Anda di halaman 1dari 32

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN KECEMASAN


ANAK PRE OPERASI DI RUMAH SAKIT UNIVERSITAS UDAYANA

PUTU MERTAYASA

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA USADA BALI
2022
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kecemasan

1. Definisi Kecemasan

Kecemasan menjadi bentuk respon awal terhadap sebuah kondisi

kesakitan yang dapat berkembang sesuai tingkat keparahan suatu penyakit.

Ketika mengalami cemas yang berlangsung semakin intens, maka seseorang

akan fokus pada krisis yang dialami (Sharafkhaneh et al., 2017)

Kecemasan adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan

digambarkan dengan adanya kegelisahan atau ketegangan yang

menyebabkan tanda- tanda hemodinamik abnormal sebagai konsekuensi

dari stimulasi simpatik, parasimpatik, dan endokrin (Havivah, 2019)

Kecemasan adalah suatu kondisi emosional yang ditandai dengan rasa

takut yang tidak jelas sumbernya. Yang diliputi oleh kekhawatiran terhadap

berbagai hal yang mungkin dialami dalam perjalanan hidupnya (Surya,

2013)

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa

kecemasan merupakan pengalaman emosional yang dirasakan sebagai suatu

yang tidak menyenangkan dan sumbernya tidak diketahui dengan jelas. Hal

ini ditandai dengan adanya gejala fisiologis dan psikologis seperti

hemodinamik abnormal, kegelisahan, ketegangan dan kekhawatiran


2. Tanda dan gejala kecemasan

Tanda dan gejala kecemasan dapat dinilai pada tiga domain yaitu

fisik, psikologis, serta perubahan perilaku. Domain fisik yang dapat diamati

yaitu palpitasi dan takikardi, gemetar, sulit tidur, sakit kepala, sesak,

mual/muntah serta kekauan otot. Domain psikologis meliputi gangguan

konsentrasi, kewaspadaan tinggi, mudah tersinggung, merasa takut dan

tersudut. Kecemasan juga berdampak pada perubahan perilaku seperti reaksi

penghindaran/isolasi, menjadi sangat agresif (Rini, 2021)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan yaitu sebagai berikut

(Iswardhani, 2020) :

a. Faktor predisposisi

Faktor predisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang

dapat timbulnya kecemasan. Ketegangan dalam selama kehidupan

tersebut dapat berupa:

1) Peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan

berkaitan dengan krisis yang dialami individu baik krisis

perkembangan atau situasional.

2) Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan

dengan baik. Konflik antara keinginan dan kenyataan dapat

menimbulkan kecemasan pada individu.


3) Konsep diri terganggu akan menimbulkan rasa ketidakmampuan

individu berpikir secara realitas sehinggga akan menimbulkan

kecemasan.

4) Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk

mengambil keputusan yang dampak terhadap ego.

5) Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan

ancaman terhadap integritas fisik yang dapat mempengaruhi

konsep diri individu.

6) Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani

stress akan mempengaruhi individu dalam berespons terhadap

konflik yang dialami karena pola mekanis koping individu banyak

dipelajari dalam keluarga

7) Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi

respon individu dalam berespons terhadap konflik dan mengatasi

kecemasannya.

8) Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah

pengobatan yang mengandung benzodizepin, karena benzopin

dapat menekan neurotransmiter Gamma Amino Butyric Acid

(GABA) yang mengontrol aktivitas neuron di otak yang

bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.


b. Faktor presipitasi

Faktor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang

dapat mencetuskan timbulnya kecemasan. Faktor presipitasi kecemasan

dikelompokkan menjadi dua bagian:

1) Ancaman terhadap integritas fisik ketegangan yang mengancam

integritas fisik yang meliputi:

a) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis

sistem imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal

(misalnya: hamil).

b) Sumber ekternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan

bakteri, kekurangan nutrisi tidak adekuatnya tempat tinggal.

2) Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan

eksternal.

a) Sumber internal: kesulitan dalam hubungan interpersonal di

rumah dan di tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru.

Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat

mengancam harga diri.

b) Sumber eksternal: kehilangan orang yang dicintai,

perceraian,

perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya

4. Penyebab kecemasan pra operasi


Kecemasan pada kondisi pra operasi dihubungkan dengan kemunculan

ancaman akan status kesehatan dan hasil operasi yang belum dapat

dipastikan (Rini, 2021). Sebuah penelitian (Candra et al., 2019) dengan

judul “Identifikasi Tingkat Kecemasan Pada Pasien Anak Pre Operasi Di

Ruang Operasi GBPT RSUD Dr. Soetomo Surabaya” menyimpulkan bahwa

reaksi anak dari dampak hospitalisasi itu beragam tergantung pada

keterbatasan mekanisme koping terhadap stressor yang dimiliki. Selain itu

juga kecemasan pada anak tidak tergantung pada usia, karena segala usia

pasti mengalami kecemasan pre operasi. Kecemasan yang dirasakan

tergantung pada keterbatasan mekanisme koping terhadap stressor yang

dirasakan. Penyebab kecemasan anakjuga dipengaruhi lamanya dirawat,

kompleknya prosedur invasive yang dilakukan, kecemasan orang tua

(Candra et al., 2019).

