Anda di halaman 1dari 146

LAPORAN KASUS

FARMASI KLINIS PASIEN

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH NGUDI WALUYO WLINGI
(JL. DOKTER SUCIPTO NO. 5, BERU, KEC.WLINGI, KAB.BLITAR)
PERIODE 7 DESEMBER 2020 – 9 JANUARI 2020

Disusun Oleh:

Dinatur Pratiwi (40119006)


Mailinda Hayanah (40119015)
Sivana Putri Maulita (40119033)
Ulfa Azizatuddiyanah (40119036)

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI


FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER
2020

KATA PENGANTAR

i
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan
Rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker
(PKPA) di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi, untuk memenuhi salah satu persyaratan
guna menyelesaikan Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Institut Ilmu
Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri.
Dalam penulisan laporan ini, penulis tidak terlepas dari bimbingan, arahan,
bantuan serta dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :
1. Dra. Ec. Linawati, MBA, selaku Ketua Yayasan Pendidikan Institut Ilmu
Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri
2. Prof. Dr. Muhamad Zainuddin, Apt selaku rektor Institut Ilmu Kesehatan
Bhakti Wiyata Kediri.
3. Apt. Dewi Resty Basuki selaku Dekan Fakultas Farmasi Institut Ilmu
Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri.
4. Apt. Yogi Bhakti Marhenta, M.Farm selaku Ketua Program Studi Profesi
Apoteker Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri.
5. Apt. Esti Ambar Widyaningrum, M.Farm. selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan waktu, bimbingan, saran, koreksi, dan nasehat dengan penuh
kesabaran hingga selesainya penyusunan laporan ini.
6. Apt. Yunita Dwi Tanti, S.Si., M.Farm. selaku Apoteker Penanggung Jawab
RSUD Ngudi Waluyo Wlingi yang telah memberikan bimbingan dan saran
dalam pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker.
7. Seluruh dosen Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi yang telah
banyak memberikan bekal ilmu, berbagi pengalaman, dan pengetahuan kepada
penulis selama masa studi di Faklutas Farmasi.
8. Seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan, doa, dan semangat kepada
penulis.
9. Seluruh teman – teman Apoteker angkatan I atas semangat, dukungan, dan
kerjasamanya selama ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat
banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun.

ii
Akhir kata, penulis berharap semoga pengetahuan dan pengalaman yang
penulis peroleh selama menjalani Praktek Kerja Profesi Apoteker ini dapat
memberikan manfaat bagi rekan – rekan sejawat dan semua pihak yang
membutuhkan.

Blitar, 9 Januari 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
CVA BLEEDING, HT KRONIS DAN AKI (Acute Kidney Injury)......................1
BEDAH MENINGIOMA......................................................................................37
PEMBERIAN ANTIKOAGULAN PROFILAKSIS PADA PASIEN COVID-19
................................................................................................................................61
COVID, PNEUMONIA, ISK DAN HIPERTENSI.............................................109

iv
LAPORAN KASUS FARMASI KLINIS

CVA BLEEDING, HT KRONIS DAN AKI (Acute Kidney Injury)

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH NGUDI WALUYO WLINGI
(JL. DOKTER SUCIPTO NO. 5, BERU, KEC.WLINGI, KAB.BLITAR)
PERIODE 7 DESEMBER 2020 – 9 JANUARI 2020

Disusun Oleh :

Dinatur Pratiwi (40119006)

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI


FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER
2020

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian
Stroke hemoragik merupakan suatu kondisi gawat darurat, yang
disebabkan oleh pecahnya salah satu pembuluh darah di dalam otak, yang
memicu perdarahan di sekitar otak. Akibatnya, aliran darah pada sebagian
otak berkurang atau terhenti, yang kemudian menyebabkan pasokan oksigen
ke otak berkurang, sehingga memicu kematian sel otak dan dapat
mengganggu fungsi otak secara permanen. Jika perdarahan terjadi di dalam
otak disebut dengan perdarahan intraserebral, sedangkan jika perdarahan
terjadi pada ruang di antara selaput pembungkus otak bagian tengah dan
dalam disebut dengan perdarahan subarachnoid (Halodoc.com,2020)
Stroke terjadi ketika jaringan otak terganggu karena berkurangnya
aliran darah atau oksigen ke sel-sel otak. Terdapat dua jenis stroke yaitu
iskemik stroke dan hemoragik. Stroke iskemik terjadi karena berkurangnya
aliran darah sedangkan stroke yang terjadi karena perdarahan ke dalam atau
sekitar otak disebut stroke hemoragik. Perdarahan yang terjadi pada stroke
hemoragik dapat dengan cepat menimbulkan gejala neurologik karena
tekanan pada struktur saraf di dalam tengkorak. Stroke hemoragik lebih
jarang terjadi dibanding stroke iskemik akan tetapi stroke hemoragik
menyebabkan lebih banyak kematian (Cheung, 2014).
A. Epidemiologi
Stroke merupakan penyakit yang menyebabkan kecacatan tertinggi di
dunia, serta merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit jantung
dan kanker. Menurut American Heart Association (AHA), angka kematian
penderita stroke di Amerika setiap tahunnya adalah 50-100 dari 100.000
orang penderita (Ahmad dan Amir, 2003). Stroke diklasifikasikan menjadi
stroke non hemoragik dan stroke hemoragik. Stroke non hemoragik memiliki
angka kejadian 85% dari seluruh stroke yang terdiri dari 80% stroke
aterotrombotik dan 20% stroke kardioemboli (Basuki dkk, 2010).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 oleh Kementrian Kesehatan
RI, 7% atau sebesar 1.236.825 orang menderita stroke. Jawa Barat merupakan

2
3

provinsi dengan angka kejadian stroke terbanyak di Indonesia, yaitu sebesar


238.001 orang, atau 7,4% dari jumlah penduduknya. Selain itu, penderita
ditemukan paling banyak pada kelompok umur 55-64 tahun.[12] Laki-laki
juga lebih banyak mengidap stroke di Indonesia dibandingkan perempuan.
Menurut Sample Registration System (SRS) Indonesia 2014, Stroke
merupakan penyakit yang paling banyak diderita, yaitu sebesar 21,1%
B. Etiologi
Stroke bisa berupa iskemik atau hemoragik (88% dan 12%,
masing-masing, dari semua stroke di American Heart Association 2006
melaporkan). Sebuah klasifikasi stroke dengan mekanisme diberikan pada
Gambar. 1 stroke hemoragik mencakup perdarahan subarachnoid,
perdarahan intraserebral, dan hematoma subdural. perdarahan
subarachnoid terjadi ketika darah memasuki ruang subarachnoid (mana
cairan serebrospinal bertempat) karena baik trauma, pecahnya aneurisma
intrakranial, atau pecahnya malformasi arteriovenous (AVM). Sebaliknya,
perdarahan intraserebral terjadi ketika darah kapal pecah dalam parenkim
otak itu sendiri, yang mengakibatkan pembentukan hematoma. Jenis
perdarahan yang sangat sering berhubungan dengan tekanan darah tinggi
yang tidak terkontrol dan kadang-kadang antitrombotik atau trombolitik
terapi. Hematoma subdural merujuk untuk koleksi darah di bawah dura
(meliputi otak), dan mereka disebabkan paling sering oleh trauma. Stroke
hemoragik, meskipun kurang umum, secara signifikan lebih mematikan
dibanding stroke iskemik, dengan 30-hari tarif fatalitas kasus yang dua
sampai enam kali lebih tinggi stroke iskemik yang disebabkan baik oleh
pembentukan trombus lokal atau oleh fenomena emboli, sehingga oklusi dari
arteri serebral (Dipiro, 2011).
Aterosklerosis, terutama dari pembuluh darah serebral, adalah penyebab
suatu faktor dalam kebanyakan kasus stroke iskemik, meskipun 30% adalah
kriptogenik. Emboli bisa timbul baik dari arteri intra atau ekstrakranial
(termasuk arkus aorta) atau, seperti yang terjadi di 20% dari semua stroke
iskemik, jantung. emboli kardiogenik dianggap telah terjadi jika pasien
memiliki fibrilasi atrium bersamaan, penyakit jantung katup, atau kondisi lain
4

dari jantung yang dapat menyebabkan pembentukan gumpalan. Membedakan


antara emboli kardiogenik dan penyebab lain dari stroke iskemik adalah
penting dalam menentukan farmakoterapi jangka panjang pada pasien yang
diberikan (Dipiro, 2011).

Gambar 1. Klasifikasi dan Penyebab Stroke

a. Tanda dan Gejala


Kementerian kesehatan mengeluarkan tips mudah mengenali serangan
stroke pada Germas cegah strok 2017. Terdapat penilaian sederhana untuk
stroke adalah “SEGERA KE RS” yaitu:
1. Senyum tidak simetris ,
2. Gerak separuh anggota tubuh melemah tiba-tiba,
3. BicaRa pelo atau tiba-tiba tidak dapat bicara atau tidak mengerti kata
kata/bicara,
4. Kebas atau baal,
5. Rabun,
6. Sakit kepala hebat yang muncul tiba-tiba dan gangguan fungsi
keseimbangan.
5

b. Klasifikasi Stroke Hemoragik (CVA Bleeding)


Stroke dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu stroke iskemik
dan stroke hemoragik. Sekitar 87% stroke merupakan stroke iskemik yang
disebabkan oleh adanya sumbatan pada pembuluh darah arteri yang menuju
ke otak karena atherosklerosis, thrombosis, atau dikarenakan adanya emboli.
Untuk 13% lainnya adalah stroke hemoragik yang disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah yang berada di otak. Stroke hemoragik terbagi menjadi
Perdarahan subarachnoid (SAH), perdarahan intraserebral, dan hematoma
subdural. Angka kejadian stroke hemoragik terbilang lebih kecil, akan tetapi
stroke hemoragik lebih berbahaya jika dibandingkan stroke iskemik (Dipiro,
2015).
Stroke hemoragik merupakan stroke yang disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah yang berada di otak. Otak sangat sensitif terhadap terjadinya
perdarahan, apabila terjadi perdarahan di area otak maka dapat mengganggu
jaringan otak dan jaringan tipis yang melapisi otak yang dapat menyebabkan
pembengkakan dan pembentukan hematoma serta dapat meningkatkan
tekanan pada otak atau terjadinya TIK. Stroke hemoragik terbagi menjadi
perdarahan subarachnoid, perdarahan intracerebral, dan hematoma subdural
(Perdossi, 2011).

Gambar 1.1 Pendarahan di otak yang menyebabkan stroke


C. Patofisiologi
Perdarahan intraserebral terjadi dalam 3 fase, yaitu fase initial
hemorrhage, hematoma expansion dan peri-hematoma edema. Fase initial
hemmorhage terjadi akibat rupturnya arteri serebral. hipertensi kronis, akan
menyebabkan perubahan patologi dari dinding pembuluh darah. Perubahan
patologis dari dinding pembuluh darah tersebut dapat berupa hipohialinosis,
nekrosis fibrin serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Kenaikan tekanan
darah dalam jumlah yang mencolok dan meningkatnya denyut jantung, dapat
6

menginduksi pecahnya aneurisma, sehingga dapat terjadi perdarahan.


Perdarahan ini akan menjadi awal dari timbulnya gejala-gejala klinis (fase
hematoma expansion) (Price & Wilson, 2006).
Pada fase hematoma expansion, gejala-gejala klinis mulai timbul seperti
peningkatan tekanan intracranial. Meningkatnya tekanan intracranial akan
mengganggu integritas jaringan-jaringan otak dan blood brain-barrier.
Perdarahan intraserebral lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya
inflamasi sekunder dan terbentuknya edema serebri (fase perihematoma
edema). Pada fase ini defisit neurologis, yang mulai tampak pada fase
hematoma expansion, akan terus berkembang. Kerusakan pada parenkim
otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan mengakibatkan
peninggian tekanan intracranial dan menyebabkan menurunnya tekanan
perfusi otak serta terganggunya drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah
yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi,
menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya
menjadi lebih tertekan dan defisit neurologis pun akan semakin berkembang.
Ukuran perdarahan akan berperan penting dalam menentukan
prognosis. Perdarahan yang kecil ukurannya akan menyebabkan massa darah
menerobos atau menyela di antara selaput akson massa putih “dissecan
splitting” tanpa merusaknya. Dalam keadaan ini, absorpsi darah akan diikuti
oleh pulihnya fungsi-fungsi neurologi. Sedangkan bila perdarahan yang
terjadi dalam jumlah besar, maka akan merusak struktur anatomi dari otak,
peningkatan tekanan intracranial dan bahkan dapat menyebabkan herniasi
otak pada falx serebri atau lewat foramen magnum. Perdarahan intraserebral
yang yang tidak diatasi dengan baik akan menyebar hingga ke ventrikel otak
sehingga menyebabkan perdarahan intraventrikel. Perdarahan intraventrikel
ini diikuti oleh hidrosefalus obstruktif dan akan memperburuk prognosis.
Jumlah perdarahan yang lebih dari 60 ml akan meningkatkan resiko kematian
hingga 93% (Ropper et al, 2005).

c. Terapi Non Farmakologi


7

Karena stroke terjadi karena kebuntuan (iskemik) atau perdarahan,


terapi non farmakologi yang diberikan tidak lagi seperti menjaga pola makan,
memperbanyak aktivitas fisik, dan sebagainya. Satu-satunya terapi non
farmakologi stroke yang dapat diberikan untuk menunjang keberhasilan terapi
hanya dengan cara invasif, yaitu operasi. Perbedaan jenis stroke akan
mempengaruhi metode operasi yang dipilih, yaitu :
1. Stroke Iskemik
Metode operasi yang digunakan untuk stroke tipe buntuan atau
iskemik adalah carotid endarterectomy of stenotic carotid artery, yaitu
operasi mengangkat massa pembuntuan pembuluh darah arteri yang
menuju otak. Hal ini bertujuan untuk mengatasi kebuntuan & mencegah
stroke kambuhan. Operasi ini memiliki efek menurunkan disabilitas
jangka panjang secara efektif (Wells et al, 2009).
2. Stroke Perdarahan
Karena perdarahan terjadi karena ruptur (robekan) pada pembuluh
darah otak, metode operasi yang dapat dilakukan adalah pemasangan klip.
Operasi ini dilakukan untuk menutup area robekan pembuluh darah.
Namun, belum ada dokumentasi yang kuat tentang manfaat operasi ini
jika perdarahannya di dalam otak (intraserebral) (Wells et al, 2009).
d. Terapi Farmakologi
1. Stadium Hiperakut
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat
dan merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio pulmonal bertujuan
agar kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi
oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan
dekstrosa atau salin dalam H2O. Dilakukan pemeriksaan CT scan otak,
elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap dan jumlah
trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa darah, kimia darah
(termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah.
Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan
mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar
tetap tenang.
8

2. Stadium Akut
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume
hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan
keadaan klinis cenderung memburuk. Tekanan darah harus diturunkan
sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik >180
mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume hematoma
bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera
diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai
20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enalapril iv
0,625- 1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral. Jika
didapatkan tanda tekanan intracranial meningkat, posisi kepala dinaikkan
30º, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol (lihat
penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg)
(Samino, 2006 ; Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf, 2007 ; Morgenstern
et al, 2010).
Terapi umum:
a) Letakkan kepala pasien pada posisi 30º, kepala dan dada pada satu
bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap
bila hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas,
beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas
darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres
dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih
penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten).
b) Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-
2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung
glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika
fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan menelan atau
kesadaran menurun, dianjurkan melalui selang nasogastrik.
c) Kadar gula darah >150 mg/dl harus dikoreksi sampai batas gula darah
sewaktu 150 mg/dl dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3
hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg/dl atau < 80
9

mg%/dl dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai


kembali normal dan harus dicari penyebabnya.
d) Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian
obatobatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera
diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220 mmHg, diastolik ≥120
mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg (pada 2
kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan
infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal.
Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang
direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta,
penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu
tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9%
250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL
selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum
terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat
diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110
mmHg.
e) Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit,
maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per
oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu,
diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang.
f) Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus
intravena 0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai
fenomena rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan
0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus
dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif,
dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
Terapi khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator.
Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada
pasien yang kondisinya kian memburuk dengan perdarahan serebelum
berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel
10

atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan lobar >60 mL


dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi.
Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium
(nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun
gamma knife) jika penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi arteri-
vena (arteriovenous malformation, AVM) (Merck, 2007).
3. Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku,
menelan, terapi wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik).
Mengingat perjalanan penyakit yang panjang, dibutuhkan
penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan
tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan
program preventif primer dan sekunder.
Terapi fase subakut:
a) Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,
b) Penatalaksanaan komplikasi,
c) Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi,
terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi,
d) Prevensi sekunder
e) Edukasi keluarga dan Discharge Planning.

2.1 Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg secara persisten yang biasa terjadi
pada usia 18 tahun atau lebih. Hipertensi krisis (tekanan darah > 180/120
mmHg) dikategorikan menjadi dua yaitu hipertensi emergensi merupakan
peningkatan tekanan darah secara ekstrim dengan diikuti kerusakan organ
secara akutprogresif, sedangkan hipertensi urgensi merupakan peningkatan
darah yang tinggi.
Hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar
patofisiologi yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi primer.
11

Penyebab hipertensi meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik


mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress,
reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokontriktor, resistensi insulin dan
lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan antara lain
kebiasan merokok, stress emosi dan obesitas (Dipiro, 2008).
Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari
penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan
darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis
atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering.
Hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan dengan
beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung koroner, diabetes dan kelainan
system saraf pusat (Dipiro, 2008).

a. Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi Hipertensi menurut JNC 8 yaitu :

Classification of Blood Pressure in Adults (Age > Years)


Classification Sistolic Blood Diastolic Blood
Pressure(mm hg) Pressure (mm hg)

Normal < 120 and <80


Prehipertension 120-139 or 80-89
Stage 1 hipertension 140-159 or 90-99
Stage 2 hipertension > 160 or > 100

b. Patofisiologi
Berbagai faktor yang mengontrol tekanan darah merupakan komponen
potensial yang berkontribusi dalam pengembangan hipertensi primer.
Termasuk malfungsi pada salah satu humoral (misalnya sistem
reninangiotensin-aldosteron) [RAAS]) atau mekanisme vasodepresor,
12

mekanisme neuron abnormal, defek autoregulasi perifer, dan gangguan pada


natrium, dan kalsium (Dipiro, 2008).
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak dipusat vasomotor pada medulla di otak. Pada saat bersamaan dimana
saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsangan emosi,
kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan terjadinya vasokontriksi.
Korteks adrenal mengekresikan kortisol dan steroid lainnya dapat
memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah.
Vasokonstriktor yang menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal
dapat menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan
angiostesin I yang kemudian diubah menjadi angiostesin II, suatu
vasokontriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh
korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan resistensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal sehingga menyebabkan peningkatan volume intravaskuler.
Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.
c. Terapi Hipertensi
Menurut PERKI (2015) Secara umum, terapi farmakologi pada
hipertensi dimulai bila pada pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami
penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan
pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi
farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan
meminimalisasi efek samping, yaitu :
1. Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal.
2. Berikan obat generik bila sesuai dan dapat mengurangi biaya.
3. Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada
usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid.
4. Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACEi) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs).
5. Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi
Farmakologi.
6. Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.
13

ACE (Angiotensin-converting enzyme) inhibitors, angiotensin II


receptor blockers (ARBs), calcium channel blockers (CCBs) dan tiazid
diuretik digunakan sebagai terapi pertama antihipertensi (Dipiro, 2015). Beta
bloker digunakan untuk terapi pada adanya indikasi tambahan yang
dikombinasikan dengan terapi utama antihipertensi (Dipiro, 2015). Obat
antihipertansi alternatif lain digunakan untuk pasien tertentu setelah
penggunakan terapi pertama antihipertensi.
1. Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan diuresis
(Dipiro, 2015). Tiazid diuretik dipilih untuk menangani hipertensi.
Golongan ini menghambat reabsorbsi Natrium di tubulus distal sehingga
berkontribusi dalam penurunan tekanan darah. Contoh obat tiazid diuretik
: chlortaridone, indopamide, hydrochlorhiazide, metolazone. Loop
diuretik lebih poten untuk menginduksi diuresis tetapi tidak dapat
digunakan pada pasien dengan edema (Dipiro, 2015).
2. ACEI digunakan sebagai terapi pilihan pertama dengan mekanisme
menghambat angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah perifer (Dipiro, 2015). Batuk kering dapat
terjadi hingga pada 20% pasien dan hal ini disebabkan karena pemecahan
bradikinin. ACEI dikontraindikasikan pada ibu hamil. Contoh obat
kaptopril, enalapril, fosinipril.
3. ARB memiliki mekanisme antagonis dari reseptor angiotensin II (Dipiro,
2015). ARB tidak menyebabkan hambatan bradikinin. ARB memiliki
efek samping yang kecil dan seperti ACEI dapat menyebabkan gagal
ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi ortotastik. ARB kontraindikasi pada
ibu hamil. Contoh obat : Losartan, Vasartan, Irbesartan.
4. CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat
masuknya kalsium dalam otot polos vaskuler maupun miokardium selama
proses depolarisasi (Dipiro, 2015). Dihidropiridin dapat menyebabkan
aktivasi refleks simpatetik, dihidropiridin pada umumnya tidak
menurunkan kondisi nodus AV. Contoh obat :Nondihidrypiridin
(Diltiazem, verapamil), Dihydripiridine (Amilodipine, felodipine).
14

5. Beta bloker memiliki mekanisme kerja menurunkan curah jantung melalui


kronotropik negatif dan dan efek inotropik jantung serta inhibisi
pelepasan renin dari ginjal (Dipiro, 2015). Penghentian terapi dengan beta
bloker yang cepat dapat menyebabkan angina tidak stabil, infark miokard.
Asetubutolol, carteolol, penbutolol dan pindolol memiliki aktivitas
intrinsik simpatomimetik (ISA) mampu menurunkan tekanan darah dan
resisten vaskular sistemik sementra denyut jantung dan curah jantung
tetap dipelihara. Beta blocker dengan aktivitas ISA tidak
direkomendasikan untuk pasien post penyakit jantung koroner.
6. Renin Inhibitor mekanisme aksi yaitu dengan menghambat renin secara
langsung sehingga menurunkan plasme renin activity (PRA) (Dipiro,
2015). Contoh obat yaitu aliskiren.
7. Prazosin, terazosin dan doxazosin merupakan alfa blocker yang
menghambat pengambilan katekolamin pada sel otot polos perifer
sehingga menyebabkan vasodilatasi (Dipiro, 2015). Jika digunakan untuk
menurunkan tekanan darah, golongan ini sebaiknya digunakan dengan
kombinasi terapi antihipertensi pertama.
8. Alfa-2-Agonist digunakan pada kasus hipertensi resisten apabila terapi
dengan antihipertensi konvesional tidak adekuat (Dipiro, 2015).
Penghentian mendadak dapat menimbulkan hipertensi balik atau
peningkatan tekanan darah ke nilai yang lebih tinggi dari sebelum
penanganan. Contoh obat : Clonidine, methyldopa, reserpine.
9. Direct vasodilator penderita yang mendapatkan terapi ini sebaiknya
mendapatkan terapi utama dengan diuretik dan blocker beta andrenergik
(Dipiro, 2015). Vasodilator lansung menyebabkan angina pada penderia
arteri koroner kecuali mekanisme refleks baroreseptor dihambat secara
sempurna oleh inhibitor simpatetik.

