Anda di halaman 1dari 24

TELUSURI

MAKALAH
“ TRAUMA MUSKOLOSKELETAL”

A3 KEPERAWATAN/ SEMESTER VI

OLEH:
OCVIANUS KEVIN KAKALANG 171420100
JESIKA SISILIAMAKARAU 1714201121
VEREN CEACILIA LOMBOGIA 1714201133
FRICILLIA GREIDDITA MINTALANGI 1714201037

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA
MANADO
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Tuhan Yesus, karena berkat rahmat dan inayah-Nya sehingga kami
bisa menyelesaikan tugas gawat darurat dengan materi “Trauma Muskuloskeletal”.
Syalom serta salam selalu kami panjatkan kepada Tuhan yang maha esa. Yang mana berkat
perjuangan kita dapat menyelesaikan makalah “ TRAUMA MUSKOLOSKELETAL”
Makalah ini masih banyak kekurangan karena pengalaman yang karena kami memiliki
banyak kekurangan. Oleh karena itu kami harapkan kepada pembaca untuk memberikan
saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

    
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Trauma muskuloskeletal adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami cedera pada
tulang, sendi dan otot karena salah satu sebab. Kecelakaan lalu lintas, olahraga dan kecelakaan
industri merupakan penyebab utama dari trauma muskuloskeletal. Seorang perawat dituntut
untuk mengetahui bagaimana perawatan klien dengan trauma muskuluskoletal yang mungkin
dijumpai di jalanan maupun selama melakukan asuhan keperawatan di rumah sakit. Pengangan
untuk klien dengan trauma muskuloskeletal memerlukan peralatan serta ketrampilan khusus yang
tidak semuanya dapat dilakukan oleh perawat. Trauma muskuloskeletal biasanya menyebabkan
difungsi struktur disekitarnya dan struktur pada bagian yang dilindungi atau disanggahnya.

B.     Tujuan
 Untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang trauma
muskuloskeletaL
 Untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang asuhan keperawatan
trauma musculoskeletal
    Sebagai bahan referensi bagi mahasiwa
BAB II
PEMBAHASAN

1.1.KONSEP MEDIS
A.     Definisi
Sistem muskuloskeletal meliputi tulang, persendian, otot dan tendon. Secara fisiologis,
sistem muskuloskeletal memungkinkan perubahan pada pergerakan dan posisi. Otot terbagi atas
tiga bagian yaitu ; otot rangka, otot jantung dan otot polos. Trauma muskuloskeletal adalah suatu
keadaan ketika seseorang mengalami cedera pada tulang, sendi dan otot karena salah satu sebab.
Kecelakaan lalu lintas, olahraga dan kecelakaan industri merupakan penyebab utama dari trauma
muskuloskeletal. Sedangkan tulang dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuknya, yaitu :
 Tulang panjang
Merupakan tulang yang lebih panjang dari lebarnya dan ditemukan di ekstermitas atas
dan bawah. Seperti humerus, radius, ulna, femur, tibia, fibula, metatarsal, metakarpal
dan falangs merupakan tulang panjang.

 Tulang pendek
Misalnya karpal dan tarsal yang tidak memiliki axis yang panjang serta berbentuk
kubus.
 Tulang pipih
Misalnya rusuk, kranium, skapula dan beberapa bagian dari pelvis girdle dimana
tulang ini melindungi bagian tubuh yang lunak dan memberikan permukaan yang luas
untuk melekatnya otot.
 Tulang irregular
Memiliki berbagai macam bentuk, seperti tulang belakang, osikel telinga, tulang wajah
dan pelvis. Tulang ireguler mirip dengan tulang lain dalam struktur dan komposisi. 

Ada beberapa jenis dari trauma muskuloskeletal dimana tergantung letak dari trauma. Trauma
muskuloskeletal yang umum terjadi yaitu fraktur, strain, sprain, dislokasi dan amputasi:

1. Fraktur
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan
dan sudut dari tenaga tersebut serta keadaan tulang dan jaringan lunak disekitar tulang
akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.  Fraktur
adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika terjadi fraktur, maka
jaringan lunak disekitarnya juga akan terganggu. 
 Fraktur terbuka
Fraktur terbuka dicirikan oleh robeknya kulit diatas cedera tulang. Fraktur terbuka
adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka  pada kulit
dan jaringan lunak sehingga terjadi kontaminasi bakteri
 Fraktur tertutup
Fraktur tertutup adalah  fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang. Jadi
pada fraktur tertutup kulit masih utuh diatas lokasi cedera.

