Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA TN. K DENGAN PERIAPENDIKULAR INFILTRAT


DI RUANG IGD RSI MASYITHOH BANGIL

Oleh:
Sa’diatul Istianah
NIM : P17221174049

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Tn. K dengan “PeriApendikular Infiltrat”
di ruang IGD RSI MASYITHOH Bangil

Nama Mahasiswa : Sa’diatul Istianah

NIM : P17221174049

Telah disetujui pada :

Hari :

Tanggal :

Telah diperiksa dan disetujui :

Bangil, … Maret 2021

Pembimbing Klinik Pembimbing Institusi

Mengetahui,

Kepala Ruangan
Laporan Pendahuluan

PeriApendikular Infiltrat

A. Definisi
1. Pengertian
Periapendikular Infiltrat merupakan suatu keadaan menutupnya apendiks dengan
omentum, usus halus, atau adeneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler (De Jong,
2004). Periapendisistis infiltrat adalah suatu peradangan yang disertai adanya pembesaran
pada apendiks periformis yang merupakan asaserbasi dari proses peradangan akut, yang
belum tertangani secara adekuat (De Jong, 2004).
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga membentuk
massa (appendical mass). Umumnya massa apendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak
peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa apendiks lebih sering
dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah
berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk
membungkus proses radang (De Jong, 2004).
2. Anatomi
Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun
demikian, pada bayi, appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden
appendisitis pada usia tersebut (Sjamsuhidajat et.al, 2010). Appendiks vermiformis
terletak di regio iliaca dextra, dan ujungnya diproyeksikan ke dinding anterior abdomen
pada titik sepertiga bawah garis yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dan
umbilicus/ titik McBurney (Snell, 2006). Hubungan antara dasar apendiks dan caecum
tetap konstan tetapi ujung appendiks dapat di temukan retrocaecal, pelvic, subcecal,
preileal, atau kanan pericolica (Brunicardi et.al, 2010).
Gambar variasi posisi anatomi appendiks
Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoappendiks penggantungnya. Oleh karenanya, gejala klinis appendisitis ditentukan
oleh letak appendiks (Sjamsuhidajat et.al, 2010). Arteria appendicularis merupakan
cabang arteri ileocaecalis (cabang a.mesenterica superior). Arteri appendikularis
merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis
pada infeksi maka appendiks akan mengalami gangren.. Aliran darah balik yaitu melalui
vena appendikularis mengalirkan darahnya ke vena ileocaecal, kemudian menuju vena
mesenterika superior dan masuk ke sirkulasi portal (Snell, 2006).
Cabang-cabang saraf simpatis (nervus thoracalis X) dan parasimpatis (nervus
vagus) dari plexus mesentericus superior. Serabut saraf aferen yang menghantarkan rasa
nyeri visceral dari appendiks vermiformis berjalan bersama saraf simpatis dan masuk ke
medulla spinalis setinggi vertebra thoraxica X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada
appendisitis bermula di sekitar umbilikus (Snell, 2006).
3. Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di
muara apendiks berperan dalam patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang
dihasilkan oleh GALT ( gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di saluran cerna,
termasuk apendiks ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem
imun tubuh karena jumlah jaringan limfoid disini kecil sekali jika dibandingkan denan
jumlah nya disaluran cerna dan diseluruh tubuh (Sjamsuhidajat et.al, 2010).
B. Patofisiologi
1. Etiologi
Massa apendiks terbentuk di awali oleh adanya apendisitis akut. Apendisitis akut
merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan
lumen apendiks merupakan faktor yang di ajukan sebagai faktor penceus. Disamping
hiperplasia jaringan limfoid, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris. Penyebab lain
yang di juga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks akibat parasit
seperti E. Histolytica (Sjamsuhidajat et.al, 2010).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap imbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon (Sjamsuhidajat et.al, 2010).
2. Gejala dan Tanda
Menurut Itskowiz, appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan apendisitis akut
yang kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis akut
biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan
dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri beralih ke kuadran kanan, yang akan menetap dan
di perberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise dan demam
yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi adang kadang terjadi
diare, mual dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan
abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan
semakin progresif. Selain itu, tanda gejalanya antara lain:
a. Adanya keluhan appendiksitis akut meliputi: Kurang enak ulu hati/ daerah pusat,
mungkin kolik, nyeri tekan kanan bawah (rangsaganan automik) nyeri sentral pindah
ke kanan bawah, mual dan muntah, rangsangan peritoneum lokal (somatik), nyeri
pada gerak aktif dan pasif, defans muskuler, takikardia, mulai toksik, leukositosis,
demam tinggi, dehidrasi, syok, toksik, massa perut kanan bawah, jika berhasil
membentuk perdindingan keadaan umum berangsur membaik, demam remiten, massa
mulai mengecil bahkan menghilang.
b. Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal
sampai 1C. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering
terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Appendisitis infiltrat atau adanya
abses apendikuler terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah.
c. Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai
nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut
kiri bawah akan dirawakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing.
Pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan
adanya rasa nyeri.
d. Jika sudah terbentuk abses yaitu bila ada omentum atau usus lain yang dengan cepat
membendung daerah apendiks maka selain ada nyeri pada fossa iliaka kanan selama
3-4 hari (waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan abses) juga pada palpasi akan
teraba massa yang fixed dengan nyeri tekan dan tepi atas massa dapat diraba. Jika
apendiks intrapelvinal maka massa dapat diraba pada RT(Rectal Touche) sebagai
massa yang hangat.
e. Peristalsis usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus paralitik pada
peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur
menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya
pada apendisitis pelvika.
Penegakan diagnosis periapendikular infiltrate dapat didukung dengan data berdasarkan
pengukuran Alvarado score, yaitu
Tabel Alvarado Score