5. Tingkat Kecemasan

Menurut (Kusuma & Hartono, 2013) tingkatan kecemasan terbagi atas:

a. Kecemasan ringan. Individu waspada, lapang persepsi luas,

menajamkan indera, dapat memotivasi individu untuk belajar dan

mampu memecahkan masalah secara efektif.

b. Kecemasan sedang Individu hanya fokus pada pikiran yang menjadi

perhatiannya, terjadi penyempitan lapang persepsi dan masih dapat

melakukan sesuatu dengan arahan orang lain.


c. Kecemasan berat Lapangan persepsi individu sangat sempit, perhatian

hanya pada detail yang kecil ( spesifik ) dan tidak dapat berpikir tentang

hal-hal yang lain, serta seluruh perilaku dimaksudkan untuk

mengurangi kecemasan dan perlu banyak perintah/arahan untuk focus

pada area lain.

d. Panik. Individu kehilangan kendali diri dan detail, detil perhatian

hilang, tidak bisa melakukan apapun meskipun dengan perintah, terjadi

peningkatan aktivitas motorik, berkurangnya kemampuan berhubungan

dengan orang lain, penyimpangan persepsi dan hilangnya pikiran

rasional, tidak mampu berfungsi secara efektif, serta biasanya disertai

dengan disorganisasi kepribadian. Kriteria serangan panik adalah

palpitasi, berkeringat, gemetar atau goyah, sesak napas, merasa

tersedak, nyeri dada, mual dan distress abdomen, pening, derealisasi

atau depersonalisasi, ketakutan kehilangan kendali diri, ketakutan mati,

dan parestesia.

6. Reaksi kecemasan pada anak

Sebagian besar anak memperlihatkan frekuensi dan intensitas cemas

yang tinggi berkaitan dengan pengalaman medis Selama anak dirawat dan

menjalani berbagai prosedur di rumah sakit, anak dengan rasa cemas yang

tinggi lebih banyak memperlihatkan perilaku negatif seperti menolak

prosedur, menjerit keras dan menyerang orang lain daripada anak yang

memiliki rasa cemas yang rendah Selain perilaku tersebut, anak yang
kecemasan selama dirawat di rumah sakit juga sering memperlihatkan

berbagai perilaku yang lain seperti gangguan tidur, gangguan nafsu makan

dan perilaku regresi (Anandita & Hidayat, 2019).

Selain reaksi yang diperlihatkan lewat perilaku, kecemasan juga

menimbulkan reaksi fisik seperti peningkatan detak jantung, peningkatan

tekanan darah, produksi keringat, penegangan otot, penajaman sensasi, dan

dilatasi pupil. Ekspresi muka yang dapat diidentifikasi pada individu yang

mengalami cemas antara lain mata melebar sebagai upaya antisipasi

terhadap apa yang akan terjadi, dilatasi pupil untuk mendapatkan lebih

banyak cahaya, bibir atas terangkat, alis terangkat bersamaan dan bibir

melebar secara horizontal. Efek fisiologis terhadap cemas tersebut terjadi

sebagai respon dari saraf simpatis (Anandita & Hidayat, 2019)

7. Pengukuran cemas pada anak

a. The Revised Children’s Manifest Anxiety Scale (RCMAS)

RCMAS adalah persediaan laporan diri 37 item yang digunakan

untuk mengukur kecemasan pada anak-anak, untuk tujuan klinis

(diagnosis dan evaluasi pengobatan), pengaturan pendidikan, dan untuk

tujuan penelitian. Setiap item diakui untuk mewujudkan perasaan atau

tindakan yang mencerminkan aspek kecemasan. Ini adalah instrumen

yang relatif singkat, yang telah mengalami penelitian yang luas untuk

memastikan bahwa itu adalah suara psychometrically. Namun, ini juga

dianjurkan bahwa RCMAS hanya digunakan sebagai bagian dari


evaluasi klinis lengkap ketika mendiagnosis dan mengobati kecemasan

anak.

RCMAS dikembangkan oleh Reynolds dan Richmond tahun 1978

untuk menilai "tingkat dan kualitas kecemasan yang dialami oleh anak-

anak dan remaja" (Anandita & Hidayat, 2019). RCMAS digunakan

untuk mencatat adanya kecemasan berdasarkan gejala fisik, over

sensitifitas dan gangguan konsentrasi. Kuesioner ini mengandung 37

pertanyaan “Ya” atau “Tidak”, yang terdiri dari 28 pertanyaan yang

menggambarkan kecemasan dan sembilan pertanyaan untuk mendeteksi

kebohongan. Total skor maksimal kuesioner ini adalah 28 dan

minimalnya adalah nol. Total skor 0-19 merupakan range normal dan

total skor 20-28 menunjukkan adanya kecemasan klinis (Anandita &

Hidayat, 2019)

b. Children’s Fear Scale

Cara pengukuran kecemasan pada anak usia prasekolah

menggunakan alat ukur (instrumen) Children’s Fear Scale yang

dikembangkan oleh McMurtry, Noel, Chambers, & McGrath (Brutu,

2016). Children’s Fear Scale adalah instrumen untuk mengukur

ketakutan anak menjalani prosedur medis yang menyakitkan. Skala

ukur ini telah dirujuk sebagai Faces Anxiety Scale untuk anak-anak.

