggi, yakni sekecil mungkin
terjadi hasil negatif palsu. Aspek akurasi lainnya adalah spesifisitas, yakni
sejauh mana terjadi hasil positif palsu. Pada umumnya laporan kasus dari
masyarakat awam menghasilkan “false alarm” (peringatan palsu). Karena
itu sistem surveilans perlu mengecek kebenaran laporan awam ke lapangan,
untuk mengkonfirmasi apakah memang tengah terjadi peningkatan
kasus/outbreak. Akurasi surveilans dipengaruhi oleh kemampuan petugas
dan infrastruktur laboratorium. Surveilans membutuhkan pelatihan petugas.
Contoh, para ahli madya epidemiologi perlu dilatih tentang dasar
24
laboratorium, sedang teknisi laboratorium dilatih tentang prinsip epide-
miologi, sehingga kedua pihak memahami kebutuhan surveilans. Surveilans
memerlukan peralatan laboratorium standar di setiap tingkat operasi untuk
meningkatkan kemampuan konfirmasi kasus.
25
f. Penggunaan (Uptake)
Manfaat sistem surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi surveilans
digunakan oleh pembuat kebijakan, pengambil keputusan, maupun
pemangku surveilans pada berbagai level. Rendahnya penggunaan data
surveilans merupakan masalah di banyak negara berkembang dan beberapa
negara maju. Salah satu cara mengatasi problem ini adalah membangun
network dan komunikasi yang baik antara peneliti, pembuat kebijakan, dan
pengambil keputusan.
Puskesmas Pasar Ambon didirikan pada tahun 1960 yang merupakan salah satu
puskesmas yang terletak di daerah perkotaan sebagai puskesmas rawat jalan.
Puskesmas Pasar Ambon terletak di jalan Laksamana Malahayati yang dapat
dengan mudah diakses dari beberapa wilayah di Kota Bandar Lampung yaitu Jl.
KH Hasyim Ashari, yang terletak di depan Puskesmas yang merupakan lalu lintas
2 arah yaitu dari utara ke selatan dan sebaliknya dengan intensitas pemakaian
tinggi.
Puskesmas ini memiliki luas wilayah kerja 256,1 Ha, yang meliputi Lima
Kelurahan, yaitu :
1. Kelurahan Teluk Betung
2. Kelurahan Pesawahan
3. Kelurahan Talang
4. Kelurahan Sumur Putri
5. Kelurahan Gedung Pakuon
Adapun Batas Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Ambon adalah sebagai berikut :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Gunung Mas dan Kecamatan
Tanjung Karang Pusat.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bumi Waras
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Lampung dan Teluk Betung
Timur.
26
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Teluk Betung Barat
27
Administrasi
Tenaga P Care 1 1 2
Proses pengumpulan data berasal dari tim yang bekerja dengan baik dimana
pelaporan disampaikan oleh bidan desa, pemegang program dan balai pengobatan
selama di puskesmas. Data ini secara rutin disatukan dan dilaporkan ke Dinas
Kesehatan Kota melalui email setiap bulan. Lalu, dinas kesehatan kota akan
melaporkan ke dinas kesehatan pusat. Jika ditemukan suatu kasus Kejadian Luar
Biasa (KLB) maka dinas kesehatan akan menganalisis data dan memberikan
umpan balik ke puskesmas agar menindaklanjuti kasus tersebut dengan cepat dan
tepat.
28
Insulin
8 Perapical Abses K046 977
9 Dermatitis Atopic L20 893
10 Febris Demam R509 874
29
BAB III
CRITICAL APPRAISAL
3.1 Judul
Pada penelitian ini penulisan nama sudah sesuai dengn kaidah yang baik, yaitu
terdiri dari 9 kata dalam bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan kaidah penulisan
judul penelitian yang baik, yaitu tidak lebih dari 17 kata dalam bahasa Indonesia.
Pada penelitian ini juga penulisan nama sudah baik, tidak mencantumkan gelar,
dan telah mencantumkan alamat email responden.
3.2 Abstrak
Pada penelitian ini, abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia, terdiri dari 120 kata
sehingga telah sesuai dengan dengan kaidah penulisan abstrak yaitu antara tidak
lebih dari 250 kata. Penelitian ini mencantumkan beberapa kata kunci yang
memudahkan untuk melakukan pencarian kata. Namun, abstrak penelitian ini
tidak dibuat menjadi beberapa sub, seperti latar belakang, metode, hasil,
pembahasan, dan kesimpulannya.