2.  Strain
Strain merupakan suatu puntiran atau tarikan, robekan otot dan tendon. Strain adalah
tarikan otot akibat penggunaan berlebihan, peregangan berlebihan atau stres yang
berlebihan. 
3. Sprain
Sprain adalah cedera struktur ligamen di sekitar sendi, akibat gerakan mengepit atau
memutar. Fungsi ligamen adalah menjaga stabilitas namun masih menmungkinkan
mobilitas. Ligamen yang robek akan kehilangan kemampuan stabilitasnya. Sprain
merupakan peregangan atau robekan ligamen, fibrosa dari jaringan ikat yang
menggabungkan ujung satu tulang dengan tulang lainnya.

B.     Etiologi
Penyebab umum dari truma muskuloskeletal adalah kecelekaan lalu lintas, olahraga, jatuh dan
kecelakaan industri.
1.   Fraktur
Etiologi atau penyebab dari fraktur adalah kelebihan beban mekanis pada suatu tulang,
saat tekanan yang diberikan pada tulang terlalu banyak dibandingkan yang mampu
ditanggunya. 
 Trauma langsung
Tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan misalnya
benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna.
 Trauma tidak langsung
Trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur dimana pada
keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh. Misalnya, jatuh bertumpu pada tangan
yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.
2.  Strain
Penyebab dari strain bisa dari trauma langsung maupun tidak langsung misalnya (jatuh
dan tumbukan pada badan) yang mendorong sendi keluar dari posisinya kemudian
meregang. 
3. Sprain
Penyebab sprain sama dengan strain yaitu trauma langsung dan trauma tidak
langsung. 

C.    Manifestasi klinis
1.  Fraktur
 Deformitas
Pembengkakkan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi
fraktur. Deformitas adalah perubahan bentuk, pergerakan tulang jadi memendek
karena kuatnya tarikan otot-otot ekstermitas. 
 Nyeri
Nyeri biasanya terus menerus menigkat jika fraktur tidak diimobilisasi. 
 Pembengkakkan atau edema
Edema terjadi akibat akumulasi cairan serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi
cairan serosa pada lokasi fraktur ekstravasi darah ke jaringan sekitar.
 Hematom atau memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
 Kehilangan fungsi dan kelainan gerak. 

2. Strain
 Nyeri
 Kelemahan otot
 Pada sprain parah, otot atau tendon mengalami ruptur secara parsial atau komplet
bahkan dapat menyebabkan kelumpuhan pasien akibat hilangya fungsi otot.
3.Sprain
 Adanya robekan pada ligamen
 Nyeri
 Hematoma atau memar. (Joyce M Black, 2014)
D.    Patofisiologi
1.      Fraktur
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur, jika
ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja
dan bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat
pecah berkeping-keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang akan
terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi.
Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat dan bahkan mampu
menggeser tulang besar, seperti femur. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak
atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hemotoma terjadi
diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi
fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat. Akan terjadi
vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, esudasi plasma dan leukosit

2.      Strain
Kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung maupun trauma tidak
langsung, cedera ini terjadi akibat otot tertarik pada arah yang salah, kontraksi otot yang
berlebihan, otot yang belum siap terjadi pada bagian groin muscles (otot pada kunci paha)
dan otot guadriceps. Fleksibilitas otot yang baik bisa menghindarkan daerah sekitar cedera
memar dan membengkak.

3.      Sprain
Adanya tekanan eksternal yang berlebihan menyebabkan suatu masalah yang
disebut sprain yang terutama terjadi pada ligamen. Ligamen akan mengalami robek dan
kemudian akan kehilangan kemampuan stabilitasnya. Hal tersebut akan membuat
pembuluh darah pecah dan akan menyebabkan hemotama serta nyeri.

