Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagian besar orang pernah mengalami nyeri kepala (sefalgi) pada sepanjang
hidupnya, terbukti dari hasil penelitian population base di Singapore (Ho,2002)
didapati prevalensi life time nyeri kepala penduduk Singapore adalah pria 80%,
wanita 85% (p= 0.0002). Angka tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian
pendahuluan di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran USU mendapati
hasil pria 78% sedangkan wanitanya 88% (Sjahrir,1978).

Cephalgia atau nyeri kepala termasuk keluhan yang umum dan dapat terjadi
akibat banyak sebab yang membuat pemeriksaan harus dilakukan dengan lengkap.
Sakit kepala kronik biasanya disebebkan oleh migraine, keteganggan, atau depresi,
atau dapat juga terkait dengan lesi intracranial, sedera kepala, dan spondoilosis
servikal, penyakit gigi atau mata, disfungsisendi temporomandibular, hipertensi,
sinusitis, dan berbagai macam gangguan medis umum lainnya.

Sakit kepala biasa disebebkan gaya hidup, kondisi penyakit, jenis kelamin, umur,
pemberian histamin atau nitrogliserin sublingual dan factor genetik. Prevelensi sakit
kepala di USA menunjukan 1 dari 6 orang (16,54%) atau 45 juta orang menderita
sakit kepala kronik dan 20 juta dari 45 juta tersebut merupakan wanita. 75% dari
jumlah diatas adalah tipe tension headache.
Nyeri kepala adalah perasaan sakit atau nyeri, termasuk rasa tidak nyaman yang
menyerang daerah tengkrak (kepala) mulai dari kening kearah atas dan belakang
kepala, dan daerah wajah. HIS tahun 1988 menyatakan bahwa nyeri kepala pada
wajah termasuk juga kedalam sakit kepala. Kini penanganan akan sakit kepala sudah
memiliki standarisasi dari HIS untuk membedakan akan Cluster headache, Migrain,
Tension headache dan dengan nyeri kepala lainnya.
Daerah sensitive terhadap nyeri kepala dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu
intracranial dan ekstrakranial. Intrakranial yaitu sinus venosus, vena korteks

1
serebrum, arteri basal, durameter bagian anterior, dan fossa tengah serta fossa
posterior. Ekstrakranial yaitu pembuluh darah dan otot dari kulit kepala, bagian dari
orbita, membrane mokosa dari nasal dan paranasal, telinga tengah dan luar,gigi dan
gusi. Sedangkan daerah yang tidak sensitive terhadap nyeri adalah parenkim otak,
ventricular ependima, dan plexus koroideus.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak nyaman pada seluruh daerah
kepala dengan batas bawah dari dagu sampai kedaerah belakang kepala ( daerah
oksipital dan sebahagian daerah tengkuk) (Sjahrir, 2008).

2.2 Etiologi
Penyebab terjadinya migraine masih belum diketahui secara pasti, namun ada
beberapa faktor atau pemicu yang dapat menyebabkan terjadinya nyeri kepala.
1. Riwayat keluarga, 70-80% penderita migraine memiliki anggota keluarga dekat
dengan riwayat migraine juga.
2. Perubahan hormone (esterogen dan progesterone) pada wanita, khususnya pada
fase luteal siklus menstruasi.
3. Makanan yang bersifat vasodilator (anggur merah, natrium nitrat) vasokonstriktor
(keju, coklat) serta zat tambahan pada makanan.
4. Stres
5. Faktor fisik, tidur tidak teratur
6. Rangsang sensorik (cahaya silau dan bau menyengat)
7. Alkohol dan Merokok

2.3 Epidemiologi
Berdasarkan hasil penelitian multisenter berbasis rumah sakit pada 5 rumah sakit
di Indonesia, didapatkan prevalensi penderita nyeri kepala sebagai berikut : Migren
tanpa aura 10%, Migren dengan aura 1,8%, Episodik Tension type Headache 31%,
Chronic Tension type Headache (CTTH) 24%, Cluster Headache 0.5%,Mixed
Headache 14% (Sjahrir, 2004).
Penelitian berbasis populasi menggunakan kriteria Internasional Headache
Society untuk Migrain dan Tension Type Headache (TTH), juga penelitian Headache
in General dimana Chronic Daily Headache juga disertakan . Secara global,
persentase populasi orang dewasa dengan gangguan nyeri kepala 46% , 11% Migren,

3
42% Tension Type Headache dan 3% untuk Chronic daily headache (Stovner dkk
2007).

2.4 Anatomi
Cranium atau tulang tengkorak adalah sekumpulan tulang yang saling
berhubungan satu sama lain yang didalamnya terdapat cavum cranii yang berisi otak
atau encephalon. Cranium dibagi menjadi neurocranium dan viscerocranium, yang
melindungi otak adalah neurocranium dan yang membentuk tulang wajah adalah
viscerocranium.
Disebelah profunda dari cranium terdapat lembaran jaringan ikat yang juga
berfungsi melindungi otak disebut meninx yang terdiri dari atas 3 lapis yaitu
duramater, arachnoidmater, dan piamater. Selain itu kulit kepala, otot, tendon, dan
jaringan ikat atau fascia kepala yang letaknya lebih superficial juga ikut berperan
dalam melindungi otak.
Dari semua struktur cranium diatas ada yang memiliki reseptor peka nyeri dan
ada yang tidak memiliki reseptor nyeri. Yang memiliki reseptor nyeri dibagi menjadi
struktur peka nyeri ekstrakranial dan intracranial. Struktur peka nyeri ekstrakranial
antara lain, kulit kepala, otot kepala, tendon, fascia kepala, periosteum, sinus
paranasalis, gigi geligi, telinga luar, nervus cervicalis C2 C3, dan arteri ekstrakranial.
Struktur peka nyeri intracranial antara lain, meninx, sinus venosus duramater, arteri
meningea, nervus cranialis. Sedangkan struktur yang tidak peka nyeri antara lain,
tulang kepala, parenkim otak, ventrikel dan plexus choroideus.
Apabila terjadi rangsangan yang melibatkan reseptor peka nyeri pada struktur
cranium diatas maka akan menyebabkan nyeri kepala atau cephalgia. Jika nyeri
kepala melibatkan struktur di 2/3 fossa cranium anterior atau supratentorial maka
nyeri akan diproyeksikan ke daerah frontal, temporal dan parietal yang diperantarai
oleh nervus trigeminal, dan jika nyeri kepala melibatkan struktur di daerah fossa
cranii posterior atau infratentorial maka nyeri akan diproyeksikan ke daerah
occipital, leher dan belakang telinga yang diperantarai oleh nervus cervicalis atas C1,
C2 dan C3.

