Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

Dengue Hemorhagic Fever

Oleh :
Azillatin Ruhul Ma’ani
H1A 014 007

Pembimbing:
dr. N.L.K. Dewi Sangawati, Sp.A

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus Flavivirus, dan family Flaviviridae. DBD
ditularkan melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes, terutama Aedes aegypti. Penyakit DBD
dapat muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur. Munculnya
penyakit ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat (Kemenkes RI,
2016). Menurut data WHO Penyakit demam berdarah dengue pertama kali dilaporkan di Asia
Tenggara pada tahun 1954 yaitu di Filipina, selanjutnya menyebar keberbagai negara. Sebelum
tahun 1970, hanya 9 negara yang mengalami wabah DBD, namun sekarang DBD menjadi
penyakit endemik pada lebih dari 100 negara, diantaranya adalah Afrika, Amerika, Mediterania
Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat memiliki angka tertinggi terjadinya kasus DBD.
Jumlah kasus di Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat telah melewati 1,2 juta kasus
ditahun 2008 dan lebih dari 2,3 juta kasus di 2010. Pada tahun 2013 dilaporkan terdapat
sebanyak 2,35 juta kasus di Amerika, dimana 37.687 kasus merupakan DBD berat.
Perkembangan kasus DBD di tingkat global semakin meningkat, seperti dilaporkan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) yakni dari 980 kasus di hampir 100 negara tahun 1954-1959 menjadi
1.016.612 kasus di hampir 60 negara tahun 2000-2009 (WHO, 2014). 2 Menurut Soedarto
(2012) Indonesia adalah daerah endemis DBD dan mengalami epidemik sekali dalam 4-5
tahun. Faktor lingkungan dengan banyaknya genangan air bersih yang menjadi sarang nyamuk,
mobilitas penduduk yang tinggi dan cepatnya trasportasi antar daerah, menyebabkan sering
terjadinya demam berdarah dengue. Indonesia termasuk dalam salah satu Negara yang endemik
demam berdarah dengue karena jumlah penderitanya yang terus menerus bertambah dan
penyebarannya semakin luas . DBD banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis termasuk
di Indonesia, penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dilaporkan pertama kali di Surabaya
pada tahun 1968 dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal
dunia (Depkes RI, 2015). Kemenkes RI (2016) mencatat di tahun 2015 pada bulan Oktober ada
3.219 kasus DBD dengan kematian mencapai 32 jiwa, sementara November ada 2.921 kasus
dengan 37 angka kematian, dan Desember 1.104 kasus dengan 31 kematian. Dibandingkan
dengan tahun 2014 pada Oktober tercatat 8.149 kasus dengan 81 kematian, November 7.877
kasus dengan 66 kematian, dan Desember 7.856 kasus dengan 50 kematian. 1,2,5,6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B. Definisi
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut yang disertai dengan
adanya manifestasi perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat
menyebabkan kematian.
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh
Arbovirus (arthropodborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan
Aedes Albopictus.3,7

C. Epidemiologi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling
ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue
shock syndrome (DSS) ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang terinfeksi.
Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili
Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4.1
Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan ekspansi
geografis ke negara. Respon Primer dan Sekunder Infeksi Virus Dengue (7) 112 Aspirator Vol.
2 No. 2 Tahun 2010 : 110 –119 negara baru dan, dalam dekade ini, dari kota ke lokasi
pedesaan.9 Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis,
terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia.1 Virus dengue dilaporkan
telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat
dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India.
Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya
dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5
miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang
memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk setempat. Jumlah kasus DBD
tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik bahkan cenderung terus
meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak 90% di antaranya menyerang anak
di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang
terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian
sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah
kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008
sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta
kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR 0,89%.
Menurut Data dan informasi profil kesehatan Indonesia pada tahun 2016 jumlah penduduk
yang menderita demam berdarah dengue sekitar 201.885 dengan incidence rate per 100.000
penduduk didapatkan 77,96, jumlah kasus meninggal 1.585 dengan case fatality rate sebesar
0,77%, sedangkan di Nusa Tenggara Barat sendiri jumlah penduduk yang menderita demam
berdarah dengue sekitar 2.585 incidence rate per 100.000 penduduk didapatkan 52,80 dengan
jumlah kasus meninggal 24 case fatality rate sebesar 0,93 %.3,5,7

D. Etiologi
Virus Dengue
Virus dengue termasuk genus flavivirus dan famili flavifiridae. Selain virus dengue, virus lain
yang termasuk dalam genus ini adalah Japanesse encephalitis virus (JEV), yellow fever virus
(YFW), west nile virus (WNV), dan tickborne encephalitis virus (TBEV). Masing-masing virus
tersebut mempunyai kemiripan dalam struktur antigeniknya sehingga memungkinkan terjadi
reaksi silang secara serologik. Berdasarkan genom yang dimiliki, virus dengue termasuk virus
(positive sense single stranded ) RNA. Berdasarkan sifat antigen dikenal ada empat serotipe
virus dengue, yaitu DENV-1, DENV-2,DENV-3, dan DENV-4. Masing- masing serotipe
mempunyai beberapa galur(strain) atau genotip yang berbeda. Di Indonesia keempat serotipe
virus dengue tersebut dapat ditemukan dan DENV-3 merupakan galur yang paling virulen.
Virus Nyamuk
Pada saat ini nyamuk stegomiya aegipty (aedes aegipty) disebut sebagai spesies kosmopolitan
yang banyak ditemukan di berbagai belahan dunia. Nyamuk ini merupakan nyamuk domestik
yang mempunyai afinitas tinggi untuk menggigit manusia (antropofilik) serta dapat menggigit
lebih dari satu individu (multiple bite) untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Pola hidup
tersebut menyebabkan nyamuk tersebut menjadi vektor yang sangat potensial untuk
menularkan virus dengue dari satu individu ke individu yang lain, dan hanya nyamuk betina
yang menggigit manusia.
Pejamu
Saat nyamuk menghisap darah manusia yang sedang mengalami viremia,virus masuk ke dalam
tubuh nyamuk, yaitu dua hari sebelum timbul demam sampai 5-7 hari fase demam. Nyamuk
kemudian menularkan virus ke manusia lain. Kerentanan untuk timbulnya penyakit pada
individu antara lain ditentukan oleh status imun dan faktor genetik pejamu.
Faktor Abiotik
Suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan, telah diketahui berperan dalam penyebaran
penyakit dengue. Perubahan iklim secara global dilaporkan membuat nyamuk mengalami
dehidrasi sehingga untuk mempertahankan diri nyamuk akan lebih sering menggigit manusia.
Peningkatan curah hujan, terutama saat peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan
dilaporkan berpengaruh terhadap peningkatan kasus penyakit dengue.3,7

