Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

“CVA”
Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Emergency

Pembimbing Akademik : Ns. Bintari Ratih Kusumaningrum S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh:

Fabi Solichah Hariadi

Kelompok 3A

PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2020
LAPORAN PENDAHULUAN CVA

1. Definisi
Cerebro Vascular Accident (CVA) atau lebih dikenal dengan sebutan
Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak akut fokal maupun
global akibat terhambatnya peredaran darah ke otak. Gangguan peredaran
darah otak berupa tersumbatnya pembuluh darah otak atau pecahnya
pembuluh darah di otak. Otak yang seharusnya mendapat pasokan oksigen
dan zat makanan menjadi terganggu. Kekurangan pasokan oksigen ke otak
akan memunculkan kematian sel saraf (neuron). Gangguan fungsi otak ini
akan memunculkan gejala stroke (Junaidi, 2011).
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya
suplai darah kebagian otak (Smeltzer & Bare, 2013). Stroke adalah cedera
otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak. Stroke dapat terjadi
karena pembentukan trombus disuatu arteri serebrum, akibat emboli yang
mengalir ke otak dari tempat lain di tubuh, atau akibat perdarahan otak
(Corwin, 2009).
Stroke terbagi menjadi dua, yaitu Stroke Hemoragik dan Stroke Non-
Hemoragik. Stroke hemoragik adalah perdarahan di otak dan kemungkinan
perdarahan di subaraknoid yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah
otak pada daerah tertentu (Wijaya dan Putri, 2013). Sedangkan stroke non-
hemoragik adalah keadaan tersumbatnya pembuluh darah yang
menyebabkan alilran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhentu
dimana dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebral biasanya
terjadi saat istirahat (Nurafif dan Kusuma, 2015).
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Stroke (CVA)
adalah penyakit atau gangguan fungsional pada otak secara akut fokal
maupun global akibat terhambatnya perdarahan ke otak. Storke dapat terjadi
karena perdarahan di otak (Stroke Hemoragik) atau dapat terjadi karena
terdapat iskemia atau emboli dan trombosis serebral (Stroke Non-Hemoragik).

