Anda di halaman 1dari 26

II.

1 Patofisiologi Penyakit
1. Definisi Nyeri Kepala
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada daerah
kepala dengan batas bawah dari dagu sampai kedaerah belakang kepala (area
oksipital dan sebagian daerah tengkuk). Nyeri Kepala merupakan keluhan utama
yang paling sering diberikan kepada dokter. Setiap jenis “sakit kepala”
mempunyai dasar organik, walaupun pada sebagian terdapat juga faktor etiologik
yang bersifat patogenik (Sidharta, 2012). Nyeri kepala umumnya diklasifikasikan
sebagai nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder, kemudian dibagi menjadi
beberapa jenis nyeri kepala tertentu.
Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang sifatnya “idiopatik”, nyeri
kepala yang tidak terkait dengan kondisi patologi/penyebab lain yang mendasari
atau tanpa disertai adanya penyebab struktural organik. Berdasarkan pemeriksaan
neurologis dan tes pencitraan biasanya normal, tidak peduli seberapa parah gejala.
Kejadian nyeri kepala primer lebih sering terjadi dibandingkan nyeri kepala
sekunder. Nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala yang dikaitkan dengan
kondisi patologis yang mendasari atau disertai penyebab struktural organik,
seperti adanya tumor otak, aneurisma, penyakit inflamasi. Dengan pemeriksaan
neurologis dan tes pencitraan telah terbukti membantu dalam diagnostik nyeri
kepala sekunder (Nurwulandari, 2014).
Meskipun sebagian besar nyeri kepala adalah jinak (tidak membahayakan),
namun dokter dihadapkan pada tugas penting untuk membedakan gangguan nyeri
kepala yang jinak dan yang berpotensi mengancam nyawa. Mengingat banyak
penyakit sering disertai dengan keluhan nyeri kepala, perlu pendekatan yang
terfokus dan sistematis untuk memfasilitasi diagnosis dan pengobatan yang tepat
pada berbagai jenis nyeri kepala (Hidayati, 2016).
2. Etiologi
Penyebab nyeri kepala banyak sekali, meskipun kebanyakan adalah kondisi
yang tidak berbahaya (terutama bila kronik dan kambuhan), namun nyeri kepala
yang timbul pertama kali dan akut adalah manifestasi awal dari penyakit sistemik
atau suatu proses intrakranial yang memerlukan evaluasi sistemik yang lebih teliti
(Bahrudin, 2013).
Nyeri kepala bisa dirangsang karena faktor intra kranial (misalnya:
meningitis, Sub Arachnoid Haemorhage (SAH), tumor otak) atau faktor ekstra
kranial yang umumnya bukan kasus neurologi (misalnya: sinusitis, glaukoma)
yang keduanya digolongkan sebagai nyeri kepala sekunder (Bahrudin, 2013).
Secara praktis menurut Bahrudin (2013), penyebab timbulnya nyeri kepala
dapat diringkas sebagai berikut:
1. Circulation: Perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoidal
2. Encephalomeningitis
3. Migrain
4. Eye: Glaucoma, radang, keratitis, anomaly refraksi
5. Neoplasm (Tumor otak)
6. Trauma capitis: Komusio, kontusio, perdarahan ekstradural, perdarahan
subdular
7. Eardan nose: Mastoiditis, otitis media, sinusitis, rhinitis
8. Dental: Gigi, gusi
9. Clusterheadache
10. Otot: Tension headache
11. Arteritis temporalis,
12. Trigeminal neuralgia.
Bila hurut terdepan dirangkai, maka terbentuk kata “CEMENTED COAT”.
Faktor pencetus nyeri kepala misalnya: batuk, tenaga, aktivitas seksual,
manuver valsava, atau tidur). Nyeri kepala yang diperberat oleh batuk, tenaga,
aktivitas seksual, maneuver valsava, atau tidur tumor curiga akan Arterio Venous
Malformation (AVM), Sub Arachnoid Hemorrhage (SAH), atau penyakit vaskuler
(Hidayati, 2016).
Faktor resiko dalam penelitian Tandaju, Runtuwene, Kembuan (2016),
stress mencetus serangan nyeri kepala terbanyak yaitu pada 149 orang (84,6%),
sedangkan faktor pencetus yang paling sedikit ditemukan ialah perubahan cuaca
yang mempengaruhi 34 orang (19,3%).
Tabel 1. Faktor Resiko Penyebab Nyeri Kepala
Pencetus Frekuensi %
Stress 149 84,6
Perubahan pola tidur 110 62,5
Melewatkan waktu malam 74 42
Menstruasi 66 37,5
Asap rokok 68 38,6
Perubahan cuaca 33 19,3
Menonton/bermain laptop 56 31,8
(Tandaju, Runtuwene, Kembuan, 2016)
3. Epidemiologi
Menurut World Health Organization (WHO) nyeri kepala biasanya
dirasakan berulang kali oleh penderita sepanjang hidupnya. Kurang lebih dalam
satu tahun 90% dari populasi dunia mengalami paling sedikit satu kali nyeri
kepala (Sjahrir, 2008). Studi epidemiologi menunjukkan bahwa 86% wanita dan
63% laki-laki mengalami nyeri kepala dalam 1 tahun (Peatfield, 2008). Terdapat
sekitar 28 juta penderita migrain di Amerika Serikat, dimana dua pertiga
diantaranya adalah wanita.
Berdasarkan kepustakaan negara barat prevalensi migrain pada orang
dewasa adalah sekitar 10-20% setahun, pria 6% dan wanita 15-18%, dimana
migrain dengan aura 4% sedangkan migrain tanpa aura 6%. Sedangkan untuk
TTH 59% dari populasi pernah mengalami TTH 1 hari (atau kurang dari 1 hari
perbulannya), 37% mengalami beberapa kali serangan per bulan dan 3%
mengalami TTH kronik (Sjahrir, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian multisenter berbasis rumah sakit pada 5 rumah
sakit besar di Indonesia, didapatkan prevalensi penderita nyeri kepala sebagai
berikut: Migrain tanpa aura 10%, Migrain dengan aura 1,8%, Episodik Tension
Type Headache 31%, Chronic Tension Type Headache 24%, Cluster Headache
0,5%, Mixed Headache 14% (Sjahrir, 2004).
Nyeri kepala merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan oleh pasien
saat datang ke dokter, baik ke dokter umum maupun neurolog. Sampai saat ini
nyeri kepala masih merupakan sebuah masalah. Masalah yang diakibatkan oleh
nyeri kepala mulai dari gangguan pada pola tidur, pola makan, depresi sampai
kecemasan (Hidayati, 2016).
4. Klasifikasi
Klasifikasi dan kriteria diagnostik nyeri kepala dikeluarkan oleh
International Headache Society (IHS) tahun 2013 dalam wujud ICHD-3 (The
International Classification of Headache Disorders 3rd edition). IHS
mengelompokkan nyeri kepala menjadi 3 kategori umum, yaitu Nyeri kepala
Primer (Primary Headaches), Nyeri kepala Sekunder (Secondary Headaches), dan
Nyeri kepala dengan neuropati kranial, nyeri wajah lain dan nyeri kepala lainnya
(Painful cranial neuropathies, other facial pains and other headaches), tetapi yang
paling umum adalah Nyeri kepala Primer (Tension-Type Headache, Migraine, dan
Cluster Headache) dan Nyeri kepala Sekunder (misalnya yang disebabkan oleh
infeksi atau penyakit vaskular) juga berguna untuk membedakan sakit kepala
walaupun mungkin berulang dan sementara mengganggu, tidak memiliki
penyebab mendasar yang berbahaya dari tanda patologis yang signifikan, karena
nyeri kepala mewakili gangguan sistemik atau neurologis yang mendasarinya
(Nurwulandari, 2014).
1. Nyeri Kepala Primer
a. Tension-Type Headache
b. Migraine
c. Cluster Headache
2. Nyeri Kepala Sekunder
Nyeri kepala disebabkan oleh salah satu dari berikut ini:
a. Trauma kepala atau leher
b. Gangguan vaskular kranial atau serviks
c. Gangguan intrakranial nonvaskular
d. Penggunaan atau penarikan obat-obatan
e. Infeksi
f. Gangguan homeostasis
g. Gangguan kejiwaan
h. Sakit kepala atau sakit wajah disebabkan oleh gangguan kranium, leher,
mata, telinga, hidung, sinus, gigi, mulut, atau wajah lainnya atau struktur
tengkorak (Hainer, 2013).

