Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

EFFUSI FLEURA
DI RUANG PARU RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA

OLEH:

SYARIF HIDAYATULLAH, S. Kep

NIM. 18.31.1210

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
CAHAYA BANGSA BANJARMASIN
2018 – 2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
EFFUSI FLEURA
DI RUANG PARU RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA

OLEH:

SYARIF HIDAYATULLAH, S. Kep

NIM. 18.31.1210

Banjarmasin, 9 Desember 2018

Mengetahui,

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

Ns. Ria Anggara Hamba,S.Kep, MM Noerliana, S.Kep,Ns


LAPORAN PENDAHULUAN
EFFUSI FLEURA

I. Konsep Penyakit Efusi Pleura


1.1 Definisi Efusi Pleura
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan
dalam rongga pleura. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin
merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus (Somantri,
2008).

Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak
diantara permukaan viseral dan pariental, proses penyakit primer jarang
terjadi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain
(Suzanne, 2002).

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan


dalam rongga pleura berupa transudat dan eksudat yang diakibatkan
terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi di kapiler dan
pleura viseralis (Muttaqin, 2012).

Pleura merupakan lapisan tipis yang mengandung kolagen dan jaringan


elastis yang melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi
paru (pleura visceralis). Diantara pleura parietalis dan pleura visceralis
terdapat suatu rongga yang berisi cairan pleura yang berfungsi untuk
memudahkan kedua permukaan bergerak selama pernafasan. Tekanan
dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer, sehingga
mencegah kolaps paru. Bila terserang penyakit, pleura mungkin
mengalami peradangan atau udara atau cairan dapat masuk ke dalam
rongga pleura menyebabkan paru tertekan atau kolaps.
Cairan dalam keadaan normal dalam rongga pleura bergerak dari kapiler
didalam pleura parietalis ke ruang pleura dan kemudian diserap kembali
melalui pleura visceralis. Selisih perbedaan absorpsi cairan pleura melalui
pleura visceralis lebih besar daripada selisih perbedaan pembentukan
cairan oleh pleura parietalis dan permukaan pleura visceralis lebih besar
daripada pleura parietalis sehingga pada ruang pleura dalam keadaan
normal hanya terdapat beberapa mililiter cairan.pada dasarnya efusi pleura
itu merupakan komplikasi dari penyakit gagal jantung kongesif,
pneumonia, tuberculosis, embolis paru.
1.2 Etiologi
Penyebab efusi pleura dibedakan atas :
a. Transudat
Pleuritis serosa, serofibronosa dan fibrinosa semuanya disebabkan oleh
proses yang pada hakikatnya sama. Eksudasi fibrinosa umumnya pada
fase perkembangan awal, mungkin bermanifestasi sebagai eksudat
serosa atau serofibrinosa, tetapi akhirnya akan muncul reaksi
eksudativa yang lebih parah. Efusi pleura ini disebabkan oleh gagal
jantung kongestif, emboli paru, sirosishati (penyakit intrabdominanl),
dialisis peritoneal, hipoalbuminemia, sindrom nefrotik,
glomerulonefritis akut, retensi garam, atau pasca by-pass koroner.

b. Eksudat
Penimbunan non-inflamatorik cairan serosa di dalam rongga pleura
disebut hidrotoraks. Eksudat terjadi akibat peradangan dan infiltrasi
pada pleura atau jaringan yang berdekatan dengan pleura. Kerusakan
pada dinding kapiler darah menyebabkan terbentuknya cairan kaya
protein yang keluar dari pembuluh darah dan berkumpul pada rongga
pleura. Penyebab efusi pleura eksudatif adalah neoplasma, infeksi,
penyakit jaringan ikat, penyakit, intraabdominal, dan imunologik.
Bendungan pada pembuluh limfa juga dapat menyebabkan efusi pleura
eksudatif. Klitotoraks adalah penimbunan cairan seperti susu, biasanya
berasal dari pembuluh limfa, di rongga pleura. Kilus tampak putih susu
karena mengandung emulsi halus lemak.