4
2.5 Klasifikasi
Berdasarkan klassifikasi Internasional Nyeri Kepala Edisi 2 dari Internasional
Headache Society (IHS).
Primary headache disorders :
1.Migraine
1.1. Migren tanpa aura
1.2. Migren dengan aura
1.3. Sindroma periodik pada anak yang sering menjadi prekursor migren
1.4. Migren Retinal
1.5. Komplikasi migren
1.6. Probable migren
2.Tension-type headache

5
2.1. Tension-type headache episodik yang infreguent
2.2. Tension-type headache episodik yang frequent
2.3. Tension-type headache kronik
2.4. Probable tension-type headache
3.Cluster headache and other trigeminal autonomic cephalalgias
3.1. Nyeri kepala Klaster
3. 2. Hemikrania paroksismal
3.3. Short-lasting unilateral neuralgi form headache with conjunctival
injection and tearing
3. 4. Probable sefalgia trigeminalotonomik
4.Other primary headaches
4.1. Pimary stabbing headache
4.2. Primary cough headache
4.3. Primary exertional headache
4.4. Nyeri kepala primer sehubungan dengan aktifitas seksual
4 5. Hypnic headache
4.6. Primary thunderclap headache
4.7. Hemikrania kontinua
4.8. New daily-persistent headache
Secondary headache disorders:
1.Headache attributed to head and/or neck trauma
2.Headache attributed to cranial or cervical vascular disorder
3.Headache attributed to non-vascular intracranial disorder
4.Headache attributed to a substance or its withdrawal
5.Headache attributed to infection
6.Headache attributed to disorder of homeoeostasis
7.Headache or facial pain attributed to disorder of cranium, neck, eyes, ears,
nose, sinuses, teeth,mouth, or other facial or cranial structures.
8.Headache attributed to psychiatric disorder
9.Cranial Neuralgias and facial pains
10.Cranial neuralgias and central causes of facial pain

6
11.Other headache, cranial neuralgia central, or primary facial pain.

2.5.1 Migren
2.5.1.1 Definisi
Menurut International Headache Society, 2004, migren adalah nyeri kepala
dengan serangan nyeri yang berlangsung 4-72 jam. Nyeri biasanya unilateral,
sifatnya berdenyut, intensitas nyerinya sedang sampai berat dan diperberat oleh
aktivitas, dan dapat disertai mual, muntah, fotofobia dan fonofobia.
Konsep klasik mengatakan migren adalah gangguan fungsional otak dengan
manifestasi nyeri kepala unilateral yang sifatnya mendenyut atau mendentum yang
terjadi mendadak disertai mual atau muntah.Konsep tersebut telah diperluas oleh The
Research Group On Migraine and Headache of The World Federation Of Neurology.
Migren merupakan gangguan bersifat familial dengan karakteristik serangan nyeri
kepala yang berulang-ulang yang intensitas, frekuensi dan lamanya bervariasi.Nyeri
kepala umumnya unilateral, disertai anoreksia, mual, dan muntah.Dalam beberapa
kasus migren ini didahului oleh gangguan neurologik dan gangguan perasaan hati.
Definisi migren yang lain yang ditetapkan oleh panitia ad hoc mengenai nyeri
kepala (Ad Hoc Comittee on Classification of Headache) adalah serangan nyeri
kepala unilateral berulang-ulang dengan frekuensi lama dan hebatnya rasa nyeri yang
beraneka ragam dan biasanya berhubungan dengan tidak suka makan dan terkadang
dengan mual dan muntah. Terkadang didahului oleh gangguan sensorik, motorik, dan
kejiwaan.Sering dengan faktor keturunan.
Blau (2003) mengusulkan definisi migren sebagai nyeri kepala berulangulang
berlangsung antara 2-72 jam dan bebas nyeri antara serangan nyeri kepala, harus
berhubungan dengan gangguan visual atau gastrointerstinal atau keduanya.Gejala
visual timbul sebagai aura dan/atau fotofobia selama nyeri kepala.Bila tidak ada
gangguan visual hanya berupa gangguan gastrointestinal, maka muntah harus
sebagai gejala pada beberapa serangan (Harsono, 2005, Kapita Selekta Neurologi
Edisi Kedua)

7
2.5.1.2 Etiologi
Menurut Harsono (2005), Kapita Selekta Neurologi, edisi kedua, sampai saat
ini belum diketahui dengan pasti faktor penyebab migren, diduga sebagai gangguan
neurobiologis, perubahan sensitivitas sistem saraf dan aktivasi sistem trigeminal
vaskular, sehingga migren termasuk dalam nyeri kepala primer. Diketahui ada
beberapa faktor pencetus timbulnya serangan migren yaitu :
1. Perubahan hormonal Beberapa wanita yang menderita migren merasakan
frekuensi serangan akan meningkat saat menstruasi. Bahkan ada
diantaranya yang hanya merasakan serangan migren saat
menstruasi.Istilah ‘menstrual migraine’ sering digunakan untuk
menyebut migren yang terjadi pada wanita saat dua hari sebelum
menstruasi dan sehari setelahnya. Ini terjadi disebabkan penurunan kadar
estrogen.
2. Kafein Kafein terkandung dalam banyak produk makanan seperti minuman
ringan, teh, cokelat, dan kopi. Kafein dalam jumlah yang sedikit akan
meningkatkan kewaspadaan dan tenaga, namun bila diminum dalam
dosis yang tinggi akan menyebabkan gangguan tidur, lekas marah, cemas
dan sakit kepala.
3. Puasa dan terlambat makan Universitas Sumatera Utara Puasa dapat
mencetuskan terjadinya migren oleh karena saat puasa terjadi pelepasan
hormone yang berhubungan dengan stres dan penurunan kadar gula darah.
4. Ketegangan jiwa (stres) baik emosional maupun fisik atau setelah istirahat
dari ketegangan.
5.Cahaya kilat atau berkelip Cahaya yang terlalu terang dan intensitas
perangsangan visual yang terlalu tinggi akan menyebabkan sakit kepala
pada manusia normal. Mekanisme ini juga berlaku untuk penderita migren
yang memiliki kepekaan cahaya yang lebih tinggi daripada manusia
normal.
6.Makanan Penyedap makanan atau MSG dilaporkan dapat menyebabkan
sakit kepala, kemerahan pada wajah, berkeringat dan berdebar-debar jika
dikonsumsi dalam jumlah yang besar pada saat perut kosong. Fenomena

8
ini disebut ‘Chinese Restaurant Syndrome’.Aspartam atau pemanis buatan
pada minuman diet dan makanan ringan, dapat menjadi pencetus migren
bila dimakan dalam jumlah besar dan jangka waktu yang lama.
7. Banyak tidur atau kurang tidur Gangguan mekanisme tidur seperti tidur
terlalu lama, kurang tidur, sering terjaga tengah malam, sangat erat
hubungannya dengan migren dan sakit kepala tegang, sehingga perbaikan
dari mekanisme tidur ini akan membantu mengurangi frekuensi timbulnya
migren.
8. Faktor herediter
9. Faktor kepribadian

