Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS RADIOLOGI

“Seorang pria dengan Stroke Hemoragik”

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi
di RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG
HALAMAN JUDUL

Disusun oleh :

Rizal Hanjani Putra


30101407310

Pembimbing :
dr. Luh Putu Endyah Santi M., Sp. Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas karunia dan rahmat yang
diberikan, sehingga penulisan laporan kasus yang berjudul “Seorang laki-laki dengan Stroke
perdarahan” dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik Radiologi sebagai syarat
kelulusan dapat terselesaikan tanpa hambatan dan rintangan yang berarti.

Penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini tidak lepas
dari bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua dan keluarga atas bantuan dan pengertiannya
selama penulisan karya tulis ini serta yang terhormat:

1. dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad

2. dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp. Rad(K)

3. dr. Oktina Rachmi Dachliana, Sp. Rad

4. Seluruh staff instalasi radiologi RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang

5. Rekan-rekan anggota kepanitraan klinik ilmu Radiologi

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari kata sempurna , oleh karena itu kritik
dan saran bersifat membangun dan berbagai pihak sangat penulis harapkan . Akhir kata,
Semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan segala pihak yang
telah membantu. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun
pembaca.

Semarang, Mei 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB I PENDAHULUAN 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4


II.1 Anatomi Otak 4
II.2 Definisi Stroke 6
II.3 Epidemiologi Stroke 7
II.4 Klasifikasi Stroke 7
II.4.1 Stroke Non Hemoragik 7
II.4.1.1 Gejala Stroke Non Hemoragik 8
II.4.2 Stroke Hemoragik 10
II.4.2.1 Gejala Stroke Hemoragik 11
II.5 Patofisiologi Stroke 12
II.6 Diagnosis Stroke 13
II.7 Pencegahan Stroke 13
II.7.1 Pencegahan Premordial 13
II.7.2 Pencegahan Primer 13
II.7.3 Pencegahan Sekunder 13
II.7.4 Pencegahan Tertier 13
II.8 Penatalaksanaan Stroke 13
II.9 Komplikasi Stroke 14
II.10 Prognosis 14

BAB III Laporan Kasus


BAB IV PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit stroke sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang utama baik di
negara maju maupun di negara berkembang, karena disamping menyebabkan angka kematian
yang tinggi, stroke juga sebagai penyebab kecacatan yang utama. Di Amerika Serikat, stroke
menjadi penyebab kematian yang ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. Diperkirakan ada
700.000 kasus stroke di Amerika Serikat setiap tahunnya, dan 200.000 diantaranya dengan
serangan berulang. Menurut WHO, ada 15 juta populasi terserang stroke setiap tahun di seluruh
dunia dan terbanyak adalah usia tua dengan kematian rata-rata setiap 10 tahun antara 55 dan 85
tahun.1 Berdasarkan data dari Balitbangkes, terjadi peningkatan prevalensi stroke dari 8,3 per
1.000 pada Riskesdas 2007 menjadi 12,1 per 100 pada Riskesdas 2013 (Untuk stroke responden
usia 15 tahun ke atas), dimana untuk kelompok umur 21-30 tahun (0,74%), 31-40 (4,5%), 41-50
tahun (18,5%), 51-60 tahun (33,8%) dan > 60 tahun (42,1%).2

Dalam beberapa dekade terakhir, metode neuroimaging telah terbukti baik untuk
meningkatkan penanganan untuk stroke. Tomografi yang terkomputerisasi (CT Scan) dan MRI
(magnetic resonance imaging) telah secara rutin digunakan untuk membedakan antara perdarahan
intraserebral atau kontraindikasi lain dari trombolisis, untuk mendeteksi penyakit lain yang
bergejala sama seperti stroke dan untuk memperkirakan waktu kejadian dari terjadinya stroke.
Dengan ketersediaan yang cepat dan metode imaging yang semakin modern, diharapkan dapat
membuat deteksi dan penatalaksanaan terhadap stroke menjadi lebih baik lagi di masa depan.3

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Anatomi Otak

Menurut American Heart Association (AHA) dalam Family Guide to Stroke, otak adalah
organ manusia yang kompleks. Setiap area dari otak mempunyai fungs khusus. Otak merupakan
organ tubuh yang ikut berpartisipasi pada semua kegiatan tubuh, yang dapat berupa bergerak,
merasa, berfikir, berbicara, emosi, mengenang, berkhayal, membaca, menulis, berhitung, melihat,
mendengar, dan lain-lain. Bila bagian-bagian dari otak ini terganggu, misalnya suplai darah
berkurang, maka tugasnya pun dapat terganggu.4,5

Otak membutuhkan banyak oksigen. Berat otak hanya 2,5% dari berat badan seluruhnya,
namun oksigen yang dibutuhkan hampir mencapai 20% dari kebutuhan badan seluruhnya.
Oksigen ini diperoleh dari darah. Pada keadaan normal, darah yang mengalir ke otak (CBF =
cerebro blood flow) adalah 50-60 ml/100 g otak/menit. Ada 3 selaput yang melapisi otak, yaitu
duramater, araknoid dan pia mater.4

Gambar 1.1 Selaput Otak4

Suplai darah ke otak melalui dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis (kanan dan kiri) dan
arteri karotis interna (kanan dan kiri). Arteri vertebralis menyuplai darah ke area belakang dan
area bawah dari otak, sampai di tempurung kepala dan arteri karotis interna menyuplai darah ke
area depan dan area atas otak.6

5
Gambar 1.2 Aliran darah arteri yang menuju otak6

Cabang-cabang dari arteri vertebralis dan arteri karotis interna bersatu membentuk sirkulus
willisi. Sistem ini memungkinkan pembagian darah di dalam kepala untuk mengimbangi setiap
gerakan leher jika aliran darah dalam salah satu pembuluh nadi leher mengalami kegagalan.6

