Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA KEPALA BERAT (CKB)

1. Pengertian
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala,tengkorak dan otak.
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yangserius diantara penyakit
neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer
& Bare 2001).
Cedera kepala berat adalah cedera dengan skala koma glasgow 3 – 8 atau dalam
keadaan koma (Mansjoer 2001). Cedera kepala berat adalah cedera kepala dimana otak
mengalami memar dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi , pasien berada pada
periode tidak sadarkan diri (Smeltzer, S.C & Bare, B.C, 2002). Cedera kepala berat atau
memar otak terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang
kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus (Harsono, 2000).
Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa cedera kepala berat
adalah cedera dengan skala koma glasgow 3 – 8, dimana otak mengalami memar dengan
kemungkinan adanya perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan meskipun
neuron-neuran terputus.

2. Anatomi Fisiologi

Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantu melindungi otak, tetapi meskipun
memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai jenis cedera.
Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak.
berbagai cedera bisa disebabkan oleh percepatan mendadak yang memungkinkan
terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur
objek yang tidak bergerak. Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi
yang berlawanan. Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau
menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa
terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat.
Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang
sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak
tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan
jaringan otak.
Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke
bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak
dengan batang otak, keadaan ini disebut herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong
otak kecil dan batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam
medula spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi
vital (denyut jantung dan pernafasan).

Meninges

Meninges adalah selubung jaringan ikat non sarafi yang membungkus otak dan medulla
spinalis yang barisi liquor cerebrospinal dan berfungsi sebagai schock absorber. Meninges
terdiri dari tiga lapisan dari luar kedalam yaitu : duramater, arachnoidea dan piamater.
a. Duramater
Merupakan selaput padat, keras dan tidak elastis. Duramater pembungkus medulla
spinalis terdiri atas satu lembar, sedangkan duramater otak terdiri atas dua lembar yaitu
lamina endostealis yang merupakan jaringan ikat fibrosa cranium, dan lamina
meningealis. Membentuk lipatan / duplikatur dibeberapa tempat, yaitu dilinea mediana
diantara kedua hehemispherium cerebri disebut falx cerebri , berbentuk segitiga yang
merupakan lanjutan kekaudal dari falx cerebri disebut Falx cerebelli, berbentuk tenda
yang merupakan atap dari fossa cranii posterior memisahkan cerebrum dengan
cerebellum disebut tentorium cerebelli, dan lembaran yang menutupi sella tursica
merupakan pembungkus hipophysis disebut diafragma sellae. Diantara dua lembar
duramater, dibeberapa tempat membentuk ruangan disebut sinus ( venosus ) duramatris.
Sinus duramatis menerima aliran dari vv. Cerebri, vv. Diploicae, dan vv. Emissari. Ada
dua macam sinus duramatis yang tunggal dan yang berpasangan. Sinus duramater yang
tunggal adalah : sinus sagitalis superior, sinus sagitalis inferior, sinus rectus, dan sinus
occipitalis. Sinus sagitalis superior menerima darah dari vv. Cerebri,vv. Diploicae, dan
vv. Emissari.Sinus sagitalis inferior menerima darah dari facies medialis otak. Sinus
rectus terletak diantara falx cerebri dan tentorium cerebelli, merupakan lanjutan dari v.
cerebri magna, dengan sinus sagitalis superior membentuk confluens sinuum. Sinus
occipitalis mulai dari foramen magnum, bergabung dengan confluens sinuum.
Sinus duramater yang berpasangan yaitu sinus tranversus, sinus cavernosus, sinus
sigmoideus dan sinus petrosus superior dan inferior. Sinus tranversus menerima darah
dari sinus sagitalis superior dan sinus rectus, kemudian mengalir ke v. jugularis interna.
Sinus sigmoideus merupakan lanjutan sinus tranversus berbentuk huruf S. Sinus petrosus
superior dan inferior menerima darah dari sinus cavernosus dan mengalirkan masing –
masing ke sinus traaanversus dan v. jugularis interna.
b. Aracnoidea
Membran halus disebelah dalam duramater, tidak masuk kedalam sulcus / fissura kecuali
fissura longitudinalis. Dari aracnoidea banyak muncul trabecula halus menuju kepiamater
membentuk bangunan seperti sarang laba – laba. Diantara aracnoidea dan piamater
terdapat ruang spatium subaracnoidale, yang dibeberapa tempat melebar membentuk
cisterna. Sedangkan celah sempit diantara duramater dan aracnoidea disebut spatium
subdurale, celah sempit diluar duramater disebut spatium epidurale. Dari aracnoidea juga
muncul jonjot – jonjot yang mengadakan invaginasi ke duramater disebut granulasio
aracnoidales terutama didaerah sinus sagitalis yang berfungsi klep satu arah
memungkinkan lalunya bahan – bahan dari LCS ke sinus venosus.
c. Piamater
Piamater melekat erat pada otak dan medulla spinalis, mengikuti setiap lekukan,
mengandung vasa kecil. Ditempat tertentu bersama dengan ependyma membentuk tela
choroidea. Piamater berperan sebagai barrier terhadap masuknya senyawa yang
membahayakan.