c. Penyebab lain
- Gagal jantung
- Kadar protein darah yang rendah
- Sirosis
- Pneumonia
- Blastomikosis
- Emboliparu
- Perikarditis
- Tumor Pleura
- Pemasangan NGT yang tdk baik.
1.3 Tanda dan gejala
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau  jika mekanika
paru terganggu. klien dengan efusi pleura biasanya akan mengalami
keluhan :
a. Batuk
b. Sesak napas
c. Nyeri pleuritis
d. Rasa berat pada dada
e. Berat badan menurun
f. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, mengigil,
dam nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(tuberkolosis) banyak keringat, batuk,
g. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi  jika terjadi
penumpukan cairan pleural yang signifikan.
h. Pada pemeriksaan fisik :
- Inflamasi dapat terjadi friction rub
- Atelektaksis kompresif  (kolaps paru parsial ) dapat menyebabkan
bunyi napas bronkus.
- Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk
akan berlainan karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang
sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan.
- Focal fremitus melemah pada perkussi didapati pekak, dalam
keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung
(garis ellis damoiseu)
- Didapati segitiga garland yaitu daerah yang diperkussi redup
timpani dibagian atas garis ellis damoiseu. Segitiga grocco-
rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong
mediastinum kesisi lain. Pada auskulutasi daerah ini didapati
vesikuler melemah dengan ronchi.

1.4 Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya effusi pleura tergantung pada keseimbangan antara
cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan
pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah
kapiler. Filtrasi yang terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan
jaringan interstitial submesotelial kemudian melalui sel mesotelial masuk
ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh
limfe sekitar pleura.

Pada kondisi tertentu rongga pleura dapat terjadi penimbunan cairan


berupa transudat maupun eksudat. Transudat terjadi pada peningkatan
tekanan vena pulmonalis, misalnya pada gagal jatung kongestif. Pada
kasus ini keseimbangan kekuatan menyebabkan pengeluaran cairan dari
pmbuluh darah. Transudasi juga dapat terjadi pada hipoproteinemia seperti
pada penyakit hati dan ginjal. Penimbunan transudat dalam rongga pleura
disebuthidrotoraks. Cairan pleura cenderung tertimbun pada dasar paru
akibat gaya gravitasi.

Penimbunan eksudat disebabkan oleh peradangan atau keganasan pleura,


dan akibat peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan absorpsi getah
bening.Jika efusi pleura mengandung nanah, keadaan ini disebut empiema.
Empiema disebabkan oleh prluasan infeksi dari struktur yang berdekatan
dan dapat merupakan komplikasi dari pneumonia, abses paru atau
perforasi karsinoma ke dalam rongga pleura. Bila efusi pleura berupa
cairan hemoragis disebut hemotoraks dan biasanya disebabkan karena
trauma maupun keganasan.

Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan membatasi


engembangannya. Derajat gangguan fungsi dan kelemahan bergantung
pada ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan tertimbun
secara perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin akan
terkumpul dengan sedikit gangguan fisik yang nyata.

Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan


menyebabkan gagal nafas. Gagal nafas didefinisikan sebagai kegagalan
pernafasan bila tekanan partial Oksigen (Pa O2)≤ 60 mmHg atau tekanan
partial Karbondioksida arteri (Pa Co2) ≥ 50 mmHg melalui pemeriksaan
analisa gas darah.

Di dalam rongga pleura terdapat kurang lebih 5-15 ml cairan yang cukup
untuk membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis.
Cairan ini dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan
hidrostatik, tekanan koloid dan daya tarik elastis. Sebagian cairan ini
diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil
lainnya (10-20 %) mengalir ke dalam pembuluh limfe sehingga pasase
cairan di sini mencapai 1 liter seharinya.

Terkumpulnya cairan di rongga pleura (efusi pleura) terjadi bila


keseimbangan antara produksi dan absorpsi terganggu misalnya pada
hiperemia akibat inflamasi, perubahan tekanan osmotik,
(hipoalbuminemia), peningkatan tekanan vena (gagal jantung). Transudat
misalnya terjadi pada gagal jantung karena bendungan vena disertai
peningkatan tekanan hidrostatik, dan sirosis hepatik tekanan osmotik
koloid yang menurun. Eksudat dapat disebabkan antara lain oleh
keganasan dan infeksi. Cairan keluar langsung dari kapiler sehingga kaya
akan protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan ini juga mengandung banyak
sel darah putih. Sebaliknya transudat kadar proteinnya rendah sekali atau
nihil sehingga berat jenisnya rendah.

Infeksi tuberkulosis pleura biasanya disebabkan oleh efek primer


sehingga berkembang pleuritis eksudativa tuberkulosa. Pergeseran antara
kedua pleura yangmeradang akan menyebabkan nyeri. Suhu badan
mungkin hanya sub febril, kadang ada demam. Diagnosis pleuritis
tuberkulosa eksudativa ditegakkan dengan pungsi untuk pemeriksaan
kuman basil tahan asam dan jika perlu torakskopi untuk biopsi pleura.