Gambar 1.3 Sirkulus Wilisi6

Ada dua hemisfer serebri (belahan otak), yaitu hemisfer serebri sinistra (kiri) dan hemisfer
serebri dextra (kanan). Hemisfer serebri sinistra (kiri) berfungsi dalam mengendalikan gerakan
sisi kanan tubuh, seperti berbicara, berhitung dan menulis, sedangkan hemisfer serebri dextra
(kanan) berfungsi dalam mengendalikan gerakan sisi kiri tubuh, seperti perasaan, kemampuan
seni, keterampilan dan orientasi.6 Selain itu otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai

6
pusat sensibilitas, sebagai area broca atau pusat bicara motorik, sebagai area Wernicke atau pusat
bicara sensoris, sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang berfungsi sebagai pusat
koordinasi serta batang otak yang merupakan tempat jalan serabut-serabut saraf ke target organ.7

Gambar 1.4 Bagian Otak dan Fungsi Otak7

Jika terjadi kerusakan gangguan otak maka akan mengakibatkan kelumpuhan pada
anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan dalam pengaturan nafas dan tekanan darah.
Gejala di atas biasanya terjadi karena adanya serangan stroke.7

II.2 Definisi Stroke

Berdasarkan defenisi WHO (World Health Organization) stroke adalah gangguan fungsi
serebral yang terjadi baik fokal maupun global yang terjadi mendadak dan cepat, berlangsung
lebih dari 24 jam atau meninggal disebabkan oleh gangguan pembuluh darah.8 Stroke adalah
hilangnya sebagian fungsi otak yang terjadi secara mendadak atau tiba-tiba akibat dari sumbatan
atau pecahnya pembuluh darah otak. Tanpa oksigen dan nutrisi penting yang dialirkan bersama
dengan darah, sel otak akan rusak atau mati dalam beberapa menit.9 Stroke atau gangguan aliran
darah di otak disebut juga sebagai serangan otak (brain attack), merupakan penyebab cacat
(disabilitas, invaliditas), utama pada kelompok usia diatas 45 tahun.10

7
II.3 Epidemiologi Stroke
Stroke adalah penyebab kematian terbesar ketiga di negara-negara industri setelah
penyakit jantung dan kanker. Prevalensi stroke pada populasi kulit putih berkisar antara 500-600
per 100.000 penduduk. Dilaporkan di Selandia baru 793 per 100.000 penduduk, di Perancis 1445
per 100.000 penduduk. Rentang pada Negara sedang berkembang juga bervariasi. Di China,
prevalensi stroke 620 per 100.000 penduduk, dan Thailand 690 per 100.000 penduduk.8
Stroke adalah penyebab neurologis utama pasien datang ke rumah sakit dan penyebab
kematian tertinggi ketiga di Amerika Serikat setelah penyakit jantung dan kanker.9 Setiap
tahunnya 500.000 orang di negara ini mengalami stroke dan 150.000 meninggal. Prevalensi secara
keseluruhan adalah 750/ 100.000.9
Data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke baik dalam hal
kematian, kejadian, maupun kecacatan. Angka kematian berdasarkan umur adalah: sebesar 15,9%
(umur 45-55 tahun) dan 26,8% (umur 55-64 tahun) dan 23,5% (umur 65 tahun). Kejadian stroke
(insiden) sebesar 51,6/100.000 penduduk dan kecacatan; 1,6% tidak berubah; 4,3% semakin
memberat. Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan profil usia dibawah 45 tahun
sebesar 11,8%, usia 45-64 tahun 54,2%, dan usia diatas 65 tahun sebesar 33,5%. Stroke
menyerang usia produktif dan usia lanjut yang berpotensi menimbulkan masalah baru dalam
pembangunan kesehatan secara nasional di kemudian hari.10
Di Indonesia, penyebab kematian utama pada semua umur adalah stroke (15,4%), yang
disusul oleh TB (7,5%), Hipertensi (6,8%), dan cedera (6,5%). Hasil Riskesdas 2007, prevalensi
stroke di Indonesia ditemukan sebesar 8,3 per 1.000 penduduk, dan yang telah didiagnosis oleh
tenaga kesehatan adalah 6 per 1.000. Prevalensi stroke tertinggi Indonesia dijumpai di Nanggroe
Aceh Darussalam (16,6 per 1.000 penduduk) dan terendah di Papua (3,8 per 1.000 penduduk).11

II.4 Klasifikasi Stroke


Berdasarkan atas jenisnya, stroke dibagi menjadi 2, stroke hemoragik dan stroke non
hemoragik.12

II.4.1 Stroke Non Hemoragik4,5,6


Secara non hemoragik, stroke dapat dibagi berdasarkan manifestasi klinik dan proses
patologik (kausal):
a. Berdasarkan manifestasi klinik:
i. Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)

8
Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan
menghilang dalam waktu 24 jam.
ii. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurological Deficit
(RIND)
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24
jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
iii. Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation)
Gejala neurologik makin lama makin berat.
iv. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Kelainan neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi.
b. Berdasarkan Kausal:
i. Stroke Trombotik
Stroke trombotik terjadi karena adanya penggumpalan pada pembuluh darah di
otak. Trombotik dapat terjadi pada pembuluh darah yang besar dan pembuluh darah yang
kecil. Pada pembuluh darah besar trombotik terjadi akibat aterosklerosis yang diikuti oleh
terbentuknya gumpalan darah yang cepat. Selain itu, trombotik juga diakibatkan oleh
tingginya kadar kolesterol jahat atau Low Density Lipoprotein (LDL). Sedangkan pada
pembuluh darah kecil, trombotik terjadi karena aliran darah ke pembuluh darah arteri kecil
terhalang. Ini terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit aterosklerosis.
ii. Stroke Emboli/Non Trombotik
Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau lapisan lemak
yang lepas. Sehingga, terjadi penyumbatan pembuluh darah yang mengakibatkan darah
tidak bisa mengaliri oksigen dan nutrisi ke otak.