2.5.1.3 Manifestasi Klinis


Secara keseluruhan, manifestasi klinis penderita migren bervariasi pada setiap
individu.Terdapat 4 fase umum yang terjadi pada penderita migren, tetapi semuanya
tidak harus dialami oleh setiap individu.Fase-fase tersebut antara lain (Aminoff, MJ
et al, 2005) :
1. Fase Prodromal. Fase ini dialami 40-60% penderita migren. Gejalanya
berupa perubahan mood, irritable, depresi, atau euphoria, perasaan lemah,
letih, lesu, tidur berlebihan, menginginkan jenis makanan tertentu (seperti
cokelat) dan gejala lainnya. Gejala ini muncul beberapa jam atau hari
sebelum fase nyeri kepala. Fase ini memberi petanda kepada penderita atau
keluarga bahwa akan terjadi serangan migren.
2. Fase Aura. Aura adalah gejala neurologis fokal kompleks yang mendahului
atau menyertai serangan migren. Fase ini muncul bertahap selama 5-20
menit. Aura ini dapat berupa sensasi visual, sensorik, motorik, atau
kombinasi dari aura-aura tersebut. Aura visual muncul pada 64% pasien dan
merupakan gejala neurologis yang paling umum terjadi. Yang khas untuk
migren adalah scintillating scotoma (tampak bintik-bintik kecil yang banyak)
, gangguan visual homonym, gangguan salah satu sisi lapang Universitas
Sumatera Utara pandang, persepsi adanya cahaya berbagai warna yang
bergerak pelan (fenomena positif). Kelainan visual lainnya adalah adanya

9
scotoma (fenomena negatif) yang timbul pada salah satu mata atau kedua
mata. Kedua fenomena ini dapat muncul bersamaan dan berbentuk zig-zag.
Aura pada migren biasanya hilang dalam beberapa menit dan kemudian
diikuti dengan periode laten sebelum timbul nyeri kepala, walaupun ada yang
melaporkan tanpa periode laten.
3. Fase nyeri kepala. Nyeri kepala migren biasanya berdenyut, unilateral, dan
awalnya berlangsung didaerah frontotemporalis dan okular, kemudian setelah
1-2 jam menyebar secara difus kearah posterior. Serangan berlangsung
selama 4-72 jam pada orang dewasa, sedangkan pada anakanak berlangsung
selama 1-48 jam. Intensitas nyeri bervariasi, dari sedang sampai berat, dan
kadang-kadang sangat mengganggu pasien dalam menjalani aktivitas sehari-
hari.
4. Fase Postdromal. Pasien mungkin merasa lelah, irritable, konsentrasi
menurun, dan terjadi perubahan mood. Akan tetapi beberapa orang merasa
“segar” atau euphoria setelah terjadi serangan, sedangkan yang lainnya
merasa deperesi dan lemas.
Gejala diatas tersebut terjadi pada penderita migren dengan aura, sementara
pada penderita migren tanpa aura, hanya ada 3 fase saja, yaitu fase prodromal, fase
nyeri kepala, dan fase postdromal.

2.5.1.4 Kriteria Diagnosis


a. Kriteria diagnosis migren tanpa aura
A. Sekurang-kurangnya 10 kali serangan termasuk B-D
B.Serangan nyeri kepala berlangsung antara 4-72 jam (tidak diobati atau
pengobatan yang tidak adekuat) dan diantara serangan tidak ada nyeri
kepala
C. Nyeri kepala yang terjadi sekurang-kurangnya dua karakteristik sebagai
berikut: 1. Lokasi unilateral
2. Sifatnya berdenyut
3. Intensitas sedang sampai berat
4. Diperberat dengan kegiatan fisik

10
D. Selama serangan sekurang-kurangnya ada satu dari yang tersebut di bawah
ini:
1. Mual atau dengan muntah
2. Fotofobia atau dengan fonofobia
E. Sekurang-kurangnya ada satu dari yang tersebut dibawah ini:
1. Riwayat pemeriksaan fisik dan neurologik tidak menunjukkan adanya
kelainan organic
2. Riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik diduga adanya kelainan
organik tetapi pemeriksaan neroimaging dan pemeriksaan tambahan
lainnya tidak menunjukkan kelaianan
b. Kriteria diagnosis migren dengan aura
A. Sekurang-kurangnya 2 serangan seperti tersebut dalam B
B. Sekurang-kurangnya terdapat 3 dari karakteristik tersebut dibawah ini:
1.Satu atau lebih gejala aura yang reversible yang menunjukkan
disfungsi hemisfer dan/atau batang otak
2. Sekurang-kurangnya satu gejala aura berkembang lebih dari 4 menit,
atau 2 atau gejala aura terjadi bersama-sama
3. Tidak ada gejala aura yang berlangsung lebih dari 60 menit; bila
lebih dari satu gejala aura terjadi, durasinya lebih lama. Nyeri kepala
mengikuti gejala aura dengan interval bebas nyeri kurang dari 60
menit, tetapi kadang kadang dapat terjadi sebelum aura.
C. Sekurang-kurangnya terdapat satu dari yang tersebut dibawah ini:
1. Riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik tidak menunjukkan
adanya kelainan organik
2. Riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik diduga adanya kelainan
organik, tetapi pemeriksaan neuroimaging dan pemeriksaan
tambahan lainnya tidak menunjukkan kelainan.

11
2.5.1.5 Komplikasi
A. Status Migrenosus
Serangan migren dengan fase nyeri kepala lebih dari 72 jam, mendapat
pengobatan atau tidak, dengan interval bebas nyeri kurang 4 jam (tidak termasuk
tidur) (Headache Classification Comittee of International Headache Society ,2003).
B. Infark Migrenosus Dahulu disebut migren komplikata.Adalah keadaan
satu atau lebih gejala aura yang tidak sepenuhnya hilang dalam waktu 7 hari dan atau
didapatkan infark iskemik pada konfirmasi pemeriksaan neuroimaging (Headache
Classification Comittee of IHS).Insidensi sangat rendah, biasanya jenis migren ini
terjadi setelah lama menderita migren dengan aura.Patogenesis belum diketahui,
tetapi faktor hiperaglutinasi dan hiperviskositas mempunyai peran penting. Broderick
dan Swanson (1987) , selama 4 tahun diantara 5000 pasien migren, didapatkan 20
pasien terkena stroke, 2 pasien stroke ulang setelah 7 tahun kemudian, 14 pasien
penyembuhan dengan gejala sisa, dan 4 pasien sembuh sempurna.

Perbedaan antara Migren Tanpa Aura dengan Migren Aura


Dalam klasifikasi nyeri kepala menurut International Headache Association,
definisi migren tanpa aura (MTA) dan migren aura (MA) dibedakan oleh kriteria
diagnostik.Secara klinisnya keduanya dapat dibedakan dari ada dan tidak adanya
gejala aura, gejala aura terjadi secara simultan dengan penurunan aliran darah otak,
sedangkan pada MTA aliran darah otak normal.Selanjutnya pada fase nyeri terjadi
dilatasi dari arteri serebri media baik pada MTA maupun MA.Hal tersebut
menunjukkan bahwa patogenesis MA dan MTA pasa fase awal berbeda tetapi
hampir serupa pada fase nyeri. Beberapa perbedaan lain antara MA dan MTA
(Olesen J, Rasmussen BK, 1996).

2.5.1.6 Diagnosis
Diagnosis migren ditegakkan berdasarkan anamnesis, karena nyeri kepala
merupakan keluhan yang sangat subjektif, jarang sekali didapatkan kelainan
neurologis dan bila ada biasanya terjadi saat serangan.