3.3 Pendahuluan
31
Puskesmas dan dinas kesehatan Kabupaten Sukoharjo. Dalam hal sistem
surveilans ini, pengguna sistem ini perlu melakukan studi kelayakan terhadap
sistem yang dikembangkan sehingga sistem surveilans tersebut dapat berguna dan
bermanfaat untuk pengendalian kasus tuberkulosis di Wilayah Kerja Dinas
Kesehatan Sukoharjo.
Pada jurnal ini latar belakang telah dikemukakan dengan baik di bagian
pendahuluan. Bagian pertama mengungkapkan kasus TB yang tidak terdeteksi
sehingga tujuan penelitian ini untuk melakukan penelitian terhadap sistem
surveilans digambarkan dengan baik.
3.4 Metode
32
pelanggan, dan kelayakan model), 3) persepsi responden terhadap sistem
surveilans TB/HIV spasial online. dan eksploratif, yaitu mengungkapkan isian
responden pada kuesioner terbuka. Hal ini dilihat dari sisi halaman depan laman,
menu masuk/ log-in, dan menu tampilan spasialnya.
Metode penelitian, lokasi, serta populasi pada penelitian ini telah dikemukakan.
Namun, tidak dicantumkan dengan jelas berapa lama waktu yang dibutuhkan
dalam melakukan penelitian. Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini
menggunakan analisis deskriptif, dan telah dijelaskan variabel-variabel yang akan
diteliti. Namun, tidak dijelaskan alat yang digunakan untuk melakukan
pengolahan data.
3.5 Hasil
3.6 Pembahasan
Pembahasan pada penelitian ini dengan menjabarkan hasil yang didapat dan
diperkuat dengan sumber-sumber yang telah ada. Pada penelitian ini diharapkan
sistem surveilans yang dapat menjadi salah satu laman pemerintah di mana selain
karakteristik, desainnya, fitur yang biasa pada pemerintahan, hal lain yang tidak
kalah penting adalah yang berkaitan dengan kemudahan akses, kualitas, dan
keamanan. Berdasarkan penelitian, hasil dari ke-6 variabel untuk analisa
33
kelayakan sistem, hanya poin tentang kelayakanlah yang mendapatkan nilai
tertinggi, yaitu 95%(89,77-100). Hal ini menunjukkan bahwa sistem ini bisa
meyakinkan pengguna bahwa sistem ini sesuai dengan kebutuhan, dan efektif.
Pembahasan pada jurnal ini cukup aplikatif, jelas, terstruktur dan lengkap.
3.7 Kesimpulan
1. Problem
TB paru masih menjadi suatu permasalah, termasuk dalam hal pendataan.
Diperkirakan terdapat 1 dari 3 kasus TB yang belum terdeteksi. Program
surveilans yang dilakukan selama ini belum sepenuhnya mendeteksi kejadian
TB-HIV, sehingga dibutuhkan suatu analisis kelayakan sistem yang
diharapkan dapat menentukan apakah sistem saat ini layak diteruskan atau
dihentikan dengan tujuan adalah mencari sistem surveilans yang baik dalam
membantu mendeteksi kasus.
2. Intervention
Pada penelitian ini tidak dilakukan intervensi.
3. Comparison
Pada penelitian ini membandingkan antara questioner terbuka dan tertutup.
Questioner terbuka dengan variabel yang dapat ditanyakan berupa halaman
depan, menu log-in sistem surveilans, dan usulan terhadap keseluruhan menu
dalam model tersebut, sedangkan questioner tertutup dengan variabel
kelayakan sistem yang menggunakan 6 indikator, yaitu kualitas informasi,
kualitas antarmuka sistem, kecepatan, dan kemudahan akses sehingga
34
didapatkan kesimpulan apakah program tersebut sudah sesuai atau belum
dengan yang diharapkan.
4. Outcome
Pada penelitian ini hasil akhir yang diharapkan dalam analisis kelayakan
sistem terhadap sistem surveilans TB-HIV spasial online ini dapat melihat
kemungkinan suatu sistem layak diteruskan atau tidak. Sistem surveilans ini
merupakan salah satu laman pemerintah yang memiliki karakteristik,
desainnya, fitur yang biasa pada pemerintahan, kemudahan akses, kualitas,
dan keamanan sehingga dapat memberikan informasi yang lebih baik
daripada metode pengumpulan data TB-HIV sebelumnya sehingga tidak
terjadi data yang tidak bisa diunggah, tidak terjadi data ganda, dan data yang
dimasukkan dapat diakses lebih baik.