II.4.1.1 Gejala Stroke Non Hemoragik4,5,6


Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan
peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala tersebut adalah:
a. Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna.
i. Buta mendadak (amaurosis fugaks).
ii. Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia) bila gangguan
terletak pada sisi dominan.
iii. Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis kontralateral) dan dapat
disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan.

9
b. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior.
i. Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih menonjol.
ii. Gangguan mental.
iii. Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh.
iv. Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air.
v. Bisa terjadi kejang-kejang.
c. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri media.
i. Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang lebih ringan. Bila tidak di
pangkal maka lengan lebih menonjol.
ii. Gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh.
iii. Hilangnya kemampuan dalam berbahasa (aphasia).
d. Gejala akibat penyumbatan sistem vertebrobasilar.
i. Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas.
ii. Meningkatnya refleks tendon.
iii. Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh.
iv. Gejala-gejala sereblum seperti gemetar pada tangan (tremor), kepala berputar (vertigo).
v. Ketidakmampuan untuk menelan (disfagia).
vi. Gangguan motoris pada lidah, mulut, rahang dan pita suara sehingga pasien sulit b
icara (disatria).
vii. Kehilangan kesadaran sepintas (sinkop), penurunan kesadaran secara lengkap
(strupor), koma, pusing, gangguan daya ingat, kehilangan daya ingat terhadap lingkungan
(disorientasi).
viii. Gangguan penglihatan, sepert penglihatan ganda (diplopia), gerakan arah bola mata
yang tidak dikehendaki (nistagmus), penurunan kelopak mata (ptosis), kurangnya daya
gerak mata, kebutaan setengah lapang pandang pada belahan kanan atau kiri kedua mata
(hemianopia homonim).
ix. Gangguan pendengaran.
x. Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah.
e. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior
i. Koma
ii. Hemiparesis kontra lateral.
iii. Ketidakmampuan membaca (aleksia).
iv. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga.

10
f. Gejala akibat gangguan fungsi luhur
i. Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Aphasia dibagi dua yaitu,
Aphasia motorik adalah ketidakmampuan untuk berbicara, mengeluarkan isi pikiran
melalui perkataannya sendiri, sementara kemampuannya untuk mengerti bicara orang lain
tetap baik. Aphasia sensorik adalah ketidakmampuan untuk mengerti pembicaraan orang
lain, namun masih mampu mengeluarkan perkataan dengan lancar, walau sebagian
diantaranya tidak memiliki arti, tergantung dari luasnya kerusakan otak.
ii. Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena kerusakan otak. Dibedakan dari
Dyslexia (yang memang ada secara kongenital), yaitu Verbal alexia adalah
ketidakmampuan membaca kata, tetapi dapat membaca huruf. Lateral alexia adalah
ketidakmampuan membaca huruf, tetapi masih dapat membaca kata. Jika terjadi
ketidakmampuan keduanya disebut Global alexia.
iii. Agraphia adalah hilangnya kemampuan menulis akibat adanya kerusakan otak.
iv. Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan mengenal angka setelah
terjadinya kerusakan otak.
v. Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image) adalah sejumlah tingkat
kemampuan yang sangat kompleks, seperti penamaan, melakukan gerakan yang sesuai
dengan perintah atau menirukan gerakan-gerakan tertentu. Kelainan ini sering bersamaan
dengan Agnosia jari (dapat dilihat dari disuruh menyebutkan nama jari yang disentuh
sementara penderita tidak boleh melihat jarinya).
vi. Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya kemampuan
melaksanakan bermacam perintah yang berhubungan dengan ruang.
vii. Syndrome Lobus Frontal, ini berhubungan dengan tingkah laku akibat kerusakan pada
kortex motor dan premotor dari hemisphere dominan yang menyebabkan terjadi-
nya gangguan bicara.
viii. Amnesia adalah gangguan mengingat yang dapat terjadi pada trauma capitis, infeksi
virus, stroke, anoxia dan pasca operasi pengangkatan massa di otak.
ix. Dementia adalah hilangnya fungsi intelektual yang mencakup sejumlah kemampuan.

11
II.4.2 Stroke Hemoragik13
Stroke hemoragik dibagi atas:
a. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah
dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini banyak
disebabkan oleh hipertensi, selain itu faktor penyebab lainnya adalah aneurisma
kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti hemofilia, leukemia, trombositopenia,
pemakaian antikoagulan angiomatosa dalam otak, tumor otak yang tumbuh cepat,
amiloidosis serebrovaskular.
b. Perdarahan Subarakhnoidal (PSA)
Perdarahan Subarakhnoidal (PSA) adalah keadaan terdapatnya/masuknya darah ke dalam
ruangan subarakhnoidal. Perdarahan ini terjadi karena pecahnya aneurisma (50%),
pecahnya malformasi arteriovena atau MAV (5%), berasal dari PIS (20%) dan 25%
kausanya tidak diketahui.
b. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi akibat robeknya vena jembatan
(bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di
dalam durameter atau karena robeknya araknoidea.

II.4.2.1 Gejala Stroke Hemoragik6,7


a. Gejala Perdarahan Intraserebral (PIS)
Gejala yang sering djumpai pada perdarahan intraserebral adalah: nyeri kepala berat, mual,
muntah dan adanya darah di rongga subarakhnoid pada pemeriksaan pungsi lumbal merupakan
gejala penyerta yang khas. Serangan sering kali di siang hari, waktu beraktivitas dan saat
emosi/marah. Kesadaran biasanya menurun dan cepat masuk koma (65% terjadi kurang dari
setengah jam, 23% antara 1/2-2 jam, dan 12% terjadi setelah 3 jam).
b. Gejala Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Pada penderita PSA dijumpai gejala: nyeri kepala yang hebat, nyeri di leher dan punggung, mual,
muntah, fotofobia. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pemeriksaan kaku kuduk,
Lasegue dan Kernig untuk mengetahui kondisi rangsangan selaput otak, jika terasa nyeri maka
telah terjadi gangguan pada fungsi saraf. Pada gangguan fungsi saraf otonom terjadi demam
setelah 24 jam. Bila berat, maka terjadi ulkus pepticum karena pemberian obat antimuntah disertai
peningkatan kadar gula darah, glukosuria, albuminuria, dan perubahan pada EKG.
c. Gejala Perdarahan Subdural

12
Pada penderita perdarahan subdural akan dijumpai gejala: nyeri kepala, tajam penglihatan mundur
akibat edema papil yang terjadi, tanda-tanda deficit neurologik daerah otak yang tertekan. Gejala
ini timbul berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah terjadinya trauma kepala.