12
A. Anamnesis
Dalam anamnesis perlu digali lokasi, penjalaran, intensitas, kualitas,
gejala premonitory, aura, gejala penyerta, faktor pencetus, faktor
peringan/perberat dan riwayat keluarga.Dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang teliti ketepatan diagnosis migren mencapai 95%.
Apabila didapatkan kelainan neurologis saat serangan migren, untuk
membedakan dengan kelainan neurologis lain perlu dilakukan
pemeriksaan ulang saat bebas serangan, sebelum dilakukan pemeriksaan
penunjang lebih lanjut (Jenie MN, Kumpulan Makalah Utama Temu
Regional Neurologi, 2002).
B. Pemeriksaan fisik neurologis
Disamping pemeriksaan fisik secara umum, dilakukan pemeriksaan
neurologis yang meliputi: Nervus kranialis, pupil, lapangan pandang,
gerakan bola mata, funduskopi untuk evaluasi keadaan n. II, retina dan
pembuluh darah retina, kekuatan otot, tonus dan koordinasi,reflex
fisiologis dan patologis, sensorik terutama sensorik kortikal
(stereognosis), gait, bising orbita, palpasi arteri superfisialis temporalis.
C. Pemeriksaan penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk membantu menegakkan
diagnosis.Pemeriksaan penunjang diperlukan bila dicurigai adanya
kelainan struktural yang mempunyai gejala seperti migren.
a. EEG. Gambaran abnormal yang sering dijumpai adalah
perlambatan aktifitas listrik, peningkatan gelombang teta dan delta di
daerah kepala belakang, pada sisi nyeri kepala kadang-kadang didapatkan
gelombang tajam yang tidak spesifik (Notowardojo, Tinjauan
Neuropsikiatrik, 2005).
b. MRI (Magnetic Resonance Imaging). (Igarashi, 1998), melakukan
pemeriksaan MRI pada 91 penderita migren dan 98 kontrol, didapatkan
lesi kecil di substansia alba pada 15 dari 51 penderita (29,4%), sedangkan
pada kontrol 11 dari 98 orang (11,2%) dan ini mempunyai perbedaan
bermakna.

13
c. PET (Positron Emission Tomography). Sachs membangkitkan
serangan migren pada 5 penderita dengan injeksi reserpin subkutan,
kemudian dilakukan pemeriksaan PET 1,5 jam setelah pemberian, terjadi
penurunan yang bermakna pada metabolisme glukosa pada penderita
migren (Lance JW, 2003, Mechanism and Management of Headache, 5th
edision).

2.5.1.7 Penatalaksanaan
A. Pengobatan Non-Medik
Karena faktor pencetus tidak selalu bisa dihindari, maka dianjurkan
pengobatan non- medik, oleh karena hal ini dapat mengurangi banyaknya obat
migren sehingga efek samping dari obat-obatan dapat dikurangi.Termasuk dalam
pengobatan non-medik adalah latihan relaksasi otot (Harsono. Kapita Selekta
Neurologi Edisi Kedua, 2003).
B. Pengobatan Simptomatik
Willinson (1988), menganjurkan pada waktu serangan migren sebagai
berikut (Harsono, 2003) :
a.Mencegah pemberian obat-obat yang mengganggu tidur
b. Obat-obat anti mual seperti metoklopramid. Obat anti mual dapat
memicu aktivitas normal pencernaan (gastrointestinal) yang
terganggu saat serangan migren.
c.Analgetika sederhana. Misalnya aspirin atau parasetamol dapat
menghilangkan nyeri kepala bila sebelumnya diberi yang memicu
aktivitas gastrointestinal.
d. Ergotamin tartrat. Cara kerja obat ini bifasik, bergantung pada
tahanan darah yang telah ada sebelumnya.
C. Pengobatan Abortif
Harus diberikan sedini mungkin, tetapi sebaiknya saat timbul nyeri
kepala. Obat yang dapat digunakan:
a. Ergotamin tartrat dapat diberikan tersendiri atau dicampur dengan
obat antiemetik, analgesik, atau sedatif.

14
b. Dihidroergotamin (DHE) merupakan agonis reseptor serotonin yang
aman dan efektif untuk menghilangkan serangan migren dengan efek
samping mual yang kurang dan lebih bersifat vasokonstriktor.
c. Sumatriptan suksinat merupakan agonis selektif reseptor 5- Hidroksi
triptamin (5-HT1D) yang efektif dan cepat menghilangkan serangan
nyeri.

D. Pengobatan Pencegahan
Pengobatan pencegahan diberikan bila terdapat lebig dari 2 kali
serangan dalam sebulan. Obat pencegah migren adalah (Harsono,
2003):
a. Beta-blocker
b. Antagonis Ca
c. Antiserotonin dan antihistamin
d. Antidepresan trisiklik e. NSAID

2.5.2 Tension Type Headache


2.5.2.1 Definisi
(TTH) adalah sakit kepala yang terasa seperti tekanan atau ketegangan di
dalam dan disekitar kepala. Nyeri kepala karena tegang yang menimbulkan nyeri
akibat kontraksi menetap otot- otot kulit kepala, dahi, dan leher yang disertai dengan
vasokonstriksi ekstrakranium. Nyeri ditandai dengan rasa kencang seperti pita di
sekitar kepala dan nyeri tekan didaerah oksipitoservikalis (Hartwig dan Wilson,
2006).

2.5.2.2 Etiologi
 Tension (keteganggan) dan stress.
 Tiredness (Kelelahan).
 Ansietas (kecemasan).
 Lama membaca, mengetik atau konsentrasi (eye strain)

15
 Posture yang buruk.
 Jejas pada leher dan spine.
 Tekanan darah yang tinggi.
 Physical dan stress emotional (Emergency department factsheet, 2008).

2.5.2.3 Patogenesis
TTH sering diasosiasikan dengan kelainan psychological stress
psikopatologi, terutama ansietas dan depresi. Depresi yaitu suatu keadaan yang
dicirikan oleh suasana hati tidak menyenangkan yang meresap disertai kehilangan
seluruh minat dan ketidak mampuan merasakan kesenangan. Pada penderita depresi,
stress, dan gangguan kecemasan (ansietas) di jumpain adanya deficit kadar serotonin,
dan noradrenalin di otaknya. Serotonin dan nor-adrenalin adalah neurotransmitter
yang berperan dalam proses nyeri maupun depresi, yang mengurus mood. Adanya
deficit kadar serotonin, sehingga terjadi vasokontriksi pada pembuluh darah dan
membawanya ke ambang nyeri kepala (pain threshold). Serotonin didegradasi oleh
kerja enzymatic monoamine oxidase dan dikeluarkan melalui urin berbentuk 5-
hydroxyindoleacetic acid (Mumenthaler dan Mattle, 2004).
TTH dapat disebabkan karena stress, alkohol,dan hormonal yang akan
menstimulasi simpatis nervous system sehingga terjadi peningkatan nor-epinefrine
yang di sebarkan ke spindles muscle dan menyebabkan vasokontriksi . Nor-
epinefrine juga di sebarkan ke pembuluh darah sehingga terstimulus cervical
simpatis ganglia dan merasa nyeri disekitar leher (Wesley, 2001).