Terdapat lima gambar wajah pada Children’s Fear Scale yang dimulai

dari wajah yang menunjukkan tidak takut sama sekali sampai paling
takut, skala penilaian nilai terendah nol dan nilai tertinggi empat (Brutu,

2016)

B. Konsep Komunikasi Terapeutik

1. Definisi komunikasi terapeutik

Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pernyataan atau proses

pertukaran ide, perasaan, dan pikiran antara dua orang atau lebih yang

bertujuan untuk terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku serta

penyesuaian yang dinamis antara orang-orang yang terlibat dalam

komunikasi (Rosfyanita, 2020) Berikut pengertian komunikasi dari

beberapa pendapat para ahli yang dikutip dari (Rosfyanita, 2020)

a. Haber (Rosfyanita, 2020), komunikasi adalah suatu proses di mana

informasi ditransmisikan melalui sebuah sistem oleh simbol, tanda, atau

prilaku yang umum.

b. Taylor (Rosfyanita, 2020), komunikasi adalah suatu proses pertukaran

informasi atau proses pemberian arti sesuatu.

c. Jane (Rosfyanita, 2020), komunikasi merupakan proses yang sedang

berlangsung, seri dinamis dari kegiatan yang berkaitan dengan

pemindahan dari pengirim pesan ke penerima pesan.

2. Jenis komunikasi terapeutik

a. Komunikasi verbal
Komunikasi verbal melibatkan bahasa untuk dapat

menyampaikan pesan yang dimaksud oleh pemberi pesan kepada

penerima pesan. Jenis komunikasi ini sering digunakan dalam ranah

pelayanan rumah sakit melalui proses tatap muka. Tujuannya adalah

untuk menyampaikan perasaan, ide, kesan, respon emosional agar

tercipta hubungan dan ikatan yang baik melalui proses interaksi.

Komunikasi verbal membutuhkan

fungsi fisiologis dan mekanisme kognitif ketika stimulus diterima

sehingga dapat dipersepsikan dan direspon. Keuntungan komunikasi

verbal yang dilaksanakan melalui tatap muka yaitu memungkinkan

setiap individu untuk berespon secara langsung (Rini, 2021)

b. Komunikasi non verbal

Dalam komunikasi non verbal, penyampaian kode non verbal

merupakan cara yang paling efektif dan meyakinkan saat pesan

disampaikan kepada orang lain. Kode non verbal sering ditemukan

melalui pengamatan yang cermat hingga proses evaluasi keperawatan

(Rini, 2021)

3. Prinsip-prinsip komunikasi

Komunikasi terapeutik dalam ranah keperawatan yaitu ketika perawat

berkomunikasi dengan klien, maka perawat akan memperoleh gambaran

jelas dan alami terkait kondisi klien termasuk tanda dan gejala yang dapat
diamati serta keluhan yang dirasakan. Prinsip komunikasi terapeutik

menurut Carl Rogers yaitu (Nuareni et al., 2015)

a. Perawat sebagai tenaga kesehatan harus mengenal dirinya sendiri,

b. Komunikasi ditandai dengan sikap menerima, percaya dan menghargai,

c. Perawat sebagai tenaga kesehatan harus paham, menghayati nilai yang

dianut pasien,

d. Perawat sebagai tenaga kesehatan harus sadar pentingnya kebutuhan

pasien,

e. Perawat sebagai tenaga kesehatan harus menciptakan suasana agar

pasien berkembang tanpa rasa takut,

f. Perawat sebagai tenaga kesehatan menciptakan suasana agar pasien

punya motivasi mengubah diri,

g. Perawat sebagai tenaga kesehatan harus menguasai perasaannya sendiri,

h. Perawat menentukan batas waktu yang sesuai dan konsisten,

i. Perawat harus paham akan arti empati,

j. Perawat harus jujur dan berkomunikasi secara terbuka,

k. Perawat harus dapat berperan sebagai role model

l. Mampu mengekspresikan perasaan,

m. Altruisme (panggilan jiwa) untuk mendapatkan kepuasan dengan

menolong orang lain,

n. Berpegang pada etika,

o. Tanggung jawab
4. Sikap Perawat dalam Berkomunikasi

Perawat hadir secara utuh (fisik dan psikologis) pada waktu

berkomunikasi dengan klien. Perawat tidak cukup hanya mengetahui teknik,

tapi juga sikap dalam berkomunikasi, diantaranya (Rini, 2021) :

a. Kehadiran diri secara fisik

Cara untuk menghadirkan diri secara fisik yaitu berhadapan,

mempertahankan kontak mata, membungkuk ke arah klien,

mempertahankan sikap terbuka dengan tidak melipat kaki atau tangan

dan tetap releks. Sikap fisik dapat pula disebut sebagai perilaku non

verbal yang perlu dipelajari pada setiap tindakan keperawatan.

