Anda di halaman 1dari 33

MATA KULIAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

KELAS A

GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN “Stroke Iskemik”

Disusun oleh Focus Group 3:

Alya Fadhoil Hanifah 1806203521


Fadillah Nur Fitriyani 1806140003
Nur Azizah 1806140211
Riki Reyhan Pendrian 1806203396
Rozy Nur Rohman 1806203484
Sarah Sahwa Kusnana 1806140306
Shafa Nabila Mumtaz 1806203446

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Gangguan
Sistem Persarafan “Stroke Iskemik” ini dengan baik tanpa ada halangan yang
berarti. Makalah ini disusun dengan menggunakan metode studi literatur dan
diskusi focus group 3 dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan
Medikal Bedah III Kelas A.

Makalah ini dapat terselesaikan tidak lepas dari bantuan, arahan, dan kerja
sama dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini terutama kepada fasilitator
Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah III Kelas A, yaitu Ns Muhamad Adam,
S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.MB. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
teman-teman dan pihak lain yang telah mendukung dalam penyusunan makalah
hingga makalah dapat terselesaikan dengan baik.

Meski demikian, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat


kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis secara terbuka
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Demikian, besar
harapan penulis agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Akhir
kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Depok, 05 Maret 2021

Focus Group 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah.................................................................................. 2
1.3. Tujuan Penulisan ................................................................................... 2
BAB II ISI ........................................................................................................... 3
2.1. Definisi dan Etiologi Stroke ................................................................... 3
2.2. Faktor Risiko ......................................................................................... 4
2.3. Klasifikasi dan Patofisiologi Stroke Iskemik .......................................... 4
2.4. Pemeriksaan Fisik .................................................................................. 5
2.5. Pemeriksaan Penunjang ......................................................................... 7
2.6. Manifestasi Klinis Stroke Iskemik ......................................................... 9
2.7. Penatalaksanaan Stroke ........................................................................ 11
2.8. Asuhan Keperawatan Dx. Hambatan Mobilitas Fisik ........................... 16
2.9. Asuhan Keperawatan Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif ................. 23
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 26
3.1. Kesimpulan.......................................................................................... 26
3.2. Saran ................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 28

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cerebrovascular Accident (CVA) atau biasa yang kita sebut dengan stroke
adalah cedera atau kematian pada bagian otak. National Stroke Association
menyamakan stroke akut dengan infark miokard akut (serangan jantung) karena
keduanya sama-sama mengakibatkan infark organ yang sangat mengancam
nyawa. Menurut data dari World Stroke Organization, stroke merupakan
penyebab kematian kedua dan penyebab disabilitas ketiga di dunia dan setiap
tahunnya terdapat 13,7 juta kasus baru penyakit stroke di dunia (World Stroke
Organization, 2019). Indonesia sendiri, menurut data Riskesdas 2013 prevalensi
stroke nasional 12,1 per mil, sedangkan pada Riskesdas 2018 prevalensi stroke
10,9 per mil, tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur (14,7 per mil), terendah di
Provinsi Papua (4,1 per mil). Data tersebut menunjukan 1 dari 4 orang terkena
stroke.

Stroke disebabkan oleh iskemia (kekurangan oksigen) akibat trombus,


embolus, vasospasme berat, atau perdarahan otak (American Stroke
Association,n.d.). Dalam fisiologisnya otak tidak dapat menyimpan oksigen atau
glukosa dan oleh karena itu harus menerima aliran darah yang konstan untuk
menyediakan zat ini agar dapat berfungsi normal (Smeltzer, C. S., & Bare, B. G,
2010). Aliran darah penting untuk membuang limbah metabolik (misalnya karbon
dioksida atau asam laktat). Jika perfusi ke salah satu bagian otak terputus selama
lebih dari beberapa menit, jaringan serebral dapat mati (infark), lalu terjadilah
stroke. Infark disalah satu bagian otak juga dapat mempengaruhi metabolisme
otak di sekitar infark dan belahan kontralateral (sisi berlawanan). Efek lainnya
adalah adanya edema yang dapat menyebabkan pasien mengalami peningkatan
tekanan intrakranial dan kerusakan otak sekunder (Smeltzer, C. S., & Bare, B. G,
2010).

1
Terdapat dua tipe stroke, yaitu ischemic stroke (clots) yang disebabkan
oleh adanya gumpalan darah sehingga darah tidak dapat mengalir ke otak. Tipe ini
adalah yang mayoritas terjadi, sekitar 83 persen dari seluruh kasus stroke adalah
stroke iskemik. Tipe kedua adalah hemorrhagic stroke (bleeds) yang disebabkan
oleh perdarahan di otak akibat pembuluh darah yang ruptur. Stroke tipe ini
biasanya dialami oleh individu dengan tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol
(Black&Hawks,2009).

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan stroke?
2. Apa sajakah etiologi dan faktor risiko stroke?
3. Bagaimana gejala dan manifestasi klinis troke?
4. Bagaimanakah mekanisme patofisiologis stroke?
5. Bagaimana klasifikasi stroke?
6. Pemeriksaan penunjang apa yang dapat digunakan dalam mendiagnosis
stroke?
7. Bagaimana penatalaksanaan mandiri dan kolaborasi pasien stroke?
8. Bagaimana asuhan keperawatan yang tepat bagi pasien stroke?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Mengetahui dan memahami definisi stroke
2. Mengetahui dan memahami 2actor2ic dan 2actor risiko stroke
3. Mengetahui dan memahami tanda dan gejala (manifestasi klinis) stroke
4. Mengetahui dan memahami mekanisme patofisiologis stroke
5. Mengetahui klasifikasi stroke
6. Mengetahui dan memahami pemeriksaan penunjang apa saja yang dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis keperawatan pada pasien stroke
7. Mengetahui dan memahami apa saja penatalaksanaan mandiri dan
kolaborasi bagi pasien stroke
8. Memahami dan mampu menyusun asuhan keperawatan yang sesuai bagi
pasien stroke