2.5.2.4 Diagnosis
Mengingat diagnosis nyeri kepala sebahagian besar didasarkan atas keluhan,
maka anamnesis memegang peranan penting. Dalam praktek sehari- hari, jenis nyeri
kepala yang paling sering adalah nyeri kepala tipe tegang atau sering disebut
tensiontype headache (TTH). Dari anamnesis, biasanya gejala terjadinya TTH terjadi
setiap hari dan terjadi dalam 10 kali serangan dalam satu hari. Durasi atau lamanya
TTH tersebut dapat terjadi selama antara 30 menit sampai dengan 7 hari. Nyerinya

16
dapat bersifat unilateral atau bilateral, dan pada TTH tidak adanya pulsating pain
serta intensitas TTH biasanya bersifat ringan. Pada TTH pun terdapat adanya mual,
muntah dan kelaian visual seperti adanya fonofobia dan fotofobia (Shevel, 2006).
Pemeriksaan tambahan pada TTH adalah pemeriksaan umum seperti tekanan
darah, fungsi cirkulasi, fungsi ginjal, dan pemeriksaan lain seperti pemeriksaan
neurologi (pemeriksaan saraf cranial, dan intracranial particular), serta pemeriksaan
lainnya, seperti pemeriksaan mental status (Mumenthaler & Mattle, 2004).
Pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologi (foto rontgen, CT Scan), Elektrofisiologik (EEG, EMG) (Ropper & Robert,
2005).

2.5.3 Cluster Headache


2.5.3.1 Definisi
Cluster headache (CH) adalah suatu bentuk nyeri kepala primer yang sangat
parah dengan prevelensi kira-kira 0,1% dari total penduduk pertahunnya. Cluster
Headache dikelompokan kedalam Trigeminal Autonomy Cephalgia (TAC), hal ini
disebabkan karena Cluster headache merupakan bentuk nyeri kepala terbanyak
kedua yang sering dihadapi oleh spesialis saraf atau neurologis. Cluster headache
terdiri dari dua jenis, Cluster headache episodik, yang terdapat fase bebas serangan
satu bulan atau lebih tanpa pengobatan (80% dari semua pasien cluster headache),
dan cluster headache kronis yang tidak terdapat fase penyembuhan (20% dari semua
pasien cluster headache).
Sindrom ini berbeda dengan migren, walaupun sama-sama ditandai dengan nyeri
kepala unilateral, dan dapat terjadi bersamaan dengan migren. Mekanisme
histaminergik dan humoral diperkirakan mendasari gejala otonom yang terjadi
bersamaan dengan nyeri kepala ini. Cluster headache sering di dapatkan pada
dewasa muda, terutama laki-laki, degan rasio jenis kelamin laki-laki dan wanita 4:1.
Nyeri dirasakan hilang timbul (biasanya berlangsung 20-120 menit) di daerah orbita
dan wajah yang terjadi beberapa kali sehari selama beberapa minggu, yang
dipisahkan oleh interval tanpa serangan. Pola ini berlangsung selama berhari-hari,
berminggu-minggu bahkan bulanan, kemudian bebas serangan selama beberapa

17
minggu, bulan bahkan tahunan, sehingga dinamakan cluster headache
(cluster:berkelompok). Diperkirakan cluster headache dipengaruhi oleh factor
genetic. Riwayat keluarga yang juga menderita nyeri kepala, merokok,cedera kepala,
dan pekerjaan juga diperkirakan berkaitan dengan terjadinaya cluster headache.

2.6 Patofisiologi
Ada 3 hipotesa dalam hal patofisisologi migren yaitu: (Sjahrir 2004)
1. Pada migren yang tidak disertai Cutaneus Allodynia (CA), berarti sensitisasi
neuron ganglion trigeminal sensoris yang menginervasi duramater.
2. Pada migren yang menunjukkan adanya CA hanya pada daerah referred pain,
berarti terjadi sensitisasi perifer dari reseptor meninggeal (first order) dan sensitisasi
sentral dari neuron komu dorsalis medula spinalis (second order) dengan daerah
reseptif periorbital.
3. Pada migren yang disertai CA yang meluas keluar dari area referred pain, terdiri
atas penumpukan dan pertambahan sensitisasi neuron talamik (third order) yang
meliputi daerah reseptif seluruh tubuh.
Adapun 3 teori lain yang menjelaskan pathogenesis migren:
1. Teori Vascular
Teori vaskular, adanya gangguan vasospasme menyebabkan pembuluh darah
otak berkonstriksi sehingga terjadi hipoperfusi otak yang dimulai pada korteks visual
dan menyebar ke depan. Penyebaran frontal berlanjutan dan menyebabkan fase nyeri
kepala dimulai.
2. Teori Neurovascular-Neurokimia (Trigeminovascular)
Adanya vasodilatasi akibat aktivitas NOS dan produksi NO akan merangsang
ujung saraf trigeminus pada pembuluh darah sehingga melepaskan CGRP (calcitonin
gene related). CGRP akan berikatan pada reseptornya di sel mast meningens dan
akan merangsang pengeluaran mediator inflamasi sehingga menimbulkan inflamasi
neuron. CGRP juga bekerja pada arteri serebral dan otot polos yang akan
mengakibatkan peningkatan aliran darah. Selain itu, CGRP akan bekerja pada post
junctional site second order neuron yang bertindak sebagai transmisi impuls nyeri.
Teori sistem saraf simpatis, aktifasi sistem ini akan mengaktifkan lokus sereleus

18
sehingga terjadi peningkatan kadar epinefrin. Selain itu, sistem ini juga
mengaktifkan nukleus dorsal rafe sehingga terjadi peningkatan kadar serotonin.
Peningkatan kadar epinefrin dan serotonin akan menyebabkan konstriksi dari
pembuluh darah lalu terjadi penurunan aliran darah di otak. Penurunan aliran darah
di otak akan merangsang serabut saraf trigeminovaskular. Jika aliran darah
berkurang maka dapat terjadi aura. Apabila terjadi penurunan kadar serotonin maka
akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah intrakranial dan ekstrakranial yang akan
menyebabkan nyeri kepala pada migren.

3. Teori Cortical Spreading Depresion1


Dimana pada orang migrain nilai ambang saraf menurun sehingga mudah terjadi
eksitasi neuron lalu berlaku short-lasting wave depolarization oleh pottasium-
liberating depression (penurunan pelepasan kalium) sehingga menyebabkan
terjadinya periode depresi neuron yang memanjang. Selanjutnya, akan terjadi
penyebaran depresi yang akan menekan aktivitas neuron ketika melewati korteks
serebri.