Gambar 1. Bagian Nyeri Kepala yang dirasakan Sakit Kepala Primer


A. Nyeri Kepala Primer
Nyeri kepala primer merupakan nyeri kepala yang tidak diasosiasikan
dengan patologi atau kelainan lain yang menyebabkannya. Nyeri kepala ini masih
dibagi berdasarkan profil gejalanya menjadi :
1. Tension-Type Headache (Nyeri Kepala Tipe Tegang)
Tension- Type Headache adalah bentuk sakit kepala yang paling umum,
dan menyerang lebih dari 40 persen populasi orang dewasa di seluruh dunia.
Hal ini ditandai dengan bilateral tekanan ringan sampai sedang tanpa gejala
terkait lainnya.Wanita sedikit terpengaruh lebih sering daripada pria.
1) Etiologi Tension-Type Headache
Stres dapat menyebabkan kontraksi otot leher dan kulit kepala,
walaupun tidak ada bukti yang menegaskan bahwa asal rasa sakit adalah
kontraksi otot yang berkelanjutan.
a) Stres dan / atau kecemasan
b) Postur tubuh yang buruk
c) Depresi
Sebuah studi menunjukkan bahwa pasien dengan Tension-Type
Headache (TTH) memiliki otot ekstensi leher yang relatif lemah. Menurut
hasil, pasien ini 26% lebih lemah daripada kontrol sehubungan dengan otot
ekstensi leher, bahwa mereka memiliki rasio penyuluhan / fleksi 12% lebih
kecil, dan mereka memiliki perbedaan signifikan pada kemampuan
menghasilkan otot di sendi bahu (Medscape, 2017).
2) Epidemiologi Tension-Type Headache
Tension-Type headache merupakan jenis nyeri kepala yang paling
sering, dengan prevalensi 63% pada pria dan 86% pada wanita selama
waktu estimasi 1 tahun. Onset awal tension-type headache terjadi pada masa
dini kehidupan (40% pada usia <20 tahun), dan puncaknya pada usia 20 dan
50 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita dewasa, dengan rasio wanita dan
pria 4:3. Prevalensi tension-type headache kronis (180 headache harian per
tahun) diperkirakan 2%-3%. Walaupun 60% penderita diperkirakan
mengalami gangguan fungsional, tetapi hanya 16% penderita yang
memeriksakan dirinya.
3) Patofisiologi Tension-Type Headache
Sementara faktor otot dan psikogenik diyakini terkait denganTension-
Type Headache, sebagian besar dirasakan multifaktorial. Sebuah studi
menunjukkan bahwa pasien dengan Tension-Type Headache kronis lebih
lama dari 5 tahun cenderung memiliki kadar kortisol lebih rendah. Hal ini
dipostulasikan karena atrofi hippocampus akibat stres kronis, penyebab sakit
kepala ketegangan kronis. Baru-baru ini diyakini bahwa ada peningkatan
sensitivitas nyeri myofascial yang disebabkan oleh faktor sentral seperti
sensititiasi neuron di daerah supraspinal dan juga neuron orde kedua di
tulang belakang spinal / tanduk trigeminal. Mekanisme nyeri lainnya adalah
penurunan antinociception atau ketidakmampuan tubuh untuk menghentikan
rangsangan yang menyakitkan pada struktur supraspinal (Medscape, 2017).
4) Gejala/Manifestasi Klinik Tension-Type Headache
a) Durasi 30 menit sampai 7 hari
b) Tidak ada mual atau muntah (anoreksia dapat terjadi)
c) Photophobia dan / atau fonofobia
d) Minimal 10 episode sakit kepala sebelumnya; kurang dari 180
hari per tahun dengan sakit kepala dianggap "jarang"
e) Nyeri bilateral dan occipitonuchal atau bifrontal
f) Nyeri digambarkan sebagai "kepenuhan, sesak / meremas,
tekanan," atau "mirip band / terlihat indah" Mungkin terjadi akut
di bawah tekanan emosional atau kekhawatiran yang kuat
g) Insomnia
h) Sering hadir saat naik atau tidak lama kemudian
i) Ketegangan otot atau kekakuan di daerah leher, oksipital, dan
frontal
j) Durasi lebih dari 5 tahun pada 75% pasien dengan sakit kepala
kronis
k) Kesulitan berkonsentrasi
l) Tidak ada prodrom
Gejala awal dan aura tidak terdapat pada tension-type headache. Nyeri
yang terjadi biasanya intensitas ringan sampai sedang dan biasanya
digambarkan sebagai rasa tumpul, sesak atau tekanan nonpulsatil. Yang
paling sering adalah nyeri bilateral, akan tetapi lokasinya dapat bervariasi
(biasanyafrontal dan temporal, terkadang occipital dan parietal juga). Secara
klasik rasa nyeri yang terjadi digambarkan dengan pola “hatband”. Gejala-
gejala lain yang berhubungan, secara umum tidak ada tapi fotofobia dan
fonofobia ringan pernah dilaporkan. Disabilitas yang diakibatkan tension-
type headache sangat sedikit jika dibandingkan dengan migrain, dan
aktifitas fisik rutin tidak memperberat rasa nyeri. Palpasi pada otot
pericranial atau sevikal dapat menunjukkan bagian lunak atau nodul yang
terlokalisasi pada beberapa pasien. Tension-type headache diklasifikasikan
sebagai episodik (teratur atau tidak) atau kronis berdasarkan frekuensi dan
lama serangan (Medscape, 2017).
2. Migraine
Migrain memiliki dua subtipe mayor. Migrain tanpa aura dan migrain
dengan aura. Migrain dengan aura terutama ditandai oleh gejala neurologis
yang biasanya mendahului atau kadang-kadang bersamaan saat nyeri kepala.
Beberapa pasien juga mengalami fase premonitory (fase pertanda), terjadi
beberapa jam atau hari sebelum nyeri kepala, dan fase resolusi. Tanda dan
gejala fase resolusi seperti menguap berulang, kelelahan dan leher kaku
dan/atau sakit.
1) Etiologi Migraine
Migrain memiliki komponen genetik yang kuat. Sekitar 70% pasien
migrain memiliki tingkat pertama relatif dengan riwayat migrain. Risiko
migrain meningkat 4 kali lipat pada keluarga penderita migrain dengan aura.
Sakit kepala migrain nonsyndromik dengan atau tanpa aura umumnya
menunjukkan pola pewarisan multifaktor, namun sifat spesifik dari
pengaruh genetik belum sepenuhnya dipahami. Beberapa sindrom langka
dengan migrain sebagai ciri klinis umumnya menunjukkan pola pewarisan
dominan autosomal (Medscape, 2017).
2) Epidemiologi Migraine
Berdasarkan penelitian di Anmerika, dilaporkan bahwa migraine
timbul pada 18,2 % wanita dan 6,5 % pria di Amerika setiap tahunnya.
Prevalensi migraine bervariasi menurut umur dan jenis kelamin. Sebelum
umur12 tahun, migraine umumnya terjadi pada anak laki-laki dibandingkan
dengan anak wanita, tetapi prevalensi meningkat cepat pada anak wanita
setelah pubertas. Setelah umur 12 tahun, wanita lebih sering terkena
migraine dibandingkan dengan pria, kira-kira dua hingga tiga kalinya.
Prevalensi terbesar tejadi pada usia 35 dan 45 tahun. Onset biasanya
terjadi pada usia 10 hingga 29 tahun, tetapi onset migraine pada masa
kanak-kanak tidak umum terjadi (DiPiro, et all., 2011).
3) Patofisiologi Migraine
Pada umumnya migren diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
a. Migrain Tanpa Aura (Umum)
Merupakan migrain terbanyak sekitar 80%nya, keluhan migrain ini
berupa nyeri kepala berulang dan dapat sembuh sendiri dalam periode 4-72
jam, nyeri biasanya unilateral, seperti berdenyut, bisa dirasakan ringan
sampai berat, bertambah berat bila penderita beraktifitas fisik, dipengaruhi
oleh adanya cahaya, suara, dan bau disekitar penderita. Untuk diagnosis
migrain ini dibagi menjadi beberapa kriteria: (Internasional Headache
Society)
Tabel 2 . Kriteria Diagnostik Migrain tanpa Aura
Kategori Kriteria
A Sedikitnya 5 kali serangan yang memenuhi kriteria B
dan D
B Serangan nyeri kepala yang berlangsung 4-72 jam
(tidak diterapi/berhasil diterapi)
C Serangan nyeri kepala sedikitnya selama 72 jam yang
diikuti oleh:
1. Lokasi unilateral
2. Hilang timbul
3. Intensitas sedang sampai berat
4. Mengganggu aktivitas sehari-hari (berjalan atau
menaiki tangga)
D Selama nyeri diikuti oleh minimal 1 gejala berikut:
1. Mual muntah
2. Fotofobia dan fonofobia
E Tidak dikaitkan dengan gangguan lain

b. Migrain Dengan Aura (Klasik)


Keluhan berupa nyeri kepala berulang didahului gejala neurologis
fokal yang reversibel secara bertahap 5-20 menit dan berlangsung kurang
dari 60 menit. Gambaran nyeri kepala yang menyerupai migrain tanpa aura
biasanya timbul sesudah gejala aura.
Kriterianya adalah:
Tabel 3 . Kriteria Diagnostik Migrain dengan Aura
Kategori Kriteria
A Sedikitnya 2 serangan yang memenuhi kriteriaB-D
B Aura terdiri dari 1 gejala berikut, tetapi tanpadisertai
keluhan motorik:
1. Adanya gejala visual yang reversibel, baik
gambaran positif (cahaya berkerlip, titik cahaya,
atau segaris cahaya) dan atau gambaran negatif
(misalnya hilangnya penglihatan)
2. Adanya gejala sensori yang reversibel baik
gambaran positif (seperti ditusuk pin dan jarum)
dan atau gambaran negatif (seperti rasa tebal)
3. Adanya gejala gangguan bicara yang reversibel
C Nyeri kepala sedikitnya 2 karakteristik berikut:
5. Gejala visual homonim dan atau gejala sensoris
unilateral
6. Sedikitnya timbul 1 aura secara gradual lebih dari 5
menit dan atau jenis aura yang lebih dari 5 menit
7. Tiap gejala berlangsung lebih dari 5 sampai 60
menit
D Nyeri kepala memenuhi kriteria B-D untuk migrain
tanpa aura dimulai bersamaan dengan aura atau
sesudah aura selama 60 menit
E Tidak berhubungan dengan penyakit lain