2
BAB II

ISI

2.1.Definisi dan Etiologi Stroke


Stroke atau Cerebrovascular Accident (CVA) merupakan salah satu
penyakit pada pembuluh darah otak. Menurut data dari World Stroke
Organization, stroke merupakan penyebab kematian kedua dan penyebab
disabilitas ketiga di dunia dan setiap tahunnya terdapat 13,7 juta kasus baru
penyakit stroke di dunia (World Stroke Organization, 2019). Stroke terjadi
ketika pembuluh darah yang membawa oksigen dan nutrisi ke otak tersumbat
oleh gumpalan atau pecah. Ketika hal tersebut terjadi, bagian otak tidak bisa
mendapatkan darah dan oksigen yang dibutuhkannya, sehingga terjadilah
kematian otak dan sel-sel otak. Otak merupakan organ tubuh yang kompleks
karena berfungsi mengontrol berbagai fungsi tubuh. Apabila stroke terjadi dan
aliran darah tidak dapat mencapai daerah yang mengontrol fungsi tubuh
tertentu, maka bagian tubuh tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya (American Stroke Association,n.d.).
Stroke disebabkan oleh iskemia (kekurangan oksigen) akibat trombus,
embolus, vasospasme berat, atau perdarahan otak (American Stroke
Association,n.d.). Pasokan darah ke otak yang terganggu dapat menyebabkan
sensasi defisit neurologis, gerakan, pikiran, memori, atau ucapan. Hilangnya
fungsi tersebut dapat bersifat sementara atau permanen
(White,Duncan&Baumle,2011). Stroke dapat terjadi pada pembuluh darah
besar maupun pembuluh darah kecil. Stroke pada pembuluh darah besar
disebabkan adanya sumbatan pada arteri serebral utama seperti carotid interna,
serebral anterior, serebral media, serebral posterior, vertebral, dan arteri
basilaris. Sementara stroke pada pembuluh darah kecil terjadi pada pembuluh
darah kecil yang merupakan cabang dari pembuluh darah besar yang masuk ke
bagian lebih dalam bagian otak (Black&Hawks,2009).

3
2.2.Faktor Risiko
Secara umum faktor risiko stroke dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu
faktor risiko yang dapat diubah/dimodifikasi dengan melakukan perubahan
gaya hidup (seperti obesitas, merokok, konsumsi alkohol, sedentary lifestyle),
faktor risiko yang dapat diubah dengan manajemen medis, seperti hipertensi
dan diabetes mellitus (dengan pengobatan yang teratur), serta faktor risiko
yang tidak dapat diubah seperti riwayat keluarga, ras/etnis
(Ignatavicius,Workman,Rebar&Heimgartner,2018). Penelitian yang dilakukan
oleh National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases
(NIDDK) menyebutkan bahwa orang dengan diabetes, terutama orang dewasa
yang lebih tua dengan DM tipe 2, berisiko 2 sampai 6 kali lebih besar untuk
terkena stroke. Selain itu sekitar 75% penderita diabetes meninggal karena
penyakit kardiovaskular atau stroke. Aterosklerosis yang terjadi pada
pembuluh darah otak berkembang pada usia yang lebih dini dan terjadi lebih
cepat pada penderita diabetes karena kadar glukosa yang tinggi dari waktu ke
waktu sehingga menyebabkan peningkatan timbunan lemak di dinding
pembuluh darah (LeMone.,dkk,2017).

2.3.Klasifikasi dan Patofisiologi Stroke Iskemik


Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi (penyumbatan) arteri serebral atau
karotis baik oleh trombus atau embolus. Stroke yang disebabkan oleh trombus
(gumpalan) disebut sebagai stroke trombotik dan stroke yang disebabkan oleh
embolus (gumpalan yang terlepas) disebut sebagai stroke emboli. Stroke
trombotik umumnya disebabkan oleh perkembangan aterosklerosis baik di
arteri intrakranial atau ekstrakranial, namun biasanya terjadi di arteri karotis
(Ignatavicius, Workman, & Rebar, 2017). Pecahnya satu atau lebih plak
aterosklerotik dapat meningkatkan pembentukan gumpalan. Ketika gumpalan
ukurannya bertambah besar memenuhi rongga pembuluh darah, hal ini dapat
mengganggu aliran darah ke jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah,
sehingga menyebabkan stroke iskemik (oklusif). Bifurkasi (titik pembelahan)
arteri karotis komunis dengan arteri karotis interna dan arteri vertebralis di
persimpangannya dengan arteri basilar adalah tempat paling umum yang
terlibat dalam pembentukan plak aterosklerotis karena aliran darahnya yang

4
turbulensi. Pembentukan trombus biasanya terjadi secara bertahap ketika ada
plak aterosklerotik, sehingga stroke trombotik cenderung memiliki onset yang
lambat (Ignatavicius, Workman, & Rebar, 2017).
Sedangkan, stroke emboli disebabkan oleh trombus yang terlepas dari satu
area tubuh dan berjalan ke arteri serebral melalui arteri karotis atau sistem
vertebrobasilar. Sumber emboli pada stroke jenis ini biasanya berasal dari
jantung. Emboli dapat terjadi pada pasien dengan fibrilasi atrium, penyakit
katup jantung, mural trombus setelah infark miokard (MI), katup jantung
prostetik, atau endokarditis (infeksi). Sumber emboli lainnya mungkin berupa
plak atau gumpalan yang terlepas dari sinus karotis atau arteri karotis internal.
Emboli cenderung bersarang di pembuluh darah otak yang lebih kecil di titik
bercabang atau di mana lumen menyempit. Saat emboli menyumbat pembuluh
darah, dapat terjadi iskemia sehingga pasien mengalami tanda dan gejala
stroke. Oklusi atau penyumbatan dapat bersifat sementara jika embolus pecah
menjadi fragmen yang lebih kecil, kemudian memasuki pembuluh darah yang
lebih kecil dan diserap. Oleh karen itu stroke emboli biasanya ditandai dengan
gejala yang muncul tiba-tiba dan terjadinya defisit neurologis yang cepat.
Gejalanya bisa hilang dalam beberapa hari. Stroke jenis ini dapat menjadi
stroke hemorargik karena dinding pembuluh arteri rentan terhadap kerusakan
iskemik akibat gangguan suplai darah, serta stres hemodinamik yang tiba-tiba
dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah, kemudian menyebabkan
perdarahan langsung di dalam jaringan otak (Ignatavicius, Workman, & Rebar,
2017).

2.4.Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
a. Kesadaran: umumnya mengelami penurunan kesadaran
b. Tanda-tanda vital: tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi
c. Suara bicara: kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti,
kadang tidak bisa bicara
2. Pemeriksaan integumen
a. Kulit: jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit akan jelek. Di samping itu perlu

5
juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol
karena klien CVA Bleeding harus bed rest 2-3 minggu.
b. Kuku: perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis
c. Rambut: umumnya tidak ada kelainan
3. Pemeriksaan kepala dan leher
a. Kepala: bentuk normocephalik
b. Muka: umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi
c. Leher: kaku kuduk jarang terjadi
4. Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi,
wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat
penurunan refleks batuk dan menelan.

5. Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan
kadang terdapat kembung.
6. Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus Kadang terdapat incontinensia atau
retensio urine.
7. Pemeriksaan ekstremitas sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi
tubuh.
8. Pemeriksaan neurologi
a. Pemeriksaan nervus cranialis
Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII central.

b. Pemeriksaan motorik
Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan pada salah satu sisi tubuh.

c. Pemeriksaan sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi.

d. Pemeriksaan refleks
Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang.
Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahuli
dengan refleks patologis.