E. Patogenesis
Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap infektif sepanjang
hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat menggigit dan
menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus de-ngue akan menuju organ
sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpaticus, sumsum tulang serta
paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai peran
pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan
bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah
komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel.7 Infeksi ini menimbulkan reaksi
immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective terhadap
serotipe virus lainnya.32 Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi
biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-mediated
cytotoxity (ADCC) dan ADE.33 Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi netralisasi atau
neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus, dan
antibody non netralising serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat
meningkatkan infeksi yang berperan dalam pathogenesis DBD dan DSS.
Gambar 1. Bagan kejadian infeksi virus dengue

Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang masih kontroversial
yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan antibody dependent enhancement
(ADE). Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan, bila seseorang mendapatkan
infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi
serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut
mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi
yang berat. Ini terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer, akan
membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda yang tidak dapat
dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat oponisasi
internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL-1, IL6, tumor necrosis factor-
alpha (TNF-A dan platelet activating factor (PAF); akibatnya akan terjadi peningkatan
(enhancement) infeksi virus dengue. TNF alpha akan menyebabkan kebocoran dinding
pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan
endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.34
Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan merangsang komplemen yang
farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga
menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan perdarahan.
Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan terjadi
infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies akibat
adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak tersebut,
maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofag mudah terinfeksi
dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF.36-37 Pada teori ADE
disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka dapat mencegah
penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat
menetralisasi virus, justru akan menimbulkan penyakit yang berat.7 Kinetik immunoglobulin
spesifik virus dengue di dalam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM,
IgG1 dan IgG3. Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis
DBD, di antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotipe
virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada
kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Selanjutnya ada teori
antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau kejadian DBD terjadi penurunan
aktivitas sistem komplemen yang ditandai penurunan kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu,
pada 48- 72% penderita DBD, terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus dengue yang
dapat menempel pada trombosit, sel B dan sel organ tubuh lainnya dan akan mempengaruhi
aktivitas komponen sistem imun yang lain. Selain itu ada teori moderator yang menyatakan
bahwa makrofag yang terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti
interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama endotoksin bertanggungjawab
pada terjadinya sok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler. Pada infeksi virus
dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam beberapa hari dapat terjadi infeksi di
beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak
cukup untuk menyebabkan kematian karena infeksi virus; kematian yang terjadi lebih
disebabkan oleh gangguan metabolic.3,5,6,7
F. Manifestasi Klinis.
Manifestasi klinik infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat berupa
demam yang tidak khas. Pada umumnya pasien mengalami demam dengan suhu tubuh 39-
40oC, bersifat bifasik (menyerupai Pelana kuda), fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh
fase kritis pada hari ke-3 selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan
tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan tidak adekuat.
Gambar 2. Perjalanan penyakit infeksi dengue

Lama perjalanan penyakit dengue yang klasik umumnya berlangsung selama 7 hari dan
terdiri atas 3 fase, yaitu fase demam yang berlangsung 3 hari (hari sakit ke-1 sampai dengan
hari ke-3), fase kritis, dan fase penyembuhan. Pada fase demam, anak memerlukan minum
yang cukup karena demam tinggi. Anak biasanya tidak mau makan dan minum sehingga dapat
mengalami dehidrasi, terlihat sakit berat, muka dapat terlihat kemerahan (flushing), dan
biasanya tanpa batuk dan pilek. Saat ini nilai hematokrit masih normaldan viremia berakhir
pada fase ini. Fase demam akan diikuti oleh fase kritis yang berlangsung pada hari ke-4 dan
ke-5 (24-48 jam), ypada saat ini demam turun,sehingga disebut sebagai fase deffervescene.
Fase ini kadang mengecoh karena orangtua menganggap anaknya sembuh oleh karena demam
turunpadahal anak memasuki fase berbahayaketikan kebocoran plasma menjadi nyata dan
mencapai puncak pada hari ke-5. Pada fase tersebut akan tampak jumlah trombosit terendah
dan nilai hematokrit tertinggi. Pada fase ini, organ-organ lain mulai terlibat. Meski hanya
berlangsung 24-48 jam, fase ini memerlukan pengamatan klinis dan laboratoris yang ketat.
Setelah fase kritis pada DBD, anak memasuki fase penyembuhan, kebocoran pembuluh
darah berhenti seketika, plasma kembali dari ruang interstitial masuk ke dalam pembuluh
darah. Pada fase ini, jumlah trombosit mulai meningkat, hematokrit menurun, dan hitung
leukosit juga mulai meningkat. Fase ini hanya berlangsung 1-2 haritapi dapat menjadi fase
berbahaya apabila cairan intravena tetap diberikan dalam jumlah berlebih sehingga anak dapat
mengalami kelebihan cairan dan terlihat sesak. Pada hari-hari tersebut demam dapat meningkat
kembali tetapi tidak begitu tinggi sehingga memberikan gambaran kurva suhu seperti pelana
kuda. Seringkali anak diberikan antibitiotik yang tidak diperlukan. Pada fase ini anak terlihat
riang, nafsu makan kembali muncul, serta aktif seperti sebelum sakit.