2. Epidemiologi
Menurut WHO, 15 juta orang menderita stroke diseluruh dunia setiap
tahun. Dari jumlah 15 juta tersebut, 5 juta penderita stroke dinyatakan
meninggal. Tekanan darah tinggi (hipertensi) menyumbang lebih dari 12,7 juta
stroke di seluruh dunia. Di Eropa, rata-rata sekitar 650.000 kematian
disebabkan oleh stroke setiap tahunnya. Prevalensi estimasi stroke
menunjukkan sedikit variasi di negara-negara Asia Selatan. Sri Lanka, dengan
populasi sekitar 20 juta jiwa, diperkirakan memiliki prevalensi stroke 9 per
1.000 penduduk. Data yang terbatas yang tersedia dalam kaitannya dengan
prevalensi stroke pada Bangladesh: satu studi melaporkan prevalensi
keseluruhan 3 per 1.000 penduduk, naik setinggi 10 per 1.000 pada orang di
atas usia 70 tahun (Wasay et. al., 2014).
Menurut Kemenkes (2018), prevalensi stroke di Indonesia pada tahun
2013 sebanyak 7% meningkat menjadi 10,9% pada tahun 2018. Secara
nasional, prevalensi stroke di Indonesia pada tahun 2018 berdasarkan
diagnosis dokter pada penduduk umur >14 tahun sebesar 10,9% atau
diperkirakan sebanyak 2.120.362 orang. Provinsi Kalimantan Timur memiliki
prevalensi 14,7% dan DI Yogyakarta memiliki prevalensi 14,6% merupakan
provinsi yang memiliki prevalensi stroke tertinggi di Indonesia. Sementara itu,
Papua dan Maluku Utara memiliki prevalensi stroke terendah yaitu 4,1% dan
4,6%.
3. Etiologi
3.1. Etiologi Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik merupakan stroke yang memiliki tingkat kejadian
yang jarang terjadi. Faktanya stroke hemoragik hanya memiliki
persentase kejadian sebesar 15%, tetapi stroke hemoragik bertanggung
jawab atas 40% kematian karena stroke. Stroke hemoragik dapat terjadi
karena pecahnya aneurisma pada otak atau disebabkan oleh pembuluh
darah yang bocor. Darah tumpahan masuk ke dalam atau masuk ke
sekitar otak sehingga terbentuk pembengkakan dan tekanan, merusak
sel dan jaringan otak. Ada dua jenis stroke hemoragik yaitu intracerebral
hemorrhage (ICH) dan subarachnoid hemorrhage (SAH).
Intracerebral hemorrhage (ICH) didefinisikan sebagai perdarahan
nontraumatik ke dalam jaringan otak. Intracerebral hemorrhage (ICH)
adalah bentuk paling mematikan dari stroke dan mempengaruhi sekitar
satu juta orang di seluruh dunia setiap tahun. Cedera otak sekunder dan
pembentukan edema dengan menghasilkan efek massa dianggap
berkontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas terkait intracerebral
hemorrhage (ICH) (Aksoy, 2013). Hipertensi adalah faktor resiko yang
paling umum atau utama. Angiopati amiloid serebral (CAA), kondisi yang
meningkat dengan usia, adalah faktor resiko yang paling umum kedua.
Angiopati amiloid serebral merupakan penyebab penting dari lobar
intracerebral hemorrhage (ICH), terutama padaorang lanjut usia. Kondisi
ini hasil dari deposisi protein amyloid di arteriol kortikal; deposisi seperti
ini sangat jarang terjadi di basal ganglia dan batang otak (lokasi lazim
terjadi intracerebral hemorrhage (ICH) terkait HTN dan lokasi yang tidak
