Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KASUS


APPENDISCITIS

Diajukan guna memenuhi tugas Pendidikan Profesi Stase Bedah

Oleh
Miratun Nisa
NIM 192311101213

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2020
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
A. Anatomi Fisiologi ..........................................................................................1
B. Definisi ............................................................ Error! Bookmark not defined.
C. Epidemiologi..................................................................................................3
D. Etiologi ...........................................................................................................3
E. Klasifikasi ......................................................................................................4
F. Manifestasi Klinis .........................................................................................6
G. Patofisiologi ...................................................................................................7
H. Clinical Pathway ............................................................................................8
I. Pemeriksaan penunjang ...............................................................................8
J. Penatalaksanaan Medis ...............................................................................9
K. Penatalaksanaan Keperawatan .................................................................12
L. Diagnosa Keperawatan ..............................................................................13
M. Perencanaan Keperawatan .......................... Error! Bookmark not defined.4
DAFTAR PUSTAKA . ....................................................................................... 19

ii
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Anatomi Fisiologi
Apendiks adalah sebuah organ berbentuk tabung, ia meemiliki panjang kira-
kira 10 cm, serta berpangkal di sekum. Apendiks memiliki lumennya sempit di
bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Berbeda halnya pada bayi,
apendiks pada bayi berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
kearah ujungnya. Karena hal tersebtut mungkin menjadi sebab rendahnya
insidens apendisitis pada usia itu. Persarafan parasimpatis pada Apendiks
berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior
dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus
torakalis 10. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar
umbilikus ( Pieter 2005).

Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar


submukosa dan mukosa pada apendiks dipisahkan dari lamina muskularis.
Diantaranya berjalan pembuluh darah dan kelenjar limfe. Pada bagian paling
luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang dilalui oleh pembuluh darah
besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Pendarahan apendiks berasal dari
arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Apendik akan
mengalami Gangren jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada
infeksi,
Sel goblet pada apendiks dapat menghasilkan mukus sebanyak 1-2 ml
perhari. Lendir pada muara dari apendiks diduga juga memiliki peran
patogenesis apendisitis. GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue ) yang

1
terdapat pada organ apendiks dapat mensekresi imunoglobulin (IgA) yang
berfungi sebagai alat pertahanan tubuh terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah
jaringan limfe disini sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh (Pieter, 2005).

B. Definisi
Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformalis, yaiu
divertikulum pda saecum yang menyerupai cacing, panjangnya bevariasi mulai
dari 7-15 cm, dan berdiameter sekitar 1 cm. Infeksi ini bisa meningkatkan
peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumnya berbahaya. Apendisitis merupakan inflamasi yang
terjadi pada organ apendiks, hal tersebut dapat terjadi tanpa penyebab yang
jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks
atau pembuluh darahya. Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada
apendiks vermiformis dan merupakan penyebab nyeri abdomen akut yang
paling sering terjadi di masyarakat. Penyakit ini dapat mengenai semua umur,
serta semua jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan, akan tetapi
apendisitis lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun (Mansjoer,
2010).
Apendisitis jarang bisa terjadi pada semua usia namun jarang terjadi pada
usia dewasa kahir dan balita, kejadian apendisitis ini meningkat pada usia 20-
30 tahun bisa dikatagorikan sebagai usia produktif, dimana orang yang berada
pada rentang usia tersebut melakukan banyak sekali kegiatan, hal tersebut
menyebabkan kurang memperhatikan nutrisi yang dikonsumsi akibatnya
terjadi kesulitan buang air besar yang menyebabkan peningkatan tekanan pada