Menurut manifestasi kliniknya DHF sangat bervariasi, WHO (1997) membagi menjadi 4
derajat :
Derajat I : Demam disertai uji tourniquet positif.
Derajat II : Demam + uji tourniquet positif disertai manifestasi perdarahan
(seperti : Epistaksis, perdarahan gusi )
Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menyempit (<20 mmhg), hipotensi, sianosis,
disekitar mulut, kulit dingin dan lembab, gelisah.
Derajat IV : Syok berat (profound syok), nadi tidak teraba, dan tekanan
darah tidak terukur.

Klasifikasi

Gambar : Klasifikasi diagnosis dengue menurut WHO 2011 Dikutip dan dimodifikasi dari
WHO. Comprehensive guideline for prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. Regional office for South-East Asia, New
Delhi, India 2011
Pada umumnya unusual manifestation berhubungan dengan ko-infeksi, ko-morbiditas, atau
komplikasi syok yang berkepanjangan (prolonged shock) disertai kegagalan organ (organ
failure). Pada ensefalopati seringkali dijumpai gejala kejang, penurunan kesadaran, dan
transient paresis. Ensefalopati dengue dapat disebabkan oleh perdarahan atau oklusi
(sumbatan) pembuluh darah. Sayangnya otopsi di Indonesia tidak dapat dikerjakan sehingga
penyebab yang sebenarnya sulit dibuktikan. Selain itu, terdapat laporan bahwa virus dengue
dapat melewati sawar darah-otak dan menyebabkan ensefalitis. Infeksi dengue berat dapat
disebabkan oleh kondisi ko-morbid pada pasien seperti usia bayi, obesitas, lansia, ibu
hamil,rulkus peptikum, menstruasi, penyakit hemolitik, penyakit jantung bawaan, penyakit
kronis seperti DM, hipertensi, asma, gagal ginjal kronik, sirosis, pengobatan steroid, atau
NSAID.2,3,7

G. Diagnosis
Kriterier Diagnosis Infeksi Dengue

a. Kriteria diagnosis klinis


1. Diagnosis klinis demam dengue
 Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus, bifasik
 Manifestasi perdarahan baik spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena maupun berupa
uji tourniquet positif
 Nyeri kepala, mialgia, antralgia, nyeri retroorbital
 Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar
rumah.
 Leukopenia <4.000/mm3
 Trombositopenia <100.000/mm3

Apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua atau lebih tanda
dan gejala lain, diagnosis klinis demam dengue dapat ditegakkan

2. Diagnosis klinis demam berdarah dengue


 Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus,
 Manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti ptekie, purpura, ekimosis,
epitaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan atau melena maupun berupa
uji torniquet yang positif
 Nyeri kepala, mialgia, atralgia, nyeri retroorbital
 Dijumpai kasus demam berdarah dengue baik di lingkungan sekolah, rumah
atau di sekitar rumah
 Hepatomegali
 Terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu tanda dan
gejala: peningkatan nilai hematokrit >20% dari pemeriksaan awal atau dari
data populasi menurut umur, ditemukan adanya efusi pleura,
asites,hipoalbuminemia, hipoproteinemia
 Trombositopenia <100.000/mm3

Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti
perembesan plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan diagnosis
DBD.

3. Demam berdarah dengue dengan syok (SSD)


 Memenuhi kriteria DBD
 Ditemukan tanda dan gejala syok hipovolemik baik yang terkompensasi
maupun yang dekompensasi
Syok terkompensasi
- Takikardia
- Takipnea
- Tekanan darah (perbedaan antara sistolik dan diastolik )<20 mmHg
- Waktu pengisian kapiler (capillary refill time/CRT)>2 detik
- Akral dingin
- Produksi urin menurun <iml/kgBB/jam
- Gelisah

Syok dekompensasi

- Takikardia
- Hipotensi (sistolik dan diastolik menurun
- Nadi cepat dan kecil
- Pernapasan kusmaull atau hiperpne
- Sianosis
- Kulit lembab dan dingin
- Profound shock : nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur
4. Expanded dengue syndrome
Memenuhi kriteria DD atau DBD baik disertai syok maupun tidak, dengan
manifestasi klinis komplikasi infeksi virus dengue atau dengan manifestasi klinis
yang tidak biasa, seperti tanda dan gejala:
- Kelebihan cairan
- Gangguan elektrolit
- Enselopati
- Ensefalitis
- Perdarahan hebat
- Gagal ginjal akut
- Haemolytic uremic syndrome
- Gangguan jantung: gangguan konduksi, miokarditis, perikarditis
- Infeksi ganda 2,3,7