d. Terapi tekanan darah pada pasien stroke


Penelitian di Indonesia didapatkan kejadian hipertensi pada pasien
stroke akut sekitar 73,9%. Sebesar 22,5- 27,6% diantaranya mengalami
peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg (perdossi, 2011).
15

1. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class IIb,


Level of evidence C), apabila TDS >200 mmHg atau Mean Arterial
Preassure (MAP) >150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontiniu dengan
pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
2. Apabila TDS >180 mHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala
dan tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan
tekanan intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan
obat antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan
pemantauan tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.
3. Bila tekanan sistolik < 180 mmHg dan tekanan diastolik < 105 mmHg,
maka pemberian obat anti-hipertensi ditangguhkan namun pada studi
INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih
diperbolehkan. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).
4. Beta blocker, Ca channel blocker dan uradipil intravena merupakan obat
yang paling sering digunakan Obat vasodilator harus dihindari karena
mengganggu autoregulasi serebral.
e. Algoritma terapi Hipertensi (JNC 8,2014)

16
17

3.1 AKI (Acute Kidney Injury)


Pada pasien Akut kidney injury (AKI) ditandai dengan penurunan drastis
nilai GFR sehingga produk nitrogen terakumulasi dalam darah (BUN tinggi,
kreatinin tinggi, urin output) (nejm journal,2020)

GFR = ( 140- usia ) BB


72 x Scr
= ( 140 – 64 ) 65
72 x 2,37
= 4.940
18

170,64
= 28,95 ( CKD Stage 4)

a. Etiologi

Kategori Contoh
Faktor kerentanan Usia, penurunan masa ginjal, berat lahir rendah,
ras, riwayat keluarga, inflamasi, dyslipidemia
Faktor inisiasi Diabetes mellitus, hipertensi, penyakit
autoimun, polycystic kidney disease, toksisitas
obat
Faktor progesif Hiperglikemia (pada pasien DM), hipertensi,
proteinuria, merokok

b. Patofisiologi

Sebagian besar dari progresivitas nefropati menyebabkan kerusakan


parenkim ginjalyang ireversibel dan ESRD. Bagian kunci dari proses ini
adalah hilangnya masa nefron,hipertensi kapiler glomerular, dan proteinuria.
Ketika masa nefron berkurang, nefron yang tersisa terjadi hipertrofi untuk
mengkompensasi mas nefron dan fungsi ginjal yang berkurang. Dalam
jangka waktu yang lama hipertrofi ini akan menyebabkan hipertensi
19

intraglomerular yang dimediasi oleh angiotensin II. Angiotensin II


merupakan vasokontriktor dari arteriol efferent dan afferent (efek lebih
besar dari efferent), menyebabkan meningkatnya tekanan kapiler
glomerulus. Tekanan kapiler glomerulus yang tinggi menyebabkan
ketidaknormalan fungsi.
20

Profil Pengobatan

No Jenis Obat Rute Dosis Frekuensi Indikasi Obat Pantauan Alasan dan komentar
Kefarmasian
1 Manitol IV 6x100 cc Untuk
5x100 cc menurunkan Manitol adalah obat diuretik yang
peninkatan digunakan untuk mengurangi
tekanan tekanan dalam
intrakranial pada kepala(intrakranial) akibat
pasien CVA pembengkakan otak. Manitol
bleeding akan membuat darah yang akan
disaring oleh ginjal menjadi lebih
pekat. Hal ini mengakibatkan
tubuh membuang air dalam
bentuk urin lebih banyak.
pembuangan urin yang banyak ini
membuat kandungan air di sel
otak juga berkurang,sehingga
tekanan menurun (kemenkesRI)
2 Nacl IV 20 Tpm Keseimbangan Saat awal MRS pasien dalam
cairan kondisi lemah. Pemberian infus
NACL menggantikan volume
cairan intravascular yang
mengalami kontraksi (Simon et
al.2014)
3 Omeprazole IV 40 mg 1x 1 Mengatasi dan Mual dan
mencegah SRMD rasa nyeri Omeprazole merupakan golongan
(Stress-related perut pada PPI dimana akan menghambat
mucosal disease) pasien sekresi asam lambung. Pasien
MRS dengan penyakit
kronis,sehingga harus tirah baring
dalam waktu yang lama,hal ini
dapat menjadi penyebab SRMD.
4 Metoclorpramid IV 10 mg 3x 1 Mengurangi rasa Mual Metoclorpramid memblokir
mual pada pasien reseptor Dopamin (pada dosis
tinggi) dan reseptor serotonin di
zona pemicu kemoreseptor dari
SSP dan membuat jaringan peka
terhadap asetilkolin;
meningkatkan motilitas GI bagian
atas tetapi bukan sekresi
meningkatkan tonus sfingter
esofagus bagian bawah
5 Nicardipin IV 25 mg/10 ml 5 cc/jam Untuk mengatasi Tekanan Pasien mengalami hipertensi
(2,5 mg/ml) hipertensi darah emergensi (211/116 mmhg) pada
emergensi pada tanggal 20/12/2020 jam 13.00 WIB,
pasien sehingga pasien diberikan
Nicardipin, Nicardipin merupakan
CCB yang memiliki efek
vasodilator kuat sehingga dapat
menurunkan tekanan darah
dengan cepat. HT emergency
harus dicegah agar tidak
menimbulkan kegagalan organ .
Nicardipin diberikan 5 cc/jam.
21

6 Phenitoin IV 100 mg 3x 1 Mengurangi keadaan Phenitoin mempromosikan


kejang kejang pembuangan Na+ atau
pasien mengurangi masuknya Na+ dari
membran di neuron korteks
motorik; menstabilkan membran
saraf
7 Lodomer IV 5 mg/ 1 ml 1 x 1/2 amp Taurete Sindrom gerakan Mengurangi pasien mengucapkan
(2,5 mg) spontan atau melakukan gerakan spontan
pasien tanpa bisa mengontrolnya

8 Lansoprazole IV 30 mg 1x 1 Mencegah GERD Keluhan


(Gastro lambung Setelah pemberian Omeprazole
Esophageal pasien inj di tanggal 20/12/2020 dan
Refluk Disease) terhenti di hari berikutnya, maka
dan tukak pada tanggal 22/12/2020
lambung dilakukan injeksi Lansoprazole.
Lansoprazole injeksi merupakan
penghambat proton (PPI) selektif.
Obat menekan sekresi asam
lambung oleh penghambatan
spesifik proton pump H+/K+ Atp
ase yang ditemukan pada
permukaan sekresi sel parietal
lambung. karena sistem enzim ini
dianggap sebagai asam (proton
atau H+) memompa kedalam
mukosa lambung, Lansoprazol
menghambat langkah terakhir
dari produksi asam. Lansoprazol
juga menghambat basal dan
dirangsang sekresi asam terlepas
dari stimulus.
22

9 Paracetamol IV 1 Gr/ 1000 mg 3 x 1 untuk mengatasi suhu tubuh Pada tanggal 22/12/2020 jam 10.00
panas dan demam pasien WIB pagi suhu tubuh pasien
pada pasien mencapai 39 C. dengan diberikan
penangganan paracetamol secara
IV diharapkan suhu tubuh pasien
segera normal,karena
paracetamol bekerja langsung di
pusat syaraf dengan menghambat
enzim cyclooksigenase,COX1,
COX2, COX 3 yang terlibat dalam
pembentukan prostaglandin,
substansi yang bertindak sebagai
regulator panas pada hipotalamus
dan mengatur rasa sakit. dengan
berkurangnya produksi
prostaglandin
diotak,panas,demam dan rasa
sakit dapat berkurang(mims,2020)

10 Amlodipin P.O 5 mg 1x 1 menurunkan dan Tekanan Amlodipin 5 mg PO diberikan


mengontrol darah pasien kepada pasien yang cenderung
tekanan darah tinggi dan belum mencapai
pasien target.Target TD pasien 140/90
mmhg.Amlodipin merupakan
antihipertensi golongan CCB yang
memiliki efek lebih cepat
11 Diovan/ Valsartan P.O 80 mg 1x 1 menurunkan dan Tekanan Valsartan dapat menurunkan
mengontrol darah pasien level AT II, menurunkan
tekanan darah Vasokontriksi dan sekresi
pasien Aldosteron
12 Vip Albumin P.O 1x 1 Menjaga stabilitas Kadar Pada Pasien CKD, tekanan kapiler
albumin pasien, albumin glomerulus yang tinggi
sehingga obat pasien menyebabkan ketidak normalan
dapat bekerja fungsi size-selektive dari
dengan optimal permeabilitas glomerular dan
menyebabkan peningkatan
ekskresi albumindalam urin dan
protei uria
BAB II
STUDI KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama/BB Ny.Djm/65kg
No.RM xxx
Ruang Rawat Stroke Center
Inap
Usia/TB 64 Th/168 cm
Riwayat Hipertensi + 6 tahun yang lalu tidak terkontrol
Penyakit obat
Alasan MRS Minggu 20/12/2020 jam 11.30 WIB jatuh saat
mengecat,kaki dan tangan lemas, bicara sedikit
pelo.
Diagnosis CVA (cerebrovascular Accident)Bleeding/
Stroke, hipertensi acut (250/145 mmhg), AKI
(acute kidney injury)
Riwayat obat/ Sering mengkonsumsi obat jamu, merokok 2
sosial pak per hari

23
24

2.2 Data Lab dan Data Klinik

a. Data Klinik
25

b. Data Lab
26

2.3 Terapi Pengobatan

No Nama Obat 20/12 21/12 22/12 23/12

1. Omeprazole inj 1x40 mg √ - - -


2. Nicardipin inj 5cc/jam sampai √ √ √ √
140/90 mmhg
3 Metoclorpramide inj 3x10 mg √ - - -
4 Phenytoin inj √ √ √ -
5 Infus NS (20 TPM) √ √ √ √
6 Lodomer 1x0,5 amp (25 mg) √ √ √ √
7 Manitol infus √ √ √ √
200 cc 6x100cc 5x100cc
8 Lansoprazol I.V - - √ √
9 Paracetamol i.v (3x1 gr) - - √ √
10 Amlodipine 5 mg (1-0 p.o) - - √ √
11 Diovan 80 mg (0-1 p.o) - - √ √
12 Vip albumin (3x2 p.o) - - √ √
2.4 Analisa SOAP (Subjektif,Objektif,Analisis,Plan)

A. Analisa terapi CVA Bleeding dan Hipertensi

Nama Obat 20/12 21/12 22/12 23/12


Manitol √ √ √ √
Nicardipin √ √ √ √
Phenytoin √ √ - -
Diovan+amlodipin - - √ √
Lodomer √ √ √ √
Phenytoin √ √ √ -

S Penurun kesadaran
O RR (x/menit) 20-24x/menit 20 20 27 45 19
Tekanan darah (mm hg) 120/80 240/100 211/116 227/125 116/71 70/50
GCS 3x5 2x5 2x5 2x5 111

27
28

Urin Output 500cc/6 jam 700cc/4 jam 600 cc/6 jam


A Amlodipin+phenytoin : meningkatkan efek phenytoin dengan mengaktifkan enzim CYP3A4 metabolisme di hati.
Amlodipin dan Nicardipin merupakan sama-sama golongan CCB sehingga efek anti hipertensinya meningkat.
Phenytoin+Nicardipin: fenitoin akan menurunkan kadar atau efek nicardipine dengan mempengaruhi metabolisme
enzim hati / usus CYP3A4.
Haloperidol+metoclorpramid : meningkatkan kejadian ekstrapiramidal
P - Monitoring penurunan tekanan darah
- Perlu pemeriksaan laboratorium SGOT/SGPT
- Monitoring kejadian kejang
- Monitoring Urin Output untuk keamanan pasien AKI
- Monitoring Efek samping obat (MESO)
29

B. Analisa Terapi Albumin

Nama Obat 22/12 23/12


Vip Albumin 3x2 √ √

S Penurunan Kesadaran
O -
A Penggunaan albumin tanpa mengetahui kadar albumin dalam darah sesungguhnya dapat
menyebabkan pasien hipoalbumin, menyebabkan pengobatan tidak maksimal.
P Pengecekan labotarorium kadar albumin
30

2.5 Pembahasan
Tn. Djm masuk rumah sakit pada tanggal 21 Desember 2020 pukul
11.30 WIB. Ketika dibawa ke IGD pasien mengalami penurunan kesadaran
dengan nilai GCS 3x5. Pasien memiliki riwayat Hipertensi tidak terkontrol
obat dan tidak memiliki alergi obat. Kondisi klinis hasil pemeriksaan di IGD
saat pasien MRS diperoleh suhu 37˚C (normal), nadi 90 kali/menit (normal),
respiratory rate 20 kali/menit(normal) dan tekanan darah 240 / 100 mmHg
(diatas nilai normal). Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, diperoleh hasil
diagnosa dokter kepada pasien adalah CVA Bleeding, Hipertensi emergensi
dan AKI (Acute Kidney Injury).
Pasien mendapatkan terapi di IGD PZ 0.9% 20 tpm, Omeprazole 1x
40mg, nicardipin 5cc/jam, metoclopramide 3x10mg, phenytoin inj, lodomer
1x0,5 mg, manitol 1x200cc. Manitol 200 ml intravena setiap 4 jam diberikan
untuk menurunkan tekanan intrakranial yang terjadi pada pasien stroke yang
dimanifestasikan pada rasa nyeri kepala. Efek samping dari manitol yaitu
hipovolemi dan hipokalemi sehingga perlu dilakukan monitoring urin output
dan kadar elektrolit pasien. Pemberian Nicardipin 5cc/jam digunakan untuk
mengatasi hipertensi emergensi, sehingga dapat cepat menurunkan tekanan
darah pasien.
Menurut Perdossi tahun 2011 pemberian cairan bagi pasien stroke
adalah cairan golongan kristaloid/koloid, sehingga pemberian terapi PZ 500
cc sudah tepat. Infus PZ memiliki kandungan Na 154 mmol/l dan Cl
154mmol/l, sehingga berfungsi untuk resusitasi cairan. Dimana pada pasien
stroke kondisi cairan dalam tubuh harus tetap terjaga. Mekanisme kerja dari
infus PZ ini adalah apabila pasien pada kondisi kritis, sel-sel endotelium
pembuluh darah bocor, diikuti oleh keluarnya molekul protein besar ke
kompartemen interstisial, diikuti air dan elektrolit yang bergerak ke intertisial
karena gradien osmosis. Plasma expander berguna untuk mengganti cairan
dan elektrolit yang hilang pada intravaskuler. Efek samping dari pemberian
Infus PZ ini adalah edema, sehingga perlu di monitoring kadar elektrolit
pasien seperti natrium dan klorida.
31

Pada tanggal 21 Desember 2020 pasien dipindahkan ke ruang Stroke


center mendapatkan terapi NaCl 0.9% 20 tpm lodomer 1 x 0,5 ampul (25
mg), manitol 6 x 100cc, Nicardipin syringe 5 cc/jam dan Phenytoin injeksi.
Nicardipin diberikan untuk mengatasi hipertensi yang terjadi pada pasien
dimana diharapakan target tekanan darah sistolik pasien berada kisaran
<140/90 mmHg. Nicardipin merupakan obat yang aman dan efektif dalam
mengontrol tekanan darah yang tinggi pada pasien dengan atau setelah
perdarahan serebrovascular . Pada studi yang dilakukan oleh Sang Yong kim
et al, penggunaan nicardipin diberikan kepada pasien dengan kriteria
perdarahan subarachnoid dimana pada penggunaannya diamati perbedaan
pemberian melalui injeksi bolus dan injeksi berkelanjutan (continuous
injection), perbedaan dosis nicardipin, dan juga berdasarkan derajat fisher
grade CVA (grade I, II, III, dan IV). Sebagai injeksi berkelanjutan, nicardipin
dikatakan lebih efektif dibandingkan pemberian secara injeksi bolus pada
pasien CVA. Nicardipin juga dapat mengurangi terjadinya risiko perdarahan
ulang pada pasien dengan tekanan darah lebih dari 160 mmHg, sebaliknya
risiko terjadinya infark serebral dapat meningkat pada pasien dengan tekanan
darah yang terlampau rendah. Untuk itu, pada pedoman terbaru pengelolaan
CVA merekomendasikan bahwa tekanan darah harus selalu dipantau dan
dikontrol untuk mengurangi risiko terjadinya stroke, hipertensi terkait
perdarahan berulang serta pemeliharaan pada tekanan perfusi serebral.
Pemberian Phenytoin injeksi dimaksudkan untuk mengurangi keadaan
kejang pada pasien. Begitu juga dengan pemberian Lodomer injeksi dapat
mengurangi pasien melakukan gerakan / ucapan spontan tanpa bisa
mengontrolnya.
Pada tanggal 22/12/2020 pasien diberi tambahan terapi Lansoprazol
I.V, paracetamol I.V (3x 1 gr), amlodipine 5 mg PO, diovan 80 mg PO, dan
VIP albumin (3x2). Amlodipin tab 5 mg dan Diovan 80 mg secara per oral
kemungkinan diberikan per sonde karena kondisi pasien yang terjadi
penurunan kesadaran. Pemberian obat ini dimaksudkan untuk menurunkan
tekanan darah pasien, dan segera mencapai target terapi 140/90 mmhg..
Pemberian amlodipine dikombinasikan dengan Candesartan merupakan
32

kombinasi yang paling banyak digunakan. Kombinasi tersebut merupakan


kombinasi yang tepat karena keduanya bekerja dengan mekanisme yang
berbeda dalam menurunkan tekanan darah. Penggunaan terapi kombinasi ini
menghasilkan penurunan tekanan darah yang lebih besar ketika dibandingkan
ketika obat digunakan secara tunggal. Penggunaan kombinasi ARB dan CCB
karena efek samping dari kedua obat ini lebih rendah. Selain itu penggunaan
ARB dan CCB dapat digunakan bagi pasien yang mengalami AKI (Acute
Kidney Injury), karena pada CCB system ekskresi obat hanya 10% yang
melewati urin sedangkan 60% lainnya ekskresi berupa metabolit inaktif. Dan
pada ARB hanya 13% eksresi melalui urin sehingga kedua obat tersebut
bersifat nefroprotektor (medscap)
33

Penggunaan Paracetamol injeksi digunakan sebagai antipiretik untuk


menurunkan suhu badan pasien yang sempat meningkat hingga 39,2 C.
penggunaan VIP albumin kapsul seharusnya dibarengi dengan pemeriksaan
albumin pasien untuk menghindari terjadinya Hipoalbumin pada pasien.
Karena apabila kadar albumin dalam darah rendah maka kondisi obat dalam
darah tidak bisa berikatan dengan protein dengan sempurna, sehingga obat
tidak bisa bekerja secara maksimal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Pemberian infus Nacl maupun Manitol sudah tepat untuk pasien CVA
Bleeding karena manitol berfungsi untuk menurunkan tekanan
intrakranial .dan NaCl menjaga keseimbangan cairan tubuh pasien.
b. Pemberian nicardipin, sudah sesuai dengan guidline therapy untuk pasien
hipertensi akut/emergency dengan gangguan CKD untuk mencapai target
Therapy 140/90 mmhg. Dimana setelah target tercapai dilakukan
pembedahan/ operasi.
c. Pemberian Omeprazole inj/Lansoprazol Injeksi tidak perlu penyesuaian
dosis untuk pasien CKD
d. Pemberian Vip Albumin PO seharusnya dibarengi dengan pemeriksaan
kadar albumin dalam darah.

B. Saran

a. Pentingnya edukasi ke pasien maupun keluarga pasien tentang


pengobatan hipertensi yang terkontrol.
b. Perubahan gaya hidup yang sehat dapat meminimalkan resiko terjadinya
CVA Bleeding maupun AKI (Acute Kidney Injury)

34
DAFTAR PUSTAKA
AHA (American Health Association). 2015. Guidelines for the Management of
Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. Management of Spontaneous
ICH.Hal 2032 – 2060.
Dipiro, J.B., Wells and Schwinghammer. 2015. Pharmachotherapy Handbook Ed
9th . New York McGraw-Hill Companies.
JOSEPH J. SASEEN AND ERIC J. MACLAUGHLIN, 2014. Hypertension In
Pharmacoterapy A Pathophysiology Approach
JNC 8.2014. Evidance Guidline Penanganan Pasien Hipertensi. Perhimpunan
Dokter Spesialis Cardiovascular Indonesia. 2015. Pedoman Tata
Laksana Hipertensi Pada penyakit Cardiovascular
Rosendorff C, Black HR, Cannon CP, et al. Treatment of hypertension in the
prevention and management of ischemic heart disease: A scientific
statement from the American Heart High Blood Pressure Research and
the Councils on Clinical Cardiology and Epidemiology and
Prevention. Circulation 2007;115(21):2761– 2788.Association
Council for
https://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMoa1603460?articleTools=true
https://ejurnal.unism.ac.id/index.php/jpcs/article/view/34/15
https://halodoc.com
Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.2007.
Guideline Stroke. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia:Jakarta.
Kellner CP, Connolly S. 2010. Neuroprotective Strategies for Intracerebral
Hemorrhage Trials and Translation. Stroke AHA. Hal 99 – 102.
Kemenkes RI,2013. Riset Kesehatan Dasar : Jakarta
Kemenkes RI, 2017. Mengenali Gejala Stroke : Jakarta
Merck, 2007. Hemorrhagic Stroke. (Http://www.merck.com/
mmhe/sec06/ch086/ch086d.html. Diakses 28 Juni 2019).
PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke. Jakarta, Perdossi.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2011. Guideline Stroke Tahun
2011. Jakarta : PERDOSSI.