2
rongga usus dan pada akhirnya menyebabkan sumbatan pada saluran apendiks
(Arifuddin, 2017)
C. Epidemiologi
Kejadian apendisitis di Indonesia menurut data yang dirilis oleh kementrian
kesehatan Ri pada tahun 2009 sebesar 596.123 orang dengan persentase 3,36%
dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 621.435 orang dengan persentase
3,53%. Apendisitis merupakan penyakit tidak menular tertinggi kedua di
Indonesia pada rawat inap rumah sakit pada tahun 2009 dan 2010. Insidensi
Appendisitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang,
tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam
menu sehari-hari (Arifuddin, 2017).
D. Etiologi
Apendisitis akut adalah salah satu penyebab nyeri abdomen akut yang
paling sering ditemukan. Hipotesis penyebab paling umum adalah adanya
obstruksi lumen yang berlanjut kerusakan didin apendiks dan pembentukan
abse. Penyebab lain yang dapat menyebabkan obstruksi lumen apendiks antara
lain adanya hiperplasia jaringan limfoid yang berkaitan dengan infeksi virus,
atau walaupun jarang adanya neoplasma (tumor karsinoid apendiks). Batu
empedu dan gumpalan cacing (oxyuriasis vermicularis) diketahui juga dapat
menimbulkan obstruksi pada lumen apendiks sehingga menimbulkan
peradangan pada apendiks (Windy, 2016).
Lapisan mukosa pada dinding apendik akan mensekresi mukus yang
jumlahnya akan meningkat ketika obstruksi lumen terjadi. Karena peningkatan
tersebut akan menyebabkan meningkatnya volume lumen apendiks yang
berujung pada terjadinya kenaikan tekanan itralumen. hal tersebut dapat
menyebabkan vena drainase colaps sehingga suplai darah ke apendiks akan
menurun dan menyebabkan iskemia jaringan apendik, infark dan gangren.
Belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tentang Apendisitis, tetapi ada
factor prediposisi yaitu:

3
1. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan
Streptococcus
2. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30
tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan
limpoid pada masa tersebut.
3. Kelainan katup di pangkal appendiks.
E. Klasifikasi
1. Apendisitis Akut
Apendisitis akut sering kali terjadi dengan gejala khas yang sebabkan oleh
radang mendadak pada apendiks dan disertai maupun tidak disertai
rangsang peritonieum lokal. Pada apendisitis akut gejala yang sering terjadi
ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah
epigastrium disekitar umbilikus. Rasa nyeri sering kali juga disertai keluhan
mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam
kemudia nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri dirasakan akan
lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat. Apendisitis aku dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :
a. Apendisitis akut Sederhana: yaitu sebuah proses peradangan baru
yang terjadi di mukosa dan sub mukosa dan disebabkan oleh sebuah
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan dalam lumen yang
akan mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks akan menebal,
edema, dan kemerahan. Gejala awal yang dirasakan adalah rasa
nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise dan
demam ringan.
b. Apendisitis akut purulenta (Supurative Appendicitis): karena
terjadinya tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai
dengan edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada
dinding apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan tersebut
dapat memperberat iskemia dan edema pada apendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding

4
apendiks dan akan menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen
terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan
peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc. Burney,
defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan
tanda-tanda peritonitis umum.
c. Apendisitis akut gangrenosa: bila tekanan yang terjadi didalam
lumen terus bertambah, aliran darah arteri akan terganggu sehingga
terjadi infark dan gangren. Selain timbulnya tanda-tanda supuratif,
apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding
apendiks akan berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.
Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan
kenaikan cairan peritoneal yang purulen.
d. Apendisitis infiltrat: Apendisitis infiltrat adalah proses radang
apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus
halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan
massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
e. Apendisitis abses: Apendisitis abses akan terjadi apabila massa lokal
yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya hal tersebut terjadi di
fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal dan
pelvikal.
f. Apendisitis perforasi: Apendisitis perforasi disebabkan oleh
pecahnya apendiks yang sudah mengalami gangren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum. Pada dinding apendiks akan tampak daerah
perforasi yang dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
2. Apendisitis Kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan apabila ditemukan
adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, dan radang

