LAPORAN PENDAHULUAN
Oleh:
NIM 182311101137
Laporan Pendahuluan Pada Pasien Tetanus Di Ruang Melati Rumah Sakit Daerah
Dr. Soebandi Jember
telah disetujui dan disahkan pada :
Hari, Tanggal : , Maret 2019
Tempat : Ruang Melati
Mahasiswa
1. Otak
Otak manusia kira-kira merupakan 2% dari berat badan orang dewasa (sekitar 3 lbs). Otak
menerima 20% dari curah jantung dan memerlukan sekitar 20% pemakaian oksigen tubuh dan
sekitar 400 kilo kalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang paling banyak
memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme
oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan dan kebutuhan akan oksigen dan glukosa melalui
aliran darah adalah konstan. Metabolisme otak merupakan proses tetap dan kontinue, tanpa ada
masa istirahat. Bila aliran darah berhenti selama 10 detik saja, maka kesadaran mungkin sudah
akan hilang dan penghentian dalam beberapa menit saja dapat menimbulkan kerusakan
irreversibel. Otak terdiri dari empat bagian besar yaitu serebrum (otak besar), serebelum (otak
kecil), brainsterm (batang otak) dan diensefalon (Price, 1995).
Serebrum merupakan letak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik dan
motorik, juga mengatur proses penalaran, ingatan, dan intelegensi. Serebrum terdiri dari dua
hemisfer, korteks serebri dan korpus kalosum. Hemisfer serebri merupakan bagian yang terbesar
dari otk. Masing-masing terdiri atas korteks, suatu selaput bagian luar dari sel-sel saraf, tersusun
dalam lapisan; dengan ketebalan sekitar 2 mm dan mengandung sekitar 70% dari semua neuron
dalam system persarafan. (Price, 1995) Sereblum adalah bagian terbesar dari otak belakang.
Fungsi Sereblum adalah untuk mengatur sikap badan. Sereblum berperan penting dalam
koordinasi otot dan menjaga keseimbangan. Bila serabut kortiko-spinal yang melintas dari
korteks serebri ke sumsum tulang belakang mengalami penyilangan dan dengan demikian
mengendalikan gerakan sisi yang lain dari tubuh, maka hemisfer serebri mengendalikan tonus
otot dan sikap pada sisinya sendiri. (Price, 1995)
Brainstrem terdiri dari otak tengah (diensefalon), pons varoli, dan medula oblongata. (Pearce,
2002). Otak tengah merupakan bagian atas batang otak. Aqueduktus serebri yang
menghubungkan ventrikel ketiga dan keempat melintasi otak tengah ini. (Pearce, 2002)
Talamus, berkenaan dengan penerimaan impuls sensorik yang dapat di tafsirkan pada tingkat
subkortikal atau di salurkan pada daerah sensorik kortex otak dengan tujuan mengadakan
kegiatan penting mengatur perasaan dan gerakan pada pusat-pusat tertinggi. (Pearce, 2002)
Medulla oblongata adalah sehelai jaringan saraf yang sempit bersambungan dengan pons di
sebelah atas dan medulla spinalis disebelah bawah. Medulla oblongata sebagian besar terdiri dari
saraf. Medulla oblongata mengandung sel-sel pusat jantung dan pusat pernapasan tempat jantung
dan paru-paru dikendalikan. Medulla oblongata mengandung nucleus atau badan sel dari
berbagai saraf otak yang penting. Selain itu medulla mengandung “pusat-pusat vital” yang
berfungsi mengendalikan pernapasan dan system kardiovaskular. Oleh karena itu, suatu cedera
yang terjadi pada bagian ini dalam batang otak, dapat membawa akibat yang sangat serius.
(Price, 1995)
b. Nervus Cranialis
1) Nervus olvaktorius
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi , membawa rangsangan aroma (bau-
bauan) dari rongga hidung ke otak
2) Nervus optikus
Mensarafi bola mata , membawa rangsangan penglihatan ke otak.
3) Nervus Okulomotoris
Saraf ini bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital(otot penggerak bola mata). Didalam
saraf ini terkandung serabutserabut saraf otonom (para simpatis).saraf penggerak mata keluar
dari sebelah tangkai otak dan menuju ke lekuk mata yang berfungsi mengangkat kelopak mata
atas, selain itu mensarafi otot miring atas mata dan otot lurus sisi mata.