Beberapa perilaku non verbal yang dikemukakan Clum (Rini, 2021)

yang perlu diketahui dalam merawat anak adalah:

b. Gerakan mata

Gerakan mata dapat dipakai untuk memberikan perhatian. Kontak mata

dan ekspresi muka adalah alat pertama yang dipakai untuk pendidikan

dan sosialisasi. Anak sangat peka terhadap sikap perawat dalam

memberikan pelayanannya, misalnya perawat melotot menunjukkan

perawat tidak suka dengan perilaku pasien dan sikap ini menjadi

ancaman bagi pasien.

c. Ekspresi muka

Ekspresi muka umumnya dipakai sebagai bahasa non verbal namun

banyak dipengaruhi budaya. Orang yang tidak percaya pasti akan

tampak dari ekspresi muka tanpa ia sadari. Perawat perlu menyadari


dan menjaga tentang perubahan yang terjadi pada dirinya. Keberadaan

perawat adalah sebagai penolong bagi klien sehingga selalu dituntut

berekspresi yang sejuk dan hangat kepada klien.

d. Sentuhan

Sentuhan merupakan cara interaksi yang mendasar. Konsep diri didasari

oleh asuhan ibu yang memperlihatkan perasaan menerima dan

mengakui. Ikatan kasih sayang dibentuk oleh pandangan, suara dan

sentuhan yang menjadi elemen penting dalam pembentukan ego,

perpisahan dan kemandirian. Sentuhan sangat penting bagi anak sebagai

alat komunikasi dan memperlihatkan kehangatan, kasih sayang yang

pada kemudian hari diharapkan mampu mengembangkan hal yang sama

baginya.

e. Kehadiran Diri Secara Psikologis

Kehadiran diri secara psikologis dapat dibagi menjadi dua dimensi yaitu

dimensi respon dan dimensi tindakan. Dimensi respon merupakan sikap

perawat secara psikologis dalam berkomunikasi dengan klien. Dimensi

respon terdiri dari respon perawat yang ikhlas, menghargai, empati dan

konkrit.

5. Tahapan dan Strategi Komunikasi Terapeutik Perawat

Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang terstruktur yang

terdiri dari empat tahap yaitu fase pra-interaksi, fase orientasi, fase kerja dan

fase terminasi. Dimana setiap fase terdapat strategi yang harus dilakukan
oleh perawat pada saat melakukan komunikasi terpeutik dengan klien agar

komunikasi tersebut dapat berjalan sesuai dengan harapan (Rosfyanita,

2020)

a. Fase pra-interaksi, merupakan masa persiapan sebelum berhubungan

dan

berkomunikasi dengan klien. Pada fase ini perawat melakukan

pengkajian terhada dirinya dengan cara mengidentifikasi kelebihan dan

kekurangannya. Perawat mencari informasi tentang klien sebagai lawan

bicaranya. Setelah hal ini dilakukan, perawat membuat strategi untuk

pertemuan pertama dengan klien. Tujuan dalam fase ini mengurangi

rasa cemas atau kecemasan yang mungkin dirasakan oleh perawat

sebelum melakukan komunikasi terapeutik dengan klien. Menurut

Brammer (Rosfyanita, 2020) pada saat perawat merasa cemas, dia tidak

akan mampu mendengarkan apa yang dikatakan oleh klien dengan baik

sehingga tidak mampu melakukan active listening (mendengarkan

dengan aktif dan penuh perhatian)

b. Fase orientasi atau perkenalan, merupakan fase yang dilakukan perawat

pada saat pertama kali bertemu dengan klien. Tahap perkenalan

dilaksanakan setiap kali perawat dan pasien mengadakan pertemuan

dengan klien. Tujuan dalam tahap ini adalah memastikan keakuratan

data dan rencana yang telah dibuat sesuai dengan keadaan klien saat ini,

serta mengevaluasi hasil tindakan yang telah lalu. Selama fese ini

perawat mulai membangun rasa saling percaya dengan klien.


Dibutuhkan beberapa sesi pertemuan sampai klien yakin bahwa perawat

dapat dipercaya. Menurut Forchuk (Rosfyanita, 2020) apabila hubungan

dimulai dengan awal yang positif, hubungan tersebut lebih cendrung

berhasil dan mencapai tujuan yang ditetapkan. Selain itu pada fase ini

juga dikenal kontrak perawat-klien yaitu suatu bentuk tanggung jawab

yang harus disepakati perawat-klien dan hal ini sangat penting bagi

perawat untuk menjelaskan tanggung jawab perawat-klien. Kontrak

tersebut harus berisi : waktu, tempat, lama sesi pertemuan, kapan sesi

pertemuan berakhir, siapa yang terlibat dalam rencana terapi, tanggung

jawab klien yang tiba, selesai tepat waktu, dan tanggung jawab perawat

yang tiba, selesai tepat waktu, menjaga kerahasiaan, mengevaluasi dan

mendokumentasikan sesi pertemuan.

c. Fase kerja, merupakan inti dari hubungan perawat dan klien yang

terkait

erat dengan pelaksanaan rencana tindakan keperawatan yang akan

dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang dicapai. Pada fase ini dibagi

menjadi dua subfase : identifikasi masalah yaitu ketika mengidentifikasi

kekhawatiran yang menyebabkan masalah, dan eksploitasi yaitu ketika

perawat memandu klien mengkaji perasaan dan responnya untuk yang

lebih positif serta mendorong perubahan prilaku yang lebih mandiri.