Pada penanganannya, selain diperlukan tuberkulostatik, diperlukan juga


istrahat dan kalau perlu pemberian analgesik. Pungsi dilakukan bila cairan
demikian banyak dan menimbulkan sesak napas dan pendorongan
mediastinum ke sisi yang sehat. Penanganan yang baik akan memberikan
prognosis yang baik, pada fungsi paru-paru maupun pada penyakitnya.

1.5 Pemeriksaan penunjang


a. Pemeriksaan radiologi pada fluoroskopi maupun foto thorak PA cairan
yang kurang dari 300 cc tidak bisa terlihat. Mungkin kelainan yang
tampak hanya berupa penumpukan sostophrenicus apabila cairan tidak
tampak pada foto posterior-anterior (PA) maka dapat dibuat foto pada
posisi dekubitus lateral. Dengan foto toraks posisi lateral dekubitus
dapat diketahui adanya cairan dalam rongga pleura sebanyak paling
sedikit 70 cc, sedangkan dengan posisi PA paling tidak cairan dapat
diketahui sebanyak 300 cc.
b. Biopsi pleura
Dapat menunjukkan 50-70% diagnosis kasus pleuritistuberkolosis dan
tumor pleura. Biopsi ini berguna untuk mengambil spesimen jaringan
pleura melalui biopsi jalur perkutaneus. Komplikasi biopsi adalah
pneumothoraks, hemothoraks, penyebaran infeksi dan tumor dinding
dada.
c. Analisa cairan pleura
Untuk diagnostik cairan pleura perlu dilakukan pemeriksaan:
1. Warna cairan
- Haemorragic pleural efusion, biasanya pada klien dengan
adanya keganasan paru atau akibat infark paru terutama
disebabkan oleh tuberkolosis.
- Yellow exudates pleural efusion, terutama terjadi padakeadaan
gagal jantung kongestif, sindrom nefrotik, hipoalbuminemia,
dan perikarditis konstriktif.
- Clear transudate pleural efusion, sering terjadi pada klien
dengan keganasan ekstrapulmoner.
2. Biokimia, untuk membedakan transudasi dan eksudasi.
3. Sitologi, pemeriksaan sitologi bila ditemukan patologis atau
dominasi sel tertentu untuk melihat adanya keganasan
4. Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat
mengandung mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulen.
Efusi yang  purulen dapat mengandung kuman-kuman yang aerob
ataupun anaerob. Jenis kuman yang sering ditemukan adalah
Pneumococcus, E.coli, clebsiella, Pseudomonas, Enterobacter.

d. CT Scan Thoraks
Berperan penting dalam mendeteksi ketidaknormalan konfigurasi
trakea serta cabang utama bronkus, menentukan lesi pada pleura dan
secara umum mengungkapkan sifat serta derajat kelainan bayangan
yang terdapat pada paru dan jaringan toraks lainnya.

e. Ultrasound
Ultrasound dapat membantu mendeteksi cairan pleura yang timbul dan
sering digunakan dalam menuntun penusukan jarum untuk mengambil
cairan pleura pada torakosentesis.
1.6 Komplikasi
a. Fibro thoraks|
Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditanganidengan drainase
yang baik akan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan
pleura viseralis akibat efusi pleura yang tidak ditangani dengan
drainase yang baik. jika fibrothoraks meluas dapat menimbulkan
hambatan mekanis yang berat pada jaringan-jaringan yang berada
dibawahnya pembedahan pengupasan (dekortikasi) perlu dilakukan
untuk memisahkan membrane-membran pleura tersebut.
b. Atelektaksis
Atelektasis merupakan pengembangan paru yang tidak sempurna yang
disebabkan oleh penekanan akibat efusi pleura.
c. Fibrosis
Pada fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat
jaringan ikat paru dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul
akibat cara perbaikan jaringan sebagai lanjutan suatu proses penyakit
paru yang menimbulkan peradangan. Pada efusi pleura, atelektaksis
yang berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian  jaringan baru
yang terserang dengan jaringan fibrosis.
d. Kolaps Paru.
Pada efusi pleura, atalektasis tekanan yang diakibatkan oleh tekanan
ektrinsik pada sebagian / semua bagian paru akan mendorong udara
keluar dan mengakibatkan kolaps paru.

