Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN DENGUE FEVER

Disusun untuk memenuhi penilaian Clinical Study 2


Departemen Pediatric (Nusa Indah)

Disusun oleh:

Merdiana I.P
16507020111015
Kelompok 6
Reguler 1

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
I. Definisi
Demam Dengue (DD) adalah sindrom jinak yang disebabkan oleh beberapa
virus yang dibawa arthropoda, ditandai dengan demam bifasik, myalgia (nyeri
otot) atau atralgia (nyeri sendi), ruam, leukopenia (leukosit yang rendah), dan
limfadenopati (peradangan pada limfa) (Nelson, 1996). Infeksi virus dengue dapat
menyebabkan Demam Dengue (DD), Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), dan
Syndrom Shock Dengue (SSD).
Demam berdarah atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
hampir sama dengan Demam Dengue (DD) dan terdapat trombositopenia dan
ditesis hemoragic (Huda & Kusuma, 2015). Sedangkan Syndrom Shock Dengue
(SSD) adalah Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) yang ditandai oleh syok (Huda
& Kusuma, 2015).

II. Etiologi
Virus dengue memiliki empat jenis serotipe, yang setiap jenis itu dapat
menyebabkan demam dengue dan dengue berat (lebih dikenal sebagai demam
haemorrhagic dengue) (Huda & Kusuma, 2015).
Virus dengue termasuk Flavovirus secara serotype terdapat 4 tipe yaitu tipe 1,
tipe 2, tipe 3, dan tipe 4. Keempatnya ditemukan di Indonesia dengan tipe 3
terbanyak. Vektor dari DHF adalah Aedes aegypti, aedes albopictus, aedes aobae,
aedes cooki, aedes hakanssoni, aedes polynessis, aedes pseudoscutellaris, eades
rotumae (Sumarno, 2005). Dikenal 3 macam arbovirus, chikungunyam dan
onyong-nyong dari genus togavirus dan West Nile Fever dari genus Flavovirus,
yang menyebabkan gejala demam dan ruam yang mirip dengan DB (Widagdo,
2011).

III. Faktor Resiko


1. Densitas larva
Container yang berjentik sering ditemukan di rumah yang memiliki bak
mandi yang jarang dikuras.
2. Kepadatan hunian rumah
Kepadatan penghuni adalah perbandingan jumlah penghuni dengan luas
rumah dimana berdasarkan standar kesehatan adalah 10 m2 per penghuni.
Kepadatan penduduk yang tinggi dan jarak rumah yang sangat berdekatan
membuat penyebaran penyakit DBD lebih intensif (Lestari, 2007).
3. Ventilasi rumah
Ventilasi rumah adalah salah satu upaya untuk mencegah penyakit DBD.
4. Kelembaban
Kondisi kelembaban udara dalam ruangan dipengaruhi oleh musim,
kondisi udara luar, kondisi ruangan yang kebanyakan tertutup (Boesri dan
Boewono, 2008).
5. Suhu
Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangbiakan
jentik nyamuk Aedes aegypti adalah suhu udara. Dalam waktu tiga hari
telur nyamuk telah mengalami embriosasi lengkap dengan temperatue
udara 25-30ºC (Yudhastuti dan Vidiyani, 2005). Namun telur akan
mencoba menetas 7 hari pada air dengan suhu 16ºC. Telur nyamuk ini
akan berkembang pada air dengan suhu udara 20-30ºC.

IV. Epidemiologi
DF mengenai semua orang. Tidak ada perbedaan jenis kelamin, namun
pernah dilaporkan bahwa beberapa kasus demam berdarah dengue (dengue
hemmorhagic fever/DHF) dan dengue shock syndrome /DSS mengenai lebih
banyak pria daripada wanita. Anak-anak usia kurang dari 15 tahun yang terkena
virus dengue dan tinggal pada daerah endemik, secara tipikal hanya mengalami
demam biasa yang tidak spesifik, dan sembuh dengan sendirinya (Tantawichien,
2012).
Di Indonesia wabah dengue sudah menjadi masalah utama kesehatan
masyarakat, dan di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Di Indonesia,
spesies Aedes aegypti  adalah yang terbanyak, disusul oleh  Aedes
albopictus. Beragam serotipe telah beredar di berbagai daerah di Indonesia,
namun serotipe 3 masih mendominasi dari masa ke masa (Wijayanti, 2016).
DHF telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir.
Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumalah provinsi dan
kabupaten/kota yang endemis DHF, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%)
provinsi dan 382 (77%) kabupaten atau kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku,
dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada kasus laporan kasus DHF. Selain itu
terjadi peningkatan jumlah kasus DHF, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi
15.912 kasus pada tahun 2009.
V. Patofisiologi
Gigitan Nyamuk Ades Aegipty

Infeksi virus Dengue Inkubasi 2 - 7 hari


- Demam MK: - Hipertermi
- Nyeri otot dan sendi - gangguan rasa
nyaman :nyeri

Virus menyebar ke kulit virus berimplikasi dinodus linfotikus

Ruam Pembentukan antibodi virus dalam sirkulasi darah limFodenopati

Aksifasi sistem komplemen

anafilaktosis O3A dan C5a dilepaskan

asresi trombosit Permeabilitas pembuluh darah meningkat

kebocoran plasma
Vaso aktif (CADP) yang bersifat trombosit faktor 3 dilepaskan
meningkat permebilitas kapiler volume plasma menurun
dilepaskan
Koagulasi intra vaskuler
dirangsang cairan keluar ekstrasel Hovopolemia

Trombositopenia gangguan sirkulasi hipotensi


masuk ke peluara
Faktor koagulasi menurun hipoksia jaringan shock
- edema paru
- atelektosis anoksia
Tek. Sirkulasi darah menurun - TD menurun Perdarahan MK: - Devisit Vol.cairan MK: pola nafas jaringan
- Nadi cepat dan halus - Efiktasis - Resi shock tedak efektif
- Hematemesis hipovolemik asidosis
Aliran balik vena menurun MK: Resti shock - Melena metabolik
hipovolemik - Ptekie, ekimosis, purpura
kematian
Curah jantung menurun MK: perubahan
perfusi jaringan

Perfusi jaringan menurun MK: - ketidakseimbangan


cairan dan elektrolit
- Gangguan aktivitas
Shcok
- Edema papebra
- Asites
- Edema tangan dan kaki
Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar
antara 3-14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari
ke4-7, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung
sekitar 8-10 hari (Kurane, 2007). Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala
demam, demam dengue (DD) dan DBD, ditandai dengan demam tinggi terus
menerus selama 2-7 hari; pendarahan diatesis seperti uji tourniquet positif,
trombositopenia dengan jumlah trombosit ≤ 100 x 109 /L dan kebocoran plasma
akibat peningkatan permeabilitas pembuluh (WHO, 2003)
Tiga tahap presentasi klinis diklasifikasikan sebagai demam, beracun dan
pemulihan. Tahap beracun, yang berlangsung 24-48 jam, adalah masa paling
kritis, dengan kebocoran plasma cepat yang mengarah ke gangguan peredaran
darah. Terdapat 4 tahapan derajat keparahan DBD, yaitu derajat I dengan tanda
terdapat demam disertai gejala tidak khas dan uji torniket + (positif); derajat II
yaitu derajat I ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain,
derajat III yang ditandai adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah
serta penurunan tekanan nadi, hipotensi sistolik menurun <80 mmHg sianosis di
sekitar mulut, akral dingin, kulit lembab dan pasen tampak gelisah; serta derajat
IV yang ditandai dengan syok berat (profound shock) yaitu nadi tidak dapat diraba
dan tekanan darah tidak terukur (Hadinegoro, dkk. 2001)
Walaupun DF dan DHF disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme
patofisiologisnya berbeda dan menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan utama
adalah adanya renjatan yang khas pada DHF yang disebabkan kebocoran plasma
yang diduga karena proses immunologi, pada demam dengue hal ini tidak terjadi
(Harikushartono, dkk. 2002). Manifestasi klinis DF timbul akibat reaksi tubuh
terhadap masuknya virus yang berkembang di dalam peredaran darah dan
ditangkap oleh makrofag. Selama 2 hari akan terjadi viremia (sebelum timbul
gejala) dan berakhir setelah 5 hari timbul gejala panas. Makrofag akan menjadi
antigen presenting cell (APC) dan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik
makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi
sel T -sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga
mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi.
Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi
hemaglutinasi, antibodi fiksasi komplemen. Proses tersebut akan menyebabkan
terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti
demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya (Soegijanto. 2002).
Patofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS) adalah peningkatan
akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang
ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan
darah. Pada kasus berat, volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini didukung
penemuan post mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan
hipoproteinemi (Novriani. 2008).
Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang biak dalam
sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung
5-7 hari. Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun selular,
antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin dan anti komplemen. Antibodi yang
muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi
mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada jadi
meningkat (Soegijanto. 2002).
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar
demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan
menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar
antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi
primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam
hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua.
Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan
mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder
dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM
yang cepat (Novriani. 2008).

VI. Tanda dan Gejala


Penyakit ini ditunjukkan melalui munculnya demam secara tiba-tiba, secara
tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit pada sendidan otot (myalgia dan
arthralgia) dan ruam;ruam demam berdarah mempunyai ciri-ciri merah terang,
petekial dan biasanya muncul dulu pada bagian bawah badan – pada beberapa
pasien, ia menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain itu, radang
perut bisa juga muncul dengan kombinasi sakit di perut, rasa mual, muntah-
muntah atau diare, pilek ringan disertai batuk-batuk. Kondisi waspada ini perlu
disikapi dengan pengetahuan yang luas oleh penderita maupun keluarga yang
harussegera konsultasi ke dokter apabila pasien/penderita mengalami demam
tinggi 3 hari berturut-turut. Banyak penderita atau keluarga penderita mengalami
kondisi fatal karena menganggap ringan gejala-gejala tersebut.
Sesudah masa tunas/inkubasi selama3-15 hari orang yang tertular dapat
mengalami/menderita penyakit ini dalam salah satu dari 4 bentuk berikut ini:
- Bentuk abortif, penderita tidak merasakan suatu gejala apapun.
- Dengue klasik, penderita mengalami demam tinggi selama 4-7 hari, nyeri-
nyeri pada tulang, diikuti dengan munculnya bintik-bintik atau bercak-
bercak perdarahan di bawah kulit.
- Dengue Haemorrhagic Fever (Demam berdarah dengue/DBD) gejalanya
sama dengan dengue klasik ditambah dengan perdarahan dari hidung
(mimisan), mulut, dubur, dsb.
- Dengue Syok Sindrom, gejalanya sama dengan DBD ditambah dengan
syok/presyok. Bentuk ini sering berujung pada kematian.
- Lama demam berdarah pada umumnya sekitar enam atau tujuh hari
dengan puncak demam yang lebih kecil terjadi pada akhir masa demam.
Secara klinis, jumlah trombosit akan jatuh hingga pasien dianggap afebril.
VII. Pemeriksaan Diagnostik
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective):
Pemeriksaan Fisik
Tanda patognomonik untuk demam dengue :
a.  Suhu Suhu> 37,5 derajat celcius 
b.  Ptekie, ekimosis, purpura 
c.  Perdarahan mukosa  
d.  Rumple Leed (+) 

Tanda Patognomonis untuk demam berdarah dengue :


a.  Suhu> 37,5 derajat celcius 
b.  Ptekie, ekimosis, purpura 
c.  Perdarahan mukosa  
d.  Rumple Leed (+) 
e.  Hepatomegali 
f.  Splenomegali 
g.  Untuk mengetahui terjadi kebocoran plasma, diperiksa tanda-tanda efusi pleura
dan asites. 
h.  Hematemesis atau melena 

Pemeriksaan Penunjang:
a. Leukosit: Leukopenia cenderung pada demam dengue
b. Adanya bukti kebocoran plasma yang disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas pembuluh darah pada Demam Berdarah Dengue dengan
manifestasi peningkatan hematokrit diatas  20% dibandingkan standard sesuai usia
dan jenis kelamin dan atau  menurun dibandingkan nilai hematokrit sebelumnya
>20% setelah pemberian terapi cairan
c. Trombositopenia (Trombosit <100.000/ml) ditemukan pada Demam Berdarah
Dengue

Diagnosis Klinis 
Kriteria WHO, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini terpenuhi: 
a.  Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik/polapelana 
b.  Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
     1.  Uji bending positif 
     2.  Petekie, ekimosis atau purpura 
     3.  Perdarahan mukosa atau perdarahan dari tempat lain 
     4.  Hematemesis atau melena 
c.  Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul) 
d.  Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma sebagai berikut: 
1.  Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standard sesuai dengan umur
dan jenis kelamin 
2.  Penurunan hematokrit>20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya. 
3.  Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asistes atau hipoproteinemia 

VIII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien DBD umumnya berorientasi kepada pemberian
cairan. Harris et al (1998) mendemonstrasikan bahwa meminum cairan seperti air
atau jus buah dalam 24 jam sebelum pergi ke dokter merupakan faktor protektif
melawan kemungkinan dirawat inap di rumah sakit. Setiap pasien tersangka
demam dengue atau DBD sebaiknya dirawat di tempat terpisah dengan pasien
penyakit lain, sebaiknya pada kamar yang bebas nyamuk (berkelambu).
Penatalaksanaan pada demam dengue atau DBD tanpa penyulit adalah:
1. Tirah baring.
2. Pemberian cairan.
Bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum banyak 1,5-2 liter
dalam 24 jam (susu, air dengan gula/sirup, atau air tawar ditambah dengan
garam saja).
3. Medikamentosa yang bersifat simtomatis.
Untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres kepala, ketiak atau inguinal.
Antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminofen, eukinin atau dipiron.
Hindari pemakaian asetosal karena bahaya perdarahan.
4. Antibiotik diberikan bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder
Pasien DHF perlu diobservasi teliti terhadap penemuan dini tanda syok,
yaitu:
a. Keadaan umum memburuk.
b. Terjadi pembesaran hati.
c. Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia.
d. Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala.
Jika ditemukan tanda-tanda dini tersebut, infus harus segera dipersiapkan
dan terpasang pada pasien. Observasi meliput pemeriksaan tiap jam terhadap
keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu dan pernafasan; serta Hb dan Ht setiap
4-6 jam pada hari-hari pertama pengamatan, selanjutnya setiap 24 jam.
Terapi untuk sindrom syok dengue bertujuan utama untuk mengembalikan
volume cairan intravaskular ke tingkat yang normal, dan hal ini dapat tercapai
dengan pemberian segera cairan intravena. Jenis cairan dapat berupa NaCl 0,9%,
Ringer’s lactate (RL) atau bila terdapat syok berat dapat dipakai plasma atau
ekspander plasma. Jumlah cairan disesuaikan dengan perkembangan klinis.
Kecepatan permulaan infus ialah 20 ml/kg berat badan/ jam, dan bila syok
telah diatasi, kecepatan infus dikurangi menjadi 10 ml/kg berat badan/ jam.
Pada kasus syok berat, cairan diberikan dengan diguyur, dan bila tak
tampak perbaikan, diusahakan pemberian plasma atau ekspander plasma atau
dekstran atau preparat hemasel dengan jumlah 15-29 ml/kg berat badan. Dalam
hal ini perlu diperhatikan keadaan asidosis yang harus dikoreksi dengan Na-
bikarbonat. Pada umumnya untuk menjaga keseimbangan volume intravaskular,
pemberian cairan intravena baik dalam bentuk elektrolit maupun plasma
dipertahankan 12-48 jam setelah syok selesai.
Pada tahun 1997, WHO merekomendasikan jenis larutan infus yang dapat
diberikan pada pasien demam dengue/DBD:
1. Kristaloid.
a) Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat
(D5/RL).
b) Larutan ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer
asetat (D5/RA).
c) Larutan NaCl 0,9% (garam faali/GF) atau dekstrosa 5% dalam larutan
faali (D5/GF).
2. Koloid (plasma).
Transfusi darah dilakukan pada:
a.) Pasien dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan
melena).
b.) Pasien sindrom syok dengue yang pada pemeriksaan berkala,
menunjukkan penurunan kadar Hb dan Ht.
Pemberian transfusi profilaksis trombosit atau produk darah masih banyak
dipraktikkan. Padahal, penelitian Lum et al. (1996) menemukan bukti bahwa
praktik ini tidak berguna dalam pencegahan perdarahan yang signifikan.
Pemberian kortikosteroid tidak memberikan efek yang bermakna. Pada
pasien dengan syok yang lama, koagulopati intravaskular diseminata
(disseminated intravascular coagulophaty, DIC) diperkirakan merupakan
penyebab utama perdarahan. Bila dengan pemeriksaan hemostasis terbukti
adanya DIC, heparin perlu diberikan. (Hendarwanto, 1996).

IX. Pencegahan
1. 3M : menguras, menutup dan mengubur
Pencegahan demam berdarah dengan mengendalikan vektor nyamuk,
antara lain dengan 3M yaitu : menguras bak mandi / tempat penampungan
air sekali sepekan, menguras vas bunga dan tempat minum burung sepekan
sekali;menutup dengan rapat tempat penampungan air segera setelah
dibersihkan atau digunakan; dan mengubur barang yang tidak terpakai
seperti kaleng bekas, wadah bekas dan ban bekas di sekitar rumah.
Pencegahan DBD dengan cara 3M ini cukup ampuh dan banyak dianjurkan.
2. Secara biologi
Pencegahan DBD secara biologis juga cukup efektif. Yaitu dengan
menggunakan ikan pemakan jentik dan bakteri. Masukan beberapa ikan
kecil kedalam bak mandi atau kolam, maka vektor nyamuk pembawa virus
dengue otomatis dapat dikendalikan, sebab ikan akan memakan jentik-jentik
nyamuk.
3. Secara kimiawi
Pencegahan yang paling umum dilakukan adalah
denganpengasapan atau fogging. Fogging dapat membunuh nyamuk
dewasa. Cara kimiawi lainnya adalah pemberian bubuk abate pada tempat
air tergenang untuk membunuh jentik-jentik nyamuk. Larvasida juga bisa
digunakan untuk pencegahan demam berdarah. Seperti telah disebutkan
diawal bahwa nyamuk aedes aegypti beraktifitas di siang hari. Untuk
mencegah nyamuk demam berdarah ini biasakan untuk tidak tidur saat pagi
dan sore hari, selain itu gunakan pelindung tubuh dari gigitan nyamuk saat
sedang beraktifitas didalam dan luar rumah.

X. Komplikasi
Komplikasi Dengue High Fever (demam berdarah dengue)
1. Encephalopathy
Yaitu fungsi dan struktur otak yang abnormal
2. Kerusakan hati
3. Kerusakan otak residual
4. Kejang
5. Syok
Kelebihan cairan merupakan komplikasi penting dalam penanganan syok.
Hal ini dapat terjadi karena:
 kelebihan dan/atau pemberian cairan yang terlalu cepat
 penggunaan jenis cairan yang hipotonik
 pemberian cairan intravena yang terlalu lama
 pemberian cairan intravena yang jumlahnya terlalu banyak dengan
kebocoran yang hebat.
Tanda awal:
 napas cepat
 tarikan dinding dada ke dalam
 efusi pleura yang luas
 asites
 edema peri-orbital atau jaringan lunak.
Tanda-tanda lanjut kelebihan cairan yang berat
 edema paru
 sianosis
 syok ireversibel.

Demam berdarah yang parah merupakan komplikasi yang berpotensi


mematikan karena plasma bocor, terjadi akumulasi cairan, gangguan
pernapasan, pendarahan parah, atau rusaknya fungsi organ. Tanda-tanda
peringatan muncul 3-7 hari setelah gejala pertama dalam hubungannya dengan
penurunan temperatur (dibawah 38°C) dan munculnya nyeri perut yang parah,
muntah secara berkala, napas cepat, gusi berdarah, kelelahan, gelisah, muntah
darah. 24-18 jam berikutnya dari tahap kritis dapat mematikan, perawatan
medis yang tepat diperlukan untuk menghindari komplikasi dan risiko
kematian.
XI. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
 Identitas Klien
Nama :
Umur :
TTL :
Jenis kelamin :
Agama :
Alamat :
Suku/ Bangsa :
Anak Ke :
Tanggal MRS :
Tanggal Pengkajian :
Ruangan :
No RM :
No Reg :
Diagnosa Medik :
 Identitas Orang Tua
Nama Ayah :
Umur :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :
Agama :
Suku/ Bangsa :
Nama Ibu :
Umur :
Pendidikan :
Pekerjaan :
 Identitas Saudara Kandung
No Nama Usia Hubungan Status Kesehatan
1
 Riwayat Kesehatan
a.    Keluhan Utama
b.    Riwayat Kesehatan Sekarang
c.    Riwayat Kesehatan Lalu
d.   Riwayat Kesehatan Keluarga
e.    Kondisi Lingkungan
f.     Riwayat Psikososial
g.    Riwayat Spritual
h.    Reaksi Hospitalisasi
1)   Pemahaman anak tentang sakit dan rawat inap
2)   Pemahaman Orang tua tentang sakit dan rawat inap
 Aktivitas Hidup Sehari-hari
a.    Nutrisi
Sebelum sakit :
Saat di kaji :
b.    Cairan
Sebelum sakit :
Saat dikaji :
c.    Eliminasi
Sebelum sakit :
Saat dikaji :
d.   Istirahat/tidur
Sebelum sakit :
Saat dikaji :
e.    Personal hygiene
Sebelum sakit :
Saat dikaji :
f.     Aktivitas
Sebelum sakit :
Saat dikaji :
 Pemeriksaaan Fisik
a.    Keadaan umum
b.    Kesadaran
c.    Tanda-Tanda vital
TD :
N :
R :
Sb :
d.   Antropometri
TB :
BB sebelum sakit :
BB saat sakit :
 Pemerikasaan Head to toe
a.    Kepala
Inspeksi :
Palpasi :
b.    Mata
Inspeksi :
Palpasi :
c.    Hidung
Inspeksi :
Palpasi :
d.   Telinga
Inspeksi :
Palpasi :

e.    Mulut
Inspeksi :
f.     Leher
Inspeksi :
Palpasi :
g.    Dada
Inspeksi :
Palpasi :
Auskulatasi :
Perkusi :
h.    Abdomen
Inspeksi :
Palpasi :
Auskultasi :
Perkusi :
i.     Ekstremitas atas
Inspeksi :
Palpasi :
j.     Ekstemitas bawah
Inspeksi :
Palpasi :
k.    Genetalia
Inspeksi :
l.     Anus
Inspeksi :
m.  Kulit
Ispeksi :
Palpasi:
 PemeriksaanPenunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 06-05-2010 Nilai Normal pada
anak
LED 10 0 -20
Hemoglobin 15,3 gr/dl 11,0-14,8 gr/dl
Leukosit 1000/dl 600012.000/dl
Hematokrit 44 % 34-45%
Trombosit 88.000/dl 150.000450.000/dl
Tanggal
 Terapi Medis
 Pengelompokan Data
Data Subjektif :

Data Objetikf :

2. Analisa Data
Data Etiologi MasalahKeperawatan

3. Rencana Keperawatan
 Diagnosa Keperawatan nomor 1 Hipertermia
Tujuan: Menurunkan suhu tubuh pasien dalam waktu 3 x 24 jam
Hasil: suhu tubuh pasien normal kembali.
NOC: Thermoregulation
No Indikator 1 2 3 4 5
1. Berkeringat ketika panas
2. Jumlah denyut jantung apical
3. Frekunsi pernafasan
4. Melaporkan kenyamanan
5. Thermal
Ket: 1= sangat parah, 2= parah, 3=sedang, 4=ringan, 5= tidak ada

SLKI: Termoregulasi
No Indikator 1 2 3 4 5
1. Kulit merah
2. Kejang
3. Pucat
Ket: 1=meningkat, 2=cukup meningkat, 3=sedang, 4=cukup
menurun, 5=menurun

SLKI: Termoregulasi
No Indikator 1 2 3 4 5
1. Pengisian kapiler
2. Tekanan darah
Ket: 1=memburuk, 2=cukup memburuk, 3=sedang, 4=cukup
membaik, 5=membaik

NIC & SIKI Temperature Regulation


1. Memantau suhu pasien setiap 2 jam, tekanan darah, denyut nadi,
dan respirasi
Rasional: Suhu 38,90C-41,10C menunjukkan proses penyakit
infeksi akut.
2. Berikan kompres hangat.
Rasional: .Kompres hangat akan terjadi perpindahan panas
konduksi.
3. Tingkatkan intake cairan.
Rasional: Untuk mempercepat proses penguapan melalui urine dan
keringat, selain itu dimaksudkan untuk mengganti cairan tubuh
yang hilang.
4. Kolaborasi pemberian antipiretik
Rasional: Untuk membantu menurunkan suhu tubuh

 Diagnosa Keperawatan nomor 2 Ketidakseimbangan nutrisi


SDKI : Risiko deficit nutrisi
Tujuan: Meningkatkan dan mencncukupi asuhan nutrisi pasien
Kriteria hasil: asupan nutrisi pasien terpenuhi
NOC: Nutritional Status
No Indikator 1 2 3 4 5
1. Asupan nutrisi
2. Asupan makanan
3. Asupan cairan
4. energi
Ket: 1= sangat parah, 2= parah, 3=sedang, 4=ringan, 5= tidak ada

SLKI: Status nutrisi


No Indikator 1 2 3 4 5
1. Porsi makanan yang dihabiskan
2. Serum albumin
3. Verbalisasi keinginan untuk meningkatkan
nutrisi
4. Sikap terhadap makanan dan minuman sesuai
dengan tujuan kesehatan
Ket: 1=menurun, 2=cukup menurun, 3=sedang, 4=cukup
meningkat, 5=meningkat

Nutrional status: nutrient intake


No Indikator 1 2 3 4 5
1. Asupan karbohidrat
2. Asupan vitamin
3. Asupan mineral

NIC Nutrional Managemnet


1. Menentukan status gizi pasien dan mampu untuk menemukan
kebutuhan gizi.
Rasional: Untuk menghindari intoleransi makanan.
2. Menentukan pilihan makanan pasien
Rasional: Mengganti kehilangan vitamin karena malnutrisi/anemia
3. Mendiskusikan dengan pasien mengenai kebutuhan gizi(memandu
pasien membuat piramida makanan dan mendiskusikan pola makan
sehat.
Rasional: Makanan merupakan penambahan tenaga bagi
orang sakit.

SIKI: Manajemen nutrisi


1. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
2. Monitor asupan makanan
3. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
4. Anjurkan posisi duduk jika mampu
5. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrient yang dibutuhkan

Nutritional Monitoring
1. Mengidentifikasi ketidaknyamanan pada system pencernaan(diare,
mucus dan nyeri pencernaan)
Rasional: Untuk memberikan nutrisi yang optimal meskipun
kehilangan napsu makan serta memotivasi anak agar mau makan.

 Diagnosa Keperawatan nomor 3 Resiko ketidakseimbangan Elektrolit


Tujuan: meningkatkan keseimbangan cairan dan elektrolit pasien
Kriteria Hasil: kebutuhan cairan dan elektrolit pasien seimbang
NOC electrolyte balance
No Indikator 1 2 3 4 5
1. Meningkatkan serum sodium
2. Meningkatkan serum potassium
3. Meningkatkan serum chloride
4. Meningkatkan serum magnesium
5. Meningkatkan serum calcium

NIC fluid/ elektrolite management


1. Memantau level serum elektrolit yang abnormal
Rasional: .      Mempertahankan keseimbangan cairan/elektrolit
2. Memantau tanda dan gejala ksalahan dari kelebihan cairan dan
kekurangan cairan
Rasional: Menunjukkan status volume sirkulasi, terjadinya /
perbaikan perpindahan cairan, dan respon terhadap terapi.

SIKI: Manajemen Elektrolit


1. Berikan cairan
2. Pasang akses intravena
3. Kolaborasi pemberian suplemen elektrolit

 Diagnosa Keperawatan nomor 4. Nyeri Akut


Tujuan: Mengurangi nyeri pada pasien dalam waktu 5 x 24 jam
Kriteria Hasil: nyeri dapat berkurang sesuai skala nyeri NOC

NOC Pain Control


No Indikator 1 2 3 4 5
1. Mengenali factor penyebab
2. Gunakan analgesic sebagai rekomendasi
3. Laporan cara mengontrol nyeri
4. Mengenali waktu nyeri

Ket: 1=tidak pernah ditunjukan, 2= jarang ditunjukan, 3=kadang-


kadang ditunjukan, 4=sering ditunjukan, 5=ditunjukan terus-menurus.

NOC & SIKI Pain Level


No Indikator 1 2 3 4 5
1. Laporan nyeri(skala)
2. Lamanya nyeri
3. Ekspresi wajah nyeri
4. Diaphoresis
5. Wajah tegang
6. Intoleransi makanan
Ket: 1=parah,2=cukup berat, 3=sedang, 4=ringan, 5=normal

NIC& SIKI Pain Management


1. Pastikan pasien untuk diberi analgesic
Rasional: Memberikan penurunan nyeri/tidak nyaman.
2. Ajarkan perinsip-perinsip management nyeri
Rasional: untuk mengurangi rasa nyeri dengan cara terapi
nonfarmakologi
3. Evaluasi efektifitas pengukur kontol nyeri
Rasional: Mengindikasi kebutuhan untuk intervensi dan juga
tanda-tanda perkembangan resolusi komplikasi.
4. Bantu pasien untuk mendapatkan dukungan.
Rasional: untuk mengurang nyeri

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansjoer, dkk., ( 2000 ), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica


Aesculpalus, Jakarta: FKUI.
Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M., & Wagner, C.M. (2016).
Nursing Interventions Classification (NIC), Edisi 6. Philadelpia: Elsevier.
Boesri, H., & Boewono, D.T. (2008). Situasi Nyamuk Aedes Aegypti dan
Pengendaliannya di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue di Kota
salatiga. Media Litbang Kesehatan. 18(2) hal 78-82
Hadinegoro, Rezeki S, Soegianto S, Soeroso T, Waryadi S. Tata Laksana Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Ditjen PPM&PL Depkes&Kesos
R.I; 2001.
Harikushartono, Hidayah N, Darmowandowo W, Soegijanto S. Demam Berdarah
Dengue: Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Jakarta:
Salemba Medika; 2002.
Harris, E. et al. 1998. Typing of dengue viruses in clinical specimens and
mosquitoes by single-tube multiplex reverse transcriptase PCR. J. Clin.
Microbiol. 36, 2634–2639 .
Huda, Nurarif Amin & Kusuma, Hadrhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC. Yogjakarta:
Mediaction Publishing
Hendarwanto, 1996. Dengue. Dalam: Noer, Sjaifoellah et. al., eds. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid I, ed. 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 417-
426.
Herdman, T.H. (2018). NANDA International Nursing Diagnoses: definitions and
classification 2018-2020. Jakarta: EGC.
Kurane I. Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on
Immunopathogenesis. Comparative Immunology, Microbiology &
Infectious Disease. 2007; Vol 30:329-40.
Lum LC et al. 1996. Dengue Encephalitis: a True Entity? American Journal of
Tropical Medicine and Hygiene 54, 256–259
Moorhead, Sue., Johnson, Marion., Maas, M.L., & Swanson, Elizabeth. (2016).
Nursing Outcomes Classification (NOC), Edisi 5. Philadelpia: Elsevier.
Nelson, dkk. 1996. Ilmu Kesehatan Anak Vol II E/15. Jakarta: EGC
Novriani H. Respon Imun dan Derajat Kesakitan Demam Berdarah Dengue dan
Dengue Syndrome Pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran. 2002;Vol
134:46-9.
Pusat data dan surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. 2010. Buletin jendela epdidemiologi Vol. 2. Jakarta
PPNI. 2016.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi I. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi I Cetakan II. Jakarta:
DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi I Cetakan II.
Jakarta: DPP PPNI
Reiter, P., Yellow fever and dengue: a threat to Europe? Euro Surveill, 2010.
15(10): p. 19509
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Soegijanto S. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue.
www.pediatrikcom/buletin/20060220- 8ma2gi-buletindoc; 2002 [cited
2020]; Available from: www.pediatrikcom/ buletin/20060220-8ma2gi-
buletindoc.
Tantawichien, T., Dengue fever and dengue haemorrhagic fever in adolescents
and adults. Paediatrics and International Child Health, 2012. 32(s1): p.
22-27.
Wijayanti, S.P.M., et al., Dengue in Java, Indonesia: Relevance of Mosquito
Indices as Risk Predictors. PLoS Neglected Tropical Diseases, 2016.
10(3): p. e0004500.
World Health Organization. 1997. Dengue hemorhagic fever. Diagnosis:
treatment, prevention and control. 2nd ed. Geneva: WHO;
WHO. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam
Berdarah Dengue. Jakarta: WHO & Departemen Kesehatan RI; 2003.
WHO. Dengue: Guideline for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
2009; Available from: www.who.int/rpc/guidelines/9789241547871/en/.

Anda mungkin juga menyukai