6
2.5.Pemeriksaan Penunjang
1. Computerized Tomography Scan
Untuk menentukan perdarahan atau penyumbatan atau massa di dalam
otak. Di samping itu juga bisa untuk menentukan lokasi dan ukuran lesi.
Memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisinya secara pasti. Akan
didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk ventrikel, atau menyebar
ke permukaan otak.

2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak. MRI juga
untuk menunjukkan area yang mengalami hemoragik. Hasil pemeriksaan
biasanya di dapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat dari
hemoragik. Dapat memberikan hasil gambar yang lebih detail dibanding CT
Scan, tetapi waktu yang dibutuhkan lebih lama. Selain itu biaya juga lebih
mahal.

3. Carotid Doppler ultrasound


Untuk melihat apakah ada penyempitan atau penurunan alirah darah,
terutama pada arteri carotis. Ultrasonografi Dopler juga untuk
mengidentifikasi penyakit arteriovena.

4. EKG

7
Menunjukkan grafik detak jantung untuk mendeteksi penyakit jantung
yang mungkin mendasari serangan stroke serta tekanan darah tinggi. Untuk
mengevaluasi fungsi jantung sehingga dapat diketahui apakah ada gangguan
pada jantung yang dapat merupakan sumber emboli. EKG juga dapat
membantu menentukan apakah terdapat disritmia, yang dapat menyebabkan
stroke. Perubahan EKG lainnya yang dapat ditemukan adalah inversi
gelombang T, depresi ST, dan kenaikan serta perpanjangan QT.

5. Tes darah Darah rutin


Sedimentation rate, dan C-reactive protein dapat diusulkan. Kadar
elektrolit atau fungsi ginjal juga dapat dipertimbangkan.

6. Electroencephalogram (EEG)
Melihat masalah yang timbul dan dampak dari jaringan yang infark
sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak. Elektro
encephalografi/EEG juga mengidentifikasi masalah didasarkan pada
gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.

7. Angiogram
Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik misalnya
perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber
perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler.

8. Sinar-X tengkorak
Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang
berlawanan dari masa yang meluas, klasifikasi karotis interna terdapat pada
trombosis serebral, klasifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan
subaraknoid.

9. Pemeriksaan foto thorax


Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran
ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada
penderita stroke.

10. Pemeriksaan laboratorium

8
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang menjamin kepastian dalam
menegakkan diagnosa stroke (Ignatavicious et al., 2018). Pungsi lumbal:
pemeriksaan likuor yang merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang
masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih
normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama.

Pemeriksaan darah termasuk hematokrit dan hemoglobin yang bila


mengalami peningkatan dapat menunjukkan oklusi yang lebih parah, Kadar
hematokrit dan hemoglobin yang meningkat sering dikaitkan dengan stroke
berat atau mayor karena tubuh berusaha mengkompensasi kekurangan
oksigen ke otak (Ignatavicious et al., 2018).

Masa protrombin dan masa protrombin parsial, yang memberikan dasar


dimulainya terapi antikoagulasi. Penyedia layanan kesehatan primer
biasanya meminta masa protrombin (PT) atau rasio normalisasi
internasional (INR) dan masa tromboplastin parsial (PTT) untuk
menetapkan informasi dasar sebelum terapi antikoagulasi dapat dimulai
(Ignatavicious et al., 2018).

Hitung sel darah putih, yang dapat menandakan infeksi seperti


endokarditis bacterial sub akut. Pada keadaan tidak terjadinya peningkatan
TIK, mungkin dilakukan pungsi lumbal. Jika ternyata terdapat darah dalam
cairan serebrospinal yang dikeluarkan, biasanya diduga terjadi hemoragi
subarakhnoid. Jumlah sel darah putih (WBC) yang meningkat dapat
menunjukkan adanya infeksi atau respons terhadap stres fisiologis atau
peradangan.

2.6.Manifestasi Klinis Stroke Iskemik


Stroke iskemik dapat disebabkan oleh berbagai macam defisit neurologi
tergantung dari lokasi lesi (pembuluh darah yang tersumbat). Ukuran area
perfusi yang inadequate dan jumlah aliran darah kolateral. Menurut Smeltzer
& Bare (2010), manifestasi klinis pada pasien yang terkena stroke iskemik
dapat ditandai dengan gejala-gejala, seperti:

9
 Mati rasa atau penurunan (bagian wajah, lengan atau tungkai, khususnya
pada satu sisi tubuh);
 Merasa kebingungan atau perubahan status mental;
 Gangguan penglihatan:
 Kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan;
 Kesulitan berjalan, pusing, atau kehilangan keseimbangan;
 Migrain (sakit kepala sebelah) secara mendadak
 Gangguan motorik, sensorik, saraf kranial, kognitif, dan fungsi lainnya.

Manifestasi klinis awal ditandai dengan defisit penglihatan, seperti:


Homonimus heminopsia, kehilangan penglihatan perifer, dan Diplopia.
Homonimus heminopsia (kehilangan setengah penglihatan) ditandai dengan
tidak menyadari orang atau objek di tempat hilangnya penglihatan,
mengabaikan salah satu sisi tubuh, dan kesulitan menilai jarak. Kehilangan
penglihatan perifer ditandai dengan kesulitan melihat pada malam hari, dan
tidak menyadari objek atau batas objek. Selain itu, Diplopia yang ditandai
dengan penglihatan ganda (Smeltzer & Bare, 2010).

Manifestasi klinis lainnya adalah defisit motorik, seperti: Hemiparesis,


Hemiplegia, Ataksia, Disatria, Apraxia, dan Disfagia. Pada stroke tahap awal,
gambaran klinis awal mungkin kelumpuhan lembek dan kehilangan atau
penurunan di dalam refleks tendon. Saat refleks dalam ini muncul kembali
(biasanya dalam 48 jam), peningkatan tonus diamati bersamaan dengan
spastisitas (peningkatan tonus otot yang tidak normal) pada ekstremitas sisi
yang terkena (White, et al, 2013). Hemiparesis (Kelemahan satu sisi tubuh)
yang ditandai dengan kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang sama
(karena lesi pada hemisfer yang berlawanan) (Smeltzer & Bare, 2010).