II.5 Patofisiologi Stroke


Dalam keadaan fisiologis, jumlah darah yang mengalir ke otak adalah 50–60 ml per 100
gram otak per menit. Jadi jumlah darah untuk seluruh otak, yang kira-kira beratnya antara 1200-
1400 gram adalah 700-840 ml per menit. Dari jumlah darah itu, satu pertiganya disalurkan melalui
tiap arteri karotis interna dan satu pertiga sisanya disalurkan melalui susunan vertebrobasilar.
Daerah otak tidak berfungsi bisa karena secara tiba-tiba tidak menerima suplai darah lagi karena
arteri yang memperdarahi daerah tersebut putus atau tersumbat. Penyumbatan itu bisa terjadi
secara mendadak atau secara berangsur-angsur.4
Oklusi akut pembuluh darah intrakranial menyebabkan penurunan aliran darah ke regio
otak sesuai dengan kebutuhannya. Penurunan aliran ini akan berpengaruh pada aliran darah
kolateral dan ini sangat tergantung pada anatomi vaskular individual dan lokasi oklusi. Apabila
aliran darah serebral tidak ada sama sekali, akan terjadi kematian pada jaringan otak dalam 4
hingga 10 menit. Apabila aliran darah ke otak kurang dari 16-18 ml/ 100 gram jaringan otak per
menit maka akan menyebabkan infark dalam satu jam. Apabila kurang dari 20 ml/ 100 gram
jaringan otak per menit menyebabkan iskemik tanpa infark kecuali jika berlangsung selama
beberapa jam atau hari. Jika aliran darah dikembalikan dengan cepat sesuai dengan kebutuhannya,
sehingga jaringan otak dapat pulih penuh dan simptom pada pasien hanya transien dan ini disebut
transient ischemic attack (TIA). Tanda dan gejala TIA biasanya berlangsung dalam 5-15 menit
tetapi secara defenisi harus kurang dari 24 jam.4,6
Kematian sel pada otak terjadi melalui dua jalur yaitu: (1) jalur nekrosis di mana
pemecahan sitoskletal seluler berlangsung cepat yang berakibat pada kegagalan energi sel, dan (2)
jalur apoptosis di mana sel terprogram untuk mati. Iskemik menyebabkan nekrosis karena sel-sel
neuron mengalami kekurangan glukosa yang berakibat pada kegagalan mitokondria dalam
menghasilkan ATP. Tanpa ATP, pompa ion pada membran akan berhenti berfungsi dan neuron
mengalami depolarisasi dan disertai dengan peningkatan kalsium intraselular. Depolarisasi selular
juga menyebabkan pelepasan glutamat dari terminal sinapsis.5 Di samping itu, penurunan ATP
akan menyebabkan penumpukan asam laktat dan menyebabkan terjadinya asidosis selular.4
Radikal bebas juga dihasilkan oleh degradasi membran lipid dan mitokondria yang mengalami
disfungsi. Radikal bebas ini menyebabkan kerusakan pada membran dan fungsi vital lain sel. Di
samping itu, demam akan memperparah iskemik begitu juga dengan hiperglikemia, oleh karena

13
itu demam dan hiperglikemia harus diatasi dan jika bisa dicegah. Penurunan suhu setidaknya 2 –
3ºC dapat menurunkan kebutuhan metabolik neuron dan meningkatkan toleransi terhadap hipoksia
sebesar 25-30%.7

II.6 Diagnosis Stroke


Diagnosis stroke ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.10 Anamnesis dilakukan dengan mengetahui riwayat perjalanan penyakit, misalnya
waktu kejadian, penyakit lain yang dideritam faktor-faktor risiko yang menyertai stroke.
Pemeriksaan fisik dilakukan antara lain: pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis dan
neurovaskuler.6

II.7 Pencegahan Stroke


II.7.1 Pencegahan Premordial5
Tujuan pencegahan premordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko bagi individu
yang belum mempunyai faktor risiko. Pencegahan premordial dapat dilakukan dengan cara
melakukan promosi kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya rokok terhadap stroke dengan
membuat selebaran atau poster yang dapat menarik perhatian masyarakat.
Selain itu, promosi kesehatan lain yang dapat dilakukan adalah program pendidikan
kesehatan masyarakat, dengan memberikan informasi tentang penyakit stroke hemoragik melalui
ceramah, media cetak, media elektronik.
II.7.2 Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor risiko stroke bagi individu
yang mempunyai faktor risiko tetapi belum menderita stroke dengan cara melaksanakan gaya
hidup sehat bebas stroke. 10
II.7.3 Pencegahan Sekunder
Untuk pencegahan sekunder, bagi mereka yang pernah mendapat stroke dianjurkan untuk
mengobati penyakit faktor risikonya seperti mengonsumsi obat antihipertensi, mengonsumsi obat
hipoglikemik, diet rendah lemak dan berhenti merokok.10
II.7.4 Pencegahan Tertier
Meliputi program rehabilitasi penderita stroke yang diberikan setelah terjadi stroke.
Rehabilitasi meningkatkan kembali kemampuan fisik dan mental dengan berbagai cara. Tujuan
program rehabilitasi adalah memulihkan independensi atau mengurangi ketergantungan sebanyak
mungkin. Cakupan program rehabilitasi stroke dan jumlah spesialis yang terlibat tergantung pada
dampak stroke atas pasien dan orang yang merawat.6

14
II.8 Penatalaksanaan Stroke6,7
1. Breathing : jalan nafas harus terbuka, hisap lendir dan beri oksigen.
2. Blood : Pertahankan tekanan darah yang cukup, evaluasi fungsi jantung dan organ
vital lain. Tekanan darah tidak boleh segera diturunkan karena dapat
memperburuk keadaan, kecuali pada tekanan darah sistolik >220 mmHg
dan atau diastolik >120mmHg.
3. Brain : jika terjadi peningkatan tekanan intra kranial dengan gejala sakit kepala,
muntah proyektil dan bradikardi relatif, segera beri manitol 20% 1-1,5
gr/kgBB lanjutkan dengan 6x100cc (0,5gr/kgBB) dalam 15-20 menit.
4. Bladder : pertahankan bladder dan rektum, hindari infeksi saluran kemih, jika
terjadi retensio urin pasang kateter.
5. Bowel : kebutuhan cairan dan kalori perlu diperhatikan, hindari obstipasi, pasang
NGT jika kesulitan menelan.

Non Farmakologis
1. Mengendalikan faktor risiko
2. Rehabilitasi medik dilakukan sedini mungkin, dengan tujuan :
 Memperbaiki fungsi motorik
 Mencegah kontraktur sendi
 Agar penderita dapat mandiri
 Rehabilitasi sosial

II.9 Komplikasi Stroke


Komplikasi yang terjadi pada pasien yang terkena stroke dapat berupa gangguan
neurologis maupun nonneurologis. Gangguan neurologis misalnya edema serebri dan peningkatan
tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan herniasi atau kompresi batang otak, kejang, dan
transformasi hemoragik. Gangguan nonneurologis, misalnya adalah infeksi (contoh: pneumonia),
gangguan jantung, gangguan keseimbangan elektrolit, edema paru, hiperglikemia reaktif.5

II.10 Prognosis

Prognosis dipengaruhi oleh usia pasien, tingkat kesadaran, jenis kelamin, tekanan darah,
penyebab stroke, dan ada atau tidaknya penyakit komorbid.7

15
PEMERIKSAAN RADIOLOGI PADA STROKE

Pemeriksaan radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang penting pada
pasien stroke. Hal ini penting agar dapat mendiagnosis secara tepat stroke dan subtipenya, untuk
mengidentifikasi penyebab utamanya dan penyakit terkait lain, untuk menentukan terapi dan
strategi pengelolaan terbaik, serta untuk memantau kemajuan pengobatan. Pada stroke,
pemeriksaan radiologis yang umum dilakukan adalah CT Scan dan MRI.3

a. Computed Tomography (CT)


Pada pasien dengan stroke memiliki gambaran scan yang tidak normal yaitu perdarahan
dan infark. CT membedakan perdarahan infark setidaknya lima hari setelah stroke. Pendarahan
baru memiliki gambaran kepadatan tinggi (putih), biasanya bulat dan menempati ruang. Infark
biasanya kepadatan rendah (gelap) dan menduduki wilayah vaskular dengan swelling. Tidak ada
waktu yang optimal untuk pasien stroke dengan CT dalam menunjukkan infark yang pasti, namun
dilakukan sesegera mungkin.10

1. Stroke Non-hemoragik: CT-Scan14


a. Pada stadium awal sampai 6 jam pertama, tak tampak kelainan pada CT-Scan.
Kadang kadang sampai 3 hari belum tampak gambaran yang jelas. Sesudah 4
hari tampak gambaran lesi hipodens (warna hitam), batas tidak tegas.
b. Fase lanjut, densitas akan semakin turun, batas juga akan semakin tegas, dan
bentuk semakin sesuai dengan area arteri yang tersumbat.
c. Fase akhir, terlihat sebagai daerah hipodens dengan densitas sesuai dengan
densitas liquordan berbatas tegas.

2. Stroke Hemoragik: CT-Scan14


a. Terlihat gambaran lesi hiperdens warna putih dengan batas tegas.
b. Pada stadium lanjut terlihat edema disekitar perdarahan (edem perifokal) yang
menyebabkan pendesakan. Jika terjadi absorbsi lengkap, gambarannya
hipodens.

16
Gambar 1. CT scan otak menunjukkan
sirkulasi infark anterior kanan total (A) empat
jam dan (B) pada lima hari setelah onset
gejala. (A) Tanda-tanda halus infark awal:
kehilangan ganglia basal di kanan (panah
putih bandingkan dengan caudate dan inti
lentiform), kehilangan deferensiasi materi
abu-abu/putih (panah hitam), pembengkakan
kecil dengan penipisan sulcal (panah hitam).
Pada hari kelima ada hipodens jelas dan infark
besar dengan pergeseran pembengkakan garis
tengah dan obstruksi dari ventrikel lateral
kiri.14

b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan gelombang-gelombang
magnet daripada x-rays untuk mencitrakan (image) otak. Gambar-gambar MRI
jauh lebih detil daripada yang dari CT, namun ini bukanlah suatu tes baris pertama
dalam stroke karena memakan waktu lebih dari satu jam untuk diselesaikan. MRI
dapat digunakan untuk mengidentifikasi zat kimia yang terdapat pada area otak
yang membedakan tumor otak dan abses otak, perfusi MRI dapat mengestimasi
aliran darah pada sebagian area, difusi MRI digunakan untuk mendeteksi
akumulasi cairan (edema) secara tiba-tiba dan MRI juga dapat memperlihatkan
aliran darah di otak dengan jelas. Suatu MRI dilaksanakan dalam perjalanan
perawatan pasien jika detil-detil yang lebih halus diperlukan untuk membuat
keputusan medis yang lebih jauh.14
Pemeriksaan MRI -- Infark pada stroke akut
 Akut: Low signal (hypointense) pada area T1, high signal (hyperintense) pada
spin density dan/atau T2. Diikuti distribusi vaskular. Massa parenkim berubah.
 Sub akut: Low signal pada T1, high signal pada T2. Diikuti distribusi
vaskular. Revaskularisasi dan rusaknya blood-brain barrier.
 Old: Low signal pada T1, high signal pada T2, infark yang luas.
Perdarahan akut dapat diidentifikasi dalam enam jam pertama stroke.
Rutin (spin echo) MRI urutan tetap khusus untuk perdarahan tanpa batas di 90%
dari pasien. Pada 10% sisanya yang memiliki perdarahan intraserebral yang pasti,
diagnostik (yaitu, sinyal rendah disebabkan oleh haemosiderin) tidak terlihat di

17
spin gema MRI T2, meskipun cerebromalacea dapat terlihat. Secara khusus, spin
cepat sering digunakan gema urutan kepadatan T2 dan proton yang relatif sensitif
sedangkan urutan gradient echo adalah yang paling sensitif.14

Gambar 2. Pencitraan otak dari seorang wanita berusia 75 tahun enam minggu setelah stroke
otak kiri. (A) CT scan,(B) perputaran gema MR T2 scan,(C) Gradient gema MRI. Catatan
pada CT scan (A) daerah bercahaya konsisten dengan penyakit pembuluh kecil. Daerah lusen
di hemisfer sinistra terlihat seperti suatu infark. MRI (B,C) yang diperoleh pada hari yang
sama menunjukkan perubahan iskemik tidak hanya lebih kecil (bintik-bintik putih) tetapi juga
perdarahan (daerah gelap) dalam inti lentiform kiri. Perdarahan lebih mudah diidentifikasi
pada gradient gema MRI (C) dari pada spin gema cepat T2 (B). Ada juga
microhaemorrhages tua terlihat pada gradient gema MR (titik hitam) dan lesi kalsifikasi
insidental kecil dilobus oksipital (panah).14

18
Gambar 3. Trombosis vena serebri dan infark (A) dan (B) pasca intravena kontras. Scan yang
diperoleh pada enam jam setelah onset gejala. Perhatikan bahwa hipodensity di wilayah temporal
kiri posterior jauh lebih berkembang daripada untuk infark arteri pada usia yang sama (1A), dengan
tepi yang lebih jelas dan pusat perdarahan (panah putih). Setelah ada peningkatan pusat (panah
putih) dan sinus melintang terlihat trombose (panah hitam). Wilayah yang terkena dampak tidak
sesuai dengan arteri serebral tengah atau serebral posterior, memberikan petunjuk lebih lanjut untuk
asal vena.14

c. Metode lain dari MRI


 Magnetic Resonance Angiogram (MRA)
Digunakan untuk secara khusus melihat pembuluh-pembuluh darah secara non-
invasif (tanpa menggunakan tabung-tabung atau suntikan-suntikan).14
 Diffusion Weighted Imaging (DWI)
Teknik ini dapat mendeteksi area kelainan beberapa menit setelah aliran darah ke
suatu bagian dari otak telah berhenti, sedangkan suatu MRI konvensional

19
mungkin tidak mendeteksi suatu stroke hingga sampai enam jam setelah ia telah
mulai, dan suatu CT scan adakalanya tidak dapat mendeteksinya sampai ia
berumur 12 sampai 24 jam. Pada DWI, TIA memiliki lesi terlihat relevan pada
saat DWI dicitrakan dalam waktu 24 jam. DWI mungkin paling berguna secara
klinis untuk mengidentifikasi lesi positif pada pasien dengan stroke kortikal atau
lacunar kecil, atau untuk menentukan apakah pasien dengan infark sebelumnya
dan tanda-tanda memburuk telah mengembangkan infark baru atau tidak; DWI
mungkin positif sampai seminggu di setidaknya setelah pencitraan perfusi
stroke.14

d. Angiogram Konvensional
Suatu angiogram adalah tes lain yang digunakan untuk melihat pembuluh-
pembuluh darah. Suatu tabung kateter yang panjang dimasukkan kedalam suatu arteri
(biasanya di area pangkal paha) dan dye disuntikan ketika x-rays secara simultan
diambil. Dimana suatu angiogram memberikan beberapa dari gambar-gambar yang
paling detil dari anatomi pembuluh darah, ia juga adalah suatu prosedur invasif dan
digunakan hanya ketika diperlukan secara mutlak. Contohnya, suatu angiogram
dilakukan setelah suatu hemorrhage ketika sumber perdarahan yang tepat perlu
diidentifikasi. Ia juga adakalanya dilaksanakan untuk secara akurat mengevaluasi
kondisi dari suatu arteri karotid ketika operasi untuk membuka halangan pembuluh
darah itu direnungkan.3,14

e. Carotid Doppler ultrasound


Suatu carotid Doppler ultrasound adalah suatu metode non-invasif yang
menggunakan gelombang-gelombang suara untuk menyaring/melihat penyempitan-
penyempitan dan pengurangan aliran darah pada arteri karotid dan vertebralis untuk
mengidentifikasi stenosis ateromatosa atau diseksi. 3,14

Keadaan Klinis Khusus


Infark vena mungkin terdiagnosis sebagai penyebab stroke. Peningkatkan
kesadaran mengarah ke yang lebih baik. Infark vena menjadi edema dengan gambaran
hipodens dan jauh lebih cepat dari infark arteri serta lebih sering mengandung daerah
pusat perdarahan. Tambahan gambaran seperti sinus vena thrombose (hyperdense

20
sinus pra-kontras, atau mengisi cacat pada sinus pasca kontras), atau opak sinus
paranasal atau mastoids menunjukkan kemungkinan infeksi sebagai penyebab
thrombosis harus dicari.3
MRI menunjukkan gambaran lebih jelas, meskipun mereka mungkin terlihat
pada CT. Membedakan tumor dari infark pada CT (atau MRI) biasanya tidak masalah,
tetapi kadang-kadang tumor yang tumbuh lambat seperti glioma dapat meniru infark
kortikal kecil dengan muncul berbentuk baji yang melibatkan korteks dan materi putih
yang berdekatan, sedikit hipodens, dan tidak meningkatkan dengan kontras.12
Kadang-kadang tumor juga dapat hadir sebagai pendarahan dan pendarahan
mungkin cukup luas untuk melenyapkan sementara pada neoplasma yang mendasari
di scan. Waktu adalah alat diagnostik yang berguna, mengulangi pencitraan akan
memperjelas diagnosis, infark dan pendarahan umumnya mendapatkan lebih kecil
sedangkan tumor tetap sama atau menjadi lebih besar. Lebih lanjut, pasien yang pada
awalnya hadir dengan apa yang tampak seperti stroke langsung, namun yang tidak
berperilaku sebagai stroke khas, harus mengulangi scan untuk mengidentifikasi
sesekali tumor atau lesi non-vaskular. Ensefalitis kadang bisa meniru stroke, terutama
pada pasien ditemukan dengan kesadaran berkurang, neurologi fokal, dan tidak ada
riwayat dari awal.10
Pencitraan, baik CT, MRI atau lanjutan MRI teknik, tidak selalu andal
membedakan antara klinis. Diagnosis tergantung pada penilaian lainnya. Diseksi dari
karotis atau vertebralis arteri harus dicurigai pada pasien dengan nyeri leher dan
stroke. MRI adalah yang terbaik karena dapat menunjukkan pembuluh darah dan lesi
parenkim. Sebuah gambaran khas adalah penyempitan aliran arteri karotis atau
vertebralis karena sebuah cincin atau sinyal yang tinggi disebabkan oleh perdarahan
di dinding arteri. Penampilan juga dapat menirukan oleh aliran lambat dalam arteri
atas stenosis (ateromatosa) ketat, atau proksimal ke oklusi arteri besar intrakranial,
sehingga hati-hati untuk menegakkan diagnosis.14
Mengingat implikasi terapi mungkin, intra-arteri angiografi harus
dipertimbangkan jika ada keraguan untuk diagnosis dari diseksi. CADASIL (cerebral
autosomal dominant arteriopathy with subcortical infarcts and leucoencephalopathy)
menyebabkan kelainan yang menonjol pada subkortikal memeberikan gambaran putih
yang mungkin meniru beberapa infark lacunar dan atrofi, sering pada pasien yang
relatif muda, dan imaging mendukung diagnosis.12

21
MELAS (mitochondrial encephalopathy, lactic acidosis, and stroke)
menyajikan dengan stroke pada pasien yang lebih muda. Pada CT atau MR kortikal
seperti infark terlihat di daerah temporal atau occipito-temporal posterior, sering
bilateral dan tidak menempati wilayah pembuluh darah yang khas.5,7

22
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

 Nama : TN. A.S

 Umur : 44 th

 Jenis kelamin : Pria

 Agama : Islam

 No.RM : 433144

 Alama : Karang gawang Tembalang

 Ruang rawat : ICU

 Tgl masuk : 21 Mei 2019

 Tanggal keluar :-

 Status Care : BPJS

 3.2. Anamnesis

Data anamnesis diperoleh pada tanggal 21 Mei 2019 di ICU RSUD K.R.M.T
Wongsonegoro Semarang.
Keluhan Utama
Penurunan Kesadaran
Riwayat Penyakit Sekarang
Dari hasil anamnesis didapatkan pasien datang ke RSUD K.R.M.T Wongsonegoro
Semarang pada tanggal 21 Mei 2019 dengan keluhan Penurunan kesadaran 1 hari yang lalu.
Lalu pasien dibawa ke IGD RSUD , sebelumnya pasien muntah-muntah lebih dari 5 kali dan
pasien tidak sadarkan diri , setelah pasien sadar anggota gerak kiri pasien lemas . Nafsu
makan baik.

23
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini. Riwayat minum alkohol
sudah lebih dari 25 tahun , merokok lebih dari 26 tahun , riwayat hipertensi tak terkontrol
sudah 10 tahun terapi hanya beli obat nyeri kepala diwarung RW: DM (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi DM disangkal ,
Riwayat Sosioekonomi
Pasien bekerja sebagai wiraswasta, bengkel dirumah , ekonomi cukup
Status Generalisata
 Keadaan umum : tampak sakit berat, lemas
 Kesadaran : Compos mentis
 Suhu : 37oC``
 Nadi : 102x / menit
 Pernapasan : 26x/ menit
 Status antropometrik : TB : 169 , Berat badan : 67,5 kg.
3.3. Pemeriksaan Sistematis
 Kepala : Normocephal
 Telinga : Discharge (-)
 Hidung : Septum deviasi (-)
 Leher : Pembesaran kelenjar limfe (-)
 Dada
o Inspeksi : Simetris statis dinamis
o Palpasi : Sterm fremitus kanan = kiri
o Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
o Auskultasi : Suara dasar vesikuler dan suara tambahan (-)
 Jantung
o Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
o Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V 2 cm medial LMCS
o Perkusi : Konfigurasi jantung dalam batas normal
o Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, bisinnng (-), gallop (-)
 Perut
o Inspeksi : Cembung, venektasi (-), distensi (-)
o Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium(+)

24
o Perkusi : Nyeri ketok costovertebra (-)
o Auskultasi : Bising usus normal
o Ekstremitas : Akral dingin -/-
3.3.4. Pemeriksaan Penunjang

a. EKG

Hasil Pembacaan

KESAN

(NSTEMI)

25
b. Laboratorium

26
KESAN :

Leukositosis

Hiperglikemia

Peningkatan kreatinine

Peningkatan tekanan CO2 (PCO2)