lazim dari intracerebral hemorrhage (ICH) terkait CAA. Apolipoprotein E
(ApoE) genotipe memainkan peran penting dalam patogenesis CAA,
tetapi tidak sensitif maupun spesifik untuk diagnosis utama dari kondisi
ini. Usia juga merupakan faktor resiko penting untuk intracerebral
hemorrhage (ICH); kemungkinan keseluruhan penderita intracerebral
hemorrhage (ICH) tertinggi pada usia ≥ 85 (Aguilar dan Brott, 2011).
Subarachnoid hemorrhage (SAH) merupakan masalah kesehatan di
seluruh dunia dengan tingkat kematian yang tinggi dan tingkat kecacatan
tetap. Insiden subarachnoid hemorrhage (SAH) termasuk stabil, sekitar
600 per 100.000 pasien dalam satu tahun. Kebanyakan pasien <60
tahun. Faktor resiko dari subarachnoid hemorrhage (SAH) sama seperti
stroke pada umumnya. Penyebab subarachnoid hemorrhage (SAH)
adalah pecahnya aneurisma pada 85% kasus, perdarahan non-
aneurisma perimesencephalic (dengan prognosis sangat baik) di 10%,
dan berbagai kondisi langka di 5%. Pecahnya aneurisma memiliki tingkat
kematian yang tinggi dan komplikasi. Pada bagian pertama,
subarachnoid hemorrhage (SAH) berpusat suprasellar atau pusat basal
dan meluas ke perifer secara difusi. Hal ini terjadi karena pecahnya
aneurisma sakular yang dapat terjadi dengan bagian lain, seperti
pecahnya aneurisma nonsaccular atau malformasi vaskuler. Bagian
kedua, subarachnoid hemorrhage (SAH) berpusat di perimesencephalic
atau bagian basal rendah yang tidak meluas ke perifer. Hal ini terjadi
akibat perdarahan perimesencephalic idiopatik, namun pecahnya
aneurisma vertebrobasilar sekitar 5% dari kasus stroke. Penyebab
lainnya yang jarang dari pola perimesencephalic termasuk tumor
cervicomedullary persimpangan, malformasi vaskular, atau diseksi arteri
akut (Marder C.P. et al., 2014).
3.2. Etiologi Stroke Non-Hemoragik
Stroke Non-Hemoragik (Stroke Iskemik) memiliki presentasi 80%-
85% dari semua kasus stroke. Stroke iskemik terjadi karena adanya
pengurangan atau penyumbatan suplai darah ke otak, terutama karena
penyakit komprehensif oklusal dari pembuluh darah yang memasok
wilayah tersebut (Pugh et al, 2004). Stroke iskemik terjadi bila pembuluh
darah yang membawa darah ke otak tersumbat oleh gumpalan darah.
Hal ini menyebabkan darah tidak mencapai otak. Hipertensi merupakan
faktor resiko yang paling utama untuk stroke jenis ini (NSA, 2016). Stroke
iskemik disebabkan oleh trombus lokal atau emboli, sehingga
menyebabkan penyumbatan arteri serebral.Emboli bisa terjadi baik dari
arteri intra atau ekstrakranial (termasuk arkus aorta) atau seperti pada
20% kasus stroke iskemik berasal dari jantung. Emboli kardiogenik
terjadi jika pasien memiliki fibrilasi atrium (denyut jantung tidak teratur),
kelainan pada katup jantung, atau kondisi lain dari jantung yang dapat

menyebabkan terbentuknya gumpalan (Hess, 2008). Gumpalan darah


dapat disebabkan oleh timbunan lemak (plak) terbentuk dalam arteri
sehingga mengurangi aliran darah (aterosklerosis) atau kondisi arteri
lainnya.
Stroke Hemoragik dan Stroke Non-Hemoragik