Selanjutnya adalah Hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) merupakan


tanda yang paling sering terjadi pada pasien stroke iskemik yang ditandai
dengan paralisis wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang sama (karena lesi
berlawanan sisi pada otak). Ataksia ditandai dengan berjalan tidak tegak dan
tidak mampu menyatukan kaki. Disatria ditandai dengan kesulitan dalam
membentuk kata. Apraxia ditandai dengan ketidakmampuan pasien untuk

10
melakukan tindakan yang sebelumnya sudah dipelajari. Selain itu, Disfagia
yang ditandai dengan kesulitan dalam menelan (Smeltzer & Bare, 2010).

Manifestasi klinis selanjutnya adalah defisit sensorik dimana ditandai


dengan Parestesia (terjadi pada sisi berlawanan dari lesi), seperti kebas dan
kesemutan pada bagian tubuh serta kesulitan dalam propriosepsi. Selain deficit
sensorik, pasien juga mengalami deficit verbal yang ditandai dengan Afasia
Ekspresif (tidak mampu membentuk kata yang dipahami dan mungkin mampu
berbicara dalam respon kata tunggal); Afasia Reseptif (tidak mampu kata yang
dibicarakan dan mampu bicara tetapi tidak masuk akal); dan Afasia Global
(kombinasi afasia ekspresif dan afasia reseptif) (Smeltzer & Bare, 2010).

Manifestasi klinis lainnya pada pasien stroke iskemik, yaitu defisit


kognitif dan deficit emosional. Defisit kognitif ditandai dengan kehilangan
memori jangka pendek dan jangka panjang; kerusakan kemampuan untuk
berkonsentrasi, dan perubahan penilaian. Kemudian, defisit emosional ditandai
dengan kehilangan control diri, emosi labil, penurunan toleransi pada situasi
yang menimbulkan stress, depresi, menarik diri, rasa takut, bermusuhan, dan
marah, serta perasaan isolasi (Smeltzer & Bare, 2010).

Berdasarkan penjelasan diatas, stroke iskemik berbeda dengan stroke


hemoragik dilihat dari penyebabnya. Stroke iskemik disebabkan karena adanya
sumbatan pada pembuluh darah di otak, sehingga aliran darah tidak lancar dan
dapat menyebabkan kematian jaringan di otak. Sebagai seorang perawat yang
bertugas dalam memenuhi kebutuhan dasar pasien, kita harus mampu
mengenal tanda dan gejala yang dialami oleh pasien. Manifestasi klinis pasien
stroke iskemik dapat berupa defisit penglihatan, defisit sensorik, defisit
motorik, defisit verbal, dan lainnya.

2.7.Penatalaksanaan Stroke
Penatalaksanaan stroke dilakukan sesuai jenisnya. Jadi penatalaksanaan
strok iskemik dan hemoragik itu akan berbeda. Manajemen medis yang dapat
dilakukan adalah drug therapy, surgical therapy, acute care, penatalaksanaan
stroke iskemik, penatalaksanaan stroke hemoragik, dan rehabilitasi.Menurut
Lewis (2016) pencegahan stroke bisa dilakukan dengan cara:

11
1. Mengurangi asupan garam dan natrium
2. Pertahankan berat badan normal,
3. Pertahankan tekanan darah normal,
4. Tingkatkan latihan fisik,
5. Hindari produk tembakau,
6. Batasi konsumsi alkohol, dan diet rendah lemak jenuh, lemak total, juga
hindari makanan berkolesterol tinggi.
7. Jika terjadi obesitas, lipid serum tinggi, atau disfungsi jantung maka harus
dilakukan perawatan.

A. Drug therapy

Tindakan untuk mencegah perkembangan dari trombus atau embolus


digunakan pada pasien dengan TIA, karena mereka berisiko tinggi terkena
stroke. Obat antiplatelet biasanya merupakan pengobatan yang dipilih
untuk mencegah stroke pada pasien yang pernah mengalami TIA. Aspirin
adalah antiplatelet yang paling sering digunakan agen, biasanya dengan
dosis 81 sampai 325 mg per hari. Obat-obatan lain termasuk ticlopidine
(Ticlid), clopidogrel (Plavix), dipyridamole (Persantine), dan kombinasi
dipyridamole dan aspirin (Aggrenox) (Mazzucco S dkk, 2013).

Untuk pasien yang mengalami fibrilasi atrium, antikoagulasi oral


dapat mencakup warfarin (Coumadin), rivaroxaban (Xarelto), dan
dabigatran etexilate (Pradaxa). Keuntungan utama dari rivaroxaban dan
dabigatran atas warfarin adalah bahwa obat ini tidak perlu pemantauan
ketat atau penyesuaian dosis. Statin (simvastatin [Zocor], lovastatin
[Mevacor]) juga telah terbukti efektif dalam pencegahan stroke bagi
individu yang memiliki riwayat TIA (Kessler C, Thomas K, Kao J, 2012).

B. Surgical Therapy

Intervensi bedah untuk pasien dengan TIA akibat penyakit karotis


termasuk endarterektomi karotis, angioplasti transluminal, pemasangan
stent, dan bypass ekstrakranial-intrakranial (EC-IC). Pada endarterektomi
karotis (CEA), lesi ateromatosa diangkat dari arteri karotis untuk

12
meningkatkan aliran darah. Angioplasti transluminal adalah penyisipan
balon untuk membuka arteri yang kaku di otak dan meningkatkan aliran
darah. Balon diikat ke arteri karotis melalui kateter yang dimasukkan ke
dalam arteri femoralis. Bypass EC-IC melibatkan anastomosis
(pembedahan menghubungkan) cabang arteri ekstrakranial ke arteri
intrakranial (paling sering, arteri temporal superfisial ke otak tengah) di
luar area obstruksi dengan tujuan meningkatkan perfusi serebral.

C. Penatalaksanaan Stroke Iskemik

Penatalaksanaan pada stroke iskemik bertujuan untuk


mempertahankan jaringan pada ischemic penumbra. Terapi yang dapat
diberikan mencakup pemberian recombinant tissue-type plasminogen
activator (rtPA), aspirin, antikoagulan, dan terapi suportif.

1. rtPA (recombinant tissue-type plasminogen activator)

Pemberian rtPA merupakan pilihan yang biasa dilakukan sebagai


upaya revaskularisasi sebagai agen trombolisis. Pemberian trombolisis
harus dipertimbangkan pada stroke iskemik. Pemberian recombinant
tissue-type plasminogen activator harus segera dilakukan dalam 3 jam
sejak onset terjadinya stroke dan kemungkinan stroke hemoragik telah
disingkirkan. Recombinant tissue-type plasminogen activator
memiliki komplikasi yaitu perdarahan intrakranial dan reaksi alergi.

2. Aspirin

Penggunaan antiplatelet juga direkomendasikan oleh The


American Heart Association/American Stroke Association tahun 2018.
Pemberian aspirin diberikan 24-48 jam setelah onset. Pada pasien
yang mendapat r-tPA, pemberian aspirin dilakukan setelah 24 jam.

Risiko perdarahan akibat penggunaan aspirin terjadi berhubungan


dengan dosis yang diberikan. Perdarahan yang paling sering terjadi
adalah perdarahan gastrointestinal.

13
3. Antikoagulan

Berdasarkan European Stroke Organization, pemberian


antikoagulan seperti heparin pada kasus tidak memberikan
keuntungan pada keluaran stroke. Sehingga pemberian antikoagulan
pada strok akut tidak direkomendasikan.

4. Terapi suportif

Cek apakah terdapat hipoglikemi atau hiperglikemia, karena


memiliki gejala yang mirip dengan stroke.

5. Antihipertensi

Pada aliran darah otak yang buruk, pembuluh darah pada otak
kehilangan fungsi vasoregulator, sehingga untuk mempertahankan
tekanannya, pembuluh tersebut bergantung pada Mean Arterial
Pressure (MAP) dan cardiac output. Penggunaan antihipertensi dapat
mengurangi perfusi dan memperparah kejadian iskemik.

D. Penatalaksanaan Stroke Hemoragik

Penatalaksanaannya berkunci pada penanganan menghentikan


perdarahan, kontrol tekanan tinggi intrakranial, serta identifikasi dan
penanganan komplikasi seperti kejang.

1. Penghentian perdarahan
2. Kontrol tekanan darah
3. Penanganan tekanan tinggi intracranial
4. Penanganan kejang dapat menggunakan diazepam 5-20 mg IV.

E. Rehabilitasi

Sejak dari serangan awal stroke, intervensi ditujukan untuk perbaikan


fisik dan kognitif klien. Usaha permobilisasi lebih awal bertujuan untuk
mencegah komplikasi penurunan neurologis dan imobilitas. Setelah
beberapa hari pertama dari kejadian akut, edema serebral biasanya mereda

14
dan gejala sisa gangguan dari stroke bisa diidentifikasi. Klien dengan
stroke dan keluarganya akan menghadapi kesulitan dalam penyesuaian
setelah fase akut berlalu dan kecacatan terlihat jelas.

Rehabilitasi sejak dini memungkinkan kegiatan pembelajaran kembali


bisa terjadi. namun hal ini dipengaruhi tingkat keparahan stroke. Pada
pasien dengan stroke, dibutuhkan unit khusus yang terdiri berbagai disiplin
ilmu untuk keluaran pasien yang lebih baik. Terapi yang bisa diikuti
diantatanya sebagai berikut:

1. Fisioterapi
Pada terapi fisioterapi ini bertujuan untuk membantu klien
membangun kekuatan dan mempertahankan rentang gerak (ROM)
dibagian otot yang tidak terkena stroke maupun otot yang terkena
stroke. Latihannya dapat berupa keterampilan atau kemampuan
merasakan posisi, lokasi, orientasi, serta Gerakan dari tubuh dan
bagian-bagiannya. Jika ada peningkatan pasien dapat diajarkan untuk
duduk pada ujung tempat tidur hingga akhirnya berlatih berjalan
kembali (Ignatavicius, 2018; Lewis, 2016; Smeltzer, 2010).
2. Terapi okupasi
Ahli terapi okupasi akan bekerja sama dengan klien untuk
mempelajari kembali activities of daily living atau ADL dan
menggunakan alat bantu yang bisa meningkatkan kemandirian klien.
Banyak klien stroke yang mengalami nyeri hemat akibat kehilangan
keseimbangan dan ROM, hal ini dapat membatasi mobilitas juga
perawatan diri. Ahli terapi okupasi akan mendampingi klien untuk
melakukan beberapa aktivitas secara bertahap sesuai kemampuan
klien. Karena aktivitas yang berlebihan dapat memperburuk masalah
(Black & Hawks, 2014).
3. Terapi bicara dan manajemen kasus
Pada terapi ini ahli patologi akan membantu perkembangan
penyembuhan bicara dengan belajar kembali, intonasi, nada, dan
sebagainya atau menggunakan alat Komunikasi alternatif. Selain itu,

15
ahli patologi akan mengkaji pula mekanisme menelan klien (Black &
Hawks, 2014).

2.8.Asuhan Keperawatan Dx. Hambatan Mobilitas Fisik


A. Pengkajian dan Diagnosis
I. Identitas pasien
Nama : Nn.P
Usia : 59 tahun

II. Data Kasus

Data Subjektif Data Objektif

1. Pasien juga merasakan mati 1. Frekuensi napas 14 kali/menit,


rasa pada pipi kanan dan 2. TD 148/97 mmHg,
tangan kanan. 3. Frekuensi nadi 81 kali/menit,
2. Pasien merasakan kelemahan 4. Suhu 36,7 C,
pada bagian lengan kanan 5. GCS E4M6V5,
6. Bibir tampak mencong ke sisi kanan, dan facial
drop yang tampak terutama saat pasien tersenyum,
7. Respons pupil positif,
8. Genggaman tangan kiri lebih lemah dibandingkan
dengan kanan
9. Pasien mampu menelan tanpa mengalami
kesulitan.
10. Hasil laboratorium : Hemoglobin 14 g/dL,
Hematokrit 44%, Trombosit 294.000 mm3,
Leukosit 8.000 sel/ mm3, prothrombin time (PT)
12,9 detik, INR 1.10, natrium 149 mEq/L, K 4,5
mEq/L, glukosa 105 mg/dL, Kalsium 9,5 mg/dL,
BUN 15 mg/dL dan kreatinin 0,8 mg/dL. Pasien
mendapat terapi heparin 25.000 unit dalam 500 cc
D5W 18 mL per jam

16
III. Analisis Data

DIAGNOSIS BATASAN KARAKTERISTIK ETIOLOGI


KEPERAWATAN (Data Kasus)

Subjektif Objektif
Domain 4: 1. Pasien 1. TD 148/97 mmHg,  Kelemahan
Aktivitas/Is merasakan 2. Kadar natrium 149  Penurunan
tirahat
kelemahan pada mEq/L kekuatan otot
Kelas2: bagian lengan 3. Bibir tampak
Aktivitas/O
kanan mencong ke sisi
lahraga
2. Pasien kanan, dan facial
00085
merasakan mati drop yang tampak
Hambatan rasa pada pipi terutama saat pasien
Mobilitas
kanan dan tersenyum
Fisik
tangan kanan 4. Genggaman tangan
Definisi :
kiri lebih lemah
Keterbatasa dibandingkan
n dalam
dengan kanan
gerakan
fisik atau
satu atau
lebih
ekstremitas
secara
mandiri dan
terarah