35
36

Price, S. A., L. M. Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit, E/6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
324
Ropper AH, Brown RH. Adams dan Victor’s Principles of Neurology. Edisi 8.
BAB4. Major Categories of Neurological Disease: Cerebrovascular
Disease.McGraw Hill: New York.
Samino. Perjalanan Penyakit Peredaran Darah Otak. FK UI/RSCM. 2006.
(Http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/13PerjalananPenyakitPeredaranDara
hOtak021.pdf/13PerjalananPenyakitPeredaranDarahOtak021.html. Diakses
28 Juni 2019..
WHO. 2014. Stroke, Cerebrovascular Accident. Swiss.
LAPORAN KASUS FARMASI KLINIK
BEDAH MENINGIOMA

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH NGUDI WALUYO WLINGI
(JL. DOKTER SUCIPTO NO. 5, BERU, KEC.WLINGI, KAB.BLITAR)
PERIODE 7 DESEMBER 2020 – 9 JANUARI 2020

Disusun Oleh :
Mailinda Hasyanah (40119015)

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI


FAKULTAS FARMASI

37
38

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


2020
39

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian Meningioma
Meningioma merupakan tumor primer intrakranial yang paling sering
ditemui, ekstra aksial, dan berasal dari sel araknoid yang menempel pada
duramater. Karakteristik tumor ini dapat tumbuh dengan besar dan cenderung
menghasilkan hiperostosis, infiltrasi atau juga mengerosi tulang. (Kemenkes,
2019)

B. Epidemiologi
Angka kejadian meningioma sekitar 36% dari seluruh tumor otak,
insidensnya diperkirakan 98/100,000 orang, dengan perkiraan rasio 2:1 antara
wanita dan pria, dan insidensinya meningkat seiring dengan bertambahnya
usia. (Kemenkes, 2019)

C. Etiologi
Etiologi molekuler meningioma dikaitkan dengan delesi kromosom dan
mutasi gen. Meningioma dapat terjadi pada pasien yang terradiasi, dengan
risiko tinggi terpapar dosis tinggi radioterapi, sementara faktor risiko lain
seperti hormon, cidera kepala, tumor ganas payudara, faktor diet dan alergi,
serta riwayat meningioma pada keluarga. Faktor lain seperti paparan telepon
seluler masih belum jelas dan bahkan tidak signifikan pada beberapa
penelitian. Perubahan genetik yang sering terjadi pada meningioma adalah
hilangnya kromosom 22 yang berhubungan dengan mutasi pada gen
neurofibromatosis tipe 2 (NF2) yang terletak di kromosom 22. (Kemenkes,
2019)

D. Klasifikasi
Berdasarkan panduan World Health Organization (WHO), sekitar 80%
dari meningioma diklasifikasikan sebagai grade I atau jinak, 10-18% sebagai
grade II atau atipikal, dan sekitar 2-4% sebagai grade III atau ganas.
40

E. Lokasi
Lokasi tumor dapat dikategorikan menjadi tiga grup: convexity / falx/
parasagittal, skull base dan lainnya. Lokasi pada skull base dapat
didefinisikan sebagai cavernous sinus, cerebellopontine angle, clinoid, clivus,
foramen magnum, jugular foramen, middle fossa, olfactory groove, orbital,
parasellar, petroclival, petrous, planum sphenoidale, posterior fossa, skull
base, sphenoid wing, and tuberculum selae. Lokasi lain diantaranya
intraventrikular dan tumor multifokal yang tidak dapat dengan mudah
diklasifikasikan dalam skull base, convexity, atau falx. (Kemenkes, 2019)
Meningioma Speno-orbida merupakan meningioma yang tumbuh dari
dura di sphenoid wing dan bisa meluas ke sinus cavernosus, Fissura Orbitalis
Superior, atap orbita, dan konveksitas (Modul onkologi, 2016).

F. Gejala
Meningioma biasanya merupakan tumor yang tumbuh lambat,
gambaran klinis yang ditimbulkan tergantung pada lokasi dan ukuran tumor,
serta keterlibatannya dengan struktur jaringan sekitar.
Nyeri kepala mungkin gejala yang paling sering dan bersamaan dengan
gejala lain dapat mengarah kepada suatu peningkatan tekanan intra kranial.
Kejang ditemukan pada 30 % pasien yang didiagnosis dengan meningioma
intrakranial. Risiko kejang lebih tinggi pada lokasi selain basis kranii
(misalnya pada meningioma konveksitas, parasagital, dan falks).
Gejala fokal yang muncul tergantung pada lokasi spesifik tumor.
Gangguan penglihatan bisa muncul pada meningioma yang melibatkan jalur
penglihatan. Gangguan pendengaran bisa muncul pada meningioma di regio
sudut cerebellopontine. Anosmia dapat muncul pada meningioma di olfactory
groove. Gangguan status mental dengan apati dan inatensi dapat muncul pada
pasien dengan inferior frontal meningioma yang besar. Kelemahan
ekstremitas juga dapat muncul umumnya berupa hemiparesis walaupun
kadang-kadang dapat juga berupa paraparesis pada meningioma parasagital di
falx yang mengkompresi jalur motoris. Kumpulan gejala tersebut tidaklah
41

spesifik sebagaimana suatu variasi lesi fokal intrakranial yang berbeda-beda.


(Kemenkes, 2019)

G. Penunjang
Brain imaging dengan menggunakan CT Scan dan MRI membantu
deteksi meningioma, biasanya tampak sebagai tumor soliter yang menempel
pada duramater, serta menyangat kuat dengan pemberian kontras (contrast
enhanced). Pemeriksaan tersebut merupakan metode yang sering digunakan
untuk mendiagnosis, monitoring dan evaluasi pasca tindakan.
Positron emission tomography dapat membantu pada kasus-kasus
meningioma di skull base yang biasanya sulit untuk dilihat pada pemeriksaan
CT dan MRI yang standar. Meningioma juga diketahui memiliki somatostatin
receptor density yang tinggi, sehingga memungkinkan untuk octreotide brain
scintigraphy membantu menggambarkan ekstensi dari penyakit.(Kemenkes,
2019)

H. Tatalaksana
Terapi pasien dengan meningioma sangatlah individual, karena sifat
meningioma itu sendiri dan variasi hasil terapi yang berbeda-beda untuk
pasien yang berbeda. Dikarenakan kurangnya penelitian prospective
randomized trials, panduan tatalaksana standar sangatlah sulit untuk
diformulasikan.
Modalitas terapi berupa observasi menggunakan serial CT atau MRI,
pembedahan, stereotactic radiosurgery (SRS), fractionated radiotherapy
(FRT), kemoterapi, ataupun radionuclide therapy. Manajemennya
menitikberatkan pada profil klinis, grade WHO, dan extent of resection, yang
nampaknya mulai suboptimal seiring dengan meningkatnya pengertian
terhadap biologi tumor ini. Keputusan terapi harus berdasarkan gejala yang
muncul, lokasi meningioma, tampakan tumor terhadap pembuluh darah,
pengalaman pembedah, dan kemungkinan untuk reseksinya.
Untuk tumor yang berukuran kecil (<3cm) dan asimtomatik maka
berdasarkan guideline European Association of Neuro-oncology (EANO)
42

maupun National Comprehensive Cancer Network (NCCN) dapat dilakukan


observasi saja, dengan terapi dilakukan bila tumor membesar secara
signifikan atau menjadi simtomatik. Pada fase observasi ini dilakukan MRI
pada 3,6 dan 12 bulan pasca diagnosis, dilanjutkan kemudian setiap 6-12
bulan selama lima tahun, diteruskan dengan setiap 1-3 tahun tergantung
kondisi klinis pasien.
Untuk tumor yang simtomatik, ataupun asimtomatik namun berukuran
besar maka perlu dilakukan terapi pembedahan jika memungkinkan.

Terapi menurut National Comprehensive Cancer Network Guidelines Version


1.2018 untuk Central Nervous System Cancers.
43

Catatan:
a. Pertimbangkan melakukan diskusi multidisiplin untuk rencana terapi
b. Pilihan tatalaksana harus berdasarkan pada penilaian dari variasi faktor-
faktor yang berhubungan, diantaranya gambaran pasien (misalnya: umur,
performance score, komorbid, pilihan terapi), gambaran tumor (misalnya:
ukuran, grade, laju pertumbuhan, lokasi - terhadap struktur penting),
potensi mengakibatkan gangguan neurologis bila tidak ditangani, serta
faktor terkait terapi (misalnya: potensi gangguan neurologis akibat dari
pembedahan atau radioterapi seperti reseksi komplit dengan/atau complete
irradiation dengan SRS, kemampuan tatalaksana tumor bila muncul
kembali, ketersediaan ahli bedah dan onkologi radiasi). Keputusan untuk
pemberian radioterapi setelah pembedahan juga bergantung pada ekstensi
reseksi yang dicapai. Direkomendasikan masukan dari tim multidisiplin
untuk perencanaan terapi.
c. MRI post operatif 24–72 jam setelah pembedahan.
d. Principles of Brain Tumor Imaging (BRAIN-A).
 Brain MRI pasca operasi harus dilakukan dalam 24–72 jam untuk
glioma dan tumor otak lainnya untuk menentukan ekstensi dari
reseksi.
 Ekstensi dari reseksi harus dinilai dari penilaian pasca operasi dan
digunakan sebagai dasar untuk menilai efektifitas terapi selanjutnya
atau menilai progresifitas dari tumor.
e. WHO Grade I = Benign meningioma, WHO Grade II = Atypical
meningioma, WHO Grade III = Malignant (Anaplastic) meningioma.
f. Radioterapi dapat berupa fractionated external-beam radiotherapy atau
stereotactic radiosurgery (SRS).
44

g. Principles of Brain Tumor Radiation Therapy (BRAIN-C).


 Meningioma WHO grade I/II dapat ditangani dengan fractionated
conformal radiotherapy dengan dosis 45-60 Gy.
 Conformal radiation therapy (contoh: 3D-CRT, IMRT, VMAT,
Tomoterapi) direkomendasikan untuk pertimbangan minimalisasi
dosis struktur penting serta jaringan yang tidak terlibat.
 Meningioma WHO grade I atau grade II juga dapat ditangani dengan
SRS dosis 12–25 Gy dalam suatu fraksi tunggal bila memungkinkan
atau SRT dengan dosis 20-50 Gy dalam 3-8 fraksi.
 Untuk meningioma WHO grade I / II yang menjalani radiasi, terapi
harus diarahkan pada gross tumor (bila nampak jelas) dan batas
pembedahan + ekspansi (1–2 cm) dengan dosis radiasi 45–60 Gy
dalam fraksi 1.8–2.0. Pertimbangkan pembatasan ekspansi pada
parenkim otak bila tidak ditemukan adanya invasi ke parenkim otak
tersebut.
 Meningioma WHO grade III harus ditangani sebagai tumor maligna
dengan terapi diarahkan ke gross tumor (bila nampak jelas) dan batas
pembedahan + ekspansi (2–3 cm) diberikan dosis radiasi 59.4–60 Gy
dalam fraksi 1.8–2.0 Gy.
h. Untuk meningioma yang asimtomatik, observasi untuk tumor yang kecil
(≤3 cm), kecuali pada tumor dengan faktor risiko terkait tatalaksana,
misalnya tumor dengan perlekatan pada nervus optikus atau pasien
dengan keluhan defisit neurologis.
i. Pertimbangkan folow up setidaknya setelah 5–10 tahun.
j. Pencitraan MRI lebih sering dibutuhkan untuk meningioma WHO grade 3.
k. Principles of Brain Tumor Systemic Therapy (BRAIN-D) pada
meningioma:
• Interferon alfa (kategori 2B)
• Somatostatin analogue, bila octreotide scan positif
• Sunitinib (kategori 2B)
• Bevacizumab + everolimus (Kategori 2B) (73-79)
BAB II
KASUS DAN PEMBAHASAN

Profil Pasien

Nama Ny. X ( P)
Tgl. Lahir -/08/1977 ( 43 th )

Tgl. MRS 16/12/20 (10.00)

Riwayat alergi -

Keluhan MRS Pasien mengatakan ± 3 bln yang lalu


mengeluh pusing-pusing, terasa
berdenyut, mata kanan menonjol,
kemudian pasien periksa ke poli,
dilanjutkan CT scan kepala dan dahi,
kemudian pasien dianjurkan operasi.
Diagnosa Meningioma Spheno-Orbita

BB / TB ± 56kg / 150 cm

Riwayat Operasi Pernah melakukan operasi di daerah


leher sekitar 10 tahun yang lalu

Pemeriksaan Fisik
Data Normal Tanggal
Klinik
16 17 18 19 20 21 22

Suhu (°C) 36°-37° 36,6 36 36 36 36 35, 36,2


C 1
Nadi 60-100 x 87 92 83 72 81 66 84

45
46

(x/menit) / menit

RR 20 – 24 x 20 20 20 20 20 20 20
(x/menit) / menit

TD 120/80 121/8 107/ 11 139/ 114/8 110 114/7


(mmHg) mmHg 5 70 8/7 74 0 /70 7
2
GCS 456 Und 45 456 456 456 456
erse 6
dasi
Skala 1-3 1-3 1-3 1-3 1-3
Nyeri

Mual + - - - -

Data Lab
Data Lab Normal 16/12 18/12

K+ 3,4-5,3 3,99

Na+ 130 – 150 146,2

Klorida 98-107 / 96-114 100,7

Calsium ion 1,00 – 1,40 1,18

Albumin Darah 3,5 – 5,2 3,54

GDA 70 – 120 137

HGB 11,7-16.0 14,9


47

WBC ( 4,50-11,0 ) /dl 13,58

PLT 150-450x103/ 490


m3
RBC 3.69-5.46 4,95

HCT 41,3-52,1% 43,6 %

MCV 86,7-102,3fL 88

MCH 27,1-32,4pg 30

Terapi Pasien
No. Nama obat 16 17 18 19 20 21 22

1 Dexamethason √ √ √ √ √ √ 1x1
3x1amp 16.00 amp
2 Anbacim 2g √
10.30
3 IVFD NS √ √ √ √ √
500cc/hari 500cc/h
ari
4 Santagesik 3x1 g √ √ √ √ √
3x1 tab
5 Ranitidin 2x1 √ √ √ √ √
amp 2x1tab
6 Kalnex 3x1 g √ √ 8.00

7 Drip Safol √
30mg/jam
8 Roculax √
10mg/jam
9 Fentanyl √
30mcg/jam
48

ANALISA TERAPI PENGOBATAN


Analisa terapi Deksametason
No Nama obat 16 17 18 19 20 21

1 Dexamethason √ √ √ √ √ √
3x1amp 1x1 amp

Mekanisme Kerja deksametason merupakan glukokortikoid poten dengan


aktifitas mineralokortikoid minimal (Medscape.com). Glukokortikoid menambah
produksi glukosa hati dengan cara meningkatkan kecepatan glukoneogenesis;
melepas asam amino dan menyebabkan hormon lain untuk merangsang proses
metabolik kunci, termasuk glukoneogenesis dengan efisiensi maksimal (Lukman
A, 2012).
Deksametason menurunkan ekspresi Vascular Endothelial Growth
Factor (VEGF) melalui aktifasi reseptor glukokortikoid (Glucocorticoid
Receptop; GR), sehingga memperbaiki disfungsi sawar darah otak. Deksametason
mempunyai afinitas yang kuat pada GR, yang menimbulkan penurunan ekspresi
eNOS (Endothelial Nitric Oxyde Synthase). Penurunan Enos akan mengakibatkan
produksi Nitric Oxyde (NO) oleh sel endotel menurun, sehingga tigh junction
pada sawar darah otak mengalami perbaikan dan menurunkan permeabilitas sawar
darah otak. Deksamethason menurunkan NF-KB melalui GR, sehingga
memperbaiki sawar darah otak dan menurunkan edema serebral (Goodwin JE,
2013).

S Udema pada kepala


O Data Lab Normal 16/12 18/12

GDA 70 - 120 137


49

WBC ( 4,50-11,0 ) /dl 13,58

MCV 86,7-102,3fL 88

MCH 27,1-32,4pg 30

A Steroid memberikan efek anti edema serebral.


Dosis dexamethason :
- Dewasa : 10 mg loading intravena, diikuti dosis rumatan 6 mg
PO atau IV tiap 6 jam. Pada kasus dengan edema vasogenik
yang berat maka dosis dapat ditingkatkan sampai 10 mg tiap 4
jam.
- Dosis tunggal 10mg dapat meningkatkan konsentrasi glukosa
darah pada pasien non-diabet. Efek samping pemberian steroid
yakni gangguan toleransi glukosa. Efek samping bersifat
reversibel apabila steroid dihentikan. (British Journal of
Anaesthesia 99 (1): 68–74 (2007) ).
P Monitoring gula darah pasien karena merupakan efek samping
pemberian steroid.

Jenis-jenis operasi berdasarkan kebutuhan antibiotik


Operasi Bersih Merupakan luka operasi yang tidak terinfeksi dan tidak
ada inflamasi yang ditemukan serta luka tidak menembus
50

respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus


urogenitalis. Luka ditutup dan dikeringkan dengan
drainage tertutup
Operasi bersih Merupakan luka operasi yang menembus respiratorius,
terkontaminasi traktus gastrointestinalis dan traktus urogenitalis namun
masih dalam kondisi yang terkendali dan tanpa
kontaminasi yang bermakna.
Operasi Kotor Merupakan luka akibat kecelakaan dan luka terbuka.
Kondisi pada operasi ini dengan daerah kerusakan yang
luas menggunakan teknik steril atau tumpahnya cairan
yang terlihat jelas dari traktus gastrointestinalis dan
insisional yang akut.
Operasi Kotor Merupakan luka trauma yang sudah lama dengan
terkontaminasi mempertahankan jaringan yang dilemahkan dan terdapat
infeksi klinikal atau perforasi visceral
Sumber: Central for Disease Control and Prevention (CDC). 2017. London :
Central for Disease Control and Prevention. 9 Surgical Site Infection
(SSI) Event.

Berdasarkan Permenkes nomor 27 tahun 2017, terdapat tiga kategori


pemberian antibiotik yaitu sebagai antibiotik profilaksis, empirik, dan sebagai
antibiotik definitive. Pemberian antibiotik profilaksis bedah pada beberapa operasi
bersih (misalnya kraniotomi, mata) dan semua operasi bersih terkontaminasi
adalah penggunaan antibiotik sebelum, selama, dan paling lama 24 jam pasca
operasi pada kasus yang secara klinis tidak memperlihatkan tanda infeksi dengan
tujuan mencegah terjadinya infeksi daerah operasi. Pada prosedur operasi
terkontaminasi dan kotor, pasien diberi terapi antibiotik sehingga tidak perlu
ditambahkan antibiotik profilaksis.
Terapi antibiotik empirik yaitu penggunaan antibiotik pada kasus infeksi
atau diduga infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Terapi
antibiotik empirik ini dapat diberikan selama 3-5 hari. Antibiotik lanjutan
diberikan berdasarkan data hasil pemeriksaan laboratorium dan mikrobiologi.
51

Sebelum pemberian terapi empirik dilakukan pengambilan spesimen untuk


pemeriksaan mikrobiologi. Jenis antibiotik empirik ditetapkan berdasarkan pola
mikroba dan kepekaan antibiotik setempat.
Terapi antibiotik definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi
yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan kepekaannya terhadap antibiotik.
Analisa terapi Antibiotik
Nama obat 16 17 18

Anbacim 2g √ (10.30)

S Mata kanan menonjol

O
52

A Pemberian Antibiotik profilaksis pada operasi kraniotomi diperlukan untuk


mengurangi risiko infeksi luka daerah pasca-operasi. Menurut jurnal
antibiotik profilaksis pada tindakan bedah, disebutkan bahwa penggunaan
antibiotik profilaksis pada bedah syaraf lini pertama yang digunakan yaitu
Cefazolin golongan betalaktam sub selalosporin. Disebutkan pula
penggunaan antibiotic profilaksis pada bedah syaraf adalah dari Golongan
penisilin ( sumber : Lukito, J.I. Antibiotik profilaks pada tindakan bedah.
Medical departemen ). Cefazolin juga merupakan antibiotic golongan beta
lactam. Pemilihan antibiotic ini berdasarkan kemampuan antibiotic tersebut
menembus sawar otak.

P Monitoring gejala infeksi : Suhu , RR, Nadi pasien


53

Tatalaksana Nyeri

Gambar Manajemen nyeri

Sumber: DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris. P:557-577

Penilaian nyeri merupakan hal yang penting untuk mengetahui intensitas


dan menentukan terapi yang efektif. Intensitas nyeri sebaiknya harus dinilai sedini
mungkin dan sangat diperlukan komunikasi yang baik dengan pasien. Penilaian
nyeri meliputi anamnesis umum, pemeriksaan fisik dan anamnesis spesifik nyeri.
54

Gambar. Manajemen nyeri pascaoperasi


Sumber: Journal of Anaesthesia and Pain, 2020, Volume: 1, No.3: 28-38

Terapi analgesik dan anestesi

Nama obat 16 17 18 19 20 21

Santagesik 3x1g iv √ √ √ √ √ (3x1 tab)

Drip Safol 30mg/jam √

Roculax 10mg/jam √

Fentanyl 30mcg/jam √

Safol mengandung propofol 10mg/ml. safol merupakan golongan general


anestesi yang memiliki efek proteksi terhadap otak. Propofol diberikan untuk
induksi karena durasinya yang cepat, depresi reflex faring dan menurunkan
insiden PONV (Post operatif nausea and vomiting). Propofol menurunkan aliran
darah otak (sebanyak 30%), CMRO2 (30%), dan tekanan intrakranial. Tekanan
55

perfusi otak juga menurun karena propofol memiliki efek hipotensi yang hebat.
Mekanisme kerja nya yaitu Memfasilitasi inhibisi neurotransmisi yang dimediasi
oleh gamma-aminobutyric acid (GABA) (Medscape.com).
Roculax mengandung rocuronium 10mg/ml dalam sediaan total volume 5ml
dalam satu ampul. Roculax merupakan golongan general anestesi. Mekanisme
kerja: Relaksanotot rangka nondepolarisasi; antagonis reseptor kolinergik,
menghambat depolarisasi. Memiliki t1/2 : 60-70 menit. Memiliki efek samping
hipertensi (1-10%) (Medscape.com).
Fentanyl 0,1mg/ml bermanfaat untuk manajemen nyeri, merupakan
golongan opioid, nalgesik narkotik kuat. Farmakokinetika dari fentanyl yaitu
mempunyai onset cepat dan durasi singkat, tidak mengganggu pulih sadar dan
tidak menyebabkan pelepasan histamin. Penggunaan opioid kuat tersebut juga
memiliki beberapa kekurangan diantaranya mual, muntah, sedasi, retensi urin,
serta depresi napas (Mesdcape.com).
S Pasien mengeluhkan pusing dan merasa nyeri
O Data Norm Tanggal
Klinik al 16 17 18 19 20 21 22

TD 120/8 121/8 107/7 118/7 139/7 114/8 110/7 114/7


(mmH 0 5 0 2 4 0 0 7
g) mmH
g
Skala 1-3 1-3 1-3 1-3 1-3
Nyeri

A Pemberian metamizol intravena dosis tunggal untuk mengurangi nyeri pada


paska operasi, memperlihatkan adanya efek samping yang umum timbul yaitu
gangguan saluran cerna dan mual (Ibanez dkk., 2005).
Terapi anestesi yang diberikan telah sesuai dengan Pedoman Nasioanl
Pelayanan Kedokteran anestesiologi dan terapi intensif, 2015 yaitu pemilihan
obat yang berefek proteksi otak meliputi anestetika intravena yaitu propofol;
sebagai pelumpuh otot yaitu rocuronium; dan analgetik opioid yang
dianjurkan fentanyl.
56

Pemberian anestesi roculax memiliki efek samping kenaikan tekanan darah


(Medscape.com)
P Monitoring skala nyeri dan tekanan darah pasien

Terapi Stress Ulcer Profilaksis

Pasien yg akan menjalani pembedahan, maka akan mengalami kecemasan


dan rasa takut terhadap penyuntikan, nyeri, luka, anestesi dan bahkan
kemungkinan cacat atau mati. Kondisi tersebut akan merangsang dilepaskannya
Norepineprin, serotonin dan histamin. Mediator histamin merupakan perangsang
sekresi asam lambung dan pepsin, sehingga jika terjadi pelepasan histamin yang
berlebih dapat memicu terjadinya ulkus. Oleh karena itu, pencegahan terhadap
stress ulcer perlu dilakukan agar tidak menyebabkan terjadinya perforasi pada
lapisan mukosa bahkan dapat menyebabkan terjadinya kematian. Obat yang
digunakan untuk profilaksis stress ulcer yaitu antasida, antagonis reseptor
Histamin 2, pompa proton inhibitor dan sukralfat. Pompa proton inhibitor dan
antagonis reseptor histamin 2 lebih sering digunakan dibandingkan dengan
antasida dan sukralfat karena mudah diberikan dan memiliki efektifitas yang lebih
baik (Madsen et al, 2014).

S Pasien mengeluhkan mual

O Pemeriksaan fisik pada tgl 17/12 terjadi Mual

A Pemberian ranitidin sebagai SUP telah sesuai, dibuktikan pada


guideline dari American Society of Health-System Pharmacists
(ASHP), dosis ranitidin untuk profilaksis stress ulcer adalah 50 mg
setiap 6-12 jam secara intravena. Pemberian ranitidin pada kasus
bedah syaraf (>12 – 65 th) yaitu 50mg IV (Sugiarti, 2014). Efek
samping nyeri kepala (1-10%) (medscape.com)
P Monitoring efektifitas pemberian ranitidin. Efektifitas terapi dilihat
dari tidak adanya penurunan nilai Hb, tekanan darah dan denyut
nadi.
57

Analisa Terapi Kalnex


Kalnex mengandung asam traneksamat 500mg/5ml. Mekanisme kerja
menghambat pemecahan fibrin polimer oleh plasmin, sehingga hemostasis dapat
terjadi dengan lebih efektif. Farmakokinetika : t1/2 yaitu 2-11 jam. Ikatan
protein: 3%; VD : 9-27L; kliren 110-116ml/menit; ekskresi melalui urin 95%.
Untuk pengurangan kehilangan darah 10 mg/kg IV lebih dari 30 menit sebelum
inflasi dan 3 jam setelah pemberian dosis pertama. (medscape).
Pemberian asam traneksamat intravena 20 mg/kg berat badan yang dilakukan
30 menit sebelum insisi dapat mengurangi jumlah perdarahan intraoperatif dan
jumlah kebutuhan transfusi. Namun asam traneksamat memiliki efek antagonis
kompetitif terhadap reseptor GABA (gamma aminobutyric acid) tipe A yang
banyak terdapat pada sel-sel syaraf di otak dan sumsum tulang belakang, sehingga
hal ini dapat menimbulkan efek samping kejang. Sebaiknya pemberian kalnex
pascaoperasi kraniotomi perlu dihindari.

S Pasien mengalami pendarahan


O HGB (16/12) : 14,5 (Normal )

A Pemberian asam traneksamat intravena 20 mg/kg berat badan yang


dilakukan 30 menit sebelum insisi dapat mengurangi jumlah
perdarahan intraoperatif dan jumlah kebutuhan transfusi.
Efek samping dari asam traneksamat yang perlu diwaspadai adalah
udema serebral. Sehingga sebaiknya asam traneksamat tidak
diberikan kepada pasien paska bedah tumor otak.
P Saran pemberian kalnex sebelum insisi.
Monitoring adanya pendarahan paska operasi.

Terapi cairan pada kraniotomi


S -
58

A Permberian terapi cairan NS telah sesuai. Berdasarkan Pedoman Nasioanal


Pelayanan Kedokteran anestesiologi dan terapi intensif, 2015 bahwa terapi
cairan pada pasien normotensi dan normoglikemia jangan diinfus dengan
cairan yang engandung glukosa, pilihannya adalah menggunakan NaCl
0,9% dan ringerfundin. Jangan menggunakan RL karena osmolaritasnya
273 mOsm/L, jadi RL adalah cairan hipoosmoler.
P Monitoring suhu (dianjurkan 35-36 oC)

PEMBAHASAN
Pasien Ny. X masuk rumah sakit pada tanggal 16 Desember 2020 dengan
keluhan ± 3 bulan yang lalu mengeluh pusing-pusing, terasa berdenyut, mata
kanan menonjol, kemudian pasien periksa ke poli, dilanjutkan CT scan kepala dan
dahi, kemudian pasien dianjurkan operasi. Seingga pada tanggal 17 pasien
mendapatkan jadwal operasi untuk mengangkat tumor yang ada di kepala tersebut.
Ketika di IGD pasien mendapatkan terapi deksametason 3 kali sehari satu
ampul. Pemberian deksametason sebagai antiedema serebral dan juga dapat
mengambat tumor kepala.
Pada tanggal 17 Desember 2020 pasien akan melaksanakan operasi
bedah meningioma, sehingga mendapatkan antibiotik profilaksis yaitu anbacim
2g. Pemberian Antibiotik profilaksis pada operasi kraniotomi diperlukan untuk
mengurangi risiko infeksi luka daerah pasca-operasi. Menurut jurnal antibiotik
profilaksis pada tindakan bedah, disebutkan bahwa penggunaan antibiotik
profilaksis pada bedah syaraf lini pertama yang digunakan yaitu Cefazolin
golongan betalaktam sub selalosporin. Disebutkan pula penggunaan antibiotic
59

profilaksis pada bedah syaraf adalah dari Golongan penisilin (Lukito, J.I.
Antibiotik profilaks pada tindakan bedah. Medical departemen ). Cefazolin
maupun anbacim sama-sama dari antibitotik golongan beta lactam yang
merupakan antibiotik spectrum luas dan dapat menembus sawar otak.
Ketika proses operasi pasien mendapatkan terapi cairan NS, dan anestesi
drip safol, roculax dan fentanyl. Terapi cairan masih berlansung selama pasien
berada di ruang rawat inap. Berdasarkan Pedoman Nasioanal Pelayanan
Kedokteran anestesiologi dan terapi intensif, 2015 bahwa terapi cairan pada
pasien normotensi dan normoglikemia tidak diperkenankan diinfus dengan cairan
yang mengandung glukosa, pilihannya adalah menggunakan NaCl 0,9% dan
ringerfundin. Tidak dianjurkan menggunakan RL karena osmolaritasnya 273
mOsm/L, RL merupakan cairan hipoosmoler.
Setelah melakukan operasi pasien masuk kamar ICU dan mendapatkan
terapi dexametason, cairan NS, ranitidine, santagsik dan kalnex. Ranitidin
digunakan dengan tujuan terapi pencegahan terhadap stress ulcer, hal ini perlu
dilakukan agar tidak menyebabkan terjadinya perforasi pada lapisan mukosa.
Sebagai terapi analgesik pascaoperasi diberikan santagesik yang mengandung
metamizol natrium 500mg/ml.
Pada tanggal 19 Desember 2020 pasien dipindahkan di ruang
Bougenville dengan terapi dexametason, cairan NS, ranitidine dan santagsik. Pada
saat visite ke pasien, pasien mengatakan bahwa rasa nyeri sudah berkurang,
sehingga tujuan terapi santagesik telah tercapai.
Pada tanggal 21 Desember 2020 pasien sudah mulai diganti dengan
terapi per oral meliputi santagesik tablet dengan frekuensi 3 kali sehari 1 tablet
dan ranitidine tablet dengan frekuensi 2 kali sehari satu tablet. Pada tanggal 22
Desember 2020, telah mendapatkan persetujuan dari dokter bahwa telah
dinyatakan membaik dan bia pulang dengan diagnose post exici tumor otak.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Terapi yang diberikan pada pasien bedah meningioma telah sesuai, kecuali
pada pemberian asam traneksamat pada terapi pascabedah kraniotomi
perlu dipertimbangkan kembali, mengingat efek samping yang dapat
timbul karena pemberian asam traneksamat.
2. Rekomendasi pemberian asam traneksamat diberikan sebelum operasi
untuk meminimalkan terjadinya pendarahan berlebih ketika operasi.
B. Saran
1. Perlu dilakukan pengkajian terhadap pemberian asam traneksamat
pascabedah meningioma
2. Perlu dilakukan monitoring efek samping potensial dari masing-masing
terapi

60
61

DAFTAR PUSTAKA

Dinsmore J. Anaesthesia For Elective Neurosurgery. Br. J. Anesth 2007;

99(1):68–74

DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015.

Pharmacotherapy Handbook. Ninth Edition. McGraw-Hill Education

Companies. Inggris. P:557-577

https://www.medscape.com/ diakses pada 26 Desember 2020

Journal of Anaesthesia and Pain, 2020, Volume: 1, No.3: 28-38

Kementerian Kesehatan RI. 2019. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran

Tumor Otak. PERSPEBSI: Jakarta.

Keputusan Menteri Kesehatan RI. 2015. Pedoman Nasional Pelayanan

Kedokteran Anestesiologi dan Terapi Intensif. Menkes: Jakarta.

Lukito, J.I. Antibiotik Profilaks Pada Tindakan Bedah. Medical departemen

Madsen, K.R, Lorentzen, K, Clausen, N. 2014. Guideline For Stress Ulcer

Prophylaxis In The Intensive Care Unit. Dan Med J; 61(3): 1-4.

Peraturan Menteri Kesehatan RI. No. 27 Tahun 2017. Pedoman Pencegahan Dan

Pengendalian Infeksi Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta.


LAPORAN KASUS FARMASI KLINIS

PEMBERIAN ANTIKOAGULAN PROFILAKSIS PADA PASIEN COVID-


19
PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH NGUDI WALUYO WLINGI
(JL. DOKTER SUCIPTO NO. 5, BERU, KEC.WLINGI, KAB.BLITAR)
PERIODE 7 DESEMBER 2020 – 9 JANUARI 2020

Disusun Oleh :

Ulfa Azizatuddiyanah (40119036)

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI


FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER
2020

62
BAB I
PENDAHULUAN
A. COVID=19
1. DEFINISI
Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan
penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis
coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat
menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome
(MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang belum pernah
diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab COVID-19 ini
dinamakan Sars-CoV-2
Pada setiap pasien yang dirawat dengan COVID-19, dilakukan
penilaian apakah memerlukan tromboprofilaksis dan tidak terdapat kontra
indikasi pemberian antikoagulan. Pemberian antikoagulan profilaksis pada
pasien COVID 19 derajat ringan harus didasarkan pada penilaian dokter
yang merawat dengan menimbang faktor-faktor risiko trombosis pada
pasien tersebut.
Pemberian antikoagulan profilaksis pada pasien COVID 19 derajat
ringan harus didasarkan pada penilaian dokter yang merawat dengan
menimbang faktor-faktor risiko trombosis pada pasien tersebut.

2. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Patogenesis infeksi COVID-19belum diketahui seutuhnya.Pada
awalnya diketahui virus ini mungkin memiliki kesamaan dengan SARS dan
MERS CoV, tetapi dari hasil evaluasigenomikisolasi dari 10
pasien,didapatkan kesamaan mencapai 99% yang menunjukkan suatu virus
baru, dan menunjukkan kesamaan (identik88%) dengan bat-derived severe
acute respiratory syndrome (SARS)-like coronaviruses, bat-SL-CoVZC45
dan bat-SL-CoVZXC21, yang diambil pada tahun 2018 di Zhoushan, Cina
bagian Timur, kedekatan dengan SARS-CoV adalah 79% dan lebih jauh lagi
dengan MERS-CoV (50%). Gambar 2 menunjukkan evaluasi filogenetik

63
64

COVID-19 dengan berbagai virus corona. Analisis filogenetik menunjukkan


COVID-19merupakan bagian dari subgenus Sarbecovirus dan genus
Betacoronavirus.9Penelitian lain menunjukkan protein (S) memfasilitasi
masuknya virus corona ke dalam sel target. Proses ini bergantung pada
pengikatanprotein S ke reseptor selular dan primingprotein S ke protease
selular. Penelitian hingga saat ini menunjukkan kemungkinan proses
masuknya COVID-19ke dalam sel mirip dengan SARS.4Hai ini didasarkan
pada kesamaan struktur 76% antara SARS dan COVID-19. Sehingga
diperkirakan virus inimenarget Angiotensin Converting Enzyme2 (ACE2)
sebagai reseptor masuk dan menggunakan serine protease TMPRSS2 untuk
primingS protein, meskipun hal ini masih membutuhkan penelitian lebih
lanjut4,10Proses imunologik dari host selanjutnya belum banyak diketahui.
Dari data kasus yang ada,pemeriksaan sitokin yang berperan pada ARDS
menunjukkan hasil terjadinya badai sitokin (cytokine storms) seperti pada
kondisi ARDS lainnya. Dari penelitian sejauh ini,ditemukan beberapa
sitokin dalam jumlah tinggi, yaitu: interleukin-1 beta(IL-1β), interferon-
gamma(IFN-γ), inducible protein/CXCL10 (IP10)dan monocyte
chemoattractant protein1 (MCP1)serta kemungkinanmengaktifkan T-helper-
1 (Th1).1,4Selain sitokin tersebut, COVID-19juga meningkatkan sitokin T-
helper-2 (Th2) (misalnya, IL4 and IL10) yang mensupresi inflamasi berbeda
dari SARS-CoV. Data lain juga menunjukkan,pada pasien COVID-19di
ICU ditemukan kadar granulocyte-colony stimulating factor(GCSF), IP10,
MCP1, macrophage inflammatory proteins1A (MIP1A)dan TNFαyang lebih
tinggi dibandingkan pasien yang tidak memerlukan perawatan ICU. Hal ini
mengindikasikan badai sitokinakibat infeksi COVID-19berkaitan dengan
derajat keparahan

3. PATOFISIOLOGI THROMBOSIS DAN GANGGUAN


KOAGULASI
Infeksi novel Corona virus (COVID-19) merupakan infeksi yang
disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2
(SARS-CoV-2) dengan jumlah kasus yang terus meningkat di beberapa
65

negara di dunia dan angka kematian yang tinggi. Data-data menunjukkan


bahwa gangguan koagulasi, terutama peningkatan D-dimer dan fibrinogen-
degradation product (FDP) ditemukan dengan kadar yang sangat tinggi
pada pasien pneumonia akibat COVID-19 yang meninggal. Emboli paru
ditemukan pada 30% pasien COVID-19 dan pasien yang saat awal datang
dengan pneumonia dan respiratory insufficiency mengalami progresivitas
menjadi penyakit sistemik dan mengalami disfungsi organ multipel.
Pemeriksaan histopatologik pada otopsi pasien COVID-19 mendapatkan
adanya trombosis yang luas dan mikrotrombus pada kapiler alveolus.
Sebanyak 71% pasien COVID-19 yang meninggal juga memenuhi kriteria
Koagulasi Intravaskular Diseminata atau Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) berdasarkan kriteria International Society on
Thrombosis and Haemostasis (ISTH). Data-data tersebut menunjukkan
bahwa gangguan koagulasi merupakan salah satu penyebab kematian pasien
COVID-19 derajat berat, berkaitan dengan mortalitas dan prognosis yang
buruk pada pasien COVID-19.

4. DIAGNOSIS GANGGUAN KOAGULASI


Berdasarkan berbagai data yang ada, ISTH merekomendasikan
pemeriksaan D-dimer, masa prothrombin (prothrombin time/PT) dan hitung
trombosit pada semua pasien dengan infeksi COVID-19. Interpretasi kadar
D-dimer harus dilakukan dengan hati-hati pada pasien usia lanjut dan jika
terdapat penyakit penyerta/komorbid (seperti gangguan hati, pasien dengan
penyakit kardiovaskular) yang dapat meningkatkan kadar D-dimer meski
tanpa disertai infeksi.
Pada pasien COVID-19 berat dengan risiko perburukan koagulopati
dan menjadi DIC, pemeriksaan laboratorium hemostasis dapat ditambahkan
fibrinogen untuk menilai perburukan atau diagnosis awal terjadinya DIC.
Kriteria DIC yang digunakan adalah kriteria ISTH yang dapat dilihat pada
Tabel 7.
66

Tabel 7. Kriteria DIC berdasarkan The International Society of


Thrombosis Haemostasis (ISTH) 7
Kategori Skor Nilai
Jumlah trombosit
(/mm3)
1 ≥ 50.000, <100.000
D-dimer/FDP
2

Meningkat

Pemanjangan PT ≥ 6 detik
1 ≥3 detik, <6 detik
Fibrinogen (g/mL)
Total skor
< 5 Non-overt DIC

Pemeriksaan PT, D-dimer, trombosit dan fibrinogen dapat dilakukan secara


serial/berkala sesuai dengan penilaian klinis pasien.

5. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas,
mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia
berat, ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong
ringan atau sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan sebanyak 6,1%
pasien jatuh ke dalam keadaan kritis. Berapa besar proporsi infeksi
asimtomatik belum diketahui.21 Viremia dan viral load yang tinggi dari
swab nasofaring pada pasien yang asimptomatik telah dilaporkan.56Gejala
ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran napas atas
tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau
67

tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan, kongesti nasal, atau


sakit kepala. Pasien tidak membutuhkan suplementasi oksigen. Pada
beberapa kasus pasien juga mengeluhkan diare dan muntah seperti terlihat
pada tabel 3.3, 26 Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai
dengan demam, ditambah salah satu dari gejala: (1) frekuensi pernapasan
>30x/menit (2) distres pernapasan berat, atau (3) saturasi oksigen 93% tanpa
bantuan oksigen. Pada pasien geriatri dapat muncul gejala-gejala yang
atipikal.57Sebagian besar pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2
menunjukkan gejala-gejala pada sistem pernapasan seperti demam, batuk,
bersin, dan sesak napas.1 Berdasarkan data 55.924 kasus, gejala tersering
adalah demam, batuk kering, dan fatigue. Gejala lain yang dapat ditemukan
adalah batuk produktif, sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala,
mialgia/artralgia, menggigil, mual/muntah, kongesti nasal, diare, nyeri
abdomen, hemoptisis, dan kongesti konjungtiva.21 Lebih dari 40% demam
pada pasien COVID-19 memiliki suhu puncak antara 38,1-39°C. Sementara
34% mengalami demam suhu lebih dari 39°C.3Perjalanan penyakit dimulai
dengan masa inkubasi yang lamanya sekitar 3-14 hari (median 5 hari). Pada
masa ini leukosit dan limfosit masih normal atau sedikit menurun dan pasien
tidak bergejala. Pada fase berikutnya (gejala awal), virus menyebar melalui
aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE2
seperti paru-paru, saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya
ringan. Serangan kedua terjadi empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala
awal. Pada saat ini pasien masih demam dan mulai sesak, lesi di paru
memburuk, limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai meningkat dan
mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase selanjutnya inflamasi
makin tak terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan ARDS,
sepsis, dan komplikasi lainnya (Gambar 4)3, 49, 58, 60, 64-66Gambar 5
menunjukkan perjalanan penyakit pada pasien COVID-19 yang berat dan
onset terjadinya gejala dari beberapa laporan
68

6. TATALAKSANA
a. Tromboprofilaksis
Pada setiap pasien COVID-19 sedang hingga berat yang dirawat di
rumah sakit jika tidak terdapat kontraindikasi (absolut / realtif) pada
pasien (perdarahan aktif, riwayat alergi heparin atau heparin-induced
thrombocytopenia, Riwayat perdarahan sebelumnya, gangguan hati
berat) dan jumlah trombosit > 25.000/mm3, maka pemberian
antikoagulan profilaksis dapat dipertimbangkan. Antikoagulan tersebut
dapat berupa heparin berat molekul rendah (low molecular-weight
heparin/LMWH) dosis standar 1 x 0,4 cc subkutan atau unfractionated
heparin (UFH) dosis 2 x 000 unit sehari secara subkutan. Dosis
profilaksis intermediate (enoxaparin 2 x 0,4 cc, low-intensity heparin
infusion) dapat dipertimbangkan pada pasien kritis (critically-ill).
Penilaian risiko perdarahan juga dapat menggunakan skor
IMPROVE (Tabel 8). Sebelum memberikan antikoagulan harus
dievaluasi kelainan sistem/organ dan komorbiditas untuk menilai risiko
terjadinya perdarahan maupun jenisnya.
Profilaksis dengan fondaparinux dosis standar juga dapat
dipertimbangkan pada pasien COVID-19 yang dirawat, tapi pada
kondisi pasien COVID-19 yang kritis tidak menjadi pilihan utama
karena pada kondisi pasien yang tidak stabil sering didapatkan
gangguan ginjal.

Tabel 8. Risiko Perdarahan IMPROVE


Faktor Risiko Poin
Insufisiensi ginjal moderat (klirens keratin 30-50 1
mL/menit)
Pria 1
Usia 40-84 tahun 1.5
Kanker aktif 2
Penyakit reumatik 2
69

Pemakaian kateter vena sentral 2


Admisi di ICU/CCU 2.5
Insufisiensi renal berat (klirens keratin < 30 mL/menit) 2.5
Insufisiensi liver (INR>1,5) 2.5
Usia ≥ 85 tahun 3.5
Trombositopenia < 50.000/UI 4
Riwayat perdarahan dalam 3 bulan terakhir 4

Ulkus gastro-intestinal aktif 4


Skor total : 30,5; interpretasi : < 7 risiko terjadinya perdarahan rendah, ≥ 7
peningkatan risiko terjadinya perdarahan. LFG, laju filtrasi glomerulus;
ICU, intensive care Unit; CCU, Coronary Care Unit

Antikoagulan profilaksis diberikan selama pasien dirawat. Efek


samping perdarahan atau komplikasi lain harus dipantau selama
pemberian antikoagulan. Selama pemberian antikoagulan, pemeriksaan
laboratorium hemostasis rutin tidak diperlukan kecuali bila ada efek
samping perdarahan atau terjadi perburukan ke arah DIC atau
pertimbangan klinis khusus. Jika kondisi pasien membaik, dapat
mobilisasi aktif dan penilaian ulang tidak didapatkan risiko trombosis
yang tinggi, antikoagulan profilaksis dapat dihentikan, kecuali pada
pasienpasien tertentu dengan risiko trombosis antikoagulan profilaksis
dapat dilanjutkan setelah berobat jalan.
Apabila didapatkan perdarahan dengan koagulopati septik
(perburukan kondisi) maka pedoman ISTH atau panduan terkait transfusi
darah dapat diaplikasikan/digunakan.
70
71

Gambar 5. Algoritma tatalaksana koagulasi pada COVID 19 berdasarkan


marker laboratorium sederhana.
*Daftar marker diletakkan sesuai menurun berdasarkan tingkat kepentingan.
**Pemantauan kadar fibrinogen dapat membantu setelah pasien rawat inap. ***
Meskipun cut-off spesifik tidak dapat didefinisikan, peningkatan nilai D-dimer
tiga hingga empat kali lipat dapat dianggap signifikan.
b. Antikoagulan Profilaksis Pada Pasien COVID-19 Kondisi
Kritis
Peningkatan dosis profilaksis antikoagulan direkomendasikan pada pasien
COVID-19 yang dirawat ICU atau post-ICU. Pemberian antikoagulan profilaksis
pada pasien COVID-19 kondisi kritis mengikuti kriteria berikut ini:
1) Kriteria inklusi
- Pasien terkonfirmasi COVID-19 atau pasien suspek atau
probable yang membutuhkan perawatan ICU dan/atau
setelah dipindahkan dari perawatan ICU
- Trombosit lebih 25.000
2) Kriteria eksklusi
- Jumlah tombosit kurang dari 25.000 atau memiliki manifestasi
perdarahan
- Pasien bedah saraf (neurosurgery) atau memiliki perdarahan
aktif

Tabel 9. Penggunaan antikoagulan pada pasien kritis


Dosis CrCl ≥ 30 mL/menit CrCl < 30mL/
penyesuaian menit
Standar Enoxaparin 40 mg dua UFH 7.500 units
kali sehari subkutan, atau tiga kali sehari
UFH 7.500 units tiga kali subkutan
sehari subkutan
Obes (≥120kg or Enoxaparin 0,5 mg/kg UFH 10.000 units
BMI ≥ 35) dua kali sehari subkutan tiga kali sehari
72

(dosis maksimal 100 mg subkutan


dua kali sehari), atau
UFH 10.000 units tiga
kali sehari
Berat badan Enoxaparin 30 mg dua UFH 7.500 units
kurang dari 60 kg kali sehari subkutan, atau tiga kali sehari
UFH 7.500 units tiga kali subkutan
sehari subkutan

3) Tromboemboli vena (emboli paru dan trombosis vena dalam)


Pada pasien COVID-19 yang mengalami emboli paru (EP)
atau trombosis vena dalam (deep vein thrombosis/DVT), jika tidak
terdapat kontraindikasi, harus diberikan antikoagulan dosis terapi
berupa LMWH 1 mg/kgBB 2x sehari subkutan atau heparin
dengan dosis loading 80 unit/kgBB iv dilanjutkan drip kontinyu 18
unit/kgBB/jam dengan monitor APTT untuk menyesuaikan dosis
dengan target 1,5 – 2,5x kontrol. Dosis heparin memerlukan titrasi
dosis sesuai dengan nilai APTT, dapat dilihat pada tabel 10. Tidak
diperlukan monitoring laboratorium pada pemberian LMWH
kecuali pada kondisi khusus seperti gangguan ginjal, obesitas,
kehamilan, diperlukan monitoring dengan pemeriksaan anti-Xa.
Fondaparinux dosis terapeutik dapat dipertimbangkan untuk
diberikan pada pasien COVID-19 dengan EP/DVT dengan menilai
risiko perdarahan dan fungsi ginjal. Antikoagulan untuk EP/DVT
diberikan selama 3 – 6 bulan.
Antikoagulan oral seperti DOAC (Direct Oral
Anticoagulant) atau Vitamin K antagonis tidak disarankan untuk
diberikan pada pasien COVID-19 sebagai tromboprofilaksis atau
pasien COVID-19 dengan EP/DVT yang dirawat dan potensial
mengalami perburukan atau kondisi tidak stabil. Jika setelah
berobat jalan antikoagulan oral dapat dipretimbangkan jika tidak
73

ada interaksi dengan obat-obatan yang diberikan pada pasien


COVID-19 seperti antivirus, antibiotik (golongan makrolid),
steroid dan obat lainnya.
Perlu diingat bahwa dalam pemberian antikoagulan,
penilaian risiko perdarahan dan thrombosis, monitor fungsi ginjal
dan penilaian adanya komplikasi pada pasien harus dilakukan
secara berkala. Mengingat risiko perdarahan dan durasi terapi
antikoagulan pada pasien dengan emboli paru/DVT yang harus
diberikan selama minimal 3-6 bulan atau lebih, pasien dengan
emboli paru atau DVT harus dikonsulkan kepada dokter SpPD-
KHOM, dan jika diperlukan dikonsulkan ke dokter spesialis paru
(SpP) atau SpPD-KP), dokter spesialis jantung dan pembuluh
darah (SpJP) atau SpPD-KKV atau dokter spesialis lain yang
terkait agar dapat diberikan terapi yang optimal/adekuat dan
monitoring sesuai ketentuan.

Tabel 10. Dosis Modifikasi Heparin Berdasarkan Nilai APTT

APTT (detik) Dosis Modifikasi


<35 detik (1,2x normal) 80 unit/kg (bolus), naik drip 4
unit/kg/jam dari sebelumnya
35-45 (1,2-1,5× normal) 40 unit/kg (bolus), naik drip 2
unit/kg/jam dari sebelumnya
46-70 (1,5-2,3x normal) TIDAK ADA PENYESUAIAN
DOSIS
71-90 (2,3-3x normal) Turun drip 4 unit/kg/jam
>90 (>3x normal) Hentikan drip 1-2 jam. Mulai drip
3 unit/kg/jam

Terdapat penyakit penyerta/komorbid (seperti gangguan


hati, pasien dengan penyakit kardiovaskular) yang dapat
meningkatkan kadar D-dimer meski tanpa disertai infeksi.
74

Pada pasien COVID-19 berat dengan risiko perburukan


koagulopati dan menjadi DIC, pemeriksaan laboratorium
hemostasis dapat ditambahkan fibrinogen untuk menilai
perburukan atau diagnosis awal terjadinya DIC. Kriteria DIC
yang digunakan adalah kriteria ISTH . Kriteria DIC berdasarkan
The International Society of Thrombosis Haemostasis
(ISTH) 7 Kategori Skor Nilai Jumlah trombosit (/mm3) 2 <50.000
1 ≥ 50.000, <100.000 D-dimer/FDP 3 Meningkat tinggi 2
Meningkat sedang Pemanjangan PT 2 ≥ 6 detik 1 ≥3 detik, <6
detik Fibrinogen (g/mL) 1 <100 Total skor≥ 5 < 5Overt DIC Non-
overt DICPemeriksaanPT, D-dimer, trombosit dan fibrinogen
dapat dilakukan secara serial/berkala sesuai dengan penilaian
klinis pasien. Tatalaksana 1. Tromboprofilaksis Pada setiap
pasien yang dirawat dengan COVID-19, dilakukan penilaian
apakah memerlukan tromboprofilaksis dan tidak terdapat kontra
indikasi pemberian antikoagulan. Pemberian antikoagulan
profilaksis pada pasien COVID 19 derajat ringan harus didasarkan
pada hasil pemeriksaan D-dimer. Pada setiap pasien COVID-19
derajat sedang yang dirawat di RS dan dilakukan pemberian
antikoagulan
Hal lain yang harus dipertimbangkan sebelum
memberikan antikoagulan adalah adanya penyakit komorbid
seperti gangguan ginjal, atau pasien sudah dalam terapi
antiplatelet seperti aspirin, clopidogrel atau obat antiplatelet
lain (pada penderita penyakit jantung koroner, strokeatau
penyakit lain). Jika terdapat kondisi yang memerlukan penilaian
lebih lanjut, pasien tersebut harus dikonsulkan kepada dokter
SpPD-KHOM, dokter jantung (SpJP/SpPD-KKV), dan/atau
subspesialis lain yang terkait dengan penyulit pada pasien tersebut.
Antikoagulan profilaksis diberikan selama pasien dirawat. Jika
kondisi pasien membaik, dapat mobilisasi aktif dan penilaian ulang
tidak didapatkan risiko trombosis yang tinggi, antikoagulan
75

profilaksis dapat dihentikan.Efek samping perdarahan atau


komplikasi lain harus dipantau selama pemberian
antikoagulan.Selama pemberian antikoagulan, pemeriksaan
laboratorium hemostasis rutin tidak diperlukan kecuali bila ada
efek samping perdarahan atau terjadi perburukan ke arah DIC atau
pertimbangan klinis khusus. Antikoagulan Profilaksis Pada
Pasien COVID-19 Kondisi Kritis Peningkatan dosis profilaksis
antikoagulan direkomendasikan pada pasien COVID-19 yang
dirawat ICU atau post-ICU.
Pemberian antikoagulan profilaksis pada pasien COVID-
19 kondisi kritis mengikuti kriteria berikut ini:
1. Kriteria inklusi ‒Pasien terkonfirmasi COVID-19 atau PDP
(Pasien Dalam Pemantauan) yang membutuhkan perawatan
ICU dan/atau setelah dipindahkan dari perawatan ICU ‒
Trombosit lebih 25.000
2. Kriteria eksklusi ‒Jumlah tombosit kurang dari 25.000 atau
memiliki manifestasi perdarahan ‒Pasien bedah saraf
(neurosurgery) atau memiliki perdarahan aktif Peningkatan
dosis lebih besar dari standar dapat dilakukan sesuai dengan
pertimbangan medis. Pada pasien dengan kontraindikasi,
penggunaan alat profilaksis mekanis (alat kompresi
pneumatik intermiten) dapat dipertimbangkan.
Pemberian antikoagulan oral harus mempertimbangkan interaksi obat
(antivirus, antibiotika untuk infeksi sekunder maupun obat-obat lain). Perlu
diingat bahwa dalam pemberian antikoagulan, penilaian risiko perdarahan dan
thrombosis, monitor fungsi ginjal dan penilaian adanya komplikasi pada
pasien harus dilakukan secara berkala.

7. TERAPI
a. Favipiravir (FAVI)
76

Favipiravir merupakan obat baru golongan inhibitor RNA-


dependent RNA polymerase (RdRp) yang dapat menghambat aktivitas
polimerasi RNA. Hasil penelitian sementara di China menunjukkan
bahwa favipiravir lebih poten dibandingkan LPV/r dan tidak terdapat
perbedaan signifikan reaksi efek samping.89 Studi uji klinis tanpa acak
tak tersamar menunjukkan favipiravir lebih baik dalam median waktu
bersihan virus dibandingkan LPV/r (4 hari vs 11 hari). Selain itu,
favipiravir juga lebih baik dalam perbaikan gambaran CT scan dan
kejadian lebih sedikit efek samping. (setiadi dkk, Tata Laksana Terapi
Pasien dengan COVID-19, 2020)
b. Remdesivir (RDV)
Remdesivir adalah obat antivirus spektrum luas yang telah
digunakan secara luas untuk virus RNA, termasuk MERS/SARS-CoV,
penelitian in vitro menunjukkan obat ini dapat menginhibisi infeksi virus
secara efektif.95 Uji klinis fase 3 acak tersamar terkontrol plasebo pada
pasien COVID-19 telah dimulai di China. Studi ini membandingkan
remdesivir dosis awal 200 mg diteruskan dosis 100 mg pada 9 hari dan
terapi rutin (grup intervensi) dengan plasebo dosis sama dan terapi rutin
(grup kontrol). Uji klinis ini diharapkan selesai pada April 2020.89 Obat
ini juga masuk dalam uji klinis SOLIDARITY.
c. Oseltamivir
Guan, dkk menemukan bahwa dari 1.099 pasien di China, 393
(35.8%) diberikan oseltamivir dan 36 di antaranya masuk ICU,
menggunakan ventilator atau meninggal. Studi ini tidak melanjutkan
dengan analisis sehingga tidak dapat disimpulkan manfaat dari
oseltamivir.49 Penelitian in vitro menunjukkan bahwa kelompok
inhibitor neuraminidase tidak memiliki aktivitas antivirus pada
coronavirus.

d. Antibiotik
WHO menganjurkan pemberian antibiotik pada kasus covid-19
yang berat dan tidak menganjurkan pemberian antibiotik rutin pada
77

kasus covid-19 yang ringan.1,2 Selanjutnya berbagai upaya untuk tetap


menjaga prinsip-prinsip Penatagunaan Antimikroba (Antimicrobial
Stewardship) harus terus dilakukan :
1. Upaya pengambilan bahan kultur sebelum pemberian antibiotik.
Sampel disesuaikan dengan fokus infeksi dan kondisi pasien
2. Upaya re-evaluasi kondisi klinis pasien secara ketat harus selalu
dikerjakan, baik melalui evaluasi keluhan maupun evaluasi
parameter penunjang, seperti parameter leukosit, hitung jenis, CRP,
procalcitonin, pencitraan, hasil kultur, dan sebagainya.
3. Segera melakukan de-eskalasi atau stop antibiotik bila klinis dan
hasil pemeriksaan penunjang sudah membaik.
4. Pilihan dan durasi terapi antibiotik empirik, mengikuti panduan
terapi pneumonia komunitas.
5. Bagi pasien yang dirawat di ruang intensif dan menggunakan
bantuan ventilasi mekanik, bundle pencegahan VAP (Ventilator
Associated Pneumonia) / HAP (Hospital Acquired Pneumona) serta
prinsip-prinsip pencegahan infeksi nosokomial harus terus
diperhatikan.
6. Apabila pasien terindikasi mengalami infeksi VAP/HAP, pilihan
antibiotik empirik untuk VAP/HAP mengikuti pola mikrobiologis
dan pola resistensi lokal di masingmasing Rumah Sakit.
7. Apabila pasien mengalami penyulit infeksi lain seperti infeksi kulit
dan jaringan lunak komplikata, infeksi intra abdominal komplikata
dan sebagainya, upaya untuk melakukan kontrol sumber infeksi dan
tatalaksana yang memadai sesuai dengan panduan harus terus
diupayakan dan diharapkan kecurigaan terhadap adanya infeksi
covid-19 tidak menimbulkan hambatan/keterlambatan yang
berlarut-larut.
8. Rekomendasi nasional untuk tetap melakukan evaluasi terhadap
penggunaan anitbibiotik yang rasional di era pandemi covid-19,
harus terus dipromosikan dan diupayakan sebagai bagian dari
tatalaksana terbaik bagi pasien.
78

e.N-Asetilsistein
Infeksi SARS-CoV-2 atau COVID-19 berhubungan dengan
ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang mengakibatkan
inflamasi dan kerusakan jaringan. Glutation merupakan antioksidan
yang banyak ditemukan di tubuh dan berperan dalam melindungi sel
dari stres oksidatif. Nasetilsistein (NAC), yang sering digunakan
sebagai obat mukolitik, memiliki sifat antioksidan secara langsung
maupun secara tidak langsung melalui pelepasan gugus sistein sebagai
senyawa prekursor dalam proses sintesis glutation. Berbagai penelitian
sebelumnya, data awal penelitian terhadap COVID-19 dan ulasan
patofisiologis mengarahkan bahwa sifat antioksidan N-asetilsistein
dapat bermanfaat sebagai terapi dan/atau pencegahan COVID-19. Uji
klinis NAC pada COVID19 masih sangat terbatas. Dosis yang
digunakan adalah di atas/sama dengan 1200 mg per hari oral ataupun
intravena, terbagi 2-3 kali pemberian.
Terdapat 1 uji klinis oleh de Alencar dkk yang menilai efektivitas
NAC sebagai profilaksis gagal napas pada pasien COVID-19 dengan
distress pernapasan akut berat. Hasil menunjukkan tidak ada perbedaan
bermakna pada kebutuhan ventilasi mekanik, angka kematian, masuk
ICU, lama perawatan di ICU, dan lama perawatan di RS. Beberapa studi
klinis fase 2 dan 3 lainnya sedang berjalan dan hasilnya baru didapat
sekitar tahun 2021.
f. Kolkisin
Saat ini terdapat beberapa penelitian yang berusaha menilai
efektivitas kolkisin untuk COVID-19. Ada beberapa hipotesis
mekanisme kerja dari kolkisin pada COVID-19, diantaranya adalah (1)
menghambat ekspresi E-selectin dan L-selecin (mencegah perlekatan
netrofil di jaringan); (2) mengubah struktur sitoskeleton netrofil
(mengganggu proses perpindahan netrofil); (3) menghambat NLRP3
inflammasom (mengambah badai sitokin); dan (4) mengambat netrofil
elastase (mencegah aktivasi / agregasi platelet).
79

Sebuah RCT dari Lopes dkk menilai pemberian kolkisin sebagai


terapi adjuvant pada pasien COVID-19 dibandingkan dengan yang
hanya mendapat terapi standar saja. Penelitian menunjukkan bahwa
pemberian kolkisin dapat menurunkan kebutuhan penggunaan oksigen,
menurunkan lama rawat, dan menurunkan CRP. Saat ini, kolkisin
sedang diteliti lebih lanjut dalam RECOVERY Trial, melibatkan 18.000
pasien di Inggris.

RANGKUMAN TERAPI DAN ALGORITMA

Rangkuman terapi COVID-19 dapat dilihat pada tabel 4 berikut,


algoritma penanganan pada gambar 3 serta alur penatalaksanaan pasien COVID-
19 pada gambar 4.
Tabel 4. Pilihan terapi dan rencana pemeriksaan untuk pasien terkonfirmasi
Klasifikas Pemeriksaa Antiviral Anti‐inflamasi Vitamin Pengobata
i n & n
(WHO) Supleme
n Lain
Ringan DPL, Swab Oseltamivi Vitamin Terapi O2:
PCR r C arus rendah
ATAU Vitamin
Favipiravir D
Vitamin
E
Sedang DPL, PCR, Favipiravir Kortikosteroid, Vitamin Plasma
AGD, GDS, ATAU antiinterleukin-6 C konvalesen
SGOT/ Remdesivi (jika sangat Vitamin s, sel punca
SGPT, r dipertimbangka D
Ureum, n) Vitamin Terapi O2:
Kreatinin, E Noninvasif:
DDimer, arus
Ferritin, sedang-
80

Troponin, tinggi
IL6, k/p NT (HFNC)
proBNP,
XRay
Thorax (k/p
CT scan)
Berat DPL, PCR, Favipiravir Kortikosteroid, Vitamin Plasma
seri ATAU antiinterleukin-6 C konvalesen
AGD, GDS, Remdesivi Vitamin s,
SGOT/ r D sel punca
SGPT, Vitamin
Ureum, E IVIG
Kreatinin, HFNC/
DDimer, Ventilator
Kritis Ferritin, Favipiravir Kortikosteroid, Vitamin Sel punca
Troponin, ATAU antiinterleukin-6 C
IL6, k/p NT Remdesivi Vitamin IVIG
proBNP, k/p r D Ventilator/
CK-CKMB, Vitamin ECMO
CT scan E

BAB II
STUDI KASUS

Klasifikas Pemeriksaan Antiviral antiinflamasi Vitamin Pengobatan


i (WHO) dan lain
suplemen
ringan DPL, Swab Oseltamivir Vitamin Terapi O2:
PCR ATAU C
81

Favipiravir Vitamin arus rendah


D
Vitamin
E
Sedang DPL, PCR, Favipiravir Kortikosteroid, Vitamin Plasma
AGD, GDS, ATAU antiinterleukin-6 C konvalesens,
SGOT/SGPT, Remdesivi (jika sangat Vitamin sel punca
Ureum, dipertimbangkan) D Terapi O2:
Kreatinin, Vitamin Noninvasif:
DDimer, E arus sedang-
Ferritin, tinggi
Troponin, (HFNC)
IL6, k/p NT
proBNP,
XRay Thorax
(k/p CT scan)
Berat DPL, PCR, Favipiravir Kortikosteroid, Vitamin Plasma
seri AGD, ATAU antiinterleukin-6 C konvalesens,
GDS, Remdesivir Vitamin sel punca
SGOT/SGPT, D IVIG
Ureum, Vitamin HFNC/
Kreatinin, E Ventilator
kritis DDimer, Favipiravir Kortikosteroid, Vitamin Sel punca
Ferritin, ATAU antiinterleukin-6 C IVIG
Troponin, Remdesivir Vitamin Ventilator/
IL6, k/p NT D ECMO
proBNP, k/p Vitamin
CK-CKMB, E
CT scan
82

B. UNSTABLE ANGINA PECTORIS


1. DEFINISI UAP
Angina merupakan istilah medis yang mengacu pada rasa nyeri di
dada. Rasa nyeri tersebut terjadi karena kurangnya suplai darah ke otot
jantung. Pasien angina mendeskripsikan rasa nyeri yang dirasakan seperti
sedang diperas, tertekan, sesak, ataupun sensasi terbakar di daerah dada.
Rasa nyeri seringkali berawal dari daerah di belakang tulang dada,
kemudian bisa menyebar ke daerah punggung, bahu, rahang, tenggorokan,
dan leher.
Unstable Angina - Tipe angina ini seringkali terjadi tanpa bisa
diduga sebelumnya. Rasa nyeri mungkin saja timbul saat pasien sedang
beristirahat. Penyebab unstable angina adalah terhambatnya arteri yang
memasok darah ke jantung. Dengan demikian, jika seseorang mengalami
unstable angina, harus segera mendapatkan bantuan medis karena dapat
menyebabkan serangan jantung.
83

2. DIAGNOSIS
Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS/UAP) dan infark
miokard non ST elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan
angina tipikal yang dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik,
dengan atau tanpa peningkatan marka jantung. Jika marka jantung
meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI; jika tidak meningkat,
diagnosis mengarah UAP.
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam
diagnosis NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut
akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T
untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan kriteria lain
yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI
ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit melampaui nilai
normal Kadar troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di
dalam darah perifer 3 – 4 jam setelah infark dan menetap sampai
2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang
dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini
84

dapat menetap hingga 2 minggu Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi


dalam darah orang sehat, nilai ambang peningkatan marka jantung ini
ditetapkan sedikit di atas nilai normal yang ditetapkan oleh
laboratorium setempat.Perlu diingat bahwa selain akibat STEMI dan
NSTEMI, peningkatan kadar troponin juga dapat terjadi akibat:
1. Takiaritmia atau bradiaritmia berat
2. Miokarditis3.Dissecting aneurysm
3. Emboli paru
4. Gangguan ginjal akut atau kronik
5. Stroke atau perdarahan subarachnoid
6. Penyakit kritis, terutama pada sepsis
3. PEDOMAN TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT
Keluhan yang paling sering dijumpai adalah perburukan sesak napas
saat aktivitas. Beberapa faktor yang menentukan bahwa keluhan tersebut
presentasi dari SKA adalah sifat keluhan, riwayat PJK, jenis kelamin,
umur, dan jumlah faktor risiko tradisional.Angina atipikal yang berulang
pada seorang yang mempunyai riwayat PJK, terutama infark miokard,
berpeluang besar merupakan presentasi dari SKA. Keluhan yang
sama pada seorang pria berumur lanjut (>70 tahun) dan menderita
diabetes berpeluang menengah suatu SKA. Angina equivalen atau yang
tidak seutuhnya tipikal pada seseorang tanpa karakteristik tersebut di
atas Pemeriksaan fisik.
Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk
menegakkan diagnosis banding dan mengidentifikasi pencetus. Selain
itu, pemeriksaan fisik jika digabungkan dengan keluhan angina
(anamnesis), dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri dada
sebagai representasi SKA .
Elektrokardiogram. Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10
menit sejak kontak medis pertama. Bila bisa didapatkan,
perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya dapat sangat membantu
diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu
dilakukan perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus.
85

nyeri dada tidak berulang, EKG tetap nondiagnostik, marka jantung


negatif, dan tidak terdapat tanda gagal jantung. Hasil stress test yang
positif meyakinkan diagnosis atau menunjukkan persangkaan tinggi UAP
atau NSTEMI.
Tingkat peluang SKA segmen ST non elevasi(dikutip dari Anderson JL, et
al. J Am Coll Cardiol 2007;50:e1-157)
KEMUNGKINAN KEMUNGKINAN KEMUNGKINAN
BESAR SEDANG KECIL
Salah satu dari: Salah satu dari: Salah satu dari:
Anamnesis Nyeri dada atau Nyeri di dada atau Nyeri dada tidak khas
lengan di lengan
kiri yang berulang kiri angina
Mempunyai riwayat Pria, usia >70
PJK, tahun,
termasuk infark diabetes mellitus
miokard
Pemeriksaan Regurgitasi mitral, Penyakit vaskular Nyeri dada timbul
ekstra
fisik hipotensi, kardiak setiap dilakukan palpasi
diaphoresis,
edema paru, atau palpasi
ronkhi
EKG Depresi segmen ST Gelombang Q Gelombang T mendatar
≥1 yang
mm atau inversi menetap atau inversi <1 mm di
gelombang T yang sadapan dengan
baru
(atau dianggap baru) Depresi segmen gelombang R yang
di ST 0,5-1
beberapa sadapan mm atau inversi dominan
gelombang
86

prekordial T >1 mm

Marka Kadar troponin I/T Normal Normal


atau
jantung CKMB meningkat

4. TERAPI
Pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko tinggi dan
dianggap memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria berikut ini:
• Nyeri dada tidak berulang
• Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung
• Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada
jam ke-6 hingga 9)
• Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam
ke-6 hingga • Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible
ischemia)

Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani SKA adalah:


Anti Iskemia
a) Penyekat Beta (Beta blocker).
87

Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya


terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen
miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan
gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan
disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup
memadai dibandingkan injeksi.
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI,
terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak
terdapat indikasi penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24
jam pertama Beberapa penyekat beta yang sering dipakai dalam praktek
klinik dapat dilihat

Penyekat Selektivitas Aktivitas agonis Dosis untuk angina


beta parsial
Atenolol B1 - 50-200 mg/hari
Bisoprolol B1 - 10 mg/hari

Carvedilol a dan b + 2x6,25 mg/hari, titrasi sampai


maksimum 2x25 mg/hari

Metoprolol B1 - 50-200 mg/hari

Propanolol Nonselektif - 2x20-80 mg/hari


88

b) Nitrat.
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel
kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari
nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun
yang mengalami aterosklerosis.
- Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase
akut dari episode angina
- Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut
sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal
3 kali pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat
intravena jika tidak ada indikasi kontra (Kelas I-C).
- Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal
jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI.
Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi
pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta
atau angiotensin converting enzymes inhibitor
- Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90
mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50
kali permenit),

Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA

Nitrat Dosis
Isosorbid Sublingual 2,5–15 mg (onset 5 menit)
dinitrate Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis
(ISDN)
Intravena 1,25-5 mg/jam

Isosorbid 5 Oral 2x20 mg/hari


mononitrate Oral (slow release) 120-240 mg/hari
89

Nitroglicerin Sublingual tablet 0,3-0,6 mg–1,5 mg


(trinitrin, TNT, Intravena 5-200 mcg/menit
glyceryl
trinitrate)

c) Calcium channel blockers (CCBs).


Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan
sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya
verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node
yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di
atas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Oleh karena itu
CCB, terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk
mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan
NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan
penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.

1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi


pasien yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta

2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI


dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta

3. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai


pengganti terapi penyekat beta

4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik

5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak


direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta.

Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA

Penghambat kanal kalsium Dosis


Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis
90

Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis


Nifedipine GITS (long 30-90 mg/hari
acting)
Amlodipine 5-10 mg/hari

d) Antiplatelet

1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra


dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg
setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi
pengobatan yang diberikan

2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera


mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi
kontra seperti risiko perdarahan berlebih

3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan


bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat
reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat
perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada
pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65
tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid

4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12


bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis

5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko


kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin)
dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari.
Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal.
Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan
clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan)
91

6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa


menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg,
dilanjutkan 75 mg setiap hari

7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300


mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk
pasien yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa
mendapatkan ticagrelor

8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari)


perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang
dilakukan

9. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat


COX2 selektif dan NSAID non-selektif)

Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa


memperdulikan jenis stent.

Tabel 10. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA

Antiplatelet Dosis
Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis pemeliharaan 75-100 mg
Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90 mg/hari

Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75 mg/hari


Clopidogrel

C. TRANSAMINITIS
1. Definisi
Transaminitis adalah peningkatan enzim transaminase. Enzim
Transaminase atau disebut juga enzim aminotransferase adalah enzim
yang mengkatalisis reaksi transaminasi. terdapat dua jenis enzim serum
transaminase yaitu serum glutamate oksaloasetattransaminase dan serum
glutamat piruvat transaminase .Pemeriksaan SGPT adalah indikator yang
92

lebih sensitif terhadap kerusakan hati dibanding SGOT .Hal ini


dikarenakan enzim GPT sumber utamanya di hati, sedangkan enzim GOT
banyak terdapat pada jaringan terutama jantung, otot rangka, ginjal dan
otak .Enzim aspartat aminotransferase (AST) disebut juga serumglutamat
oksaloasetat transaminase (SGOT) merupakan enzim

2. Epidemiologi
Peningkatan kadar transaminase (SGOT dan SGPT) dikenal
sebagai transaminitis atau hipertransaminase. SGOT dan SGPT merupakan
kedua enzim yang biasanya diperiksakan bila ada kecurigaan kelainan
pada organ liver/hati. Peningkatan kadar transaminase dapat disebabkan
karena:
a. Viral hepatitis
b. Fatty liver
93

c. Drug induced hepatitis, merupakan kondisi peningkatan transaminase


karena efek samping hepatotoksik obat tertentu, misalnya rifampisin,
ibuprofen, statin
d. Konsumsi alkohol
e. Penyakit seperti demam berdarah dengue, typhoid

3. Diagnosis

Pemeriksaan penunjang yang mungkin dilakukan dokter untuk


menegakkan penyebab transaminitis adalah laboratorium darah darah
lengkap,
a. Bilirubin,
b. Anti Hbsag,
c. Anti HCV, dsb
d. Ultrasonografi
e. CT-scan,
f. Biopsi hati.
Gejala-gejala yang dapat ditimbulkan dari kondisi transaminitis antara
lain:
a. Nyeri pada perut kanan atas
b. Pembesaran organ hati (bisa teraba pada perut kanan atas)
c. Kulit kuning
d. Mual muntah
e. Kencing berwarna cokelat teh
f. Demam
g. Penurunan nafsu makan
94

4. Terapi
Penanganan yang diberikan biasanya bersifat hepatoprotektor
(melindungi fungsi hati), obat-obat pengurang nyeri, obat antivirus,
penghentian obat-obatan yang dapat menyebabkan peningkatan SGOT &
SGPTSebagian besar peningkatan SGOT dan SGPT biasanya dapat turun
kembali normal bila penyebab seperti infeksi telah ditangani. Biasanya
dokter akan melakukan pemeriksaan fungsi hati secara serial (diulang
beberapa kali dalam jangka waktu tertentu).
95

A. Data Pasien
Nama TN . E

Umur 52 Tahun

Tgl MRS 09/12/2020

BB/TB/LPT 65 kg /……./ …….

Riwayat Tidak ada


Alergi
96

Keluhan Nyeri kepala , berdenyut , mual , lemas , demam 5 hari


utama post KRS AnNisa , batuk , sesak , nyeri dada

Diagnosis Hipotensi , Covid , UAP , Transaminitis

Riwayat Obat Paracetamol 3x 500 mg PO


Vit C 1 x 250 mg PO
Diphenhidarmin IV

B. Data Klinik
97

C. Data Laborat
Pemeriksaan 09-Dec 10-Dec 11-Dec 12-Dec 13-Dec 14-Dec 15-Dec 16-Dec 17-Dec 18-Dec 19-Dec 20-Dec
WBC 13.6x10'3 3/uL
hs Troponin 2,0 ng/L
D-Dimer 553,66 ng/mL 248,01 ng/mL
HBs Ag Non Reaktif
HIV Rapid 1 Non Reaktif
ANTI HCV Non Reaktif
SGOT 23
SGPT 92
IgG Non Reaktif
IgM Reaktif
K+ 4,05 mmol/L
Na+ 132 mmol/L
Clorida 106 mmol/L
Ureum 38 mg/dL
Creatinin 1,41 mg/dL
SGOT 127 U/L
SGPT 232 U/L
Hb 14,9 ribu/uL
Leukosit 13,16 ribu/ul
Trombosit 126 ribu/ul
P.C.V 42,7 %
GDA 100 mg/dl
ECG abnormal
Thorax Cardiomegali
PCR SARS COV=2 Positif positif

D. Data Penggunaan Obat


98

Nama regime rut 9/1 10/ 11/ 12/ 13/ 14/ 15/ 16/ 17/ 18/ 1
obat n e 2 12 12 12 12 12 12 12 12 12 9/
1
2
PZ 500 inf √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

OMZ 1x40 IV √
mg
NE 0,05-2 dri √
p
Ceftri 2x1 gr IV √ √ √ √ √

Sotati 3x30 IV √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
c mg
Lesich 1x300 po √ √ √ √ √ √
ol
Curcu 3x1 po √ √ √ √ √ √
ma
Vit C 3x1gr IV √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Dexa 3x1 IV √ √ √ √ √ √ √ √
m
Zinc 1x20m po √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
g
NAC 1x200 IV √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
mg
Aviga 2x600 po √ √ √ √ √ √ √ √
n mg
Simva 1x20m po √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
st g
Arixtr 1x1 IM √ √ √ √ √ √
a
99

Santag 3x1 iv √ √ √ √ √ √ √ √ √

Lanso 1x30m iv √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
p g
CPG 1x75m po √ √ √ √ √ √
g
Oselta 2x75m po √ √ √
m g
Vit C/ 2x500 po √
NAC mg

E. Profil Farmakokinetik Obat Mekanisme Kerja Obat

OMEPRAZOLE
100
101

FAVIPIRAVIR
Favipiravir merupakan obat pertama yang disetujui oleh pemerintah China
sebagai terapi COVID-19 di China. Favipiravir bekerja sebagai penghambat
selektif RNA-dependent RNA polymerase (RdRp), yang merupakan salah satu
enzim yang digunakan untuk transkripsi dan replikasi genom RNA virus.
Dengan demikian, favipiravir memiliki potensi untuk menghambat replikasi
dari berbagai jenis virus RNA, dan dapat dikatakan memiliki potensi sebagai
antivirus dengan spektrum luas.
Dosis favipiravir yang diberikan adalah 1.600 mg dua kali sehari pada hari
pertama dilanjutkan 600 mg dua kali sehari pada hari ke-2 sampai ke-14.
(setiadi dkk, Tata Laksana Terapi Pasien dengan COVID-19, 2020)
102

FONDAPARINUX
Farmakodinamik
Mekanisme Aksi : Aktivitas antitrombotik natrium fondaparinux adalah hasil
inhibisi selektif antitrombin III (ATIII) dari Faktor Xa. Dengan mengikat secara
selektif ATIII, natrium fondaparinux berpotensi (sekitar 300 kali) menetralisasi
bawaan Factor Xa bawaan oleh ATIII. Netralisasi Faktor Xa mengganggu
koagulasi darah kaskade dan dengan demikian menghambat pembentukan trombin
dan pengembangan trombus. Natrium Fondaparinux tidak menonaktifkan trombin
(Faktor II yang diaktifkan) dan tidak memiliki efek yang diketahui pada fungsi
trombosit. Pada dosis yang dianjurkan, natrium fondaparinux tidak mempengaruhi
fibrinolitik aktivitas atau waktu berdarah. Fibrinolitik aktivitas atau waktu
berdarah.
Farmakodinamik / farmakokinetik Natrium fondaparinux adalah Berasal dari
konsentrasi  plasma fondaparinux yang diukur via aktivitas anti-Factor Xa. Hanya
fondaparinux yang dapat digunakan untuk mengkalibrasi uji anti-Xa. (Standar
internasional heparin atau LMWH tidak sesuai untuk penggunaan ini.) Akibatnya,
aktivitas natrium fondaparinux diekspresikan sebagai miligram (mg) dari
kalibrator fondaparinux. Aktivitas anti-Xa obat meningkat dengan meningkatkan
konsentrasi obat, mencapai nilai maksimum sekitar 3 jam.
103

Distribusi :
Pada orang dewasa sehat, pemberian natrium fondaparinux secara intravena atau
subkutan didistribusikan terutama dalam darah dan hanya sebagian kecil pada
cairan ekstravaskular yang dibuktikan oleh steady state dan non-steady state jelas
volume distribusi 7-11 L. Secara in vitro, natrium fondaparinux (setidaknya 94%)
dan secara khusus terikat  pada antitrombin III (ATIII) dan tidak mengikat secara
signifikan protein plasma lainnya (termasuk faktor platelet Factor 4 [PF4]) atau
sel darah merah

Metabolisme :
Metabolisme in vivo dari fondaparinux belum diteliti sejak dari mayoritas
pemberian dosis, dieliminasi dan tidak mengalami perubahan dalam urin pada
individu dengan fungsi ginjal normal
 

CLOPIDOGREL
Adsorbsi
Clopidogrel cepat diabsorbsi setelah pemberian per oral, dengan konsetrasi
puncak tercapai satu jam setelah pemberian. Makanan tidak mempengaruhi
absorbsi dariclopidogrel. Inhibisi platelet terjadi 2 jam setelah pemberian oral
dosis tunggalclopidogrel, tetapi onset of action nya lambat, untuk itu dibutuhkan
loading dosis 300 – 600 mg
104

Distribusi
Clopidogrel dan metabolit utamanya berikatan secara reversible dengan
proteinplasma sebesar 98% dan 94%

Metabolisme
Secara farmakokinetik dijelaskan bahwa Clopidogrel merupakan  prodrug
Didalam hati, Clopidogrel dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 CYP2C19
menjadi 2-oxo-clopidogrel yang merupakan metabolit yang aktif. Metabolit aktif
2-oxo-clopidogrelakan mengalami hidrolisis menjadi asam karboksilat yang
merupakan metabolit yangtidak aktif. Metabolit aktif atau bentuk 2-oxo-
clopidogrel akan berikatan secara kuatpada reseptor ADP di trombosit, sehingga
metabolit ini tidak terdeteksi di plasma

Eliminasi
Setelah pemberian per oral clopidogrel, sekitar 50% akan diekskresikan
melaluiurin dan sekitar 46% melalui feses

SIMVASTATIN
Farmakodinamik
Simvastatin merupakan obat golongan statin yang menghambat aktivitas enzim 3-
hidroksi-3-metilglutaril koenzim A reduktase (HMG CoA) di hati. Inhibisi enzim
HMG CoA ini akan menyebabkan penurunan kadar kolesterol total dan
meningkatkan pembentukan reseptor LDL di permukaan sel hepatosit sehingga
terjadi peningkatan transport LDL dari pembuluh darah ke sel hati.
Mekanisme kerja simvastatin tersebut akan menyebkan penurunan kadar LDL
dalam darah. Penurunan ini bergantung pada dosis yang digunakan, namun
berkisar antara 26-30% (penggunaan 10 mg/hari) hingga 36-40% (penggunaan 40
mg/hari)
Obat golongan statin juga diketahui memiliki potensi efek kardioprotektif seperti
perbaikan fungsi endotel melalui peningkatan produksi oksida nitrat, penurunan
105

risiko penyakit jantung koroner dan kadar CRP (C-reactive protein), dan
penurunan kerentanan lipoprotein terhadap proses oksidasi Farmakokinetik

Absorbsi
Setelah dikonsumsi secara oral, simvastatin akan diserap oleh usus dengan tingkat
penyerapan yang bervariasi (30-85%). Kadar statin dalam plasma meningkat
antara 1-4 jam setelah konsumsi oral dan waktu paruh plasma simvastatin hanya
12 jam, lebih pendek dibandingkan obat statin lainnya yang lebih poten seperti
atorvastatin dengan waktu paruh plasma 20 jam.

Distribusi
95% simvastatin dalam plasma berikatan dengan protein.
Metabolisme
Simvastatin merupakan prodrug yang akan diubah di hati menjadi bentuk asam β-
hidroksi (asam simvastatin). Setelah metabolisme lintas pertama di hati, hanya 5-
30% dosis statin dan metabolit turunannya yang bertahan di peredaran darah
sistemik.

Ekskresi
Di hati, sebagian besar statin akan diubah oleh enzim hati dan metabolit
turunannya akan diekskresikan 80% oleh hati dan dieliminasi melalui feses.13%
dari simvastatin dan metabolit turunannya dieliminasi melalui ginjal sehingga
perlu pertimbangan penyesuaian dosis pada pasien yang memiliki gangguan
fungsi ginjal
106
A. Analisis Terapi Covid-19
S KU cukup , GCS 456 , mual , muntah
O PCR positif tgl 9 /12 dan 18 / 12
A Favipiravir dosis dan lama pemberian tidak tepat
Swab tgl 18 masih +
Dexamethason ?
P Pemantauan kadar Ur Cr ,

Penggunaan Dexametason untuk pasien Covid hanya untuk kondisi kritis


( WHO ) dengan menggunakan ventilator .
Sedangkan pasien tersebut tidak menggunakan ventilator.

B. Analisis Terapi Unstable Angina Pectoris ( UAP)


S Nyeri dada , sesak , nyeri kepala , demam
O hs Troponin 2,0 ng/L
D-Dimer 553,66 ng/mL
A Pemberian arixtra dan cpg berpotensi pendarahan
P Monitoring pendarahan

Fondaparinux dan CPG kontraindikasi , meningkatkan efek sinergis . Resiko


perdarahan .Simvastatin tanpa pemeriksaan LDL HDL dimaksudkan untuk
pleitropic effect
C. Analisis Terapi Transaminitis
S KU cukup , GCS 456 , mual , muntah
O SGOT 127
SGPT 232
A Tidak ditemukan obat dengan resiko hepatotoksik , CPG di
metabolisme hepar
P Pemantauan SGOT SGPT

107
108

D. Terapi Lain
Ceftriaxone : S : Riwayat demam ,
O : WBC 13.6x10'3 3/uL
A : Penggunaan AB empiris maksimal 5 hari
P : Pemantauan WBC dan gejala infeksi
Norepinefrin
Hipotensi awal masuk IGD , 68/50 mmHg . Dosis 0,05 – 2 μg/ kgBB drip
Dihentikan ketika TD sudah normal

Menghitung TPM NE drip : dosis yg diminta x BB x menit


dosis sediaan/vol.pengenceran
109

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1) Penggunaan favipiravir tidak sesuai (Dosis favipiravir yang diberikan
adalah 1.600 mg dua kali sehari pada hari pertama dilanjutkan 600 mg
dua kali sehari pada hari ke-2 sampai ke-14 )
2) Penggunaan Hepatoprotektor untuk transaminitis sudah tepat
3) Penggunaan metoclopramide injeksi sudah tepat, disesuaikan dengan
hasil pemeriksaan fisik ( stop tgl 18 , gejala mual sudah hilang)
4) Penggunaan antibiotik Empiris sesuai , ASO 5 hari . Tanpa pemeriksaan
ulang WBC , kondisi membaik.
5) Terapi UAP sudah sesuai . Pemberian arixtra ( fondaparinux ) selama 5
hari dengan monitoring pendarahan . Pemeriksaan ulang D-dimer
sebelum dan pemberian antikoagulan .

B. Saran
1) Saran untuk dilakukan cek kembali darah lengkap
LAPORAN KASUS FARMASI KLINIK
COVID, PNEUMONIA, ISK DAN HIPERTENSI

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH NGUDI WALUYO WLINGI
(JL. DOKTER SUCIPTO NO. 5, BERU, KEC.WLINGI, KAB.BLITAR)
PERIODE 7 DESEMBER 2020 – 9 JANUARI 2020

Disusun Oleh:

Sivana Putri Maulita (40119033)

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI


FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER
2020

110
BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi Penyakit
1) Covid – 19
Berdasarkan Panduan Surveilans Global WHO untuk novel Corona-
virus 2019 (COVID-19) per 20 Maret 2020, definisi infeksi COVID-19
ini diklasifikasikan sebagai berikut (WHO, corona virus 2019):
I. Kasus Terduga (suspect case)
a. Pasien dengan gangguan napas akut (demam dan setidaknya
satu tanda/gejala penyakit pernapasan, seperti batuk, sesak
napas), DAN riwayat perjalanan atau tinggal di daerah yang
melaporkan penularan di komunitas dari penyakit COVID-19
selama 14 hari sebelum onset gejala; atau
b. Pasien dengan gangguan napas akut DAN mempunyai kontak
dengan kasus terkonfirmasi atau probable COVID-19 dalam 14
hari terakhir sebelum onset; atau
c. Pasien dengan gejala pernapasan berat (demam dan setidaknya
satu tanda/gejala penyakit pernapasan, seperti batuk, sesak napas
DAN memerlukan rawat inap) DAN tidak adanya alternatif
diagnosis lain yang secara lengkap dapat menjelaskan presentasi
klinis tersebut.
II. Kasus probable (probable case)
a. Kasus terduga yang hasil tes dari COVID-19 inkonklusif; atau
b. Kasus terduga yang hasil tesnya tidak dapat dikerjakan karena
alasan apapun.
III. Kasus terkonfirmasi yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
laboratorium infeksi COVID-19 positif, terlepas dari ada atau
tidaknya gejala dan tanda klinis.

111
112

2) Pneumonia
Istilah pneumonia menggambarkan keadaan paru apapun, tempat
alveolus biasanya terisi dengan cairan dan sel darah (Gyuton, 1996).
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai parenkim paru,
distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius
dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat (Dahlan, 2014).
Pneumonia adalah keradangan pada parenkim paru yang terjadi pada
masa anak-anak dan sering terjadi pada masa bayi (Hidayat, 2006).
Pneumonia pada anak merupakan masalah yang umum dan menjadi
penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia (Gessman, 2009).