5
kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Untuk kriteria
mikroskopik apendisitis kronik yaitu terjadi fibrosis menyeluruh di dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut
dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Pada insiden
apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik kadang-kadang dapat
menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut
yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat (Rukmono,
2011).
F. Manifestasi Klinis
Diagnosi apendisitis ditegakkan dengan riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, dan ultrasonography (USG). Pemeriksaan
suhu tubuh termasuk dalam salah satu kriteria pada skor alvarado untuk
penegakkan diagnosis apendisitis. Suhu tubuh <37°C didapatkan pada pasien
apendisitis tanpa komplikasi dan pada kasus perforasi terdapat demam
tinggi dengan rata-rata 38,3°C. Kadar leukosit secara signifikan lebih tinggi
pada kasus perforasi dibandingkan dengan tanpa perforasi. Leukositosis pada
pasien Diagnosis apendisitis ditegakkan dengan riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, dan ultrasonography (USG). Pemeriksaan
suhu tubuh termasuk dalam salah satu kriteria pada skor alvarado untuk
penegakkan diagnosis apendisitis. Suhu tubuh <37°C didapatkan pada pasien
apendisitis tanpa komplikasi dan pada kasus perforasi terdapat demam tinggi
dengan rata-rata 38,3°C. Kadar leukosit secara signifikan lebih tinggi pada
kasus perforasi dibandingkan dengan tanpa perforasi (Windy 2016).
Beberapa tanda dan gejala Apendisitis adalah sebagai berikut :
1. Nyeri yang dirasakan pada kuadran bawah biasanya dengan demam
derajat rendah, mual, dan seringkali muntah
2. Pata titik McBurney ( terletak dipertengahan antara umbiliku dan spina
anterior dari ilium) dirasakan nyeri tekan setempat karena tekanan dan
sedikit kaku dari bagian bawah otot rektus kanan.

6
3. Nyeri alih yang mungkin saja tidak; letak apendiks dapat mengakibatkan
sejumlah nyeri tekan, spasme otot, dan konstipasi atau diare kambuhan
yang berulang.
4. Tanda rovsing (hal tersebut dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran
kanan bawah, yang mengebabkan nyeri pada kuadran kiri bawah)
5. Jika sudah terjadi ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih
menyebar; akan terjadi distensi abdomen akibat ileus paralitis dan
kondisi memburuk (Baugman, 2000)
G. Patofisiologi
Obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks adalah awal dari terjadinya
Apendisitis, dimana penyebab obstruksi yang paling sering karena masa
fecalith. Obtruksi yang terjadi pada lumen apendiks akan merangsang mukosa
apendiks untuk mensekresi mukus dengan jumlah yang lebih banyak. Hal
tersebut dapat meningkatkan tekanan intralumen sehingga dapat menstimulus
serabut saraf peferen visceral dan akan menimbulkan rasa nyeri yang samar-
samar, nyeri difus yang terjadi pada abdomen dibawah epigastrium. Bakteri
akan tumbuh dengan baik dan cepat karena obstruksi pada apendiks yang
diikuti dengan kenaikan sekresi mukus menjadi tempat yang baik untuk baktri
berkembang. Kenaikan proliferasi bakteri yang diiringi dengan colaps vena
drainase dan juga gangguan aliran limfatik akibat kenaikan tekanan intralumen,
memudahkan bakteri untuk menginvasi dinding mukosa jaringan apendiks dan
saat eksudat inflamasi dari dinding apendiks terhubung dengan peritoneum
parietal, serabut saraf somatik akan teraktivasi sehingga menyebabkan nyeri
yang terlokalisir pada titik Mc. Burne.
Peradangan yang timbul akan meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga akan menimbulkan nyeri didaerah bagian kanan bawah. Keadaan ini
disebut sebagai apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri
terganggu makan akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
terjadinya gangren. Pada stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, maka akan terjadi apendisitis perforasi.
Apabila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang

7
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena Apendik lrbih panjang
dan omentum lebih pendek, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan
tersebut akan memburuk jika ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang
dewasa, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah
(Mansjoer, 2010)