Dari penjumlahan tipe migren di atas ditemukan beberapa varian


migren yang berbeda yaitu:
1. Asephalic migren, tipe migren dengan aura tanpa disertai sakit
kepala yang berikutnya.
2. Basilar migren, migren aura dengan dysarthria, vertigo, diplopia
dan penurunan kesadaran disertai dengan mati rasa pada kedua sisi.
3. Migrenkronis, migren tanpa aura dengan sakita paling sedkitnya
setengah hari.
4. Hemiplegic migren, familial dan terjadi pada sesuatu yang irregular
kasus dengan kemungkinan aura dari hemiplegia.
5. Status migrainosus, serangan miraine lebih dari 72 jam.
6. Childhood periodic symptoms, disertai paroxysmal vertigo, nyeri
perut yang teratur dan muntah.
Beberapa pengalaman migren disebabkan pula oleh adanya
komplikasi, salah satunya adalah infrak migren, serangan migrennya sama
tetapi deficit neurologiknya tetap ada setelah tiga minggu dan pemeriksaan
CT Scan menunjukkan hipodensitas (Medscape, 2017).
4) Karakteristik Migraine
Edisi kedua dari International Classification of Headache Disorders
(ICHD) mencantumkan jenis migrain berikut ini:
a) Migrain tanpa aura (sebelumnya, migrain umum)
b) Kemungkinan migrain tanpa aura
c) Migrain dengan aura (dahulu migrain klasik)
d) Kemungkinan migrain dengan aura
e) Migrain kronis
f) Migrain kronis berhubungan dengan penggunaan berlebihan
analgesik
g) Sindrom periodik masa kecil yang mungkin tidak merupakan
prekursor atau terkait dengan migrain
h) Komplikasi migrain
i) Kelainan migrain tidak memenuhi kriteria di atas
(Medscape, 2017).
3. Cluster Headache
Cluster headache merupakan kelainan nyeri kepala yang paling berat,
dengan ciri khas serangan yang berat, nyeri kepala unilateral yang terjadi
selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan (cluster periods) yang
dipisahkan oleh periode remisi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun
(DiPiro, et all., 2005). Disebut juga Reader`s syndrom, histamin cephalgia,
dan sphenopalatine neuralgia. Cluster headache adalah nyeri kepala yang
khas dan sindrom vaskular yang dapat disembuhkan. Yang paling sering
adalah tipe episodik dengan karakteristik satu sampai tiga kali serangan
singkat nyeri peri orbital per hari dalam 4-8 minggu, kemudian diikuti
interval bebas nyeri rata-rata 1 tahun (Neil, 2005). Tipe kronik, yang
dimulai beberapa tahun setelah pola episodik muncul, dengan karakteristik
tidak adanya periode remisi. Masing-masing tipe dapat berubah menjadi tipe
lainnya.
1) Etiologi Cluster Headache
Penyebab pasti CH tidak diketahui. Kelainan ini bersifat sporadis,
walaupun kasus-kasus yang jarang terjadi pada pola dominan autosomal
dalam satu keluarga telah dilaporkan.Beberapa faktor telah terbukti
memprovokasi serangan CH. Injeksi histamin subkutan memicu serangan
pada 69% pasien. Stres, alergen, perubahan musiman, atau nitrogliserin
dapat memicu serangan pada beberapa pasien. Alkohol menginduksi
serangan selama cluster tetapi tidak selama pengampunan. Sekitar 80%
pasien CH adalah perokok berat, dan 50% memiliki riwayat penggunaan
etanol berat.
Faktor risiko untuk CH meliputi:
a) Seks pria
b) Usia lebih tua dari 30 tahun
c) Sejumlah kecil vasodilator (misalnya alkohol)
d) Trauma atau operasi kepala sebelumnya (kadang-kadang)
2) Epidemiologi Cluster Headache
Cluster headache dapat terjadi secara episodik atau kronik. Cluster
headache termasuk jarang terjadi diantara kelainan nyeri kepala primer
lainnya, dengan prevalensi sekitar 0,4% pada pria dan 0,08% pada wanita.
Tidak seperti migrain, penderita pria 4-7 kali lebih sering dbandingkan
wanita. Onset dapat terjadi pada semua umur tapi paling sering terjadi pada
akhir 20 tahunan. Bukti terakhir memperkirakan bahwa predisposisi genetik
bisa terdapat pada sebuah keluarga.
3) Patofisiologi Cluster Headache
Etiologi dan mekanisme patofisologi cluster headache tidak
sepenuhnya dipahami. Sama seperti migrain, nyeri kepala serangan cluster
diperkirakan melibatkan aktivasi saraf trigeminovaskular yang melepaskan
neuropeptida vasoaktif dan mengakibatkan inflamasi neurogenik steril.
Adanya ciri khas lokasi nyeri kepala adalah implikasi sinus kavernosa
sebagai tempat proses inflamasi. Triger serangan cluster headache
menyebabkan sistem trigeminovaskular mengeluarkan mediator-mediator
yang mengakibatkan rasa nyeri. Walau demikian mekanisme yang
mengaktivasi sistem trigeminovaskuler masih belum dipahami. Periodisitas
dan regularitas serangan bisa merupakan implikasi disfungsi hipotalamik
dan menyebabkan perubahan ritme sirkadian pada patogenesis cluster
headache. Selama masa serangan cluster headache menunjukkan perubahan-
perubahan yang menginduksi hipotalamus pada kortisol, prolaktin,
testosteron, hormon pertumbuhan, -endorfin, dan melatonin. Studi
neuroimaging menunjukkan bahwa selama serangan cluster headache akut
terdapat aktivasi area grisea hipotalamus ipsilateral. Areatersebutmungkin
merupakan ”driver” serangan cluster. Karena sistem serotonergik yang
memodulasi aktivitas pada hipotalamus dan saraf trigeminovaskular, 5-HT
mungkin berperan pada patofisiologi cluster headache. Hubungan cluster
headache dengan hipoksia altitude tinggi, REM sleep, dan terapi
vasodilator, juga terapi inhalasi oksigen untuk abrtif serangancluster,
diperkirakan bahwa hipoksemia mungkin berperan pada cluster headache.
4) Gejala/Manifestasi Klinik Cluster Headache
Masa serangan terjadi berkelompok-kelompok selama 2 minggu
sampai 3 bulan pada sebagian besar pasien, diikuti interval bebas nyeri yang
panjang. Periode remisi kira-kira 2 tahun tetapi rentang waktu yang pernah
dilaporkan antara 2 bulan sampai 20 tahun. Sekitar 10% pasien memiliki
gejala-gejala kronis tanpa periode remisi. Serangan cluster headache terjadi
pada malam hari pada lebih dari 50% pasien. Serangan terjadi secara
mendadak, dan mencapai puncak dengan sangat cepat yang berlangsung
selama 15-180 menit. Aura tidak terdapat pada cluster headache. Nyeri yang
terjadi sangat menyakitkan dan menusuk akan tetapi tidak berdenyut dan
sering terjadi unilateral pada orbita, supraorbital, dan temporal. Nyeri kepala
ini berhubungan sistem otonom konsisten dengan paresis sistem simpati dan
parasimpatik yang overdrive. Pola ini diketahui dari sisi nyeri dan termasuk
injeksi konjungtiva, lakrimasi, dan hidung tersumbat atau rinorhea. Selama
periode sakit, serangan yang terjadi bisa sekali sehari sampai delapan kali
sehari. Jika pasien migrain berusaha mencari tempat yang sunyi dan gelap,
pasien cluster headache umumnya bergerak kesana kemari saat serangan
terjadi dan dapat membenturkan kepala mereka ke benda-benda untuk
menghilangkan rasa sakit. Pasien pria biasanya memiliki riwayat perokok
berat dan peminum alkohol.
Kriteria Diagnosis Nyeri Kepala tipe Cluster berdasarkan
International Headache Society:

a) Nyeri hebat atau sangat hebat unilateral pada area orbital, dan
atau temporal yang berlangsung 15 – 180 menit apabila tidak
ditangani.
b) Nyeri kepala disertai dengan setidaknya satu dari tanda berikut:

1) Ipsilateral injeksi konjungtiva dan atau lakrimasi


2) Ipsilateral kongesti nasal dan/atau rhinorrhea.
3) Ipsilateral edema palpebra
4) Ipsilateral perspirasi pada dahi dan wajah
5) Ipsilateral miosis dan/atau ptosis.
6) Perasaan gelisah dan tidak dapat beristirahat
7) Serangan dapat berlangsung sekali hingga delapan kali
dalam seharib

8) Tidak memiliki hubungan dengan penyakit lain


(Medscape, 2017).
II.2 Penatalaksanaan Terapi
1. Terapi Tension-Type Headache
Sebagian besar penderita tension-type headache mengobati dirinya sendiri
dengan pengobatan over-the-counter dan tidak memeriksakan diri ke dokter. Saat
pengobatan farmakologi dan non farmakologi berkembang, analgesik yang simpel
dan NSAID adalah terapi akut yang utama.
a. Terapi Non-Farmakologi
Terapi psikofisiologik dan terapi fisik talah dipakai dalam penanganan
tension-type headache. Terapi psikofisiologik dapat terdiri dari penenangan diri
dan konseling, penanganan stres, latihan relaksasi, dan biofeedback. Latihan
relaksasi dan latihan biofeedback (sendiri maupun kombinasi) dapat menghasilkan
penurunan aktivitas nyeri sebanyak 50%. Fakta terapi-terapi fisik yang
mendukang, seperti heat atau cold packs, ultrasound, stimulus saraf elektrik,
peregangan, lahraga, pijatan, akupuntur, manipulasi, instruksi ergonomik, dan
injeksi triger point atau blok saraf oksipital, adalah tidak konsisten. Akan tetapi,
pasien dapat beruntung dari terapi yang dipilih (cth: pijatan) selama episode akut
tension-type headache.
b. Terapi Farmakologi
Analgesik simpel (sendiri atau kombinasi dengan kafein) dan NSAID efektif
untuk terapi akut ringan sampai sedang. Asetaminofen, aspirin, ibuprofen,
naproxen, ketoprofen, indometasin, dan ketorolak telah menunjukkan efikasi pada
kontrol plasebo dan studi perbandingan. Kegagalan obat-obatan over-the-counter
memerlukan terapi obat yang diresepkan. NSAID dosis tinggi dan kombinasi
aspirin atau asetaminofen dengan butalbital atau kodein merupakan pilihan yang
efektif. Penggunaan kombinasi butalbital dan kodein harus dihindarkan karena
kemungkinan dapat terjadi potensial tinggi dalam penggunaan yang berlebihan
dan ketergangtungan. Seperti pada migrain, medikasi akut harus diberikan untuk
tension-type headache episodik tidak lebih dari 2 hari per minggu untuk
mencegah berkembangnya tension-type headache kronis. Tidak terdapat bukti
yang mensupport efikasi dari muscle relaxant (cth. Cyclobenzaprin, baclofen, dan
methocarbamal) pada penanganan tension-type headache episodik. Terapi
preventif harus dipertimbangkan jika frekuensi nyeri (lebih dari 2 minggu), durasi
(lebih dari 3-4 jam), atau tingkat beratnya nyeri terjadi akibat medikasi yang
berlebihan dan disabilitas substansial. Prinsip terapi preventif pada untuk tension-
type headache sama dengan prinsip terapi pada migrain. TCA sering diresepkan
sebagai profilaksis, tetapi obat lain juga dapat digunakan setelah
dipertimbangkannya kondisi medis komorbid dan sisi efek sampingnya. Suntikan
toxin botulinum ke dalam otot-otot pericranial telah menunjukkan efikasi sebagai
profilaksis tension-type headache kronis pada dua penelitian kontrol plasebo
(DiPiro, et all., 2011).
2. Terapi Migraine
Dokter yang mengobati pasien migraine harus memperhatikan akibat
migraine tersebut pada hidup pasien, keluarganya, dan pekerjaan pasien. Oleh
karena itu, dokter sebaiknya menentukan tujuan terapi jangka panjang dan tujuan
terapi migraine akut. Tujuan terapi migraine jangka panjang meliputi:
1. Menurunkan frekuensi, tingkat keparahan, dan ketidakmampuan akibat
migrain
2. Meningkatkan kualitas hidup
3. Mencegah nyeri kepala
4. Mencegah penggunaan obat nyeri kepala yang berlebihan
5. Mengajarkan pasien agar mampu menangani sendiri, nyeri kepala yang
dideritanya
6. Menurunkan stress dan gejala psychologic yang menyebabkan migraine
Tujuan terapi migraine akut:
1. Mengobati serangan migraine dengan cepat dan konsisten tanpa rekuren
2. Memperbaiki ketidakmampuan pasien akibat migraine
3. Meminimalkan atau menghilangkan efek samping
4. Efektif dalam penanganan
a. Terapi Non-Farmakologi
Sebaiknya dengan cara menghindari agen penyebab migraine dan jika
migraine telah terjadi, maka dapat dilakukan pendekatan non-farmakologik,
seperti beristirahat atau tidur, sebaiknya di ruangan yang gelap, lingkungan yang
tenang. Catatan mengenai frekuensi, tingkat keparahan, dan durasi serangan nyeri
kepala dapat membantu mengidentifikasikan penyebab migraine. Dibawah ini
adalah agen yang biasanya menyebabkan migraine :
1. Makanan: alkohol, kafein, coklat, pisang, produk kalengan,
monosodium glutamat (pada makanan instan), sakarin, aspartat,
makanan yang mengandung tiramin
2. Lingkungan: suara keras, ketinggian, perubahan cuaca, asap rokok,
cahaya yang terlalu terang
3. Perubahan perilaku-phyisikologik: tidur yang kurang, kelelahan,
menstruasi, menopause, aktivitas fisik yang berlebihan, stress
(DiPiro, et all., 2011).
b. Terapi Farmakologi
1. Non Steroid Anti-Inflammatory Drug (NSAID)
Kombinasi aspirin, asetaminophen, dan kafein telah disetujui
penggunaannya oleh FDA (Food Drug Administration) sebagai obat pilihan
pertama untuk pengobatan serangan migraine ringan dan sedang. NSAID