E.     Pemeriksaan Penunjang
 X-ray menentukan lokasi atau luasnya fraktur
 Scan tulang : mempelihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
 Arteriogram : dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler pada
perdarahan; penigkatan lekosit sebagai respon terhadap peradangan
 Kretinin : trauma otot menigkatkan beban kretinin untuk kliens ginjal
 Profil koagulas : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi darah atau
cedera. (Amin Huda Nurarif, 2015)
F.     Penatalaksanaan
1.      Fraktur
a.       Imobilisasi
Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode eksternal dan internal mempertahankan dan
mengembalikan fungsi status neurovaskuler selalu dipantau meliputi peredaran darah,
nyeri, perabaan dan gerakan. Perkiraan waktu untuk imobilisasi yang dibutuhkan untuk
penyatuan tulang yang mengalami fraktur adalah sekitar 3 bulan. 
Alat imobilisasi yang sering digunakan, antara lain :
 Bidai
Bidai adalah alat yang dipakai untuk mempertahankan kedudukan atau fiksasi tulang
yang patah. Tujuan pemasangan bidai untuk mencegah pergerakan tulang yang patah.
Syarat pemasangan bidai dimana dapat mempertahankan kedudukan 2 sendi tulang
didekat tulang yang patah dan pemasangan bidai tidak boleh terlalu kencang atau ketat,
karena akan merusak jaringan tubuh. (Yanti Ruly Hutabarat, 2016
 Gips
Gips merupakan alat fiksasi untuk penyembuhan tulang. Gips memiliki sifat menyerap
air dan bila itu terjadi akan timbul reaksi eksoterm dan gips akan menjadi keras.

b.   Reduksi
Langkah pertama pada penanganan fraktur yang bergeser adalah reduksi. Reduksi
fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi. Reduksi
merupakan manipulasi tulang untuk mengembalikan kelerusan, posisi dan panjang
dengan mengembalikan fragmen tulang sedekat mungkin serta tidak semua fraktur
harus direduksi.. Reduksi terbagi atas dua bagian, yaitu :

 Reduksi tertutup
Pada banyakan kasus fraktur, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi
dan traksi manual. Reduksi tertutup harus segera dilakukan setelah cedera untuk
menimilkan efek deformitas dari cedera tersebut.
 Reduksi terbuka
Reduksi terbuka merupakan prosedur bedah dimana fragmen fraktur disejajarkan.
Reduksi terbuka sering kali dikombinasikan dengan fiksasi internal untuk fraktur femur
dan sendi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau
batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang. 

C . Traksi
Traksi adalah pemberian gaya tarik terhadap bagian tubuh yang cedera, sementara
kontratraksi akan menarik ke arah yang berlawanan. Traksi dapat digunakan untuk
mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya trasi disesuaikan dengan spasme
otot yang terjadi. 

2.  Strain
 Istirahan, kompres dengan air dingin  dan elevasi (RICE) untuk 24-48 jam
pertama
 Perbaikan bedah mungkin diperlukan jika robekan terjadi pada hubungan
tendon-tulang
 Pemasangan balut tekan
 Selama penyembuhan (4-6 minggu) gerakan dari cedera harus diminimalkan

3.      Sprain
 Istirahat akan mencegah cedera tambahan dan mempercepat penyembuhan
 Meniggikan bagian yang sakit akan mengontrol pembengkakkan
 Kompres air dingin, diberikan secara intermiten 20-30 menit selama 24-48 jam
pertama setelah cedera. Kompres air dingin menyebabkan vasokontriksi akan
mengurangi perdarahan dan edema (Jangan berlebihan nanti akan mengakibatkan
kerusakan kulit). 
ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

A.    Pengakjian
  Anamnesa
 Keluhan nyeri
 Riwayat trauma adequat
 Adanya fungsio laesa atau fungsi jaringan terganggu

  Pemeriksaan fisik
Insepksi
 Edema
 Hematoma
 Deformitas

Palpasi
 Nyeri tekan
 Kripitasi

B.     Diagnosa keperawatan
1.      Nyeri akut
  Definisi
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau
fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung kurang dari 3 bulang.
  Penyebab
Agen pencedera fisik (mis. Amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur
operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)
  Gejala dan tanda mayor
 Tampak meringis
 Bersikap protektif
 Gelisah
 Frekuensi nadi menigkat. (PPNI, 2016)