4) Nervus troklearis
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital.saraf pemutar mata yang pusatnya terletak
dibelakang pusat saraf penggerak mata.
5) Nervus trigeminus Bersifat majemuk (sensoris motoris), saraf ini mempunyai tiga buah
cabang. Fungsinya saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu:
a) Nervus oltamikus; sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan kelopak mata atas
,selaput lendir kelopak mata,dan bola mata.
b) Nervus maksilaris; sifatnya sensoris mensarafi gigi-gigi atas,bibir atas, palatum, batang
hidung,rongga hidung, dan sinus maksilaris.
c) Nervus mandibularis; sifatnya majemuk(sensori dan motoris). Mensarafi otot-otot
pengunyah.serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal, dan dagu.
6) Nervus abdusen
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf penggoyang sisi mata.
7) Nervus fasialis
Sifatnya majemuk(sensori dan motoris), serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-otot lidah
dan selaput lendir rongga mulut. Di dalamn saraf ini terdapat serabut-serabut saraf otonom
(parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala. Fungsinya sebagai mimic wajah dan menghantarkan
rasa pengecap.
8) Nervus auditoris
Sifatny sensoris, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari pendengaran dan dari
telinga ke otak. Fungsanya sebagai saraf pendengar.
9) Nervus glosofaringeus
Sifatnya majemuk(sensoris dan motoris),mensarafi faring,tonsil, dan lidah. Saraf ini dapat
membawa rangsangan cita rasa ke otak.
2. Meningen
Pearce (2008) mengatakan bahwa otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningen
yang melindungi struktur saraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi sejenis cairan,
yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan. Selaput meningen
menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:
a) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid
di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater
dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis
tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Hematoma
subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
1) sakit kepala yang menetap
2) rasa mengantuk yang hilang-timbul
3) linglung
4) perubahan ingatan
5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium ruang
epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa media fosa temporalis.
b) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid
terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput
ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater
oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membran vaskular
yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam.
Membran ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang
masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
b. Definisi Tetanus
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium tetani,
dimanisfestasikan dengan kejang otot secara paroksimal dan diikuti dengan kekakuan otot
seluruh badan. Kekuatan tonus otot ini tampak pada otot maseter dan otot-otot rangka (Batticaca,
2008). Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus ini
biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospasmin
merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh clostridum tetani. Tetanus disebut juga sebagai
seven day disease. Pada tahun 1890 diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal
dengan tetanospasmin yang diisolasi dari tanag anaerob yang mengandung bakteri. Imunisasi
dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus. Spora clostridium
tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh larena terpotong, tertusuk
ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (tetanus neonatorum).
c. Epidemiologi Tetanus
Pada negara berkembang, penyakit tetanus masih merupakan masalah kesehatan publik yang
sangat besar. Dilaporkan terdapat 1 juta kasus pertahun diseluruh dunia, dengan angka kejadian
18/100.000 penduduk per tahun serta angka kematian 300.000-500.000 per tahun. Penyebab
kematian pasien tetanus terbanyak adalah masalah semakin buruknya sistem kardiovaskuler
paska uterus (40%), pneumonia (15%), dan kegagalan pernafasan akut (45%).
d. Klasifikasi Tetanus
Klasifikasi tetanus berdasarkan bentuk klinisnya yaitu sebagai berikut
1. Tetanus lokal : biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan
spasme pada bagian proksimal luar. Gejala itu dapat menetap dalam beberapa minggu
dan menghilang.
2. Tetanus sefalik : varian tetanus lokal yang jarang terjadi. Masa inkubasi 1-2 hari terjadi
sesudah otitis media atau luka kepala dan muka. Paling menonjol adalah disfungsi saraf
III, IV, VII, IX dan XI tersering saraf otak VII diikuti tetanus umum.