mencegah inflamasi pada sistem trigeminovaskular melalui inhibisi sintesis
prostaglandin. Pada umumnya, NSAID dengan waktu kerja yang panjang lebih
dianjurkan. NSAID harus digunakan hati-hati pada pasien dengan ulkus peptikum,
penyakit ginjal atau hipersensitivitas. Kombinasi terapi dengan metoklopramide
dapat meningkatkan absorbsi dari analgesik dan meringankan gejala mual dan
muntah akibat migraine. (DiPiro, et all., 2011).
2. Ergotamin Tartrate
Ergotamin tartrate dan dihydroergotamin berguna pada pengobatan serangan
migraine sedang dan berat. Ergotamin adalah alkaloid ergot asam amino,
sedangkan dihydroergotamin alkaloid ergot asam amino. Obat ini adalah agonis
nonselektif reseptor 5-HT1 yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
intrakranial, dan mencegah inflamasi neurogenik pada sistem trigeminovaskular.
Dengan dosis klinik umumnya, efek antimigraine mungkin dihasilkan dari
vasokontriksi dan reduksi pulsasi arteri ekstrakranial.
Sekitar 60 % dosis ergotamin diabsorbsi dari saluran pencernaan. Dengan
dosis klinik umumnya, level darah puncak terjadi dalam dua jam dan terdapat
dalam rentang rendah (1-3) nanogram/ml. Ergotamin tartrat paling efektif jika
diberikan pada saat terjadi serangan. 2 mg dosis oral atau sublingual diberikan
ketika terjadi nyeri diikuti dengan 2 mg setiap jam. Jika diperlukan, hingga nyeri
itu reda, tetapi tidak melebihi 6 mg sehari. Beristirahat di ruangan yang gelap
meningkatkan aksi dari obat ini. Jika menginginkan efek terjadilebih cepat atau
jika pasien mengalami mual atau muntahdengan sakit kepalayang berat, dosis obat
0,5 mg intramuskular diberikan pada saat serangan. Rute lain pemberian
ergotamin adalah 2 mg rektal supositoria atau aerosolinhaler 0,36 mg. Dengan
dosis yang adekuat, hilangnya serangan pada 70-80 % pasien dapat terjadi. Terapi
ergotamin dapat lebih efektif ketika digunakan bersama kafein, karena
meningkatkan absorbsi ergotamine. Kombinasi yang mengandung 1 atau 2 mg
ergotamin dan 50 atau 100 mg kafein telah tersedia.. Keuntungan dan kombinasi
obat, bagaimanapun, dapat menurun karena insomnia yang diakibatkan kafein.
Oleh karena itu, penggunaannya tergantung pada keadaan pasien (DiPiro, et all.,
2011).
3. Antiemetik
Terapi antiemetik tambahan berguna untuk mengatasi mual dan muntah
yang sering menyertai migraine. Dosis tunggal antiemetik seperti
metoklopramide, klorpromazine, prochlorperazine biasanya diberikan 15-30 menit
sebelum pemberian obat migraine abortif. Preparat supositoria juga dapat
diberikan jika terjadi mual dan muntah yang berat. Metoklopramide juga berguna
untuk meningkatkan absorbsi dari saluran pencernaan selama serangan. (DiPiro, et
all., 2011).
4. Agonis Reseptor Serotonin
Agonis reseptor serotonin efektif dalam terapi migraine. Kelas pertama dari
golongan ini adalah sumatripan, dan generasi kedua adalah zolmitripan,
naratripan, rizatripan, almotripan, frovatripan, dan eletriptan adalah agonis selektif
dari reseptor 5-HT1B dan 5-HT1D. Mekanisme kerjanya adalah menghambat
pelepasan neuropeptida vasoaktif dari nervus trigeminal perivaskular melalui
stimulasi reseptor presinaptik 5-HT1D, mengganggu transmisi signal dalam
nukleus trigeminal batang otak melalui reseptor 5-HT1D, dan vasokontriksi
pembuluh darah intrakranial melalui stimulasi reseptor vaskular 5-HT1B.
Sumatripan adalah obat untuk terapi antimigraine yang secara luas sedang
dipelajari. Sumatripan subkutan mempunyai OOA yang cepat (10 menit)
dibandingkan dengan preparat oral (30 menit). Kira-kira 30 hingga 40 % pasien
yang berrespon terhadap sumatripan mengalami nyeri kepala rekuren dalam 24
jam. Hal ini dikarenakan waktu paruh obat yang pendek.
Generasi kedua tripan, mempunyai farmakokinetik dan farmakodinamik
yang lebih baik jika dibandingkan dengan sumatripan oral. Golongan ini
mempunyai bioavailabilitas oral yang lebih tinggi dan waktu paruh yang panjang
jika dibandingkan dengan sumatripan. Frovatripan mempunyai waktu paruh yang
terpanjang, tetapi mempunyai OOA yang terpendek.
Efek samping dari triptan meliputi paresthesia, lemah, pusing, kulit
kemerahan, sensasi hangat, dan somnolence (DiPiro, et all., 2011).
c. Terapi Pencegahan
Terapi untuk mencegah serangan migraine dilakukan pada pasien yang
sering mendapat serangan.
1. Non Steroid Anti-Inflammatory Drug (NSAID)
NSAID efektif menurunkan frekuensi, tingkat keparahan, dan durasi dari
serangan migraine. NSAID biasanya digunakan untuk mencegah nyeri yang biasa
terjadi dengan pola tertentu seperti nyeri selama menstuasi.. NSAID sebaiknya
diberikan 1-2 hari sebelum onset terjadinya nyeri. Mekanisme NSAID dalam
mencegah nyeri terkait dengan penghambatan sintesis prostaglandin (DiPiro, et
all., 2011).
2. Antagonis β adrenergik
Propanolol adalah prototipe antagonis adrenergik β. Mekanisme pasti dari
antagonis adrenergik tidak begitu jelas, di duga dapat menaikkan ambang batas
migraine dengan cara memodulasi neurotransmisi adrenergik datau serotonergik
pada jalur kortikal atau subkortikal mencegahdilatasi arteri ekstrakranial,memblok
pengambilan serotonin oleh platelet. Propanolol secara adekuat diabsorbsi setelah
pemberian oral. Kosentrasi plasma puncak terjadi setelah 1-2 jam pemberian.
Dosis efektif propanolol dalam mencegah serangan migraine bervariasi
antara 80-240 mg sehari dengan rata-rata 160 mg. Terapi dimulai dengan 20 mg,