19
Pada Tension type headache kemungkinan sumber nyeri pada TTH adalah
adanya keterlibatan otot yang melekat pada tulang tengkorak , patofisiologinya
sebagian besar tidak diketahui.(Jan 2007).
Asal nyeri pada TTH dikaitkan dengan meningkatnya kontraksi dan iskemia otot
kepala dan leher. Penelitian berbasis elektromiografi (EMG), telah melaporkan
normal atau hanya sedikit meningkatnya aktivitas otot pada TTH, dan telah
menunjukkan bahwa level laktat otot normal selama latihan otot statis pada pasien
dengan Cronic TTH. Banyak penelitian menunjukkan bahwa Pericranial Myofascial
Tissue jauh lebih tender pada pasien TTH dari pada subyek sehat. Hal ini juga telah
menunjukkan bahwa konsistensi otot perikranium meningkat, pada pasien TTH lebih
rentan untuk nyeri bahu dan nyeri leher pada respon latihan statis dari subjek yang
sehat. Studi terbaru yang dilaporkan peningkatan jumlah trigger point aktif dalam
otot perikranium pada pasien TTH episodik lebih sering dan pada pasien yang
memiliki TTH kronis (Bendtsen 2009).

20
Pada penderita Tension type headache didapati gejala yang menonjol yaitu nyeri
tekan yang bertambah pada palpasi jaringan miofascial perikranial. Impuls nosiseptif
dari otot perikranial yang menjalar kekepala mengakibatkan timbulnya nyeri kepala
dan nyeri yang bertambah pada daerah otot maupun tendon tempat insersinya.
TTH adalah kondisi stress mental, non-physiological motor stress, dan miofasial
lokal yang melepaskan zat iritatif ataupun kombinasi dari ke tiganya yang
menstimuli perifer kemudian berlanjut mengaktivasi struktur persepsi supraspinal
pain, kemudian berlanjut lagi ke sentral modulasi yang masing-masingh individu
mempunyai sifat self limiting yang berbeda-beda dalam hal intensitas nyeri
kepalanya (Jensen, 2001).
Pengukuran tekanan palpasi terhadap otot perikranial dilakukan dengan alat
palpometer (yang ditemukan oleh Atkins, 1992) sehingga dapat mendapatkan skor
nyeri tekan terhadap otot tersebut. Langemark & Olesen tahun 1987 telah
menemukan metode palpasi manual untuk penelitian nyeri kepala dengan cara
palpasi secara cepat bilateral dengan cara memutar jari ke-2 dan ke-3 ke otot yang
diperiksa, nyeri tekan yang terinduksi dinilai dengan skor Total Tenderness Scoring
system. Yaitu suatu sistem skor dengan 4 point penilaian kombinasi antara reaksi
behaviour dengan reaksi verbal dari penderita (Bendtsen, 2000).
Pada penelitian Bendtsen tahun 1996 terhadap penderita chronic tension type
headache ternyata otot yang mempunyai nilai Local tenderness score tertinggi adalah
otot Trapezeus, insersi otot leher dan otot sternocleidomastoid (Bendtsen, 2000).
Nyeri tekan otot perikranial secara signifikan berkorelasi dengan intensitas maupun
frekwensi serangan tension type headache kronik. Belum diketahui secara jelas
apakah nyeri tekan otot tersebut mendahului atau sebab akibat daripada nyeri kepala,
atau nyeri kepala yang timbul dahulu baru timbul nyeri tekan otot. Pada migren
dapat juga terjadi nyeri tekan otot, akan tetapi tidak selalu berkorelasi dengan
intensitas maupun frekwensi serangan migren.
Nyeri miofascial adalah suatu nyeri pada otot bergaris termasuk juga struktur
fascia dan tendonnya. Dalam keadaan normal nyeri miofascial di mediasi oleh
serabut kecil bermyelin (Aoc) dan serabut tak bermyelin (C), sedangkan serabut
tebal yang bermyelin (Aα dan AB) dalam keadaan normal mengantarkan sensasi

21
yang ringan/ tidak merusak (inocuous). Pada rangsang noxious dan inocuous event,
seperti misalnya proses iskemik, stimuli mekanik, maka mediator kimiawi
terangsang dan timbul proses sensitisasi serabut Aa dan serabut C yang berperan
menambah rasa nyeri tekan pada tension type headache (Sjahrir, 2003).
Pada zaman dekade sebelum ini dianggap bahwa kontraksi dari otot kepala dan
leher yang dapat menimbulkan iskemik otot sangatlah berperan penting dalam
tension type headache sehingga pada masa itu sering juga disebut muscle contraction
headache. Akan tetapi pada akhir-akhir ini pada beberapa penelitian-penelitian yang
menggunakan EMG (elektromiografi) pada penderita tension type headache ternyata
hanya menunjukkan sedikit sekali terjadi aktifitas otot, yang tidak mengakibatkan
iskemik otot, jika meskipun terjadi kenaikan aktifitas otot maka akan terjadi pula
adaptasi protektif terhadap nyeri. Peninggian aktifitas otot itupun bisa juga terjadi
tanpa adanya nyeri kepala.
Nyeri myofascial dapat di dideteksi dengan EMG jarum pada miofascial trigger
point yang berukuran kecil beberapa milimeter saja (tidak terdapat pada semua otot).
Mediator kimiawi substansi endogen seperti serotonin (dilepas dari platelet),
bradikinin (dilepas dari belahan precursor plasma molekul kallin) dan kalium (yang
dilepas dari sel otot), SP dan CGRP dari aferens otot berperan sebagai stimulant
sensitisasi terhadap nosiseptor otot skelet. Jadi dianggap yang lebih sahih pada saat
ini adalah peran miofascial terhadap timbulnya tension type headache (Bendtsen,
2000).
Untuk jenis TTH episodik biasanya terjadi sensitisasi perifer terhadap nosiseptor,
sedang yang jenis kronik berlaku sensitisasi sentral. Proses kontraksi otot sefalik
secara involunter, berkurangnya supraspinal descending pain inhibitory activity, dan
hipersensitivitas supraspinal terhadap stimuli nosiseptif amat berperan terhadap
timbulnya nyeri pada Tension type Headache. Semua nilai ambang pressure pain
detection, thermal & electrical detection stimuli akan menurun di sefalik maupun
ekstrasefalik (Bendtsen,2000)
Stress dan depresi pada umumnya berperan sebagai faktor pencetus (87%),
exacerbasi maupun mempertahankan lamanya nyeri kepala. Prevalensi life time

22
depresi pada penduduk adalah sekitar 17%. Pada penderita depresi dijumpai adanya
defisit kadar serotonin dan noradrenalin di otaknya (DeNoon, 2004)
Pada suatu penelitian dengan PET Scan, ternyata membuktikan bahwa kecepatan
biosintesa serotonin pada pria jauh lebih cepat 52% dibandingkan dengan wanita.
Dengan bukti tersebut di asumsikan bahwa memang terbukti bahwa angka kejadian
depresi pada wanita lebih tinggi 2- 3 kali dari pria (Gutman, 2002).
Penyebab pasti Cluster Headache (CH) saat ini belum diketahui. Hipotesis
pertama pada CH, terinspirasi oleh efek zat vasoaktif. Disfungsi awal atau inflamasi
pembuluh darah di daerah sinus parasellar atau area sinus cavernosus akan
mengaktivasi pathway nyeri orbital trigeminus. Adanya aktivasi sistem trigeminal-
vaskular, sebagai penyebab atau akibat dari CH belum jelas. (Leroux dkk 2008).