The Modified Alvarado Score Skor


Gejala Perpindahan nyeri dari ulu hati ke perut 1
kanan bawah
Mual-muntah 1
Anoreksia 1
Tanda Nyeri di perut kanan bawah 2
Nyeri lepas 1
Demam diatas 37,5°C 1
Pemeriksaan Lab Leukositosis 2
Hitung jenis leukosit shift to the left 1
Total Interpretasi dari Modified 10
Alvarado Score:
a. 0-4 : kemungkinan Appendisitis
kecil
b. 5-6 : bukan diagnosis
Appendisitis
c. 7-8 : kemungkinan besar
Appendisitis
d. 9-10 : hampir pasti menderita
Appendisitis
3. Pathway
Peradangan awal

Apendisitis mukosa dan dinding apendiks

Mekanisme pertahanan dengan membatasi proses radang yaitu menutup apendiks dengan
omentum, usus halus atau adeneksa

Massa periapendiks infiltrate

Meradang Tidak abses Abses

Terbentuk jaringan Massa apendiks Perforasi


Parut tenang dan Mengurai
diri Secara lambat Demam remiten
Toksik syok
Perlengketan dengan
Jaringan sekitarnya

Meradang akut
(akseserbasi)

Hipertermi
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium, pada darah lengkap didapatkan leukosit ringan
umumnya pada apendisitis sederhana. Lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada apendisitis
perforasi. Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis
leukosit terdapat pergeseran kekiri.
Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit
lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika.
Pemeriksaan Radiologi, foto polos abdomen dikerjakan apabila hasil anamnesa
atau pemeriksaan fisik meragukan. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah.
Gambaran perselubungan mungkin terlihat ”ileal atau caecal ileus” (gambaran garis
permukaan air-udara disekum atau ileum). Patognomonik bila terlihat gambar fekalit.
Pada CT Scan khususnya apendiceal CT, lebih akurat dibanding USG. Selain
dapat mengidentifikasi apendiks yang mengalami inflamasi (diameter lebih dari 6 mm)
juga dapat melihat adanya perubahan akibat inflamasi pada periapendik.
Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya karsinoma colon.5 Tetapi untuk apendisitis
akut pemeriksaan barium enema merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan
rupture apendiks (Snell, 2006).
D. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan
pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil
diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Pada periapendikuler infiltrat
dilarang keras membuka perut, Tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan
perdarahan lebih banyak, terlebih jika masa apendik telah terbentuk lebih dari satu
minggu sejak serangan awal. Terapi konservatif meliputi :
a. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
b. Diet lunak bubur saring.
c. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu
kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja
dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada
keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaanjasmani dan laboratorium tidak
menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalakan
tindakan bedah.
d. Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48
jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus
dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda
(demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan
terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa
harus segera dibuka dan didrainase.
2. Operatif
a. Massa periapendikular yang masih bebas.
b. Bila sudah tidak demam, masa periapendikuler hilang dan leukosit normal.
c. Masa apendik dengan proses radang yang masih aktif.
d. Pembedahan dilakukan segera jika dalam perawatan terjadi abses baik dengan
ataupun tanpa peritonitis umum.
3. Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang:
a. LED
b. Jumlah leukosit
c. Massa
4. Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila:
a. Anamesa: penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen
b. Pemeriksaan fisik:
- Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur rectal
dan aksiler).
- Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat.
- Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih kecil
dibanding semula.
c. Laboratorium: LED kurang dari 20, Leukosit normal.
5. Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat:
a. Bila LED telah menurun kurang dari 40.
b. Tidak didapatkan leukositosis.
c. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak mengecil
lagi.
6. Bila LED tetap tinggi, maka perlu diperiksa:
a. Apakah penderita sudah bed rest total.
b. Pemberian makanan penderita
c. Pemakaian antibiotik penderita.
7. Kemungkinan adanya sebab lain:
a. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada perbaikan,
operasi tetap dilakukan.
b. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi
adalah drainase.
E. Pencegahan
Pencegahan pada apendisitis infiltrat yaitu dengan menurunkan resiko obstruksi atau
peradangan pada lumen apendik atau dengan penanganan secara tuntas pada penderita
apendisitis akut. Pola eliminasi klien harus dikaji, sebab obstruksi oleh fecalit dapat
terjadi karena tidak adekuatnya diit serat, diit tinggi serat. Perawatan dan pengobatan
penyakit cacing juga meminimalkan resiko. Pengenalan yang cepat terhadap gejala dan
tanda apendisitis dan apendisitis infiltrat meminimalkan resiko terjadinya gangren,
perforasi, dan peritonitis.
F. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa
yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus. Perforasi dapat
menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata. Akibat lebih
jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya:
1. Pelvic Abscess
2. Subphrenic absess
3. Intra peritoneal abses lokal.
4. Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga
abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.
G. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Primary Survey
Airway
1) Biasanya pada pasien dengan PAI tidak terjadi obstruksi jalan nafas, obstruksi
jalan nafas bisa terjadi apabila pasien mengalami cedera.
2) Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
3) Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
- Head tilt Chin lift / jaw trust
- Oropharyngeal airway/ nasophariyngeal airway, laryngeal mask airway
- Lakukan intubasi jika terjadi sumbatan pada jalan nafas.
Breathing
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain (look,
listen, feel ) :
1) Biasanya pada pasien dengan PAI breathing normal.
2) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai
berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan
penggunaan otot bantu pernafasan.
3) Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
4) Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
Circulation
Pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
1) Gelisah
2) Pusing
3) Takikardi
4) Mual muntah
5) Lakukan treatment terhadap hipoperfusi (pasang IV line)
Disability
A : Alert, (sadar). Pada kondisi PAI pasien tidak mengalami penurunan kesadaran.
V : Vocalises, mengeluarkan suara yang tidak bisa dimengerti. Pada kondisi PAI
pasien merespon dengan suara.
P : Responds to pain only ( harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon). Pada kondisi PAI
pasien memberikan reaksi terhadap rasa sakit.
U : unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun
stimulus verbal. Pada kondisi PAI pasien memberikan respon nyeri.
b. Secondary Survey
1) Exposure
Pada klien dengan PAI tidak ada tanda-tanda trauma dan oedem
2) Riwayat SAMPLE
S : Sympthom (tanda dan gejala). Tanda dan gejala PAI adalah Kurang enak ulu