H. Pemeriksaan Penunjang
Uji torniket bertujuan untuk menilai fragilitas kapiler dan tidak patognomonik untuk
diagnosis dengue.11 Di sisi lain, pemeriksaan darah lengkap harus selalu dilakukan pada pasien
dengue. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hampir 70% pasien dengue mengalami
leukopenia(<5000 ul), yang akan kembali normal sewaktu memasuki fase penyembuhan pada
hari sakit ke-6 atau ke-7.
Jumlah trombosit mulai menurun pada hari ke-3 dan mencapai titik terendah pada hari
sakit ke-5. Trombosit akan mulai meningkat pada fase penyembuhan serta mencapai nilai
normal pada hari ke-7(Tabel 2). Meski jarang, ada pasien yang jumlah trombositnya mencapai
normal pada hari ke-10 sampai ke-14.
Pemeriksaan serial darah tepi yang menunjukkan perubahan hemostatik dan kebocoran
plasma merupakan petanda penting dini diagnosis DBD. Peningkatan nilai hematokrit 20%
atau lebih disertai turunnya hitung trombosit yang tampak sewaktu demam mulai turun atau
mulainya pasien masuk ke dalam fase kritis/syok mencerminkan kebocoran plasma yang
bermakna dan mengindikasikan perlunya penggantian volume cairan tubuh.
Saat ini uji serologi Dengue IgM dan IgG seringkali dilakukan. Pada infeksi primer, IgM
akan muncul dalam darah pada hari ke-3, mencapai puncaknya pada hari ke-5 dan kemudian
menurun serta menghilang setelah 60-90 hari. IgG baru muncul kemudian dan terus ada di
dalam darah. Pada infeksi sekunder, IgM pada masa akut terdeteksi pada 70% kasus, sedangkan
IgG dapat terdeteksi lebih dini pada sebagian besar (90%) pasien, yaitu pada hari ke-2. Apabila
ditemukan hasil IgM dan IgG negatif tetapi gejala tetap menunjukkan kecurigaan DBD,
dianjurkan untuk mengambil sampel kedua dengan jarak 3-5 hari bagi infeksi primer dan 2-3
hari bagi infeksi sekunder.14 IgM pada sesorang yang terkena infeksi primer akan bertahan
dalam darah beberapa bulan dan menghilang setelah 3 bulan. Dengan demikian, setelah fase
penyembuhan, baik IgM maupun IgG dengue akan tetap terdeteksi meskipun anak tidak
menderita infeksi dengue. Setelah 3 bulan, hanya IgG yang bertahan di dalam darah.
Imunoglobulin G dapat terdeteksi pada pemeriksaan darah seseorang yang telah terinfeksi oleh
salah satu serotipe virus dengue,. Hal itu disebabkan oleh IgG dalam darah bertahan dalam
jangka waktu yang lama bahkan dapat seumur hidup. Untuk itu, interpretasi serologi tidak
dapat berdiri sendiri, tetapi harus dilengkapi dengan anmanesis, pemeriksaan fisis, serta
pemeriksaan penunjang lainnya untuk menegakkan diagnosis dengue. Pemeriksaan serologis
terutama berguna untuk membedakan antara infeksi primer dan sekunder.
Saat ini uji serologi Dengue IgM dan IgG seringkali dilakukan. Pada infeksi primer, IgM
akan muncul dalam darah pada hari ke-3, mencapai puncaknya pada hari ke-5 dan kemudian
menurun serta menghilang setelah 60-90 hari. IgG baru muncul kemudian dan terus ada di
dalam darah. Pada infeksi sekunder, IgM pada masa akut terdeteksi pada 70% kasus, sedangkan
IgG dapat terdeteksi lebih dini pada sebagian besar (90%) pasien, yaitu pada hari ke-2. Apabila
ditemukan hasil IgM dan IgG negatif tetapi gejala tetap menunjukkan kecurigaan DBD,
dianjurkan untuk mengambil sampel kedua dengan jarak 3-5 hari bagi infeksi primer dan 2-3
hari bagi infeksi sekunder.14 IgM pada sesorang yang terkena infeksi primer akan bertahan
dalam darah beberapa bulan dan menghilang setelah 3 bulan. Dengan demikian, setelah fase
penyembuhan, baik IgM maupun IgG dengue akan tetap terdeteksi meskipun anak tidak
menderita infeksi dengue. Setelah 3 bulan, hanya IgG yang bertahan di dalam darah.
Imunoglobulin G dapat terdeteksi pada pemeriksaan darah seseorang yang telah terinfeksi oleh
salah satu serotipe virus dengue,. Hal itu disebabkan oleh IgG dalam darah bertahan dalam
jangka waktu yang lama bahkan dapat seumur hidup. Untuk itu, interpretasi serologi tidak
dapat berdiri sendiri, tetapi harus dilengkapi dengan anmanesis, pemeriksaan fisis, serta
pemeriksaan penunjang lainnya untuk menegakkan diagnosis dengue. Pemeriksaan serologis
terutama berguna untuk membedakan antara infeksi primer dan sekunder.2,3,7
Gambar 3. Metode diagnostik deteksi antigen dengue dan pemeriksaan serologi anti dengue

I. Diagnosis Banding
Perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan demam tipoid,
influenza, idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), chikungunya dan leptospirosis. 1
1. Belum / tanpa renjatan :
a. Campak
b. Infeksi bakteri / virus lain (tonsilo faringitis, demam dari kelompok pnyakit
exanthem, hepatitis, chikungunya)
2. Dengan renjatan
a. Demam tipoid
b. Renjatan septik oleh kuman gram negatif lain
3. Dengan perdarahan
a. Leukemia
b. ITP
c. Anemia Aplastik
4. Dengan kejang
a. Ensefalitis
b. Meningitis1,2,3,7