2.7 Manifestasi Klinis


Nyeri kepala tegang otot biasa berlangsung selama 30 menit hingga 1 minggu
penuh. Nyeri bisa dirasakan kadang – kadang atau terus menerus. Nyeri pada
awalnya dirasaka pasien pada leher bagian belakang kemudian menjalar ke kepala
bagian belakan selanjutnya menjalar ke bagian depan. Selain itu, nyeri ini juga dapat
menjalar ke bahu. Nyeri kepala dirasakan seperti kepala berat, pegal, rasa kencang
pada daerah bitemporal dan bioksipital,atau seperti diikat di sekeliling kepala. Nyeri
kepala tipe ini tidak berdenyut.
Pada nyeri kepala ini tidak disertai mual ataupun muntah tetapi anoreksia
mungkin saja terjadi. Pasien juga mengalami fotofobia dan fonofobia. Gejala lain
yang juga dapat ditemukan seperti insomnia (gangguan tidur yang sering terbangun
atau bangun dini hari), nafas pendek, konstipasi, berat badan menurun, palpitasi dan
gangguan haid.
Pada nyeri kepala tegang otot yang kronis biasanya merupakan manifestasi
konflik psikologis yang mendasarinya seperti kecemasan dan depresi. Oleh sebab itu,
perlu dievaluasi adanya stres kehidupan, pekerjaan, kebiasaan, sifat kepribadian tipe
perfeksionis, kehidupan perkawinan, kehidupan sosial, seksual, dan cara pasien
mengatasinya. Keluha emosi antara lain perasaan bersalah, putus asa, tidak berharga,

23
takut sakit ataupun taku mati. Keluhan psikis yaitu konsentrasi buruk, minat
menurun, ambisi menurun atau hilang daya ingat buruk dan keinginan bunuh diri.

2.8 Pemeriksaan Fisik


Tidak ada pemeriksaan fisik yang berarti untuk mendiagnosis nyeri kepala. Pada
pemeriksaan fisik, tanda vital harus normal, pemeriksaan neurologis normal.
Pemeriksaan yang dilakukan berupa pemeriksaan kepala dan leher serta pemeriksaan
neurologis yang meliputi kekuatan motorik, refleks, koordinasi, dan sensasi.
Pemeriksaan mata dilakuka untuk mengetahui adanya peningkatan tekanan pada bola
mata yang bisa menyebabkan sakit kepala. Pemeriksaan daya ingat jangka pendek
dan fungsi mental pasien jug dilakukan dengan menanyakan beberapa pertanyaan.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan berbagai penyakit yang serius yang
memiliki gejala nyeri kepala seperti tumor atau aneurisma dan penyakit lainnya.

2.9 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan fisis
yang normal. Anamnesis yang menunjukkan adanya faktor psikis sebagai latar
belakang nyeri kepala ini semakin mengarahkan ke jenis nyeri kepala tegang otot.
Selain itu karakteristik gejalanya juga dijadikan dasar untuk mendiagnosis nyeri
kepala tipe ini sehingga informasi tentang tipe nyeri, lokasi, frekuensi dan durasinya
harus jelas.

2.10 Penatalaksanaan
Pembinaan hubungan empati awal yang hangat antara dokter dan pasien
merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk keberhasilan pengobatan.
Penjelasan dokter yang meyakinkan pasien bahwa tidak ditemukan kelainan fisik
dalam rongga kepala atau otaknya dapat menghilangkan rasa takut akan adanya
tumor otak atau penyakit intrakranial lainnya.
Penilaian adanya kecemasan atau depresi harus segera dilakukan. Sebagian
pasien menerima bahwa kepalanya berkaitan dengan penyakit depresinya dan
bersedia ikut program pengobatan sedangkan pasien lain berusaha menyangkalnya.

24
Oleh sebab itu, pengobatan harus ditujukan kepada penyakit yang mendasari dengan
obat anti cemas atau anti depresi serta modifikasi pola hidup yang salah, disamping
pengobatan nyeri kepalanya. Bila depresi berat dengan kemungkinan bunuh diri
maka pasien harus dirujuk ke ahli jiwa2 Saat nyeri timbul dapat diberikan beberapa
obat untuk menghentikan atau mengurangi sakit yang dirasakan saat serangan
muncul. Penghilang sakit yang sering digunakan adalah: acetaminophen dan NSAID
seperti aspirin, ibuprofen, naproxen, dan ketoprofen.
Acetaminophen efektif untuk sakit kepala sedang sampai berat dalam dosis
tinggi. Efek samping acetaminophen lebih jarang ditemukan, tetapi penggunaan
dalam dosis besar untuk waktu yang lama bisa menyebabkan kerusakan hati yang
berat. NSAID efektif dalam dosis yang lebih rendah. Efek samping yang ditemukan
antara lain mual, diare atau konstipasi, sakit perut, perdarahan dan ulkus.
Pengobatan kombinasi antara acetaminophen atau aspirin dengan kafein atau
obat sedative biasa digunakan bersamaan. Cara ini lebih efektif untuk
menghilangkan sakitnya, tetapi jangan digunakan lebih dari 2 hari dalam seminggu
dan penggunaannya harus diawasi oleh dokter.
Kebanyakan orang dengan nyeri kepala mencoba berbagai langkah non-
farmakologi untuk meredakan nyeri, Namun, masih belum diketahui kebiasaan apa
yang member respon yang baik untuk nyeri kepala. Martins and Prarreira
mengidentifikasi 6 manuver yang sering dilakukan oleh pasien, sebagian besar
meredakan nyeri kepala selama serangan. Observasi dilakukan oleh klinisi untuk
mengamati area nyeri kepala tempat pasien melakukan manuver, yang dapat
membantu meringankan nyeri. Dalam usaha identIfikasi faktor pereda, kami juga
mengamati bahwa setiap manuver lebih sering dilakukan pada pasien migren,
walaupun perbedaannya tidak signifikan kecuali untuk obat-obatan dan pemijatan.
Faktor lain seperti tidur, istirahat, dan postur didapatkan pada kedua kelompok.
Penggunaan obat dan pemijatan berkaitan dengan berkurangnya rasa nyeri pada
pasien migren. Namun, hal ini sedikit berbeda dengan Bag B et al. yang melaporkan
pemijatan meredakan nyeri pada pasien NKTT. Tidak sama dengan penelitian kami,
mereka juga menunjukkan bahwa tidur, istirahat dan perubahan postur juga
meredakan nyeri pada pasien migren.