4. Klasifikasi
Stroke dapat dibagi menjadi 2 kategori utama yaitu, stroke hemoragik dan
stroke non-hemoragik (iskemik) .
4.1. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik disebabkan oleh perdarahan ke area otak, akibat
pecahnya pembuluh darah atau struktur pembuluh darah abnormal pada
otak. Stroke hemoragik terbagi lagi menjadi dua, yaitu intracerebral
hemorrhage (ICH) biasanya disebabkan oleh pecahnya pembuluh
menembus kecil di otak dan subarachnoid hemorrhage (SAH).
1. Intracerebral Hemorrhage (ICH)
Intracerebral Hemorrhage atau perdarahan intraserebral adalah
perdarahan yang terjadi secara langsung pada bagian atau substansi
otak (Caplan, 2009). ICH biasanya disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah karena hipertensi yang mengakibatkan darah masuk
ke dalam jaringan otak kemudian membentuk massa yang menekan
jaringan otak dan menimbulkan edema pada otak. Peningkatan
Tekanan Intra Kranial (TIK) yang terjadi sangat cepat dapat
mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak. ICH yang
disebabkan oleh hipertensi sering dijumpai di daerah putamen,
talamus, pons dan serebelum (Wijaya & Putri, 2013).
2. Subarachnoid Hemorrhage (SAH)
Perdarahan Subarachnoid Hemorrhage disebabkan oleh
pecahnya aneurisma berry (pembesaran arteri kecil seperti buah beri
yang disebabkan oleh kelemahan di dinding arteri) atau AVM.
Aneurisma yang pecah berasal dari pembuluh darah sirkulasi Willis
dan cabang-cabangnya terdapat di luar parenkim otak. Pecahnya
arteri dan keluarnya kedalam ruang subarakhnoid menyebabka TIK
meningkat secara mendadak, meregangnya struktur peka nyeri dan
vasospasme pembuluh darah serebral yang berakibat pada disfungsi
otak secara global. Keadaan tersebut menyebabkan nyeri kepala
yang hebat hingga penurunan kesadaran. Akibat dari perluasan SAH
sekitar 70% menyebabkan perdarahan intraventrikel (IVH). SAH
berhubungan erat dengan IVH (Wijaya & Putri, 2013).
4.2. Stroke Non-Hemoragik
Stroke Non-Hemoragik biasanya berupa iskemia atau emboli dan
trombosis serebral. Biasanya terjadi pada saat beristirahat, baru bangun
tidur atau saat di pagi hari. Pada stroke non-hemoragik tidak terjadi
perdarahan, tetapi terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan
mengakibatkan edema sekunder. Pada umumnya penderita stroke non-
hemoragik memiliki kesadaran yang baik ketika terjadi stroke non-
hemoragik. Menurut perjalanan penyakit (stadium), stroke non-
hemoragik terdiri dari (Wijaya & Putri, 2013):
1. Trans Ischemic Attack (TIA)
Gangguan neurologis yang terjadi selama beberapa menit sampai
beberapa jam dengan gejala yang timbul akan hilang dengan spontan
dalam waktu kurang dari 24 jam.
2. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
Gejala neurologis yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih
dari 24 jam hingga 21 hari.
3. Stroke Progresif
Gejala neurologis semakin lama semakin berat dan bertambah
buruk.
4. Stroke Komplit
Gangguan neurologis yang dapat timbul dan sudah menetap atau
permanen karena serangan TIA yang berulang-ulang.
5. Patofisiologi
Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak akut fokal
maupun global akibat terhambatnya peredaran darah ke otak. Gangguan
peredaran darah otak berupa tersumbatnya pembuluh darah otak atau
pecahnya pembuluh darah otak. Otak yang seharusnya mendapat pasokan
oksigen dan zat makanan menjadi terganggu. Stroke bukan merupakan
penyakit tunggal tetapi merupakan kumpulan dari beberapa penyakit
diantaranya hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus dan peningkatan
lemak dalam darah atau dislipidemia. Penyebab utama stroke adalah
thrombosis serebral, aterosklerosis dan perlambatan sirkulasi serebral
merupakan penyebab utama terjadinya thrombus. Stroke hemoragik dapat
terjadi di epidural, subdural dan intraserebral (Smeltzer & Bare, 2013).
Peningkatan tekanan darah yang terus menerus akan mengakibatkan
pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi perdarahan dalam parenkim
otak yang bisa mendorong struktur otak dan merembes kesekitarnya bahkan
dapat masuk kedalam ventrikel atau ke ruang intracranial. Ekstravasi darah
terjadi di daerah otak dan subaraknoid, sehingga jaringan yang ada
disekitarnya akan tergeser dan tertekan. Darah ini sangat mengiritasi jaringan
otak, sehingga dapat mengakibatkan penekanan pada arteri disekitar