8
H. Clinical Pathway

I. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Pada pemeriksaan laoratorium terdiri dari pemeriksaan darah
lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap
ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan
neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang
meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang dapat
meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, hal ersebutbdapat

9
dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan
spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b. Radiologi Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed
Tomography Scanning(CT-scan). Pada pemeriksaan USG akan ditemukan
bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks,
sedangkan pada pemeriksaan CT-scan pada apendiks aka ditemukan bagian
yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang
mengalami inflamasi serta adanya pelebaran pada sekum. Tingkat akurasi
USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%,
sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi pemeriksaan 94-100%
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
c. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak dapat menunjukkan tanda pasti dari
Apendisitis, tetapi mempunyai arti yang penting dalam membedakan
Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.
J. PenatalaksanaanMedis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan diagnosa
apendisitis akut yaitu meliputi terapi medis dan terapi bedah. Terapi medis
diberikan terutama pada pasien yang tidak mempunyai akses ke pelayanan
bedah, dimana pada pasien cukup diberikan antibiotik. Pada pasien dengan
resiko operasi tinggi dapat dilakukan terapi medis sebagai alternatif. Namun
pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan hanya sebagai terapi
awal berupa antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada absesnya. The
Surgical Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik profilaks
dilakukan sebelum pembedahan dengan menggunakan antibiotik spektrum
luas kurang dari 24 jam untuk apendisitis non perforasi dan kurang dari 5 jam
untuk apendisitis perforasi. Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol
sepsis, antibiotik sistemik merupakan pengobatan pertama dan yang utama
pada peritonitis difus termasuk akibat apendisitis dengan perforasi.
1. Cairan intravena
Cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus di ganti segera dengan
cairan intravena, pada pseien dengan toxix sistemik, pasien tua atau pasien

10
dengan kesehatan yang buruk harus dipasang pengukur tekanan vena central.
Balance cairan harus sangat diperhatikan. Cairan atau ringer laktat harus di
berikan secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan
tekanan darah serta pengeluaran urin dengan baik dan belance. Darah di
berikan apabila pasein mengalami anemia dan atau pasein dengan perdarahan
secara bersamaan.
2. Antibiotik
Pemberian antibiotik secara intraven diberikan untuk mengantisipasi bakteri
patogen, antibiotik initial diberikan termasuk generasi ke 3 cephalosporins,
ampicillin-sulbaktam dan metronidazol atau klindanisin untuk kuman anaerob.
Pemberian antibiotik postops harus di ubah berdasarkan kulture dan
sensitivitas. Antibiotik harus tetap diberikan sampai pasien tidak mengalami
demam dengan normal leukosit. Setelah keadaan umum membaik dengan
pemberian infus, setelah pemberian antibiotik serta pemasangan pipa
nasogastrik perlu di lakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari
appendisitis perforasi.
3. Pembedahan
Laparotomi adalah operasi yang dilakukan untuk membukan abdomen (bagian
perut). Laparatomi yaitu insisi pembedahan melalui pinggang (kurang begitu
tepat),tapi lebih umum pembedahan perut. Ramali Ahmad (2000) mengatakan
bahwa laparatomi yaitu pembedahan perut akan membuka selaput perut dengan
operasi. Perawatan pasca laparatomi berupa bentuk pelayanan perawatan yang
diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan
abdomen. Perawatan pascaoperatif dilakukan dalam dua tahap, yaitu periode
pemulihan segera dan pemulihan berkelanjutan setelah fase pascaoperatif.
Untuk pasien yang menjalani bedah sehari, pemulihan normalnya terjadi hanya
dalam satu sampai dua jam, dan penyembuhan dilakukan di rumah. Untuk
pasien yang dirawat di rumah sakit, pemulihan terjadi selama beberapa jam dan
penyembuhan berlangsung selama satu hari atau lebih, tergantung pada luasnya
pembedahan dan respon pasien (Potter dan Perry, 2006).