B. Intervensi dan Kriteria Hasil

Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Rasional


( Moorhead, S., (Bulechek, G. M., Butcher, H. (Doenges, M. E., Moorhouse,
Johnson, M., Maas, M. K., Dochterman, J. M., & M. F., & Murr, A. C.,2014)

17
L., & Swanson, E.2013) Wagner, C. M.,2013)

Konsekuensi Positioning (NIC)


Imobilitas: Fisiologis 1. Menilai kemampuan 1. Mengidentifikasi kekuatan
(NOC) fungsional dan besarnya dan kekurangan serta
gangguan pada saat awal dapat memberikan
Kriteria Hasil: dan secara teratur. informasi pemulihan.
1. Mempertahankan Klasifikasikan menurut Membantu dalam
atau meningkatkan skala 0 – 4 ( Lihat CP: pemilihan intervensi
kekuatan dan fungsi Craniocerebral Trauma— karena teknik yang
tubuh yang Acute Rehabilitative berbeda digunakan untuk
terpengaruh Phase, ND: Gangguan jenis kelumpuhan yang
2. Mempertahankan Mobilitas Fisik) lembek dan kejang.
posisi fungsi yang 2. Ubah posisi setiap 2 jam 2. Mengurangi risiko
optimal yang sekali (terlentang, iskemik dan cedera
dibuktikan dengan berbaring miring) dan jaringan. Sisi yang terkena
tidak adanya lebih sering berada memiliki sirkulasi yang
kontraktur dan diposisi yang terkena lebih buruk dan sensasi
footdrop 3. Posisikan klien dalam yang berkurang dan
3. Memperagakan posisi tengkurap sekali cederung mengalami
teknik dan perilaku atau dua kali sehari ( jika kerusakan kulit dan ulkus
yang memungkinkan klien bisa mentolerir) tekanan.
mulainya kembali 4. Berikan penyangga sesuai 3. Membantu
aktivitas kebutuhan (mis.pada mempertahankan ekstensi
4. Tidak ada gangguan ekstremitas seperti alas pinggul fungsional,
integritas kulit kaki) namun dapat
5. Gunakan sling lengan meningkatkan kecemasan
pada saat klien dalam terutama tentang
posisi tegak kemampuan bernapas.
6. Evaluasi penggunaan dan 4. Mencegah kontraktur dan
kebutuhan alat bantu, footdrop dan
memfasilitasi penggunaan

18
posisi dan bidai selama ketika atau jika fungsi
kelumpuhan spastik: kembali. Kelumpuhan
- Letakan bantal lemah dapat mengganggu
dibawah ketiak untuk kemampuan menopang
lengan abduksi kepala, sedangkan
- Angkat lengan dan kelumpuhan kejang dapat
tangan menyebabkan
- Tempatkan gulungan penyimpangan kepala ke
tangan yang keras satu sisi.
ditelapak tangan 5. Selama paralisis lembek,
dengan jari dan ibu jari penggunaan sling dapat
berlawanan mengurangi risiko
- Letakkan lutut dan subluksasi bahu dan
pinggul dalam posisi sindrom bahu-tangan.
memanjang/lurus 6. Kontraktur fleksi terjadi
- Pertahankan kaki karena otot fleksor lebih
dalam posisi netral kuat daripanda ekstensor.
dengan trochanter roll - Mencegah adduksi
- Hentikan penggunaan bahu dan fleksi siku
footboard, jika perlu - Meningkatkan aliran
7. Amati bagian/sisi yang balik vena dan
mengalami kelemahan membantu mencegah
seperti warna, adanya pembentukan edema
edema, atau tanda-tanda - Kerucut yang keras
gangguan sirkulasi lainnya mengurangi
8. Periksa kulit secara rangsangan fleksi jari,
teratur, terutama pada menjaga jari tangan
bagian yang menonol. dan ibu jari dalam
Pijat dengan lembut area posisi fungsional.
yang memerah dan - Mempertahankan
berikan bantalan. posisi fungsional
- Mencegah rotasi

19
pinggul eksternal
- Penggunaan yang
berkelanjutan setelah
perubahan dari lumpuh
lembek menjadi kejang
dapat menyebabkan
tekanan berlebihan
pada bola kaki,
meningkatkan
kelenturan, dan
meningkatkan fleksi
plantar.
7. Jaringan edematosa lebih
mudah mengalami trauma
dan penyembuhan luka
yang lebih lambat
Terapi Latihan: Kontrol
Otot 1. Meminimalkan atrofi otot,
1. Mulailah ROM aktif atau meningkatkan sirkulasi,
pasif disemua dan membantu mencegah
ekstremitasnya. Dorong kontraktur. Mengurangi
latihan seperti latihan paha risiko hiperkalsiuria dan
depan, meremas bola karet, osteoporosisi jika masalah
ekstensi jari, tungkai, dan yang mendasarinya adalah
kaki. perdarahan.
2. Bantu klien untuk 2. Alat bantu dalam melatih
mengembangkan jalur saraf, meningkatkan
keseimbangan duduk propriosepsi dan respons
(seperti mengangkat kepala motorik
di tempat tidur, membantu 3. Membantu menstabilkan
untuk duduk di tepi tempat tekanan darah,
tidur, meminta klien memulihkan tonus

20
menggunakan lengan yang vasomotor, dan
kuat untuk menopang berat meningkatkan
badan dan kaki yang kuat pemeliharaan ekstremitas
untuk menggerakan kaki dalam posisi fungsional
yang terkena, meningkatkan dan pengosongan kandung
lama waktu duduk) dan kemih dan ginjal,
keseimbangan berdiri mengurangi risiko batu
(berjalan di tempat yang saluran kemih dan infeksi
rata, dukung punggung akibat stasis.
bawah klien, membantu 4. Mengurangi tekanan pada
menggunakan alat bantu tulang ekor dan mencegah
jalan). kerusakan kulit
3. Bangunkan klien di kursi 5. Meningkatkan harapan
segera setelah TTV stabil akan kemajuan dan
kecuali setelah perdarahan peningkatan, dan
otak. memberikan rasa kendali
4. Bantu klien memindahkan dan kemandirian
beban pada interval yang 6. Dapat membantu bagian
sering tubuh yang lemah untuk
5. Tetapkan tujuan dengan bisa bergerak normal
klien/orang penting secara satu kesatuan
lainnya/keluarga untuk
meningkatkan pasrtisipasi
dalam aktivitas, latihan, dan
perubahan posisi
6. Dorong klien untuk
membantu gerakan dan
latihan menggunakan
ekstremitas yang normal
untuk mendukung dan
menggerakan sisi yang
lebih lemah