27
c. FPA Thorax AP

Hasil pembacaan

COR : ukuran , bentuk dan letak normal

Pulmo : corakan bronkovaskuler meningkat

Tampak sedikit bercak di parakardial paru kanan

Diagfragma dan sinus costophrenicus kanan kiri normal

KESAN

Cor :normal

Pulmo : ada sedikit infiltrat di parakardial paru dx DD TB

28
d. FPA abdomen AP -LLD

Hasil Pembacaan

Preperitoneal fat line kanan kiri baik

Psoas line dan kontur kedua ginjal baik

Tak tampak opasitas patologis

Tampak fekal material di hemi abdomen

Distribusi udara usus normal

Tak tampak dilatasi dan distensi usus

Tak tampak gambaran coiled spring maupun herring bone

Tampak free air antara hepar dengan dinding lateral kanan abdomen
membentuk decubitus abdomen sign

Pada posisi LLD , tak tampak air fluid level

KESAN

free air antara hepar dengan dinding lateral kanan abdomen membentuk
decubitus abdomen sign  Gambaran Pneumoperitoneum

Fekal material di hemi abdomen kiri

29
e. MSCT Scan kepala tanpa kontras

Hasil Pembacaan MSCT scan kepala tanpa kontras

Tampak lesi hiperdens di pons dan cerebelum kanan

Tampak pula leso hiperdens mengisi tentorium serebeli

Sulkus kortikalis dan fissura sylvii tampak menyempit

Sistem ventrikel dan sisterna baik

Tak tampak midline shifting

Pada bone window :

Tak tampak fraktur ossa cranium

Tak tampak lesi litik dan sklerotik pada tulang

Tampak penebalan mukosa (CT Number 35-65 HU) pada sinus sphenoid kiri
dan maksilaris kanan-kiri,

30
Tampak kesuraman pada mastoid kanan kiri.

KESAN

Perdarahan di pons dan cerebelum kanan

Gambaran SAH

Mulai tampak tanda-tanda peningkatan TIK

penebalan mukosa (CT Number 35-65 HU) pada sinus sphenoid kiri dan
maksilaris kanan-kiri  DD polip ,sinusitis kronik, mastoiditis duplek
 Daftar Masalah

Stroke Hemoragik

 Initial plan of Diagnosis

Pemeriksaan CKMB , darah rutin , MRI , LED

Initial plan of therapy


 injeksi

Manitol 125cc/6jam

Citicolin 500mg/12jam

Asam tranexamat 1gr/6jam

Ondansentron 4mg/12jam

 ORAL

Sucralfat 10mg/6jam

Candesartan 16mg/14jam

Amlodipin 10mg/24jam

Initial plan Monitoring

TTV,

Initial plan of Education

Stop rokok , dan alkohol , dan hidup sehat olahraga cukup , tidur dan makan obat tepat waktu

31
BAB IV

PEMBAHASAN

SAH adalah subarachnoid Hemorage atau perdarahan pada subarachnoid


, Gejala dan tanda perdarahan subarachoid meliputi nyeri kepala , mual muntah,
gangguan kesadaran. Pada pemeriksaan EKG didapatkan tanda iskemik pada
jantung , dan pada laboratorium didapatkan tanda peradangan dan iskemik ,
pada CT scan didapatkan gambaran SAH , perdarahan pada pons dan
intracerebelar , dan peningkatan TIK.

Pada pasien ini , dari alloanamnesis mengeluhkan nyeri kepala dan mual
muntah serta penurunan kesadaran mendadak dan mempunyai riwayat diabetes
sudah 7 tahun tetapi tidak pernah terkontrol , dan hipertensi sudah 12 tahun dan
tidak pernah terkontrol , pada pemeriksaan fisik didapatkan penurunan
kesadaran , GCS E2M3V1 , pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
peningkatan GDS (201mg/dl) , leukositosis (21,3 ribu/ul) , creatinine
(1,2mg/dl), dan peningkatan PCO2 (42,6mmHg) pada BGA. Pada CT Scan
didapatkan gambaran perdarahan pons dan intercerebelar hemorrhage,
2Gambaran SAH , peningkatan TIK . Seluruh gejala klinis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang menunjukan bahwa pasien mengalami SAH.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Ropper AH, Brown RH. 2005. Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victor’s Priciples of
Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill.

2. Riskesdas Depkes. 2013. Tersedia:

http://www.depkes.go.id/resources/general/Hasil_2520Riskesdas_25202013_pdf Diakses pada 16


Februari 2015

3. Wegener S. Neuroimaging Of Acute Ischaemic Stroke: Current Challenges. EMJ Neurol.


2014;1:49-52.

4. Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Guyton. Jakarta: EGC. 11th ed.p.

5. Duus, Peter. 2006. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. Jakarta: EGC.

6. Smith, WS, Johnston, SC, & Easton, JD. Cerebrovascular Disease. In: Hauser, S.L., ed. Harrison’s
Neurology in Clinical Medicine. USA: McGraw-Hill, 2006; 233-239.

7. Mansjoer, Arief, et al. 2000. Stroke dalam Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
FKUI, pp.17-20

8. World Health Organization. 2010-b. Global Burden of Stroke. Tersedia:


http://www.who.int/cardiovascular_diseases/en/cvd_atlas_15_burden_stroke.pdf Diakses pada 20
Februari 2015

9. Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ed.6.EGC. 2006 Jakarta.
10. Pokdi Stroke, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline Stroke Tahun
2011. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia: Jakarta, 2011.
11. Departemen Kesehatan Indonesia. Tersedia: http://www.depkes.go.id Diakses pada 20 Februari
2015

12. Goetz Christopher G. 2007. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of Clinical


Neurology, 3rd ed. Philadelphia : Saunders.

13. World Health Organization. 2010. International Statistical Classification of Diseases and Related
Health Problems. Tersedia:

http://www.who.int/classifications/icd/ICD10Volume2_en_2010.pdf Diakses pada 21 Februari 2015

14. Lövblad KO, Pereira VM. Neuroimaging of Stroke. The Complementary Roles of CT and MRI.
Clinical Neurology. 2013;2:36-43

33

Anda mungkin juga menyukai