J. Penatalaksanaan
Tatalaksana DBD bersifat simtomatis dan suportif. Pemberian tatalaksana yang tepat dapat
mengurangi morbiditas dan mortilitas DBD. Pemberian terapi yang berlebihan seperti
kelebihan cairan (fluid overload) akan memperberat keadaan sakit.
Pada DBD terjadi kebocoran plasma yang apabila cukup banyak akan menimbulkan syok
hipovolemi (demam berdarah dengue/sindrom syok dengue) dengan mortilitas yang tinggi.
Dengan demikian penggantian cairan ditujukan untuk mencegah timbulnya syok. Perembesan
plasma terutama terjadi saat suhu tubuh turun (time of fever defervescene). Pemeriksaan nilai
hematocrit merupakan indicator yang sensitive untuk mendeteksi derajat perembesan plasma,
sehingga jumlah cairan yang diberikan harus disesuaikan dengan hasil pemeriksaan hematocrit.
Kebocoran plasma pada demam berdarah dengue hanya bersifat sementara, sehingga
pemberian cairan dalam jumlah banyak dan jangka waktu lama dapat menyebaban kelebihan
cairan dengan segala akibatnya.

Penggantian cairan
 Jenis cairan : cairan kristaloid isotonic merupakan cairan pilihan untuk pasien DBD.
Tidak dianjurkan cairan hopotonik seperti NaCl 0,45 , kecuali bagi pasien usia <6
bulan. Dalam keadaan normal setelah satu jam pemberian cairan hipotonis, hanya 1/12
volume yang bertahan dalam ruang intravaskular sedangkan cairanisotonis ¼ volume
yang bertahan, sisanya terdistribusi ke ruang intraseluler dan eksraseluler. Pada
keadaan permeabilitias yang meningkat volume cairan yang bertahan akan semakin
berkurang sehingga lebih mudah terjadi kelebihan cairan pada pemberian cairan
hipotonis. Cairan koloid hiperonkonik seperti dextran 40 atau HES walaupun lebih
lama bertahan dalam ruang intravaskular namum memiliki efek samping seperti alergi,
mengganggu fungsi koagulasi, dan berpotensi menganggu fungsi ginjal. Jenis cairan ini
hanya diberikan pada 1) perembesan plasma massif yang ditujukkan dengan nilai
hematokrit yang makin meningkat atau tetap tinggi sekalipun telah diberi cairan
kristaloid yang adekuat atau 2) pada keadaan syokyang tidak berhasil dengan
pemberian bolus cairan krostaloid yang kedua.
 Jumlah cairan : volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan, kondisi
klinis dan temuan laboraturium. Pada DBD terjadi hemokonsentrasi akibat kebocoran
plasma >20% oleh karena itu jumlah cairan yang diberikan diperkiran sesuai kebutuhan
rumatan (maintenance) ditambah dengan deficit cairan 5 %..

Tabel 1: Kebutuhan Cairan Berdasarkan Berat Badan Ideal

Tabel 2: Kecepatan Pemberian Cairan


 Antipiretik : parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu >38 derajat
celcius dengan interval 4-6jam, hindari pemberian aspirin/NSAID/ibuprofen. Berikan
kompres hangat.
 Nutrisi : apabila pasien masih bias minum, dianjurkan minum yang cukup, terutama
minuman cairan yang mengandung elektrolit.
Pengobatan kasus dengue menurut klasifikasi diagnosis WHO 2011 tidak jauh berbeda
dengan klasifikasi WHO 1997 yang selama ini dipergunakan di Indonesia. Dalam tata
laksana kasus dengue terdapat dua keadaan klinis yang perlu diperhatikan yaitu :
Sistem triase yang harus disosialisasikan kepada dokter yang bertugas di unit gawat
darurat atau puskesmas. Dalam sistem triase tersebut, dapat dipilah pasien dengue dengan
warning signs dan pasien yang dapat berobat jalan namun memerlukan observasi lebih
lanjut (Gambar 4).
Tata laksana kasus sindrom syok dengue (DSS) dengan dasar pemberian cairan yang
adekuat dan monitor kadar hematokrit. Apabila syok belum teratasi selama 2 x 30 menit,
pastikan apakah telah terjadi perdarahan dan transfusi PRC merupakan pilihan (Gambar
5).2,3,4,7

Gambar 4. Alur triage yang dianjurkan Dikutip dengan modifikasi dari World Health
Organization. Comprehensive guideline for prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. Regional office for South-East Asia, New
Delhi, India 2011

Gambar 5. Flow chart penggantian volume cairan pada sindrom syok dengue Dikutip dengan
modifikasi dari World Health Organization. Comprehensive guideline for prevention and
control of dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. Regional
office for South-East Asia, New Delhi, India 2011.

K. Komplikasi
1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DHF dengan maupun tanpa syok
2. Kelainan ginjal berupa gagal ginjal akut akibat syok berkepanjangan
3. Edema paru, akibat over loading cairan
BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas

- Identitas Pasien
Nama Lengkap : A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 31 Desember 2003
Berat Badan : 38 kg
Tinggi Badan : 140 cm
Alamat : Sai Soro Mandi, Bima
Tanggal Pemeriksaan : 11 Juli 2018
No. RM : 60-63-37