21
Kolaborasi
Positioning
1. Sediakan kasue eeg-crate, 1. Mempromosikan
water bed , flotation pemerataan berat badan,
device, atau tempat tidur mengurangi tekanan pada
khusus seperti kinetik titik tulang dan membantu
sesuai indikasi mencegah kerusakan kulit
dan pembentukan ulkus.
Tempat tidur khusus
membantu posisi,
meningkatkan sirkulasi,
dan mengurangi stasis
vena untuk mengurangi
risiko cedera jaringan dan
komplikasi seperti
pneumonia ortostatik

Terapi Latihan
1. Memenuhi kebutuhan
1. Konsultasikan dengan ahli
tertentu dan menangani
terapi fisik mengenai
defisit keseimbangan,
latihan aktif resistif fan
koordinasi, dan kekuatanm
ambulasi klien
2. Dapat membantu
2. Bantu dengan stimulasi
memperkuat otot dan
listrik (TENS —
meningkatkan kontrol otot
Transcutaneous Electrical
serta pengendalian nyeri
Nerve Stimulator) sesuai
3. Meredakan spastisitas pada
indikasi
ekstremitas yang terkena
3. Berikan relaksan otot dan
antispasmodik sesuai
indikasi, seperti baclofen

22
(lioresal) dan dantrolene
(dantrium)

2.9.Asuhan Keperawatan Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif


Pasien dengan stroke memiliki risiko mengalami ketidakefektifan perfusi
serebral atau otak. Risiko perfusi serebral tidak efektif merupakan kondisi
dimana seseorang rentan terhadap penurunan sirkulasi jantung (koroner) yang
mungkin membahayakan kesehatan (Herdman & Kamitsuru, 2014). Perfusi
serebral tidak efetektif ini dapat disebabkan oleh beberap faktor risiko seperti
keabnormalan masa protrombin dan masa tromboplastin parsial, penurunan
kinerja ventikel kiri, aterosklrosis aorta, diseksi arteri, fibrilasi atrium, tumor
otak, penyalahgunaan obat, dan cedera otak (SNARS, 2019). Oleh karena itu,
dapat ditegakkan diagnosis keperawatan risiko perfusi serebral tidak efektif
untuk memaksimal perawatan pasien. Berikut tabel asuhan keperawat risiko
perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan stroke:

Data Pengkajian Diagnosis Kriteria Hasil Intervensi Rasional


Kasus Keperawatan (NOC) (NIC)
Data Obejktif: Risiko Status Neurologis Promosi perfusi otak
 TD 160/90 perfusi dengan Tindakan Indepen: 1. Mengindikasikan
 RR 16 x/menit serebral tidak mempertahankan 1. Menentukan pemberian intervensi,
 Nadi 88 efektif LOC, kognisi, dan faktor-faktor yang dilihat dari tanda gejal
x/menit berhubungan fungsi motorik dan berkaitan dengan kemunduran yang ada,

 S: 36,6 C dengan stroke sensorik yang biasa situasi individu, 2. Perubahan tanda-tanda

Data Subjektif: atau meningkat. 2. Memonitor tanda- vital tubuh dapat

 Kelemahan Tanda-tanda vital tanda vital tubuh menunujkkan kondisi

pada wajah, yang stabil dan 3. Mengkaji atau penyebab stroke

mulut, dan tidak adanya tanda- kekakuan nukal, yang dialami

badan sisi kanan tanda peningkatan kedutan, 3. Mengindikasi adanya


ICP. Tidak peningkatan iritasi meningeal

23
Hasil menampilkan kegelisahan, lekas
Pemerikasaan: kemunduran lebih marah, dan
 Pupil isokor lanjut atau timbulnya aktivitas
dan reaktif kekambuhan kejang.
terhadap cahaya defisit. Tindakan Kolaboratif:
 Pemeriksaan (Doenges, 1. Pemeberian 1. Mengurangi risiko
funduskopi Moorhosue, & oksigen jika hipoksia
menunjukkan Murr, 2014) dibutuhkan 2. Pemberian medikasi
papilledema. 2. Pemberian tersebut merupakan
 Terapi heparin medikasi seperti salah satu terapi awal
tissue plasminogen pada stroke iskemia
activator (tPA), akut, mengurangi
alteplase penyebaran area stroke
(Activase), and
recombinant
prourokinase
(Prourokinase)
Edukasi kesehatan Edukasi proses
(Moorhead, penyakit (Bulecheck,
Johnson, Maas, & Butcher, Dochterman, 1. Membantu dalam
Swanson, 2013) & Wagner, 2013). menetapkan ekspektasi
Tindakan indepen: yang realistis dan
1. Mendiskusikan mendorong
patologi spesifik pemahaman tentang
dan potensi situasi dan kebutuhan
individu. saat ini.
2. Identifikasi tanda 2. Evaluasi dan intervensi
dan gejala yang yang cepat mengurangi
membutuhkan risiko komplikasi dan
tindak lanjut lebih hilangnya fungsi lebih
lanjut, lanjut.

24
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pasien dengan stroke dapat menghadapi
risiko mengalami ketidakefektifan perfusi serebral atau otak. Penegakkan
diagnosis keperawatan risiko mengalami ketidakefektifan perfusi serebral atau
otak berhubungan stroke dapat dilakukan. Diagnosis ini dapat direncanakan
dengan outcome status neurologid dan edukasi kesehatan yang dapat dilakukan
intervensi yang sesuai dan mempertimbangkan rasional.

25
BAB III

PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Stroke atau Cerebrovascular Accident (CVA) merupakan salah satu
penyakit pada pembuluh darah otak. Stroke disebabkan oleh iskemia (kekurangan
oksigen) akibat trombus, embolus, vasospasme berat, atau perdarahan otak
(American Stroke Association,n.d.). Secara umum faktor risiko stroke dapat dibagi
atas tiga kelompok, yaitu faktor risiko yang dapat diubah/dimodifikasi dengan
melakukan perubahan gaya hidup (seperti obesitas, merokok, konsumsi alkohol,
sedentary lifestyle), faktor risiko yang dapat diubah dengan manajemen medis,
seperti hipertensi dan diabetes mellitus (dengan pengobatan yang teratur), serta
faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti riwayat keluarga, ras/etnis
(Ignatavicius,Workman,Rebar&Heimgartner,2018)

Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi (penyumbatan) arteri serebral atau


karotis baik oleh trombus atau embolus. Sedangkan, stroke emboli disebabkan
oleh trombus yang terlepas dari satu area tubuh dan berjalan ke arteri serebral
melalui arteri karotis atau sistem vertebrobasilar. Diagnosis Keperawatan yang
dapat diambil adalah Hambatan mobilitas fisik, serta risiko perfusi serebral tidak
efektif. Disini peran tenaga kesehatan terutama perawat sangat dibutuhkan guna
memenuhi kebutuhan dasar klien dan dapat menegakkan diagnosis keperawatan
serta melakukan asuhan keperawatan secara tepat dan efisien.