1.7 Penatalaksanaan
Pada efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa
intubasi melalui selang iga. Bila cairan pusnya kental sehingga sulit keluar
atau bila empiemanya multiokuler, perlu tindakan operatif. Mungkin
sebelumnya dapat dibantu dengan irigasi cairan garam fisiologis atau
larutan antiseptik. Pengobatan secara sistemik hendaknya segera
dilakukan, tetapi terapi ini tidak berarti bila tidak diiringi pengeluaran
cairan yang adequate.

Untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi dapat


dilakukan pleurodesis yakni melengketkan pleura viseralis dan pleura
parietalis. Zat-zat yang dipakai adalah tetrasiklin, Bleomicin,
Corynecbaterium parvum dll.
a. Pengeluaran efusi yang terinfeksi memakai pipa intubasi melalui sela
iga.
b. Irigasi cairan garam fisiologis atau larutan antiseptik (Betadine).
c. Pleurodesis, untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah
aspirasi.
d. Torasentesis: untuk membuang cairan, mendapatkan spesimen
(analisis), menghilangkan dyspnea. Pengambilan cairan melalui sebuah
jarum yang di masukkan di antara sel iga tepatnya di dalang rongga
pleura, misalnya push pada emfhisema atau untuk mengeluarkan udara
yang terdapat di dalam rongga pleura.
e. Water seal drainage (WSD) : Drainase cairan (Water Seal Drainage)
jika efusi menimbulkan gejala subyektif seperti nyeri, dispnea, dll.
Cairan efusi sebanyak 1 – 1,2 liter perlu dikeluarkan segera untuk
mencegah meningkatnya edema paru, jika jumlah cairan efusi lebih
banyak maka pengeluaran cairan berikutya baru dapat dilakukan 1 jam
kemudian.
f. Antibiotika jika terdapat empiema.
g. Operatif.
1.8 Patway Efusi Pleura

Peradangan aliran darah osmotik


gangguan
meningkat koloid darah fungsi
limfatik
menurun

kerusakan tekanan permeabilitas


endotel hidrostatik kapiler
meningkat meningkat

permeabilitas filtrasi cairan


membrane dan protein
pleura meningkat
meningkat

perembesan protein
meningkat menurun

osmotik koloid
absorbsi
meningkat
menurun

absorbsi menurun

akumulasi
cairan

penurunan pemasangan
ekaspansi paru WSD

pola nafas resti gangguan rasa imobilisasi


tidak efektif infeksi nyaman
(nyeri akut) gangguan mobilisasi
II. Rencana asuhan klien dengan gangguan efusi pleura
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat Keperawatan
Pengkajian pada efusi pleura ini mengacu pada 11 pola Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
- Data subjektif : riwayat kebiasaan penggunaan obat-obatan,
merokok, minum alcohol.
- Data objektif : ada obat-obatan
b. Pola nutrisi dan metabolik
- d ata subjektif : kebiasaan makan dan minum, terjadinya
penurunan nafsu makan
- data objektif : turgor kulit jelek, mukosa kering dan
penurunan berat badan
c. Pola eliminasi
- data subjektif : penurunan frekuensi BAB, penurunan
peristaltik usus, otot-otot traktus digestivusdan peningkatan
BAK
- data objektif : perubahan jumlah urine yang meningkat
d. Pola aktifitas dan latihan
- data subjektif : sesak napas, kelelahan, nyeri dada, penurunan
aktifitas
- data objektif : penurunan aktifitas secara mandiri
e. Pola tidur dan istirahat
- d ata subjektif : sulit tidur, penurunan kebutuhan tidur karena
adanya sesak, nyeri dada dan peningkatan suhu tubuh.
- Data objektif : palpebra inferior warna gelap dan wajah
mengantuk
f. Pola persepsi dan kognitif
- Data subjektif : perasaan nyeri
- Data objektif : bingung dan gelisah
g. Pola hubungan dan peran
Data subjektif : perubahan peran interpersonal
Data objektif : kurang berinteraksi
h. Pola persepsi dan konsep diri
- Data subjektif : perubahan persepsi diri
- Data objektif : perhatian kurang, kontak mata
i. Pola mekanisme koping
- Data subjektif : stress, bertanya-tanya tentang penyakitnya
- Data objektif : ansietas
j. Pola reproduksi dan seksualitas
- Data subjektif : penurunan libido
- Data objektif : keterbatasan gerak
k. Pola system dan kepercayaan
- d ata subjektif : kemampuan pasien dalam menjalankan
ibadah, tanggapan pasien atau keluarga mengenai agamanya
- data objektif : agama yang dianut oleh pasien.

