1 Patofisiologi Penyakit
1. Definisi Nyeri Kepala
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada daerah
kepala dengan batas bawah dari dagu sampai kedaerah belakang kepala (area
oksipital dan sebagian daerah tengkuk). Nyeri Kepala merupakan keluhan utama
yang paling sering diberikan kepada dokter. Setiap jenis “sakit kepala”
mempunyai dasar organik, walaupun pada sebagian terdapat juga faktor etiologik
yang bersifat patogenik (Sidharta, 2012). Nyeri kepala umumnya diklasifikasikan
sebagai nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder, kemudian dibagi menjadi
beberapa jenis nyeri kepala tertentu.
Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang sifatnya “idiopatik”, nyeri
kepala yang tidak terkait dengan kondisi patologi/penyebab lain yang mendasari
atau tanpa disertai adanya penyebab struktural organik. Berdasarkan pemeriksaan
neurologis dan tes pencitraan biasanya normal, tidak peduli seberapa parah gejala.
Kejadian nyeri kepala primer lebih sering terjadi dibandingkan nyeri kepala
sekunder. Nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala yang dikaitkan dengan
kondisi patologis yang mendasari atau disertai penyebab struktural organik,
seperti adanya tumor otak, aneurisma, penyakit inflamasi. Dengan pemeriksaan
neurologis dan tes pencitraan telah terbukti membantu dalam diagnostik nyeri
kepala sekunder (Nurwulandari, 2014).
Meskipun sebagian besar nyeri kepala adalah jinak (tidak membahayakan),
namun dokter dihadapkan pada tugas penting untuk membedakan gangguan nyeri
kepala yang jinak dan yang berpotensi mengancam nyawa. Mengingat banyak
penyakit sering disertai dengan keluhan nyeri kepala, perlu pendekatan yang
terfokus dan sistematis untuk memfasilitasi diagnosis dan pengobatan yang tepat
pada berbagai jenis nyeri kepala (Hidayati, 2016).
2. Etiologi
Penyebab nyeri kepala banyak sekali, meskipun kebanyakan adalah kondisi
yang tidak berbahaya (terutama bila kronik dan kambuhan), namun nyeri kepala
yang timbul pertama kali dan akut adalah manifestasi awal dari penyakit sistemik
atau suatu proses intrakranial yang memerlukan evaluasi sistemik yang lebih teliti
(Bahrudin, 2013).
Nyeri kepala bisa dirangsang karena faktor intra kranial (misalnya:
meningitis, Sub Arachnoid Haemorhage (SAH), tumor otak) atau faktor ekstra
kranial yang umumnya bukan kasus neurologi (misalnya: sinusitis, glaukoma)
yang keduanya digolongkan sebagai nyeri kepala sekunder (Bahrudin, 2013).
Secara praktis menurut Bahrudin (2013), penyebab timbulnya nyeri kepala
dapat diringkas sebagai berikut:
1. Circulation: Perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoidal
2. Encephalomeningitis
3. Migrain
4. Eye: Glaucoma, radang, keratitis, anomaly refraksi
5. Neoplasm (Tumor otak)
6. Trauma capitis: Komusio, kontusio, perdarahan ekstradural, perdarahan
subdular
7. Eardan nose: Mastoiditis, otitis media, sinusitis, rhinitis
8. Dental: Gigi, gusi
9. Clusterheadache
10. Otot: Tension headache
11. Arteritis temporalis,
12. Trigeminal neuralgia.
Bila hurut terdepan dirangkai, maka terbentuk kata “CEMENTED COAT”.
Faktor pencetus nyeri kepala misalnya: batuk, tenaga, aktivitas seksual,
manuver valsava, atau tidur). Nyeri kepala yang diperberat oleh batuk, tenaga,
aktivitas seksual, maneuver valsava, atau tidur tumor curiga akan Arterio Venous
Malformation (AVM), Sub Arachnoid Hemorrhage (SAH), atau penyakit vaskuler
(Hidayati, 2016).
Faktor resiko dalam penelitian Tandaju, Runtuwene, Kembuan (2016),
stress mencetus serangan nyeri kepala terbanyak yaitu pada 149 orang (84,6%),
sedangkan faktor pencetus yang paling sedikit ditemukan ialah perubahan cuaca
yang mempengaruhi 34 orang (19,3%).