Tahap kerja merupakan tahap yang terpanjang dalam komunikasi

terapeutik karena didalamnya perawat dituntut untuk membantu dan

mendukung klien untuk menyampaikan perasaan dan pikirannya dan


kemudian menganalisa respons ataupun pesan verbal dan non verbal

yang disampaikan oleh klien. Dalam tahap ini perawat mendengarkan

secara aktif dan dengan penuh perhatian sehingga mampu membantu

klien untuk mendefinisikan masalah yang sedang dihadapi oleh klien,

mencari penyelesaian masalah dan mengevaluasinya. Di bagian akhir

tahap ini, perawat diharapkan mampu menyimpulkan percakapannya

dengan klien.

d. Fase terminasi, merupakan akhir dari pertemuan perawat dan klien.

Fase ini dimulai ketika masalah selesai dan berakhir ketika hubungan

tersebut berakhir. Jika klien mencoba membuka kembali isu lama yang

telah teratasi, perawat harus menghindari perasaan sesi pertama seolah-

olah tidak berhasil. Menurut Stuart, G.W (Rosfyanita, 2020) Tahap

terminasi dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir.

Terminasi sementara adalah akhir dari setiap pertemuan perawat dan

klien, setelah hal ini dilakukan perawat dan klien masih akan bertemu

kembali pada waktu yang berbeda sesuai dengan kontrak waktu yang

telah disepakati bersama. Sedangkan terminasi akhir dilakukan oleh

perawat setelah menyelesaikan seluruh proses keperawatan.

Menurut Kozier (Rosfyanita, 2020) ada beberapa strategi dalam komunikasi

terapeutik, antara lain

a. Attentive Listening (mendengarkan dengan penuh perhatian).

b. Paraphrasing (Pernyataan ulang).

c. Mengklarifikasi.
d. Menggunakan pernyataan dan pertanyaan terbuka, dengan contoh

kalimatnya adalah “ saya ingin mendengar tentang…” atau “ceritakan

pada saya tentang…”.

e. Fokus

f. Being specific, tentative dan informative.

g. Dengan sentuhan.

h. Diam.

i. Providing general leads dengan pengertian seorang perawat mampu

menganjurkan kliennya untuk bercerita dan pada waktu yang sama

memilih topik percakapan.

j. Summarizing (meringkas) merupakan poin utama setelah sesi

percakapan dan diskusi terjadi. Teknik ini merupakan tahap awal untuk

pelaksanaan asuhan yang akan datang.

6. Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Terapeutik

Dalam melakukan sebuah komunikasi salah satunya komunikasi terapeutik

dipengaruhi beberapa hal antara lain (Nuareni et al., 2015) :

a. Persepsi

Persepsi akan sangat mempengaruhi jalannya komunikasi karena proses

komunikasi harus ada persepsi dan pengertian yang sama tentang

pesaan

yang disampaikan dan diterima oleh kedua pihak.

b. Nilai

Perawat perlu memegang nilai-nilai professional dalam berkomunikasi,


perawat tidak harus marah-marah ketika ada klien yang tidak kooperatif

terhadap rencana tindakan yang dilakukan, namun harus menggali

semangat klien untuk harus cepat sembuh melalui pendekatan nilai yag

dianut klien.

c. Emosi

Seorang perawat harus menghadirkan perasaannya untuk menolong

pasien dengan cara merasakan apa yang dirasakan kliennya. Perawat

harus bisa membedakan suasana emosi personal dengan suasana emosi

profesional. Komunikasi akan berjalan dengan lancar dan efektif

apabila perawat dapat mengelola emosinya.

d. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan produk atau dari perkembangan pendidikan.

Perawat diharapkan dapat berkomunikasi dengan berbagai tingkat

pengetahuan yang dimiliki klien. Dengan demikian perawat dituntut

punya pengetahuan yang cukup tentang pertumbuhan dan

perkembangan klien karena hal tersebut sangat terkait dengan

pengetahuan yang dimiliki oleh klien.

e. Peran dan Hubungan

Kemajuan hubungan perawat-klien adalah bila hubungan tersebut saling

menguntungkan dalam menjalin ide dan perasaannya. Komunikasi

efektif bila partisipan (perawat-klien) mempunyai efek/ dampak positif

dalam menjalin hubungan sesuai dengan perannya masing-masing.

f. Kondisi Lingkungan
Komunikasi berkaitan dengan lingkungan sosial tempat komunikasi

berlangsung, dan dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang merupakan

identitas sosial dari mereka yang terlibat dalam komunikasi antara lain:

usia, jenis kelamin, etnik, status sosial, bahasa, peraturan sosial, peran

sosial (Nuareni et al., 2015)

C. Konsep Anak

1. Definisi Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan masih

bergantung pada orang dewasa. Tahapan usia anak dibagi atas lima, yaitu

tahap prenatal (konsepsi sampai lahir), masa bayi (lahir sampai usia 12

bulan), masa toddler (usia 1 tahun sampai 3 tahun), masa pra sekolah (usia

3 tahun sampai 6 tahun), masa usia sekolah (6 tahun sampai 12 tahun) dan

masa remaja (usia 12 sampai 18 tahun) (Candra et al., 2019). Pada

penelitian ini peneliti membatasi pembahasan anak hanya pada masa

toddler, masa pra sekolah, masa usia sekolah dan masa remaja.

a. Masa toddler

Masa anak toddler (umur 1-3 tahun). Pada periode ini kecepatan

pertumbuhan mulai menurun dan terdapat kemajuan dalam

perkembangan motorik kasar dan motorik halus serta fungsi ekskresi.