3. Tetanus general: yang merupakan bentuk paling sering. Spasme otot, kaku kuduknyeri
tenggorokan, kesulitan membuka mulut, rahang terkunci (trismus), disfagia. Timbul
kejang menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ektremitas bagian bawah. Pada mulanya,
spasme berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit dan terpisah oleh periode
relaksasi
4. Tetanus neonatorum : biasanya terjadi dalam bentuk general dan fatal apabila tidak
ditanggani, terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak imunisasi secara
adekuat, sulit menelan ASI, iritabilitas, spasme.
Klasifikasi beratnya tetanus oleh albert adalah sebagai berikut :
1. Derajat I (ringan): trismus (kekakuan otot mengunyah) ringan sampai sedang, spasitas
general, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia
2. Derajat II (sedang): trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan
sampai sedang, gangguan pernafasan sedang RR ≥ 30 x/menit, disfagia ringan
3. Derajat III (berat): trismus berat, spastisitas generarisata, spasme reflek berkepanjangan,
RR ≥ 40x/menit, serangan apnea, disfagia berat, takikardia ≥ 120.
4. Derajat IV (sangat berat): derajat tiga dengan otomik berat melibatkan sistem
kardiovaskuler. Hipotensi berat dan takikardia terjadi perselingan dengan hipotensi dan
bradikardia, salah satunya dapat menetap.
e. Etiologi Tetanus
Clostridium tetani merupakan basil berbentuk batang yang bersifat anaerob, membentuk spora
(tahan panas), gram-positif, mengeluarkan eksotoksin yang bersifat neurotoksin (yang efeknya
mengurangi aktivitas kendali SSP), patogenesis bersimbiosis dengan mikroorganisme
(pyogenic).
Basil ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda, dan tanah yang dipupuk kotoran
kuda. Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka tusuk, luka dengan jaringan mati
(corpus alineum) karena merupakan kondisi yang baik untuk proliferasi kuman anaerob. Luka
dengan infeksi piogenik dimana bakteri piogenik mengkonsumsi eksogen pada luka sehingga
suasana menjadi anaerob yang penting bagi tumbuhnya basil tetanus (Batticaca, 2008).
g. Patofisiologi Tetanus
Clostiridium tetani dalam bentuk spora masuk ketubuh melalui luka yang terkontaminasi
dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora ini melalui luka yang
terkontaminasi antara lain luka tusuk oleh besi, luka bakar, luka lecet, otitis nedia, infeksi gigi,
ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang-kadang luka tersebut hampir tak terlihat.
Bila keadaan menguntungkan dimana tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai anaerob
disertai terdapatnyan jaringan nekrosis, leukosit yang mati, benda-benda asing maka spora
berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel
kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin, tidak
berhubungan dengan pathogenesis penyakit. Tetanospasmin, atau secara umum disebut toksin
tetanus, adalah neurotoksin yang mengakibatkan manisfestasi dari penyakit tersebut.
Tetanospasmin masuk ke susunan saraf pusat melalui otot dimana terdapat suasana anaerobik
yang memungkinkan clostridium tetani untuk hidup dan memproduksi toksin. Lalu setelah
masuk ke susunan saraf perifer, toksin akan ditransportasikan secara retrograde menuju saraf
presinaptik dimana toksin tersebut bekerja.
Toksin tersebut akan menghambat pelepasan neurotransmitter inhibisi dan secara efektif
menghambat inhibisi sinyal interneuron. Tetapi khususnya toksin tersebut menghambat
pengeluaran Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang spesifik meninhibisi neuron motorik.
Hal tersebut akan mengakibatkan aktivitas tidak teregulasi dari sistem saraf motorik.
Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat, sehingga
terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardia, keringat yang berlebihan
dan meningkatnya katekolamin dalam urin. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi
kardiovaskuler. Tetanospamin yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi
oleh antitoksin tetanus.
h. Komplikasi Tetanus
Komplikasi pada tetanus yang sering dijumpai: laring spasm, kekakuan otot-otot pernafasan
atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia dan atelektase serta kompresi fraktur
vertebrata dan laserasi lidah akibat kejang. Selain itu bisa terjadi rhabdomylisis dan renal failure
j. Penatalaksanaan Tetanus
1. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisir peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut
adalah sebagai berikut :
a). Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya berupa :
membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang
benda asing dalam luka serta kompres dengan H202, dalam hal ini penataksanaan, terhadap
luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah ATS dan pemberian antibiotika. Sekitar luka disuntik
ATS
b). Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut
dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
c). Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
d). Oksigen, pernafasan buatan dan trakeostomi bila perlu
e). Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit
2. Obat-obatan
a) antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus
pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM
diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan
preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2
gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat
digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk
toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad
spektrum dapat dilakukan
b). Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-
6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena
TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan
tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara
pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1
fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu
30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada
sebelah luar
c).Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian
dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
tetanus selesai. Berikut ini, petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka
d). Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik yang hebat,
muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan
sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.