Tabel 1. Faktor Resiko Penyebab Nyeri Kepala
Pencetus Frekuensi %
Stress 149 84,6
Perubahan pola tidur 110 62,5
Melewatkan waktu malam 74 42
Menstruasi 66 37,5
Asap rokok 68 38,6
Perubahan cuaca 33 19,3
Menonton/bermain laptop 56 31,8
(Tandaju, Runtuwene, Kembuan, 2016)
3. Epidemiologi
Menurut World Health Organization (WHO) nyeri kepala biasanya
dirasakan berulang kali oleh penderita sepanjang hidupnya. Kurang lebih dalam
satu tahun 90% dari populasi dunia mengalami paling sedikit satu kali nyeri
kepala (Sjahrir, 2008). Studi epidemiologi menunjukkan bahwa 86% wanita dan
63% laki-laki mengalami nyeri kepala dalam 1 tahun (Peatfield, 2008). Terdapat
sekitar 28 juta penderita migrain di Amerika Serikat, dimana dua pertiga
diantaranya adalah wanita.
Berdasarkan kepustakaan negara barat prevalensi migrain pada orang
dewasa adalah sekitar 10-20% setahun, pria 6% dan wanita 15-18%, dimana
migrain dengan aura 4% sedangkan migrain tanpa aura 6%. Sedangkan untuk
TTH 59% dari populasi pernah mengalami TTH 1 hari (atau kurang dari 1 hari
perbulannya), 37% mengalami beberapa kali serangan per bulan dan 3%
mengalami TTH kronik (Sjahrir, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian multisenter berbasis rumah sakit pada 5 rumah
sakit besar di Indonesia, didapatkan prevalensi penderita nyeri kepala sebagai
berikut: Migrain tanpa aura 10%, Migrain dengan aura 1,8%, Episodik Tension
Type Headache 31%, Chronic Tension Type Headache 24%, Cluster Headache
0,5%, Mixed Headache 14% (Sjahrir, 2004).
Nyeri kepala merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan oleh pasien
saat datang ke dokter, baik ke dokter umum maupun neurolog. Sampai saat ini
nyeri kepala masih merupakan sebuah masalah. Masalah yang diakibatkan oleh
nyeri kepala mulai dari gangguan pada pola tidur, pola makan, depresi sampai
kecemasan (Hidayati, 2016).
4. Klasifikasi
Klasifikasi dan kriteria diagnostik nyeri kepala dikeluarkan oleh
International Headache Society (IHS) tahun 2013 dalam wujud ICHD-3 (The
International Classification of Headache Disorders 3rd edition). IHS
mengelompokkan nyeri kepala menjadi 3 kategori umum, yaitu Nyeri kepala
Primer (Primary Headaches), Nyeri kepala Sekunder (Secondary Headaches), dan
Nyeri kepala dengan neuropati kranial, nyeri wajah lain dan nyeri kepala lainnya
(Painful cranial neuropathies, other facial pains and other headaches), tetapi yang
paling umum adalah Nyeri kepala Primer (Tension-Type Headache, Migraine, dan
Cluster Headache) dan Nyeri kepala Sekunder (misalnya yang disebabkan oleh
infeksi atau penyakit vaskular) juga berguna untuk membedakan sakit kepala
walaupun mungkin berulang dan sementara mengganggu, tidak memiliki
penyebab mendasar yang berbahaya dari tanda patologis yang signifikan, karena
nyeri kepala mewakili gangguan sistemik atau neurologis yang mendasarinya
(Nurwulandari, 2014).
1. Nyeri Kepala Primer
a. Tension-Type Headache
b. Migraine
c. Cluster Headache
2. Nyeri Kepala Sekunder
Nyeri kepala disebabkan oleh salah satu dari berikut ini:
a. Trauma kepala atau leher
b. Gangguan vaskular kranial atau serviks
c. Gangguan intrakranial nonvaskular
d. Penggunaan atau penarikan obat-obatan
e. Infeksi
f. Gangguan homeostasis
g. Gangguan kejiwaan
h. Sakit kepala atau sakit wajah disebabkan oleh gangguan kranium, leher,
mata, telinga, hidung, sinus, gigi, mulut, atau wajah lainnya atau struktur
tengkorak (Hainer, 2013).
a) Nyeri hebat atau sangat hebat unilateral pada area orbital, dan
atau temporal yang berlangsung 15 – 180 menit apabila tidak
ditangani.
b) Nyeri kepala disertai dengan setidaknya satu dari tanda berikut:
2. Terapi Profilaksis
1. Verapamil
Verapamil sebagai calcium channel blocker digunakan untuk
pencegahan cluster headache, efektif pada sekitar 70% pasien. Efek dari
verapamil terlihat setelah penggunaan satu minggu. Dosii efektif biasanya
antara 240-360 mg/hari untuk serangan episodik, tapi dosis yang lebih tinggi
dibutuhkan untuk mengontrol cluster headache kronik.