2.1.2 Pengkajian fisik


a) Sistem pernapasan
Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai :
Inspeksi : Adanya tanda – tanda penarikan paru, diafragma,
pergerakan napas yang tertinggal, suara napas
melemah.
Palpasi : Fremitus suara meningkat.
Perkusi : Suara ketok redup.
Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah,
kasar dan yang nyaring.
Inspeksi pada pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang sakit
mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar,
pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke
arah hemithorax kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea
dan ictus kordis. RR cenderung meningkat dan Px biasanya
dyspneu.
Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang
jumlah cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga
ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada
yang sakit.

Suara perkusi redup sampai peka tegantung jumlah cairannya.


Bila cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan
terdapat batas atas cairan berupa garis lengkung dengan ujung
lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini
disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian
depan dada, kurang jelas di punggung.

Auskultasi suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi


duduk cairan makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada
kompresi atelektasis dari parenkian paru, mungkin saja akan
ditemukan tanda-tanda auskultasi dari atelektasis kompresi di
sekitar batas atas cairan. Ditambah lagi dengan tanda i – e
artinya bila penderita diminta mengucapkan kata-kata i maka
akan terdengar suara e sengau, yang disebut egofoni.

b) Sistem kordiovaskuler
Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal
berada pada ICS – 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1
cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
pembesaran jantung. Palpasi untuk menghitung frekuensi
jantung (health rate) dan harus diperhatikan kedalaman dan
teratur tidaknya denyut jantung, perlu juga memeriksa adanya
thrill yaitu getaran ictus cordis. Perkusi untuk menentukan batas
jantung dimana daerah jantung terdengar pekak. Hal ini
bertujuan untuk menentukan adakah pembesaran jantung atau
ventrikel kiri. Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan
II tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang
merupakan gejala payah jantung serta adakah murmur yang
menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah. Adanya
takipnea, takikardia, sianosis, bunyi P2 yang mengeras.

c) Sistem neurologis
Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping juga
diperlukan pemeriksaan GCS. Adakah composmentis atau
somnolen atau comma. refleks patologis, dan bagaimana dengan
refleks fisiologisnya. Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu
dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan
dan pengecapan.
Kesadaran penderita yaitu komposments dengan GCS : 4 – 5 –
6.
d) Sistem gastrointestinal
Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit
atau datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol
atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya
benjolan-benjolan atau massa.
Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana
nilai normalnya 5-35 kali permenit. Pada palpasi perlu juga
diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen, adakah massa
(tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat
hidrasi pasien, apakah hepar teraba, juga apakah lien teraba.
Perkusi abdomen normal tympanik, adanya massa padat atau
cairan akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesika
urinarta, tumor).
Adanya nafsu makan menurun, anoreksia, berat badan turun.
e) Sistem muskuloskeletal
Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial,
palpasi pada kedua ekstremetas untuk mengetahui tingkat
perfusi perifer serta dengan pemerikasaan capillary refil time.
Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan
otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang tidur
dan keadaan sehari – hari yang kurang meyenangkan.

f) Sistem integumen
Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada
tidaknya lesi pada kulit, pada Pasien dengan effusi biasanya
akan tampak cyanosis akibat adanya kegagalan sistem transport
O2. Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit
(dingin, hangat, demam). Kemudian texture kulit (halus-lunak-
kasar) serta turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi
seseorang. Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor
kulit menurun.

2.1.3 Pemeriksaan penunjang


a. Pemeriksaan radiologi
b. Biopsi pleura
c. Analisa cairan pleura
d. CT Scan Thoraks
e. Ultrasound