11
K. Komplikasi
Apendiditis dapat menimbulkan komplikasi jika terlambat dalam
memberikan penanganan. Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita
dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi kurangnya pengetahuan dan
kurangnya biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa,
menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Kondisi tersebut dapat meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas. Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih
tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan
terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh
darah sehingga dapat memicu timbulnya perforasi. Berikut beberapa jenis
komplikasi yang mungkin terjadi :
a. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Saat dilakukan
palpasi akan teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah
pelvis. Awalnya massa ini berupa flegmon dan berkembang menjadi
rongga dan mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau
mikroperforasi ditutupi oleh omentum
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
dapat menyebar ke seluruh rongga perut. Perforasi jarang terjadi pada 12
jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam.
c. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan yang terjadi pada peritoneum, peritononitis
merupakan komplikasi berbahaya dan dapat terjadi dalam bentuk akut
maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
makan akan menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik akan berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang,
dan hilangnya cairan elektrolit akan mengakibatkan timbulnya dehidrasi,
syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis yang disertai rasa sakit

12
perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan
leukositosis.
L. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan
 Keluhan Utama saat pengkajian
pada umumnya pasien akan mengeluh nyeri kuadran kanan bawah.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Klien menganggap sakitnya sangat parah, terkadang diikuti perasaan
cemas dan takut dengan tindakan oprasi
 Riwayat Penyakit Sebelumnya
Ditanyakan apakah sebelumnya pernah menderita penyakit serupa dan
apakah sudah pernah menjalani operasi
 Riwayat Penyakit Keluarga
Dikaji apakah keluarga sebelumnya pernah menderita penyakit serupa
atau penyakit lainnya yang bersifat menular ataupun menurun
b. Pola gordon
o Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
o Pola aktifitas dan latihan: pasien akan mengalami perbedaan tingkat
aktivitas dan latihan sebelum sakit dan setelah sakit akibat dari nyeri
yang dirasakan
o Pola nutrisi dan metabolisme: pada umumnya pasien akan
mengalami penurunan nafsu makan, mual hingga muntah. Pola
eliminasi alfi juga kadang terganggu dikarenakan nyeri dan adanya
perforasi pada usus.
o Pola tidur dan istirahat: tidak jarang pasien akan mengalami
gangguan pola tidur karena nyeri yang dirasakannya
o Pola kognitif dan perceptual: pasien pada umumnya dapat
melokalisir nyeri dan sikapnya melindungi area nyeri
o Persepsi diri/konsep diri
o Pola toleransi dan koping stress
o Pola seksual reproduksi
o Pola hubungan dan peran, serta pola nilai dan keyakinan
c. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan meliputi keadaan umum klien dan tanda-tanda vital
2) Kepala : Bentuk mesochepal, kulit kepala bersih, pertumbuhan
rambut normal, warna rambut hitam, tidak ada lesi atau benjolan,
klien tampak gelisah, ekspresi wajah tegang.

13
3) Mata : Bentuk simetris, pupil isokor, konjungtiva merah muda,
Sklera unikterik, pergerakan mata terkoordinasi, terdapat lingkar
hitam pada mata
4) Hidung : Bentuk hidung simetris, tidak terdapat nyeri tekan, tidak
terdapat lumen, penciuman baik, mukosa hidung lembab, tidak ada
pernafasan cuping hidung.
5) Mulut : Bentuk mulut simetris, mukosa bibir kering, gigi bersih
rapih, dan lidah bersih, tidak ada stomatitis, meringis kesakitan.
6) Telinga : Bentuk telinga simetris, tidak terdapat nyeri tekan dan
pendengaran baik.
7) Leher : Tidak ada pembengkakan, tidak ada nyeri tekan .
8) Thorax : Bentuk dada simetris, tidak ada retraksi otot/dinding dada,
terdengar suara redup pada area jantung, sonor pada area paru, suara
paru vesikuler.
9) Abdomen : Pemeriksaan fisik abdomen dilakukan dengan empat
tahap inspeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi. Inspeksi didapat
abdomen klien bersih. Auskultasi abdomen klien didapat bising usus
klien aktif di empat kuadran dengan frekuensi 12 kali/ menit. Palpasi
yang dilakukan yaitu pemeriksaan pada area kanan bawah terdapat
nyeri tekan dan nyeri saat membungkuk/setiap gerak. Perkusi yang
dilakukan terdapat bunyi timpani. Klien sering memegangi perutnya
yang sakit. Kulit teraba panas.
10) Genitalia : Jenis kelamin.
11) Anus : Tanda peradangan dan kebersihan.
12) Ekstremitas : Kaji kekuatan ekstremitas atas dan bawah
M. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intraluminal
2. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
pembedaahan
Post Operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan luka insisi post operasi
2. Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi
3. Defisit perawat diri berhubungan dengan luka post operasi