1. Validity
Desain
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan deskriptif
yang dilaksanakan di Wilayah Dinas Kesehatan Sukoharjo. Instrumen pada
penelitian ini dengan menggunakan questioner terbuka dan tertutup. Analisis
data dilakukan dengan analisis deskriptif, yaitu dengan menggambarkan
parameter variabel, yaitu 1) karakteristik responden (jenis kelamin dan masa
kerja petugas), 2) enam (6) item analisis kelayakan (kualitas informasi,
kualitas antarmuka/ interface, kecepatan dan kemudahan akses, kemanan
sistem, kepuasan pelanggan, dan kelayakan model), 3) persepsi responden
terhadap sistem surveilans TB/HIV spasial online. dan eksploratif, yaitu
mengungkapkan isian responden pada kuesioner terbuka.
2. Importance
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melakukan penelitian
kelayakan terhadap sistem surveilans yang dikembangkan sehingga sistem
surveilans tersebut dapat berguna dan bermanfaat untuk pengendalian kasus
TB di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Sukoharjo.
3. Applicability
Penelitian ini telah membuktikan bahwa sistem surveilans yang telah
dikembangkan dipandang dibutuhkan karena dapat membantu menyediakan
informasi dalam pengambilan keputusan serta mengurangi beban kerja
petugas TB di puskesmas, meskipun masih membutuhkan pengembangan dan
perbaikan sistem informasi. Pada penelitian ini juga terdapat hal-hal yang
dapat menjadi saran dalam pengembangan kualitas dari pelaksanaan program
surveilans TB-HIV spasial online, seperti laman harus berisikan penulis,
alamat, tanggal, alamat laman jejaring, informasi relevan, informasi yang
jelas, dan struktur navigasi yang jelas. Kualitas dari suatu laman juga diukur
melalui 4 kategori yaitu, konten (tepat waktu, relevan, multi bahasa/ budaya,
variasi tampilan, ketepatan, objektif, dan wewenang), desain (menarik,
ketepatan, warna, gambar / suara / video, dan teks), organisasi (indeks,
pemetaan, konsistensi. Namun pada penelitian ini ditemukan bahwa laki-laki
lebih mampu mengoperasikan informasi dan teknologi dibandingkan dengan
perempuan, sedangkan pada Puskesmas biasanya lebih banyak petugas
perempuan. Apabila program ini dilaksanakan diperlukan pelatihan di bidang
informasi dan teknologi terlebih dahulu. Pengevaluasian program yang
dilakukan pada penelitian ini sederhana dan dapat diaplikasikan di Puskesmas
Pasar Ambon.
36
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Surveilans adalah pengukuran sistematis kesehatan dan lingkungan
parameter, rekaman, dan transmisi data/perbandingan dan interpretasi
data untuk mendeteksi kemungkinan perubahan dalam status kesehatan
dan lingkungan penduduk. Sedangkan Surveilans Kesehatan
didefinisikan sebagai kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus
menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau
masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan dan penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk
memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien.
38
DAFTAR PUSTAKA
DCP2 .2008. Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics.
Disease Control Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf.
Diakses pada tanggal 17 Juli 2019.
Detiawan B., Supardi F., Bani VKB. 2017. Analisis spasial kerentanan wilayah
terhadap kejadian demam berdarah dengue di wilayah kerja Puskesmas
Umbulharjo Kota Yogyakarta tahun 2013. Jurnal Vektor Penyakit, 11(2), 77–
87.
Dinas Kesehatan Kab. Tegal, 2013, Profil Kesehatan Kab. Tegal 2012, Dinas
Kesehatan Kab. Tegal, Tegal.
Faldy R., Kaunang WPJ., Pandelaki AJ. 2015. Pemetaan kasus demam berdarah
dengue di Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Kedokteran Komunitas dan
Tropik, 3(2), 73–81.
39
Imari,S. 2011. Surveilans Epidemiologi Prinsip, Aplikasi,Manajemen
Penyelenggaraan dan Evaluasi Sistem Surveilans. FETP Kemenkes RI WHO.
Jakarta.
Mansjoer A. 2001. Diare Akut. Dalam buku Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1,
Edisi III. Media Aesculapius. FKUI. Jakarta.
Murti, Bhisma. 2010. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif di Bidang Kesehatan edisi ke-2. Yogyakarta: UGM press.
40
Nazri C., Hashim A., Rodziah I., Hassan AY. 2013. Utilization of geoinformation
tools for dengue control management strategy: a case study in Seberang Prai,
Penang Malaysia. International Journal of Remote Sensing Applications, 3(1),
11–17.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Penerbit Alfa
Beta, Bandung.
WHO. 2004. Overview of the WHO framework for monitoring and evaluating
surveillance and response systems for communicable diseases. Weekly
epidemiological record. 79:321-328.
41