perdarahan. Bekuan darah yang semula lunak akhirnya akan larut dan
mengecil karena terjadi penekanan maka daerah otak disekitar bekuan darah
dapat membengkak dan mengalami nekrosis karena kerja enzim-enzim maka
bekuan darah akan mencair, sehingga terbentuk suatu rongga (Smeltzer &
Bare, 2013).
Gangguan neurologis tergantung letak dan beratnya perdarahan.
Pembuluh darah yang mengalami gangguan biasanya arteri yang
berhubungan langsung dengan otak. Timbulnya penyakit ini mendadak dan
evolusinya dapat secara cepat dan konstan, berlangsung beberapa menit
bahkan beberapa hari. Gambaran klinis yang sering muncul antara lain:
pasien mengeluh sakit kepala berat, leher bagian belakang kaku, muntah
penurunan kesadaran dan kejang. Sembilan puluh persen menunjukan
adanya darah dalam cairan serebrospinal, dari semua pasien ini 70-75 %
akan meninggal dalam waktu 1-30 hari, biasanya diakibatkan karena
meluasnya perdarahan sampai ke sistem ventrikel, herniasi lobus temporal
dan penekanan mesensefalon atau mungkin disebabkan karena perembesan
darah ke pusat-pusat yang vital. Penimbunan darah yang cukup banyak di
bagian hemisfer serebri masih dapat ditolerir tanpa memperlihatkan gejala-
gejala klinis yang nyata sedangkan adanya bekuan darah dalam batang otak
sebanyak 5 ml saja sudah dapat mengakibatkan kematian (Smeltzer & Bare,
2013).
6. Manifestasi Klinis
Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention), tanda dan
gejala umurm stroke adalah sebagai berikut.
1. Mati rasa atau kelemahan pada wajah secara tiba-tiba.
2. Kebingungan, kesulitan berbicara dan kesulitan memahami
pembicaraan.
3. Kesulitan melihat secara tiba-tiba pada salah satu atau kedua mata.
4. Kesulitan berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan dan koordinasi.
5. Sakit kepala parah secara tiba-tiba tanpa penyebab yang jelas.
Tanda dan gejala dari stroke tergantung pada bagian mana dari otak
yang terkena dan seberapa parah itu dipengaruhi. Stroke yang sangat parah
dapat menyebabkan kematian mendadak (WHO, 2014).
Gejala lain termasuk kelemahan unilateral, ketidakmampuan untuk
berbicara, penurunan penglihatan, vertigo, atau jatuh. Stroke iskemik
biasanya tidak mendapatkan sakit kepala, tapi mungkin terjadi pada stroke
hemoragik. Defisit neurologis pada pemeriksaan fisik tergantung pada daerah
otak yang terlibat. Umumnya adalah hemi- atau monoparesis dan defisit
hemisensori. Pasien dengan keterlibatan sirkulasi posterior mungkin memiliki
vertigo dan diplopia. Stroke sirkulasi anterior umumnya mengakibatkan
aphasia. Pasien mungkin mengalami disartria, gangguan kemampuan melihat,
dan tingkat kesadaran yang berubah (Fagan and Hess, 2008).
7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Diagnostik pada CVA sebagai berikut (Wahyu dan Putri,
2013).
7.1. Pemeriksaan Penunjang
1) Agriorafi serebral
Membantu menentukan penyebab dari CVA secara spesifik seperti
CVA perdarahan arteriovena atau adanya ruptur. Biasanya pada CVA
hemoragik akan ditemukan adanya aneurisma.
2) Elektro encefapography
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan
dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik
dalam jaringan otak.
3) Sinar X tengkorak
Pemeriksaan ini bertujuan untuk memberi pengambaran perubahan
kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari massa yang
luas, klasifikasi karotis interna terdapat pada trombus serebral,
klasifikasi parsial dinding, aneurisma pada perdarahan subarakhnoid.
4) Ultrasonography Doppler
Menentukan posisi serta besar atau luas terjadinya perdarahan otak.
Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi
dan infark akibat dari perdarahan.
5) CT Scan
Memperhatikan secara spesifik letak edema, posisi hematoma,
adanya jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara
pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal,
kadang masuk ke ventrikel atau menyebar ke permukaan otak.
6) MRI
Menentukan posisi serta besar atau luas terjadinya perdarahan otak.
Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi
dan infark akibat dari hemoragik.
7) Foto Thoraks
Dengan dilakukannya foto thoraks dapat memperlihatkan keadaan
jantung, memperlihatkan keadaan ventrikel kiri (apakah ada
perbesaran yang mana merupakan salah satu tanda hipertensi kronis
pada penderita stroke).