2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa I : Pola nafas tidak efektif
2.2.1 Definisi
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak member ventilasi adekuat
2.2.2 Batasan karakteristik
- Bradipnea
- Dispnea
- Fase ekspirasi memanjang
- Ortopnea
- Penggunaan otot bantu pernapasan
- Penggunaan posisi tiga-titik
- Peningkatan diameter anterior-posterior
- Penurunan kapasitas vital
- Penurunan tekanan ekspirasi
- Penurunan tekanan inspirasi
- Penurunan ventilasi semenit
- Pernapasan bibir
- Pernapasan cuping hidung
- Perubahan ekskursi dada
- Pola napas abnormal (mis, irama, frekuensi, kedalaman)
- Takipneu
2.2.3 Faktor yang berhubungan
- Ansietas
- Cedera medulla spinalis
- Deformitas tulang
- Disfungsi neuromuskuler
- Gangguan musculoskeletal
- Gangguan neurologis (mis, elektroensefalogram [EEG] positif,
trauma kepala, gangguan kejang)
- Hiperventilasi
- Imaturitas neurologis
- Keletihan
- Keletihan otot pernapasan
- Nyeri
- Obesitas
- Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
- Sindrom hipoventilasi

Diagnose II : Gangguan pola tidur


2.2.1 Definisi
Interupsi jumlah waktu dan kualitas tidur akibat faktor eksternal
2.2.2 Batasan karakteristik
- Kesulitan jatuh tidur
- Ketidak puasan tidur
- Menyatakan tidak merasa cukup istirahat
- Penurunan kemampuan berfungsi
- Perubahan pola tidur normal
- Sering terjaga tanpa jelas penyebabnya
2.2.3 Faktor yang berhubungan
- Gangguan karena pasangan tidur
- Halangan lingkungan (mis, bising, pejanan cahaya/gelap,
suhu,/kelembapan, lingkungan yang tidak dikenal)
- Imobilisasi
- Kurang privasi
- Pola tidur tidak menyehatkan (mis, karena tanggung jawab
menjadi pengasuh, menjadi orang tua, pasangan tidur)

Diagnose III : Intoleransi aktifitas


2.2.1 Definisi
Ketidakcukupan energi psikologi atau fisiologis untuk
mempertahankan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-
hari yang ingin dilakukan
2.2.2 Batasan karakteristik
- Dispnea setelah beraktifitas
- Keletihan
- Ketidaknyaman setelah beraktifitas
- Perubahan EKG (misal aritmia, abnormalitas konduksi, iskimia)
- Respon frekuensi jantung abnormal terhadap aktifitas
- Respon tekanan darah abnormal terhadap aktifitas
2.2.3 Faktor yang berhubungan
- Gaya hidup hidup kurang gerak
- Imobilitas
- Ketidakseimbangan anatra suplai dan kebutuhan oksigen
- Tirah baring

Diagnose IV : Risiko infeksi


2.2.1 Definisi
Rentan mengalami invasi dan multipikasi organisme patogenik
yang dapat
2.2.2 Faktor risiko
- Prosedur invasif
- Penyakit kronis
2.3 Perencanaan

No. Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)

2.3.1 Pola nafas Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor rata-rata, irama,


tidak keperawatan selama... x 24 kedalaman dan usaha respirasi
efektif jam diharapkan pola nafas 2. Perhatikan pergerakan dada,
klien efektif, dengan kriteria amati kesemetrisan,
hasil : penggunaan oto-otot aksesoris,
1. Memiliki RR dalam batas dan retraksi otot
normal supraklavikuler dan interkostal.
2. Mampu inspirasi dalam 3. Monitor respirasi yang
3. Memiliki dada yang berbunyi, seperti mendengkur
mengembang secara (ronchi)
simetris 4. Monitor pola pernafasan:
4. Dapat bernafas dengan bradipneu, takipneu,
mudah hiperventilasi, respirasi
5. Tidak menggunakan otot- Kussmaul, respirasi Cheyne-
otot tambahan dalam Stokes, dan apneustik Biot dan
bernafas pola taxic
6. Tidak mengalami dispnea 5. Monitor peningkatan
ketidakmampuan istirahat,
kecemasan, dan haus udara,
perhatikan perubahan pada
SaO2, SvO2, CO2 akhir-tidal,
dan nilai gas darah arteri
(AGD), dengan tepat
6. Monitor kualitas dari nadi,
suhu, warna, dan kelembaban
kulit
7. Beri tahu dokter tentang hasil
gas darah yang abnormal.
No. Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)

2.3.3 Gangguan Setelah dilakukan asuhan 1. Determinasi efek-efek medikasi


Pola Tidur keperawatan selama... x 24 terhadap pola tidur.
jam diharapkan px tidak
2. Jelaskan pentingnya tidur yang
terganggu saat tidur dengan
adekuat.
kriteria hasil :
1. Jumlah jam tidur dalam 3. Fasilitas untuk
batas normal 6-8 jam/hari. mempertahankan aktivitas
2. Pola tidur, kualitas dalam sebelum tidur (membaca) atau
batas normal. teknik distraksi.
3. Perasaan segar sesudah tidur
4. Ciptakan lingkungan yang
atau istirahat.
nyaman.
4. Mampu mengidentifikasi
hal-hal yang meningkatkan 5. Kolaborasi pemberian obat
tidur. tidur.