2.      Gangguan mobilitas fisik


  Definisi
Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstermitas secara mandiri
  Penyebab
 Kerusakan integritas struktur tulang
 Penurunan kekuatan otot
 Gangguan muskuloskeletal
 Nyeri
  Gejala dan tanda mayor
Subjektif : Mengeluh sulit menggerakan ekstermitas
Objektif : kekakuan otot menurun dan rentang gerak
  Gejala dan tanda minor
Subjektif :
 Nyeri saat bergerak
 Enggan melakukan pergerakan
 Merasa cemas saat bergerak
Objektif :
 Sendi kaku
 Gerakan tidak terkoordinasi dan gerakan terbatas. (PPNI, 2016)

3.      Kerusakan integritas kulit


  Definisi : Kerusakan pada epidermis atau dermis
  Batas karakteristik
 Benda asing yang menusuk permukaan kulit
 Kerusakan integritas kulit

  Faktor yang berhubungan
Eksternal : faktor mekanik mis. daya gesek, tekanan dan imobilitas fisik
Internal : Tekanan pada tulang, gangguan turgor kulit dan fraktur terbuka. (T Heather
Herderman, 2015)
C.    Intervensi
1.      Nyeri akut b.d agen cedera fisik (mis. Amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat,
prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)
  Tujuan : pain level, pain control and comfort level
  Kriteria hasil :
 Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri dan mencari bantuan)
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
 Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
  Intervensi
 Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termaksud lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor presipitas
 Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
 Gunakan tehnik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
 Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
 Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
 Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
 Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, nonfarmakologi dan interpersonal)
 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
 Ajarkan tentang tehnik nonfarmakologi
 Berikan analgesik untuk mengurangi nyeri
 Evaluasi ketidakefektifan kontrol nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
 Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
 Analgesik manajemen
 Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
 Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang  diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari
satu
 Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
 Evaluasi efektifitas analgesik, tanda dan gejala. (Amin Huda Nurarif, 201
2.  Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang, penurunan kekuatan otot,
gangguan muskuloskeletal dan nyeri
  Tujuan : Joint movement (active), mobility level, self care (Adls)
  Kriteria hasil :
 Klien meningkatkan dalam aktivitas fisik
 Mengerti tujuan dan peningkatan mobilitas
 Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan
berpindah
 Memperagakan penggunaan alat

  Intervensi :
 Monitoring vital sign sebelum atau sesudah latihan dan lihat respon pasie saat latihan
 Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
 Bantu pasien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera
 Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang tehnik ambulasi
 Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
 latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan Adls secara mandiri sesuai kemampuan
 Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan pasien
 Berikan alat bantu jika klien memerlukan
 Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan. (Amin
Huda Nurarif, 2015)

3.      Kerusakan integritas kulit b.d tekanan pada tulang, gangguan turgor kulit dan fraktur
terbuka
  Tujuan : Tissue integrity (skin and mucous), membranes and hemodyalis akses
  Kriteria hasil :
 Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur,
hidrasi dan pigmentasi) tidak ada luka atau lesi pada kulit dan perfusi jaringan baik
 Menunjukan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya
cedera berulang
 Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembapan kulit dan perawatan
alami

  Intervensi :
 Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
 Hindari kerutan pada tempat tidur
 Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
 Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
 Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
 Monitor status nutrisi pasien
 Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
 Membersihkan, memantau dan menigkatkan proses penyembuhan pada kulit luka yang
ditutup dengan jahitan, klip atau straples
 Monitor proses kesembuhan area insisi
 Monitor tanda dan gejala infeksi pada area insisi
 Bersihkan area sekitar jahitan atau staples, menggunakan lidi kapas steril dan gunakan
preparat antiseptic sesuai program
 Ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau biarkan luka tetap terbuka (tidak
dibalut) sesuai program.
PENCEGAHAN PRIMER,SEKUNDER,DAN TERSIER PADA TRAUMA
MUSKOLOSKELETAL

1. Pencegahan Primer 
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan upaya menghindari terjadinya
traumabenturan, terjatuh atau kecelakaan lainnya. Dalam melakukan aktifitas yang berat
ataumobilisasi yang cepat dilakukan dengan cara hati-hati, memperhatikan
pedomankeselamatan dengan memakai alat pelindung diri.
 