Jenis obat Dosis Efek samping
Diazepam 0,5-1 mg/kg berat badan/ 4 Stupor, koma
jam (IM)
Meprobamat 300-400 mg/ 4 jam (IM) Tidak ada
Klorpromasin 25-75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi
Fenobarbital 50-100 mg/ 4 jam (IM) Depresi pernafasan
k. Clinical Pathway Tetanus
Invasi kuman atau Spora berbentuk vegetatif
bakteri melalui luka masuk kedalam tubuh
Resiko aspirasi
l. Konsep Asuhan Keperawatan Tetanus
D.1. Pengkajian
a. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan keluarga membawa klien untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat
kesadaran.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting di ketahui karena untuk mengetahui predisposisi
penyebab sumber luka. Disini harus di tanya dengan jelas tentang gejala yang timbul
seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Keluhan kejang perlu
mendapat perhatian untuk di lakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat
timbulnya kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang
telah di berikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran di hubungkan dengan toksin
tetanus yang mengimplamasi jaringan otak. Keluhan perubahan perilaku juga umum
terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsip, dan koma.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah di alami klien yang memungkinkan adanya hubungan
atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernah kah klien mengalami tubuh
terluka dan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkenaa kaleng,
atau luka yang menjadi kotor; karena terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau
kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran juga luka bakar dan patah tulang
terbuka. Adakah porte d’entree lainnya seperti luka gores yang ringan kemudian menjadi
bernanah dan gigi berlubang di koreng dengan benda yang kotor.
d. Pemeriksaan Fisik Body System
1) B1 (Breath)
Inspeksi :klien batuk, produksi sputum bagaimana, pengembangan dada simetris,
penggunaan otot bantu pernafasan (+), pernafasan cuping hidung (-), irama nafas cepat
(takipnea), RR di atas batas normal (>16-20x/menit). Klien dengan tetanus akan
mengalami peningkatan RR akibat suplai O2 ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan
tubuh tidak adekuat, sehingga klien akan melakukan upaya kompensasi dengan
meningkatkan frekuensi pernafasan untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.
Palpasi:tidak teraba massa atau benjolah di daerah dada, vocal fremitus teraba jelas di
lapang paru kanan-kiri
Perkusi:sonor di seluruh lapang paru: ICS ke-1 hingga ICS ke-6 di seluruh lobus paru
Auskultasi: Ada bunyi nafas tambahan ronchi di akhir pernapasan sebagai komplikasi
dari tetanus akibat kemampuan batuk klien menurun
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan syok hipovelemik yang sering terjadi
pada klien tetanus. TD biasnya normal, peningkatan heart rate, adanya anemis karena
adanya hancurnya eritrosit.
3) B3 (Brain)
a) Kesadaran klien biasanya kompos mentis. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien tetanus
mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah
mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan
bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan.
b) Status mental: obsevasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien dan
observasi ekspresi wajah dan aktifitas motorik yang pada klien tetanus tahap lanjut biasanya
status mental klien mengalami perubahan.
c) Pemeriksaan saraf kranial
- Saraf I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada
kelainan.
- Saraf II. Tes ketajaman pengelihatan pada kondisi normal
- Saraf III,IV,VI. Dengan alasan yang tidak di ketahui, klien tetanus mengeluh mengalami
fotophobia atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya. Respons kejang umum akibat stimulus
rangsang cahaya perlu di perhatikan perawat untuk memberikan intervensi menurunkan stimulus
cahaya tersebut.
- Saraf V. Refleks masester menigkat. Mulut mencucu seperti mulut ikan (ini adalah gejala
khas pada tetanus).
- Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
- Saraf VIII. Tidak di temukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
- Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut (trismus).
- Saraf XI. Di dapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)
- Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada pasikulasi. Indra
pengecapan normal.
d) Kekuatan otot
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan kordinasi pada tetanus tahap lanjut
mengalami perubahan.
e) Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflek dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periusteum derajat
reflek pada respon normal.
Pemeriksaan refleks
1) Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat
refleks pada respons normal.
2) Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh akan
menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan
refleks patologis.
no. nama reflek gambar penilaian
1. babinski positif apabila
dorsofleksi jari
besar dan
pengembangan
jari-jari yang lebih
kecil.
f) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, Tic dan distonia. Pada keadaan tertentu klien mengalami kejang
umum, terutama pada anak yang tetanus disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang
berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
g) Sistem sensori
Pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya di dapatkan perasaan raba normal, perasaan nyeri
normal. Perasaan suhu normal. Tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh. Perasaan
proprioseftif normal dan perasaan diskriminatif normal.
4) B4 (Bladder)
Penurunan volume haluaran urin berhubungan dengan penurunan perpusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal. Adanya retensi urin karena kejang umum. Pada klien yang sering kejang
sebaiknya pengeluaran urine dengan menggunakan kateter.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutrisi pada klien tetanus menurun karena anoreksia dan adanya kejang, kaku dinding perut
(perut papan) merupakan tanda khas dari tetanus. Adanya spasme otot menyebabkan kesulitan
BAB.
6) B6 (Bone)
Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan aktivitas sehari-
hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami patah tulang terbuka yang memungkinkan menjadi
port de entrée kuman Clostridium tetani, sehingga memerlukan perawatan luka yang optimal.
Adanya kejang memberikan resiko raktur pertibra pada bayi, ketegangan, dan spasme otot pada
abdomen.
D.2. Masalah Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat
peningkatan sekresi mukus
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
3. Nyeri akut behubungan dengan agen cidera biologis
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai oksigen ke perifer
inadekuat
5. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
inadekuat
6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan
kebutuhan
7. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
8. Risiko cidera berhubungan dengan penurunan kesadaran
9. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan spasme otot rahang
10. Risiko infeksi berhubungan dengan proses penyakit
No Rasional
Masalah Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
.
1 Ketidakefektifan bersihan jalan NOC : 1. Kaji fungsi paru, adanya 1. Membantu dan mengatasi
nafas berhubungan dengan Respiration status (Ventilation) bunyi napas tambahan, komplikasi pontensial.
obstruksi jalan nafas akibat Airway patency perubahan irama dan Pengkajian fungsi
peningkatan produksi mukus kedalaman, penggunaan pernapasan dengan interval
Setelah dilakukan asuhan otot-otot aksesori, warna, yang teratur adalah penting
keperawatan selama ....x24 jam, dan kekentalan sputum karena pernapasan yang
bersihan jalan napas kembali
tidak efektif dan adanya
efektif 2. Ajarkan cara batuk efektif
kegagalan , karena adanya
Kriteria hasil:
1) secara subjektif sesak napas 3. Lakukan fisioterapi dada, kelemahan atau paralisa
(-), RR 16-20x/ menit vibrasi dada pada otot –otot interkostal
2) Tidak menggunakan otot dan diafragma yang
4. Penuhi hidrasi cairan via berkembang dengan cepat
bantu napas, retraksi
oral seperti minum air 2. Klien berada pada risiko
ICS(-), ronkhi(-/-),
putih dan pertahankan tinggi bila tidak dapat batuk