6. Diskusikan dengan pasien dan


keluarga tentang teknik tidur
pasien.

7. Instruksikan untuk memonitor


tidur pasien.

8. Monitor waktu makan dan


minum dengan waktu tidur.

9. Monitor/catat kebutuhan tidur


pasien setiap hari dan jam.
Tujuan & Kriteria
No. Diagnosa Intervensi (NIC)
Hasil (NOC)
2.3.4 Intoleransi aktifitas Self Care : ADLs, Activity Therapy
Energy conservation,
Activity tolerance 1. Kolaborasikan dengan Tenaga
Rehabilitasi Medik dalam
Setelah dilakukan merencanakan program terapi
yang tepat.
tindakan keperawatan
2. Bantu klien untuk
selama (3x60 menit), mengidentifikasi aktivitas
intoleran aktifitas yang mampu dilakukan
dapat diatasi dengan 3. Bantu untuk memilih aktivitas
criteria hasil klien konsisten yang sesuai dengan
akan: kemampuan fisik, psikologi
dan sosial
1. Berpartisipasi 4. Bantu untuk mengidentifikasi
dalam aktivitas dan mendapatkan sumber yang
fisik tanpa disertai diperlukan untuk aktivitas
peningkatan yang diinginkan
tekanan darah, nadi 5. Bantu untuk mendapatkan alat
dan RR bantuan aktivitas seperti kursi
2. Mampu melakukan roda, krek
aktivitas sehari hari 6. Bantu untuk  mengidentifikasi
(ADLs) secara aktivitas yang disukai
mandiri 7. Bantu klien untuk membuat
3. Mampu berpindah jadwal latihan diwaktu luang
dengan atau tanpa 8. Bantu pasien/keluarga untuk
bantua nalat mengidentifikasi kekurangan
4. Tanda-tanda vital dalam beraktivitas
normal 9. Sediakan penguatan positif
5. Sirkulasi status bagi yang aktif beraktivitas
baik 10. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi diri
dan penguatan
11. Monitor responfisik, emosi,
sosial dan spiritual
Tujuan & Kriteria
No. Diagnosa Intervensi (NIC)
Hasil (NOC)
2.3.4 Risiko infeksi Setelah dilakukan PerlindunganInfeksi
tindakan keperawatan
selama (3x60 menit) 1. Monitor adanya tandadan
gejala infek sisistemikdan
infeks itidak terjadi,
local
criteria hasil 2. Monitor kerentangan terhadap
infeksi
Kontrol risiko: 3. Monitor hitung mutlak
proses infeksi. granulosit, WBC dan hasil-
hasil diferensial
KriteriaHasil 4. Berikan perawatan kulit yang
tepat untuk area (yang
 Mengidentifikasi mengalami) edema
tandadan gejala 5. Periksa kulit dan selaput
infeksi lender untuk adanya
 Memonitor kemerahan, kehangatan
perilaku diri yang ekstrim atau drainase
berhubungan denga 6. Tingkatkan asupan nutrisi
risiko infeksi yang cukup
 Mempertahankan 7. Anjurkan asupan cairan
lingkungan yang dengan tepat
bersih 8. Anjurkan istirahat
 Memonitor status Ajarkan pasien dan anggota
kesehatan
keluarga bagaimana cara
menghindari infeksi

III. Daftar Pustaka


Irman, Soemantri. (2008). Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan
Keperawatan. Pasien Dengan Gangguan efusi pleura. Jakarta:FKUI

Muttaqin, Arif. (2012). Buku ajar Asuhan keperawatan klien dengan


gangguan sistem kardiovaskular dan hematologi. Jakarta: Salemba
Medika

Sjamsuhidajat R, de Jong W. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit


Buku Kedokteran. Jakarta : EGC.

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. (2002). Buku Ajar Keperawatan


Medikal. Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2)

Wilkinson, Judith M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Nanda NIC


NOC : Edisi 9. Jakarta : EGC

Herdman, T. Heather.(2015). NANDA International Inc. Nursing


diagnosises; definitions and classification 2015-2017. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai