Anda di halaman 1dari 109

LAPORAN AKHIR PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI

APOTEK KIMIA FARMA 36 JALAN IJEN NO 88 MALANG


31 AGUSTUS – 26 SEPTEMBER 2020

Oleh :
DINATUR PRATIWI, S.Farm
40119006

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI
WIYATA KEDIRI
2020

i
LAPORAN AKHIR PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DI APOTEK KIMIA FARMA 36 JALAN IJEN NO 88 MALANG
SEPTEMBER 2020

Oleh :
DINATUR PRATIWI, S.Farm
40119006

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI
WIYATA KEDIRI
2020

i
LEMBAR
PENGESAHAN

LAPORAN AKHIR PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DI APOTEK KIMIA FARMA 36 JALAN IJEN NO 88 MALANG
SEPTEMBER 2020

Disetujui Oleh :

Preseptor Dosen pembimbing

(apt. Maria Nike A. Soares, S. farm) (apt. Briandini Dwi Astuti, S. Farm)
SIPA 442. APT/257.1/35.73.302/2019 NIP. 2014.0632

Mengetahui,
Ketua Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi IIK Bhakti Wiyata Kediri

(apt. Yogi Bhakti Marhenta, M.Farm)


NIP. 20150730

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
nikmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir pada
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Apotek Kimia Farma 36 Jalan Ijen No
88 Malang yang diselenggarakan pada bulan September 2020.
Kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) dan penyusunan laporan
PKPA merupakan bagian dari kegiatan perkuliahan program pendidikan profesi
apoteker dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan, dan
keterampilan mahasiswa. Mahasiswa yang telah mengikuti kegiatan PKPA
diharapkan dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
saat memasuki dunia kerja.
Kegiatan PKPA dapat terlaksana dengan baik berkat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Muhamad Zainuddin, Apt selaku rektor Institut Ilmu Kesehatan
Bhakti Wiyata Kediri.
2. Apt. Dewi Resty Basuki selaku Dekan Fakultas Farmasi Institut Ilmu
Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri.
3. Apt. Yogi Bhakti Marhenta, M.Farm selaku Ketua Program Studi Profesi
Apoteker Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri.
4. Apt.Briandini Dwi Astuti selaku dosen pembimbing
5. Apt. Maria Nike A Soares, S.Farm selaku Apoteker Penanggung Jawab Apotek
Kimia Farma 36 dan preceptor yang telah meluangkan waktu dan ilmunya
untuk membimbing, mengoreksi sehingga laporan ini terselesaikan.
6. Apt. Arina Rahayu, S. Farm sebagai Apoteker pendamping di Apotek Kimia
Farma 36 Ijen dan preceptor yang telah meluangkan waktu dan ilmunya untuk
membimbing, mengoreksi dengan sabar sehingga laporan ini terselesaikan.

iii
7. Seluruh dosen Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi yang telah
banyak memberikan bekal ilmu, berbagi pengalaman, dan pengetahuan kepada
penulis selama masa studi di Faklutas Farmasi.
8. Seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan, doa, dan semangat kepada
penulis.
9. Seluruh teman – teman Apoteker angkatan I atas semangat, dukungan, dan
kerjasamanya selama ini.
Penulis meyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat
banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun.
Akhir kata, penulis berharap semoga pengetahuan dan pengalaman yang
penulis peroleh selama menjalani Praktek Kerja Profesi Apoteker di Kimia Farma
36 Ijen ini dapat memberikan manfaat bagi rekan – rekan sejawat dan semua
pihak yang membutuhkan.

Penulis,

September 2020

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ii

KATA PENGANTAR....................................................................................iii

DAFTAR ISI...................................................................................................v

DAFTAR GAMBAR......................................................................................vii

DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang PKPA..........................................................................1


B. Tujuan PKPA.......................................................................................3
C. Manfaat PKPA.....................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Apotek....................................................................................5
B. Tugas dan Fungsi Apotek.........................................................................5
C. Ketentuan Umum dan Peraturan Perundang-undangan............................6
D. Tugas dan Tanggung Jawab Apoteker......................................................7
BAB III TINJAUAN UMUM TEMPAT PKPA
A. Sejarah Kimia Farma...............................................................................10
B. Visi dan Misi Kimia Farma.....................................................................12
C. Lokasi,Sarana dan Prasarana...................................................................13
D. Struktur Organisasi Tempat PKPA..........................................................14
BAB IV KEGIATAN PKPA DAN PEMBAHASAN

A. Kegiatan yang dilakukan.........................................................................16


B. Tugas yang dikerjakan selama PKPA.....................................................25
C. Pembahasan.............................................................................................31
BAB V TELAAH KASUS

A. Kasus yang didapat.............................................................................49


B. Data Dan Pembahasan Kasus..............................................................68

v
C. Kesimpulan Kasus..............................................................................79
BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan.........................................................................................81
B. Saran...................................................................................................82
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................82

LAMPIRAN..................................................................................................86

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Lokasi Apotek Kimia Farma 36 ........................................ 13


Gambar 2. Struktur Organisasi..................................................................... 15
Gambar 3. Kasus Resep............................................................................... 68
Gambar 4. Kasus Resep .............................................................................. 71
Gambar 5. Kasus Resep .............................................................................. 74
Gambar 6. Kasus Resep............................................................................... 76
Gambar 7. Kasus Resep .............................................................................. 78

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Pesanan Narkotik............................................................ 87


Lampiran 2 Surat Pesanan Psikotropik........................................................ 88
Lampiran 3 Surat Pesanan Prekursor .......................................................... 89
Lampiran 4 Surat Pesanan Obat-Obat Tertentu........................................... 90
Lampiran 5 Nota Penyerahan....................................................................... 91
Lampiran 6 Surat Pemesanan Obat Bebas .................................................. 92
Lampiran 7 Formulir Swamedikasi ............................................................. 93
Lampiran 8 Kartu Stok Manual................................................................... 94
Lampiran 9 Kwitansi ................................................................................... 92
Lampiran 10 Copy Resep ............................................................................ 93
Lampiran 11 Etiket....................................................................................... 94

viii
1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pekerjaan kefarmasian yaitu meliputi pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan
dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan(UU
kesehatan 36,2009).
Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi
dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien(PP 51,2009).
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh Apoteker. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur
yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian adalah
suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien(PMK 73, 2016).
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari
pelayanan obat (drug oriented) menjadi pelayanan pada pasien (patient
oriented) yang mengacu kepada Pharmaceutical Care (PC). Kegiatan
pelayanan kefarmasian yang semula terfokus pada pengelolaan obat sebagai
komoditi menjadi sebuah bentuk pelayanan yang komprehensif dengan tujuan

1
meningkatkan kualitas hidup pasien. Dengan adanya perubahan tersebut,
apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan
kemampuan berkomunikasi dengan pasien agar dapat memberikan pelayanan
yang baik. Adanya interaksi antara apoteker dengan pasien ini diharapkan
mampu mendukung tercapainya tujuan terapi(PMK 73, 2016).
Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya
kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan dan
mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait Obat (drug
related problems), masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial
(sociopharmacoeconomy). Untuk menghindari hal tersebut, Apoteker harus
menjalankan praktik sesuai standar pelayanan. Apoteker juga harus
mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam
menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan Obat yang rasional.
Dalam melakukan praktik tersebut, apoteker juga dituntut untuk
melakukan monitoring penggunaan obat, melakukan evaluasi serta
mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Untuk melaksanakan
semua kegiatan itu, diperlukan Standar Pelayanan Kefarmasian Apoteker
sebagai penanggung jawab sebuah apotek memiliki peranan yang besar dalam
menjalankan fungsi apotek berdasarkan nilai bisnis maupun fungsi sosial,
terutama perannya dalam menunjang upaya kesehatan dan sebagai penyalur
perbekalan farmasi kepada masyarakat. Apoteker dituntut untuk dapat
menyelaraskan kedua fungsi tersebut. Kondisi masyarakat yang semakin kritis
terhadap kesehatan mereka dan kemudahan mengakses informasi menjadi
tantangan tersendiri bagi apoteker di masa depan. Kunjungan masyarakat ke
apotek kini tak sekedar membeli obat, namun untuk mendapatkan informasi
legkap tentang obat yang diterimanya(PMK 73,2016).
Kesiapan institusi pendidikan dalam menyediakan sumber daya
manusia yang berkualitas dan mempunyai kompetensi menjadi faktor penting
dalam melahirkan apoteker masa depan yang profesional dan berwawasan

2
serta keterampilan yang cukup. Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di
Apotek Kimia Farma BM Malang merupakan perwujudan nyata dari Program
Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata
Kediri yang bekerjasama dengan PT. Kimia Farma Apotek BM Malang untuk
mempersiapkan apoteker masa depan yang kompeten di bidangnya.
B. Tujuan PKPA

1. Mahasiswa dapat melakukan praktek kefarmasian di Apotek secara


profesional, legal dan etik.
2. Mahasiswa dapat melakukan Pharmaceutical care dengan
mempertimbangkan aspek profesional, legal dan etik.
3. Mahasiswa dapat melakukan pelayanan kefarmasian baik resep maupun
non-resep.
4. Mahasiswa dapat melakukan Dispensing and Compouding sediaan farmasi
dan alat kesehatan.
5. Mahasiswa dapat melakukan komunikasi dan bekerjasama dengan pasien
dan tenaga kesehatan lainnya.
6. Mahasiswa dapat melakukan pengolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
di apotek.
7. Mahasiswa dapat melakukan manajemen dan akuntansi apotek.
8. Mahasiswa dapat melakukan dokumentasi/ pelaporan kegiatan
kefarmasian di apotek.
9. Memberi kesempatan kepada calon apoteker untuk melihat dan
mempelajari strategi dan kegiatan – kegiatan yang dapat dilakukan dalam
rangka pengembangan praktek farmasi komunitas di apotek.
10. Mempersiapkan calon apoteker dalam memasuki dunia kerja sebagai
tenaga farmasi yang profesional.
11. Memberi gambaran nyata tentang permasalahan pekerjaan kefarmasian di
apotek.

3
C. Manfaat PKPA

1. Mampu memahami peran, fungsi, posisi dan tanggung jawab apoteker


dalam praktek kefarmasian di apotek secara profesional, legal dan etik.
2. Mampu memahami wawasan, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman
praktis untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek.
3. Mampu memahami pelaksanaan manajemen dan kepemimpinan yang
efektif dan efisien dalam pengelolaan sarana pekerjaan kefarmasian dan
pelayanan kefarmasian (resep & non-resep) yang bermutu di apotek.
4. Mampu memahami pelaksanaan Dispensing and Compouding Sediaan
farmasi dan alat kesehatan.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan
praktik kefarmasian oleh Apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang
telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan
apoteker. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang
dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian adalah
suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang
pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien(PMK 73,2016).
Pekerjaan Kefarmasian menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 51 tahun 2009 adalah pembuatan termasuk pengendalian
mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan
pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat,
bahan obat dan obat tradisional. Sediaan farmasi yang dimaksud adalah
obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. Dalam pengelolaannya,
apotek harus dikelola oleh Apoteker, yang telah mengucapkan sumpah
jabatan dan telah memperoleh Surat Izin Apotek (SIA) dari Dinas
Kesehatan setempat.
B. Tugas dan Fungsi
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25
Tahun 1980 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Peraturan Pemerintah

5
RI Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek, tugas dan fungsi apotek
adalah:
a. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan.
b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.
c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus mendistribusikan obat
yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.
d. Sebagai sarana informasi obat kepada masyarakat dan tenaga
kesehatan lainnya.
C. Ketentuan Umum dan Peraturan Perundang – Undangan
1. Permenkes No 9 Tahun 2017 tentang Apotek
2. Kepmenkes RI Nomor 1332 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas
Permenkes RI Nomor 922 Tahun 1993 tentang izin apotek permohonan
surat izin apotek (SIA) ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota
3. Permenkes Nomor 73 Tahun 2016 tentang standart pelayanan kefarmasian
di Apotek
4. Peraturan Pemerintah (PP) No 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan
kefarmasian.
5. Perka BPOM Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengelolaan Obat-
Obat Tertentu yang Sering Disalah gunakan.
6. Permenkes RI Nomor 889 Tahun 2011 Tentang Registrasi, Izin Praktek
dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.
7. Permenkes RI Nomor 31 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Permenkes
Nomor 889 Tahun 2011 Tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja
Tenaga Kefarmasian.
8. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 917/Menkes/Per/X /1993 Terkait
Kebijakan Golongan Obat.

6
D. Tugas dan Tanggung Jawab Apoteker
Tugas dan fungsi sebagai apoteker yang digariskan oleh WHO
yang semula dikenal dengan “Seven Stars of Pharmacist” selanjutnya
ditambahkan dua point fungsi yaitu research dan enterprenuer menjadi
“nine stars of Pharmacist” meliputi :
1. Care giver (Pemberi pelayanan)
Seorang apoteker merupakan profesional kesehatan yang peduli, dalam
wujud nyata memberi pelayanan kefarmasian kepada pasien dan
masyarakat luas( (PP 51 Tahun 2009)
2. Decision maker (Pembuat keputusan)
Seorang Apoteker merupakan seorang yang mampu menetapkan/
menentukan keputusan terkait pekerjaan kefarmasian
3. Communicator (Komunikator)
Seorang Apoteker harus mampu menjadi komunikator yang baik,
sehingga pelayanan kefarmasian dan interaksi kepada pasien,
masyarakat, dan tenaga kesehatan berjalan dengan baik.
4. Manager (Manajer)
Seorang Apoteker merupakan seorang manajer dalam aspek
kefarmasian non klinis, kemampuan ini harus ditunjang kemampuan
manajemen yang baik, contoh sebagai Farmasis manajer (APA) di
apotek , Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit
5. Life – long learner (Pembelajar seumur hidup)
Seorang Apoteker harus memiliki semangat belajar sepanjang waktu.
Apoteker harus belajar bagaimana menjaga ilmu pengetahuan dan
keterampilan mereka tetap up to date.
6. Teacher (Guru)
Seorang Apoteker dituntut dapat menjadi seorang pendidik atau
akademisi dan educator. Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk

7
membantu pendidikan dan pelatihan generasi berikutnya dan
masyarakat.
7. Leader (Pemimpin)
Seorang Apoteker harus mampu menjadi seorang pemimpin,
mempunyai visi dan misi yang jelas, dan dapat mengambil kebijakan
yg tepat untuk memajukan institusi/ perusahaan/ lembaga yang
dipimpin
8. Research (Peneliti)
Seorang farmasi/apoteker merupakan seorang peneliti terutama dalam
penemuan dan pengembangan obat-obatan yang lebih baik.
9. Entrepreneur (kewirausahaan)
Seorang farmasi/apoteker diharapkan terjun menjadi wirausaha dalam
mengembangkan kemandirian serta membantu mensejahterakan
masyarakat.
Apoteker Pengelola Apotek (APA) mempunyai wewenang dan
tanggung jawab diantaranya :
a. Menentukan arah terhadap seluruh kegiatan.
b. Menentukan sistem atau peraturan yang akan digunakan.
c. Mengawasi pelaksanaan SPO dan program kerja.
d. Bertanggung jawab terhadap kinerja yang diperoleh.
Apoteker Pengelola Apotek (APA) mempunyai serta menjalankan
fungsi dan tugas diantaranya :
a. Membuat visi dan misi.
b. Membuat strategi, tujuan, sasaran, dan program kerja.
c. Membuat dan menetapkan peraturan atau Standar Prosedur
Operasional (SPO) pada setiap fungsi kegiatan di apotek.
d. Membuat sistem pengawasan dan pengendalian SPO serta program
kerja pada setiap fungsi kegiatan diapotek.

8
e. Merencanakan, melaksanakan, mengendalikan, dan menganalisis
hasil kinerja operasional dan kinerja keuangan apotek (Hartono,
1998).

9
BAB III

TINJAUAN UMUM

A. Sejarah
Sejarah panjang PT Kimia Farma (Persero) Tbk dimulai pada awal
abad 19 ketika perusahaan farmasi dan pabrik mulai berdiri di Indonesia tentu
saja dibawah pengawasan dan penguasaan penjajah Belanda. Beberapa pabrik
itu antara lain N.V. Chimicaliennhandel Rathkamp & Co, N.V.
Pharmaciutiche handelsvereeniging J.Van Gorkom & Co, dan
N.V.Bandungsche Kinine Fabriek. Kesemua pabrik itu merupakan perusahaan
farmasi dan pabrik yang saat itu berperan menyediakan obat-obat modern bagi
masyarakat pada zamannya dan kelak akan menjadi cikal bakal industri
farmasi di Indonesia di kemudian hari.
Seiring pergantian tahun dan perubahan zaman, pemerintah Indonesia
setelah merdeka pada tahun 1945 mengeluarkan kebijakan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan farmasi Belanda pada tahun 1960. Pada saat itu 10
perusahaan farmasi milik Belanda kemudian menjadi milik pemerintah
Republik Indonesia, yaitu, N.V.Chimicaliennhandel Rathkamp & Co, Jl
Mojopahit 18 di Jakarta termasuk seluruh cabangnya di Indonesia,
N.V.Pharmaciutiche 40 Handelsvereeniging J.Van Gorkom & Co, Jl. Budi
Utomo I di Jakarta termasuk cabang-cabangnya di Indonesia, N.V.Bataviache
Volks & Stads Apotheek, Jl. Segara 9 di Jakarta berikut cabang-cabangya di
Indonesia, NV.”Indonesiche Combinatie Voor Chemische Industrie” di
Bandung, N.V.Bandungsche Kinine Fabriek di Bandung,
N.V.Jodiummonderneming ”Watudakon” di Mojokerto, N.V.Multipharma, Jl.
Menteng Raya 23 di Jakarta, N.V.Verbandstoffenfabriek Surabaya Jl. Kalimas

10
Barat 17-19 di Surabaya, Drogistery ”Bellem” di Surabaya, C.V.Apotik
”Malang” di Malang.
Tidak berhenti sampai disitu, pada tahun 1961 pemerintah kembali
mengambil langkah peleburan semua perusahaan farmasi itu menjadi 5 (lima)
perusahaan farmasi nasional, yaitu, PNF (Perusahaan Nasional Farmasi)
Bhineka Kina Farma, PNF Raja Farma, PNF Nurani Farma, PNF Nakula
Farma dan PN Sari Husada. Keberlangsungan lima perusahaan itu diatur dan
diawasi oleh satu lembaga bernama Badan Pimpinan Umum (BPU) Farmasi
Negara.
Kemudian melalui Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1969, BPU
Farmasi Negara dan empat perusahaan farmasi dibawah pengawasannya, PNF
Raja Farma, PNF Nakula Farma, PN Sari Husada dan Kina Farma dilebur
menjadi satu atau merger menjadi PNF Bhineka Kimia Farma.Pada tahun
1971 dengan Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1971 badan hukum PNF
Bhineka Kimia Farma diubah menjadi PT. Kimia Farma (Persero) dan telah
diakte notariskan pada tanggal 16 Agustus 1971, sejak itu sampai sekarang
setiap tanggal 16 Agustus diperingati sebagai ulang tahun PT. Kimia Farma.
Seiring perjalanan waktu dan tuntutan industri modern PT. Kimia Farma
terhitung sejak tahun 2001 telah mencatatkan diri sebagai perusahaan terbuka
dengan listing di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya dengan kode
perdagangan KAEF. Sejak itu namanya berubah menjadi PT. Kimia Farma
(Persero) Tbk.
PT. Kimia Farma (Persero) pada saat itu bergerak dalam bidang usaha:
a. Industri farmasi
b. Industri kimia dan makanan kesehatan
c. Perkebunan obat
d. Pertambangan farmasi dan kimia
e. Perdagangan farmasi, kimia dan ekspor-impor. (Tim PKPA PT. Kimia
Farma Apotek, 2012)

11
Pada tanggal 4 Juli 2001, PT Kimia Farma (Persero) kembali
mengubah statusnya menjadi perusahaan publik yaitu PT. Kimia Farma
(Persero) Tbk. Bersamaan dengan perubahan tersebut, PT. Kimia Farma telah
dicatatkan pada Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (sekarang kedua
bursa telah merger dan kini bernama Bursa Efek Indonesia) (Kimia Farma,
2012). Selanjutnya paada tanggal 4 Januari 2002 dibentuk dua anak
perusahaan yaitu PT. Kimia Farma Apotek dan PT. Kimia Farma Trading and
Distribution (Tim PKPA PT. Kimia Farma Apotek, 2012). Berbekal
pengalaman selama puluhan tahun, PT. Kimia Farma telah berkembang
menjadi perusahaan dengan pelayanan kesehatan terintegrasi di Indonesia. PT.
Kimia Farma kian diperhitungkan kiprahnya dalam pengembangan dan
pembangunan bangsa, khususnya pembangunan kesehatan masyarakat
Indonesia(Kimia Farma, 2012).

B. Visi dan Misi


1. Visi

Menjadi korporasi bidang kesehatan terintegrasi dan mampu


menghasilkan pertumbuhan nilai yang berkesinambungan melalui
konfigurasi dan koordinasi bisnis yang sinergis.
2. Misi

Menghasilkan pertumbuhan nilai korporasi melalui usaha di bidang-

bidang:

a. Industri kimia dan farmasi dengan basis penelitian dan


pengembangan produk yang inovatif.
b. Perdagangan dan jaringan distribusi.
c. Pelayanan kesehatan yang berbasis jaringan retail farmasi dan
jaringan pelayanan kesehatan lainnya.

12
d. Pengelolaan aset-aset yang dikaitkan dengan pengembangan usaha
perusahaan.
C. Lokasi, Sarana, dan Prasarana
1. Lokasi
Apotek Kimia Farma 36 terletak di Jl. Ijen, No 88 Oro – Oro
Dowo, Kec. Klojen, Kota Malang, Jawa Timur. Peta lokasi Apotek Kimia
Farma 36 dapat dilihat pada Gambar III.1.

Gambar.1 Peta Lokasi Apotek Kimia Farma 36


2. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasanaran di Apotek Kimia Farma 36 meliputi :
 Pelayanan pasien 24 jam
 Ruang tunggu bagi pasien yang dilengkapi dengan pendingin udara,
kursi, TV, Koran,dan keranjang sampah.
 CCTV 24 jam
 Swalayan obat-obatan
 Swalayan alat kesehatan (kursi roda, tongkat, tripot (tongkat yang bisa
digunakan untuk duduk), tongkat walker)

13
 Ruang praktek dokter
 Pemesanan dan pengecekan kacamata
 Toilet dan mushola
 Terdapat 3 ruang penerimaan resep ( 2 untuk resep umum dan 1 untuk
resep BPJS)
 Terdapat ruang penyerahan resep tersendiri (memudahkan untuk
Pharmaceutical care)
 Lemari Psikotik dan Narkotik sesuai standart
 Lemari es (untuk menyimpan obat dengan suhu tertentu)
 3 telepon dan 1 hand phone (untuk komunikasi)
 Memiliki 5 SP (surat pemesanan) (SP narkotik,Psikotropik, Prekursor,
Obat-Obat Tertentu/ OOT. Obat bebas)
 Memiliki kwitansi, copi resep. Kartu stok,blanko faktur, blangko nota
penjualan, blangko pelayanan swamedikasi.
 Memiliki jasa antar obat.

D. Struktur Organisasi
Struktur organisasi merupakan suatu jaringan hubungan yang
menggambarkan fungsi dalam suatu organisasi. Adanya organisasi dapat
menciptakan hubungan yang jelas antara posisi dan memastikan kerja sama
timbal baik antara masing – masing individu. Struktur organisasi apotek kimia
farma 36 dapat dilihat pada gambar III. 2

14
Gambar.2 Struktur Organisasi Apotek Kimia Farma 36

15
BAB IV

KEGIATAN PKPA DAN PEMBAHASAN

A. Kegiatan Yang Dilakukan

Kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker dilaksanakan selama 3


minggu, dari tanggal 31 Agustus sampai 26 September 2020. Kegiatan yang
dilaksanakan di apotek Kimia Farma 36 Ijen adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Kegiatan yang dilaksanakan

No Kegiatan Mata Pembelajaran


.
1. Mempelajari struktur organisasi di  Standar Pelayanan Minimal
apotek Apotek
 Mempelajari struktur organisasi
di Apotek
 Mempelajari tugas pokok dan
fungsi masing – masing struktur
di Apotek
 Mempelajari tugas pokok dan
fungsi apoteker dalam
pelayanan kefarmasian di
Apotek
2. Mempelajari dokumen – dokumen  Mempelajari struktur tentang
Apotek STRA, SIPA, SIA dan
kelengkapan lainnya.
 Mempelajari tentang
pembukuan apotek, kartu stok,
surat pesanan (Narkotika,

16
Psikotropika, Prekursor dan obat
– obat lainnya), resep, copy
resep, etiket, laporan
psikotropika – narkotika, faktur,
faktur pajak, dan lain - lain
3. Mempelajari jenis obat dan alkes  Mempelajari penataan dan
di apotek penyiapan obat
 Mempelajari jenis – jenis obat
bebas, obat bebas terbatas, obat
keras, OWA (Obat Wajib
Apotek), obat prekursor, obat
psikotropika, dan narkotika.
 Obat Lasa/ High Alert
4. Mempelajari alur pengadaan obat,  Mempelajari rencana pengadaan
perencanaan, seleksi, dan alur obat
pengadaan, serta penerimaan dan  Mempelajari seleksi obat yang
penyimpanan obat, pengendalian, akan dipesan
penarikan obat  Mempelajari pengendalian obat
 Mempelajari cara penerimaan
dan penyimpanan obat
 Mempelajari prosedur penarikan
obat
 Mempelajari prosedur
pemusnahan obat
5. Mempelajari alur pelayanan obat  Melayani pembelian obat bebas
tanpa resep di Apotek untuk beserta KIE-nya
swamedikasi  Melayani pembelian obat bebas
terbatas beserta KIE-nya

17
 Melayani pembelian OWA
beserta KIE-nya
6. Mempelajari alur pelayanan resep  Menganalisa resep (skrining
dokter serta memberikan KIE administratif, farmasetik, dan
klinis) membaca resep,
menghitung resep
 Mengerjakan resep (peracikan
dan penyiapan resep)
 Memberikan etiket
 Memberikan KIE pada pasien
7. Menganalisis resep terkait interaksi  Mempelajari (Drug Related
obat (DRP) Problem) interaksi obat dengan
obat, obat dengan makanan
 Pembelajaran kasus atau
bimbingan praktek kerja profesi
apoteker di apotek
9. Practice Business Plan  Belajar membuat Business plan
 Menganalisis SWOT (Faktor
internal : Strenght, Weakness,
Faktor Eksternal : Opportunity,
Threat) di tempat yang akan
didirikan Apotek
 Perhitungan dana untuk
pendirian Apotek
 Mempelajari BEP (Break Event
Point)
 Persiapan menyusun keperluan
yang dibutuhkan untuk

18
melangsungkan praktek
apoteker di Apotek
 Mempelajari jenis-jenis
perpajakan di apotek.

1. Pelayanan Resep
a. Resep

Resep menurut Kepmenkes RI No 1197/MenKes/SK/X/2004 adalah


permintaan tertulis dari Dokter, Dokter gigi, Dokter hewan, kepada Apoteker
untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan
perundang–undangan yang berlaku. Resep disebut juga Formulae medicae, terdiri
dari formulae officinalis (resep tercantum dalam buku farmakope atau buku
lainnya dan merupakan formula standar), formulae magistralis (resep yang ditulis
oleh Dokter). Suatu resep yang lengkap harus memuat :

1) Nama, alamat dan nomor izin praktek Dokter, Dokter gigi atau Dokter hewan.
2) Tanggal penulisan resep, nama setiap obat atau komposisi obat, potensi, dosis
dan jumlah yang diminta.
3) Bagian kiri setiap penulisan resep.
4) Tanda tangan atau paraf Dokter penulis resep sesuai dengan peraturan
perundang – undangan yang berlaku.
5) Nama, alamat, umur, jenis kelmin dan berat badan pasien.
6) Jenis hewan, umur, serta alamat / pemilik hewan.
7) Tanda tangan / paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang
jumlahnya mmelebihi dosis maksimal.
8) Narkotika harus ada nama dan alamat jelas pasien serta umur pasien.
9) Cara pemakaian yang jelas.
10) Informasi lainnya yang diperlukan.

b. Salinan Resep (Copy Resep)

Menurut Kepmenkes No.280 th 1981 Salinan resep adalah salinan


yang dibuat Apoteker, selain memuat semua keterangan yang terdapat dalam
resep asli harus memuat pula :

1) Nama dan alamat apotek.

19
2) Nama dan APA dan nomor SIA
3) Nama dan umur pasien
4) Nama Dokter penulis resep
5) Tanggal penulisan resep
6) Tanggal dan nomor urut pembuatan
7) Tanda R/
8) Tanda “det” atau “detur” untuk obat yang sudah diserahkan “ne det” atau “ne
detur” untuk obat yang belum diserahkan
9) Tulis p.c.c (pro copy conform) menandakan bahwa salinan resep telah ditulis
sesuai dengan aslinya.

2. Standar Pelayanan Kefarmasian

Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan


sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian.Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien
(Menkes RI, 2014). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian, pada Pasal
3 ayat (1) dinyatakan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek meliputi:

a. pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis


pakai.
b. Pelayanan Farmasi Klinik.

Pasal 3 ayat (2) sebagai mana dimaksud pada ayat 1, dinyatakan bahwa
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
meliputi:

1. Perencanaan

Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan


bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya
dan kemampuan masyarakat.

20
2. Pengadaan

Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan


farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.

3. Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi,


jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan
dengan kondisi fisik yang diterima.

4. Penyimpanan

Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal
pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus
dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah
baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal
kadaluwarsa.

a) Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga
terjamin keamanan dan stabilitasnya.
b) Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan
kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.
c) Pengeluaran obat memakai sistem FEFO dan FIFO.
d) Pemusnahan
 obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan
bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung
narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
 Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker
dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktek
atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan.
 Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh
sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar atau cara
pemusnahan lain yang dibuktikan dengan berita acara pemusnahan resep, dan
selanjutnya dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

21
5. Pengendalian

Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan


sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau
pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk
menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan,
kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian
persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau
elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama obat, tanggal
kadaluarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.

6. Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat


kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengandaan (surat pesanan,
faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan
pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.

Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal.Pelaporan internal


merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek,
meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.Sedangkan pelaporan eksternal
merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika,
psikotropika dan pelaporan lainnya.

Pada Pasal 3 ayat (3) disebutkan bahwa pelayanan farmasi klinik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:

1). Pengkajian Resep

Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan


pertimbangan klinis.

a) Kajian administratif meliputi:

 Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan.


 Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik, alamat, nomor telepon dan paraf.
 Tanggal penulisan resep.

b) Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:

22
 Bentuk dan kekuatan sediaan
 Stabilitas
 Kompatibilitas (ketercampuran obat)

c) Pertimbangan klinis meliputi:

 Ketepatan indikasi dan dosis obat


 Aturan, cara dan lama penggunaan obat
 Duplikasi dan/atau polifarmasi
 Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi
klinis lain)
 Kontra indikasi
 Interaksi

Apabila ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka Apoteker


harus menghubungi Dokter penulis resep.

- Dispensing

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi obat.


Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal sebagai berikut:

a. menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep


b. melakukan peracikan obat bila diperlukan
c. memberikan etiket
d. memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat yang
berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan obat yang
salah.

Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali


mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan
jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep).

 Memanggil nama dan nomor tunggu pasien


 Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien
 Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat
 Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait
dengan obat .

23
 Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang
baik.
 Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya.
 Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh Apoteker
(apabila diperlukan).
 Menyimpan resep pada tempatnya.
 Apoteker membuat catatan pengobatan pasien.

3). Pelayanan Informasi Obat

Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam
pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis
dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi
kesehatan lain, pasien atau masyarakat.Informasi mengenai obat termasuk obat resep,
obat bebas dan herbal.

4). Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga untuk


meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi
perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang
dihadapi pasien.

5). Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care)

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan pelayanan


kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan
pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.

6). Pemantauan Terapi Obat

Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi obat
yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek
samping.

7). Monitoring Efek Samping Obat

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau
tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk
tujuan diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.

24
B. Tugas Yang Dikerjakan Selama PKPA

1. Pelayanan Resep
Pelayanan resep di Kimia Farma Ijen memiliki alur penerima antar sendiri
yaitu :
a. Resep
1). Resep racikan

Pasien datang ke apotek menyerahkan resep

Pemeriksaan kelengkapan resep

Perhitungan jumlah obat, harga (memastikan pasien setuju atau


tidak dengan harga tersebut), memasukkan data pasien

Menentukan pembayaran

Penyiapan dimulai dengan perhitungan dosis obat

Pengecekan kembali obat

Menulis etiket untuk obat racikan

Meracik obat dan memasukkan obat dan etiket dalam wadah

Mengecek kebenaran sediaan, pengemasan, dan pemberian


etiket

Menyerahkan obat pada pasien dengan KIE yang jelas dan tepat

25
2). Resep non- racikan

Pasien datang ke apotek menyerahkan resep

Pemeriksaan kelengkapan resep

Perhitungan jumlah obat, harga (memastikan pasien setuju


atau tidak dengan harga tersebut), memasukkan data pasien

Menentukan pembayaran

Penyiapan obat

Pengecekan kembali obat

Menulis etiket

Memasukkan obat dan etiket ke dalam wadah

Mengecek kebenaran sediaan dan pemberian etiket

Menyerahkan obat pada pasien dengan KIE yang jelas dan


tepat

2). Pasien datang dengan menyebut merk obat atau membawa contoh kemasan obat

Pasien datang ke apotek

Pasien menyebutkan obat yang akan dibeli atau


memperlihatkan contuh kemasan obat

26
AA atau Apoteker memastikan obat yang akan dibeli
sesuai dengan keluhannya

Pembayaran obat

Pengambilan obat dan penyerahan obat pada pasien

a. Resep
Kredit

Alur pelayanan yang dilakukan hampir sama dengan pelayanan resep tunai,
namun pada pelayanan ini tidak terdapat penyerahan uang tunai dari pasien kepada
pihak apotek. Pelayanan resep kredit diperuntukan bagi pasien yang merupakan
karyawan perusahaan yang telah menjalin ikatan kerja sama dengan Apotek Kimia
Farma, seperti BPJS, Mandiri in Health, Gandum, PLN.

Apabila obat yang diminta oleh pelanggan habis, maka Apotek Kimia Farma
akan berhutang obat dan melengkapi obat yang belum diberikan dalam waktu
secepatnya dengan memberikan surat pengambilan obat yang kurang.

1). Pasien kredit datang ke apotek membawa resep

Pasien datang ke apotek menyerahkan resep

Pemeriksaan kelengkapan resep

Melihat kelengkapan persyaratan resep BPJS (Kronis


kapitasi/Reimbust), IN-Healt maupun Gandum

Memberikan Nomor Antrian

27
Perhitungan dosis obat (racikan)

Penyiapan obat

Pengecekan kembali obat

Menulis etiket

Memasukkan obat dan etiket ke dalam wadah

Mengecek kebenaran sediaan dan pemberian etiket

Menyerahkan obat pada pasien dengan KIE yang jelas


dan tepat

b. KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi)


Saat memberikan obat kepada pasien, dikarenakan pasien baru pertama
kali mendapatkan resep tersebut, maka digunakan 3 metode 3 prime question
seperti :

1) Apa yang Dokter katakan mengenai obat tersebut


2) Apa yang Dokter katakan mengenai cara penggunaan obat tersebut?
3) Apa yang Dokter katakana mengenai harapan setelah penggunaan obat
tersebut?
Kemudian pasien diberikan informasi mengenai bentuk obat, cara
pemakaian, waktu pemakaian dan kegunaan obat. Misalnya: Obat tetes hidung
diberikan dengan cara diteteskan ke dalam bagian hidung. Cara
penggunaannya, kepala ditengadahkan atau pasien berbaring lalu kepalanya
digantungkan dipinggiran tempat tidur kemudian teteskan cairan ke hidung

28
sesuai dosis. Setelah itu tekuk kepala ke depan kea rah lutut lalu dengan
perlahan gelengkan kepala ke kanan dan ke kiri. Tetaplah pada posisi tersebut
selama beberapa menit. Ketika selesai bersihkan alat penates obat dengan air
hangat, lalu tutup sediaan dengan rapat.
Tujuan dari pemberian (KIE) komunikasi, informasi dan edukasi yang
diberikan kepada pasien antara lain :

1) Memaksimalkan efek terapeutik yang mencakup


a. Ketepatan industri
b. Ketepatan memilih obat
c. Ketepatan pengaturan dosis sesuai dengan kebutuhan kondisi pasien.
2) Meminimalkan resiko
a. Meminimalkan masalah ketidaksamaan pemakaian obat meliputi efek
samping, dosis, indikasi dan kontra indikasi.
b. Meminimalkan resiko kesalahan dan penyalahgunaan obat dan perbekalan
farmasi.
Pemberian KIE tidak boleh lepas dari kode etika. Etika yang harus
diperhatikan dalam memberikan informasi suatu obat adalah :

 Informasi obat berdasarkan pengetahuan dan tanggung jawab profesional dan


kemanusiaan sebagai Apoteker.
 Tidak berhak memberikan informasi kesehatan melampaui wewenang sebagai
Apoteker.
 Menampilkan diri sebagai tenaga kesehatan yang bertanggung jawab bagi
lingkungan disekitarnya yang bertanggung jawab bagi lingkungan
disekitarnya dan menjalin kerjasama yang baik antar tenaga kesehatan.

d. Pelaporan

29
Pelaporan merupakan kegiatan dimana apotek mengirim atau melaporkan
jumlah obat yang keluar atau terjual selama satu bulan secara rutin kepada Dinas
Kesehatan.

a. Kartu Stok: berisi tentang semua obat yang keluar dari apotek. Kartu
stok digunakan untuk mempermudah pelaporan/ stok opname setiap
harinya
b. Pelaporan Narkotik: berisi tentang semua obat narkotik yang keluar
dari apotek, yang tertulis dalam laporan narkotika berupa jumlah resep
berisikan obat narkotika, jumlah item resep obat narkotika, jenis obat
yang keluar atau terjual dan dalam jumlah obat yang yang keluar.
c. Pelaporan Psikotropik: berisi tentang semua obat psikotropik yang
keluar dari apotek, yang tertulis dalam laporan psikotropik berupa
jumlah resep berisikan obat psikotropik, jumlah item resep obat
psikotropik, jenis obat yang keluar atau terjual dan dalam jumlah obat
yang yang keluar.
d. Pelaporan Generik: berisi tentang semua obat generik yang keluar
selama satu bulan, jumlah resep yang masuk, nama obat dan jumlah
obat yang keluar atau terjual.
2. Melakukan Telaah Resep
Telaah resep dilakukan setiap hari ke Preseptor dengan masing –masing satu
resep perharinya, kasus resep yang setiap hari di telaah bersama preceptor terdiri
dariresep gangguan kardiovaskular, gangguan infeksi, gangguan endokrin, gangguan
pernafasan, saluran cerna, system renal, saluran kemih, obstetric-ginekologi, system
syaraf dan kesehatan jiwa, tulang dan persendian, kulit, mata, hidung, telinga dan
tenggorokan, onkologi, imunologi, nutrisi dan gawat darurat.
Dalam menelaah resep, preceptor meng acc setiap lembar resep yang kami
kerjakan dan memberikan tugas apabila ada kekurangan informasi tentang beberapa
obat yang kami pilih dalam resep. Tugas tersebut kami tulis di lembar laporan resep.

30
C. Pembahasan

Praktik Kerja Profesi Apoteker ini dilaksanakan di Apotek Kimia Farma Ijen
36 yang terletak di Jl. Ijen, No 88 Oro – Oro Dowo, Kec. Klojen, Kota Malang, Jawa
Timur. Kegiatan tersebut dimulai pada tanggal 31 Agustus hingga tanggal 26
September 2020 .

Apotek pada umumnya memiliki tenaga yang diperlukan yaitu Apoteker


Pengelola Apotek (APA) dibantu oleh Apoteker Pendamping (APING), Asisten
Apoteker (AA)/ TTK (tenaga teknis kefarmasian), Kasir, dan petugas HA. Tentang
tenaga kesehatan yang ada di Apotek Kimia Farma Ijen :

1. Apoteker Pengelola Apotek (APA).


Apoteker Pengelola Apotek adalah seorang Apoteker yang telah
mendapatkan izin apotek (SIA) untuk mengelola sebuah apotek tertentu.
2. Apoteker Pendamping (APING)
Apoteker yang di khususkan mendampingi atau melengkapi tugas Apoteker
Penanggung jawab. Biasanya apoteker pendamping ini lebih melayani KIE
ke pasien.
3. Asisten Apoteker (AA)/ TTK
Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai
asisten apoteker atau Tenaga Teknis Kefarmasian yang membantu
menyelesaikan pekerjaan kefarmasian Apoteker .
4. Kasir
Kasir adalah seseorang yang bertugas dalam bidang keuangan yaitu
menerima atau transaksi dan mengurus laporan keuangan.
5. Koordinator Teknik

31
Adalah seseorang yang bertanggung jawab dalam pengadaan, pengelolaan barang,
dan menjaga stabilitas barang yang ada di apotek.
Pengelolaan apotek meliputi pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan. Sediaan farmasi meliputi obat, bahan obat, obat tradisional dan
kosmetika, sedangkan perbekalan kesehatan meliputi semua bahan selain obat dan
peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
Di Apotek Kima Farma 36 Ijen untuk proses pengelolaan teknis
kefarmasiannya meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pengendalian, pemusnahan, pencatatan dan pelaporan baik terhadap obat bebas,
obat bebas terbatas, obat keras, obat tradisional, kosmetika, narkotika, psikotropika
dan prekursor farmasi dan Obat-Obat Tertentu(OOT) Serta dilakukan peracikan,
pengubahan bentuk, dan penyerahan obat dengan pemberian informasi mengenai
khasiat, cara penggunaan obat, lama pemakaian obat dan efek samping obat.
Selain itu, selain menyediakan sediaan farmasi, Apotek Kimia Farma 36 Ijen juga
menyediakan berbagai produk makanan, minuman serta suplemen kesehatan yang
juga memerlukan pengelolaan. Pengelolaan apotek dilakukan oleh Apoteker
Pengelola Apotek Kimia Farma 36 Ijen Malang yaitu apt. Maria Nike A. Soares,
S. farm dengan dibantu Apoteker pendamping apt. Arina Rahayu, S. Farm,
Koordnator teknik Ibu Imelda dan oleh beberapa staff lainnya. Pengelolaan obat
dan perbekalan kesehatan lainnya yang dilakukan di Apotek Kimia Farma 36 Ijen
sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku yaitu meliputi perencanaan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pengendalian, pemusnahan, pencatatan
serta pelaporan. Pengelolaan ini bertujuan untuk menjaga dan menjamin
ketersediaan barang di apotek sehingga tidak terjadi kekosongan barang. Selain itu
juga bertujuan untuk memperoleh barang yang dibutuhkan dalam jumlah yang
cukup dengan kualitas harga yang dapat dipertanggung jawabkan dalam waktu
tertentu secara efektif dan efisien menurut tata cara dan ketentuan yang berlaku.

C.1 Perencanaan

32
Perencanaan merupakan kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga
dalam rangka pengadaan dengan tujuan mendapatkan jenis dan jumlah yang sesuai
dengan kebutuhan dan anggaran, serta menghindari kekosongan obat. Tujuan
perencanaan pengadaan obat antara lain, mengetahui jenis dan jumlah obat yang
tepat sesuai dengan kebutuhan, menghindari terjadinya kekosongan atau
kelebihan obat, meningkatkan penggunaan obat yang rasional, dan meningkatkan
efisiensi penggunaan obat.

Proses perencanaan di Apotek Kimia Farma 36 Ijen Malang dilakukan


dengan menyeleksi obat dan perbekalan kesehatan yang telah habis atau yang
stoknya tinggal sedikit. Perencanaan obat didasarkan pada jumlah obat yang habis
yang tertulis dalam buku defecta. Dari perencanaan ini selanjutnya akan dilakukan
tahap pengadaan.
Perencanaan dibuat berdasarkan stok level masing-masing obat
berdasarkan rata-rata penjualan perhari yang diperoleh dari data minimal 3 bulan
yang lalu. BM akan menggunakan analisis pareto (Sistem ABC) yang berisi daftar
barang yang terjual yang memberikan kontribusi terhadap omset, disusun
berurutan berdasarkan nilai jual dari yang tertinggi sampai yang terendah, dan
disertai jumlah dan kuantitas barang yang terjual. Barang yang termasuk dalam
Pareto A ialah barang yang memiliki kontribusi omset sebesar 80% total omset
dari keseluruhan nilai omset atau yang sering disebut dengan (fast moving drug).
Barang yang termaksud pareto A di Apotek Kimia Farma 36 Ijen meliputi Nerilon
krim, Dexocort krim,cataflam 50mg, lodia tablet, Demacolin tablet, amoxicillin
tablet, dll. Barang dengan konstribusi terhadap omset sebesar 15 % termasuk
dalam Pareto B (moderate moving drug), contohnya tremenza, amoxan tablet,
thrombophop salep, seretide . Sedangkan yang termasuk ke dalam Pareto C ialah
barang yang memberikan konstribusi terhadap keseluruhan omset sebesar 5 %
(slow moving drug), contohnya venus compact powder, soft matte lipcream, CC
cake powder, automatic eyeliner.

33
C.2 Pengadaan
Kegiatan pengadaan perbekalan farmasi untuk mendukung pelayanan di
Apotek Kimia Farma 36 Ijen dilakukan secara terpusat oleh Bisnis Manajer (BM).
Bisnis Manager di kota Malang dikelola oleh Apotek Kimia Farma Bengawan
Solo. Dulunya Apotek Kimia Farma 36 Ijen adalah pusat administrasi / bisnis
manager kota Malang yang terdiri dari tata usaha dan gudang, namun sekarang
untuk Tata Usaha dilakukan di apotek Kimia Farma Bengawan Solo. Pemesanan
obat dilakukan atas dasar pareto obat dan catatan tentang obat yang sudah habis
tertulis dalam buku defecta maupun data yang ada dalam komputer.
Unit Bisnis Malang akan memberikan daftar nama obat dan jumlahnya ke
Apotek untuk di droping apakah sudah sesuai dengan kebutuhan apotek atau tidak.
Tetapi sebelumnya Apoteker dan Asisten apoteker sudah melakukan pemeriksaan
barang yang habis (kosong) atau persediaan yang menipis yang akan ditulis di
buku defecta. Sehingga Apoteker akan memeriksa kesesuaian berkas droping dan
buku defecta, apakah sudah sesuai atau tidak.

Selanjutnya tim pengadaan akan mengirimkan SP (Surat Pemesanan) kepada


PBF (Pedagang Besar Farmasi) dengan mengatasnamakan Apotek Kimia Farma
yang dituju. Kemudian PBF akan mengirimkan barang besrta faktur. Pihak apotek
yang ditujuakan menukarkan dengan SP (Surat Pemesanan) masing-masing
apotek.

Khusus untuk pengadaan obat golongan narkotika dilakukan dengan


menggunakan surat pesanan khusus narkotika yang disebut SP khusus model N-9.
Untuk pemesanan obat narkotika tidak melalui BM tetapi langsung ke PBF Kimia
Farma Trading and Distribution sebagai distributor yang memiliki izin resmi, dan
ditunjung oleh pemerintah untuk melakukan distribusi obat golongan narkotika
yang ada di Indonesia. Surat pesanan tersebut ditandatangani oleh APA dengan
mencantumkan nama, nomor SIA (Surat Izin Apotek), dan stempel apotek. Setiap

34
surat pesanan berlaku untuk satu jenis obat narkotika. Surat pesanan khusus
narkotika dibuat sebanyak 4 rangkap, Surat Pesanan lembar pertama dan lembar ke
2 dikirim ke distributor, lembar ke 3 diberikan ke administrator, sedangkan pada
lembar ke 4 digunakan untuk arsip apotek. Sedangkan untuk pemesanan obat
psikotropika langsung ke PBF dengan menggunakan Surat Pesanan khusus
psikotropika. Dimana dalam satu surat pesanan boleh memesan beberapa macam
obat psikotropika.
Kegiatan pembelian obat dan perbekalan kesehatan di apotek dikelompokkan
menjadi:
1. Pembelian Rutin
Pesanan rutin yang dilakukan oleh Apotek Kimia Farma 36 Ijen satu bulan
dua kali, yaitu pada minggu pertama dan minggu ketiga oleh BM. Keuntungan dari
sistem ini adalah tercapainya efisiensi baik dari segi waktu, biaya maupun
pemilihan PBF. Sedangkan untuk pesanan narkotika menggunakan surat pesanan
khusus, langsung ke Kimia Farma Trading and Distribution, serta untuk
psikotropika pemesanannya juga langsung ke PBF tanpa melalui prantara Bisnis
Manager (BM).
2. Pesanan Cito
Pesanan cito adalah pengadaan perbekalan farmasi yang dapat dilakukan
kapan saja karena suatu kebutuhan yang segera. Seperti permintaan obat
berdasarkan resep dokter oleh pasien, dan pasien yakin akan membeli obat tersebut
ke apotek Kimia Farma 36 Ijen. Pemesanan cito dilakukan dengan penyampaian
permohonan cito kepada tim pengadaan , kemudian tim pengadaan akan
menghubungi PBF dan barang dikirim ke apotek yang dituju.

3. Dropping / Spredding
Dropping yaitu pembelian obat dan perbekalan kesehatan dapat dilakukan
antar sesama apotek Kimia Farma lainnya. Tujuannya untuk menghindari

35
penolakan pembelian obat ataupun resep yang mempengaruhi omset penjualan.
Hal ini dilakukan jika terjadi pembelian obat dan perbekalan kesehatan oleh
konsumen tetapi barang tersebut kurang atau tidak tersedia di apotek. Misalnya
apotek KF A (yang membutuhkan barang) kemudian menelepon ke apotek KF B
untuk mengetahui ketersediaan obat X. Jika obat tersedia, apotek KF.A
mengirimkan Bon Permintaan Barang Apotek (BPBA) sebagai surat pesanan yang
berisi nama obat dan jumlah, yang dibutuhkan oleh apotek KF A. Apotek KF A
akan mengambil barang langsung ke apotek KF B. Apotek KF B akan
memberikan barang dan bukti droping. Penjualan obat X akan masuk ke omset
apotek KF A. Dengan adanya bukti droping maka nilai pembelian di apotek
pelayanan KF A akan bertambah senilai obat X, sedangkan nilai pembelian apotek
KF B akan berkurang senilai obat X.
Spredding yaitu pengalihan barang dari apotek Kimia Farma satu, ke apotek
Kimia Farma lain karena adanya over stock (kelebihan stok) atau karena pasif
stock (barang bertahun-tahun tidak laku) sehingga menghindari adanya
penumpukan barang ED.
4. Pembelian mendesak
Membeli obat di apotek lain selain Kimia Farma untuk melengkapi kebutuhan
resep pelanggan.
Di Kimia Farma juga dilakukan system Konsinyasi, Konsinyasi merupakan
suatu bentuk hubungan kerjasama antara Apotek Kimia Farma dengan pihak ke-3
yang telah memiliki ikatan kerja sama dengan Apotek Kimia Farma Pusat. Dalam
setiap bulan dilakukan pengecekan dari pihak-3 untuk mengetahui jenis dan
jumlah produk yang telah terjual selama satu bulan. Barang konsinyasi termasuk
dalam produk obat baru, barang promosi, suplemen makanan, dan alat-alat
kesehatan. Barang tersebut pembeliannya tidak dibayar dimuka, tetapi dibayar
setelah barang laku terjual, jadi pihak ke-3 akan membuat faktur setelah ada
transaksi penjualan, Kemudian faktur akan diserahkan kepada pihak Apotek kimia
Farma dan dicek kembali, selanjutnya jika sudah sesuai faktur akan diserahkan

36
kepada BM dan BM akan membayar ke pihak ke-3 dengan melihat faktur
penagihan dalam 1 bulan sesuai dengan harga dari produk yang telah terjual.

C.3 Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi,
jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam faktur dan kondisi
fisik yang diterima. Penerimaan barang di Apotek KF 36 Ijen, yaitu ketika barang
datang ke apotek, apoteker atau asisten apoteker akan meminta berkas dropingan
barang dari pihak BM atau meminta faktur dan bukti surat pesanan dari PBF untuk
memeriksa apakah barang yang dipesan sudah sesuai atau tidak.
Adapun langkah-langkah yang harus dikerjakan saat penerimaan barang dari
PBF maupun BM, sebagai berikut :
1. Pemeriksaan Barang dan kelengkapannya
a) Alamat pengiriman barang yang dituju.
b) Nama Obat, dosis obat dan jumlah barang yang dikirim harus sesuai
dengan yang tertera pada berkas dropingan dari BM serta surat
pesanan dan faktur dari PBF. Jika barang tidak sesuai dengan SP atau
terdapat kerusakan fisik maka dapat dibuat nota pembelian
barang/retur dan mengembalikan barang tersebut ke PBF yang
bersangkutan untuk ditukar dengan barang yang sesuai.
c) Tanggal kadaluarsa (expire date).
d) Harga atau diskon sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati
2. Jika barang telah sesuai maka faktur ditandatangani dan dibubuhkan stempel
apotek. Faktur asli (warna putih) dan salinan faktur (warna biru) diserahkan
kepada petugas PBF (sebagai bukti penagihan), sedangkan Salinan faktur (warna
kuning) diambil sebagai arsip apotek untuk bukti penerimaan dari PBF.
3. Barang tersebut kemudian di input jumlahnya di komputer, sehingga barang
tersebut jumlanya bertambah dan disimpan pada rak atau gondola yang tersedia
sesuai dengan namanya.

37
Salinan faktur lalu dimasukkan datanya ke dalam komputer melalui
administrasi penerimaan barang yang terintegrasi dalam program sebagai data
pembelian dan menambah stok barang. Data yang dimasukkan antara lain nama
barang, kemasan, jumlah, harga, dan diskon. Bukan hanya faktur tetapi data
dropingan dari apotek KF lainnya perlu dimasukan ke sistem computer.
4. sebagai bukti penerimaan barang dari apotek tersebut dengan mamasukan nomor
dropingan.
Selanjutnya, proses penyimpanan obat/barang di Apotek Kimia Farma 36 Ijen
dilakukan menggunakan prinsip FIFO dan FEFO. Tujuan dari sistem FIFO dan
FEFO ini untuk menghindari kemungkinan terjadinya penumpukan barang yang
dapat berujung pada kadaluarsanya obat sebelum dapat dijual sehingga dapat
merugikan apotek.
Maksud dari FIFO (First In First Out) yaitu penyimpanan barang dimana
barang yang datang lebih dulu akan disimpan di depan sehingga akan dikeluarkan
lebih dulu dari yang lainnya, sedangkan barang yang terakhir datang ditaruh
dibelakang, demikian seterusnya. Jadi barang yang lebih awal masuk harus
dikeluarkan lebih dahulu. Sedangkaan FEFO (First Expired First Out) yaitu
penyimpanan barang dimana barang yang mendekati tanggal kadaluarsanya
diletakkan di depan sehingga akan dikeluarkan lebih dulu dari yang lainnya,
sedangkan barang yang tanggal kadaluarsanya masih lama diletakkan dibelakang,
demikian seterusnya. Jadi obat yang tanggal kadaluwarsa nya sudang mendekati
expired date mak akan dikeluarkan lebih dahulu. Sistem ini digunakan agar
perputaran barang di apotek dapat terpantau dengan baik sehingga meminimalkan
banyaknya obat-obat yang mendekati tanggal kadaluarsanya berada di apotek.
Karena jika obat telah mencapai masa kadaluwarsanya sebelum dapat dijual maka
apotek akan mengalami kerugian.
Sistem penyimpanan obat di Apotek Kimia Farma Ijen antara lain :

1. Berdasarkan golongan obat:

38
a. Narkotika dan psikotropika disimpan di dalam lemari khusus dengan dua
pintu (lemari dalam lemari) yang menempel pada lantai engan tujuan tidak
bisa dipindahkan sehingga tidak mungkin dicuri dan yang dilengkapi dengan
dua buah kunci yang dipegang oleh Apoteker Pengelola Apotek.
b. Obat keras dan generik disimpan di rak penyimpanan dan disusun alfabetis
dan sesuai dengan bentuk sediaan dan efek farmakologinya.
c. Obat bebas dan obat bebas terbatas atau obat OTC (over the counter) serta
obat tradisional disimpan di swalayan.
2. Bentuk Sediaan
Obat disimpan berdasarkan bentuk sediaannya yaitu Padat (tablet, kaplet dan
kapsul), Cair (Sirup, suspensi, dry syrup, Tetes mata, tetes hidung, tetes telinga ),
Semi solid (salep, krim, dan gel), Inhaler, aerosol, Suppositoria, ovula.
3. Efek farmakologinya
Berdasarkan efek farmakologinya, penyimpanan obat dibagi menjadi
Narkotika, Psikotropika, Antibiotik, Kardiovaskular, Diabetes Mellitus, Sistem
saraf pusat, Pencernaan, Anti alergi, Muscola, Hormon, Vitamin dan suplemen
4. Berdasarkan sifat fisika-kimia obat, obat-obat yang bersifat termolabil disimpan di
lemari es. Contohnya : suppositoria, ovula, insulin dan vaksin.
Selain obat-obatan, apotek Kimia Farma 36 Ijen juga menyediakan beberapa
kosmetika yang penyimpanannya diletakkan di swalayan farmasi. Begitu pula
dengan perbekalan kesehatan seperti alat-alat kesehatan, untuk alat kesehatan
seperti alat ukur tekanan darah, glukosa, asam urat ditempatkan di rak khusus
dietalase karena barang tersebut mahal dan untuk menghindari pencurian.

C.4 Pemusnahan
Pemusnahan obat-obat rusak dan Expired Date di Apotek KF 36 Ijen ini
dilakukan bersama-sama di BM, obat yang akan dimusnahkan dikumpulkan lalu di
kirimkan ke BM untuk melakukan pemusnahan bersama-sama. Begitu juga untuk
pelaporan obat-obat rusak dan kadaluarsa ke BM tetap dilakukan mengikuti jadwal

39
stok opname yaitu berkala setiap 3 bulan. Obat tersebut akan dimusnahkan dan
akan dibuat berita acara pemusnahan dan surat pemberitahuan yang ditujukan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota setempat bahwa akan dilakukan
pemusnahan obat-obat rusak dan kadaluarsa serta tembusan kepada Dinas
Kesehatan Provinsi, Balai POM setempat. Pemusnahan disaksikan oleh masing-
masing Apoteker Pengelola Apotek Kimia Farma dan saksi dari perwakilan dari
dinas kesehatan kota. Pemusnahannya dilakukan dengan cara dibakar atau
ditanam, setelah dilakukan pemusnahan maka dibuat laporan pemusnahan obat-
obat rusak dan kadaluwarsa tersebut. Isi berita acara pemusnahan terdiri dari hari,
tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; tempat pemusnahan; nama penanggung
jawab fasilitas apotek; nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain
badan/sarana tersebut; nama dan jumlah obat yang dimusnahkan; cara
pemusnahan; dan tanda tangan Apoteker Pengelola Apotek dan saksi. Berita acara
tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan dikirim kepada Balai Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM), Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan arsip Apotek.

C.5 Pengendalian

Sistem pengendalian di apotek KF 36 Ijen yaitu melakukan uji petik, yaitu


merupakan sutu metode pemantaun barang dengan melakukan penyesuaian jumlah
stok fisik dengan jumlah stok yang ada di komputer, Serta melakukan stok opname
yang dilakukan setiap 3 bulan sekali. Stok opname merupakan kegiatan
pemeriksaan terhadap persediaan barang sebagai salah satu bentuk pengawasan
apotek yang dilakukan untuk mengetahui kesesuain jumlah barang yang tersedia
secara fisik dengan jumalah yang ada di sistem komputer.
Tujuannya dari stok opname untuk mengetahui jumlah fisik barang yang ada
di rak obat dan kesesuaiannya dengan data komputer, sehingga jika terjadi
kehilangan dapat dideteksi lebih awal serta mengatahui adanya kelebihan,
kekurangan, kekosongan barang. Mengetahui dan mendata barang-barang yang
sudah kadaluarsa atau telah mendekati waktu kadaluarsanya, barang-barang yang

40
telah kadaluarsa dipisahkan dan dibuat laporannya secara tersendiri. Mengetahui
barang-barang yang slow moving dan fast moving sebagai acuan untuk
perencanaan pengadaan yang lebih baik.
C.6 Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan bertujuan untuk mempermudah pengawasan terhadap persediaan
obat dan kebutuhan masing-masing obat, serta mengawasi arus barang agar
penyalurannya mengikuti aturan FIFO (first in first out) dan FEFO (first Expired
first out) sehingga mengurangi resiko obat-obat kadaluwarsa. Berikut beberapa
kegiatan pencatatan dan pelaporan yang dilakukan di apotek Kimia Farma 36 Ijen :

1. Pencatatan Defekta
Pencatatan di buku defekta berisi nama barang yang habis atau hampir habis
selama pelayanan atau barang-barang yang stoknya jumlahnya kurang karena
barang tersebut diperkirakan akan cepat terjual, sehingga harus segera dipesan
agar dapat tersedia secepatnya sebelum stok barang tersebut habis.

2. Pencatatan Stok Barang Menggunakan POS. Pada umumnya pencatatan stok


barang dilakukan dengan mengisi kartu stok yang tersedia pada setiap rak
obat, pada saat terjadi penambahan atau pengurangan jumlah obat serta
jumlah sisa obat yang tersedia. Tetapi di Apotek Kimia Farma sekarang
menggunakan sistem komputer yang disebut POS. Dimana setiap terjadinya
transaksi penjualan dan penerimaan barang diinput kedalam komputer, maka
secara otomatis setiap item obat stoknya berkurang atau bertambah.
3. Pencatatan Penerimaan Barang
Pencatatan penerimaan barang dilakukan jika barang datang dari BM dengan
membawa berkas droping selanjutnya dilakukan pendataan barang dengan cara
memasukkan data barang ke sistem komputer atau KIS meliputi nama, jumlah dan
harga barang yang diterima. Sedangkan Untuk barang yang dipesan langsung oleh
pihak apotek ke PBF seperti obat-obat narkotika dan psikotropika, faktur diterima
langsung oleh Apoteker Pengelola Apotek, setelah dilakukan pendataan, kemudian

41
dicetak bukti penerimaan barang tersebut sebanyak 2 rangkap, 1 rangkap
dilampirkan bersama faktur sebagai arsip apotek dan 1 rangkap lainnya
dilampirkan bersama faktur dan diserahkan ke BM untuk keperluan pembayaran
barang tersebut ke PBF yang menyalurkan.
Sedangkan untuk pelaporan narkotika dan psikotropika apotek berkewajiban
mengirimkan laporan narkotika dan psikotropika setiap bulan kepada Kementrian
Kesehatan melalui sistem online yang disebut SIPNAP (Sistem Pelaporan
Narkotika dan Psikotropika) . Dalam laporan tersebut diuraikan mengenai
pembelian/pemasukan dan penjualan/pengeluaran narkotika dan psikotropika,
yang wajib melaporkannya adalah Apoteker Pengelola Apotek.
C.7 Pengelolaam Resep
Kegiatan pengelolaan Resep, dimana pengelolaan resep dibagi berdasarkan
yang pertama adalah Pelayanan obat tanpa resep dokter dilakukan atas permintaan
langsung dari pasien. Jika obat tidak ada maka akan diberikan rekomendasi obat
yang lain dengan komposisi atau zat aktif yang sama. Obat-obat yang dapat
dilayani tanpa resep dokter seperti obat OTC (over the counter) baik obat bebas
maupun obat bebas terbatas dan obat keras yang termasuk daftar OWA (Obat
Wajib Apotek). Permintaan obat keras tanpa resep dokter yang termasuk daftar
OWA disebut UPDS (Untuk Pemakaian Diri Sendiri), dengan mengisi identitas
pasien pada sistem komputer. Serta adanya pelayanan swalayan farmasi yang
terdiri dari obat bebas, obat bebas terbatas, obat tradisional, suplemen, vitamin,
susu (bayi, ibu hamil, penderita ginjal), perawatan kulit, perawatan rambut,
kosmetik, herbal health care, alat kontrasepsi, dan alat kesehatan.
Kedua ada penjualan bebas , dimana Apoteker atau asisten apoteker akan
menanyakan obat atau perbekalan farmasi lainnya yang diperlukan oleh pembeli
atau pembeli yang menanyakan obat ke apoteker atau asisten apoteker. Kemudian
memeriksa ketersediaan barang dan menginformasikan harganya kepada pembeli.
Bila pembeli setuju maka pembeli langsung membayar dan petugas akan

42
memasukkan data pembelian ke dalam komputer dan mencetak struk pembayaran
untuk diserahkan kepada pemebeli dan untuk arsip

Ketiga ada pelayanan obat tunai dengan resep dokter, dilakukan terhadap
konsumen yang langsung datang ke apotek untuk menebus resep obat dari dokter
yang dibayar secara tunai. Proses penyiapan resep dilakukan minimal oleh dua
orang untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam penyiapan obat.
Alur pelayanan resep tunai dimulai dengan Penerimaan Resep, lalu
memeriksaan ketersediaan obat, memeriksaan ketersediaan obat yaitu dengan
memeriksa stok obat di sistem komputer serta memeriksa di rak obat. Selanjutnya
Skrining resep , Terdiri dari persyaratan administratif, kesesuaian farmasetika dan
pertimbangan klinis. Persyaratan administratif meliputi nama, alamat nomor SIP
dan paraf/tanda tangan dokter penulis resep; nama obat, dosis, jumlah dan aturan
pakai; nama pasien, umur, alamat, nomor telepon. Kesesuaian farmasetik meliputi,
bentuk sediaan; dosis; potensi; stabilitas; inkompatibilitas; cara dan lama
pemberian. Pertimbangan klinis meliputi, adanya alergi; efek samping; interaksi;
kesesuaian (dosis, durasi, dan jumlah obat). Jika saat skrining resep ada ditemukan
masalah oleh apoteker atau asisten apoteker, maka apoteker atau asisten apoteker
akan memberikan informasi atau berdiskusi kepada dokter praktek terkait masalah
tersebut.
Kemudian dilakukan penetapan harga yaitu dengan menjumlahkan harga
seluruh obat yang ada di dalam resep, dan asisten apoteker akan memberitahukan
harga obat kepada pasien, jika harga obat dianggap pasien terlalu mahal maka
pasien dapat membeli obat tersebut setenghnya (sebagian). selanjutnya akan
diberikan ke bagian peracikan untuk disiapkan obatnya. Kemudian yang terakhir
ada Pembuatan kwitansi dan salinan resep (copy resep). Beberapa resep yang
masuk ke KF 36 Ijen adalah obat yang perlu untuk diracik, karena kebanyakan
resep racikan dari dokter kulit jadi dilakukan beberapa proses kegiatan yang
meliputi pengambilan obat di rak obat, peracikan/ pembuatan obat (hitung

43
dosis/penimbangan, pencampuran, pengemasan), penyiapan etiket dengan menulis
tanggal, nomor resep, nama paisen, cara pakai obat dan aturan pakai obat.
Kemudian etiket dimakukan kedalam plastik klip atau ditempelkan di pot salep.
Setelah serangkaian proses yang sudah dilakukan ada proses pemeriksaan
akhir, meliputi pemeriksaan obat dengan nama obat yang ada diresep, penyesuaian
antara etiket dan resep asli dengan melihat nama pasien, cara pakai obat dan aturan
pakai obat, Kesesuaian antara salinan resep dengan resep asli, kebenaran kwitansi.
Selanjutnya Obat akan diserahkan kepada pasiem dengan pemberian informasi
yang meliputi Nama obat, kegunaan obat, dosis jumlah dan aturan pakai, Cara
penyimpanan, Efek samping yang mungkin timbul dan cara mengatasinya
Kemudian ada pelayanan resep narkotika dan psikotropika, Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 3 Tahun 2015 tentang Peredaran,
Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
Farmasi, mengartikan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-
Undang tentang Narkotika, yaitu sebanyak 3 (tiga) yaitu golongan I, II, dan III.
Sedangkan pengertian psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku.
Apotek Kimia Farma 36 Ijen hanya melayani resep narkotika dari resep asli
atau salinan resep yang dibuat di Apotek Kimia Farma 36 Ijen sendiri yang belum
diambil sama sekali atau baru diambil sebagia, itupun pada saat pengumpulan resp
pertama, pasien harus melampirkan fotocopi KTP. Apotek tidak melayani
pembelian obat narkotika tanpa resep atau pengulangan resep yang ditulis oleh
apotek lain. Pelayanan obat-obat narkotik berlaku untuk resep dari wilayah

44
setempat atau resep dokter setempat. Pada resep yang mengandung narkotika
harus dicantumkan tanggal, nama obat, yang digaris bawah merah, jumlah obat,
nama dan alamat praktik dokter serta pasien, dan nomor telepon dokter dan pasien.
Resep narkotika dikumpulkan secara terpisah.

Perekapan resep dilakukan setiap hari dimana resep dikumpulkan berdasarkan


tanggal dikeluarkannya resep. Resep asli dan salinan resep beserta struk harga obat
disimpan sebagai arsip. Sedangkan untuk resep yang mengandung narkotika dan
psikotropika direkap secara terpisah dan diberi tanda, yang akan digunakan untuk
keperluan pembuatan laporan penggunaan narkotika dan psikotropika. Resep harus
dirahasiakan dan disimpan selama 3 tahun. Resep hanya boleh ditunjukkan kepada
pasien, dokter yang menulis resep, dokter yang merawat pasien, atau petugas
medis lain, dan pihak-pihak lain yang berwenang.

Pemusnahan arsip resep dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-


undangan yang berlaku, yaitu arsip resep yang telah berumur tiga tahun atau lebih.
Sebelum dilakukan pemusnahan arsip resep, semua dilakukan di BM. Kemudian
dibuat berita acara dan surat pemberitahuan yang ditujukan kepada Kepala Kantor
Dinas Kesehatan Kota setempat bahwa akan dilakukan pemusnahan resep serta
tembusan kepada Dinas Kesehatan Provinsi, Balai POM. Pemusnahan dilakukan
dengan cara membakar arsip resep, lalu dibuat laporan pemusnahan arsip tersebut.

Kegiatan nonteknis kefarmasian yang dilakukan oleh Apotek Kimia Farma 36


Ijen adalah berupa pengelolaan administrasi yang meliputi administrasi
pelayanan, administrasi umum, administrasi barang dan administrasi personalia
(SDM). Administrasi Pelayanan, administrasi ini berupa pengarsipan resep yaitu
berupa pencatatan data pasien dan obat yang digunakan pasien terutama untuk
pelayanan obat narkotika, psikotropika dan prekursor, pembuatan kwitansi dan
salinan resep. Pada administrasi keuangan terdapat kegiatan penerimaan,
penyimpanan, dan pengeluaran uang

45
Penerimaan uang ini berasal dari penjualan tunai seperti obat dengan resep
dokter dan tanpa resep dokter, penjualan alat kesehatan serta barang swalayan
farmasi. Hasil penjualan tersebut akan disetorkan ke bagian administrasi keuangan
BM Pusat yang ada di Jakarta dengan mentransfer ke bank yang ditunjuk, disertai
dengan buku setoran kasir apotek. Penyetoran uang dilakukan setiap hari dan
diperiksa kesesuaiannya dengan barang yang terjual melalui Laporan Ikhtisar
Penjualan Harian (LIPH), kemudian ditandatangani oleh Apoteker Pengelola
Apotek (APA). Laporan Ikhtisar Penjualan Harian (LIPH) adalah laporan yang
dibuat pada akhrir transaksi yang dilakukan setiap hari. Laporan tersebut berisi
rincian penerimaan uang di apotek yang berasal dari penjualan obat dengan resep
dokter atau tanpa resep dokter dan perbekalan kesehatan lainnya yang selanjutnya
dilaporkan ke unit Bisnis Manager Malang.

Penyimpanan uang di Apotek KF 36 Ijen dari hasil penjualan obat dengan


resep dokter atau tanpa resep dokter, alat kesehatan dan barang swalayan lainnya,
akan disimpan terlebih dahulu dibrangkas/lemari khusus yang selanjutnya ketika
pergantian hari uang tersebut akan transfer ke BM pusat yaitu melalui bank yang
ditunjuk oleh BM, dalam hal ini yaitu Bank Mandiri.

Pengeluaran uang di Apotek Kimia Farma 36 Ijen meliputi biaya-biaya


operasional, seperti pembayaran rekening listrik, air, telepon, TV kabel dan biaya
untuk pembelian alat tulis kantor. Pembayaran biaya-biaya operasional dilakukan
dengan menggunakan uang kas apotek, kemudian setelah dilakukan pelaporan
kepada Bisnis Manager, maka uang tersebut akan diganti kembali sehingga
jumlahnya tetap. Sedangkan pengeluaran untuk pembayaran hutang dagang dan
gaji karyawan dilakukan oleh Bisnis Manager (BM).
Kemudian ada kegiatan administrasi Barang dimana kegiatan tersebut
meliputi pembuatan dan pengarsipan dokumen pembelian (faktur atau droping),
Bon Permintaan Barang Apotek (BPBA), Surat Pesana (terutama narkotika dan
psikotropika) dan laporan stok opname. Selanjutnya Administrasi Sumber Daya

46
Manusia yang meliputi kegiatan tata tertib pegawai, pengaturan jadwal kerja,
absensi, lembur pegawai, kenaikan gaji dan pangkat para karyawan dan lain-lain.
Kegiatan administrasi umum dan personalia ini terdapat di Bisnis Manager (BM).
Sumber daya manusia yang ada di Apotek Kimia Farma 36 Ijen antara lain 1
orang Apoteker Pengelola Apotek (APA), 1 orang Apoteker Pendamping (Aping),
dan 1 orang koordinator teknik, 7 orang sebagai Asisten Apoteker dan 2 orang
sebagai kasir.
Perpajakan di Apotek Kimia Farma 36 Ijen semuanya diatur oleh BM
(Bussines Manager) Kimia Farma yang ada Malang. Administrasi perpajakan
dikenakan pada apotek Kimia Farma Farma meliputi Pajak Penghasilan (PPh),
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak
reklame.
Selanjutnya ada Pelayanan KIE dan Pharmaceutical Care, dimana pelayanan
informasi obat ini bertujuan untuk tercapainya penggunaan obat yang rasional,
yaitu tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat regimen (dosis, cara pakai obat,
waktu pemberian obat, cara penyimpanan obat), dan waspada efek samping.
Pelayanan informasi obat di apotek Kimia Farma 36 Ijen umumnya mengenai
aturan pakai dan cara penggunaan obat yang tertera dalam resep pada saat
penyerahan obat kepada pasien. Informasi obat dapat dilakukan oleh APA/APING
atau Asisten Apoteker. Informasi yang diberikan meliputi khasiat obat, cara pakai
obat, waktu pemberian obat, cara penyimpanan obat, efek samping, upaya
pencegahan penyakit dan sebagainya.

Selain seluruh kegiatan kefarmasian di dalam apotek, kami diajarkan


mengenai Busniss plan melalui pengadaan classroom yang dilaksanakan di aula
Kimia Farma Kawi Malang. Didalam classroom tersebut kami diajarkan mengenai
penghitungan dana untuk pendirian apotek, menganalisis SWOT (strength,
weakness, opportunity, threat), menghitung BEP (Break Event Point), persiapan-

47
persiapan yang dibutuhkan untuk melangsungkan praktek apoteker, dan mengenal
dan menghitung pajak-pajak yang ada di apotek.

Dari pelaksaan classroom tersebut, kami juga menyusun rencana bisnis dalam
pembuatan apotek sehingga bisa memiliki gambaran nyata dalam hal pendirian
apotek.

BAB V

TELAAH KASUS

A. Artritis Gout

48
Artritis gout merupakan salah satu penyakit metabolik (metabolic
syndrom) yang terkait dengan pola makan diet tinggi purin dan minuman
beralkohol. Penimbunan kristal monosodium urat (MSU) pada sendi dan
jaringan lunak merupakan pemicu utama terjadinya keradangan atau inflamasi
pada gout artritis (Nuki dan Simkin, 2006). Artritis gout adalah jenis artritis
terbanyak ketiga setelah osteoartritis dan kelompok rematik luar sendi
(gangguan pada komponen penunjang sendi, peradangan, penggunaan
berlebihan) (Nainggolan, 2009). Penyakit ini mengganggu kualitas hidup
penderitanya. Peningkatan kadar asam urat dalam darah (hiperurisemia)
merupakan faktor utama terjadinya artritis gout (Roddy dan Doherty, 2010).
Masalah akan timbul jika terbentuk kristal-kristal monosodium urat (MSU)
pada sendisendi dan jaringan sekitarnya. Kristal-kristal berbentuk seperti
jarum ini mengakibatkan reaksi peradangan yang jika berlanjut akan
menimbulkan nyeri hebat yang sering menyertai serangan artritis gout (Carter,
2006).
Data NHANES III pada tahun 1988 hingga 1994 di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa artritis gout menyerang lebih dari 3 juta pria dengan usia
40 tahun atau lebih, dan 1,7 juta wanita dengan usia 40 tahun atau lebih
(Weaver, 2008). Sedangkan di tahun 2007 hingga 2008 penderita artritis gout
meningkat menjadi 8,3 juta penderita, dimana jumlah penderita artritis gout
pada pria sebesar 6,1 juta penderita dan penderita wanita berjumlah 2,2 juta.
Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi penderita artritis gout di Amerika
Serikat meningkat dalam dua dekade ini (Zhu et al, 2011). Hasil survei WHO-
ILAR Copcord (World Health Organization–International League of
Associations for Rheumatology Community Oriented Program for Control of
Rheumatic Disease) di pedesaan Sulawesi Utara dan Manado menemukan
hubungan asam urat menahun dengan pola konsumsi dan gaya hidup,
diantaranya konsumsi alkohol dan kebiasaan makan makanan kaya purin.
Selain itu, kebiasaan minum obat jenis diuretika (hidroklorotiazide), yaitu

49
obat untuk menurunkan tekanan darah tinggi dapat meningkatkan kadar asam
urat serum (Muniroh et al, 2010). Perubahan gaya hidup tradisional ke gaya
hidup modern merupakan pemicu utama artritis gout (Saag dan Choi, 2006).
Sebagian besar kasus artritis gout mempunyai latar belakang penyebab
primer, sehingga memerlukan pengendalian kadar asam urat jangka panjang.
Perlu komunikasi yang baik dengan penderita untuk mencapai tujuan terapi.
Hal itu dapat diperoleh dengan edukasi dan diet rendah purin yang baik.
Pencegahan lainnya berupa penurunan konsumsi alkohol dan penurunan berat
badan (Hidayat, 2009).
Artritis gout adalah penyakit yang sering ditemukan dan tersebar di
seluruh dunia. Artritis gout atau dikenal juga sebagai artritis pirai, merupakan
kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat
pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di dalam cairan
ekstraseluler. Gangguan metabolisme yang mendasarkan artritis gout adalah
hiperurisemia yang didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0
ml/dl untuk pria dan 6,0 ml/dl untuk wanita (Tehupeiory, 2006). Sedangkan
definisi lain, artritis gout merupakan penyakit metabolik yang sering
menyerang pria dewasa dan wanita posmenopause. Hal ini diakibatkan oleh
meningkatnya kadar asam urat dalam darah (hiperurisemia) dan mempunyai
ciri khas berupa episode artritis gout akut dan kronis (Schumacher dan Chen,
2008).

Epidemiologi
Artritis gout menyebar secara merata di seluruh dunia. Prevalensi
bervariasi antar negara yang kemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan
lingkungan, diet, dan genetik (Rothschild, 2013). Di Inggris dari tahun 2000
sampai 2007 kejadian artritis gout 2,68 per 1000 penduduk, dengan
perbandingan 4,42 penderita pria dan 1,32 penderita wanita dan meningkat

50
seiring bertambahnya usia (Soriano et al, 2011). Di Italia kejadian artritis gout
meningkat dari 6,7 per 1000 penduduk pada tahun 2005 menjadi 9,1 per 1000
penduduk pada tahun 2009 (Rothschild, 2013).
Sedangkan jumlah kejadian artritis gout di Indonesia masih belum
jelas karena data yang masih sedikit. Hal ini disebabkan karena Indonesia
memiliki berbagai macam jenis etnis dan kebudayaan, jadi sangat
memungkinkan jika Indonesia memiliki lebih banyak variasi jumlah kejadian
artritis gout (Talarima et al, 2012). Pada tahun 2009 di Maluku Tengah
ditemukan 132 kasus, dan terbanyak ada di Kota Masohi berjumlah 54 kasus
(Talarima et al, 2012). Prevalensi artritis gout di Desa Sembiran, Bali sekitar
18,9%, sedangkan di Kota Denpasar sekitar 18,2%. Tingginya prevalensi
artritis gout di masyarakat Bali berkaitan dengan kebiasaan makan makanan
tinggi purin seperti lawar babi yang diolah dari daging babi, betutu ayam/itik,
pepes ayam/babi, sate babi, dan babi guling (Hensen, 2007).
Etiologi
Etiologi dari artritis gout meliputi usia, jenis kelamin, riwayat
medikasi, obesitas, konsumsi purin dan alkohol. Pria memiliki tingkat serum
asam urat lebih tinggi daripada wanita, yang meningkatkan resiko mereka
terserang artritis gout. Perkembangan artritis gout sebelum usia 30 tahun lebih
banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita. Namun angka kejadian artritis
gout menjadi sama antara kedua jenis kelamin setelah usia 60 tahun.
Prevalensi artritis gout pada pria meningkat dengan bertambahnya usia dan
mencapai puncak antara usia 75 dan 84 tahun (Weaver, 2008).
Wanita mengalami peningkatan resiko artritis gout setelah menopause,
kemudian resiko mulai meningkat pada usia 45 tahun dengan penurunan level
estrogen karena estrogen memiliki efek urikosurik, hal ini menyebabkan
artritis gout jarang pada wanita muda (Roddy dan Doherty,
2010).Pertambahan usia merupakan faktor resiko penting pada pria dan
wanita. Hal ini kemungkinan disebabkan banyak faktor, seperti peningkatan

51
kadar asam urat serum (penyebab yang paling sering adalah karena adanya
penurunan fungsi ginjal), peningkatan pemakaian obat diuretik, dan obat lain
yang dapat meningkatkan kadar asam urat serum (Doherty, 2009).
Penggunaan obat diuretik merupakan faktor resiko yang signifikan
untuk perkembangan artritis gout. Obat diuretik dapat menyebabkan
peningkatan reabsorpsi asam urat dalam ginjal, sehingga menyebabkan
hiperurisemia. Dosis rendah aspirin, umumnya diresepkan untuk
kardioprotektif, juga meningkatkan kadar asam urat sedikit pada pasien usia
lanjut. Hiperurisemia juga terdeteksi pada pasien yang memakai pirazinamid,
etambutol, dan niasin (Weaver, 2008).
Obesitas dan indeks massa tubuh berkontribusi secara signifikan
dengan resiko artritis gout. Resiko artritis gout sangat rendah untuk pria
dengan indeks massa tubuh antara 21 dan 22 tetapi meningkat tiga kali lipat
untuk pria yang indeks massa tubuh 35 atau lebih besar (Weaver, 2008).
Obesitas berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin. Insulin diduga
meningkatkan reabsorpsi asam urat pada ginjal melalui urate anion exchanger
transporter-1 (URAT1) atau melalui sodium dependent anion cotransporter
pada brush border yang terletak pada membran ginjal bagian tubulus
proksimal. Dengan adanya resistensi insulin akan mengakibatkan gangguan
pada proses fosforilasi oksidatif sehingga kadar adenosin tubuh meningkat.
Peningkatan konsentrasi adenosin mengakibatkan terjadinya retensi sodium,
asam urat dan air oleh ginjal (Choi et al, 2005).
Konsumsi tinggi alkohol dan diet kaya daging serta makanan laut
(terutama kerang dan beberapa ikan laut lain) meningkatkan resiko artritis
gout. Sayuran yang banyak mengandung purin, yang sebelumnya dieliminasi
dalam diet rendah purin, tidak ditemukan memiliki hubungan terjadinya
hiperurisemia dan tidak meningkatkan resiko artritis gout (Weaver, 2008).
Mekanisme biologi yang menjelaskan hubungan antara konsumsi alkohol
dengan resiko terjadinya serangan gout yakni, alkohol dapat mempercepat

52
proses pemecahan adenosin trifosfat dan produksi asam urat (Zhang, 2006).
Metabolisme etanol menjadi acetyl CoA menjadi adenin nukleotida
meningkatkan terbentuknya adenosin monofosfat yang merupakan prekursor
pembentuk asam urat. Alkohol juga dapat meningkatkan asam laktat pada
darah yang menghambat eksresi asam urat (Doherty, 2009). Alasan lain yang
menjelaskan hubungan alkohol dengan artritis gout adalah alkohol memiliki
kandungan purin yang tinggi sehingga mengakibatkan over produksi asam
urat dalam tubuh (Zhang, 2006).
Asam urat merupakan produk akhir dari metabolisme purin. Dalam
keadaan normalnya, 90% dari hasil metabolit nukleotida adenine, guanine,
dan hipoxantin akan digunakan kembali sehingga akan terbentuk kembali
masing-masing menjadi adenosine monophosphate (AMP), inosine
monophosphate (IMP), dan guanine monophosphate (GMP) oleh adenine
phosphoribosyl transferase (APRT) dan hipoxantin guanine phosphoribosyl
transferase (HGPRT). Hanya sisanya yang akan diubah menjadi xantin dan
selanjutnya akan diubah menjadi asam urat oleh enzim xantin oksidase
(Silbernagl, 2006).
Patogenesis
Monosodium urat akan membentuk kristal ketika konsentrasinya
dalam plasma berlebih, sekitar 7,0 mg/dl. Kadar monosodium urat pada
plasma bukanlah satu-satunya faktor yang mendorong terjadinya
pembentukan kristal. Hal ini terbukti pada beberapa penderita hiperurisemia
tidak menunjukkan gejala untuk waktu yang lama sebelum serangan artritis
gout yang pertama kali. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya serangan
artritis gout pada penderita hiperurisemia belum diketahui pasti. Diduga
kelarutan asam urat dipengaruhi pH, suhu, dan ikatan antara asam urat dan
protein plasma (Busso dan So, 2010).
Kristal monosodium urat yang menumpuk akan berinteraksi dengan
fagosit melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama adalah dengan cara

53
mengaktifkan sel-sel melalui rute konvensional yakni opsonisasi dan
fagositosis serta mengeluarkan mediator inflamasi. Mekanisme kedua adalah
kristal monosodium urat berinteraksi langsung dengan membran lipid dan
protein melalui membran sel dan glikoprotein pada fagosit. Interaksi ini
mengaktivasi beberapa jalur transduksi seperti protein G, fosfolipase C dan D,
Srctyrosine-kinase, ERK1/ERK2, c-Jun N-terminal kinase, dan p38 mitogen-
activated protein kinase. Proses diatas akan menginduksi pengeluaran
interleukin (IL) pada sel monosit yang merupakan faktor penentu terjadinya
akumulasi neutrofil (Choi et al, 2005).
Pengenalan kristal monosodium urat diperantarai oleh Toll-like
receptor (TLR) 2 dan TLR 4, kedua reseptor tersebut beserta TLR protein
penyadur MyD88 mendorong terjadinya fagositosis. Selanjutnya proses
pengenalan TLR 2 dan 4 akan mengaktifkan faktor transkripsi nuclear factor-
kB dan menghasilkan berbagai macam faktor inflamasi (Cronstein dan
Terkeltaub, 2006).
Proses fagositosis kristal monosodium urat menghasilkan reactive
oxygen species (ROS) melalui NADPH oksidase. Keadaan ini mengaktifkan
NLRP3, kristal monosodium urat juga menginduksi pelepasan ATP yang
nantinya akan mengaktifkan P2X7R. Ketika P2X7R diaktifkan akan terjadi
proses pengeluaran cepat kalium dari dalam sel yang merangsang NLRP3.
Kompleks makro melekular yang disebut dengan inflamasom terdiri dari
NLRP3, ASC dan pro-caspase-1 dan CARDINAL. Semua proses diatas
nantinya akan menghasilkan IL-1α (Busso dan So, 2010).
Sel-sel yang sering diteliti pada artritis gout adalah lekosit, neutrofil,
dan makrofag (Busso dan So, 2010). Salah satu komponen utama pada
inflamasi akut adalah pengaktifan vascular endhotelial yang menyebabkan
vasodilatasi dengan peningkatan aliran darah, peningkatan permeabilitas
terhadap protein plasma dan pengumpulan lekosit ke dalam jaringan. Aktivasi
endotel akan menghasilkan molekul adhesi seperti E-selectin, intercellular

54
adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule-1
(VCAM-1) yang kemungkinan disebabkan karena adanya faktor TNF-α yang
dikeluarkan oleh sel mast (Dalbeth dan Haskard, 2005).

Neutrofil berkontribusi pada proses inflamasi melalui faktor


kemotaktik yakni sitokin dan kemokin yang berperan pada adhesi endotel dan
proses transmigrasi. Sejumlah faktor yang diketahui berperan dalam proses
artritis gout adalah IL-1α, IL-8, CXCL1, dan granulocyte stimulating-colony
factor (Busso dan So, 2010)

55
Tabel 2. Penyebab Umum Over produksi dan Ekskresi yang menurun dari asam
urat pada artritis gout

Over Produksi Eksresi Yang Menurun

 Makanan dengan kandungan • Penyakit ginjal


purin tinggi (misalnya,
• Intoksikasi
kerang, tiram, daging merah,
• Obat-obatan (misalnya diuretik,
hati, ikan teri)
siklosporin, aspirin dosis rendah,
 Alkohol pirazinamid, niasin, etambutol)
 Kekurangan enzim (misalnya,
• Asidosis metabolik (misalnya,
fosforibosiltransfer ase ketoasidosis, asidosis laktat)
hipoksantinguanin,
• Alkohol
phosphoribosyl pirofosfat)
 Obesitas
 Peningkatan pergantian sel
 Keganasan
 Psoriasis

56
Penurunan konsentrasi asam urat serum dapat mencetuskan pelepasan
kristal monosodium urat dari depositnya dalam tofus (crystals shedding). Pada
beberapa pasien gout atau yang dengan hiperurisemia asimptomatik kristal
urat ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan lutut yang sebelumnya
tidak pernah mendapat serangan akut. Dengan demikian gout dapat timbul
pada keadaan asimptomatik (Tehupeiory, 2006).
Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting pada artritis
gout. Reaksi ini merupakan reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk
menghindari kerusakan jaringan akibat agen penyebab. Tujuan dari proses
inflamasi itu adalah untuk menetralisir dan menghancurkan agen penyebab
serta mencegah perluasan agen penyebab ke jaringan yang lebih luas
(Tehupeiory, 2006). Reaksi inflamasi yang berperan dalam proses melibatkan
makrofag, neutrofil, yang nantinya menghasilkan berbagai mediator kimiawi
antara lain, TNFα, interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8, alarmin, dan
leukotrien (Neogi, 2011).
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis artritis gout terdiri dari artritis gout asimptomatik,
artritis gout akut, interkritikal gout, dan gout menahun dengan tofus. Nilai
normal asam urat serum pada pria adalah 5,1 ± 1,0 mg/dl, dan pada wanita
adalah 4,0 ± 1,0 mg/dl. Nilai-nilai ini meningkat sampai 9-10 mg/ dl pada
seseorang dengan artritis gout (Carter, 2006). Pada tahap pertama
hiperurisemia bersifat asimptomatik, kondisi ini dapat terjadi untuk beberapa
lama dan ditandai dengan penumpukan asam urat pada jaringan yang sifatnya
silent. Tingkatan hiperurisemia berkolerasi dengan terjadinya serangan artritis
gout pada tahap kedua (Sunkureddi et al, 2006).
Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul sangat
cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat
bangun pagi terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan. Biasanya
bersifat monoartikuler dengan keluhan utama berupa nyeri, bengkak, terasa

57
hangat, merah dengan gejala sistemik berupa demam, menggigil dan merasa
lelah (Tehupeiory, 2006).
Serangan artritis gout akut terjadi ditandai dengan nyeri pada sendi
yang berat dan biasanya bersifat monoartikular. Pada 50% serangan pertama
terjadi pada metatarsophalangeal1 (MTP-1) yang biasa disebut dengan
podagra. Semakin lama serangan mungkin bersifat poliartikular dan
menyerang ankles, knee, wrist, dan sendi-sendi pada tangan (Sunkureddi et
all, 2006). Serangan akut ini dilukiskan sebagai sembuh beberapa hari sampai
beberapa minggu, bila tidak terobati, rekuren yang multipel, interval antara
serangan singkat dan dapat mengenai beberapa sendi (Tehupeiory, 2006).
Ketika serangan artritis gout terjadi eritema yang luas di sekitar area sendi
yang terkena dapat terjadi. Meskipun serangan bersifat sangat nyeri biasanya
dapat sembuh sendiri dan hanya beberapa hari. Setelah serangan terdapat
interval waktu yang sifatnya asimptomatik dan disebut juga stadium
interkritikal (Sunkureddi et al, 2006).
Faktor pencetus serangan akut antara lain berupa trauma lokal, diet
tinggi purin, kelelahan fisik, stres, tindakan operasi, pemakaian obat diuretik
atau penurunan dan peningkatan asam urat. Penurunan asam urat darah secara
mendadak dengan alopurinol atau obat urikosurik dapat menimbulkan
kekambuhan (Tehupeiory, 2006).
Stadium interkritikal merupakan kelanjutan stadium akut dimana
terjadi periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinis tidak
didapatkan tanda-tanda radang akut, namun pada aspirasi sendi ditemukan
kristal urat. Hal ini menunjukkan bahwa proses peradangan tetap berlanjut,
walaupun tanpa keluhan. Keadaan ini dapat terjadi satu atau beberapa kali
pertahun, atau dapat sampai 10 tahun tanpa serangan akut. Apabila tanpa
penanganan yang baik dan pengaturan asam urat yang tidak benar, maka dapat
timbul serangan akut lebih sering yang dapat mengenai beberapa sendi dan
biasanya lebih berat (Tehupeiory, 2006). Kebanyakan orang mengalami

58
serangan artritis gout berulang dalam waktu kurang dari 1 tahun jika tidak
diobati (Carter, 2006). Segera setelah serangan akut terjadi penderita mungkin
mengalami proses yang terus berlanjut, meskipun bersifat asimptomatik
apabila terapi antiinflamasi tidak diberikan pada waktu yang cukup, yaitu
beberapa hari setelah serangan akut berhenti. Setelah itu terdapat jeda waktu
yang lama sebelum serangan berikutnya. Selama waktu ini deposit asam urat
kemungkinan meningkat secara silent (Mandell, 2008).
Stadium gout menahun ini umumnya pada pasien yang mengobati
sendiri sehingga dalam waktu lama tidak berobat secara teratur pada dokter.
Artritis gout menahun biasanya disertai tofus yang banyak dan terdapat
poliartikuler (Tehupeiory, 2006). Tofus terbentuk pada masa artritis gout
kronis akibat insolubilitas relatif asam urat. Awitan dan ukuran tofus secara
proporsional mungkin berkaitan dengan kadar asam urat serum. Bursa
olekranon, tendon achilles, permukaan ekstensor lengan bawah, bursa
infrapatelar, dan heliks telinga adalah tempat-tempat yang sering dihinggapi
tofus. Secara klinis tofus ini mungkin sulit dibedakan dengan nodul rematik.
Pada masa kini tofus jarang terlihat dan akan menghilang dengan terapi yang
tepat (Carter, 2006).
Pada tofus yang besar dapat dilakukan ekstirpasi, namun hasilnya
kurang memuaskan. Lokasi tofus yang paling sering pada cuping telinga,
MTP-1, olekranon, tendon Achilles dan jari tangan. Pada stadium ini kadang-
kadang disertai batu saluran kemih sampai penyakit ginjal menahun
(Tehupeiory, 2006). Pada artritis gout kronis yang menyerang banyak sendi
dapat menyerupai artritis reumatoid. Penderita dapat timbul tofus subkutaneus
pada area yang mengalami gesekan atau trauma. Tofus tersebut dapat serng
diduga sebagai nodul reumatoid (Mandell, 2008).
Diagnosis
Diagnosis artritis gout dilakukan sesuai dengan kriteria dari The
American College of Rheumatology (ACR) yaitu terdapat kristal urat dalam

59
cairan sendi atau tofus dan/atau bila ditemukan 6 dari 12 kriteria yaitu,
Inflamasi maksimum pada hari pertama, serangan akut lebih dari satu kali,
artritis monoartikuler, sendi yang terkena berwarna kemerahan,
pembengkakan dan nyeri pada sendi metatarsofalangeal, serangan pada sendi
metatarsofalangeal unilateral, adanya tofus, hiperurisemia, pada foto sinar-X
tampak pembengkakan sendi asimetris dan kista subkortikal tanpa erosi, dan
kultur bakteri cairan sendi negatif.
Sedangkan menurut Fauci et al (2008), diagnosis artritis gout meliputi
kriteria analisis cairan sinovial, terdapat kristal-kristal asam urat berbentuk
jarum baik di cairan eksraseluler maupun intraseluler, asam urat serum, asam
urat urin, ekskresi >800 mg/dl dalam diet normal tanpa pengaruh obat, yang
menunjukkan overproduksi, skrining untuk menemukan faktor resiko, seperti
urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hati, kadar glukosa dan lemak, dan
hitung darah lengkap, jika terbukti karena overproduksi, konsentrasi eritrosit
hypoxantine guanine phosporibosyl transferase (HGPRT) dan 5-
phosphoribosyl-1-pyrophosphate (PRPP) terbukti meningkat, foto sinar-X,
menunjukkan perubahan kistik, erosi dengan garis tepi bersklerosi pada
artritis gout kronis.
Artritis gout memiliki diagnosis banding seperti artritis septik,
psoriasis, calcium pyrophosphate deposition disease (CPPD), dan artritis
rematik. Untuk diagnosis definitif artritis gout dikonfirmasikan dengan
analisis cairan sendi dimana pada penderita artritis gout mengandung
monosodium urat yang negatif birefringent (refraktif ganda) yang juga ditelan
oleh neutrofil (dilihat dengan mikroskop sinar terpolarisasi) (Setter dan
Sonnet, 2005). Analisis cairan sinovial dan kultur sangat penting untuk
membedakan artritis septik dengan artritis gout. Artritis gout cenderung tidak
simetris dan faktor reumatoid negatif, sedangkan pada artritis rematik
cenderung terjadi simetris dan lebih dari 60% kasus memiliki faktor
reumatoid positif. Hiperurisemia juga sering terjadi pada penderita psoriasis

60
dan adanya lesi kulit membedakan kasus ini dengan artritis gout (Depkes,
2006).
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada penderita artritis gout adalah untuk
mengurangi rasa nyeri, mempertahankan fungsi sendi dan mencegah
terjadinya kelumpuhan. Terapi yang diberikan harus dipertimbangkan sesuai
dengan berat ringannya artrtitis gout (Neogi, 2011). Penatalaksanaan utama
pada penderita artritis gout meliputi edukasi pasien tentang diet, lifestyle,
medikamentosa berdasarkan kondisi obyektif penderita, dan perawatan
komorbiditas (Khanna et al, 2012).
Pengobatan artritis gout bergantung pada tahap penyakitnya.
Hiperurisemia asiptomatik biasanya tidak membutuhkan pengobatan.
Serangan akut artritis gout diobati dengan obat-obatan antiinflamasi
nonsteroid atau kolkisin. Obat-obat ini diberikan dalam dosis tinggi atau dosis
penuh untuk mengurangi peradangan akut sendi (Carter, 2006).
Beberapa lifestyle yang dianjurkan antara lain menurunkan berat
badan, mengkonsumsi makanan sehat, olahraga, menghindari merokok, dan
konsumsi air yang cukup. Modifikasi diet pada penderita obesitas diusahakan
untuk mencapai indeks masa tubuh yang ideal, namun diet yang terlalu ketat
dan diet tinggi protein atau rendah karbohidrat (diet atkins) sebaiknya
dihindari. Pada penderita artritis gout dengan riwayat batu saluran kemih
disarankan untuk mengkonsumsi 2 liter air tiap harinya dan menghindari
kondisi kekurangan cairan. Untuk latihan fisik penderita artritis gout
sebaiknya berupa latihan fisik yang ringan, karena dikhawatirkan akan
menimbulkan trauma pada sendi (Jordan et al, 2007).
Penanganan diet pada penderita artritis gout dikelompokkan menjadi
3 kelompok, yaitu avoid, limit, dan encourage. Pada penderita yang dietnya
diatur dengan baik mengalami penurunan kadar urat serum yang bermakna
(Khanna et all, 2012).

61
Tujuan terapi serangan artritis gout akut adalah menghilangkan gejala,
sendi yang sakit harus diistirahatkan dan terapi obat dilaksanakan secepat
mungkin untuk menjamin respon yang cepat dan sempurna. Ada tiga pilihan
obat untuk artritis gout akut, yaitu NSAID, kolkisin, kortikosteroid, dan
memiliki keuntungan dan kerugian. Pemilihan untuk penderita tetentu
tergantung pada beberapa faktor, termasuk waktu onset dari serangan yang
berhubungan dengan terapi awal, kontraindikasi terhadap obat karena adanya
penyakit lain, efikasi serta resiko potensial.NSAID biasanya lebih dapat
ditolerir dibanding kolkhisin dan lebih mempunyai efek yang dapat diprediksi
(Depkes, 2006)
. Untuk penderita artritis gout yang mengalami peptic ulcers ,
perdarahan atau perforasi sebaiknya mengikuti standar atau guideline
penggunaan NSAID. Kolkisin dapat menjadi alternatif namun memiliki efek
kerja yang lebih lambat dibandingkan dengan NSAID. Kortikosteroid baik
secara oral, intraartikular, intramuskular, ataupun intravena lebih efektif
diberikan pada gout monoartritis, penderita yang tidak toleran terhadap
NSAID dan penderita yang mengalami refrakter terhadap pengobatan lainnya
(Jordan et al, 2007).
Untuk mendapatkan hasil yang optimal, sebaiknya pengobatan
serangan artritis gout diobati dalam 24 jam pertama serangan, salah satu
pertimbangan pemilihan obat adalah berdasarkan tingkatan nyeri dan sendi
yang terkena. Terapi kombinasi dapat dilakukan pada kondisi akut yang berat
dan serangan artritis gout terjadi pada banyak sendi besar. Terapi kombinasi
yang dilakukan adalah kolkisin dengan NSAID, kolkisin dan kortikosteroid
oral, steroid intraartikular dan obat lainnya. Untuk kombinasi NSAID dengan
kortikosteroid sistemik tidak disarankan karena dikawatirkan menimbulkan
toksik pada saluran cerna (Khanna et al, 2012). Obat golongan NSAID yang
di-rekomendasikan sebagai lini pertama pada kondisi artritis gout akut adalah
indometasin, naproxen, dan sulindak. Ketiga obat tersebut dapat menimbulkan

62
efek samping serius pada saluran cerna, ginjal, dan perdarahan saluran cerna.
Obat golongan cyclooxigenase 2 inhibitor (COX 2 inhibitor) seperti celecoxib
merupakan pilihan pada penderita artritis gout dengan masalah pada saluran
cerna (Cronstein dan Terkeltaub, 2006).
Tabel 3. Contoh Obat NSAID

Nama Obat Rute Pemberian Dosis

 Aspirin Oral 4-6 gram/hari


 Indometasin
Oral 2-4kali 25 mg/hari
 Piroksikam
Oral 10-20 mg/hari
 Ibuprofen
Oral 1200-2400 mg/hari
 Asam mefenamat
750-1500 mg/hari
 Meloksikam Oral 7,5-15 mg/hari
 Natrium diklofenak Oral 100-150 mg/hari

63
Kolkisin oral merupakan salah satu obat pilihan utama ketika terjadi
serangan gout artritis akut, akan tetapi pemberian obat ini tidak dianjurkan
pada penderita yang onset serangannya telah lebih dari 36 jam. Pemberian
kolkisin dimulai dengan loading dosis sebesar 1,2 mg dan diikuti dengan 0,6
mg satu jam kemudian sebagai profilaksis diberikan 12 jam kemudian dan
dilanjutkan sampai serangan artritis gout akut berhenti dan dosis maksimal
kolkisin 2 mg per hari (Khanna et al, 2012).
Pemilihan kortikosteroid sebagai terapi inisial serangan gout artritis
akut direkomendasikan untuk mempertimbangkan jumlah sendi yang
terserang. Satu atau dua sendi kecil yang terserang sebaiknya menggunakan
kortikosteroid oral, namun jika sendi yang terserang adalah sendi besar,
disarankan pemberian kortikosteroid intraartikular. Kortikosteroid oral dapat
diberikan seperti prednison 0,5 mg/kg/hari dengan lama pemberian 5 sampai
10 hari atau2 sampai 5 hari dengan dosis penuh kemudian ditappering off
selama 7 sampai 10 hari (Khanna et al, 2012). Didapatkannya peran NLRP3
inflamasom yang mana menghasilkan IL-1â diasumsikan sitokin ini dapat
menjadi target terapi untuk keadaan inflamasi artritis gout. IL-1 inhibitor,
rilonacept juga menunjukkan keefektifan dalam menekan artritis gout akut
dan kadar C reactive protein (Baker dan Schumacher, 2010).
Indikasi terapi hiperurisemia adalah tofus, gambaran radiografik
adanya erosi akibat gout, nefrolitiasis karena asam urat, nefropati urat,
profilaksis untuk kemoterapi yang menginduksi artritis gout, dan penderita
kambuhan yang mengganggu kualitas hidup (Wesselman, 2005). Target terapi
pada artritis gout adalah untuk mengurangi keluhan dan gejala dimana kadar
asam urat yang dituju adalah sekurang-kurangnya <6 mg/dl atau <5 mg/dl.
Obat golongan xantin oksidase inhibitor seperti alopurinol dan
febuxostat direkomendasikan sebagai lini pertama untuk pengobatan
atau urate lowering therapy (ULT) pada penderita artritis gout(Terkeltaub,

64
2009). Dosis awal alopurinol yang diberikan sebaiknya tidak lebih dari 100
mg perhari dan dosis ini dikurangi apabila didapatkan CKD, namun dosis
pemeliharaan dapat mencapai 300 mg perhari walaupun menderita CKD.
Direkomendasikan untuk meningkatkan dosis pemeliharaan alopurinol tiap 2
sampai 5 minggu untuk mendapatkan dosis yang efektif bagi penderita artritis
gout, untuk itu perlu dilakukan monitor kadar asam urat tiap 2 sampai 5
minggu selama titrasi alopurinol (Khanna et al, 2012).
Febuxostat merupakan obat golongan xantin oksidase inhibitor yang
direkomendasikan sebagai terapi hiperurisemia pada penderita artritis gout
yang memiliki kontraindikasi ataupun intoleransi terhadap alopurinol (NICE,
2008). Febuxostat memiliki struktur yang berbeda dengan alopurinol, bersifat
lebih poten terhadap xantin oksidase dan tidak memiliki efek terhadap enzim
lain pada metabolisme purin dan pirimidin. Dosis yang disarankan adalah 80
mg perhari, dan dapat ditingkatkan 120 mg perhari bila target kadar asam urat
tidak tercapai setelah 2 sampai 4 minggu (Edwards, 2009).
Obat lain yang diberikan pada artritis gout adalah probenesid, obat
golongan urikosurik ini diberikan sebagai alternatif lini pertama pengobatan
apabila didapatkan kontraindikasi terhadap obat golongan xantin oksidase
inhibitor. Dosis yang diberikan pada orang dewasa yakni 500 mg, diberikan 2
kali perhari dan dosis maksimal 2 gram perhari. Namun obat ini tidak dapat
diberikan pada penderita yang mengalami penurunan fungsi ginjal dan riwayat
batu saluran kemih (Khanna et al, 2012).
Komplikasi
Menurut Rotschild (2013), komplikasi dari artritis gout meliputi
severe degenerative arthritis, infeksi sekunder, batu ginjal dan fraktur pada
sendi. Sitokin, kemokin, protease, dan oksidan yang berperan dalam proses
inflamasi akut juga berperan pada proses inflamasi kronis sehingga
menyebabkan sinovitis kronis, dekstruksi kartilago, dan erosi tulang. Kristal
monosodium urat dapat mengaktifkan kondrosit untuk mengeluarkan IL-1,

65
merangsang sintesis nitric oxide dan matriks metaloproteinase yang nantinya
menyebabkan dekstruksi kartilago. Kristal monosodium urat mengaktivasi
osteoblas sehingga mengeluarkan sitokin dan menurunkan fungsi anabolik yang
nantinya berkontribusi terhadap kerusakan juxta artikular tulang (Choi et al, 2005).
Artritis gout telah lama diasosiasikan dengan peningkatan resiko terjadinya
batu ginjal. Penderita dengan artritis gout membentuk batu ginjal karena urin
memilki pH rendah yang mendukung terjadinya asam urat yang tidak terlarut
(Liebman et al, 2007). Terdapat tiga hal yang signifikan kelainan pada urin yang
digambarkan pada penderita dengan uric acid nephrolithiasis yaitu hiperurikosuria
(disebabkan karena peningkatan kandungan asam urat dalam urin), rendahnya pH
(yang mana menurunkan kelarutan asam urat), dan rendahnya volume urin
(menyebabkan peningkatan konsentrasi asam urat pada urin) (Sakhaee dan
Maalouf, 2008).
Prognosis
Prognosis artritis gout dapat dianggap sebuah sistem bukan penyakit
sendiri. Dengan kata lain prognosis penyakit artritis gout merupakan
prognosis penyakit yang menyertainya (Tehupeiroy, 2003). Artritis gout
sering dikaitkan dengan morbiditas yang cukup besar, dengan episode
serangan akut yang sering menyebabkan penderita cacat. Namun, artritis gout
yang diterapi lebih dini dan benar akan membawa prognosis yang baik jika
kepatuhan penderita terhadap pengobatan juga baik (Rothschild, 2013).
Jarang artritis gout sendiri yang menyebabkan kematian atau fatalitas
pada penderitanya. Sebaliknya, artritis gout sering terkait dengan beberapa
penyakit yang berbahaya dengan angka mortalitas yang cukup tinggi seperti
hipertensi, dislipidemia, penyakit ginjal, dan obesitas. Penyakit-penyakit ini
bisa muncul sebagai komplikasi maupun komorbid dengan kejadian artritis
gout (Tehupeiroy, 2003).
Dengan terapi yang dini, artritis gout dapat dikontrol dengan baik.
Jika serangan artritis gout kembali, pengaturan kembali kadar asam urat

66
(membutuhkan urate lowering therapy dalam jangka panjang) dapat
mempengaruhi aktivitas kehidupan penderita. Selama 6 sampai 24 bulan
pertama terapit artritis gout, serangan akut akan sering terjadi (Schumacher et
al, 2007). Luka kronis pada kartilago intraartikular dapat mengakibatkan sendi
lebih mudah terserang infeksi. Tofus yang mengering dapat menjadi infeksi
karena penumpukan bakteri. Tofus artritis gout kronis yang tidak diobati
dapat mengakibatkan kerusakan pada sendi. Deposit dari kristal monosodium
urat di ginjal dapat mengakibatkan inflamasi dan fibrosis, dan menurunkan
fungsi ginjal (Rothschild, 2013).
Pada tahun 2010, artritis gout diasosiasikan sebagai penyebab utama
kematian akibat penyakit kardiovaskuler. Analisis 1383 kematian dari 61527
penduduk Taiwan menunjukkan bahwa individu dengan artritis gout
dibandingkan dengan individu yang memiliki kadar asam urat normal, hazard
ratio (HR) dari semua penyebab kematian adalah 1,46 dan HR dari kematian
karena penyakit kardiovaskuler adalah 1,97. Sedangkan individu dengan
artritis gout, HR dari semua penyebab kematian adalah 1,07, dan HR dari
kematian karena penyakit kardiovaskuler adalah 1,08 (Kuo et al, 2010).

67
B. Data dan Pembahasan Kasus

 KASUS 1

Gambar. 3 kasus resep 1

68
Obat yang tertulis pada resep yaitu: Furosemid 40 mg; Digoxin 0,25
mg; Feburic 80 mg; Natrium BIcarbonas, Arcoxia 90 mg; Gentamicyn salep.
Pada resep obat yang digunakan untuk menangani kasus Arthritis Gout Yaitu
Feburic tablet yang mengandung zat aktif Febuxostat dan digunakan
untuk mengobati gout, suatu keadaan yang berhubungan dengan
kelebihan asam urat di dalam tubuh. Pada beberapa orang, peningkatan
kadar asam urat dalam darah dan dapat terlalu tinggi untuk larut. Ketika
hal ini terjadi, Kristal urat dapat terbentuk pada dan sekitar sendi dan
ginjal. Kristal tersebut dapat menyebabkan sakit yang tiba-tiba, sangat
nyeri, kemerahan, panas, dan bengkak pada sendi (dikenal sebagai
serangan gout). Apabila tidak diobati, dapat menyebabkan timbunan
tophi (deposit asam urat) yang besar pada dan disekitar sendi. Tophi ini
dapat menyebabkan kerusakan sendi dan tulang. Tingkat asam urat yang
tinggi dapat menyebabkan batu ginjal. Batu ginjal dapat menyebabkan
nyeri dan kerusakan saluran kemih.
Feburic bekerja dengan mengurangi kadar asam urat. Dengan
menggunakan feburic sehari sekali dapat mempertahankan kadar asam
urat rendah sehingga pembentukan Kristal dapat berhenti., dan seiring
dengan berjalannya waktudapat mengurangi gejala. Dengan
mempertahankan kadar asam urat yang cukup rendahdalam jangka
waktu yang lamadapat mengecilkan ukuran tophi.

 Dosis
80 mg diberikan 1 kali/hari.
- Jika kadar asam urat >6 mg/dL setelah 2-4 minggu:  Dosis 120 mg
diberikan 1 kali/hari.
- Pasien dengan gangguan hati ringan: Dosis 80 mg.
 Efek Samping

69
Diare, sakit kepala, ruam, mual, reaksi anafilaksis, ketidak normalan
hasil tes fungsi hati, peningkatan gejala gout, pembengkakan pada
bagian tertentu dikarenakan penumpukan cairanpada jaringan (udem)
 Kontra indikasi
Hipersensitivitas
 Interaksi obat
Jangan digunakan bersamaan dengan obat Mercaptopurine / azathioprine,
NSAID, probenecid, antasida yang mengandung magnesium dan
aluminium hidroksida.
Pada resep juga terdapat penambahan obat Arcoxia tablet 90 mg yang
mengandung Eterocoxib, dimana obat tersebut digunakan sebagai
Mengurangi nyeri dan bengkak pada sendi dan otot penderita osteoarthritis,
rematik, ankylosing spondylitis, dan asam urat,eterocoxib adalah kelompok obat
penghambat COX- 2 selektif yang termasuk golongan NSAID.

 Dosis
OA, nyeri muskuloskeletal kronis. Max: 60 mg satu kali sehari.
Nyeri akut yang terkait dengan operasi gigi / Max: 120 mg sekali sehari.
Insufisiensi hati ringan: Max: 60 mg sekali sehari.
Insufisiensi hati moderat: Max 60 mg sekali setiap hari.
 Efek samping
Astenia, rasa lelah, pusing, edema ekstremitas bawah, hipertensi, dispepsia, rasa panas
pada ulu hati, mual, sakit kepala, peningkatan ALT/AST.
 Kontra indikasi

Hipersensitivitas, penyakit radang usus, ulkus aktif atau perdarahan, Gagal


hati, jantung iskemik, Tekanan darah tinggi tidak terkendali, Rinitis akut,
Polip hidung, Urtikaria atau reaksi alergi, laktasi

Berdasarkan interaksi obat Feburic yang tidak diperbolehkan


bersamaan dengan obat golongan NSAID maka waktu minum obat arcoxia
tidak boleh bersamaan dengan waktu penggunaan Febiric, dan butuh
monitoring. (medscab)

Selain itu, dari 6 obat yang diresepkan oleh dokter, terdapat interaksi
obat antara furosemide dan digoxin. Furosemide dapat menurunkan kadar

70
kalium di dalam darah yang menyebabkan kejadian hypokalemia. Sehingga
penggunaannnya tidak boleh bersamaan dan perlu adanya monitoring
penggunaan.

 KASUS 2

Gambar. 4 kasus resep 2

71
Obat yang tertulis pada resep yaitu : V-Block 6,25 mg; Candesartan 16 mg;
Clopidogrel 75 mg; NIfedipin SR 30 mg, Allopurinol 100 mg. Pada resep obat yang
digunakan untuk menangani Arthritis Gout yaitu Allopurinol 100 mg. Allopurinol
100 mg adalah obat generik yang digunakan untuk menurunkan kadar asam urat
dalam darah. Obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim xanthine oksidase
sehingga menghambat pembentukan asam urat dan juga dapat menghambat sintesis
purin. Enzim xanthine oksidase adalah enzim yang bertanggung jawab untuk oksidasi
suatu zat alami dalam tubuh bernama hypoxanthine untuk menjadi xanthine, dan
kemudian menjadi asam urat. Obat ini digunakan untuk pencegahan serangan gout
kronis, mengobati sindrom lisis tumor dalam kemoterapi yang menyebabkan
terjadinya hyperuricemia akut berat, mengobati batu ginjal dengan komponen asam
urat dan kalsium oksalat (nefrolitiasis asam urat).

 Dosis
Dosis awal 100 -300 mg/hari.
Kondisi sedang: 300 - 600 mg/hari.
Kondisi berat: 700 - 900 mg/hari.
Dosis tunggal maksimum 300 mg.
 Efek samping
Mengantuk
Mual
Sakit perut
Diare
Nyeri sendi
Kelelahan dan meriang.
Sulit menelan, tidak nafsu makan, dan penurunan berat badan.
Perut bagian kanan atas terasa nyeri.
Kulit dan bagian putih mata berwarna kekuningan.

 Kontra Indikasi
Hipersensitif terhadap Allopurinol. Serangan asam urat akut.
 Interaksi Allopurinol dengan Obat Lain
Meningkatkan efek samping warfarin, teofilin, ciclosporin, dan
cyclophosphamide.
Meningkatkan efek samping allopurinol bila digunakan dengan ampisilin atau
amoxicillin.

72
Meningkatkan efek samping allopurinol, bila digunakan bersama obat diuretic
golongan thiazide, seperti hydroclorothiazide..
Mengurangi efektivitas methotrexate.
Dari 5 obat yang diresepkan dokter terdapat interaksi obat antara pemberian
V-Block 6,25 mg dengan Candesartan 16 mg, dan interaksi pada pemberian V-
Block dengan Nifedipin. Pada pemberian V- Block 6,25 mg dan Candesartan
16mg secara bersamaan dapat meningkatkan kadar kalium dalam darah, sehingga
menyebabkan hyperkalemia. Selain itu, pemberian kedua obat tersebut dapat
menyebabkan risiko gangguan janin jika diberikan selama kehamilan. Pada
pemberian V- Block dan Nifedipin 30 mg secara bersamaan perlu diperhatikan
kadar tekanan darah pasien, karena keduanya merupakan obat anti Hipertensi.
(medscab)

73
 KASUS 3

Gambar. 5 kasus resep 3

74
Obat yang tertulis pada resep yaitu : Glimepirid 2 mg; Metformin 500 mg;
Adalat Oros 30 mg; Allopurinol 100 mg. obat yang digunakan sebagai arthritis gout
pada kasus 3 ini sama dengan pada kasus 2 yaitu Allopurinol 100 mg. dari
penggunaan ke empat obat dalam resep secara bersamaan, terjadi interaksi antara
Nifedipin/ Adalat Oros 30 mg dengan metformin. Adalat oros dapat meningkatkan
efek dari metformin sebagai pengobatan anti diabetes sehingga meningkatkan resiko
hipoglikemia pada pasien. Butuh dilakukan monitoring dosis dan monitoring terapi
(medscab).

75
 KASUS 4

Gambar. 6 kasus resep 4

obat yang tertulis pada resep yaitu: Candesartan 8 mg; Bisoprolol 2,5 mg;
Allopurinol 100 mg. pada kasus 4 yang digunakan sebagai terapi arthritis Gout yaitu

76
Allopurinol 100 mg seperti pada kasus 2 dan kasus 3. Namun pada resep 4 ini, selain
pasien menderita arthritis Gout, pasien juga menderita penyakit kronis hipertensi
dengan penggunaan Candesartan 8 mg dan Bisoprolol 2,5 mg. dengan penggunaan ke
tiga obat secara bersamaan terjadi interaksi antara penggunaan obat Candesartan 8 mg
dan Bisoprolol 2,5 mg. kedua obat tersebut memiliki fungsi sebgai anti hipertensi,
sehingga apabila digunakan bersamaan perlu waktu minum obat yang berbeda dengan
penggunaan keduanya secara bersamaan dapat meningkatkan kadar serum kalium
sehingga menyebabkan hiperkalemia. risiko gangguan janin juga bisa terjadi jika
diberikan selama kehamilan (medscab)

77
 KASUS 5

Gambar. 7 kasus resep 5

78
Obat yang terdapat pada kasus 5 yaitu : Allopurinol 100mg, Bisoprolol 5 mg, dan
Valsartan 80 mg. obat yang digunakan untuk kasus Arthritis Gout yaitu sama dengan
kasus sebelumnya yaitu Allopurinol 100 mg. allopurinol 100 mg lebih di kenal di
masyarakat luas karena biayanya yang relative terjangkau di masyarakat luas, dan
biasanya penggunaan allopurinol dilakukan untuk waktu jangka panjang agar bisa
mendapatkan manfaat yang efektif, yaitu sekitar dua hingga tiga bulan. Oleh karena
itu, penting bagi Anda untuk mengonsumsi allopurinol setiap hari sesuai dengan
jangka waktu yang telah ditentukan oleh dokter.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, sebaiknya pengobatan dengan
menggunakan allopurinol diseimbangkan dengan gaya hidup sehat. Misalnya, dengan
mengonsumsi makanan yang sehat dan bergizi, menghindari minuman yang
mengandung alkohol dan kadar gula yang tinggi, serta berusaha untuk menjaga berat
badan sehat.
Dari penggunaan ketiga resep tersebut secara bersamaan, terdapat interaksi antara
penggunaan obat hipertensi Bisoprolol 5 mg dan Valsartan 80 mg. dimana apabila
kedua obat digunakan secara bersamaan perlu waktu minum obat yang berbeda.
Dengan penggunaan keduanya secara bersamaan dapat meningkatkan kadar serum
kalium sehingga menyebabkan hiperkalemia. risiko gangguan janin juga bisa terjadi
jika diberikan selama kehamilan (medscab)

C. Kesimpulan Kasus
Artritis gout merupakan gangguan metabolik yang pertama kali dijabarkan oleh
Hippocrates pada masa Yunani kuno. Artritis gout dapat primer (akibat langsung over
produksi atau penurunan ekskresi asam urat) atau sekunder (terjadi bila overproduksi
atau penurunan eskresi asam urat merupakan akibat proses penyakit lain,obat-obatan,
atau konsumsi purin. Kristal monosodium urat monohidrat terbentuk dalam sendi dan
jaringan sekitar serta berperan pada reaksi radang akut yang berkembang,
menyebabkan nyeri berat. Faktor resiko dari penyakit artritis gout adalah: 1) usia diatas
40 tahun dan jenis kelamin yang lebih dominan pada pria, 2) medikasi seperti penggunaan

79
obat diuretik, 3) obesitas, 4) konsumsi purin dan alkohol. Terdapat 4 stadium perkembangan
klinis artritis gout, yaitu hiperurisemia asimtomatik, artritis gout akut, stadium interkritikal,
dan stadium artritis gout kronis. Artritis gout menyerang terutama pada pria dewasa usia 40
tahun keatas dan pada wanita postmenopause. Pengobatan artritis gout tergantung pada
stadium. Hiperurisemia asimtomatik biasanya tidak memerlukan pengobatan, sedang artritis
gout akut dapat diobati dengan analgesik, NSAID, glukokortikoid sistemik dan artikular. Jika
tidak tertangani dengan baik, maka dapat mengakibatkan komplikasi seperti severe
degenerative arthritis, infeksi sekunder, batu ginjal dan fraktur pada sendi. Prognosis artritis
gout baik jika terapi dilakukan lebih dini dan dilakukan dengan cara yang tepat.
Obat- obatan yang paling umum digunakan masyarakat dalam mengatasi Artritis
gout yaitu Allopurinol, selain harganya yang relative terjangkau pengobatan Artritis
gout juga membutuhkan jangka waktu panjang agar bisa mendapatkan manfaat yang
efektif, yaitu sekitar dua hingga tiga bulan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal,
sebaiknya pengobatan dengan menggunakan allopurinol diseimbangkan dengan gaya
hidup sehat. Misalnya, dengan mengonsumsi makanan yang sehat dan bergizi,
menghindari minuman yang mengandung alkohol dan kadar gula yang tinggi, serta
berusaha untuk menjaga berat badan sehat. Selain dengan menggunakan Allopurinol
masyarakat juga mengunakan Febuxostat dan digunakan untuk mengobati gout, suatu
keadaan yang berhubungan dengan kelebihan asam urat tdi dalam tubuh. Pada
beberapa orang, peningkatan kadar asam urat dalam darah dan dapat terlalu tinggi
untuk larut. Ketika hal ini terjadi, Kristal urat dapat terbentuk pada dan sekitar sendi
dan ginjal. Kristal tersebut dapat menyebabkan sakit yang tiba-tiba, sangat nyeri,
kemerahan, panas, dan bengkak pada sendi (dikenal sebagai serangan gout). Apabila
tidak diobati, dapat menyebabkan timbunan tophi (deposit asam urat) yang besar pada
ginjal dan disekitar sendi.

80
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pelaksanaan Praktik Kerja Profesi Apoteker yang
dilaksanakan di Apotek Kimia Farma 36 Ijen Malang, maka penulis dapat membuat
kesimpulan beberapa hal, yaitu:

1. Mahasiswa dapat memahami pelayanan kefarmasian yaitu pelayanan obat


dengan resep dokter, pelayanan obat non resep (UPDS), dan pelayanan swalayan
farmasi.
2. Mahasiswa dapat memahami optimalisasi penggunaan obat yaitu dengan cara
melihat frekuensi pemberian, durasi terapi dan cara pemberian.
3. Mahasiswa dapat memahami pengelolaan perbekalan farmasi meliputi
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pencatatan
dan pelaporan serta pengendalian.
4. Mahasiswa dapat memahami peraturan perundangan dan kode etik yang
dilakukan oleh seorang apoteker serta memahami tentang peran dan fungsi
apoteker yaitu pengelolaan sediaan farmasi dan SDM.
5. Mahasiswa dapat memahami dan menyusun busnis plan untuk membuat suatu
usaha apotek.

81
B. Saran

1. Meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian dengan adanya konseling antara


Apoteker dengan pasien.
2. Diperlukan ruang peracikan yang lebih lebar dan luas agar pelaksanaan peracikan
obat lebih mudah dan lebih cepat.
3. Diperlukan papan informasi,brosur atau leaflet yang bisa mempermudah pasien
dalam mengetahui informasi mengenai obat.

82
DAFTAR PUSTAKA

Baker JF, Schumacher R 2010, Update on Gout and Hyperuricemia, International


Journal Clinical Practice, Vol. 64, No. 3, pp.371-377
Busso N, So A 2010, Mechanisms of Inflammation in Gout, Arthritis Research and
Therapy, diakses 15 September 2020,
Carter, MA 2006, Gout dalam Patofosiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
EGC, Jakarta pp. 1402-1405
Choi et al. 2005, Pathogenesis of Gout, American College of Physicians, pp. 499-516
Chen et al. 2013, Impact of Obesity and Hypertriglyceridemia on Gout Development
With or Without Hyperuricemia: A Prospective Study, Arthritis Care
and Research, Vol. 65, No. 1, pp. 133-140
Cronstein BN, Terkeltaub R 2006, The Inflammatory Process of Gout and Its
Treatment, Arthritis Research and Therapy,
http://arthritisresearch.com/content/8/S1/S3
Doherty, M 2009, New Insights Into The Epidemiology of Gout, Oxford Journals, pp.
ii2-ii8
Dipiro Joseph T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, L.M. Posey.
2011. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Eight Edition, p
621-627. McGraw Medical Hill. New York.

Edwards, NL 2009, Febuxostat: A New Treatment for Hyperuricemia in Gout, Oxford


Journals, pp. ii15-119

Fauci et al. 2008, Gout, Pseudogout, and Related Disease in Harrisons’s Manual of
Medicine 17th Edition, The McGraw Hill Companies, USA pp. 903-904

Hidayat, R 2009, Gout dan Hiperurisemia, Medicinus, Vol. 22, No. 1, Divisi
Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta

83
Khanna et al. 2012, Guidelines for Management of Gout. Part 1: Systematic
Nonpharmacologic and Pharmacologic Therapeutic Approaches to
Hyperuricemia, American College of Rheumatology, Vol. 64, No. 10,
pp. 1431- 1446

Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia untuk Kalangan MedisVolume 49


2014/2015.

Peraturan Menteri Kesehatan republik Indonesia. (2016). Tentang Standar


Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. : Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.

Kementrian Kesehatan republik Indonesia. (1981). Keputusan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia No.280 th 1981 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pengelolaan Apotek. Jakarta : Kementrian Kesehatan republik
Indonesia.
Kementrian Kesehatan republik Indonesia.(1993). Peraturan Menteri Kesehatan No.
922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian
Izin Apotek.Jakarta : Kementrian Kesehatan republik Indonesia.
Kementrian Kesehatan republik Indonesia. (2002). Permenkes RI NO
1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 922/Menkes/per/X/1993 tentang Ketentuan Dan
Tata Cara Pemberian Izin Apotek.Jakarta : Kementrian Kesehatan
republik Indonesia.
Kementrian Kesehatan republik Indonesia.(2004). Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta :Kementrian Kesehatan
republik Indonesia.

Kementrian Kesehatan republik Indonesia.(2011). Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia No. 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi,

84
Izin Praktek, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.Jakarta : Lembar
Negara Republik Indonesia.

Kementrian Kesehatan republik Indonesia. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia No1197/MenKes/SK/X/2004tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta : Kementrian Kesehatan
republik Indonesia.

Kementrian Kesehatan republik Indonesia.(2014). Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian. Jakarta Kementrian Kesehatan republik Indonesia.

Kemenkes RI. 2015. Profil kesehatan Indonesia 2014. Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia. Jakarta.

Mashuda, A., editor. (2011). Pedoman cara pelayanan kefarmasian yang baik
(CPFB)/ Good Pharmacy Practice (GPP). Jakarta : Kerjasama Direktorat
Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementrian Kesehatan
republik Indonesia dan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia.

http://medscab

MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi untuk Kalangan MedisEdisi 11 2011/2012.

Pemerintah Republik Indonesia.(1980). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan atas PP No. 26 tahun 1965 tentang
Apotek.Jakarta : Lembar Negara Republik Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia.(2009). Undang-undang Republik Indonesia No. 36
tahun 2009 tentang Kesehatan.Jakarta : Lembar Negara Republik
Indonesia.

85
Pemerintah Republik Indonesia.(2009). Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009
tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta : Lembar Negara Republik
Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia. (2017). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 tentang Standart Pelayanan Kefarmasian
di Apotek. Jakarta : Lembar Negara Republik Indonesia.
Roddy, E dan Doherty, M 2010, Epidemiology of Gout, Arthritis Research and
Therap, http://arthritisresearch.com/content/12/6/223

Saag KG, Choi H 2006, Epidemiology, Risk Factors and Lifestyle Modifications for
Gout, Arthritis Research and Therapy,
http://arthritisresearch.com/content/8/S1/S2

Zhu et al 2011, Prevalence of Gout and Hyperuricemia in the US General


Population, American College of Rheumatology, pp. 3136

86
LAMPIRAN

87
Lampiran 1. Surat Pesanan Narkotik

88
Lampiran 2. Surat Pesanan Psikotropik

89
Lampiran 3. Surat Pesanan Prekusor

90
Lampiran 4. Surat Pesanan Obat Obat Tertentu

91
Lampiran 5. Nota Penyerahan

92
Lampiran 6. Surat Pesanan Obat Bebas

93
Lampiran. 7 Layanan Obat Swamedikasi

94
Lampiran 8. Kartu Stok Manual

95
Lampiran 9. Kwitansi

96
Lampiran 10. Copy Resep

97
Lampiran 11. Etiket

98
99

Anda mungkin juga menyukai