mengi(-/)
intake cairan 2500 ml/hari efektif untuk membersihkan
3) Dapat mendemonstrasikan
cara batuk efektif. 5. Lakukan pengisapan jalan napas dan mengalami
lendir/suction pada jalan kesulitan dalam menelan,
napas yang dapat menyebabkan
aspirasi saliva, dan
6. Berikan oksigen sesuai mencetuskan gagal napas
kebutuhan akut
3. Terapi fisik dada membantu
meningkatkan batuk lebih
efektif
4. Pemenuhan cairan dapat
mengencerkan mucus yang
kental dan dapat membantu
pemenuhan cairan yang
banyak keluar dari tubuh
5. Pengisapan mungkin
diperlukan untuk
mempertahankan
kepateanan jalan napas
menjadi bersihn napas
6. Pemenuhan oksigen
terutama pada klien tetanus
dengan laju metabolism
yang tinggi
2 Ketidakefektifan pola nafas NOC: NIC:
berhubungan dengan Status pernafasan (0415) Airway Management Airway Management
hiperventilasi Status Pernafasan: ventilasi a. Kaji kepatenan jalan nafas a. Mengidentifikasi apakah
(0403) pasien terdapat obstruksi akibat
adanya sekret pada jalan
Setelah dilakukan tidakan nafas pasien, menjadi
keperawatan selama 1x24 jam, pedoman dalam menentukan
pola nafas kembali efektif intervensi
Kriteria hasil: b. Auskultasi suara nafas,
a. RR dalam batas normal (15- catat adanya suara b. Obstruksi secret pada
20x/menit tambahan bronkus akibat peningkatan
produksi mucus sehingga
b. Irama nafas normal
c. Posisikan pasien untuk menimbulkan suara ronkhi
c. Tidak ada tanda sianosis memaksimalkan ventilasi
c. Posisi pasien yang tepat
d. Pengembangan dada simetris akan membantu udara yang
d. Monitor respirasi dan keluar masuk paru-paru
status O2 berjalan optimal
d. Obstruksi pada bronkus
dapat menyebabkan
penurunan intake O2 saat
e. Anjurkan klien untuk
inspirasi sehingga tubuh
minum air hangat
mengalami kekurangan O2
f. Kolaborasi dalam e. Air hangat mampu
pemberian obat membantu pengenceran
bronkodilator dan secret
mukolitik
f. Obat bronkodilator
membantu melebarkan jalan
Terapi oksigen (3320) nafas pasien, dan mukolitik
a. Pertahankan kepatenan dapat membantu
jalan nafas pengenceran sekret
Setelah dilakukan tindakan b. Monitoring warna kulit dan b.Mengetahui sejauh mana
keperawatan 2 x 24 jam, suhu suhu tingkat peningkatan suhu dan
tubuh klien dapat kembali gambaran secara fisiologis
normal dengan kriteria hasil: pengaruh dari peningkatan
a. Klien melaporkan suhu terhadap kondisi klien
kenyamanan suhu
c. Mengkaji kebutuhan cairan
b. Penurunan suhu ke batas c. Monitoring intake-output dan kehilangan cairan klien
normal cairan akibat adanya peningkatan
suhu
c. Perubahan denyut nadi ke
batas normal d.Membantu memenuhi
d. Dorong klien untuk
kebutuhan cairan tubuh yang
d. Status kesadaran meningkat peningkatan konsumsi
hilang akibat peningkatan
cairan
e. Turgor kulit dalam batas evaporasi
normal
e. Meminimalkan risiko
e. Pantau kondisi pasien
f. Membran mukosa lembab terjadinya kejang demam
untuk menghindari
berulang
komplikasi dari demam
f. Menurunkan suhu tubuh klien
f. Kolaborasi dengan tim
hingga ke batas normal.
medis terkait pemberian
obat antipiretik
Batticaca Fransisca, C. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Bulechek G.M., Butcher H.K., Dochterman J.M., Wagner C. 2013. Nursing Interventions
Classifications (NIC). 6th edition. Mosby: Elsevier Inc.
Gleadle, J. 2007. At a Glance: Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Herdman, T. H. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.
Capernito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Arif, Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta. Medica Aesculpalus,
FKUI.
Moorhead S., Johnson M., Maas M.L., Swanson E. 2013. Nursing Outcomes Classifications
(NOC): Measurement of Health Outcomes. 5th edition. Mosby: Elsevier Inc.
Price & Wilson. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Smeltzer, S. Bare, B. Hinkle, J. & Cheever, K. 2010. Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical
Surgical Nursing. 11th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Sukandar, E., 2006. Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah (PII)
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.
Waugh, A., Grant A. 2014. Ross and Wilson Anatomy & Physiology in Health and Illness. 12th
edition. Churchill Livingstone: Elseiver (China) Ltd