7.2. Pemeriksaan Laboratorium


1) Pungsi Lumbal
Jika pada pemeriksaan ini didapatkan tekanan normal, biasanya ada
trombosis, emboli dan tekanan intra kranial. Sedangkan tekanan
yang meningkat dan cairan bercampur darah menunjukkan adanya
perdarahan subarakhnoid atau intrakranial. Kadar protein total
meningkat pada kasus trombosis sehubungan dengan proses
inflamasi.
2) Pemeriksaan Darah Rutin
3) Pemeriksaan Kimia Darah
Pada pasien stroke akut dapat terjadi hiperglikemia (gula darah
mencapai 250 mg/dL) dalam serum dan kemudian berangsur-angsur
turun kembali.

8. Penatalaksanaan Medis
Umumnya pemberian terapi pada stroke bertujuan untuk stabilisasi
pernapasan dan stabilisasi hemodinamik. Hal pertama yang dilakukan untuk
stabilisasi pernapasan yaitu dilakukan pemantauan secara terus menerus
terhadap status neurologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi
oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan defisit neurologis yang
nyata. Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen
< 95% dan pasien hipoksia. Untuk pasien yang tidak sadar, dilakukan
perbaikan jalan napas dengan pemasangan pipa orofaring. Bantuan ventilasi
diberikan pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi
bulbar dengan gangguan jalan napas. Untuk stabilisasi hemodinamik
diberikan cairan kristaloid atau koloid intravena tetapi hindari pemberian
pemberian cairan hipotonik seperti glukosa. Pemasangan CVC (Central
Venous Catheter) dianjurkan untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai
sarana untuk memasukkan cairan dan nutrisi. Hipotensi arterial harus
dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia harus dikoreksi dengan
pemberian larutan salin normal dan aritmia yang mengakibatkan penurunan
curah jantung sekuncup harus dikoreksi (PERDOSSI, 2011).
Manajemen pasien dengan intracerebral hemorrhage (ICH) akut
tergantung pada penyebab dan tingkat keparahan perdarahan. Bantuan hidup
dasar, seperti kontrol: perdarahan, kejang, tekanan darah (BP), dan tekanan
intrakranial adalah hal-hal yang bersifat krusial. Saat ini masih belum ada
terapi yang efektif untuk stroke hemoragik. Evakuasi hematoma, baik melalui
kraniotomi atau endoskopi terbuka, dapat menjadi pengobatan awal yang
menjanjikan untuk intracerebral hemorrhage (ICH) yang dapat meningkatkan
prognosis jangka panjang (Liebeskind, 2016). Pada stroke hemoragik,
pemeriksaan pencitraan yang cepat dengan CT atau MRI direkomendasikan
untuk membedakan stroke iskemik dengan perdarahan intrakranial. Angiografi
CT dan CT dengan kontras dapat dipertimbangkan untuk membantu
mengidentifikasi pasien dengan resiko perluasan hematoma. Bila secara klinis
atau radiologis terdapat kecurigaan yang mengarah ke lesi struktural termasuk
malformasi vaskuler dan tumor, sebaiknya dilakukan angiografi CT, venografi
CT, CT dengan kontras, MRI dengan kontras, MRA, dan venografi MR
(PERDOSSI, 2011).
Ada pula terapi khusus yang dapat diberikan pada Stroke Hemoragik
sebagai berikut (PERDOSSI, 2011).
1) Neuroprotekan
Neuroprotektan digunakan dalam upaya untuk menyelamatkan
neuron iskemik pada otak dari cedera ireversibel. Salah satu tindakan
neuroprotektan membatasi cedera akut untuk neuron di penumbra
iskemik. Neuroprotektan digunakan dalam upaya untuk
menyelamatkan neuron iskemik pada otak dari cedera ireversibel.
Salah satu tindakan neuroprotektan membatasi cedera akut untuk
neuron di penumbra iskemik.
2) Diuretik osmotik
Diuretik osmotik diberikan dalam dosis yang cukup untuk
meningkatkan secara signifikan osmolalitas plasma dan cairan
tubular. Efek dari diuretik osmotik adalah meningkatkan RBF, dan
peningkatan aliran darah di medula ginjal serta menghilangkan NaCl
dan urea dari medula ginjal sehingga mengurangi tonisitas meduler.
Pemantauan ketat terhadap penderita dengan resiko edema serebral
harus dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda
neurologis pada hari-hari pertama setelah serangan stroke.
3) Antikoagulan
Antikoagulan (Warfarin dan Heparin) digunakan untuk mengobati
dan mencegah trombosis vena. Pada pasien yang mengalami
intracerebral hemorrhage (ICH) atau subarachnoid hemorrhage
(SAH), semua jenis koagulan dan antiplatelet harus dihentikan
selama periode akut sekurang-kurangnya 1 sampai 2 minggu dan
segera mengatasi efek dari warfarin dengan fresh frozen plasma atau
dengan konsentrat protombin kompleks dan vitamin K.
4) Antifibrinotik
Antifibrinolitik adalah golongan obat yang digunakan untuk
meningkatkan hemostasis, terutama ketika fibrinolisis berkontribusi
terhadap perdarahan. Perdarahan fibrinolitik dapat berhubungan
dengan komplikasi bedah dan gangguan hematologi seperti
trombositopenia, hemofilia, sirosis hati, dan penyakit neoplastik.
Terapi antifibrinolitik telah terbukti mengurangi resiko perdarahan
ulang. Namun, penggunaan berkepanjangan (> 7 hari) dari
antifibrinolitik dikaitkan dengan tingkat peningkatan cedera iskemik
serebral.
5) Antihipertensi
Sebagian besar (70-94%) pasien stroke akut mengalami
peningkatan tekanan darah sistolik >140 mmHg. Penurunan tekanan
darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak
dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk neurologis.
Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan
sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke.
Pada pasien stroke intracerebral hemorrhage (ICH) akut, apabila
TDS >200 mmHg atau Mean Arterial Preassure (MAP) >150 mmHg,
tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi
intravena secara kontiniu dengan pemantauan tekanan darah setiap
5 menit.
Pada pasien aneurisma subarachnoid hemorrhage (SAH), tekanan
darah harus dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan
tekanan perfusi serebral untuk mencegah terjadinya subarachnoid
hemorrhage (SAH) berulang. Pada pasien stroke subarachnoid
hemorrhage (SAH) akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-
160 mmHg.

9. Komplikasi
Komplikasi stroke menurut Smeltzer & Bare (2013), sebagai berikut.
1) Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah
adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen
yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan
mempertahankan hemoglobin serta hemotokrit pada tingkat dapat
diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi
jaringan.
2) Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung,
dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan
intravena) harus menjamin penurunan vesikositas darah dan
memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem
perlu perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah
serebral dan potensi meluasnya area cedera.
3) Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi
atrium atau dari katup jantung prostetik. Embolisme akan
menurunkan aliran darah keotak dan selanjutnya menurunkan aliran
darah serebral.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CVA ICH