Anamnesis:
- Keluhan Utama: Hidung berdarah
- Riwayat penyakit sekarang: Pasien datang ke IGD RSUP NTB dengan keluhan keluar
darah dari hidung yang terus menerus. Perdarahan pada hidungnya pertama kali terjadi
pada pukul 05.00 pagi tanggal 11-07-2018, dan perkiraan darah yang sudah keluar
sekitar setengah gelas. Sebelumnya pasien mengeluhkan demam sejak 6 hari yang lalu
demam yang dirasakan bersifat naik turun, pasien merasakan demam pada pagi dan
siang hari tetapi akan terasa tidak demam ketika malam hari. Selain itu pasien juga
mengeluhkan mual dan muntah dihari ke 3 demam, residu muntahan yang keluar adalah
cairan berwarna putih tanpa disertai darah dan lendir, pasien mengeluhkan nyeri pada
seluruh badan, nyeri pada seluruh badan timbul bersamaan dengan keluarnya darah dari
hidung pasien. Pasien sempat dirawat 4 hari dirumah sakit Harapan Keluarga, Pada
saat datang pertama kali ke rumah sakit Harapan Keluarga pasien berencana
memeriksakan diri karena keluhan demam dan keadaan rambut kepala, alis dan bulu
matanya yang rontok kepada dokter spesialis kulit. Sehingga pasien direncanakan
untuk dilakukan pemeriksaan darah lengkap. Hasil pemeriksaan darah lengkap pasien
terdapat trombositopenia sehingga pasien diharuskan untuk di rawat di rumah sakit
untuk mendapatkan pengobatan. Setelah 4 hari perawatan pasien meminta pulang paksa
dengan kondisi yang belum stabil.
- Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat keluhan serupa disangkal. Riwayat penyakit kulit
scabies pernah dialami pasien ketika pasien berada di pondok pesantren saat pasien usia
14 tahun
- Riwayat Penyakit Keluarga: Pada keluarga terdapat anggota keluarga yang
mempunyai keluhan serupa yaitu adik pasien, adik pasien berusia 6 tahun di rawat di
RSUD Bima dengan diagnosis DHF. Adik pasien keluar dari RS 6 hari sebelum pasien
mengeluhkan kondisi pasien saat ini, riwayat penyakit ginjal, hipertensi dan penyakit
jantung disangkal.
- Riwayat kehamilan dan persalinan: Ibu pasien melakukan ANC hanya 2-3 kali
selama hamil dan tidak pernah melakukan usg selama hamil.
- Pasien lahir dirumah secara spontan pervaginam ditolong oleh seorang dukun beranak.
Berat badan lahir dan panjang badan lahir tidak diketahui,
- Riwayat Perkembangan: Tidak dapat digali
- Riwayat sosial ekonomi: Ayah dan ibu pasien bekerja sebagai petani dengan
penghasilan <1.000.000/ bulan (tergantung musim dan kondisi cuaca) keluarga tinggal
bersama ibu ayah dan anak-anak dirumah panggung.
- Kondisi lingkungan : Di halaman rumah jarak 3-4 meter terdapat sapi yang di ternak
dan tidak memiliki kandang. Peternakan sapi yang di ternak kurang baik, didepan
rumah terdapat got yang kurang bersih, disamping rumah terdapat sungai yang
terhambat alirannya karena warga membuang sampah di sungai.
- Ikhtisar keluarga :

35 th 32 th 30 th

14 th 10 hari 6 th 2 th

Keterangan :

: Laki-laki

: Perempuan

: Meninggal

: Pasien

Pemeriksaan fisik (13 Juli 2018)


Status Generalis
Keadaan umum: Sedang
Kesadaran: Kompos mentis
Tanda Vital
HR: 88 x/menit, teratur, kuat Suhu: 37,0oC
angkat
RR: 18 x/menit TD: 110/70 mmHg

Pemeriksaan Fisik Umum


Kepala
Inspeksi: Normocephali, massa (-), rambut rontok (+)
Palpasi: Massa (-), nyeri tekan (-)

Wajah dan Leher


Wajah: edema (-)
Mata: Inspeksi: Konjungtiva anemis (-/-),sklera ikterus (-/-), edema palpebra (-/-) refleks
pupil (+/+), isokor. Bulu alis dan bulu mata rontok (+)
Palpasi: Nyeri tekan (-/-), edema palpebra (-/-).
Telinga Inspeksi: Bentuk normal, deformitas (-), serumen (-/-).
Palpasi: Nyeri tekan (-/-), pembesaran kelenjar (-/-).
Hidung Inspeksi: Bentuk normal, rhinorrhea (-), perdarahan (-) mukosa normal, hiperemis
Palpasi : Tidak ada darah yang keluar dari hidung (-)
Mulut Inspeksi: Sianosis sentral (-), mukosa kering (+).
Leher Inspeksi: Massa (-)
Palpasi: Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks
Inspeksi: Pergerakan dinding dada simetris (+/+)
Retraksi (-/-)
Palpasi: Pengembangan dinding dada simetris (+/+)
Perkusi: Cor  redup
Pulmo  sonor
Auskultasi: Cor: S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), stridor (-/-)
Abdomen
Inspeksi: Ascites (-), massa (-)
Palpasi: Nyeri tekan (-), turgor kulit normal, organomegali (-), ascites (-)
Perkusi: Timpani (+)
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Ekstremitas
Atas: Akral hangat (+/+), pucat (-/-), flushing (+/+)

Bawah: Akral hangat (+/+), pucat (-/-) , flushing (+/+)

Pemeriksaan penunjang :
Tanggal 06/07/18 07-07- 08-07- 09-07- 10-07- 11-07- 12-07-18 13-07-18
18 18 18 18 18
Febris I II III IV V VI VII VIII
hari
Lab
Hb 13 13,4 13,3 14,9 15,5 10,9 12,2 11
Ht 42 40,3 39,8 43,6 44,9 33 36 33
WBC 7.310 3.820 2.320 2.060 3.310 4.710 2.390 9.340
PLT 117.000 64.000 31.000 15.000 11.000 21.000 48.000 156.000
SGOT 85 386
SGPT 64 285
IgG Non
reaktif
IgM Non
reaktif