hati/ daerah pusat, mungkin kolik, nyeri tekan kanan bawah (rangsaganan
automik) nyeri sentral pindah ke kanan bawah, mual dan muntah, rangsangan
peritoneum lokal (somatik), nyeri pada gerak aktif dan pasif, defans
muskuler, takikardia, mulai toksik, leukositosis, demam tinggi, dehidrasi,
syok, toksik, massa perut kanan bawah, jika berhasil membentuk
perdindingan keadaan umum berangsur membaik, demam remiten, massa
mulai mengecil bahkan menghilang.
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan
obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab syok (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama) ( Emergency Nursing Association,
2007 )
3) Catat adanya drainase dari mata dan hidung
4) Inspeksi lidah dan mukosa oral
5) Kaji mengenai mual muntah pada saluran GI
6) Kaji peristaltik saluran GI
7) Pemeriksaan diagnostic eosinofil.
8) Pemeriksaan fisik
 Abdomen
Kembung sering terlihat pada komplikasi perforasi, Penonjolan perut kanan
bawah bisa dilihat pada masaa atau abses periapendikuler, Tampak perut
kanan bawah tertinggal pada pernafasan. Nyeri yang terbatas pada regio iliaka
kanan, bisa disertai nyeri tekan lepas. Defans muscular menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietale.pekak hati menghilang jika terjadi perforasi
usus. Bunyi peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis
generalisata akibat apendisitis perforata.
 Rectal toucher
tonus musculus sfingter ani baik, ampula kolaps, nyeri tekan pada daerah jam
9 dan 12, terdapat massa yang menekan rectum (jika ada abses).
2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
a. Nyeri akut b/d inflamasi dan infeksi
b. Hipertermia b/d respon sistemik dan inflamasi gastro intestinal
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d factor biologis,
ketidakmampuan untuk mencerna makanan
d. Ansietas b/d proses pembedahan
e. Resiko ketidakefektifan perfusi gastrointestinal b/d proses infeksi, penurunan
sirkulasi darah ke gastrointestinal.
3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut b/d inflamasi dan infeksi
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan pada Tn.X selama … x 20 menit
diharapkan nyeri berkurang/ terkontrol
Kriteria hasil :
- Klien menyampaikan nyeri berkurang
- Klien mampu mengalihkan rasa nyeri
Intervensi :
1. Paint management
- Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, frekuensi,
kualitas, dan factor frekuensi.
- Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan.
- Pilih dan lakukan peragaan nyeri (farmakologi dan non farmakologi).
- Ajari teknik non farmakologi.
- Kolaborasi dengan dokter pemberian analgesic.
2. Analgesic administration
- Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi.
- Cek riwayat alergi.
- Evaluasi efektivitas analgesic tanda dan gejala.
DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi FC, Andersen DK, Biliar TR, et al. The Appendix. Shwartz’s Principles of Surgery.
9th Ed. USA: McGrawHill Companies. 2010.
De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.
Itskowiz MS, jones SM. Appendicitis. Emerg med 36 (10): 10-15. www.emergmed.com
Sjamsuhidajat R. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum: Apendiks Vermiformis. In:
Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Theddeus OHP, Rudiman Reno. Buku Ajar Ilmu
Bedah Sjamsuhidajat-deJong. 3rd ed. Jakarta:EGC, 2010.
Snell RS. Abdomen: Bagian II Cavitas Abdominalis. In: Sugiharto L, Hartanto H, Listiawati E,
Suyono YJ, Susilawati, Nisa TM, et al. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.
6th ed. Jakarta:EGC, 2006.
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN DI RUANG IRD
====================================================================
Tanggal Pengkajian : 17 Maret 2021
Pukul : 17.45 WIB