1. Pengkajian
 Airway
Adanya perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas
berbunyi stridor, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi)
 Breathing
Dilakukan auskultasi dada terdengar stridor atau ronchi atau mengi, pernapasan
diatas dua puluh empat kali per menit.
 Circulation
Adanya perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi
disritmia)
 Disability
Adanya lemah atau letargi, lelah, kaku, hilang keseimbangan, perubahan kasadaran
bisa sampai koma
a. Identitas Klien
Meliputi nama, usia (mayoritas berusia tua), jenis kelamin, alamat, pekerjaan, tanggal
dan jam MRS, nomor register dan diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Biasanya didapatkan data keluhan kelemaha pada anggota gerak tetapi hanya
sebelah, bicara pelo dan tidak dapat berkomunikasi.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien biasanya datang dengan keluhan pusing yang sangat, parase pada extrimitis,
yang didapat sesudah bangun tidur baik sinistra atau dextra, gangguan fokal,
menurunnya sensasi sensori dan tonus otot biasanya tanpa disertai kejang,
menurunnya kesadaran seperti Stroke Hemoragik.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada klien dengan CVA biasanya didapat hipertensi, aktivitas dan olahraga yang tidak
adekuat, kadang klien juga cidera kepala di masa mudah dan punya riwayat DM.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Dari pihak keluarga biasanya mempunyai riwayat DM dan hipertensi atau punya
anggota keluarga yang punya atau pernah mengalami Stroke Hemoragik maupun
infark.
f. Riwayat Psikososial
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk pemeriksaan,
pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor
biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan keluarga.
g. Pola Aktivitas Sehari-Hari
1) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Biasanya pada klien dengan CVA makanan yang disukai atau tidak disukai oleh
klien, mual – muntah, penurunan nafsu makan sehingga mempengaruhi status
nutrisi
2) Pola Eliminasi
Kebiasaan dalam BAB didapatkan ,sedangkan kebiasaan BAK akan terjadi retensi,
konsumsi cairan tidak sesuai dengan kebutuhan.
3) Pola Aktivitas dan Latihan
Biasanya klien dengan CVA tidak bisa melakukan aktivitas, badan terasa lemas,
muntah dan terpasang infus.
4) Pola Tidur dan Istirahat
Biasanya klien sebelum tidur, lama tidur siang dan malam karena nyeri kepala
yang hebat maka kebiasaan tidur akan terganggu.
5) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Didalam perubahan konsep diri itu bisa berubah bila kecemasan dan kelemahan
tidak mampu dalam mengambil sikap.
6) Pola Sensori dan Kognitif
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi pengetahuan
dan kemampuan dalam merawat diri.
7) Pola Reproduksi
Pada pria reproduksi dan seksual pada klien yang telah/sudah menikah akan
terjadi perubahan
8) Pola Hubungan dan Peran
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan peran dan peran
serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama sakit.
9) Pola Penanggulangan Stress
Biasanya akan muncul stress ketika seorang klien tidak efektif dalam mengatasi
masalah penyakitnya (koping tidak efektif).
10) Pola Kepercayaan
Timbulnya distress dalam spiritual pada klien, maka klien akan menjadi cemas dan
takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu.
h. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Biasanya klien CVA mengalami badan lemah, nyeri kepala, penurunan kesadaran,
tensi meningkat, suhu, nadi, pernafasan.
2) Kepala dan Leher
Keadaan rambut, kepala simetris atau tidak, ada tidaknya benjolan kepala, panas
atau tidak, maka simetris atau tidak, keadaan sclera, puppi reflek terhadap cahaya,
hidung simetris atau ada tidaknya polrip, epistaksis mulut, leher simetris serta ada
pembesaran kelenjar tiroid.
3) Thoraks dan Abdomen
Biasanya klien CVA tidak terdapat kelainan, bentuk dada simetris.
4) Sistem Respirasi
Apa ada pernafasan abnormal, tidak ada suara tambahan dan tidak terdapat
pernafasan cuping hidung
5) Sistem Kardiovaskuler
Pada umumnya klien dengan CVA ditemukan tekanan darah normal/meningkat
akan tetapi bisa didapatkan takikardi atau bradikardi.
6) Sistem Integumen
Pada umumnya klien CVA turgor kulit menurun, kulit bersih, wajah pucat,
berkeringat banyak.
7) Sistem Eliminasi
Pada sistem eliminasi urine dan alvi biasanya tidak ditemukan kelainan.
8) Sistem Muskuloskeletal
Apakah ada gangguan pada extriminitas atas dan bawah atau tidak ada gangguan
9) Sistem Endokrin
Apakah didalam penderita CVA ada pembesaran kelenjar tiroid dan tonsil
10) Sistem Persyarafan
Apakah kesadaran composmentis atau apatis, somnolen dan koma dalam klien
CVA.
i. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
2) Pemeriksaan Radiologis
2. Diagnosa yang Mungkin Muncul
1) Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan penurunan supai darah ke
otak
2) Bersihan jalan nafas tidak efektifberhubungan dengan sekresi jalan napas
3) Risiko aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran
3. Rencana Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