25
Penggunaan self manipulation pada penanggulangan nyeri kepala primer
misalnya penekanan pada daerah yang sakit, kompres dingin, pijat, serta kompres
panas, dapat mengurangi nyeri secara sementara sekitar 8% saja. Penanganan nyeri
juga dapat melalui biofeedback, terdiri dari EMG (elektromiografi), temperature
measuring sensors, heart rate monitor. Akupuntur, merupakan suatu ilmu pengobatan
tusuk jarum dari Cina yang telah banyak dibuktikan dapat menyembuhkan suatu
nyeri kepala kronis. Acu-points terletak didekat saraf, jika dirangsang maka akan
dikirim ke SSP sehingga melepas endorphin. Penanggulangan dengan toxin
botulinum (BTX A), mekanismenya belum diketahui pasti. Diduga BTX A
mempunyai target menurunkan CGRP maupun SP dan sebagai muscle relaxant.

2.11 Prognosis
Nyeri kepala tegang otot ini pada kondisi tertentu dapat menyebabkan nyeri yang
menyakitkan, tetapi tidak membahayakan. Nyeri ini dapat sembuh dengan perawata
ataupun dengan menyelesaikan masalah yang menjadi latar belakangnya jika
merupakan nyeri kepala tegang otot yang timbul akibat pengaruh psikis. Nyeri
kepala ini dapat sembuh dengan terapi obat berupa analgetik. Nyeri kepala tipe
tegang ini biasanya mudah diobati sendiri. Dengan pengobatan, relaksasi, perubahan
pola hidup, dan terapi lain, lebih dari 90% pasien sembuh dengan baik.

26
BAB III
KESIMPULAN

Nyeri kepala primer merupakan migrain, nyeri kepala tipe tegang, nyeri kepala
klaster serta nyeri kepala primer lainnya. Nyeri kepala tegang otot merupakan nyeri
kepala terbanyak yang dikeluhkan penderita dimana ditandai dengan sifat nyeri yang
seperti terikat oleh suatu kain yang sangat erat. Nyeri ini disebabkan oleh adanya
kontraksi terus menerus dari otot otot kulit kepala, dahi dan leher disertai
vasokontriksi ekstrakranial. Nyeri disertai dengan perasaan tegang yang menjepit
kepala dan nyeri daerah oksipitoservikal. Jenis nyeri kepala ini sering ditemui. Nyeri
ini disebabkan selain oleh faktor fisik juga disebabkan oleh factor psikis. Bentuk
akut dikaitkan dengan keadaan stress, kegelisahan dan/atau kelelahan temporer yang
biasanya berlangsung satu atau dua hari. Nyeri kepala tegang otot kronik lebih sering
dijumpai pada wanita, dan biasanya bilateral, dapat terjadi siang maupun malam hari,
dan berlangsung sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, terasa menekan,
tidak berdenyut dan sering dikaitkan dengan perasaan gelisah, depresi dan perasaan
tertekan.
Pengobatan yang dilakukan pada pasien dengan nyeri kepala tegang otot adalah
memperbaiki psikis pasien terlebih dahulu karena sebagian pasien yang mengalami
penyakit ini mempunyai faktor psikis yang memicu timbulnya nyeri kepala ini.
Secara farmakologi, obat yang dapat meringankan nyeri kepala ini dilakukan dengan
pemberian analgetik dan dapat ditambhakan obat antidepresan. Prognosis penyakit
ini baik, dan dengan penatalaksanaan yang baik lebih dari 90% pasien dapat
disembuhkan.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjahrir, Hasan. Nyeri Kepala. Kelompok Studi Nyeri Kepala. Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia. 2004
2. Price, Sylvia dan Lorraine M.Wilson. Patofisiologi edisi 6.Jakarta : EGC.2003.
3. Headache Classification Subcommitee of the International Headache Society. The
International Headache Classification Disorder: 2nd Edition. Cephalgia
2004; 24 Suppl 1:1-160.
4. Buku Ajar Diktat Anatomi Biomedik. Edisi 1. FK Unhas. 2011
5. Reuter, Uwe et al. Delayed Inflamation in rat meninges : implication for migraine
pathofisiology. Oxford university press, 2001; 124 : 2490 - 2502.
6. Suharjanti, Isti. Strategi Pengobatan Akut Migrain. Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. 2013.
7. Liporace, Joyce, “Neurology, United Kingdom: Elsevier Mosby, 2006, ch 3-12,
hlm. 17-135
8. Anurogo, Dito. Penatalaksanaan Migren. RS PKU Muhammadiyah Palangkaraya,
Kalimantan Tengah. 2012.
9. Boru, U.T., Kocer, A., Sur, H., Tutkan, H. and Atli, H. 2005. Prevalence and
Characteristics of Migraine in Women of Reproductive Age in Istanbul,
Turkey: A Population Based Survey. Tohoku J. Exp. Med., 206(1), 51-
59.
10. Cady,R.2007. Pathophysiology of Migraine. In: The Pain Practitioner; 17(1): 6-9
11. Davis, LE., King M.L.,Schulz JL. Disoerder of pain and headache. In:
Fundametals of Neurologic Disease Demos Medical Publishing,New
York, 2004:201-7
12. Goadsby, P.J., Lipton, R.B., Ferrari, M.D. 2002. Migraine — Current
Understanding and Treatment , N Engl J Med 346:257-270 January 24
13. Goetz GC. 2003. Headache and Facial Pain.In : Texbook of Clinical Neurology.
Second edition.Elsevier Science. USA: 1187-94
14. George, K.O. 2006. Migraine Headache. National Institute of Health.

28
15. Gilroy,J. 1992. Headache. In: Basic Neurology, second Edition, pergamon Press,
New York, : 82-93
16. Hooker WD, Raskin NH, 1986, Neuropsychologic alterations in classic and
common migraine, Arc Neurology, 43: 709-12.
17. Horev, A., Wirguin, I., Lantsberg, L., Ifergane, G. A High Incidence of Migraine
with Aura among Morbidly Obese Women. Headache, 45: 936-8
18. Kinik, S.T., Alehan, F., Erol, I. and Kanra, A.R. 2010. Obesity and Paediatric
Migraine.International Headache Society. Cephalalgia 30: 105.
19. Konsensus Nasional II Diagnostik dan Penatalaksanaan Nyeri Kepala. 2005.
Kelompok Studi Nyeri Kepala Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI).
20. Lucas, S. 2005.Epidemiology of Primary Headache in Women. Chapter 1: 1-9
21.Lance JW,Goadsby Pj. 1998. Migrain: Pathophysiology. In: Mechanismand
Management of Headache. Sixth Edition. Butterworth-Heinemann.
United Kingdom:79-107.
22. Machfoed, M.H., 2004. Aspek Genetik dan Biomolekuler Migren. Dalam: Nyeri
Kepala, jilid 2. Kelompok Studi Nyeri Kepala PERDOSSI. USU Press.
Medan. Hal 1-12.
23. Neurona, 2005. Nyeri kepala dan neuro oftalmologi, vol 22,no 2, Bagian
Neurologi Fakultas Kedokteran USU.
24. Sjahrir, H. 2004. Nyeri Kepala 1,2 &3. Kelompok Studi Nyeri Kepala.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
25. Zulmiyati.2005. Perbandingan hsil terapi kombinasi Medisinal – Akupungtur
dengan terpi medisialpada nyeri kepala tipe tegang di RSUP Dr Wahidin
Sudiro Husodo (Tesis).

29

Anda mungkin juga menyukai