Gambar I. 1 Pneumonia
Klasifikasi Pneumonia (Walker R & Whittlesca C, 2012)
Terdapat beberapa klasifikasi Pneumonia berdasarkan letak terjadi
dan cara didapatnya :
a. Community-acquired Pneumonia (CAP), adalah Pneumonia pada
masyarakat, yang terjadi melalui inhalasi atau aspirasi mikroba
patogen ke paru-paru (lobus paru). Penyebabnya 85% disebabkan oleh
Streptococcus pneumonia, Haemophylus influenzae, dan Moraxella
catarrhalis.
b. Hospital-acquired Pneumonia (HAP) atau Health care-associated
Pneumonia (HCAP), adalah pneumonia yang muncul setelah 48 jam
dirawat di rumah sakit atau fasilitas perawatan kesehatan lainnya,
dengan tanpa pemberian intubasi tracheal. Pneumonia terjadi karena
113

ketidakseimbangan pertahanan host dan kemampuan kolonisasi


bakteri sehingga menginvasi saluran pernafasan bagian bawah.
c. Ventilator-acquired Pneumonia (VAP), adalah pneumonia yang
berhubungan dengan ventilator. Pneumonia terjadi setelah 48-72 jam
atau lebih setelah intubasi trachea. Ventilator mekanik adalah alat
yang dimasukkan melalui mulut dan hidung atau lubang didepan leher
dan masuk ke dalam paru.
3) Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah arteri
(TD) yang terus-menerus. The seventh report of the Joint National
Committee mengklasifikasikan tekanan darah dewasa seperti yang
ditunjukkan pada Gambar I. 1.
Penderita dengan tekanan darah diastolik kurang dari 90 mmHg dan
tekanan darah sistolik lebih besar sama dengan 140 mmHg mengalami
hipertensi sistolik terisolasi.
Krisis hipertensi (tekanan darah diatas 180/120 mmHg) dapat
dikatagorikan sebagai hipertensi darurat (meningkatnya tekanan darah
akut atau disertai kerusakan organ) atau hipertensi gawat (beberapa
tekanan darah meningkat tidak akut) (Pharmacotherapy Handbook
9th edition).
Tabel I.2 Klasifikasi Hipertensi Darah Orang Dewasa

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal < 120 < 80

Hipertensi 120-139 80-89

Stage 1 hipertensi 140-149 90-99

Stage 2 hipertensi ≥ 160 ≥ 100


114

4) Infeksi Saluran Kemih (ISK)


Infeksi Saluran Kemih (ISK) didefinisikan sebagai keberadaan
mikroorganisme pada urin yang tidak termasuk sebagai kontaminasi.
Organisme memiliki potensi untuk menginvasi jaringan dari saluran
kemih (ISO Farmakoterapi). ISK merupakan kondisi dimana terdapat
mikroorganisme dalam urin yang jumlahnya sangat banyak dan mampu
menimbulkan infeksi pada saluran kemih (Dipiro et al, 2015).
Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria) adalah kondisi yang
menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme (MO) murni dengan jumlah
lebih dari 105 colony forming units (cfu/mL) pada biakan urin.
Bakteriuria bermakna mungkin tanpa disertai presentasi klinis ISK
disebut sebagai bakteriuria asimtomatik (convert bacteriuria). Sebaliknya
bakteriuria bermakna yang disertai presentasi klinis ISK dinamakan
bakteriuria bermakna simtomatik. Pada beberapa keadaan pasien dengan
presentasi klinis tanpa bakteriuria bermakna. Piuria bermakna
(significant pyuria), bila terdapat neutrofil >10 per lapang pandang (LPB)
(Sudoyo, 2009).
Klasifikasi infeksi saluran kemih (ISK) berdasarkan klinisnya terbagi
menjadi tiga, antara lain (IAUI, 2015):
a. ISK non komplikata yaitu ISK yang terjadi pada orang dewasa,
termasuk episode sporadik yang didapat dari komunitas, dalam hal
ini terdiri dari sistitis akut dan pielonefritis akut pada individu yang
sehat. Faktor resiko pada ISK ini adalah faktor resiko yang tidak
diketahui, infeksi berulang dan faktor resiko diluar saluran
urogenitalis. ISK ini banyak diderita oleh perempuan tanpa terdapat
kelainan struktural dan fungsional di dalam saluran kemih.
b. ISK komplikata adalah infeksi yang dihubungkan dengan suatu
kondisi, misalnya abnormalitas struktural atau fungsional saluran
genitourinari atau adanya penyakit dasar yang menganggu
mekanisme pertahanan diri individu, yang meningkatkan resiko
untuk menderita infeksi atau kegagalan terapi.
115

c. Sindroma sepsis urologi (urosepsis) sebaiknya didiagnosis pada


tahap awal khususnya pada ISK komplikata. Peningkatan angka
mortalitas terjadi bila sepsis atau syok septik muncul, namun
prognosis urosepsis pada umumnya lebih baik dibandingkan sepsis
karena penyebab yang lain.

B. Epidomiologi
1) Covid-19
Hingga 28 Maret 2020, jumlah kasus infeksi COVID-19
terkonfirmasi mencapai 571.678 kasus. Awalnya kasus terbanyak
terdapat di Cina, namun saat ini kasus terbanyak terdapat di Italia dengan
86.498 kasus, diikut oleh Amerika dengan 85.228 kasus dan Cina 82.230
kasus. Virus ini telah menyebar hingga ke 199 negara. Kematian akibat
virus ini telah mencapai 26.494 kasus. Tingkat kematian akibat penyakit
ini mencapai 4-5% dengan kematian terbanyak terjadi pada kelompok
usia di atas 65 tahun. Indonesia melaporkan kasus pertama pada 2 Maret
2020, yang diduga tertular dari orang asing yang berkunjung ke
Indonesia. Kasus di Indonesia pun terus bertambah, hingga tanggal 29
Maret 2020 telah terdapat 1.115 kasus dengan kematian mencapai 102
jiwa. Tingkat kematian Indonesia 9%, termasuk angka kematian tertinggi
(World Health Organization. Coronavirus disease 2019)
Berdasarkan data yang ada umur pasien yang terinfeksi COVID-19
mulai dari usia 30 hari hingga 89 tahun. Menurut laporan 138 kasus di
Kota Wuhan, didapatkan rentang usia 37–78 tahun dengan rerata 56
tahun (42-68 tahun) tetapi pasien rawat ICU lebih tua (median 66 tahun
(57-78 tahun) dibandingkan rawat non-ICU (37-62 tahun) dan 54,3%
laki-laki. Laporan 13 pasien terkonfirmasi COVID-19 di luar Kota
Wuhan menunjukkan umur lebih muda dengan median 34 tahun (34-48
tahun) dan 77% laki-laki (World Health Organization. Coronavirus
disease 2019).
116

2) Pneumonia
Pneumonia merupakan suatu penyakit yang terjadi pada semua
tempat di dunia.Merupakan salah satu kasus terbesar penyebab kematian
pada semua kelompokumur.Pada anak-anak,mayoritas penyebab
kematian yang terjadi pada saat kelahiran. Dengan lebih dari 2 juta
kematian dalam setahun meliputi seluruh dunia. Organisasi kesehatan
dunia (WHO) memperkirakan 1 dari 3 kelahiran bayi meninggal akibat
pneumonia. Kematian akibat pneumonia umumnya berkurang pada umur
masa dewasa. Orang lanjut usia kadang-kadang ada resiko khusus
terhadap pneumonia dan dihubungkan dengan kematian. Lagi pula kasus
pneumonia terjadi selama musim dingin daripada waktu lain sepanjang
tahun. Pneumonia biasanya sering terjadi pada laki-laki dari pada wanita,
dan seringkali pada orang kulit hitam. Individu dengan penyakit utama
seperti penyakit alzheimer’s,fibrosis kistik, emphysema, perokok
tembakau ,alkoholisme atau masalah dengan sistem imun menambah
resiko terjadinya pneumonia. Individu-individu ini juga mungkin dapat
terjadi pneumonia yang berulang (Fransisca.2009).
3) Hipertensi
Hampir 1 milyar orang diseluruh dunia memiliki tekanan darah
tinggi. Hipertensi adalah salah satu penyebab utama kematian dini
diseluruh dunia. Di tahun 2020 sekitar 1,56 miliar orang dewasa akan
hidup dengan hipertensi. Hipertensi membunuh hampir 8 miliyar orang
setiap tahun di dunia dan hampir 1,5 juta orang setiap tahunnya di
kawasan Asia Timur-Selatan. Sekitar sepertiga dari orang dewasa di Asia
Timur-Selatan menderita hipertensi (WHO, 2015).
Prevalensi hipertensi meningkat sejalan dengan perubahan gaya
hidup seperti merokok, obesitas, aktivitas fisik, dan stres psikososial.
Hipertensi sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat (public health
problem) dan akan menjadi masalah yang lebih besar jika tidak
ditanggulangi sejak dini. Pengendalian hipertensi, bahkan di negara maju
pun, belum memuaskan. (Depkes RI, 2007).
117

Berdasarkan Riskesdas 2018 prevalensi hipertensi berdasarkan hasil


pengukuran pada penduduk usia 18 tahun sebesar 34,1%, tertinggi di
Kalimantan Selatan (44.1%), sedangkan terendah di Papua sebesar
(22,2%). Hipertensi terjadi pada kelompok umur 31-44 tahun (31,6%),
umur 45-54 tahun (45,3%), umur 55-64 tahun (55,2%) (Kemenkes RI,
2018).
4) Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Infeksi saluran kemih (ISK) tergantung banyak faktor; seperti usia,
gender, prevalens bakteri uria (seperti yang telah dipaparkan di definisi)
dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran
kemih termasuk ginjal (Sukandar, 2014).
Di Amerika Serikat, terdapat >7 juta kunjungan pasien dengan ISK
ditempat praktik umum. Sebagian besar kasus ISK terjadi pada
perempuan muda yang masihaktif secara seksual dan jarang pada laki-
laki <50 tahun (Scanlon & Sanders, 2007). Insiden ISK pada laki-laki
yang belum disirkumsisi lebih tinggi (1,12%) dibandingkan pada laki-
laki yang sudah disirkumsisi (0,11%) (Nguyen, 2008).
Prevalensi bakteriuri asimtomatik lebih sering ditemukan pada
perempuan.Prevalensi selama periode sekolah (school girls) 1%
meningkat menjadi 5% selama periode aktif secara seksual. Prevalensi
infeksi asimtomatik meningkat mencapai30%, baik laki- laki maupun
perempuan bila disertai faktor predisposisi sepertiterlihat pada tabel 2
berikut ini (Sukandar, 2014).

C. Etiologi
1) Covid-19
Pada awalnya diketahui virus ini mungkin memiliki kesamaan
dengan SARS dan MERS CoV, tetapi dari hasil evaluasi genomik isolasi
dari 10 pasien, didapatkan kesamaan mencapai 99% yang menunjukkan
suatu virus baru, dan menunjukkan kesamaan (identik 88%) dengan
batderived severe acute respiratory syndrome (SARS)-like coronaviruses,
bat-SL-CoVZC45 dan bat-SLCoVZXC21, yang diambil pada tahun 2018
118

di Zhoushan, Cina bagian Timur, kedekatan dengan SARS-CoV adalah


79% dan lebih jauh lagi dengan MERS-CoV (50%). Analisis filogenetik
menunjukkan COVID-19 merupakan bagian dari subgenus Sarbecovirus
genus Betacoronavirus.
Dari data kasus yang ada, pemeriksaan sitokin yang berperan pada
ARDS menunjukkan hasil terjadinya badai sitokin (cytokinestorms)
seperti pada kondisi ARDS lainnya. Dari penelitian sejauh ini, ditemukan
beberapa sitokin dalam jumlah tinggi, yaitu: interleukin-1 beta (IL-1β),
interferon-gamma (IFN-γ), inducible protein/CXCL10 (IP10) dan
monocyte chemoattractant protein 1 (MCP1) serta kemungkinan
mengaktifkan T-helper-1 (Th1).1,4. Selain sitokin tersebut, COVID-19
juga meningkatkan sitokin T-helper-2 (Th2) (misalnya, IL4 and IL10)
yang mensupresi inflamasi berbeda dari SARS-CoV. Data lain juga
menunjukkan, pada pasien COVID-19 di ICU ditemukan kadar
granulocyte-colony stimulating factor (GCSF), IP10, MCP1,
macrophage inflammatory proteins 1A (MIP1A) dan TNFα yang lebih
tinggi dibandingkan pasien yang tidak memerlukan perawatan ICU. Hal
ini mengindikasikan badai sitokin akibat infeksi COVID-19 berkaitan
dengan derajat keparahan penyakit (Ceraolo C, Giorgi FM, 2019).
2) Pneumonia
Mikroorganisme yang banyak pada Pneumonia nosokomial (HAP,
VAP, HCAP) adalah:
a. Streptococcus pneumonia, sering resisten obat pada HCAP
b. Staphylococcus aureus, baik metisilin sensitif (MSSA) atau metisilin
resisten (MRSA)
c. Gram negatif batang yang tidak memproduksi Extended Spectrum
Beta-lactamase (ESBL)
d. Gram negatif batang penghasil ESBL, termasuk Enterobacter sp.,
Escherichi coli, Klebsiella pneumonia
e. Pseudomonas aeruginosa, dan
f. Acinetobacter spesies (Maxine AP et al, 2013; Justin LR et al,
2010).
119

Mikroba yang paling bertanggung jawab untuk HAP adalah


Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus (MSSA dan MRSA),
Pseudomonas aeruginosa, Gram negatif batang yang tidak
memproduksi ESBL dan yang memproduksi ESBL (Enterobacter sp.,
Escherichi coli, Klebsiella pneumonia). Mikroorganime yg bertanggung
jawab pada VAP adalah Acinetobacter sp. dan Strenotrophomonas
maltophilia. Adapun penyebab HCAP umumnya Streptococcus
pneumonia dan Haemophylus Influenzae yang mungkin resisten obat,
atau adanya mikroba yang mirip penyebab HAP. Mikroba anaerobik
(bacteroides, streptococcus anaerobic, fusobacterium) mungkin dapat
juga menyebabkan pneumonia pada pasien di rumah sakit, dan jika
diisolasi merupakan bagian dari flora polimikroba. Mycobacterium,
Jamur, Chlamydiae, Virus, Rickettsiae, dan Protozoa tidak umum
menyebabkan pneumonia nosokomial (Maxine AP et al, 2013; Justin LR
et al, 2010).
3) Hipertensi
Berdasarkan etiologinya hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi
hipertensi primer/essensial dengan insiden 80-95% dimana pada
hipertensi jenis ini tidak diketahui penyebabnya. Selain itu terdapat pula
hipertensi sekunder akibat adanya suatu penyakit atau kelainan yang
mendasari, seperti stenosis arteri renalis, penyakit parenkim ginjal,
feokromositoma, hiperaldosteronism, dan sebagainya (JNC Ed 7).
Menurut (Widjadja,2009) penyebab hipertensi dapat dikelompookan
menjadi dua yaitu:
a. Hipertensi primer atau esensial
Hipertensi primer artinya hipertensi yang belum diketahui
penyebab dengan jelas. Berbagai faktor diduga turut berperan
sebagai penyebab hipertensi primer, seperti bertambahnya usia, sters
psikologis, pola konsumsi yang tidak sehat, dan hereditas
(keturunan). Sekitar 90% pasien hipertensi diperkirakan termasuk
dalam kategori ini.
120

b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder yang penyebabnya sudah di ketahui,
umumnya berupa penyakit atau kerusakan organ yang berhubungan
dengan cairan tubuh, misalnya ginjal yang tidak berfungsi,
pemakaiyan kontrasepsi oral, dan terganggunya keseimbangan
hormon yang merupakan faktor pengatur tekanan darah. Dapat
disebabkan oleh penyakit ginjal, penyakit endokrin, dan penyakit
jantung.
4) Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Pada keadaan normal urin adalah steril. Umumnya ISK disebabkan
oleh kuman gram negative. Escherichia coli adalah penyebab paling
umum dari infeksi saluran kemih, terhitung sekitar 80-90% kasus. E coli
bersumber dari flora fecal yang berkolonisasi ke daerah periuretra
sehingga menyebabkan infeksi menaik. Patogen lain adalah sebagai
berikut: Klebsiella pneumoniae (5%); Proteus mirabilis (5%);
Enterobacter species (3%); Staphylococcus saprophyticus (2%); Group B
betahemolytic Streptococcus (GBS; 1%); Proteus species (2%) (Johnson,
2014).
Perubahan fisiologis pada ibu hamil yang berkaitan dengan ISK
terjadi pada kehamilan usia enam minggu, oleh karena adanya perubahan
fisiologis yaitu ureter ibu hamil menjadi dilatasi. Hal ini juga disebut
sebagai hidronefrosis kehamilan dimana memuncak pada kehamilan
minggu ke-22 hingga ke-26 dan berlangsung sampai saatnya kelahiran.
Peningkatan progesteron dan estrogen saat hamil juga menyebabkan
penurunan tonus ureter dan kandung kemih. Peningkatan volume plasma
semasa hamil menyebabkan penurunan konsentrasi urin dan peningkatan
volume urin dalam ginjal. Kombinasi dari seluruh faktor ini
mengakibatkan terjadinya stasis urinari dan uretero-vesikel refluks.
Glikosuria dalam kehamilan juga salah satu faktor terpenting yang
menyebabkan ibu hamil mudah untuk terkena ISK (Emiru et. al., 2013).
121

D. Patofisiologi
1) Covid-19
Kebanyakan coronavirus menginfeksi hewan dan bersirkulasi di
hewan. Coronavirus menyebabkan sejumlah besar penyakit pada hewan
dan kemampuannya menyebabkan penyakit berat pada hewan seperti
babi, sapi, kuda, kucing dan ayam. Coronavirus disebut dengan virus
zoonotic yaitu virus yang ditransmisikan dari hewan kemanusia. Banyak
hewan liar yang dapt membawa patogen dan bertindak sebagai vector
untuk penyakit menular tertentu. Kelelawar, tikus bamboo, unta dan
musang merupakan sumber utama untuk kejadian severe acute
respiratorysyndrome (SARS) dan middle east respiratory syndrome
(MERS) (PDPI, 2020).
Coronavirus hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-nya.
Virus tidak bisa hidup tanpa sel host. Berikut siklus dari coronavirus
setelah menemukan sel hostnya sesuai tropismenya. Pertama,
penempelan dan masuk virus ke sel host diperantarai oleh protein S yang
ada dipermukaan virus. Pada studi SARS-CoV protein S berikatan
dengan reseptor di sel host yaitu enzim ACE-2 (angiotensin-converting
enzyme 2). ACE-2 dapat ditemukan pada mukosa oral dan nasal,
nasofaring, paru, lambung, usus halus, usus besar, kulit, timus, sumsum
tulang, limpa, hati, ginjal, otak, sel epitel alveolar paru, sel enterosit usus
halus, sel endotel arteri vena, dan sel otot polos. Setelah berhasil masuk
selanjutnya translasi replikasi gen dan RNA genom virus. Selanjutnya
replikasi dan transkripsi dimana sintesis virus RNA melaui translasi dan
perakitan dari kompleks replikasi virus. Tahap selanjutnya adalah
perakitan dan rilis virus.
Setelah terjasi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas
kemudian berreplikasi di sel epitel saluran napas atas (melakukan siklus
hidupnya). Setelah itu menyebar ke saluran napas bawah. Pada infeksi
akut akan terjadi peluruhan virus dari saluran napas dan virus dapat
berlanjut meluruh beberapa waktu di sel gastrointestinal setelah
122

penyembuhan. Masa inkubasi virus sampai muncul penyakit sekitar 3-7


hari (PDPI, 2020).

2) Pneumonia
Penyebab pneumonia dapat virus, bakteri, jamur, protozoa, atau
riketsia, pneumonitis hipersensitivitas dapat menyebabkan penyakit
primer. Pneumonia terjadi akibat aspirasi. Pada klien yang diintubasi,
kolonisasi trakhea dan terjadi mikroaspirasi sekresi saluran pernapasan
atas yang terinfeksi. Tidak semua kolonisasi akan mengakibatkan
pneumonia. Mikroorganisme dapat mencapai paru melalui beberapa
jalur:
a. Ketika individu yang terinfeksi batuk, bersin, atau berbicara,
mikroorganisme dilepaskan ke dalam udara dan terhirup oleh orang
lain.
b. Mikroorganisme dapat juga terinpirasi dengan aerosol (gas nebulasi)
dari peralatan terapi pernapasan yang terkontaminasi.
c. Pada individu yang sakit atau hygiene giginya buruk, flora normal
orofaring dapat menjadi patogenik.
d. Staphylococcus dan bakteri gram-negatif dapat menyebar melalui
sirkulasi dari infeksi sistemik, sepsis, atau jarum obat IV yang
terkontaminasi (Asih & Effendy, 2004).
3) Hipertensi
Hipertensi dapat terjadi karena penyebab spesifik (hipertensi
sekunder) atau dari etiologi yang tidak diketahui (hipertensi primer atau
esensial). Hipertensi sekunder (<10% kasus) biasanya disebabkan oleh
penyakit ginjal kronis (CKD) atau penyakit renovaskular. Kondisi lain
adalah sindrom cushing, sleep apnea, obstruktif, hiperparatiroidisme,
feokromositoma, aldosteronisme primer, dan hipertiroid. Beberapa obat
yang dapat meningkatkan TD termasuk kortikosteroid, estrogen, obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID), amfetamin, sibutramine, siklosporin,
takrolimus, eritropoietin, dan venlafaxine.
123

a. Faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan hipertensi primer


meliputi:
 Kelainan humoral yang melibatkan sistem renin-angiotensin-
aldosterone (RAAS), hormon natriuretik, atau resistensi insulin
dan hiperinsulinemia;
 Gangguan pada SSP, serabut saraf otonom, reseptor adrenergik,
atau baroreseptor;
 Kelainan pada proses autoregulasi ginjal atau jaringan untuk
ekskresi natrium, volume plasma, dan penyempitan arteriol;
 Defisiensi sintesis zat vasodilatasi dalam endotel vaskular
(prostasiklin, bradikinin, dan oksida nitrat) atau zat
vasokonstriksi berlebih (angiotensin II, endotelin I);
 Asupan natrium tinggi atau kekurangan kalsium makanan.
b. Penyebab utama kematian adalah serebrovaskular, kejadian
kardiovaskular (CV), dan gagal ginjal. Probabilitas kematian dini
berkorelasi dengan keparahan peningkatan TD.
4) Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Bakteri penyebab ISK biasanya berasal dari flora normal saluran
cerna. ISK daapr terjadi melalui 3 jalur: jalur menaik, melalui darah
(hematogenous), atau melalui jalur limfatik. Pada wanita, pendeknya
uretra dan kedekatannya dengan daerah perirectal menyebabkan
kolonisasi dari uretra. Bakteri dapat memasuki kantung urin melalui
uretra. Setelah berada di kantung urin, organisme akan membelah diri
dengan sepat dan dapat bergerak ke atas menuju ginjal melalui ureter
(ISO Farmakoterapi).
Tiga factor yang menyebabkan infeksi saluran kemih: ukuran dari
inokulum, virulensi inoculum, dan kompetensi dari mekanisme
pertahanan tubuh. Pasien yang tidak dapat mengosongkan utin secara
sempurna mempunyai risiko yang sangat besar mengalami infeksi pada
saluran kemih dan lebih sering mengalami infeksi kembali. Factor
virulensi bakteri yang paling penting adalah kemampuannya untuk
124

menempel kepada sel-sel epitel urinary oleh fimbrae (ISO


Farmakoterapi).
Faktor virulensi lain termasuk hemolisis, protein sitotoksik, yang
dihasilkan oleh bakteri yang melisiskan sel dalam jumlah banyak
termasuk eritrosit, leukosit polimorfonuklear, dan monosit dan aerobactin
yang memfasilitasi ikatan dan pengembalian besi oleh Escherichia coli.
Penyebab utama dari ISK yang tidak kompleks dan nosokmial dalah
E.coli, lebih dari 85 % dari komunitas infeksi, diikuti dengan
Staphylococcus sebanyak 5-15 % (ISO Farmakoterapi).