3.2.Saran

Sangat penting bagi setiap perawat untuk memiliki pemahaman dasar yang
kuat terkait penyakit stroke. Pemahaman dasar yang kuat terkait hal tersebut
tentunya membuat setiap perawat menjadi lebih peduli terhadap kesehatan tubuh.
Maka dari itu, penting bagi perawat untuk mempelajari materi terkait penyakit
stroke ini dengan baik dan cermat demi terwujudnya pelaksanaan proses belajar

26
secara lancar, sehingga nantinya pelayanan kesehatan dapat menjadi lebih
meningkat berkat adanya tenaga kesehatan yang berkualitas.

Penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Diabetes and


Digestive and Kidney Diseases (NIDDK) menyebutkan bahwa orang dengan
diabetes, terutama orang dewasa yang lebih tua dengan DM tipe 2, berisiko 2
sampai 6 kali lebih besar untuk terkena stroke. Selain itu sekitar 75% penderita
diabetes meninggal karena penyakit kardiovaskular atau stroke. Permasalahan
terkait Stroke atau Cerebrovascular Accident (CVA) adalah penyebab angka
kematian yang cukup tinggi di rumah sakit, maka dari itu peran tenaga kesehatan
sangat dibutuhkan dalam membantu pengurangan angka kejadian tersebut melalui
peningkatan kesehatan. Hal ini dapat dilakukan jika berbagai tenaga kesehatan
memiliki pengetahuan yang cukup terkait keadaan klien meliputi definisi, etiologi,
patofisioloig, tanda gejala, data pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang, serta
penatalaksanaan keperawatan yang dibutuhkan

27
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. (2019). Guidelines for early management of patients


with acute ischemic stroke. Retrieved from: from http://ahajournals.org by

American Stroke Association. (n.d.). About Stroke. Diakses dari


https://www.stroke.org/en/about-stroke

American Stroke Association. (n.d.). Types of Stroke. Diakses dari


https://www.stroke.org/en/about-stroke/types-of-stroke

Billah, dr. Muktasim. (n.d). STROKE : Aspekbiomolekular, patogenesis, dan manajemen.


Retrivied from https://pspk.fkunissula.ac.id/sites/default/files/Stroke.pdf

Black, J. C & Jane, H. H. (2009). Medical Surgical Nursing:Clinical Management


for Positive Outcomes 8th Edition. ( Joko Mulyanto dkk, Penerjemah).
Jakarta: Salemba Medika.

Black, JM., Matassin E. (2010). Medical Surgical Nursing, Clinical Management


for Continuity of Care. JB. Lipincott.co.

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Medical Surgical Nursing: Clinical


Management for Positive Outcomes 8th edition 2rd book.
Brunner & Suddarth, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
volume 2. Jakarta EGC.

Bulechek, M.G., Butchenr, K.H., Dochterman, M.J., & Wagner, Cheryl. (2013).
Nursing Interventions Classification. 6th ed. St.Louis, Missouri: Elsevier.

Doenges, Marylinn E. (2012). Nursing care plan: guidelines for Planning and
documenting patient.

Doenges, M., Moorhouse, M., & Murr, A. (2014). Nursing Care Plans: Guidelines
for individualizing Client Care Across the Life Span. Journal of Chemical
Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Herdman, Heather T., & Kamitsuru, Shigemi. (2014). Nursing Diagnoses:
Definiton & Classifications 2015-2017. 10th ed. Oxford: Willey
Blackwell.

Ignatavicius, D. D., Linda, W., Charie, C. R & Nicole, M. H. (2018). Medical


Surgical Nursing: Concepts for Interprofessional Collaborative Care 9th
Edition. Canada: Elsevier.

28
Ignatavicious, D. D., Workman, M. L., Rebar, C., & Heimgartner, N. M. (2018).
Medical-Surgical Nursing: Concepts for Interprofessional Collaborative
Care. 1808.

Ignatavicius, Workman, & Rebar. (2017). Medical Surgical Nursing: Concepts


For Interprofessional Collaborative Care (9 th ed.). St. Louis : Elsevier,
Inc.

Jauch EC, Saver JL, Adams HP, et al. (2013). Guidelines for the early
management of patients with acute ischemic stroke: a guideline for
healthcare professionals from the American Heart Association/American
Stroke Association, Stroke 44:870
Junaidi, Iskandar. (2011). Stroke Waspadai Ancamannya. Yogyakarta: ANDI.

Kessler C, Thomas K, Kao J. (2012). Antiplatelet therapy for secondary


prevention of acute coronary syndrome, transient ischemic attack, and
noncardioembolic stroke in an era of cost containment, J invest med
Lewis, S., Dirksen, S., Heitkemper, M., Bucher, L., & Harding, M. (2014).
Medical-Surgical Nursing: Assessment and Management of Clinical
Problems (9 ed.). Missouri: Elsevier Mosby.
Mazzucco S, Turri G, Mirandola R, et al. (2013). What is still missing in acute-
phase treatment of stroke: a prospective observational study, Neurol Sci
34(4):449

Miller J, Hartwell C, Lewandowski C. (2012). Stroke treatment using intravenous


and intra-arterial tissue plasminogen activator, Curr Treat Options
Cardiovasc Med 14(3):273
Moorhead, Sue., Johnson, Marion., Maas, L.M., & Swanson, Elizabeth. (2013).
Nursing Outcomes Classification. 5th ed. St.Louis, Missouri: Elsevier
Powers, W.J., Rabinstein, A.A., Ackerson, T., Adeoye, O.M., Bambakidis, N.C.,
Becker, K., et. al. (2018). 2018 Guidelines for the early management of
patients with acute ischemic stroke: A guideline for healthcare professionals
from the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke,
49(2). doi:10.1161/STR.0000000000000158.

SNARS. (2019). SDKI-Standart Diagnosis Keperawatan indonesia (D.0023


Hipovelmia). 27 September. https://snars.web.id/sdki/d-0023-hipovelmia/

29
Smeltzer, S. C., Hinkle, J. L., Bare, B. G., & Cheever, K. H. (2010). Brunner &
18 Suddarth’s Textbook of Medical -Surgical Nursing (12th Ed).
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

White, L., Gena, D & Wendy, B. (2011). Foundations of Adult Health Nursing
3th Edition. USA: Delmar.

White, L., Duncan, G., & Baumle, W. (2013). Medical Surgical Nursing: An
integrated approach 3rd Edition. Delmar: New York.

World Stroke Organization. (2019). Global Stroke Corner. Diakses dari


https://www.world-stroke.org/news-and-blog/news/global-stroke-corner-
june

30

Anda mungkin juga menyukai