14
3. Perencanaan keperawatan
Pre Operasi
No Masalah Tujuan dan kriteria hasil NIC Nama
Keperawatan &paraf
1 Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 Manajemen nyeri (1400)
jam, nyeri pasien berkurang serta dapat mengontrol nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri
dengan kriteria hasil:
secara komprehensif (lokasi,
Kontrol Nyeri (1605) karakteristik, durasi, faktor
Tujuan
pncetus dan intensitas nyeri)
No Indikator Awal 2. Observasi adanya petunjuk
1 2 3 4 5 nonverbal nyeri
3. Kendalikan faktor lingkungan
1 Mengunakan
(suara bising, suhu,
tindakan
pengurangan pencahayaan)
nyeri tanpa 4. Ajarkan mengenai teknik non
analgesik farmakologi (hypnosis,
2
relaksasi, dll)
Mengenali kapan
terjadinya nyeri Terapi relaksasi (6040)
5. Gambarkan rasional dan
3. Menggambarkan
manfaat relaksasi seperti nafas
faktor penyebab
nyeri
dalam dan musik
6. Dorong pasien mengambil
4. Melaporkan nyeri posisi nyaman
terkontrol
Pemberian analgesik (2210)

15
Keterangan: 1. tidak pernah menunjukkan 1. Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas, dan
keparahan nyeri sebelum
mengobati pasien
2. Cek perintah pengobatan
meliputi obat, dosis, dan
frekuensi obat analgesik yang
diresepkan
2. Ansietas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 Pengurangan Kecemasan (5820)
jam, tingkat kecemasan pasien menurun dengan kriteria 1. Gunakan pendekatan yang
hasil:
Tingkat kecemasan (1211) tenang dan meyakinkan
2. Jelaskan semua prosedur
Tujuan
No Indikator Awal termasuk sensasi yang akan
1 2 3 4 5 dirasakan
3. Berikan informasi faktual
1 Perasaan gelisah tentan diagnosis, perawatan
2 Wajah tegang dan prognosis
4. Dorong keluarga untuk
3. Tidak bisa
mendampingi klien dengan
mengambil
keputusan
cara yang tepat
5. Kaji tanda verbal dan non
4. Peningkatan verbal kecemasan
tekanan darah

Keterangan: 1. Tidak pernah menunjukkan

16
Post Operasi
No Masalah Tujuan dan kriteria hasil NIC Nama
Keperawatan &paraf
1 Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 Manajemen nyeri (1400)
jam, nyeri pasien berkurang serta dapat mengontrol nyeri 7. Lakukan pengkajian nyeri
dengan kriteria hasil:
secara komprehensif (lokasi,
Kontrol Nyeri (1605) karakteristik, durasi, faktor
Tujuan pncetus dan intensitas nyeri)
No Indikator Awal 8. Observasi adanya petunjuk
1 2 3 4 5 nonverbal nyeri
9. Kendalikan faktor lingkungan
1 Mengunakan
(suara bising, suhu,
tindakan
pengurangan pencahayaan)
nyeri tanpa 10. Ajarkan mengenai teknik non
analgesik farmakologi (hypnosis,
2
relaksasi, dll)
Mengenali kapan
terjadinya nyeri Terapi relaksasi (6040)
11. Gambarkan rasional dan
3. Menggambarkan
manfaat relaksasi seperti nafas
faktor penyebab
nyeri
dalam dan musik
12. Dorong pasien mengambil
4. Melaporkan nyeri posisi nyaman
terkontrol
Pemberian analgesik (2210)
1. Tentukan lokasi,
Keterangan: 1. tidak pernah menunjukkan karakteristik, kualitas, dan