E. Manifestasi Klinis
1) Covid-19
Infeksi covid-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang atau
berat. Gejala klinis utama yang muncul yaitu demam (suhu>38oC), batuk
dan kesulitan bernafas. Selain itu dapat disertai dengan sesak memberat,
fatigue, myalgia, gejala gastrointestinal seperti diare dan gejala saluran
napas lain. Setengah dari pasien timbul sesak dalam satu minggu. Pada
kasus berat perburukan secara cepat dan progresif, seperti ARDS, syok
septic, asidosis metabolic yang sulit dikoreksi dan perdarahan atau
disfungsi system koagulasi dalam beberapa hari. Pada beberapa pasien,
gejala ynag muncul ringan, bahkan tidak disertai dengan demam.
Kebanyakan pasien memiliki prognosis baik, dengan Sebagian kecil
dalam kondisi kritis bahkan meninggal. Barikut sindrom klinis yang
dapat muncul jika terinfeksi. Berikut sindrom klinis yang dapat muncul
jika terinfeksi (PDPI, 2020)
a. Tidak berkomplikasi
Kondisi ini merupakan kondisi teringan. Gejala yang muncul
merupakan gejala yang tidak spesifik. Gejala utama tetap muncul
seperti demam, batuk, dapat disertai dengan nyeri tenggorok, kongesti
hidung, malaise, sakit kepala dan nyeri otot. Perlu diperhatikan bahwa
pada pasien dengan lanjut usia dan pasien immunocompromises
presentasi gejala menjadi tidak khas atau atipikal. Selain itu, pada
125

beberapa kasus ditemui tidak disertai dengan demam dan gejala


relative ringan. Pada kondisi ini pasien tidak memiliki gejala
komplikasi diantaranya dehidrasi, sepsis atau napas pendek.

b. Pneumonia ringan
Gejala utama dapat muncul seperti demam, batuk, dan sesak.
Namun tidak ada tanda pneumonia berat. Pada anak-anak dengan
pneumonia tidak berat ditandai dengan batuk atau susah bernapas.
c. Pneumonia berat pada pasien dewas
Gejala yang muncul diantaranya demam atau curiga infeksi
saluran napas. Tanda yang muncul yaitu takipnea (frekuensi napas:>
30x/menit), distress pernapasan berat atau saturasi oksigen pasien
<90% udara luar.
2) Pneumonia
Manifestasi klinik dari pneumonia adalah demam, menggigil,
berkeringat, batuk (produktif, atau non produktif, atau produksi sputum
yang berlendir dan purulent), sakit dada karena pleuritis dan sesak.
Sering berbaring pada posisi yang sakit dengan lutut bertekuk karena
nyeri dada.10 Pada pemeriksaan fisik didapati adanya retraksi dinding
dada bagian bawah saat bernafas, tachypneu, meningkat dan menurunnya
taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak akibat terjadi konsolidasi
atau cairan pada pleura, ronchi, suara nafas brochial, dan peural friction
rub (Fauci, Braunwald, Casper dkk, 2012).
Di ruang Intensive Care Unit, infeksi nosokomial khususnya
pneumonia nosokomial lebih sering terjadi dan merupakan infeksi yang
serius, dibandingkan dengan di bangsal rawat inap biasa. Peningkatan
insiden HAP adalah karena penderita pada ICU sering membutuhkan
ventilator mekanik, dan penderita dengan ventilator mekanik sebanyak 6-
21 kali lebih mungkin berkembang menjadi HAP dari pada penderita
dengan non ventilator mekanik (Justin L Ranes. 2010).
3) Hipertensi
126

Menurut (Ahmad, 2011) sebagian besar penderita tekanan darah


tinggi umumnya tidak menyadari kehadirannya. Bila ada gejala,
penderita darah tinggi mungkin merasakan keluhan-keluhan berupa:
kelelahan, bingung, perut mual, masalah pengelihatan, keringat
berlebihan, kulit pucat atau merah, mimisan, cemas atau gelisah, detak
jantung keras atau tidak beraturan (palpasi), suara berdenging di telinga,
disfungsi ereksi, sakit kepala, pusing. Sedangkan menurut
(Pudiastuti,2011) gejala klinis yang dialami oleh para penderita
hipertensi biasanya berupa: pengelihatan kabur karena kerusakan retina,
nyeri pada kepala, mual dan muntah akibatnya tekanan kranial, edema
dependen dan adanya pembengkakan karena meningkatnya tekanan
kapiler.
4) Infeksi Saluran Kemih
Manifestasi klinis ISK sangat bervariasi, dari tanpa gejala
(asimptomatis) ataupun disertai gejala (simptom) dari yang ringan (panas,
urethritis, sistitis) hingga cukup berat (pielonefritis akut, batu saluran
kemih dan bakteremia) (Semaradana, W.G.P. 2014).
Gejala yang timbul antara lain rasa nyeri pada saluran kemih, rasa
sakit saat buang air kecil atau setelahnya, ayang-anyangan, warna air seni
sangat pekat seperti air the, nyeri pada bagian pinggang, hematuria
(kencing berdarah), perasaan tertekan pada perut bagian bawh, rasa tidak
nyaman pada bagian panggul serta tidak jarang pula penderita mengalami
panas tubuh (Dharma, P.S. 2015).
BAB II
STUDI KASUS
A. Identitas Pasien

Nama M. Husni
No RM 273482
Umur 54
BB/TB -
Tgl MRS 3 Desember 2020
Alasan MRS Batuk (+), sesak (+) saat di tes swab hasilnya positif (+)
Diagnosis Covid gejala sedang berat + HT + Pneumonia + ISK
Riwayat Obat IV FD NS 15 tpm, inj antrain 3x1, inj OMZ 2x40 mg,
Drip Vit C 2x500 dalam 100 cc NS, Drip neurobion 1x1
dalam 500 cc NS, inj meropenem, inj dexametason 3x5
mg, inj lovenox, inf NAC, inj curcuma.

B. Data Lab dan Data Klinik


1. Data Klinik

Data
Normal 3/12 4/12 5/12 6/12 7/12 8/12 9/12 10/12
Klinik
TD 120/80
150/88 150/83 180/100 172/92 198/109 117/73 111/68 123/81
(mmHg) mmHg
60-100
Nadi
x/ 104 94 94 94 106 114 81 80
(x/menit)
menit
Suhu 36°-37°
36 36 36 37 36 36 36 36
(°C) C
20 – 24
RR
x/ 20 28-30 28-30 30 26 22 29 20
(x/menit)
menit
SpO2 % 88 95-98 94-96 94 96 95 96 94

127
128

Data
Normal 11/12 12/12 13/12 14/12 15/12 16/12
Klinik
TD 120/80
133/81 117/80 113/73 117/85 100/69 107/67
(mmHg) mmHg
60-100
Nadi
x/ 70 96 80 80 66 71
(x/menit)
menit
Suhu 36°-37°
36 36 36 36 36 36
(°C) C
20 – 24
RR
x/ 20 20 20 20 20 20
(x/menit)
menit
SpO2 % 97 98 93 97 97 96

a. Data Laboratorium

Data Lab Normal 03/12/2020 07/12/2020


Hematologi

Lekosit - 12,05

Trombosit - 284
(3,37-10,0 x
WBC 12,05x103/uL 14 x103/uL
103)/dl
150-
PLT 284x103 305x103/uL
450x103/m3
RBC 4,40-5.90 5,24x106/uL 4,40 x 106/uL
HB 11,7-16.0 16 14,2
HCT 41,3-52,1% 44 43

MCV 86,7-102,3fL 84 97,5


MCH 27,1-32,4pg 30,5 32,2

Data Lab Normal 03/12/2020 07/12/2020


Faal Hati

SGOT P<31 - -

SGPT P<31 - -

Faal Ginjal
129

Ureum 20-45 - -

Kreatinin 0,5-1,5 - -
BUN - -
Elektrolit

K+ 3,4-5,3 2,92 3,61

Na+ 130 135 137,1


98-107 / 96-
Klorida 97 91,9
114
100-500
D-Dimer <100
ng/mL
C. Terapi Pengobatan

IGD ICU JARU


Nama Obat Regimen
3/12 4/12 5/12 6/12 7/12 8/12 9/12 10/12 11/12 12/12 13/12 14/12 15/12 16/12

NS 15 tpm √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Inj. Antrain 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Inj. OMZ 2 x 40mg √ √ √ √ √ √ √ 1x40 1x40 1x40 1x40 1x40 1x40 1x40

Inj. 3 x 1 gr √ √ √ √ √ √ √ - - - - - - -
Meropenem

Inj. 1 x750 √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - - - -
Levofloxacin mg

Inj. Dexa 3 x 5 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ 2x5 2x5 1x5 - -


mg mg mg

Drip Vit C 2 x 500 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √


mg

Drip 1x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - -

130
131

Neurobion

NAC 5 gr/hari √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - -

Inj. Lovenox 2 x 0,6 cc √ √ - - - - - - - - - - - -

Inj Bricasma 3 x 0,5 cc √ √ √ √ √ √ √ √ √ 1x 1x 1x 1x 1x


0,5 0,5 0,5 0,5 0,5

Inj. Heparin 3 x 2,5 - √ - - - - - - - - - - - -

Zinc 1x20 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Curcuma 2x10 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - - -
(PO)

Amlodipin 1x10 √ √ √ √ √ √ √ √ √ 2x10 2x10 2x10 2x10 2x10


(PO)

Isprinol 3 x 500 √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - - - -
(PO)

Avigan 2 x600 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - -
(PO)
132

Captopril 3 x 50 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - - -
(PO)

HCT 1 x 12,5 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 25 25 25
(PO) mg mg mg

Clonidine 2 x 0,15 - - - - √ - - - - - - - - -
(PO)

Vit D 1 x 2000 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Antivir BeTa 1 x 1 √ √ - - - - - - - √ √ √ √ √

Lisinopril 2 x 10 mg - - - - - - - - - - - √ √ √
A. Analisis SOAP
1) Terapi antikoagulan profilaksis

S -
O D-Dimer pada tanggal 3/12 <100
 Interaksi antara penggunaan lovenox (enoxaparin) dengan
heparin
A
 Penggunaan bersamaan meningkatkan pendarahan fatal pada
pasien
 Saran agar penggunaan lovenox dan heparin ini tidak
P
bersamaan

2) Terapi Covid

Terkonfirmasi covid-19, pasien rujukan dari RSUD malang


S
pasien mengeluhkan sesak dan

O Pemeriksaan Swab tes


Tgl 5/12 = negative
Tgl 6/12 = negative
Tgl 7/12 = positif
Tgl 11/12 = positif
Tgl 15/12 = negative
• Efek samping dari avigan (favipiravir) yang paling sering
berupa gangguan fungsi hati, gejala psikiatrik, gangguan
pencernaan, dan peningkatan kadar asam urat
A
• Makanan dapat menunda pencapaian kadar puncak
Favafiravir dalam plasma
• Favafiravir di ekskresi di ginjal
P • Monitoring efek samping obat

133
134

• Konsumsi favafirapin dalam keadaan perut kosong


• Pemantauan nilai faal ginjal dan faal hati,

3) Terapi Pneumonia

S Pasien mengeluhkan sesak

• Pemberian levofloxacin diberikan dari tanggal 3/12 – 11/12


A
(selama 9 hari)
• Tidak ada hasil kultur, darah pasien menggunakan antibiotic
meropenem
• Levofloxacin merupakan antibiotic empiris yang penggunaan 3
hari + 2x24 jam), sedangkan pasien mendapat terapi selama 9 hari,
P saran untuk menghentikan antibiotic
• Memeberikan saran untuk melakukan tes kultur darah
• Pemantauan saturasi O2

4) Terapi Hipertensi

S Pasien mengeluhkan pusing

O
135

• Pasien mendapatkan terapi captopril dimana captopril memiliki


efek samping batuk kering
• Merokemdasikan OAT golongan lain yang tidak menimbulkan
P ESO (batuk kering) dapat di ganti menggunakan OAT gol. ARB
• Pemantauan tekanan darah pasien

5) Terapi ISK

S Pasien mengeluhkan nyeri pada saat buang air

Suhu : 360C
O
WBC : Tgl 3/12 = 12,5 x103/uL
Tgl 7/12 = 14 x 103/uL
HB : Tgl 3/12 = 16
Tgl 7/12 = 14,2
• Nyeri saat buang air kecil belum teratasi, pasien masih
mengeluhkan sakit sat buang air kecil
A
(Tanggal 13/12 pasien masih merasakan nyeri)
• Tidak ada nilai ureum dan kreatinin pasien
P • Pasien telah mendapatkan terapi levofloxacin 1 x 750 mg, dosis
ini sudah mencakup dosis yang digunakan pada regiment
pengobatan ISK
• Monitoring suhu badan, nilai leukosit, nilai elektrolit dan faal
ginjal pasien
• Rekomendasi cek lab faal ginjal untuk mengetahui nilai ureum
136

dan kreatinin pasien


B. Pembahasan
Pasien Tn. M masuk rumah sakit tanggal 3 Desember 2020 merupakan
pasien rujukan dari rumah sakit Malang. Ketika dibawa ke IGD pasien dalam
keadaan sadar dengan nilai GCS 456. Pasien datang dengan keluhan batuk
(+), sesak (+) saat di tes swab hasilnya positif (+). Kondisi klinis hasil
pemeriksaan di IGD saat pasien MRS diperoleh suhu 36˚C (normal), nadi 104
kali/menit (diatas nilai normal), respiratory rate 20 kali/menit (normal) dan
tekanan darah 150/88 mmHg (diatas nilai normal) Diagnosa dokter adalah
covid, pneumonia, hipertensi.
Pasien mendapatkan terapi di IGD berupa O2 dimaksudkan untuk
membantu pernafasan dan mengurangi sesak yang dialami oleh pasien, NS 15
tpm, inj.antrain 3 x 1 yang digunakan sebagai tatalaksana nyeri karena pasien
mengeluhkan nyeri dada dan pusing, Inj.OMZ 2 x 40mg sebagai stress ulcer
profilaksis, (Inj.Meropenem 3 x 1 gr dan Inj.Levofloxacin 1 x750 mg
digunakan sebagai terapi pneumonia dan infeksi saluran kemih yang diderita
pasien), Inj.Dexa 3 x 5 mg digunakan untuk mengatasi badai sitokin pada
pasien covid.
Drip Vit C 2 x 500 mg dosis tinggi yang diberikan pada pasien Covid-19
di Wuhan terbukti dapat membantu meredakan badai sitokin, Drip Neurobion
1x1 mengandung vitamin B6 dan B12 untuk mengaktifkan sistem imun
natural sebagai pertahanan garis depan serta memperkuat pertahanan tubuh di
dalam peredaran darah serta di dalam sel untuk melindungi tubuh dari infeksi
Covid-19, NAC 5 gr/hari diberikan sebagai terapi batuk pada pasien,
Inj.Lovenox 2 x 0,6 cc sebagai profilaksis antikoagulan.
Inj.Bricasma 3 x 0,5 cc untuk meringankan gejala batuk dan sesak napas,
Zinc 1 x 20 untuk meningkatkan imunitas melawan Covid-19, Curcuma 2 x 1
(PO), Amlodipin 1 x 10 (PO), Isprinol 3 x 500 (PO), Avigan 2 x 600 (PO)
sebagai antivirus untuk covid-19, (Captopril 3 x 50 mg (PO) dan HCT 1 x
12,5 (PO) digunakan sebagai terapi hipertensi pasien, pemberian captopril
harus dimonitoring karena memiliki efek samping batuk kering yang dapat
memperparah gejala pasien. Vit D 1 x 2000 untuk meningkatkan imunitas
137

tubuh dengan cara meningkatkan innate immunity dengan menginduksi


produksi peptide anti mikroba diantarnya adalah human chatelicidine yang
akan menghambat aktivitas bakteri dan virus corona.
Tanggal 4 Desember-6 Desember pasien di pindahkan ke ruang ICU
covid-19, keluhan pasien masih sama yaitu sesak napas, batuk dan pusing.
Dilihat dari data klinis, tekanan darah pasien mengalami peningkatan,
respiratory rate juga mengalami peningkatan yang mengakibatkan pasien
sesak napas pasien bertambah. Pada tanggal 3 dilakukan tes laboratorium
dengan hasil WBC meningkat (12,05x103/uL), hal ini merupakan salah satu
ciri adanya infeksi pada pasien.
Pasien diberikan terapi tambahan berupa heparin pada tanggal 4
Desember yang digunakan sebagai terapi profilaksis farmakologis untuk
mengurangi insiden tromboembolisme vena pasien. Pasien juga mendapatkan
terapi lovenox (enoxaparin). Penggunaan heparin dan lovenox secara
bersamaan dapat meningkatkan pendarahan fatal pada pasien. Cara
penangannya yaitu dengan memberi saran kepada tenaga Kesehatan yang
memeberikan obat langsung kepasien untuk penggunaan kedua obat ini
dilakukan pada jam yang berbeda (tidak bersamaan).
Tanggal 7 Desember pasien dipindahkan ke ruang bougenville. Sesak
yang dirasakan pasien mulai berkurang dan pasien merasakan sangat pusing.
Pasien mendapatkan terapi tambahan clonidine dikarenakan tekanan darah
pasien mencapai 198/109 mmHg. Pada tanggal 10 Desember dosi
inj.omeprazole diturunkan menjadi 1x40 mg hal ini dikarenakan pasien sudah
tidak merasakan mual. Dilakukan tapering dose untuk inj dexamethasone
dengan Tujuan dilakukannya tapering off pada beberapa obat adalah agar
tubuh tidak menyadari secara langsung bila dosis obat tersebut telah
dikurangi dan akhirnya dihentikan sama sekali. Bila obat dihentikan secara
mendadak, tubuh akan mengalami gejala putus obat.
Dosis inj.bricasma juga diturunkan pada tanggal 12 Desember hal ini
dikarenakan gejala sesak dan batuk sudah berkurang. Pada tanggal 12
Desember dosis amlodipine dan HCT ditingkatkan untuk mengontrol tekanan
darah pasien agar stabil dan pada tanggal 10-11 Desember tekanan darah
138

pasien mengalami peningkatan sehingga kedua obat ini di tingkatkan


dosisnya. Adanya terapi tambahan untuk hipertensi (lisinopril 2x10 mg)
pasien pada tanggal 14 Desember. Terapi dengan lebih dari satu obat akan
meningkatkan kemungkinan untuk mencapai tujuan tekanan darah secara
lebih cepat. Penggunaan kombinasi obat sering menghasilkan penurunan
tekanan darah yang lebih besar pada dosis yang lebih rendah dibandingkan
ketika obat digunakan secara tunggal, sehingga kemungkinan efek samping
yang terjadi lebih kecil.
Tn. M merupakan pasien positif virus covid-19, selama perawatan di
rumah sakit pasien melakukan tes swab sebanyak 5 kali pada tanggal 5
Desember (-), 6 Desember (-), 7 Desember (+), 11 Desember (+), dan 15
Desember (-). Pasien mendapatkan terapi antivirus avigan (favipiravir). Efek
samping dari avigan (favipiravir) yang paling sering berupa gangguan fungsi
hati, gejala psikiatrik, gangguan pencernaan, dan peningkatan kadar asam urat
sehingga perlu dilakukan monitoring efek samping obat. Makanan dapat
menunda pencapaian kadar puncak Favafiravir dalam plasma, konsumsi
favafirapin dalam keadaan perut kosong. Favafiravir merupakan obat yang di
ekskresi di ginjal sehingga dilakukan pemantauan nilai faal ginjal dan faal
hati,
Terapi pneumonia pada pasien menggunakan levofloxacin dan
meropenem. Penggunaan levofloxacin Tn. M selama 9 hari, levofloxacin
merupakan antibiotik empiris yang penggunaannya 3 hari + 2x24 jam / 3-5
hari, sehingga penggunaan levofloxacin harus dihentikan karena telah
melebihi waktu penggunaan antibiotic empiris. Tidak adanya hasil kultur
antibiotic pasien, dimana pasien telah diberikan antibiotic meropenem dimana
antibiotic ini merupakan last line Ketika tidak terapat antibiotic lain yang
mampu mengobati infeksi yang terjadi.
Pasien mengeluhkan sakit saat buang air kecil, dilihat dari data lab yang
dilakukan leukost pasien mengalami peningkatan hal ini merupakan ciri dari
terdapatnya infeksi pada pasien. Diagnosa dokter tertulis bahwa pasien
mengalami infeksi saluran kemih. Terapi yang diberikan adalah levofloxacin.
Pasien telah mendapatkan terapi levofloxacin 1 x 750 mg, dosis ini sudah
139

mencakup dosis yang digunakan pada regiment pengobatan ISK (250 mg).
perlu adanya monitoring suhu badan, nilai leukosit, nilai elektrolit dan faal
ginjal pasien serta merekomendasikan agar pasien melakukan cek lab faal
ginjal untuk mengetahui nilai ureum dan kreatinin pasien.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1) Pemberian Obat kepada pasien Tn.M selama tanggal 03-16 Desember
dengan diagnosa Covid + Pneumonia + HT + ISK sudah tepat dilakukan.
2) Perlu dilakukan monitoring Efek Samping Obat dan pada pasien.
3) Konseling terhadap Pasien dan Keluarga pasien tentang penyakit, cara
penggunaan obat, kepatuhan minum obat, dan efek samping obat.
4) Perlu dilakukan tes kultur antibiotic pada pasien.
5) Perlu adanya cek laboratorium faal ginjal dan hati.

B. Saran
1) Mengedukasi pasien dan keluarga mengenai penyakit yang diderita
pasien.
2) Memberi saran tentang waktu pemberian obat dijam yang berbeda kepada
perawat yang memberikan obat langsung kepasien.

140
DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., Sukandar, E. Y. 2008. ISO
Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan: Jakarta

Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta:
Interna Publishing.

Ceraolo C, Giorgi FM. Genomic variance of the 2019‐nCoV coronavirus. J


MedVirol. 2020

Dahlan Z. Pneumonia. In Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M,Setyohadi


B, Syam AF (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2014. p1608-19.

Dr. Fransisca S. K. PNEUMONIA1 .2000

DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris.

Fauci, Braunwald, Casper dkk, Harrison Manual Kedokteran, Jilid 2, Tangerang.


2012.

Justin L Ranes, Steven Gordon & Alejandro C Arroliga, Current Clinical


Medicine, William D Carey, MD;,Saunders Elsevier.2010

Kemenkes RI. Hipertensi. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementrian


kesehatan RI. 2018

Maxine A Papadakis, MD, Stephen J Mc Phee, MD, Michael W Rabow, MD, A


Lange Medical Book, New York, 2012.p

Sukandar, Enday. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid II.
Jakarta:InternaPublishing. 2131- 2138.

141
142

Scanlon, V, C & Sanders, T. 2007. Essential of Anatomy and Physiology Edisi


V.Philadelpia: FA Davis Company. 420-432.

Tessy A, Ardayo, Suwanto. Infeksi salauran kemih dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. h .369

The Eight Joint National Commitee. Evidence based guideline for the
management of high blood pressure in adults-Report from the panel members
appointed to the eightjoint national commitee. 2014.

Walker R & Whittlesca C, Clinical Pharmacy and Therapeutics: fifth edition,


London, Churchill Livingstone Elsevier. 2012.

World Health Organization. Global surveillance for human infection with novel
Coronavirus (2019-nCoV) for-human-infection-with-novelcoronavirus-
( COVID-19)

Anda mungkin juga menyukai