dua kali sehari dan dosis dapat ditingkatkan, jika diperlukan. Efek samping yang
umum dari propanolol meliputi mual, kram abdominal, diare, hipotensi postural,
dan ngantuk. Dosis sebaiknya dipertahankan pada level dimana denyut jantung
kurang dari 60 setiap menitnya. Propanolol sebaiknya tidak digunakan pada
pasien dengan asma, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit gagal jantung
kongestif, gangguan konduksi atrioventrikular, dan diabetes melitus.
3. Methysergide
Methysergide adalah ergot alkaloid semisintetik yang berperan sebagai
antagonis reseptor 5-HT2 poten yang mampu menstabilkan neurotransmitter
serotonergik pada sistem trigeminovaskular dan menghambat inflamasi karena
neurogenik serotonin. Methysergide diabsorbsi baik setelah pemberian oral, kadar
plasma puncak terjadi setelah 1-2 jam. Level plasma bervariasi antara 20-40 ng/ml
selama pemeliharaan terapi dengan dosis yang umum. Methysergide menurunkan
frekuensi serangan pada kira-kira 60 % pasien yang diobati, Dosis methysergide
sebaiknya ditingkatkan perlahan dengan test 0,5 mg diawal untuk menghilangkan
kecurigaan idiosinkrasi. Jika cocok, dosis ditingkatkan 1 mg sehari, menjadi 1 mg,
tiga kali sehari lalu menjadi 2 mg, 3 kali sehari. Biasanya efektif dalam 1 atau 2
minggu. Jika tidak terlihat keuntungan yang didapat, itu artinya kecil
kemungkinan untuk melanjutkan pemberian methysergide. Jika efektif,
pengobatan dilanjutkan selama 6 bulan. Penghentian obat sebaiknya dilakukan
bertahap dalam 2-3 minggu untuk mencegah ”rebound headache”. Komplikasi
fibrotik meliputi fibrosis retoperitoneal menyebabkan sakit punggung, nyeri
abdominal ; fibrosis pleuropulmonal menyebabkan nyeri dada atau dyspnea atau
fibrosis valvular jantung menyebabkanmurmur jantung, kardiomegali, dan
dyspnea. Setelah interval bebas obat selama 1-2 bulan, obat dapat diberikan lagi
selama 6 bulan.
Selama terapi methysergide, terjadi mual, ketidaknyamanan epigastrik,
paresthesia, dan kejang otot pada 45 % pasien yang diobati. Hal ini biasanya
terlihat pada onset terapi dan menurun atau menghilang seiring dengan
berlanjutnya terapi atau menurunnya dosis. Kira-kira 10 % pasien tidak dapat
melanjutkan pengobatan karena efek samping. Supervisi yang ketat terhadap
semua pasien itu diwajibkan. Methysergide sebaiknya tidak diberikan pada pasien
dengan ulkus peptik aktif, hipertensi berat, iskemik jantung, penyakit vaskular
perifer, trombophlebitis, penyakit renal atau kehamilan.
4. Amitriptilin
Amitriptilin merupakan obat profilaksis yang efektif pada migraine
berdasarkan efek antidepresinya.Amitriptilin menghambat ambilan kembali
serotonin danorepinefrinneuron masuk ke terminal saraf prasinaptik (DiPiro, et
all., 2011).
3. Terapi Cluster Headache
Sama seperti pengobatan migrain, terapi cluster headache juga terbagi
menjadi terapi abortif dan terapi profilaksis. Terpai abortif untuk mengatasi
serangan akut. Terapi profilaksis ditujukan untuk memperpendek masa serangan
cluster episodik, juga untuk mengurangi frekuensi dan beratnya serangan baik
pada cluster headache episodik maupun kronis. Terapi profilaktik dimulai sejak
dini pada periode cluster dan diberikan setiap hari sampai pasien bebas headache
paling lambat 2 minggu. Kemudian pengobatan diturunkan perlahan-lahan dan
dapat dimulai lagi pada periode serangan selanjutnya. Pasien cluster headache
kronik membutuhkan pengobatan profilaksis dalam jangka waktu panjang.
a. Terapi Non-Farmakologi
Untuk menghindari Cluster Headache, penting bagi penderita untuk
mengenali faktor pemicunya. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah:
1. Menjaga pola tidur dan bangun tidur yang teratur
2. Tidak berolahraga pada saat cuaca panas
3. Hindari merokok dan mengkonsumsi alkohol
4. Hindari mencium senyawa kimia berbau seperti parfum, cat, atau
bensin
5. Mengkonsumsi makanan tinggi Magnesium seperti kacang almond
dan alpukat
6. Mengkonsumsi makanan kaya Vitamin B2, seperti bayam, jamur, dan
yoghurt
7. Mengoleskan minyak esensial, seperti minyak mint atau eukaliptus
yang dicampur dengan minyak kelapa ke dahi dan pelipis.
b. Terapi Farmakologi
1. Terapi Abortif
1. Oksigen
Standar terapi cluster headache akut adalah inhalasi oksigen 100%
dengan masker fasial 7-10L/menit untuk 10-15 menit. Pemberian ulang
mungkin dibutuhkan karena adanya rekurensi karena pada beberapa pasien
oksigen lebih untuk menghambat daripada menghentikan. Tidak ada efek
samping yang dapat terjadi.
2. Derivat ergotamin
Dihidroergotamin i.v dan i.m efektif menurunkan serangan akut
cluster headache.Onset efek terjadi dalam waktu 10 menit pada pemberian
intravena. Pemberian intramuskular efektif dalam 30 menit. Pemberian
dihidroergotamin i.v berulang-ulang selama 3-7 hari dapat memcah siklus
frekuensi serangan cluster headache dengan efek samping minimal.
Ergotamin tartrat juga efektif menurunkan serangan cluster headache jika
diberikan secara sublingual dan rektal, tapi farmakokinetik preparat ini
biasanya membatasi kemampuan klinisnya.
3. Triptan
Sumatriptan subkutan dan intranasal dipertimbangkan aman dan
efektif untuk cluster headache akut. Sumatriptan telah digunakan selama
setahun tanpa adanya laporan takifilaksis dan toksisitas. Pemberian secara
oral digunakan terbatas karena onset of action yang lama, akan tetapi
zolmitriptan oral efektif pada pasien cluster headache episodik dangan 69%
pasien yang mengalami penurunan rasa sakit dalam waktu 30 menit.