Resume
Pasien mengeluhkan keluar darah dari hidung yang terus mnerus. Perdarahan pada
hidungnya pertama kali terjadi pada pukul 05.00 pagi tanggal 11-07-2018, dan perkiraan
darah yang sudah keluar sekitar setengah gelas. Sebelumnya pasien mengeluhkan demam
sejak 6 hari yang lalu dan sempat dirawat 4 hari dirumah sakit Harapan Keluarga dengan
diagnosis Demam Berdarah Dengue.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada daerah rambut kepala dan alis mengalami
kerontokan dan didaerah ekstremitas didapatkan flushing, pada pemeriksaan laboraturium
ditemukan trombositopenia.
Diagnosis kerja
Demam Berdarah Dengue grade II
Diagnosis banding
Alopesia
Planning
Planning Diagnostik:
 Pemeriksaan laboratorium darah lengkap setiap hari (untuk menilai trombosit,leukosit
dan hematokrit)
Planning terapi:
Non medikamentosa
 Monitor tanda vital
 Tranfusi TC apabila trombosit tetap rendah
Medikamentosa
 Metilprednisolon 2x ½ ampul
 Ranitidin 2x ½ ampul
 Estazor 3x 250
 IVFD D5 ½ NS 10 tpm

Follow Up
Tanggal S O P
11 Juli Nyeri perut (+), KU: sedang Planning Terapi:
2018 demam (-), TD: 110/70 mmHg - Metilprednisolon 2x ½
perdarahan gusi HR: 96 x/menit ampul
dan hidung (-) RR: 20 x/ menit - Ranitidine 2x ½ ampul
T: 36,6 0C - Estazor 3x 250 mg
Hasil Laboraturium : - TC 5 unit
Hb: 10,9 Non medikamentosa
Ht : 33
- Cek HDT sebelum tranfusi
Leu: 4.710
PLT : 21.000 TC
- Cek DL post transfuse
12 Juli Perdarahan aktif KU: sedang Planning Terapi:
2018 (-), demam (-), TD: 100/70 mmHg Cek DL CITO
nyeri perut (+), HR: 84 x/menit Cancel tranfusi TC
mual (-), BAK RR: 20x/ menit
(+), BAB(+) T: 36,4 0C
terakhir tanggal Hasil Laboraturium :
10-08-2018 Hb: 12,2
PLT: 48.000
Leu: 2390
HCT: 36

13 Juli Nyeri perut (-), KU: sedang BPL


2018 demam (-), TD: 90/60 mmHg
perdarahan gusi HR: 90 x/menit
dan hidung (-) RR: 20x/ menit
T: 36,50C
Flushing (+)
Hasil Laboraturium :
Hb: 11
Ht : 33
Leu : 9. 340
PLT : 156.000