17
keparahan nyeri sebelum
mengobati pasien
2. Cek perintah pengobatan
meliputi obat, dosis, dan
frekuensi obat analgesik yang
diresepkan
2. Risiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 Perlindungan infeksi (6550)
jam, diharapkan keparahan infeksi tidak terjadi dengan 1. Monitor tanda dan gejala
kriteria hasil: infeksi
Keparahan Infeksi (0703) 2. Ikutin tindakan
Tujuan pencegahan neutropenia
No Indikator Awal yang sesuai
1 2 3 4 5 3. Monitor ketahanan
terhadap infeksi
1 Nyeri 4. Pertahankan aseptik untuk
2 Kemerahan
pasien berisiko
5. Tinjau riwayat
3. Demam dilakukannya perjalanan
internasinal dan global
Keterangan: 1. tidak pernah menunjukkan

3 Defisit Perawatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 Bantuan perawatan diri : mandi
Diri jam,diharpakan kebutuhan perawatan diri terpenuhi (1801)
dengan kriteria hasil:
Perawatan diri: Mandi (0301) 1. Pertimbangkan usia pasien
ketika mempromosikan
aktivitas perawatan diri

18
Tujuan 2. Tentukan jumlah dan tipe
No Indikator Awal terkait dengan bantuan
1 2 3 4 5 yang diperlukan
3. Fasilitasi pasien untuk
1 Masuk dan keluar
dari kamar mandi
mandi sendiri dengan tepat
4. Letakan handuk, sabun,
2 Mendapatkan air deodoran, alat bercukur
mandi
atau aksesoris yang
3. Membersihkan diperlukan disisi tempat
area perinium tidur atau dikamar mandi
5. Dukung orang tua atau
Keterangan: 1. tidak pernah menunjukkan keluarga berpartisipasi
dalam ritual menjelang
tidur yang biasa dilakukan
dengan tepat

19
DAFTAR PUSTAKA
Arifuddin, Adhar. Dkk. 2017. Faktor Resiko Kejadian Apendisitis di Bagian Rawat
Inap Rumah Sakit Umum Anuta Palu. Jurnal Preventif. Volume 8 Nomor
1, April 2017 : 1- 58.
Bougman, Diane C. Hackley, JoAnn C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku
Saku dari Brunne&Suddarth. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Bulechek, et al. 2018. Nursing Interventions Classification (NIC), Edisi Keenam
Bahasa Indonesia. Oxford: Elsevier.
Mansjoer , Arifef. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. edisi 4, Jakarta : Media
Aesculapius.
Moorhead, S. 2013. Nursing Outcome Classification (NOC). Edisi 5. United
Kingdom: Elsevier.
NANDA. 2018. Diagnosa Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2018-2020, Edisi
10. Jakarta: EGC.
Pieter, J. 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum . Dalam: Buku
Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 646-
47.
Rukmono, 2011. Bagian Patologik Anatomik, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Windy, C.S. Sabir, M. 2016. Perbandingan Antara Suhu Tubuh, Kadar Leukosit,
Dan Platelet Distribution Width (Pdw) Pada Apendisitis Akut Dan
Apendisitis Perforasi Di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu Tahun 2014.
Jurnal Kesehatan Tadulako. Vol. 2 No. 2, Juli 2016 : 1-72.

20

Anda mungkin juga menyukai