Periode ini juga merupakan masa yang penting bagi anak karena

pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada masa balita akan


menentukan dan mempengaruhi tumbuh kembang anak selanjutnya

(Yuliastati & Arnis, 2016).

Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak masih berlangsung

dan terjadi pertumbuhan serabut-serabut saraf dan cabang-cabangnya

sehingga terbentuk jaringan saraf dan otak yang kompleks. Jumlah

dan pengaturan hubungan antar sel saraf ini akan sangat

mempengaruhi kinerja otak mulai dari kemampuan belajar berjalan,

mengenal hurup hingga bersosialisasi. Pada masa ini perkembangan

kemampuan bicara dan bahasa, kreativitas, kesadaran sosial,

emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan

landasan perkembangan berikutnya (Damanik & Sitorus, 2019).

b. Masa prasekolah

Perawatan anak masa prasekolah (umur 3-6 tahun) dirumah

sakit memaksakan untuk berpisah dari lingkungan yang dirasakannya

aman. Penuh kasih sayang dan menyenangkan, yaitu lingkungan

rumah, permainan dan teman sepermainannya. Reaksi terhadap

perpisahan yang ditunjukkan anak usia prasekolah ialah dengan

menolak makan, sering bertanya, menangis secara berlahan, tidak

kooperatif terhadap petugas kesehatan, perawatan di rumah sakit juga

membuat anak kehilangan kontrol dirinya (Suryani et al., 2012)

Terdapat juga respon emosi yang muncul sangat kuat pada masa

pra sekolah yaitu perasaan cemas. Cemas yaitu perasaan terancam

oleh suatu objek yang dianggap membahayakan. Pengalaman cemas


yang terjadi pada periode ini umumnya lebih besar dibandingkan pada

periode usia lainnya. Rasa cemas muncul biasanya berkaitan dengan

kondisi sendirian terutama saat menjelang tidur, keadaan gelap,

binatang (terutama binatang besar), hantu, mutilasi tubuh, darah, serta

objek atau orang-orang yang berhubungan dengan pengalaman yang

menyakitkan. Pada mulanya reaksi anak terhadap cemas adalah panik,

kemudian menjadi lebih khusus seperti lari, menghindar,

bersembunyi, menangis dan menghindari situasi yang menakutkan.

Selain itu anak pada usia ini juga dapat membuat klasifikasi

sederhana, menggunakan banyak kata dengan tepat namun tanpa

memahami makna sebenarnya, dan sering memperlihatkan pemikiran

yang egosentris, yaitu pemikiran yang berdasarkan perasaan

pengalamannya saja daripada perasaan orang lain (Candra et al., 2019)

c. Masa usia sekolah

Anak masa usia sekolah (umur 6-12 tahun) mulai masuk sekolah

dan mempunyai teman yang lebih banyak sehingga sosialisasinya

lebih luas. Anak juga terlihat lebih mandiri. (Madyastuti, 2017). Anak

mengalami emosi tertentu yang dikendalikan oleh rasa tanggung

jawab. Jika anak merasa bersalah maka anak cenderung menebus

kesalahan. Selain itu, ketika orangtua atau orang lain menyalahkan

atau mengkritik anak, maka anak akan merasa malu yang intens yang
dapat menyebabkan penurunan tajam dalam harga diri disertai dengan

depresi dan kemarahan. Dalam usia ini anak menerima suatu peran

yang baru, berinteraksi dan mengembangkan hubungan dengan orang-

orang baru yang penting lainnya, mengadopsi kelompok acuan baru,

dan mengembangkan standar-standar baru untuk menilai diri mereka

sendiri (Prastiwi, 2013)

Anak telah berada pada fase concrete-operations yang ditandai

dengan penalaran induktif, tindakan logis dan pikiran nyata yang

reversibel. Selain itu, pada periode ini anak telah dapat mengggunakan

proses berfikir untuk memahami dan menghubungkan antara

kenyataan dan ide serta sudah tidak bersifat egosentris dan dapat

melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (Candra et al., 2019).

d. Masa Remaja

Anak usia remaja (umur 12-18 tahun) mengekspresikan

perawatan di rumah sakit mengakibatkan timbulnya perasaaan cemas

karena berpisah dengan teman sebayanya. Dan anak remaja begitu

percaya dan sering kali terpengaruh terhadap teman sebayanya.

Dirawat di rumah sakit anak akan merasa kehilangan dan timbul

perasaan cemas karena perpisahan itu. embatasan aktifitas di rumah

sakit membuat anak kehilangan kontrol dirinya dan menjadi

tergantung pada keluarga atau petugas kesehatan di rumah sakit.