 
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan untuk mengurangi akiba-akibat yang lebih
seriusdari terjadinya fraktur dengan memberikan pertolongan pertama yang tepat dan
terampilpada penderita. Mengangkat penderita dengan posisi yang benar agar
tidakmemperparah bagian tubuh yang terkena fraktur untuk selanjutnya
dilakukanpengobatan. Pemeriksaan klinis dilakukan untuk melihat bentuk dan keparahan
tulangyang patah. Pemeriksaan dengan foto radiologis sangat membantu untuk
mengetahuibagian tulang yang patah yang tidak terlihat dari luar. Pengobatan yang
dilakukan dapatberupa traksi, pembidaian dengan gips atau dengan fiksasi internal maupun
eksternal.

3.Pencegahan tersier
Pencegahan tersier pada penderita fraktur yang bertujuan untuk
mengurangiterjadinya komplikasi yang lebih berat dan memberikan tindakan pemulihan
yang tepatuntuk menghindari atau mengurangi kecacatan. Pengobatan yang dilakukan
disesuaikan.
dengan jenis dan beratnya fraktur dengan tindakan operatif dan rehabilitasi.
Rehabilitasimedis diupayakan untuk mengembalikan. fungsi tubuh untuk dapat kembali
melakukanmobilisasi seperti biasanya.Penderita fraktur yang telah mendapat pengobatan
atau tindakan operatif,memerlukan latihan fungsional perlahan untuk mengembalikan
fungsi gerakan daritulang yang patah. Upaya rehabilitasi dengan mempertahankan dan
memperbaiki fungsidengan mempertahankan reduksi dan imobilisasi antara lain
meminimalkan bengkak,memantau status neurovaskuler, mengontrol ansietas dan nyeri,
latihan dan pengaturanotot, partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari, dan melakukan
aktivitas ringan secarabertahap

TREND DAN ISSUE HASIL PENELITIAN MUSKULOSKELETAL

Keluahan pada system muskuloskletal telah menjadi tren penyakit terbaru yang
berkaitan dengan pekerjaan di seluruh dunia baik di negara berkembang maupun di negra
industry. Keluhan muskuloskletal atau musculoskeletal dirsorder ( MSDs) bersifat kronis di
sebabkan karena adanya kerusakan pada tendon otot,ligament,sendi,saraf,kartilago, atau
spinalis biasanya menimbulkan rasa tidak nyaman,nyeri,gatal dan pelemahan fungsi.
Keluhan ini di picu oleh berbagai factor salah satunya adalah factor pekerjaan contohnya
peragangan otot berlebih,postur kerja yang tidak alamia,gerakan repentitif,dan lingkungan
sperti getaran,tekanan dan mikrolinat.

Pada tahun 2007 perawat di amerika serikat menduduki peringkat ke tujuh di antara ke
seluruh pekerjaan yang menderita MSDs, dan insiden cidera muskoloskletal 4.62/100
perawat per tahun. Data dari the thaiwan national health insurance research database
selama tahun 2004- 2010. Dari 3914 perawat menderita MSDs.namaun keterangan dari
kementrian kesehatan republic Indonesia belum terdapat data yang di signifkan sehubungan
budaya di rumah sakit khususnya keluhan muskuloskletal. Sedangkan literature dan pelitian
sebelemnya lebih banyak di lakukan di pekerjaan industry.

Perawat memeberikan pelayanan keperawatan selama 24 jam penuh terlebih perawat


intalasi gawat darurat. Perawat IGD memeberikan pelayanan secara signap,cermat,cetakan
serta tepat baik untuk klien maupun keluarga sesuai dengan standart oprasoinal prosedur
yang telah di tentukan.
MANAGEMENT KASUS KEGAWATDARURATAN TRAUMA MUSCULOSKELETAL

Pengobatan fraktur bisa konservatif atau operatif.