Foto
13 Juli 2018
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada keluhan utama pasien ditemukan hidung berdarah, hidung berdarah disebabkan
karena beberapa hal salah satunya bersifat fisiologis, pada usia anak dibawah 5 tahun pembuluh
darah masih sangat rapuh lapisan tunika intima dan tunika media masih sangat tipis sehingga
sangat rentan untuk terjadinya pecahnya pembuluh darah, bisa juga disebabkan oleh trauma,
keganasan ataupun infeksi virus yang dapat menyebabkan epistaksis sebagai tanda adanya
kebocoran plasma. Pada kasus ini pasien berusia 14 tahun sehingga pembuluh darahnya sudah
memiliki lapisan yang kuat, pasien juga menyangkal adanya trauma selama perjalanan penyakit
dan tidak ada tanda tanda keganasan, tetapi pada pasien sebelumnya dikeluhkan demam selama
6 hari dengan fase naik turun atau bifasik sehingga pada pasien dicurigai terjadinya epistaksis
karena adanya infeksi virus yang menyebabkan terjadinya kebocoran plasma.
Demam pada pasien dirasakan naik turun dan pada hari ke 5 pasien merasa pasien
sudah tidak mengeluhkan apapun sehingga meminta untuk pulang dari rumah sakit harapan
keluarga, dan pada hari ke 6 pasien merasakan perdarahan pada hidungnya. Dilihat dari pola
demamnya pola demam seperti itu dikatakan pola demam bifasik dan sangat khas dengan pola
demam yang berada pada penyakit demam berdarah, pada hari 1 sampai hari ke 4 merupakan
fase demam pada hari ke 5 dan ke 6 pada pasien dapat dikatakan masuk dalam fase kritis,
karena sudah ditemukan adanya tanda kebocoran plasma. Keluhan mual dan muntah, dan
myalgia, yang dirasakan pasien akibat dari infeksi virus yang sudah menyerang secara sistemik
sehingga beberapa organ memberikan reaksi terhadap penyakit.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan nilai terendah trombosit pasien sekitar
11.000/uL, menurut teori pada awal fase demam jumlah trombosit normal, kemudian diikuti
oleh penurunan. Trombositopenia di bawah 100.000/uL dapat ditemukan pada DD, namun
selalu ditemukan pada DBD. Penurunan trombosit yang mendadak di bawah 100.000/uL
terjadi pada akhir fase demam memasuki fase kritis atau saat penurunan suhu. Trombositopenia
pada umumnya ditemukan antara hari sakit ketiga sampai delapan, dan sering mendahului
peningkatan hematokrit. Jumlah trombosit berhubungan dengan derajat penyakit DBD.
Perubahan ini berlangsung singkat dan kembali normal selama fase penyembuhan.
Pada awal demam nilai hematokrit masih normal. Peningkatan ringan pada umumnya
disebabkan oleh demam tinggi anoreksi dan muntah. Peningkatan hematokrit lebih dari 20 %
merupakan tanda dari adanya kebocoran plasma. Trombositopenia di bawah 100.000/uL dan
peningkatan hematokrit lebih dari 20 % merupakan bagian dari diagnosis klinis DBD.
Pada kasus ini didapatkan hasil serologi IgG dan IgM negatif. Uji serologi Dengue
IgM dan IgG seringkali dilakukan. Pada infeksi primer, IgM akan muncul dalam darah pada
hari ke-3, mencapai puncaknya pada hari ke-5 dan kemudian menurun serta menghilang setelah
60-90 hari. IgG baru muncul kemudian dan terus ada di dalam darah. Pada infeksi sekunder,
IgM pada masa akut terdeteksi pada 70% kasus, sedangkan IgG dapat terdeteksi lebih dini pada
sebagian besar (90%) pasien, yaitu pada hari ke-2. Apabila ditemukan hasil IgM dan IgG
negatif tetapi gejala tetap menunjukkan kecurigaan DBD, dianjurkan untuk mengambil sampel
kedua dengan jarak 3-5 hari bagi infeksi primer dan 2-3 hari bagi infeksi sekunder. IgM pada
sesorang yang terkena infeksi primer akan bertahan dalam darah beberapa bulan dan
menghilang setelah 3 bulan. Dengan demikian, setelah fase penyembuhan, baik IgM maupun
IgG dengue akan tetap terdeteksi meskipun anak tidak menderita infeksi dengue. Setelah 3
bulan, hanya IgG yang bertahan di dalam darah. Imunoglobulin G dapat terdeteksi pada
pemeriksaan darah seseorang yang telah terinfeksi oleh salah satu serotipe virus dengue,. Hal
itu disebabkan oleh IgG dalam darah bertahan dalam jangka waktu yang lama bahkan dapat
seumur hidup. Untuk itu, interpretasi serologi tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus
dilengkapi dengan anmanesis, pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang lainnya untuk
menegakkan diagnosis dengue. Pemeriksaan serologis terutama berguna untuk membedakan
antara infeksi primer dan sekunder.
Pada pasien didapatkan nilai SGOT dan SGPT meningkat yaitu dengan nilai 386 dan
285. Peningkatan enzim hati yaitu Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT), dan
Serum Glutamic Pyruvate transaminase (SGPT), disebabkan adanya kebocoran enzim yang
merupakan salah satu manifestasi sel-sel yang meningkatkan SGPT oleh infeksi virus Dengue.
Virus dengue mampu berkembang biak dalam sel hati meninggalkan hepatoselular. Dampak
virus dengue tarhadap hepatosit dan sel kupffer melalui beberapa mekanisme yaitu efek
langsung, efek sitokin proinflamasi, dan efek radikal bebas terhadap hepatosit dan sel kupler.
Virus dengue menginduksi mitokondria dan kematian sel. Hal ini mungkin disebabkan oleh
protein virus atau produknya berinteraksi dengan membran mitokondria, mengakibatkan
peningkatan permeabilitas membran mitokondria, perubahan fisiologi mitokondria, yang
berlebihan. Terjadi nekrosis hepatoselular yaitu terjadi kematian sel pada zona tengah dan
perifer hati. Nekrosis tersebut terjadi akibat sirkulasi mikro yang menyebabkan hepatoselular
yang mengalami ketidakmampuan menjalankan fungsinya, inflamasi akut akibat pengaruh
sitokin dan proinflamasi berbagai mediator, serta dampak negatif oksidan dan kolektasis.
Kelainan tersebut tidak terlepas dari keterlibatan sistem retikuloendotelial, kompleks imun,
aktifitas komplemen, kompleks antigen antibodi, agregasi trombosit, perubahan endotel, dan
berbagai komponen lain selama berlangsungnya infeksi.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini yang paling utama adalah terapi suportif.
Pemberian saat datang ke igd pasien diberikan RL 500 cc dengan 28 tetes per menit untuk
pengobatan dan pencegahan hipovolemia. Pemberian metilprednisolon 2x ½ ampul diberikan
sebagai imunosupresan akibat kecurigaan terdapat penyakit autoimun pada pasien. Estazor
diberikan 3x 250 mg obat ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan hati yang dimana
dalam pemeriksaan fungsi hati didapatkan nilai kadar SGOT dan SGPT yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Nasruddin. 2012. Penyakit Infeksi di Indonesia. Airlangga University Press. Surabaya.


2. World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and control of
dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. New Delhi:
Regional office for South-East Asia; 2011.
3. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Diagnosis
dan Tata Laksana Infeksi Virus Dengue pada Anak. Dalam: Hadinegoro SR, Moedjito I,
Chairulfatah A, penyunting. Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed ke-1. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2014. h. 155-81
4. World Health Organization. Severe dengue [diakses tanggal 03 September 2018].
Diunduh dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/ .
5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2017. Data dan Informasi Profil Kesehatan
Indonesia 2016. [diakses tanggal 05 September 2018]. Diunduh dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/lain-
lain/Data%20dan%20Informasi%20Kesehatan%20Profil%20Kesehatan%20Indonesia%
202016%20-%20%20smaller%20size%20-%20web.pdf
6. Chadra A. 2010. Demam Berdarah Dengue : Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor
Risiko Penularan. Aspirator Vol 2 No 2 110-119. [diakses tanggal 03 September 2018].
Diunduh dari https://media.neliti.com/media/publications/53636-ID-demam-berdarah-
dengue-epidemiologi-patog.pdf
7. Update Management of Infectious Disease and Gastrointestinal Disorder. Dalam
Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG, penyunting. Buku
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM; 2012

Anda mungkin juga menyukai