A.__PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Umur : 45 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Pasuruan
No. RM : 189xxx
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam

2. Keluhan utama : nyeri pada pergelangan tangan

3. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke UGD RSI Masyithoh pada pukul 10.09
WIB, pasien mengatakan diantar keluarga (ayah) dengan keluhan baru saja terkena
senapan angin saat bermain di rumah.

4. Riwayat Penyakit Dahulu :


Anemia
Diabetes Melitus
CVA
IMA
 Tidak ada

5. Usaha Pengobatan yang Telah Dilakukan (pre Hospital) :


Klien mengatakan belum ada pengobatan yang dilakukan, klien mengatakan langsung
diantar ke IGD RSI Masyithoh.

6. Alergi Obat : Tidak ada


7. Pengkajian ABCD :
A (Airway)
Sekret/Muntahan
Darah
B (Breathing)
Sianosis
Gurgling Penggunaan otot bantu pernafasan
Penetatring
Snoring injury Pergeseran trakea
Flail chest
Stridor Suara Abnormal dada
 Sucking
Normal chest wounds  Normal

C (Circulation) D (Disability) : GCS


Hipotensi E 4
V 5
Takikardia
M 6
Takipnea
Hipotermia
Pucat
Ekstremitas dingin
Penurunan Capilary Refill
Penurunan Produksi urin

8. AVPU :
Alert : Klien terjaga, responsive, dan mampu berkomunikasi dengan keluarga
dan petugas baik perawat atau dokter secara kooperatif.
Vocalises :
Responds to Pain only :
Unresposive to pain :
9. Data Fokus (pemeriksaan fisik)
Kepala : Bentuk kepala simetris, tidak ada jejas, tidak ada benjolan, tidak ada
nyeri tekan.
Leher : Bentuk simetris dan tidak ada benjolan kelenjar tyroid dan kelenjar limfe,
tidak ada jejas.
Thorak : Thorak kiri kanan simetris, tidak ada nyeri tekan,tidak ada jejas, tidak ada
suara nafas tambahan, dada kiri dan kanan mengembang sama/ seimbang.
Abdomen : Bentuk perut normal, tidak ada pembengkakan atau acites, tidak ada
jejas, dan nyeri tekan + nyeri lepas +.
Pelvis : Tidak ada benjolan upnormal, tidak ada nyeri tekan, dan tidak terdapat
jejas.
Ekstremitas : kekuatan tonus otot (+)

5 5

5 5
√ √
B. ASSESMENT (Masalah)
1. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik: trauma  
DS : Pasien mengatakan nyeri pada pergelangan tangan kanan
DO:
- K/U: baik
- TTV: TD: 102/65 mmHg, N : 108 x/menit, RR: 24 x/menit, S : 36,9 C
- Saturasi: 99%
- GCS: 4,5,6
- Kes : CM
- Klien meringis kesakitan
C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
1._Priotitas
ATS I ATS II ATS III ATS IV ATS V
RESUSITASI EMERGENCY URGENT NON FALSE
URGENT EMERGENCY
Segera 10 Menit 30 Menit 60 Menit 120 Menit
(1 Jam) (2 Jam)

2._Implementasi Keperawatan
Nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik: trauma
a. Melakukan BHSP
b. Melakukan observasi TTV
 TD : 102/65 mmHg
 Nadi : 108x/menit
 RR : 24x/menit
 Suhu Tubuh : 36,9C
c. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
 P : nyeri pada luka
 Q: Seperti ditusuk-tusuk
 R: pergelangan tangan (dalam)
 S: 6 (sedang)
 T: Terus menerus
d. Menganjurkan teknik nonframakologi seperti distraksi dan relaksasi
e. Membersihkan luka dan menghentikan perdarahan

3._Tindakan dan Terapi Medis


a. Pembersihan luka dengan tindakan antiseptic
b. Penghentian perdarahan

4._Pemeriksaan Penunjang
Foto Radiologi
D._EVALUASI
1. Airway : Jalan nafas spontan/ paten, tidak ada sumbatan jalan nafas, tidak terdapat
suara nafas tambahan.
2. Breathing : Nafas spontan, tidak menggunakan otot tambahan, frekuensi nafas
24x/menit, irama teratur, tidak terdapat sekret, dan tidak terdapat suara tambahan.
3. Circulation : Ekstremitas teraba hangat, nadi 108x/menit, tidak ada sianosis,irama
regular, cappilarry refill kembali dalam waktu <2 detik.
4. Disability : Klien Alert (sadar ,terjaga, responsive, berorientasi, dan cooperative baik
dengan keluarga maupun petugas).

S : Klien mengatakan nyeri pada pergelangan tangan


O:
-_K/U: baik
-_TTV: TD: 102/65 mmHg, N : 108 x/menit, RR: 24 x/menit, S : 36,9 C
-_Terpasang balutan pada pergelangan tangan kanan
-_Saturasi: 99%
-_GCS: 4,5,6
-_Kes : CM
-_Klien meringis kesakitan
A : Masalah teratasi sebagian
P : Intervensi dihentikan, klien mendapat rujukan

Tanda Tangan

(Sa’diatul Istianah)

Anda mungkin juga menyukai