1.Terapi konservatif terdiri dari:


 
 . Proteksi saja, misalnya mitela untuk fraktur collum chirurgiun humeri dengan
kedudukan baik
 
 .Inmobilisasi saja tanpa reposisi, misalnya pemasangan gips pada fraktur inkomplit
dankedudukan baik

 Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips, reposisi dapat dilakukan dengan anastesi
umumataupun local
 .Traksi untuk reposisi secara perlahan

2.Terapi operatif terdiri dari:

 .Reposisi terbuka, fiksasi interna 

 Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi internaPada fraktur terbuka
harus dilakukan tindakan sesegera mungkin . penundaan waktu bisamengakibatkan
infeksi. Waktu optimal intuk bertindak sebelum 6-7 jam. Lakukandebridement,
pemberian ATS, pemberian Antibiotik
PERAN DAN FUNGSI PERAWAT DALAM ADVOKASI

Peran advokasi perawat pada gangguan system musculoskeletal Menurut kamus Besar Bahasa
Indonesia, advokasi dapat diartikan sebagai pembelaan.
Istilah advokasi sering digunakan dalam konteks hukum yang berkaitan denganupaya melindungi
hak manusia bagi mereka yang tidak mampu membela diri.

a. Arti advokasi
menurut ANA adalah “melindungi klien atau masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan dan keselamatan praktek tidak sah yang tidak kompeten dan melanggar
etika yang dilakukan oleh siapapun”.

 Posisi perawat yang mempunyai jam kerja 8 sampai 10 atau 12 jam


memungkinkan untuk mempunyai bnyak waktu untuk mengadakan
hubungan baik dan mengetahui keunikanklien sebagai manusia holistik
sehingga berposisi sebagai advokat klien (Curtin, 1986).Sebagai
advokat klien, perawat berfungsi sebagai penghubung antara klien
dengan timkesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien,
membela kepentingan klien danmembantu klien memahami semua
informasi dan upaya kesehatan yang diberikan oleh timkesehatan
dengan pendekatan tradisional maupun professional
.
 Peran advokasi sekaligusmengharuskan perawat bertindak sebagai nara
sumber dan fasilitator dalam
tahap pengambilan keputusan terhadap upaya kesehatan yang harus dij
alani oleh klien. 
 Dalam menjalankan peran sebagai advocat (pembela klien) perawat
harus dapat melindungi danmemfasilitasi keluarga dan masyarakat
dalam pelayanan keperawatan.
 
 Advokasi merupakan salah satu peran perawat dalam memberikan
layanan asuhankeperawatan. Advokasi dimaksudkan untuk melindungi
orang yang tidak mampu membeladiri. Perawat advokasi berperan
dalam memberi bantuan dan memberikan informasi
pada pasien mengenai keputusan apa yang diambil pasien tersebut (Pri
harjo, 1995). Perawatsebagai advokat yaitu sebagai penghubung antara
klien-tim kesehatan lain dalam
rangka pemenuhan kebutuhan klien. Membela kepentingan klien dan m
embantu klien,memahamisemua informasi dan upaya kesehatan yang
diberikan tim kesehatan dengan pendeketantradisional maupun
profesional. (Dewi, 2008)

EVIDANCE BASED PRACTISE DALAM PENATALAKSANAAN TRAUMA


MUSKULOSKELETAL

Fraktur merupakan kondisi yang banyak ditemui pada trauma muskuloskeletal.