2. Lithium
Lithium karbonat efektif untuk serangan cluster headache episodik
dan kronik, dimana efek terapi terlihat pada minggu pertama terapi. Respon
positif terlihat sampai 78% pasien cluster headache dan sampai 63% pasien
cluster headache kronis. Dosis yang biasa digunakan 600-900 mg/hari yang
diberikan dalam dosis terbagi. Takifilaksis pada terapi lithium telah
dilaporkan kadang-kadang pada terapi yang diperpanjang. Kadar lithium
plasma optimum untuk mencegah cluster headache belum diketahui, akan
tetapi efikasi telah dilaporkan relatif pada konsentrasi serum rendah (0,3-0,8
mEQ/L). Efek samping awal ringan dan termasuk tremor, lethargy, nausea,
diare, dan abdominal discomfort.
3. Ergotamin
Ergotamin memiliki efektifitas yang sama seperti terapi abortif jika
digunakan sebagai profilaksis. Dosis tidur 2mg biasanya efektif untuk
mencegah serangan nyeri nokturnal. Dosis ergotamin harian 1-2 mg atau
kombinasi dengan verapamil atau lithium efektif sebagai profilaksis nyeri
kepala pada pasien yang sulit disembuhkan oleh obat-obatan yang lain
dengan resiko ergotism yang kecil atau rebound headache.
4. Methysergide
Pada pasien yang tidak respon terhadap terapi lain, methysergide 4 –8
mg/hari dalam dosis terbagi biasanya efektif dalam memperpendek cluster
headache. Respon terhadap terapi biasanya terjadi dalam satu minggu
setelah pemberian obat pertama. Rata-rata respon pada pasien cluster
headache episodik mendekati 70%, tapi pasien cluster headache kronik
kurang memberi respon.
5. Corticosteroid
Corticosteroid digunakan pada cluster headache kronik yang sulit
disembuhkan dengan verapamil, lithium, ergotamine, dan methysergide atau
kombinasi dari semuanya. Terapi dimulai dengan prednisone 40 –60 mg per
hari dan diturunkan kira-kira selama tiga minggu. Kesembuhan dapat dilihat
dalam 1 sampai 2 hari dari terapi awal. Untuk menghindari komplikasi
penggunaan steroid, tidak digunakan untuk pengobatan jangka panjang.
Nyeri kepala dapat kembali ketikaterapi dikurangi atau dihentikan.
6. Obat-Obatan Lain
Terapi lain yang telah digunkan dalam menangani cluster headache
akut termasuk lidocain intranasal, capsaicin indranasal dan leuprolide
indramuscular. Intervensi neorosurgical mungkin dibutuhkan untuk
pasiencluster headache kronik yang resistance terhadap semua terapi medis.
(Hainer, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Sidharta, P. 2012. Neurologi klinis dalam praktek umum. Jakarta: Dian Rakyat.
Peatfield R., Dowson A, Mullen MJ, et al. 2008. “Migraine Intervention With
Starflex Technology (MIST) Trial: A Prospective, Multicenter, Double-
Blind, Sham-Controlled Trial To Evaluate The Effectiveness Of Paten
Foramen Ovale Closure With Starflex Sepal Repair Implant To Resolve
Refractory Migraineheadache”. Circulation 2008;117(11):1397Y1404.
Sjahrir, Hasan. 2008. Patofisiologi Nyeri Kepala. In: Nyeri Kepala Dan Vertigo.
Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press.
Sjahrir, Hasan. 2004. Nyeri kepala. Kelompok Studi Nyeri Kepala. Medan: USU
Press.
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Posey, L.M.,
2005. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 6th edition.
McGraw-Hill Company, New York.
Dipiro J.T., Talbert R.L., Yee G.C., Matzke G.R., Wells B.G. and Posey L.M.,
2011. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 8th edition.
McGraw-Hill Company, New York.