keperawatan (SLKI) (SIKI)
Risiko perfusi Setelah dilakukan tindakan Manajemen peningkatan tekanan intrakranial
serebral tidak keperawatan ....x24 jam Observasi
efektif diharapkan masalah pasien 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. Lesi, gangguan metabolisme, edema
berhubungan teratasi dengan kriteria hasil: serebral)
dengan Perfusi serebral 2. Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. TD meningkat, HR melebar,
penurunan Meningkat bradikardia, pola nafas ireguler, kesadaran menurun)
supai darah ke 1. Tingkat kesadaran 3. Monitor MAP
otak 2. Nilai rata-rata tekanan 4. Monitor status pernafasan
darah 5. Monitor intake dan output cairan
3. Kesadaran 6. Cairan serebro-spinalis (mis.warna, konsistensi)
Terapeutik
1. Minimalkan stimulus dengan menediakan lingkungan ang tenang
2. Berikan posisi semi fowler (elevasi kepala 30 0)
3. Cegah terjadinya kejang
4. Hindari pemberian cairan IV hipotonik
5. Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan k/p
2. Kolaborasi pemberian diuretic osmosis k/p
3. Kolaborasi pemberian pelunak tinja k/p
Bersihan jalan Tujuan: Setelah dilakukan SIKI: Manajemen Jalan Nafas
nafas tidak intervensi keperawatan, Observasi
efektif diharapkan bersihan jalan 1. Monitor pola napas
berhubungan nafas pasie menjadi efektif
dengan Kriteria Hasil: Sesuai dengan 2. Monitor bunyi napas tambahan (snoring dan gurgling)
sekresi jalan indikator SLKI
3. Monitor sputum
napas SLKI: Bersihan Jalan Nafas
1. Frekuensi nafas membaik Terapeutik
1. Pertanahankan kepatenan jalan napas
2. Produksi sputum
2. Posisikan semi fowler atau fowler
menurun

3. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik

4. Berikan oksigen

Risiko aspirasi Tujuan: Setelah dilakukan Pencegahan aspirasi


berhubungan intervensi keperawatan, Observasi
dengan diharapkan klien terhindar dari 1. Monitor tingkat kesadaran, batuk, muntah dan kemampuan menelan
penurunan risiko aspirasi 2. Monitor status pernapasan
kesadaran Kriteria Hasil: Sesuai dengan 3. Monitor bunyi napas
indikator SLKI Terapeutik
Tingkat aspirasi → menurun 1. Sediakan suction di ruangan
1. Tingkat kesadaran 2. Lakukan penghisapan jika produksi secret meningkat
2. Kemampuan menelan
3. Kelemahan otot
4. Akumulasi sekret
REFERENSI
Aguilar M.I., Brott T.G. 2011. Update in Intracerebral Hemorrhage. Sage. 1(3): 148-59
Aksoy, E. 2013. Relationships between Employment and Growth from Industrial Perspective by
Considering Employment Incentives: The Case of Turkey. International Jurnal of
Economics and Finance Issues. Econjurnals Turkey.
Bulechek G.M., et al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). 6th ed. United States of
America: Elsevier.
Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3. Jakarta: EGC.
Herdman T.H., Kamitsuru S. (Eds). 2018. Nanda International Nursing Diagnoses: Definitions
and Classification, 2018-2020. Oxford: Wiley Blackwell.
Junaidi, Iskandar. 2011. Stroke Waspadai Ancamannya. Yogyakarta: ANDI.
Kementerian Kesehatan RI. 2018. InfoDATIN: Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI, ISSN 2442-7659. Jakarta Selatan: Kementerian Kesehatan RI.
Maas M. L., et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). 5 th ed. United States of
America: Elsevier.
Marder, C.P., Vinod, N., Fink, J. R. dan Fink, K. R. 2014. Subaracnoid Hemorrhage: Beyond
Aneurysms. American Journal of Roentgenology, Vol. 202, No.1, p. 25-37.
Nurarif, A. H. dan Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
dan Nanda NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke 2011. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI).
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & Suddarth,
Edisi 8. Jakarta: EGC.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia(1st ed.). Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia(1st ed). Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan(1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

Wasay, M., et al. 2014. Stroke in Asian Countries. Nature Review Neurology. Volume 10: 135-
143.
Wijaya, A. S., dan Putri, Y. M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika
Yahya.
World Health Organization. 2014. World Health Statistic 2014. Geneva: WHO.

Anda mungkin juga menyukai