Berdasarkan Riskesdas (2007) penderita patah tulang sebanyak 43.808 kasus dan 4,5% kasus
cedera di Indonesia. Pasien biasanya datang ke pusat pelayanan kesehatan rujukan sudah
dalam keadaan fraktur ekstremitas dengan non union, infected, mal-positioned dan mallunion.
Malunion adalah suatu keadaan patah tulang yang telah mengalami penyatuan dengan
fragmen fraktur berada dalam posisi tidak normal atau posisi buruk (Ramadhian, 2016).
Kejadian malunion lebih banyak terjadi di daerah negara berkembang. Salah satu
penyebab kejadian malunion adalah penanganan fraktur yang tidak tepat. Di Indonesia, pasien
trauma musculoskeletal ataupun fraktur, kebanyakan masih memilih pengobatan patah tulang
tradisional. Fraktur dengan atau tanpa dislokasi yang tidak ditangani atau ditangani tidak
semestinya, sehingga menghasilkan keadaan keterlambatan penanganan atau kondisi lebih
buruk, bahkan kecacatan (Wahyudiputra, 2015). Sehingga terjadilah komplikasi seperti
malunion dan sering terjadi pada fraktur tertutup salah satunya pada fraktur femur.
Fraktur femur. adalah. hilangnya.kontinutas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma
langsung (kecelakaan atau jatuh dari ketinggian) baik secara terbuka.atau tertutup (Helmi, .
2012). Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013 menyebutkan bahwa kejadian fraktur
ekstremitas mencapai 46,2% dan fraktur femur merupakan kejadian fraktur yang sering terjadi
dimana angkanya mencapai 39% dibandingkan jenis fraktur lainnya. Menurut penelitian
Wahyudiputra (2015) kejadian malunion sebagai komplikasi fraktur mencapai 50% dari
semua jenis fraktur ekstremitas yang terjadi akibat salah pengobatan.
Salah satu cara penanganan malunion fraktur femur distal adalah pembedahan ortopedi
(Osteotomy). Osteotomy adalah tindakan operasi yang bertujuan menata ulang komposisi
tulang yang memiliki kerusakan diakibatkan trauma keras seperti kecelakaan atau terjadi
pertumbuhan tulang yang abnormal akibat pengobatan fraktur yang tidak tepat (Mue, 2016).
Menurut Nazari (2016) keluhan utama pada pasien fraktur yang telah menjalani operasi
orthopedi adalah nyeri. Nyeri post operasi pada pembedahan merupakan bentuk
ketidaknyamanan pada diri seseorang akibat sayatan pada bagian yang dioperasi atau
pengalaman emosional yang sangat tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan
yang actual, potensial atau yang dirasakan dalam kejadian saat terjadi kerusakan (Satriana,
2016). Nyeri.yang tak.mereda dapat.menyebabkan komplikasi, .peningkatan.lama rawat inap
di rumah sakit dan.distress.
Dalam penanganan nyeri perawat mempunyai peran penting dalam pemberian.
pereda.nyeri yang. adekuat. .sesuai dengan pelaksanaan asuhan keperawatan. Nyeri dapat
diatasi.dengan.melakukan berbagai.cara seperti farmakologis maupun.non.farmakologis.
Secara. farmakologis.dapat.diatasi dengan menggunakan obat-obatan opiate. (narkotik)
non.opiate.atau obat AINS (Anti Inflamasi Nonsteroid) atau obat analgesic lainnya (Kozier,
2010). Sedangkan.penatalaksanaan non.farmakologis.terhadap nyeri dapat dilakukan
dengan.berbagai.cara, meliputi. .Transcutaneous.Electrical.Nerves.Stimulation. (TENS),
.akupuntur, imajinasi terbimbing, terapi.musik, terapi relaksasi dengan pemberian aromaterapi
(Widyastuti, 2017).
Aromaterapi jeruk merupakan biang minyak dari tumbuhan dari buah jeruk. Mekanisme
aromaterapi dalam perawatan mempunyai dua system fisiologis. Kondisi wewangian dapat
mempengaruhi kondisi psikis, daya ingat serta emosi seseorang (Stea, 2014). Wewangian
yang dihirup akan membuat vibrasi di hidung serta memiliki manfaat yang akan
mempengaruhi, memori, suasana hati, dan intelektualitas. Aromaterapi jeruk mengandung zat
linalil asetat dan linalool bersifat sebagai penenang yang berguna untuk menstabilkan system
saraf serta dapat membuat efek tenang. Menghirup aromaterapi akan memfokuskan pikiran
dan perhatian seseorang pada aroma yang diterimanya, sehingga focus perhatian terhadap
nyeri akan teralih dan berkurang (Nighcrawler, 2008). .
Intensitas nyeri dapat diturunkan melalui terapi non farmakologis sampai dengan tingkat
yang dapat ditoleransi diantaranya dengan aplikasi aromaterapi yang dapat membuat seseorang
rileks apabila menghirupnya. Penggunaan aromaterapi tidak memberikan efek samping pada,
maka dari itu aromaterapi dapat dijadikan sebagai terapi komplementer untuk mengurangi
masalah kesehatan seperti nyeri (Stea, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Nazari (2016) pada
pasien yang telah menjalani operasi orthopedic membuktikan bahwa aromaterapi dapat
merileksasikan dan dapat mengurangi nyeri. Hal yang sama dibuktikan dengan penelitian
Hekmatpou (2016) pada pasien fraktur menunjukan bahwa aromaterapi jeruk dapat mengurangi
intensitas nyeri dan kecemasan bagi pasien yang mengalami fraktur.
Hasil wawancara dengan staf perawat ruangan pada tanggal 10 agustus 2018, masalah utama
yang dialami oleh pasien di ruang rawat adalah nyeri post operasi. Untuk penanganan nyeri di ruang
rawat biasanya perawat menggunakan terapi farmakologi. Adapun terapi non farmakologi yang
sering digunakan adalah teknik relaksasi nafas dalam. Untuk pengaplikasian aromaterapi sebagai
terapi relaksasi masih jarang dilakukan untuk mengatasi nyeri. Penulis tertaik untuk melakukan
diruangan dan melihat keefektifan sebagai EBN (Evidence Based Nursing) dalam mengatasi nyeri
pada pasien yang telah menjalani operasi orthopedic. Evidence Based Nursing adalah pendekatan
yang dapat digunakan dalam praktek perawatan kesehatan yang berdasarkan fakta. Aromaterapi
merupakan terapi nonfarmakologi yang telah banyak dikembangkan oleh riset dalam mengurangi
nyeri pasca operasi (MacKinnon, 2004).
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ketika terjadi trauma muskuloskeletal harus segera di tangani karena jika tidak ditangani
secara dini maka akan menyebabkan kerusakan yang lebih parah. Imobilisasi, reduksi dan traksi
untuk fraktur merupakan penatalaksanaan untuk pasien fraktur. Imobilisasi dini harus dilakukan
untuk mencegah deformitas dan sebagai penyangga tulang yang patah. Ketika dicurigai adanya
fraktur cervical, maka pasang neck collar untuk membatasi gerakkan leher sehingga tidak
memperburuk keadaan leher. Jika fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril)
untuk mencegah kontaminasi bakteri.