Reaksi yang timbul pada anak akibat pembatasan aktifitas ini adalah

dengan menolak tindakan perawatan yang dilakukan padanya, anak

tidak mau kooperatif terhadap petugas, menarik diri dari keluarga,

sesama pasien dan petugas kesehatan. Perasaan sakit karena perlakuan

atau pembedahan menimbulkan respon anak bertanya-tanya menarik

diri dari lingkungan, dan menolak kehadiran orang lain (Suryani et

al., 2012)

Pada usia ini anak sangat berfokus pada diri sendiri, narsisme

(kecintaan pada diri sendiri) meningkat. Mampu memandang masalah

secara komprehensif. Mereka mulai menjalin hubungan dengan lawan

jenis dan status emosi biasanya lebih stabil terutama pada usia remaja

lanjut (Madyastuti, 2017)

2. Peran Perawat Anak

Perawat merupakan anggota dari tim pemberi asuhan keperawatan

anak dan orang tuanya. Perawat dapat berperan dalam berbagai aspek

dalam memberikan pelayanan kesehatan dan bekerjasama dengan anggota

tim lain, dengan keluarga terutama dalam membantu memecahkan

masalah yang berkaitan dengan perawatan anak (Yuliastati & Arnis,

2016). Beberapa peran penting seorang perawat, meliputi (Rosyidah & Ike,

2019)
a. Pemberi perawatan

Peran utama perawat adalah memberikan pelayanan keparawatan

anak,

sebagai perawat anak , pemberi pelayanan keperawatan dapat

dilakukan

dengan memenuhi kebutuhan dasar anak seperti kebutuhan asah, asih,

dan asuh,

b. Sebagai advokat keluarga

Selain melakukan tugas utama dalam merawat anak , pearawat juga

mampu menjadi advocat keluarga sebagai pembela keluarga dalam

beberapa hal seperti dalam menentukan haknya sebagai klien,

c. Pendidikan

Dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak, perawat harus

mampu menjadi peran pendidik, sebab beberapa pesan dan cara

mengubah perilaku pada anak atau keluarga harus selalu dilakukan

dengan pendidikan kesehatan khususnya dalam keperawatan. Melalui

pendidikan ini diupayakan anak tidak lagi mengalami gangguan yang

sama dan dapat mengubah perilaku yang tidak sehat,

d. Pencegah penyakit

Upaya pencegahan merupakan bagian dari bentuk pelayanan

keperawatan sehingga setiap dalam melakukan asuhan keperawatan

yang harus selalu mengutamakan tindakan pencegahan terhadap


timbulnya masalah baru sebagai dampak dari penyakit atau masalah

yang diderita,

e. Konseling

Merupakan upaya perawat dalam melaksanakan perannya dengan

memberikan waktu untuk berkonsultasi terhadap masalah yang

dialami oleh anak maupun keluarga. Berbagai masalah tersebut

dihararapkan mampu diatasai dengan cepat dan harapan pula tidak

terjadi kesenjangan antara perawat, keluarga maupun anak itu sendiri.

Konseling ini dapat memberikan kemandirian keluarga dalam

mengatasi masalah kesehatan,

f. Kolaborasi

Merupakan tindakan kerja sama dalam menentukan tindakan yang

akan dilaksanakan perawat dengan tenaga kesehatan lain. Pelayanan

keperawatan tidak akan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh tim

perawat tetapi harus melibatkan tim kesehatan lain seperti dokter, ahli

gizi, psikolog, dan lain-lain, mengingat anak merupakan induvidu

yang kompleks yang membutuhkan perhatian dalam perkembangan,

g. Pengambilan keputusan etik

Dalam mengambil keputusan, perawat mempunyai peran yang sangat

penting, sebab perawat selalu berhubungan dengan anak kurang lebih

24 jam selalu di samping anak, maka peran sebagai pengambilan

keputusan etik dapat dilakukan oleh perawat, seperti akan melakukan

pelayanan keperawatan,
h. Peneliti

Peran ini sangan penting dimiliki oleh semua perawat anak. Perawat

harus melakukan kajian-kajian keperawatan anak, yang dapat

digunakan untuk perkembangan teknologi keperawatan. Peran sebagai

peneliti dapat dilakukan dalam meningkatkan mutu pelayanan

keperawatan anak (Rosyidah & Ike, 2019)

3. Prinsip Keperawatan Anak

Asuhan keperawatan pada anak tentu berbeda dibandingkan dengan

orang dewasa. Banyak perbedaan yang harus diperhatikan dan disesuaikan

dengan usia serta pertumbuhan dan perkembangan anak karena perawatan

yang tidak optimal akan berdampak tidak baik secara fisiologis maupun

psikologis pada anak itu sendiri. Perawat harus memahami dan mengingat

beberapa prinsip yang berbeda dalam penerapan asuhan keperawatan anak

sebagai berikut (Damanik & Sitorus, 2019):