2. Terapi Profilaksis
1. Verapamil
Verapamil sebagai calcium channel blocker digunakan untuk
pencegahan cluster headache, efektif pada sekitar 70% pasien. Efek dari
verapamil terlihat setelah penggunaan satu minggu. Dosii efektif biasanya
antara 240-360 mg/hari untuk serangan episodik, tapi dosis yang lebih tinggi
dibutuhkan untuk mengontrol cluster headache kronik.
2. Lithium
Lithium karbonat efektif untuk serangan cluster headache episodik
dan kronik, dimana efek terapi terlihat pada minggu pertama terapi. Respon
positif terlihat sampai 78% pasien cluster headache dan sampai 63% pasien
cluster headache kronis. Dosis yang biasa digunakan 600-900 mg/hari yang
diberikan dalam dosis terbagi. Takifilaksis pada terapi lithium telah
dilaporkan kadang-kadang pada terapi yang diperpanjang. Kadar lithium
plasma optimum untuk mencegah cluster headache belum diketahui, akan
tetapi efikasi telah dilaporkan relatif pada konsentrasi serum rendah (0,3-0,8
mEQ/L). Efek samping awal ringan dan termasuk tremor, lethargy, nausea,
diare, dan abdominal discomfort.
3. Ergotamin
Ergotamin memiliki efektifitas yang sama seperti terapi abortif jika
digunakan sebagai profilaksis. Dosis tidur 2mg biasanya efektif untuk
mencegah serangan nyeri nokturnal. Dosis ergotamin harian 1-2 mg atau
kombinasi dengan verapamil atau lithium efektif sebagai profilaksis nyeri
kepala pada pasien yang sulit disembuhkan oleh obat-obatan yang lain
dengan resiko ergotism yang kecil atau rebound headache.
4. Methysergide
Pada pasien yang tidak respon terhadap terapi lain, methysergide 4 –8
mg/hari dalam dosis terbagi biasanya efektif dalam memperpendek cluster
headache. Respon terhadap terapi biasanya terjadi dalam satu minggu
setelah pemberian obat pertama. Rata-rata respon pada pasien cluster
headache episodik mendekati 70%, tapi pasien cluster headache kronik
kurang memberi respon.
5. Corticosteroid
Corticosteroid digunakan pada cluster headache kronik yang sulit
disembuhkan dengan verapamil, lithium, ergotamine, dan methysergide atau
kombinasi dari semuanya. Terapi dimulai dengan prednisone 40 –60 mg per
hari dan diturunkan kira-kira selama tiga minggu. Kesembuhan dapat dilihat
dalam 1 sampai 2 hari dari terapi awal. Untuk menghindari komplikasi
penggunaan steroid, tidak digunakan untuk pengobatan jangka panjang.
Nyeri kepala dapat kembali ketikaterapi dikurangi atau dihentikan.
6. Obat-Obatan Lain
Terapi lain yang telah digunkan dalam menangani cluster headache
akut termasuk lidocain intranasal, capsaicin indranasal dan leuprolide
indramuscular. Intervensi neorosurgical mungkin dibutuhkan untuk
pasiencluster headache kronik yang resistance terhadap semua terapi medis.
(Hainer, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