B.     Saran

 Untuk mahasiswa, agar melakukan tindakan sesuai dengan proseur dan mempersiapkan diri

dengan baik sebelum melakukan tindakan agar tidak terjadi kesalahan yang fatal

 Untuk dosen, agar lebih memperhatikan mahasiswa dan mampu memberi pemahaman yang

lebih jelas kepada mahasiswa tentang materi prasat yang dibawakan.

  Untuk tenaga kesehatan (perawat), ketika memberikan pelayanan kesehatan pada pasien

selalu mengutamakan keamanan penolong kemudian aman yang ditolong dengan selalu

menggunakan APD.

DAFTAR PUSTAKA
Burner dan Sudarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medical-Bedah. Jakarta; EGC
Herdman Heather T dan Shigemi Kamitsuru. 2015. Nanda Internasional Defining The
Knowledge Of Nursing Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015- 2017. Edisi 10.
Jakarta: EGC

M Black Joyce dan Jane Hokanson Hawks. 2014. Keperawatan Medical Bedah Manajemen

Klinis Untuk Hasil Yang Diharapkan. Jakarta; CV Pentasada Media Edukasi


Nuririf Huda Amin dan Hardi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Jilid 2.
 Jogjakarta; Medication Jogja
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi
Indikatator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta Selatan; Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia
Yanti Ruly Hutabarat dan Chandra syah Putra. 2016. Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan.
Bogor; IN MEDIA
Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 3. No 2 Desember 2015

KEPERAWATAN

Anda mungkin juga menyukai