a. Anak bukan miniatur orang dewasa tetapi sebagai individu yang unik,

artinya bahwa tidak boleh memandang anak dari segi fisiknya saja

melainkan sebagai individu yang unik yang mempunyai pola

pertumbuhan dan perkembangan menuju proses kematangan,

b. Anak adalah sebagai individu yang unik dan mempunyai kebutuhan

sesuai tahap perkembangannya. Sebagai individu yang unik, anak

memiliki kebutuhan yang berbeda satu dengan yang lain sesuai

tumbuh kembang. Kebutuhan fisiologis seperti nutrisi dan cairan,


aktivitas, eliminasi, tidur dan lain-lain, sedangkan kebutuhan

psikologis, sosial dan spiritual yang akan terlihat sesuai tumbuh

kembangnya,

c. Pelayanan keperawatan anak berorientasi pada upaya pencegahanp

penyakit dan peningkatan derajat kesehatan yang bertujuan untuk

menurunkan angka kesakitan dan kematian pada anak mengingat anak

adalah penerus generasi bangsa,

d. Keperawatan anak merupakan disiplin ilmu kesehatan yang berfokus

pada kesejahteraan anak sehingga perawat bertanggung jawab secara

komprehensif dalam memberikan asuhan keperawatan anak. Dalam

mensejahterakan anak maka keperawatan harus selalu mengutamakan

kepentingan anak dan upayanya tidak terlepas dari peran keluarga

sehingga selalu melibatkan keluarga,

e. Praktik keperawatan anak mencakup kontrak dengan anak dan

keluarga guna untuk mencegah, mengkaji, mengintervensi dan

meningkatkan kesejahteraan hidup, dengan menggunakan proses

keperawatan yang sesuai dengan aspek moral (etik) dan aspek hukum

(legal),

f. Tujuan keperawatan anak dan keluarga adalah untuk meningkatkan

maturasi atau kematangan yang sehat bagi anak dan remaja sebagai

makhluk biopsikososial dan spiritual dalam konteks keluarga dan

masyarakat. Upaya kematangan anak adalah dengan selalu memberi

dan memperhatikan lingkungan yang baik secara internal maupun


eksternal dimana kematangan anak ditentukan oleh lingkungan yang

baik,

g. Pada masa yang akan datang kecenderungan keperawatan anak

berfokus pada ilmu tumbuh kembang, sebab ini yang akan

mempelajari aspek kehidupan anak (Damanik & Sitorus, 2019).

D. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan sekumpulan konsep yang saling berkaitan

dan tersusun sedemikian rupa sebagai kesimpulan atau gambaran keseluruhan

dasar-dasar teoritis kajian literatur (Rini, 2021).

Kerangka teori dalam penelitian ini disusun pada gambar 2.1.


Gambar 2.1
Kerangka teori hubungan antara komunikasi terapeutik dengan kecemasan anak
pre operasi di Rumah Sakit Universitas Udayana

DAFTAR PUSTAKA

Anandita, C. A., & Hidayat, A. A. (2019). Identifikasi Tingkat Kecemasan Pada


Pasien Anak Pre Operasi Di Ruang Operasi GBPT RSUD Dr . Soetomo
Surabaya (Issue 0008127401).
Brutu, M. M. N. K. (2016). Perbedaan Kecemasan Anak Usia Prasekolah Pada
Tindakan Injeksi Dengan Diterapkan Dan Tanpa Diterapkan Pemakaian
Rompi Bergambar Di Ruang Melati Rsud Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Samarinda.

Candra, A., Hidayat, A. A., Budi, D. P., & Wibowo, S. (2019). Identifikasi
Tingkat Kecemasan Pada Pasien Anak Pre Operasi Di Ruang Operasi
GBPT RSUD Dr . Soetomo Surabaya. 0008127401, 11–41.

Damanik, S. M., & Sitorus, E. (2019). Buku Materi Pembelajaran Keperawatan


Anak. In Universitas Kristen Indonesia (1st ed.).
http://repository.uki.ac.id/2703/1/BMPKEPERAWATANJIWA.pdf

Havivah. (2019). Gambaran Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi Katarak di


Kabupaten Jember. Universitas Jember.
https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/91071

Iswardhani, Y. (2020). Gambaran Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal


Kronis Yang Menjalani Hemodialisa: Literature Review. Universitas
Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan.

Kusuma, & Hartono. (2013). Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Kelancaran


Proses Persalinan Ibu Primigravida Di Rumah Sakit Ibu Dan Anak Banda
Aceh [Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) U’budiyah].
https://doi.org/10.1190/segam2013-0137.1

Madyastuti, L. (2017). Bahan Ajar Keperawatan Dasar Anak. 1–99.

Nuareni, Nurisma, S., & Wati, V. W. (2015). Komunikasi terapeutik dalam


pelayanan kebidanan.

Prastiwi, M. N. (2013). Kecemasan Pada Anak Dari Keluarga Bercerai. Fakultas


Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Rini, I. A. M. N. S. (2021). Hubungan Komunikasi Terapeutik dengan


Kecemasan pada Pasien Pra Operasi Hernia.
Rosfyanita, A. M. (2020). Konsep Komunikasi Secara Umum. In Paper
Knowledge . Toward a Media History of Documents.

Rosyidah, I., & Ike, H. (2019). Keperawatan Anak I (M. Sholeh (ed.); 1st ed.).
Icme Press.

Sharafkhaneh, Yohannes, Hanania, & Kunik. (2017). Kecemasan pada Pasien.


18–90.

Surya, M. (2013). Psikologi Guru konsep dan aplikasi. In Alfabeta (Ed.),


Psikologi Guru konsep dan aplikasi (p. 302).

Suryani, Fatmawati, S., Ningsih, S. E., Mardiah, roza isra, & Yusra, reski yetti.
(2012). Konsep Hospitalisasi Pada Anak.

Yuliastati, & Arnis, A. (2016). Keperawatan Anak (1st ed.). PUSDIK SDM
Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai