Disusun Oleh:
KATA PENGANTAR
i
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan
Rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker
(PKPA) di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi, untuk memenuhi salah satu persyaratan
guna menyelesaikan Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Institut Ilmu
Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri.
Dalam penulisan laporan ini, penulis tidak terlepas dari bimbingan, arahan,
bantuan serta dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :
1. Dra. Ec. Linawati, MBA, selaku Ketua Yayasan Pendidikan Institut Ilmu
Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri
2. Prof. Dr. Muhamad Zainuddin, Apt selaku rektor Institut Ilmu Kesehatan
Bhakti Wiyata Kediri.
3. Apt. Dewi Resty Basuki selaku Dekan Fakultas Farmasi Institut Ilmu
Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri.
4. Apt. Yogi Bhakti Marhenta, M.Farm selaku Ketua Program Studi Profesi
Apoteker Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri.
5. Apt. Esti Ambar Widyaningrum, M.Farm. selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan waktu, bimbingan, saran, koreksi, dan nasehat dengan penuh
kesabaran hingga selesainya penyusunan laporan ini.
6. Apt. Yunita Dwi Tanti, S.Si., M.Farm. selaku Apoteker Penanggung Jawab
RSUD Ngudi Waluyo Wlingi yang telah memberikan bimbingan dan saran
dalam pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker.
7. Seluruh dosen Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi yang telah
banyak memberikan bekal ilmu, berbagi pengalaman, dan pengetahuan kepada
penulis selama masa studi di Faklutas Farmasi.
8. Seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan, doa, dan semangat kepada
penulis.
9. Seluruh teman – teman Apoteker angkatan I atas semangat, dukungan, dan
kerjasamanya selama ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat
banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun.
ii
Akhir kata, penulis berharap semoga pengetahuan dan pengalaman yang
penulis peroleh selama menjalani Praktek Kerja Profesi Apoteker ini dapat
memberikan manfaat bagi rekan – rekan sejawat dan semua pihak yang
membutuhkan.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
CVA BLEEDING, HT KRONIS DAN AKI (Acute Kidney Injury)......................1
BEDAH MENINGIOMA......................................................................................37
PEMBERIAN ANTIKOAGULAN PROFILAKSIS PADA PASIEN COVID-19
................................................................................................................................61
COVID, PNEUMONIA, ISK DAN HIPERTENSI.............................................109
iv
LAPORAN KASUS FARMASI KLINIS
Disusun Oleh :
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian
Stroke hemoragik merupakan suatu kondisi gawat darurat, yang
disebabkan oleh pecahnya salah satu pembuluh darah di dalam otak, yang
memicu perdarahan di sekitar otak. Akibatnya, aliran darah pada sebagian
otak berkurang atau terhenti, yang kemudian menyebabkan pasokan oksigen
ke otak berkurang, sehingga memicu kematian sel otak dan dapat
mengganggu fungsi otak secara permanen. Jika perdarahan terjadi di dalam
otak disebut dengan perdarahan intraserebral, sedangkan jika perdarahan
terjadi pada ruang di antara selaput pembungkus otak bagian tengah dan
dalam disebut dengan perdarahan subarachnoid (Halodoc.com,2020)
Stroke terjadi ketika jaringan otak terganggu karena berkurangnya
aliran darah atau oksigen ke sel-sel otak. Terdapat dua jenis stroke yaitu
iskemik stroke dan hemoragik. Stroke iskemik terjadi karena berkurangnya
aliran darah sedangkan stroke yang terjadi karena perdarahan ke dalam atau
sekitar otak disebut stroke hemoragik. Perdarahan yang terjadi pada stroke
hemoragik dapat dengan cepat menimbulkan gejala neurologik karena
tekanan pada struktur saraf di dalam tengkorak. Stroke hemoragik lebih
jarang terjadi dibanding stroke iskemik akan tetapi stroke hemoragik
menyebabkan lebih banyak kematian (Cheung, 2014).
A. Epidemiologi
Stroke merupakan penyakit yang menyebabkan kecacatan tertinggi di
dunia, serta merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit jantung
dan kanker. Menurut American Heart Association (AHA), angka kematian
penderita stroke di Amerika setiap tahunnya adalah 50-100 dari 100.000
orang penderita (Ahmad dan Amir, 2003). Stroke diklasifikasikan menjadi
stroke non hemoragik dan stroke hemoragik. Stroke non hemoragik memiliki
angka kejadian 85% dari seluruh stroke yang terdiri dari 80% stroke
aterotrombotik dan 20% stroke kardioemboli (Basuki dkk, 2010).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 oleh Kementrian Kesehatan
RI, 7% atau sebesar 1.236.825 orang menderita stroke. Jawa Barat merupakan
2
3
2. Stadium Akut
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume
hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan
keadaan klinis cenderung memburuk. Tekanan darah harus diturunkan
sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik >180
mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume hematoma
bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera
diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai
20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enalapril iv
0,625- 1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral. Jika
didapatkan tanda tekanan intracranial meningkat, posisi kepala dinaikkan
30º, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol (lihat
penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg)
(Samino, 2006 ; Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf, 2007 ; Morgenstern
et al, 2010).
Terapi umum:
a) Letakkan kepala pasien pada posisi 30º, kepala dan dada pada satu
bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap
bila hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas,
beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas
darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres
dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih
penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten).
b) Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-
2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung
glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika
fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan menelan atau
kesadaran menurun, dianjurkan melalui selang nasogastrik.
c) Kadar gula darah >150 mg/dl harus dikoreksi sampai batas gula darah
sewaktu 150 mg/dl dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3
hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg/dl atau < 80
9
2.1 Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg secara persisten yang biasa terjadi
pada usia 18 tahun atau lebih. Hipertensi krisis (tekanan darah > 180/120
mmHg) dikategorikan menjadi dua yaitu hipertensi emergensi merupakan
peningkatan tekanan darah secara ekstrim dengan diikuti kerusakan organ
secara akutprogresif, sedangkan hipertensi urgensi merupakan peningkatan
darah yang tinggi.
Hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar
patofisiologi yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi primer.
11
a. Klasifikasi Hipertensi
b. Patofisiologi
Berbagai faktor yang mengontrol tekanan darah merupakan komponen
potensial yang berkontribusi dalam pengembangan hipertensi primer.
Termasuk malfungsi pada salah satu humoral (misalnya sistem
reninangiotensin-aldosteron) [RAAS]) atau mekanisme vasodepresor,
12
16
17
170,64
= 28,95 ( CKD Stage 4)
a. Etiologi
Kategori Contoh
Faktor kerentanan Usia, penurunan masa ginjal, berat lahir rendah,
ras, riwayat keluarga, inflamasi, dyslipidemia
Faktor inisiasi Diabetes mellitus, hipertensi, penyakit
autoimun, polycystic kidney disease, toksisitas
obat
Faktor progesif Hiperglikemia (pada pasien DM), hipertensi,
proteinuria, merokok
b. Patofisiologi
Profil Pengobatan
No Jenis Obat Rute Dosis Frekuensi Indikasi Obat Pantauan Alasan dan komentar
Kefarmasian
1 Manitol IV 6x100 cc Untuk
5x100 cc menurunkan Manitol adalah obat diuretik yang
peninkatan digunakan untuk mengurangi
tekanan tekanan dalam
intrakranial pada kepala(intrakranial) akibat
pasien CVA pembengkakan otak. Manitol
bleeding akan membuat darah yang akan
disaring oleh ginjal menjadi lebih
pekat. Hal ini mengakibatkan
tubuh membuang air dalam
bentuk urin lebih banyak.
pembuangan urin yang banyak ini
membuat kandungan air di sel
otak juga berkurang,sehingga
tekanan menurun (kemenkesRI)
2 Nacl IV 20 Tpm Keseimbangan Saat awal MRS pasien dalam
cairan kondisi lemah. Pemberian infus
NACL menggantikan volume
cairan intravascular yang
mengalami kontraksi (Simon et
al.2014)
3 Omeprazole IV 40 mg 1x 1 Mengatasi dan Mual dan
mencegah SRMD rasa nyeri Omeprazole merupakan golongan
(Stress-related perut pada PPI dimana akan menghambat
mucosal disease) pasien sekresi asam lambung. Pasien
MRS dengan penyakit
kronis,sehingga harus tirah baring
dalam waktu yang lama,hal ini
dapat menjadi penyebab SRMD.
4 Metoclorpramid IV 10 mg 3x 1 Mengurangi rasa Mual Metoclorpramid memblokir
mual pada pasien reseptor Dopamin (pada dosis
tinggi) dan reseptor serotonin di
zona pemicu kemoreseptor dari
SSP dan membuat jaringan peka
terhadap asetilkolin;
meningkatkan motilitas GI bagian
atas tetapi bukan sekresi
meningkatkan tonus sfingter
esofagus bagian bawah
5 Nicardipin IV 25 mg/10 ml 5 cc/jam Untuk mengatasi Tekanan Pasien mengalami hipertensi
(2,5 mg/ml) hipertensi darah emergensi (211/116 mmhg) pada
emergensi pada tanggal 20/12/2020 jam 13.00 WIB,
pasien sehingga pasien diberikan
Nicardipin, Nicardipin merupakan
CCB yang memiliki efek
vasodilator kuat sehingga dapat
menurunkan tekanan darah
dengan cepat. HT emergency
harus dicegah agar tidak
menimbulkan kegagalan organ .
Nicardipin diberikan 5 cc/jam.
21
9 Paracetamol IV 1 Gr/ 1000 mg 3 x 1 untuk mengatasi suhu tubuh Pada tanggal 22/12/2020 jam 10.00
panas dan demam pasien WIB pagi suhu tubuh pasien
pada pasien mencapai 39 C. dengan diberikan
penangganan paracetamol secara
IV diharapkan suhu tubuh pasien
segera normal,karena
paracetamol bekerja langsung di
pusat syaraf dengan menghambat
enzim cyclooksigenase,COX1,
COX2, COX 3 yang terlibat dalam
pembentukan prostaglandin,
substansi yang bertindak sebagai
regulator panas pada hipotalamus
dan mengatur rasa sakit. dengan
berkurangnya produksi
prostaglandin
diotak,panas,demam dan rasa
sakit dapat berkurang(mims,2020)
Nama/BB Ny.Djm/65kg
No.RM xxx
Ruang Rawat Stroke Center
Inap
Usia/TB 64 Th/168 cm
Riwayat Hipertensi + 6 tahun yang lalu tidak terkontrol
Penyakit obat
Alasan MRS Minggu 20/12/2020 jam 11.30 WIB jatuh saat
mengecat,kaki dan tangan lemas, bicara sedikit
pelo.
Diagnosis CVA (cerebrovascular Accident)Bleeding/
Stroke, hipertensi acut (250/145 mmhg), AKI
(acute kidney injury)
Riwayat obat/ Sering mengkonsumsi obat jamu, merokok 2
sosial pak per hari
23
24
a. Data Klinik
25
b. Data Lab
26
S Penurun kesadaran
O RR (x/menit) 20-24x/menit 20 20 27 45 19
Tekanan darah (mm hg) 120/80 240/100 211/116 227/125 116/71 70/50
GCS 3x5 2x5 2x5 2x5 111
27
28
S Penurunan Kesadaran
O -
A Penggunaan albumin tanpa mengetahui kadar albumin dalam darah sesungguhnya dapat
menyebabkan pasien hipoalbumin, menyebabkan pengobatan tidak maksimal.
P Pengecekan labotarorium kadar albumin
30
2.5 Pembahasan
Tn. Djm masuk rumah sakit pada tanggal 21 Desember 2020 pukul
11.30 WIB. Ketika dibawa ke IGD pasien mengalami penurunan kesadaran
dengan nilai GCS 3x5. Pasien memiliki riwayat Hipertensi tidak terkontrol
obat dan tidak memiliki alergi obat. Kondisi klinis hasil pemeriksaan di IGD
saat pasien MRS diperoleh suhu 37˚C (normal), nadi 90 kali/menit (normal),
respiratory rate 20 kali/menit(normal) dan tekanan darah 240 / 100 mmHg
(diatas nilai normal). Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, diperoleh hasil
diagnosa dokter kepada pasien adalah CVA Bleeding, Hipertensi emergensi
dan AKI (Acute Kidney Injury).
Pasien mendapatkan terapi di IGD PZ 0.9% 20 tpm, Omeprazole 1x
40mg, nicardipin 5cc/jam, metoclopramide 3x10mg, phenytoin inj, lodomer
1x0,5 mg, manitol 1x200cc. Manitol 200 ml intravena setiap 4 jam diberikan
untuk menurunkan tekanan intrakranial yang terjadi pada pasien stroke yang
dimanifestasikan pada rasa nyeri kepala. Efek samping dari manitol yaitu
hipovolemi dan hipokalemi sehingga perlu dilakukan monitoring urin output
dan kadar elektrolit pasien. Pemberian Nicardipin 5cc/jam digunakan untuk
mengatasi hipertensi emergensi, sehingga dapat cepat menurunkan tekanan
darah pasien.
Menurut Perdossi tahun 2011 pemberian cairan bagi pasien stroke
adalah cairan golongan kristaloid/koloid, sehingga pemberian terapi PZ 500
cc sudah tepat. Infus PZ memiliki kandungan Na 154 mmol/l dan Cl
154mmol/l, sehingga berfungsi untuk resusitasi cairan. Dimana pada pasien
stroke kondisi cairan dalam tubuh harus tetap terjaga. Mekanisme kerja dari
infus PZ ini adalah apabila pasien pada kondisi kritis, sel-sel endotelium
pembuluh darah bocor, diikuti oleh keluarnya molekul protein besar ke
kompartemen interstisial, diikuti air dan elektrolit yang bergerak ke intertisial
karena gradien osmosis. Plasma expander berguna untuk mengganti cairan
dan elektrolit yang hilang pada intravaskuler. Efek samping dari pemberian
Infus PZ ini adalah edema, sehingga perlu di monitoring kadar elektrolit
pasien seperti natrium dan klorida.
31
B. Saran
34
DAFTAR PUSTAKA
AHA (American Health Association). 2015. Guidelines for the Management of
Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. Management of Spontaneous
ICH.Hal 2032 – 2060.
Dipiro, J.B., Wells and Schwinghammer. 2015. Pharmachotherapy Handbook Ed
9th . New York McGraw-Hill Companies.
JOSEPH J. SASEEN AND ERIC J. MACLAUGHLIN, 2014. Hypertension In
Pharmacoterapy A Pathophysiology Approach
JNC 8.2014. Evidance Guidline Penanganan Pasien Hipertensi. Perhimpunan
Dokter Spesialis Cardiovascular Indonesia. 2015. Pedoman Tata
Laksana Hipertensi Pada penyakit Cardiovascular
Rosendorff C, Black HR, Cannon CP, et al. Treatment of hypertension in the
prevention and management of ischemic heart disease: A scientific
statement from the American Heart High Blood Pressure Research and
the Councils on Clinical Cardiology and Epidemiology and
Prevention. Circulation 2007;115(21):2761– 2788.Association
Council for
https://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMoa1603460?articleTools=true
https://ejurnal.unism.ac.id/index.php/jpcs/article/view/34/15
https://halodoc.com
Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.2007.
Guideline Stroke. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia:Jakarta.
Kellner CP, Connolly S. 2010. Neuroprotective Strategies for Intracerebral
Hemorrhage Trials and Translation. Stroke AHA. Hal 99 – 102.
Kemenkes RI,2013. Riset Kesehatan Dasar : Jakarta
Kemenkes RI, 2017. Mengenali Gejala Stroke : Jakarta
Merck, 2007. Hemorrhagic Stroke. (Http://www.merck.com/
mmhe/sec06/ch086/ch086d.html. Diakses 28 Juni 2019).
PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke. Jakarta, Perdossi.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2011. Guideline Stroke Tahun
2011. Jakarta : PERDOSSI.
35
36
Disusun Oleh :
Mailinda Hasyanah (40119015)
37
38
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Meningioma
Meningioma merupakan tumor primer intrakranial yang paling sering
ditemui, ekstra aksial, dan berasal dari sel araknoid yang menempel pada
duramater. Karakteristik tumor ini dapat tumbuh dengan besar dan cenderung
menghasilkan hiperostosis, infiltrasi atau juga mengerosi tulang. (Kemenkes,
2019)
B. Epidemiologi
Angka kejadian meningioma sekitar 36% dari seluruh tumor otak,
insidensnya diperkirakan 98/100,000 orang, dengan perkiraan rasio 2:1 antara
wanita dan pria, dan insidensinya meningkat seiring dengan bertambahnya
usia. (Kemenkes, 2019)
C. Etiologi
Etiologi molekuler meningioma dikaitkan dengan delesi kromosom dan
mutasi gen. Meningioma dapat terjadi pada pasien yang terradiasi, dengan
risiko tinggi terpapar dosis tinggi radioterapi, sementara faktor risiko lain
seperti hormon, cidera kepala, tumor ganas payudara, faktor diet dan alergi,
serta riwayat meningioma pada keluarga. Faktor lain seperti paparan telepon
seluler masih belum jelas dan bahkan tidak signifikan pada beberapa
penelitian. Perubahan genetik yang sering terjadi pada meningioma adalah
hilangnya kromosom 22 yang berhubungan dengan mutasi pada gen
neurofibromatosis tipe 2 (NF2) yang terletak di kromosom 22. (Kemenkes,
2019)
D. Klasifikasi
Berdasarkan panduan World Health Organization (WHO), sekitar 80%
dari meningioma diklasifikasikan sebagai grade I atau jinak, 10-18% sebagai
grade II atau atipikal, dan sekitar 2-4% sebagai grade III atau ganas.
40
E. Lokasi
Lokasi tumor dapat dikategorikan menjadi tiga grup: convexity / falx/
parasagittal, skull base dan lainnya. Lokasi pada skull base dapat
didefinisikan sebagai cavernous sinus, cerebellopontine angle, clinoid, clivus,
foramen magnum, jugular foramen, middle fossa, olfactory groove, orbital,
parasellar, petroclival, petrous, planum sphenoidale, posterior fossa, skull
base, sphenoid wing, and tuberculum selae. Lokasi lain diantaranya
intraventrikular dan tumor multifokal yang tidak dapat dengan mudah
diklasifikasikan dalam skull base, convexity, atau falx. (Kemenkes, 2019)
Meningioma Speno-orbida merupakan meningioma yang tumbuh dari
dura di sphenoid wing dan bisa meluas ke sinus cavernosus, Fissura Orbitalis
Superior, atap orbita, dan konveksitas (Modul onkologi, 2016).
F. Gejala
Meningioma biasanya merupakan tumor yang tumbuh lambat,
gambaran klinis yang ditimbulkan tergantung pada lokasi dan ukuran tumor,
serta keterlibatannya dengan struktur jaringan sekitar.
Nyeri kepala mungkin gejala yang paling sering dan bersamaan dengan
gejala lain dapat mengarah kepada suatu peningkatan tekanan intra kranial.
Kejang ditemukan pada 30 % pasien yang didiagnosis dengan meningioma
intrakranial. Risiko kejang lebih tinggi pada lokasi selain basis kranii
(misalnya pada meningioma konveksitas, parasagital, dan falks).
Gejala fokal yang muncul tergantung pada lokasi spesifik tumor.
Gangguan penglihatan bisa muncul pada meningioma yang melibatkan jalur
penglihatan. Gangguan pendengaran bisa muncul pada meningioma di regio
sudut cerebellopontine. Anosmia dapat muncul pada meningioma di olfactory
groove. Gangguan status mental dengan apati dan inatensi dapat muncul pada
pasien dengan inferior frontal meningioma yang besar. Kelemahan
ekstremitas juga dapat muncul umumnya berupa hemiparesis walaupun
kadang-kadang dapat juga berupa paraparesis pada meningioma parasagital di
falx yang mengkompresi jalur motoris. Kumpulan gejala tersebut tidaklah
41
G. Penunjang
Brain imaging dengan menggunakan CT Scan dan MRI membantu
deteksi meningioma, biasanya tampak sebagai tumor soliter yang menempel
pada duramater, serta menyangat kuat dengan pemberian kontras (contrast
enhanced). Pemeriksaan tersebut merupakan metode yang sering digunakan
untuk mendiagnosis, monitoring dan evaluasi pasca tindakan.
Positron emission tomography dapat membantu pada kasus-kasus
meningioma di skull base yang biasanya sulit untuk dilihat pada pemeriksaan
CT dan MRI yang standar. Meningioma juga diketahui memiliki somatostatin
receptor density yang tinggi, sehingga memungkinkan untuk octreotide brain
scintigraphy membantu menggambarkan ekstensi dari penyakit.(Kemenkes,
2019)
H. Tatalaksana
Terapi pasien dengan meningioma sangatlah individual, karena sifat
meningioma itu sendiri dan variasi hasil terapi yang berbeda-beda untuk
pasien yang berbeda. Dikarenakan kurangnya penelitian prospective
randomized trials, panduan tatalaksana standar sangatlah sulit untuk
diformulasikan.
Modalitas terapi berupa observasi menggunakan serial CT atau MRI,
pembedahan, stereotactic radiosurgery (SRS), fractionated radiotherapy
(FRT), kemoterapi, ataupun radionuclide therapy. Manajemennya
menitikberatkan pada profil klinis, grade WHO, dan extent of resection, yang
nampaknya mulai suboptimal seiring dengan meningkatnya pengertian
terhadap biologi tumor ini. Keputusan terapi harus berdasarkan gejala yang
muncul, lokasi meningioma, tampakan tumor terhadap pembuluh darah,
pengalaman pembedah, dan kemungkinan untuk reseksinya.
Untuk tumor yang berukuran kecil (<3cm) dan asimtomatik maka
berdasarkan guideline European Association of Neuro-oncology (EANO)
42
Catatan:
a. Pertimbangkan melakukan diskusi multidisiplin untuk rencana terapi
b. Pilihan tatalaksana harus berdasarkan pada penilaian dari variasi faktor-
faktor yang berhubungan, diantaranya gambaran pasien (misalnya: umur,
performance score, komorbid, pilihan terapi), gambaran tumor (misalnya:
ukuran, grade, laju pertumbuhan, lokasi - terhadap struktur penting),
potensi mengakibatkan gangguan neurologis bila tidak ditangani, serta
faktor terkait terapi (misalnya: potensi gangguan neurologis akibat dari
pembedahan atau radioterapi seperti reseksi komplit dengan/atau complete
irradiation dengan SRS, kemampuan tatalaksana tumor bila muncul
kembali, ketersediaan ahli bedah dan onkologi radiasi). Keputusan untuk
pemberian radioterapi setelah pembedahan juga bergantung pada ekstensi
reseksi yang dicapai. Direkomendasikan masukan dari tim multidisiplin
untuk perencanaan terapi.
c. MRI post operatif 24–72 jam setelah pembedahan.
d. Principles of Brain Tumor Imaging (BRAIN-A).
Brain MRI pasca operasi harus dilakukan dalam 24–72 jam untuk
glioma dan tumor otak lainnya untuk menentukan ekstensi dari
reseksi.
Ekstensi dari reseksi harus dinilai dari penilaian pasca operasi dan
digunakan sebagai dasar untuk menilai efektifitas terapi selanjutnya
atau menilai progresifitas dari tumor.
e. WHO Grade I = Benign meningioma, WHO Grade II = Atypical
meningioma, WHO Grade III = Malignant (Anaplastic) meningioma.
f. Radioterapi dapat berupa fractionated external-beam radiotherapy atau
stereotactic radiosurgery (SRS).
44
Profil Pasien
Nama Ny. X ( P)
Tgl. Lahir -/08/1977 ( 43 th )
Riwayat alergi -
BB / TB ± 56kg / 150 cm
Pemeriksaan Fisik
Data Normal Tanggal
Klinik
16 17 18 19 20 21 22
45
46
(x/menit) / menit
RR 20 – 24 x 20 20 20 20 20 20 20
(x/menit) / menit
Mual + - - - -
Data Lab
Data Lab Normal 16/12 18/12
K+ 3,4-5,3 3,99
MCV 86,7-102,3fL 88
MCH 27,1-32,4pg 30
Terapi Pasien
No. Nama obat 16 17 18 19 20 21 22
1 Dexamethason √ √ √ √ √ √ 1x1
3x1amp 16.00 amp
2 Anbacim 2g √
10.30
3 IVFD NS √ √ √ √ √
500cc/hari 500cc/h
ari
4 Santagesik 3x1 g √ √ √ √ √
3x1 tab
5 Ranitidin 2x1 √ √ √ √ √
amp 2x1tab
6 Kalnex 3x1 g √ √ 8.00
7 Drip Safol √
30mg/jam
8 Roculax √
10mg/jam
9 Fentanyl √
30mcg/jam
48
1 Dexamethason √ √ √ √ √ √
3x1amp 1x1 amp
MCV 86,7-102,3fL 88
MCH 27,1-32,4pg 30
Anbacim 2g √ (10.30)
O
52
Tatalaksana Nyeri
Sumber: DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris. P:557-577
Nama obat 16 17 18 19 20 21
Roculax 10mg/jam √
Fentanyl 30mcg/jam √
perfusi otak juga menurun karena propofol memiliki efek hipotensi yang hebat.
Mekanisme kerja nya yaitu Memfasilitasi inhibisi neurotransmisi yang dimediasi
oleh gamma-aminobutyric acid (GABA) (Medscape.com).
Roculax mengandung rocuronium 10mg/ml dalam sediaan total volume 5ml
dalam satu ampul. Roculax merupakan golongan general anestesi. Mekanisme
kerja: Relaksanotot rangka nondepolarisasi; antagonis reseptor kolinergik,
menghambat depolarisasi. Memiliki t1/2 : 60-70 menit. Memiliki efek samping
hipertensi (1-10%) (Medscape.com).
Fentanyl 0,1mg/ml bermanfaat untuk manajemen nyeri, merupakan
golongan opioid, nalgesik narkotik kuat. Farmakokinetika dari fentanyl yaitu
mempunyai onset cepat dan durasi singkat, tidak mengganggu pulih sadar dan
tidak menyebabkan pelepasan histamin. Penggunaan opioid kuat tersebut juga
memiliki beberapa kekurangan diantaranya mual, muntah, sedasi, retensi urin,
serta depresi napas (Mesdcape.com).
S Pasien mengeluhkan pusing dan merasa nyeri
O Data Norm Tanggal
Klinik al 16 17 18 19 20 21 22
PEMBAHASAN
Pasien Ny. X masuk rumah sakit pada tanggal 16 Desember 2020 dengan
keluhan ± 3 bulan yang lalu mengeluh pusing-pusing, terasa berdenyut, mata
kanan menonjol, kemudian pasien periksa ke poli, dilanjutkan CT scan kepala dan
dahi, kemudian pasien dianjurkan operasi. Seingga pada tanggal 17 pasien
mendapatkan jadwal operasi untuk mengangkat tumor yang ada di kepala tersebut.
Ketika di IGD pasien mendapatkan terapi deksametason 3 kali sehari satu
ampul. Pemberian deksametason sebagai antiedema serebral dan juga dapat
mengambat tumor kepala.
Pada tanggal 17 Desember 2020 pasien akan melaksanakan operasi
bedah meningioma, sehingga mendapatkan antibiotik profilaksis yaitu anbacim
2g. Pemberian Antibiotik profilaksis pada operasi kraniotomi diperlukan untuk
mengurangi risiko infeksi luka daerah pasca-operasi. Menurut jurnal antibiotik
profilaksis pada tindakan bedah, disebutkan bahwa penggunaan antibiotik
profilaksis pada bedah syaraf lini pertama yang digunakan yaitu Cefazolin
golongan betalaktam sub selalosporin. Disebutkan pula penggunaan antibiotic
59
profilaksis pada bedah syaraf adalah dari Golongan penisilin (Lukito, J.I.
Antibiotik profilaks pada tindakan bedah. Medical departemen ). Cefazolin
maupun anbacim sama-sama dari antibitotik golongan beta lactam yang
merupakan antibiotik spectrum luas dan dapat menembus sawar otak.
Ketika proses operasi pasien mendapatkan terapi cairan NS, dan anestesi
drip safol, roculax dan fentanyl. Terapi cairan masih berlansung selama pasien
berada di ruang rawat inap. Berdasarkan Pedoman Nasioanal Pelayanan
Kedokteran anestesiologi dan terapi intensif, 2015 bahwa terapi cairan pada
pasien normotensi dan normoglikemia tidak diperkenankan diinfus dengan cairan
yang mengandung glukosa, pilihannya adalah menggunakan NaCl 0,9% dan
ringerfundin. Tidak dianjurkan menggunakan RL karena osmolaritasnya 273
mOsm/L, RL merupakan cairan hipoosmoler.
Setelah melakukan operasi pasien masuk kamar ICU dan mendapatkan
terapi dexametason, cairan NS, ranitidine, santagsik dan kalnex. Ranitidin
digunakan dengan tujuan terapi pencegahan terhadap stress ulcer, hal ini perlu
dilakukan agar tidak menyebabkan terjadinya perforasi pada lapisan mukosa.
Sebagai terapi analgesik pascaoperasi diberikan santagesik yang mengandung
metamizol natrium 500mg/ml.
Pada tanggal 19 Desember 2020 pasien dipindahkan di ruang
Bougenville dengan terapi dexametason, cairan NS, ranitidine dan santagsik. Pada
saat visite ke pasien, pasien mengatakan bahwa rasa nyeri sudah berkurang,
sehingga tujuan terapi santagesik telah tercapai.
Pada tanggal 21 Desember 2020 pasien sudah mulai diganti dengan
terapi per oral meliputi santagesik tablet dengan frekuensi 3 kali sehari 1 tablet
dan ranitidine tablet dengan frekuensi 2 kali sehari satu tablet. Pada tanggal 22
Desember 2020, telah mendapatkan persetujuan dari dokter bahwa telah
dinyatakan membaik dan bia pulang dengan diagnose post exici tumor otak.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Terapi yang diberikan pada pasien bedah meningioma telah sesuai, kecuali
pada pemberian asam traneksamat pada terapi pascabedah kraniotomi
perlu dipertimbangkan kembali, mengingat efek samping yang dapat
timbul karena pemberian asam traneksamat.
2. Rekomendasi pemberian asam traneksamat diberikan sebelum operasi
untuk meminimalkan terjadinya pendarahan berlebih ketika operasi.
B. Saran
1. Perlu dilakukan pengkajian terhadap pemberian asam traneksamat
pascabedah meningioma
2. Perlu dilakukan monitoring efek samping potensial dari masing-masing
terapi
60
61
DAFTAR PUSTAKA
99(1):68–74
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015.
Peraturan Menteri Kesehatan RI. No. 27 Tahun 2017. Pedoman Pencegahan Dan
Disusun Oleh :
62
BAB I
PENDAHULUAN
A. COVID=19
1. DEFINISI
Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan
penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis
coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat
menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome
(MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang belum pernah
diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab COVID-19 ini
dinamakan Sars-CoV-2
Pada setiap pasien yang dirawat dengan COVID-19, dilakukan
penilaian apakah memerlukan tromboprofilaksis dan tidak terdapat kontra
indikasi pemberian antikoagulan. Pemberian antikoagulan profilaksis pada
pasien COVID 19 derajat ringan harus didasarkan pada penilaian dokter
yang merawat dengan menimbang faktor-faktor risiko trombosis pada
pasien tersebut.
Pemberian antikoagulan profilaksis pada pasien COVID 19 derajat
ringan harus didasarkan pada penilaian dokter yang merawat dengan
menimbang faktor-faktor risiko trombosis pada pasien tersebut.
63
64
Meningkat
Pemanjangan PT ≥ 6 detik
1 ≥3 detik, <6 detik
Fibrinogen (g/mL)
Total skor
< 5 Non-overt DIC
5. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas,
mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia
berat, ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong
ringan atau sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan sebanyak 6,1%
pasien jatuh ke dalam keadaan kritis. Berapa besar proporsi infeksi
asimtomatik belum diketahui.21 Viremia dan viral load yang tinggi dari
swab nasofaring pada pasien yang asimptomatik telah dilaporkan.56Gejala
ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran napas atas
tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau
67
6. TATALAKSANA
a. Tromboprofilaksis
Pada setiap pasien COVID-19 sedang hingga berat yang dirawat di
rumah sakit jika tidak terdapat kontraindikasi (absolut / realtif) pada
pasien (perdarahan aktif, riwayat alergi heparin atau heparin-induced
thrombocytopenia, Riwayat perdarahan sebelumnya, gangguan hati
berat) dan jumlah trombosit > 25.000/mm3, maka pemberian
antikoagulan profilaksis dapat dipertimbangkan. Antikoagulan tersebut
dapat berupa heparin berat molekul rendah (low molecular-weight
heparin/LMWH) dosis standar 1 x 0,4 cc subkutan atau unfractionated
heparin (UFH) dosis 2 x 000 unit sehari secara subkutan. Dosis
profilaksis intermediate (enoxaparin 2 x 0,4 cc, low-intensity heparin
infusion) dapat dipertimbangkan pada pasien kritis (critically-ill).
Penilaian risiko perdarahan juga dapat menggunakan skor
IMPROVE (Tabel 8). Sebelum memberikan antikoagulan harus
dievaluasi kelainan sistem/organ dan komorbiditas untuk menilai risiko
terjadinya perdarahan maupun jenisnya.
Profilaksis dengan fondaparinux dosis standar juga dapat
dipertimbangkan pada pasien COVID-19 yang dirawat, tapi pada
kondisi pasien COVID-19 yang kritis tidak menjadi pilihan utama
karena pada kondisi pasien yang tidak stabil sering didapatkan
gangguan ginjal.
7. TERAPI
a. Favipiravir (FAVI)
76
d. Antibiotik
WHO menganjurkan pemberian antibiotik pada kasus covid-19
yang berat dan tidak menganjurkan pemberian antibiotik rutin pada
77
e.N-Asetilsistein
Infeksi SARS-CoV-2 atau COVID-19 berhubungan dengan
ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang mengakibatkan
inflamasi dan kerusakan jaringan. Glutation merupakan antioksidan
yang banyak ditemukan di tubuh dan berperan dalam melindungi sel
dari stres oksidatif. Nasetilsistein (NAC), yang sering digunakan
sebagai obat mukolitik, memiliki sifat antioksidan secara langsung
maupun secara tidak langsung melalui pelepasan gugus sistein sebagai
senyawa prekursor dalam proses sintesis glutation. Berbagai penelitian
sebelumnya, data awal penelitian terhadap COVID-19 dan ulasan
patofisiologis mengarahkan bahwa sifat antioksidan N-asetilsistein
dapat bermanfaat sebagai terapi dan/atau pencegahan COVID-19. Uji
klinis NAC pada COVID19 masih sangat terbatas. Dosis yang
digunakan adalah di atas/sama dengan 1200 mg per hari oral ataupun
intravena, terbagi 2-3 kali pemberian.
Terdapat 1 uji klinis oleh de Alencar dkk yang menilai efektivitas
NAC sebagai profilaksis gagal napas pada pasien COVID-19 dengan
distress pernapasan akut berat. Hasil menunjukkan tidak ada perbedaan
bermakna pada kebutuhan ventilasi mekanik, angka kematian, masuk
ICU, lama perawatan di ICU, dan lama perawatan di RS. Beberapa studi
klinis fase 2 dan 3 lainnya sedang berjalan dan hasilnya baru didapat
sekitar tahun 2021.
f. Kolkisin
Saat ini terdapat beberapa penelitian yang berusaha menilai
efektivitas kolkisin untuk COVID-19. Ada beberapa hipotesis
mekanisme kerja dari kolkisin pada COVID-19, diantaranya adalah (1)
menghambat ekspresi E-selectin dan L-selecin (mencegah perlekatan
netrofil di jaringan); (2) mengubah struktur sitoskeleton netrofil
(mengganggu proses perpindahan netrofil); (3) menghambat NLRP3
inflammasom (mengambah badai sitokin); dan (4) mengambat netrofil
elastase (mencegah aktivasi / agregasi platelet).
79
Troponin, tinggi
IL6, k/p NT (HFNC)
proBNP,
XRay
Thorax (k/p
CT scan)
Berat DPL, PCR, Favipiravir Kortikosteroid, Vitamin Plasma
seri ATAU antiinterleukin-6 C konvalesen
AGD, GDS, Remdesivi Vitamin s,
SGOT/ r D sel punca
SGPT, Vitamin
Ureum, E IVIG
Kreatinin, HFNC/
DDimer, Ventilator
Kritis Ferritin, Favipiravir Kortikosteroid, Vitamin Sel punca
Troponin, ATAU antiinterleukin-6 C
IL6, k/p NT Remdesivi Vitamin IVIG
proBNP, k/p r D Ventilator/
CK-CKMB, Vitamin ECMO
CT scan E
BAB II
STUDI KASUS
2. DIAGNOSIS
Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS/UAP) dan infark
miokard non ST elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan
angina tipikal yang dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik,
dengan atau tanpa peningkatan marka jantung. Jika marka jantung
meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI; jika tidak meningkat,
diagnosis mengarah UAP.
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam
diagnosis NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut
akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T
untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan kriteria lain
yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI
ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit melampaui nilai
normal Kadar troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di
dalam darah perifer 3 – 4 jam setelah infark dan menetap sampai
2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang
dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini
84
prekordial T >1 mm
4. TERAPI
Pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko tinggi dan
dianggap memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria berikut ini:
• Nyeri dada tidak berulang
• Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung
• Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada
jam ke-6 hingga 9)
• Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam
ke-6 hingga • Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible
ischemia)
b) Nitrat.
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel
kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari
nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun
yang mengalami aterosklerosis.
- Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase
akut dari episode angina
- Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut
sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal
3 kali pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat
intravena jika tidak ada indikasi kontra (Kelas I-C).
- Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal
jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI.
Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi
pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta
atau angiotensin converting enzymes inhibitor
- Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90
mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50
kali permenit),
Nitrat Dosis
Isosorbid Sublingual 2,5–15 mg (onset 5 menit)
dinitrate Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis
(ISDN)
Intravena 1,25-5 mg/jam
d) Antiplatelet
Antiplatelet Dosis
Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis pemeliharaan 75-100 mg
Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90 mg/hari
C. TRANSAMINITIS
1. Definisi
Transaminitis adalah peningkatan enzim transaminase. Enzim
Transaminase atau disebut juga enzim aminotransferase adalah enzim
yang mengkatalisis reaksi transaminasi. terdapat dua jenis enzim serum
transaminase yaitu serum glutamate oksaloasetattransaminase dan serum
glutamat piruvat transaminase .Pemeriksaan SGPT adalah indikator yang
92
2. Epidemiologi
Peningkatan kadar transaminase (SGOT dan SGPT) dikenal
sebagai transaminitis atau hipertransaminase. SGOT dan SGPT merupakan
kedua enzim yang biasanya diperiksakan bila ada kecurigaan kelainan
pada organ liver/hati. Peningkatan kadar transaminase dapat disebabkan
karena:
a. Viral hepatitis
b. Fatty liver
93
3. Diagnosis
4. Terapi
Penanganan yang diberikan biasanya bersifat hepatoprotektor
(melindungi fungsi hati), obat-obat pengurang nyeri, obat antivirus,
penghentian obat-obatan yang dapat menyebabkan peningkatan SGOT &
SGPTSebagian besar peningkatan SGOT dan SGPT biasanya dapat turun
kembali normal bila penyebab seperti infeksi telah ditangani. Biasanya
dokter akan melakukan pemeriksaan fungsi hati secara serial (diulang
beberapa kali dalam jangka waktu tertentu).
95
A. Data Pasien
Nama TN . E
Umur 52 Tahun
B. Data Klinik
97
C. Data Laborat
Pemeriksaan 09-Dec 10-Dec 11-Dec 12-Dec 13-Dec 14-Dec 15-Dec 16-Dec 17-Dec 18-Dec 19-Dec 20-Dec
WBC 13.6x10'3 3/uL
hs Troponin 2,0 ng/L
D-Dimer 553,66 ng/mL 248,01 ng/mL
HBs Ag Non Reaktif
HIV Rapid 1 Non Reaktif
ANTI HCV Non Reaktif
SGOT 23
SGPT 92
IgG Non Reaktif
IgM Reaktif
K+ 4,05 mmol/L
Na+ 132 mmol/L
Clorida 106 mmol/L
Ureum 38 mg/dL
Creatinin 1,41 mg/dL
SGOT 127 U/L
SGPT 232 U/L
Hb 14,9 ribu/uL
Leukosit 13,16 ribu/ul
Trombosit 126 ribu/ul
P.C.V 42,7 %
GDA 100 mg/dl
ECG abnormal
Thorax Cardiomegali
PCR SARS COV=2 Positif positif
Nama regime rut 9/1 10/ 11/ 12/ 13/ 14/ 15/ 16/ 17/ 18/ 1
obat n e 2 12 12 12 12 12 12 12 12 12 9/
1
2
PZ 500 inf √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
OMZ 1x40 IV √
mg
NE 0,05-2 dri √
p
Ceftri 2x1 gr IV √ √ √ √ √
Sotati 3x30 IV √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
c mg
Lesich 1x300 po √ √ √ √ √ √
ol
Curcu 3x1 po √ √ √ √ √ √
ma
Vit C 3x1gr IV √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Dexa 3x1 IV √ √ √ √ √ √ √ √
m
Zinc 1x20m po √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
g
NAC 1x200 IV √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
mg
Aviga 2x600 po √ √ √ √ √ √ √ √
n mg
Simva 1x20m po √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
st g
Arixtr 1x1 IM √ √ √ √ √ √
a
99
Santag 3x1 iv √ √ √ √ √ √ √ √ √
Lanso 1x30m iv √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
p g
CPG 1x75m po √ √ √ √ √ √
g
Oselta 2x75m po √ √ √
m g
Vit C/ 2x500 po √
NAC mg
OMEPRAZOLE
100
101
FAVIPIRAVIR
Favipiravir merupakan obat pertama yang disetujui oleh pemerintah China
sebagai terapi COVID-19 di China. Favipiravir bekerja sebagai penghambat
selektif RNA-dependent RNA polymerase (RdRp), yang merupakan salah satu
enzim yang digunakan untuk transkripsi dan replikasi genom RNA virus.
Dengan demikian, favipiravir memiliki potensi untuk menghambat replikasi
dari berbagai jenis virus RNA, dan dapat dikatakan memiliki potensi sebagai
antivirus dengan spektrum luas.
Dosis favipiravir yang diberikan adalah 1.600 mg dua kali sehari pada hari
pertama dilanjutkan 600 mg dua kali sehari pada hari ke-2 sampai ke-14.
(setiadi dkk, Tata Laksana Terapi Pasien dengan COVID-19, 2020)
102
FONDAPARINUX
Farmakodinamik
Mekanisme Aksi : Aktivitas antitrombotik natrium fondaparinux adalah hasil
inhibisi selektif antitrombin III (ATIII) dari Faktor Xa. Dengan mengikat secara
selektif ATIII, natrium fondaparinux berpotensi (sekitar 300 kali) menetralisasi
bawaan Factor Xa bawaan oleh ATIII. Netralisasi Faktor Xa mengganggu
koagulasi darah kaskade dan dengan demikian menghambat pembentukan trombin
dan pengembangan trombus. Natrium Fondaparinux tidak menonaktifkan trombin
(Faktor II yang diaktifkan) dan tidak memiliki efek yang diketahui pada fungsi
trombosit. Pada dosis yang dianjurkan, natrium fondaparinux tidak mempengaruhi
fibrinolitik aktivitas atau waktu berdarah. Fibrinolitik aktivitas atau waktu
berdarah.
Farmakodinamik / farmakokinetik Natrium fondaparinux adalah Berasal dari
konsentrasi plasma fondaparinux yang diukur via aktivitas anti-Factor Xa. Hanya
fondaparinux yang dapat digunakan untuk mengkalibrasi uji anti-Xa. (Standar
internasional heparin atau LMWH tidak sesuai untuk penggunaan ini.) Akibatnya,
aktivitas natrium fondaparinux diekspresikan sebagai miligram (mg) dari
kalibrator fondaparinux. Aktivitas anti-Xa obat meningkat dengan meningkatkan
konsentrasi obat, mencapai nilai maksimum sekitar 3 jam.
103
Distribusi :
Pada orang dewasa sehat, pemberian natrium fondaparinux secara intravena atau
subkutan didistribusikan terutama dalam darah dan hanya sebagian kecil pada
cairan ekstravaskular yang dibuktikan oleh steady state dan non-steady state jelas
volume distribusi 7-11 L. Secara in vitro, natrium fondaparinux (setidaknya 94%)
dan secara khusus terikat pada antitrombin III (ATIII) dan tidak mengikat secara
signifikan protein plasma lainnya (termasuk faktor platelet Factor 4 [PF4]) atau
sel darah merah
Metabolisme :
Metabolisme in vivo dari fondaparinux belum diteliti sejak dari mayoritas
pemberian dosis, dieliminasi dan tidak mengalami perubahan dalam urin pada
individu dengan fungsi ginjal normal
CLOPIDOGREL
Adsorbsi
Clopidogrel cepat diabsorbsi setelah pemberian per oral, dengan konsetrasi
puncak tercapai satu jam setelah pemberian. Makanan tidak mempengaruhi
absorbsi dariclopidogrel. Inhibisi platelet terjadi 2 jam setelah pemberian oral
dosis tunggalclopidogrel, tetapi onset of action nya lambat, untuk itu dibutuhkan
loading dosis 300 – 600 mg
104
Distribusi
Clopidogrel dan metabolit utamanya berikatan secara reversible dengan
proteinplasma sebesar 98% dan 94%
Metabolisme
Secara farmakokinetik dijelaskan bahwa Clopidogrel merupakan prodrug
Didalam hati, Clopidogrel dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 CYP2C19
menjadi 2-oxo-clopidogrel yang merupakan metabolit yang aktif. Metabolit aktif
2-oxo-clopidogrelakan mengalami hidrolisis menjadi asam karboksilat yang
merupakan metabolit yangtidak aktif. Metabolit aktif atau bentuk 2-oxo-
clopidogrel akan berikatan secara kuatpada reseptor ADP di trombosit, sehingga
metabolit ini tidak terdeteksi di plasma
Eliminasi
Setelah pemberian per oral clopidogrel, sekitar 50% akan diekskresikan
melaluiurin dan sekitar 46% melalui feses
SIMVASTATIN
Farmakodinamik
Simvastatin merupakan obat golongan statin yang menghambat aktivitas enzim 3-
hidroksi-3-metilglutaril koenzim A reduktase (HMG CoA) di hati. Inhibisi enzim
HMG CoA ini akan menyebabkan penurunan kadar kolesterol total dan
meningkatkan pembentukan reseptor LDL di permukaan sel hepatosit sehingga
terjadi peningkatan transport LDL dari pembuluh darah ke sel hati.
Mekanisme kerja simvastatin tersebut akan menyebkan penurunan kadar LDL
dalam darah. Penurunan ini bergantung pada dosis yang digunakan, namun
berkisar antara 26-30% (penggunaan 10 mg/hari) hingga 36-40% (penggunaan 40
mg/hari)
Obat golongan statin juga diketahui memiliki potensi efek kardioprotektif seperti
perbaikan fungsi endotel melalui peningkatan produksi oksida nitrat, penurunan
105
risiko penyakit jantung koroner dan kadar CRP (C-reactive protein), dan
penurunan kerentanan lipoprotein terhadap proses oksidasi Farmakokinetik
Absorbsi
Setelah dikonsumsi secara oral, simvastatin akan diserap oleh usus dengan tingkat
penyerapan yang bervariasi (30-85%). Kadar statin dalam plasma meningkat
antara 1-4 jam setelah konsumsi oral dan waktu paruh plasma simvastatin hanya
12 jam, lebih pendek dibandingkan obat statin lainnya yang lebih poten seperti
atorvastatin dengan waktu paruh plasma 20 jam.
Distribusi
95% simvastatin dalam plasma berikatan dengan protein.
Metabolisme
Simvastatin merupakan prodrug yang akan diubah di hati menjadi bentuk asam β-
hidroksi (asam simvastatin). Setelah metabolisme lintas pertama di hati, hanya 5-
30% dosis statin dan metabolit turunannya yang bertahan di peredaran darah
sistemik.
Ekskresi
Di hati, sebagian besar statin akan diubah oleh enzim hati dan metabolit
turunannya akan diekskresikan 80% oleh hati dan dieliminasi melalui feses.13%
dari simvastatin dan metabolit turunannya dieliminasi melalui ginjal sehingga
perlu pertimbangan penyesuaian dosis pada pasien yang memiliki gangguan
fungsi ginjal
106
A. Analisis Terapi Covid-19
S KU cukup , GCS 456 , mual , muntah
O PCR positif tgl 9 /12 dan 18 / 12
A Favipiravir dosis dan lama pemberian tidak tepat
Swab tgl 18 masih +
Dexamethason ?
P Pemantauan kadar Ur Cr ,
107
108
D. Terapi Lain
Ceftriaxone : S : Riwayat demam ,
O : WBC 13.6x10'3 3/uL
A : Penggunaan AB empiris maksimal 5 hari
P : Pemantauan WBC dan gejala infeksi
Norepinefrin
Hipotensi awal masuk IGD , 68/50 mmHg . Dosis 0,05 – 2 μg/ kgBB drip
Dihentikan ketika TD sudah normal
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1) Penggunaan favipiravir tidak sesuai (Dosis favipiravir yang diberikan
adalah 1.600 mg dua kali sehari pada hari pertama dilanjutkan 600 mg
dua kali sehari pada hari ke-2 sampai ke-14 )
2) Penggunaan Hepatoprotektor untuk transaminitis sudah tepat
3) Penggunaan metoclopramide injeksi sudah tepat, disesuaikan dengan
hasil pemeriksaan fisik ( stop tgl 18 , gejala mual sudah hilang)
4) Penggunaan antibiotik Empiris sesuai , ASO 5 hari . Tanpa pemeriksaan
ulang WBC , kondisi membaik.
5) Terapi UAP sudah sesuai . Pemberian arixtra ( fondaparinux ) selama 5
hari dengan monitoring pendarahan . Pemeriksaan ulang D-dimer
sebelum dan pemberian antikoagulan .
B. Saran
1) Saran untuk dilakukan cek kembali darah lengkap
LAPORAN KASUS FARMASI KLINIK
COVID, PNEUMONIA, ISK DAN HIPERTENSI
Disusun Oleh:
110
BAB I
PENDAHULUAN
A. Definisi Penyakit
1) Covid – 19
Berdasarkan Panduan Surveilans Global WHO untuk novel Corona-
virus 2019 (COVID-19) per 20 Maret 2020, definisi infeksi COVID-19
ini diklasifikasikan sebagai berikut (WHO, corona virus 2019):
I. Kasus Terduga (suspect case)
a. Pasien dengan gangguan napas akut (demam dan setidaknya
satu tanda/gejala penyakit pernapasan, seperti batuk, sesak
napas), DAN riwayat perjalanan atau tinggal di daerah yang
melaporkan penularan di komunitas dari penyakit COVID-19
selama 14 hari sebelum onset gejala; atau
b. Pasien dengan gangguan napas akut DAN mempunyai kontak
dengan kasus terkonfirmasi atau probable COVID-19 dalam 14
hari terakhir sebelum onset; atau
c. Pasien dengan gejala pernapasan berat (demam dan setidaknya
satu tanda/gejala penyakit pernapasan, seperti batuk, sesak napas
DAN memerlukan rawat inap) DAN tidak adanya alternatif
diagnosis lain yang secara lengkap dapat menjelaskan presentasi
klinis tersebut.
II. Kasus probable (probable case)
a. Kasus terduga yang hasil tes dari COVID-19 inkonklusif; atau
b. Kasus terduga yang hasil tesnya tidak dapat dikerjakan karena
alasan apapun.
III. Kasus terkonfirmasi yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
laboratorium infeksi COVID-19 positif, terlepas dari ada atau
tidaknya gejala dan tanda klinis.
111
112
2) Pneumonia
Istilah pneumonia menggambarkan keadaan paru apapun, tempat
alveolus biasanya terisi dengan cairan dan sel darah (Gyuton, 1996).
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai parenkim paru,
distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius
dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat (Dahlan, 2014).
Pneumonia adalah keradangan pada parenkim paru yang terjadi pada
masa anak-anak dan sering terjadi pada masa bayi (Hidayat, 2006).
Pneumonia pada anak merupakan masalah yang umum dan menjadi
penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia (Gessman, 2009).
Gambar I. 1 Pneumonia
Klasifikasi Pneumonia (Walker R & Whittlesca C, 2012)
Terdapat beberapa klasifikasi Pneumonia berdasarkan letak terjadi
dan cara didapatnya :
a. Community-acquired Pneumonia (CAP), adalah Pneumonia pada
masyarakat, yang terjadi melalui inhalasi atau aspirasi mikroba
patogen ke paru-paru (lobus paru). Penyebabnya 85% disebabkan oleh
Streptococcus pneumonia, Haemophylus influenzae, dan Moraxella
catarrhalis.
b. Hospital-acquired Pneumonia (HAP) atau Health care-associated
Pneumonia (HCAP), adalah pneumonia yang muncul setelah 48 jam
dirawat di rumah sakit atau fasilitas perawatan kesehatan lainnya,
dengan tanpa pemberian intubasi tracheal. Pneumonia terjadi karena
113
B. Epidomiologi
1) Covid-19
Hingga 28 Maret 2020, jumlah kasus infeksi COVID-19
terkonfirmasi mencapai 571.678 kasus. Awalnya kasus terbanyak
terdapat di Cina, namun saat ini kasus terbanyak terdapat di Italia dengan
86.498 kasus, diikut oleh Amerika dengan 85.228 kasus dan Cina 82.230
kasus. Virus ini telah menyebar hingga ke 199 negara. Kematian akibat
virus ini telah mencapai 26.494 kasus. Tingkat kematian akibat penyakit
ini mencapai 4-5% dengan kematian terbanyak terjadi pada kelompok
usia di atas 65 tahun. Indonesia melaporkan kasus pertama pada 2 Maret
2020, yang diduga tertular dari orang asing yang berkunjung ke
Indonesia. Kasus di Indonesia pun terus bertambah, hingga tanggal 29
Maret 2020 telah terdapat 1.115 kasus dengan kematian mencapai 102
jiwa. Tingkat kematian Indonesia 9%, termasuk angka kematian tertinggi
(World Health Organization. Coronavirus disease 2019)
Berdasarkan data yang ada umur pasien yang terinfeksi COVID-19
mulai dari usia 30 hari hingga 89 tahun. Menurut laporan 138 kasus di
Kota Wuhan, didapatkan rentang usia 37–78 tahun dengan rerata 56
tahun (42-68 tahun) tetapi pasien rawat ICU lebih tua (median 66 tahun
(57-78 tahun) dibandingkan rawat non-ICU (37-62 tahun) dan 54,3%
laki-laki. Laporan 13 pasien terkonfirmasi COVID-19 di luar Kota
Wuhan menunjukkan umur lebih muda dengan median 34 tahun (34-48
tahun) dan 77% laki-laki (World Health Organization. Coronavirus
disease 2019).
116
2) Pneumonia
Pneumonia merupakan suatu penyakit yang terjadi pada semua
tempat di dunia.Merupakan salah satu kasus terbesar penyebab kematian
pada semua kelompokumur.Pada anak-anak,mayoritas penyebab
kematian yang terjadi pada saat kelahiran. Dengan lebih dari 2 juta
kematian dalam setahun meliputi seluruh dunia. Organisasi kesehatan
dunia (WHO) memperkirakan 1 dari 3 kelahiran bayi meninggal akibat
pneumonia. Kematian akibat pneumonia umumnya berkurang pada umur
masa dewasa. Orang lanjut usia kadang-kadang ada resiko khusus
terhadap pneumonia dan dihubungkan dengan kematian. Lagi pula kasus
pneumonia terjadi selama musim dingin daripada waktu lain sepanjang
tahun. Pneumonia biasanya sering terjadi pada laki-laki dari pada wanita,
dan seringkali pada orang kulit hitam. Individu dengan penyakit utama
seperti penyakit alzheimer’s,fibrosis kistik, emphysema, perokok
tembakau ,alkoholisme atau masalah dengan sistem imun menambah
resiko terjadinya pneumonia. Individu-individu ini juga mungkin dapat
terjadi pneumonia yang berulang (Fransisca.2009).
3) Hipertensi
Hampir 1 milyar orang diseluruh dunia memiliki tekanan darah
tinggi. Hipertensi adalah salah satu penyebab utama kematian dini
diseluruh dunia. Di tahun 2020 sekitar 1,56 miliar orang dewasa akan
hidup dengan hipertensi. Hipertensi membunuh hampir 8 miliyar orang
setiap tahun di dunia dan hampir 1,5 juta orang setiap tahunnya di
kawasan Asia Timur-Selatan. Sekitar sepertiga dari orang dewasa di Asia
Timur-Selatan menderita hipertensi (WHO, 2015).
Prevalensi hipertensi meningkat sejalan dengan perubahan gaya
hidup seperti merokok, obesitas, aktivitas fisik, dan stres psikososial.
Hipertensi sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat (public health
problem) dan akan menjadi masalah yang lebih besar jika tidak
ditanggulangi sejak dini. Pengendalian hipertensi, bahkan di negara maju
pun, belum memuaskan. (Depkes RI, 2007).
117
C. Etiologi
1) Covid-19
Pada awalnya diketahui virus ini mungkin memiliki kesamaan
dengan SARS dan MERS CoV, tetapi dari hasil evaluasi genomik isolasi
dari 10 pasien, didapatkan kesamaan mencapai 99% yang menunjukkan
suatu virus baru, dan menunjukkan kesamaan (identik 88%) dengan
batderived severe acute respiratory syndrome (SARS)-like coronaviruses,
bat-SL-CoVZC45 dan bat-SLCoVZXC21, yang diambil pada tahun 2018
118
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder yang penyebabnya sudah di ketahui,
umumnya berupa penyakit atau kerusakan organ yang berhubungan
dengan cairan tubuh, misalnya ginjal yang tidak berfungsi,
pemakaiyan kontrasepsi oral, dan terganggunya keseimbangan
hormon yang merupakan faktor pengatur tekanan darah. Dapat
disebabkan oleh penyakit ginjal, penyakit endokrin, dan penyakit
jantung.
4) Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Pada keadaan normal urin adalah steril. Umumnya ISK disebabkan
oleh kuman gram negative. Escherichia coli adalah penyebab paling
umum dari infeksi saluran kemih, terhitung sekitar 80-90% kasus. E coli
bersumber dari flora fecal yang berkolonisasi ke daerah periuretra
sehingga menyebabkan infeksi menaik. Patogen lain adalah sebagai
berikut: Klebsiella pneumoniae (5%); Proteus mirabilis (5%);
Enterobacter species (3%); Staphylococcus saprophyticus (2%); Group B
betahemolytic Streptococcus (GBS; 1%); Proteus species (2%) (Johnson,
2014).
Perubahan fisiologis pada ibu hamil yang berkaitan dengan ISK
terjadi pada kehamilan usia enam minggu, oleh karena adanya perubahan
fisiologis yaitu ureter ibu hamil menjadi dilatasi. Hal ini juga disebut
sebagai hidronefrosis kehamilan dimana memuncak pada kehamilan
minggu ke-22 hingga ke-26 dan berlangsung sampai saatnya kelahiran.
Peningkatan progesteron dan estrogen saat hamil juga menyebabkan
penurunan tonus ureter dan kandung kemih. Peningkatan volume plasma
semasa hamil menyebabkan penurunan konsentrasi urin dan peningkatan
volume urin dalam ginjal. Kombinasi dari seluruh faktor ini
mengakibatkan terjadinya stasis urinari dan uretero-vesikel refluks.
Glikosuria dalam kehamilan juga salah satu faktor terpenting yang
menyebabkan ibu hamil mudah untuk terkena ISK (Emiru et. al., 2013).
121
D. Patofisiologi
1) Covid-19
Kebanyakan coronavirus menginfeksi hewan dan bersirkulasi di
hewan. Coronavirus menyebabkan sejumlah besar penyakit pada hewan
dan kemampuannya menyebabkan penyakit berat pada hewan seperti
babi, sapi, kuda, kucing dan ayam. Coronavirus disebut dengan virus
zoonotic yaitu virus yang ditransmisikan dari hewan kemanusia. Banyak
hewan liar yang dapt membawa patogen dan bertindak sebagai vector
untuk penyakit menular tertentu. Kelelawar, tikus bamboo, unta dan
musang merupakan sumber utama untuk kejadian severe acute
respiratorysyndrome (SARS) dan middle east respiratory syndrome
(MERS) (PDPI, 2020).
Coronavirus hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-nya.
Virus tidak bisa hidup tanpa sel host. Berikut siklus dari coronavirus
setelah menemukan sel hostnya sesuai tropismenya. Pertama,
penempelan dan masuk virus ke sel host diperantarai oleh protein S yang
ada dipermukaan virus. Pada studi SARS-CoV protein S berikatan
dengan reseptor di sel host yaitu enzim ACE-2 (angiotensin-converting
enzyme 2). ACE-2 dapat ditemukan pada mukosa oral dan nasal,
nasofaring, paru, lambung, usus halus, usus besar, kulit, timus, sumsum
tulang, limpa, hati, ginjal, otak, sel epitel alveolar paru, sel enterosit usus
halus, sel endotel arteri vena, dan sel otot polos. Setelah berhasil masuk
selanjutnya translasi replikasi gen dan RNA genom virus. Selanjutnya
replikasi dan transkripsi dimana sintesis virus RNA melaui translasi dan
perakitan dari kompleks replikasi virus. Tahap selanjutnya adalah
perakitan dan rilis virus.
Setelah terjasi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas
kemudian berreplikasi di sel epitel saluran napas atas (melakukan siklus
hidupnya). Setelah itu menyebar ke saluran napas bawah. Pada infeksi
akut akan terjadi peluruhan virus dari saluran napas dan virus dapat
berlanjut meluruh beberapa waktu di sel gastrointestinal setelah
122
2) Pneumonia
Penyebab pneumonia dapat virus, bakteri, jamur, protozoa, atau
riketsia, pneumonitis hipersensitivitas dapat menyebabkan penyakit
primer. Pneumonia terjadi akibat aspirasi. Pada klien yang diintubasi,
kolonisasi trakhea dan terjadi mikroaspirasi sekresi saluran pernapasan
atas yang terinfeksi. Tidak semua kolonisasi akan mengakibatkan
pneumonia. Mikroorganisme dapat mencapai paru melalui beberapa
jalur:
a. Ketika individu yang terinfeksi batuk, bersin, atau berbicara,
mikroorganisme dilepaskan ke dalam udara dan terhirup oleh orang
lain.
b. Mikroorganisme dapat juga terinpirasi dengan aerosol (gas nebulasi)
dari peralatan terapi pernapasan yang terkontaminasi.
c. Pada individu yang sakit atau hygiene giginya buruk, flora normal
orofaring dapat menjadi patogenik.
d. Staphylococcus dan bakteri gram-negatif dapat menyebar melalui
sirkulasi dari infeksi sistemik, sepsis, atau jarum obat IV yang
terkontaminasi (Asih & Effendy, 2004).
3) Hipertensi
Hipertensi dapat terjadi karena penyebab spesifik (hipertensi
sekunder) atau dari etiologi yang tidak diketahui (hipertensi primer atau
esensial). Hipertensi sekunder (<10% kasus) biasanya disebabkan oleh
penyakit ginjal kronis (CKD) atau penyakit renovaskular. Kondisi lain
adalah sindrom cushing, sleep apnea, obstruktif, hiperparatiroidisme,
feokromositoma, aldosteronisme primer, dan hipertiroid. Beberapa obat
yang dapat meningkatkan TD termasuk kortikosteroid, estrogen, obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID), amfetamin, sibutramine, siklosporin,
takrolimus, eritropoietin, dan venlafaxine.
123
E. Manifestasi Klinis
1) Covid-19
Infeksi covid-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang atau
berat. Gejala klinis utama yang muncul yaitu demam (suhu>38oC), batuk
dan kesulitan bernafas. Selain itu dapat disertai dengan sesak memberat,
fatigue, myalgia, gejala gastrointestinal seperti diare dan gejala saluran
napas lain. Setengah dari pasien timbul sesak dalam satu minggu. Pada
kasus berat perburukan secara cepat dan progresif, seperti ARDS, syok
septic, asidosis metabolic yang sulit dikoreksi dan perdarahan atau
disfungsi system koagulasi dalam beberapa hari. Pada beberapa pasien,
gejala ynag muncul ringan, bahkan tidak disertai dengan demam.
Kebanyakan pasien memiliki prognosis baik, dengan Sebagian kecil
dalam kondisi kritis bahkan meninggal. Barikut sindrom klinis yang
dapat muncul jika terinfeksi. Berikut sindrom klinis yang dapat muncul
jika terinfeksi (PDPI, 2020)
a. Tidak berkomplikasi
Kondisi ini merupakan kondisi teringan. Gejala yang muncul
merupakan gejala yang tidak spesifik. Gejala utama tetap muncul
seperti demam, batuk, dapat disertai dengan nyeri tenggorok, kongesti
hidung, malaise, sakit kepala dan nyeri otot. Perlu diperhatikan bahwa
pada pasien dengan lanjut usia dan pasien immunocompromises
presentasi gejala menjadi tidak khas atau atipikal. Selain itu, pada
125
b. Pneumonia ringan
Gejala utama dapat muncul seperti demam, batuk, dan sesak.
Namun tidak ada tanda pneumonia berat. Pada anak-anak dengan
pneumonia tidak berat ditandai dengan batuk atau susah bernapas.
c. Pneumonia berat pada pasien dewas
Gejala yang muncul diantaranya demam atau curiga infeksi
saluran napas. Tanda yang muncul yaitu takipnea (frekuensi napas:>
30x/menit), distress pernapasan berat atau saturasi oksigen pasien
<90% udara luar.
2) Pneumonia
Manifestasi klinik dari pneumonia adalah demam, menggigil,
berkeringat, batuk (produktif, atau non produktif, atau produksi sputum
yang berlendir dan purulent), sakit dada karena pleuritis dan sesak.
Sering berbaring pada posisi yang sakit dengan lutut bertekuk karena
nyeri dada.10 Pada pemeriksaan fisik didapati adanya retraksi dinding
dada bagian bawah saat bernafas, tachypneu, meningkat dan menurunnya
taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak akibat terjadi konsolidasi
atau cairan pada pleura, ronchi, suara nafas brochial, dan peural friction
rub (Fauci, Braunwald, Casper dkk, 2012).
Di ruang Intensive Care Unit, infeksi nosokomial khususnya
pneumonia nosokomial lebih sering terjadi dan merupakan infeksi yang
serius, dibandingkan dengan di bangsal rawat inap biasa. Peningkatan
insiden HAP adalah karena penderita pada ICU sering membutuhkan
ventilator mekanik, dan penderita dengan ventilator mekanik sebanyak 6-
21 kali lebih mungkin berkembang menjadi HAP dari pada penderita
dengan non ventilator mekanik (Justin L Ranes. 2010).
3) Hipertensi
126
Nama M. Husni
No RM 273482
Umur 54
BB/TB -
Tgl MRS 3 Desember 2020
Alasan MRS Batuk (+), sesak (+) saat di tes swab hasilnya positif (+)
Diagnosis Covid gejala sedang berat + HT + Pneumonia + ISK
Riwayat Obat IV FD NS 15 tpm, inj antrain 3x1, inj OMZ 2x40 mg,
Drip Vit C 2x500 dalam 100 cc NS, Drip neurobion 1x1
dalam 500 cc NS, inj meropenem, inj dexametason 3x5
mg, inj lovenox, inf NAC, inj curcuma.
Data
Normal 3/12 4/12 5/12 6/12 7/12 8/12 9/12 10/12
Klinik
TD 120/80
150/88 150/83 180/100 172/92 198/109 117/73 111/68 123/81
(mmHg) mmHg
60-100
Nadi
x/ 104 94 94 94 106 114 81 80
(x/menit)
menit
Suhu 36°-37°
36 36 36 37 36 36 36 36
(°C) C
20 – 24
RR
x/ 20 28-30 28-30 30 26 22 29 20
(x/menit)
menit
SpO2 % 88 95-98 94-96 94 96 95 96 94
127
128
Data
Normal 11/12 12/12 13/12 14/12 15/12 16/12
Klinik
TD 120/80
133/81 117/80 113/73 117/85 100/69 107/67
(mmHg) mmHg
60-100
Nadi
x/ 70 96 80 80 66 71
(x/menit)
menit
Suhu 36°-37°
36 36 36 36 36 36
(°C) C
20 – 24
RR
x/ 20 20 20 20 20 20
(x/menit)
menit
SpO2 % 97 98 93 97 97 96
a. Data Laboratorium
Lekosit - 12,05
Trombosit - 284
(3,37-10,0 x
WBC 12,05x103/uL 14 x103/uL
103)/dl
150-
PLT 284x103 305x103/uL
450x103/m3
RBC 4,40-5.90 5,24x106/uL 4,40 x 106/uL
HB 11,7-16.0 16 14,2
HCT 41,3-52,1% 44 43
SGOT P<31 - -
SGPT P<31 - -
Faal Ginjal
129
Ureum 20-45 - -
Kreatinin 0,5-1,5 - -
BUN - -
Elektrolit
NS 15 tpm √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Inj. OMZ 2 x 40mg √ √ √ √ √ √ √ 1x40 1x40 1x40 1x40 1x40 1x40 1x40
Inj. 3 x 1 gr √ √ √ √ √ √ √ - - - - - - -
Meropenem
Inj. 1 x750 √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - - - -
Levofloxacin mg
Drip 1x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - -
130
131
Neurobion
NAC 5 gr/hari √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - -
Zinc 1x20 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Curcuma 2x10 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - - -
(PO)
Isprinol 3 x 500 √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - - - -
(PO)
Avigan 2 x600 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - -
(PO)
132
Captopril 3 x 50 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - - -
(PO)
HCT 1 x 12,5 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 25 25 25
(PO) mg mg mg
Clonidine 2 x 0,15 - - - - √ - - - - - - - - -
(PO)
Vit D 1 x 2000 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Antivir BeTa 1 x 1 √ √ - - - - - - - √ √ √ √ √
Lisinopril 2 x 10 mg - - - - - - - - - - - √ √ √
A. Analisis SOAP
1) Terapi antikoagulan profilaksis
S -
O D-Dimer pada tanggal 3/12 <100
Interaksi antara penggunaan lovenox (enoxaparin) dengan
heparin
A
Penggunaan bersamaan meningkatkan pendarahan fatal pada
pasien
Saran agar penggunaan lovenox dan heparin ini tidak
P
bersamaan
2) Terapi Covid
133
134
3) Terapi Pneumonia
4) Terapi Hipertensi
O
135
5) Terapi ISK
Suhu : 360C
O
WBC : Tgl 3/12 = 12,5 x103/uL
Tgl 7/12 = 14 x 103/uL
HB : Tgl 3/12 = 16
Tgl 7/12 = 14,2
• Nyeri saat buang air kecil belum teratasi, pasien masih
mengeluhkan sakit sat buang air kecil
A
(Tanggal 13/12 pasien masih merasakan nyeri)
• Tidak ada nilai ureum dan kreatinin pasien
P • Pasien telah mendapatkan terapi levofloxacin 1 x 750 mg, dosis
ini sudah mencakup dosis yang digunakan pada regiment
pengobatan ISK
• Monitoring suhu badan, nilai leukosit, nilai elektrolit dan faal
ginjal pasien
• Rekomendasi cek lab faal ginjal untuk mengetahui nilai ureum
136
mencakup dosis yang digunakan pada regiment pengobatan ISK (250 mg).
perlu adanya monitoring suhu badan, nilai leukosit, nilai elektrolit dan faal
ginjal pasien serta merekomendasikan agar pasien melakukan cek lab faal
ginjal untuk mengetahui nilai ureum dan kreatinin pasien.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1) Pemberian Obat kepada pasien Tn.M selama tanggal 03-16 Desember
dengan diagnosa Covid + Pneumonia + HT + ISK sudah tepat dilakukan.
2) Perlu dilakukan monitoring Efek Samping Obat dan pada pasien.
3) Konseling terhadap Pasien dan Keluarga pasien tentang penyakit, cara
penggunaan obat, kepatuhan minum obat, dan efek samping obat.
4) Perlu dilakukan tes kultur antibiotic pada pasien.
5) Perlu adanya cek laboratorium faal ginjal dan hati.
B. Saran
1) Mengedukasi pasien dan keluarga mengenai penyakit yang diderita
pasien.
2) Memberi saran tentang waktu pemberian obat dijam yang berbeda kepada
perawat yang memberikan obat langsung kepasien.
140
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., Sukandar, E. Y. 2008. ISO
Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan: Jakarta
Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta:
Interna Publishing.
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris.
Sukandar, Enday. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid II.
Jakarta:InternaPublishing. 2131- 2138.
141
142
Tessy A, Ardayo, Suwanto. Infeksi salauran kemih dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. h .369
The Eight Joint National Commitee. Evidence based guideline for the
management of high blood pressure in adults-Report from the panel members
appointed to the eightjoint national commitee. 2014.
World Health Organization. Global surveillance for human infection with novel
Coronavirus (2019-nCoV) for-human-infection-with-novelcoronavirus-
( COVID-19)