Sidharta, P. 2012. Neurologi klinis dalam praktek umum. Jakarta: Dian Rakyat.

Hidayati, H. B. 2016. Tinjauan Pustaka: Pendekatan Klinisi dalam Manajemen


Nyeri Kepala. Mnj, 2(2), 89–96.

Bahrudin. 2013. Neuroanatomi dan Aplikasi Klinis Diagnosis Topis. Cetakan


Pertama. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.

Tandaju, Yafeth., Runtuwene, Theresia., dan Kembuan, Mieke, A.H.N. 2016.


“Gambaran Nyeri Kepala Primer Pada Mahasiswa Angkatan 2013 Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado”. Jurnal e-Clinic (eCl),Volume
4, Nomor 1.

Peatfield R., Dowson A, Mullen MJ, et al. 2008. “Migraine Intervention With
Starflex Technology (MIST) Trial: A Prospective, Multicenter, Double-
Blind, Sham-Controlled Trial To Evaluate The Effectiveness Of Paten
Foramen Ovale Closure With Starflex Sepal Repair Implant To Resolve
Refractory Migraineheadache”. Circulation 2008;117(11):1397Y1404.

Sjahrir, Hasan. 2008. Patofisiologi Nyeri Kepala. In: Nyeri Kepala Dan Vertigo.
Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press.

Sjahrir, Hasan. 2004. Nyeri kepala. Kelompok Studi Nyeri Kepala. Medan: USU
Press.

Nurwulandari, Ika. 2014. Hubungan Penggunaan Media Elektronik Dengan


Nyeri Kepala Pada Remaja Di Surakarta. Surakarta: FK UMS.

Hainer, B.L., Matheson E. M., 2013. Approach to Acute Headache in Adults. Am


Fam Physician 87(10):682-687

Medscape, 2019. Drug Interaction Checker, (online),


(http://www.reference.medscape.com/drug-interactionchecker), diakses
tanggal 5 Oktober 2019.
Neil H. Raskin.2005. Headache in Harrison`s Principles of Internal Medicine.
McGraw-Hill Companies, New York.

Dipiro, J.T., Wells, B.G., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Posey, L.M.,
2005. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 6th edition.
McGraw-Hill Company, New York.

Dipiro J.T., Talbert R.L., Yee G.C., Matzke G.R., Wells B.G. and Posey L.M.,
2011. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 8th edition.
McGraw-Hill Company, New York.

Anda mungkin juga menyukai