3. Penyebab
Penyebab cedera kepala antara lain adalah kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh
dan cedera olah raga, peluru atau pisau pada cedera kepala terbuka ( Corwin, J.E, 2001).

4. Tanda dan Gejala


a. Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%)
b. Hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mm Hg)
c. Gangguan kesadaran
d. Abnormalitas pupil
e. Defisit neurologic
f. Hemiparase
g. Kejang
h. Perubahan tanda-tanda vital
i. Mual dan muntah
j. Vertigo, gangguan pergerakan, mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran.
k. GCS < 8 (Mansjoer Arif ,dkk ,2000).
Tanda gejala menurut jenis pendarahannya
a. Epidural Hematoma
Gejala-gejala yang terjadi : Penurunan tingkat kesadaran, Nyeri kepala, Muntah,
Hemiparesis, Dilatasi pupil ipsilateral, Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal
irreguler, Penurunan nadi, Peningkatan suhu.
b. Subdural Hematoma
Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri,
berfikir lambat, kejang dan udem pupil Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di
jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri; kapiler; vena.
c. Perdarahan Subarachnoid
Tanda dan gejala : Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil
ipsilateral dan kaku kuduk (Hudak & Gallo, 2001).

5. Patofisiologi
Trauma pada kepala bisa disebabkan oleh benda tumpul maupun benda tajam.
Cedera yang disebabkan benda tajam biasanya merusak daerah setempat atau lokal dan
cedera yang disebabkan oleh benda tumpul memberikan kekuatan dan menyebar ke area
sekitar cedera sehingga kerusakan yang disebabkan benda tumpul lebih luas. Berat
ringannya cedera tergantung pada lokasi benturan, penyerta cedera, kekuatan benturan dan
rotasi saat cedera. Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti
trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera
perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak
bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara
bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang
terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi
dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan
robekan pada substansi alba dan batang otak. Cedera primer, yang terjadi pada waktu
benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera
robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera
otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. Genneralli dan kawan-kawan
memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala
berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan
dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta
kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau
hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan
terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia,
pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini
menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya (Brunner & Suddarth,
2002)

6. Pathway Terlampir

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Computerized Tomography Scanner (CT scan) dengan/tanpa kontras
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio aktif
c. Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak skundre
menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
d. Serial Electro Enchephalo Gram (EEG)
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
e. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema) fragmen tulang
f. Brain Auditory Evoked Respon (BAER)
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g. Positron Emission Tomography (PET)
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak
h. Cairan Serebrospinal (CSS)
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
i. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial
j. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
k. Rontgen thorahk 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
l. Toraksentesis
Menyatakan darah/cairan
m. Analisa gas darah (AGD/astrup)
Analisa gas darah (AGD/astrup) adalah salah satu tes diaknostik untuk menentukan
status status respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD
ini adalah status oksigenisasi dan status asam basa

8. Komplikasi
1) Patah tulang tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak.
Patah tulang tengkorak bisa melukai arteri dan vena, yang kemudian mengalirkan
darahnya ke dalam rongga di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak
bisa merobek meningens (selaput otak). Cairan serebrospinal (cairan yang beredar
diantara otak dan meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga. Bakteri kadang
memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi
serta kerusakan hebat pada otak. Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak
memerlukan pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya
bergeser.

2) Konkusio
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya
cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio
menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural yang
nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada
goncangan yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak.

Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang
abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam
atau hari. Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi,
menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan.
Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu,
jarang lebih dari beberapa minggu. penderita bisa mengalami kesulitan dalam bekerja,
belajar dan bersosialisasi. keadaan ini disebut sindroma pasca konkusio.
3) Gegar otak & robekan otak
Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang biasanya disebabkan
oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala. Robekan otak adalah robekan pada jaringan
otak, yang seringkali disertai oleh luka di kepala yang nyata dan patah tulang tengkorak.
Gegar otak dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI menunjukkan
kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa menyebabkan kelemahan pada
satu sisi tubuh yang diserati dengan kebingungan atau bahkan koma.
Jika otak membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak;
pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak.
4) Perdarahan intracranial
Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan darah di dalam
otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi
karena cedera atau stroke.
Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada
akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan
otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial
bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua
sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian.
Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara meningens
dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah merobek
arteri. darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat
memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga baru
muncul beberapa jam kemudian. sakit kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam
kemudian muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi
peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma.
5) Kerusakan pada bagian otak tertentu
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan mempengaruhi
kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks
serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan
beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.
6) Kerusakan lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik
(misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis
juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis
bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan.
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan
lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi
otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang
menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan
apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke
bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah
teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam; penderita
mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.
7) Kerusakan lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan
berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan
bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi
pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya.
Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi
tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia)
dan untuk menentukan arah kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali
bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan
bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam
dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian
maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.
8) Kerusakan lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya
sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan
gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur
emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan
akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan
gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan
menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya.
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami
perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang
tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

9. Penatalaksanaan
Secara umum :
1) Tindakan terhadap peningkatan TIK
a. Pemantauan TIK dengan ketat.
b. Oksigenasi adekuat
c. Pemberian manitol
d. Penggunaan steroid
e. Peninggatan tempat tidur pada bagian kepala
f. Bedah neuro
2) Tindakan pendukung lain
a. Dukung ventilasi
b. Pencegahan kejang
c. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
d. Terapi antikonvulsan
e. CPZ untuk menenangkan pasien
f. NGT

Penanganan pasien Di Unit Perawatan Intensif (UPI/ICU)


Kelompok ini terdiri dari penderita yang tidak mampu mengikuti perintah sederhana
bahkan setelah stabilisasi kardiopulmonal. Walau definisi tersebut memasukan cedera otak
dalam spektrum yang luas, ia mengidentifikasikan kelompok dari penderita yang berada
pada risiko maksimal atas morbiditas dan mortalitas. Pendekatan 'tunggu dan lihat' sangat
mencelakakan dan diagnosis serta tindakan tepat adalah paling penting.
Pengelolaan pasien dibagi 4 tingkatan:
a. Stabilisasi cardiopulmoner
Cedera otak sering diperburuk oleh kerusakan sekunder. Miller melaporkan pasien
dengan cedera otak berat yang dinilai saat masuk UGD, 30% dalam hipoksemik (PO2
<65 mmHg), 13% dengan hipotensif (TD sistolik < 95mmHg,dan 12% dengan anemik
(hematokrit < 30%). Diperlihatkan bahwa hipotensi saat masuk (TD sistolik <90
mmHg) adalah satu dari tiga faktor pada pasien dengan cedera kepala berat dengan
CT scan normal (dua lainnya adalah usia > 40 tahun dan posturing motor) yang,
bila ditemukan saat masuk, berhubungan dengan akan terjadinya peningkatan TIK.
TIK tinggi berhubungan dengan outcome yang lebih buruk. Karenanya wajib untuk
menstabilkan kardiopulmoner segera.
a) Jalan Nafas
Yang sering bersamaan dengan konkusi adalah terhentinya nafas untuk
sementara. Apnea yang lama sering menjadi penyebab kematian yang segera
pada suatu kecelakaan. Bila pernafasan buatan segera dilakukan, dapat dicapai
outcome yang baik. Apnea, atelektasis, aspirasi dan sindroma distres respirasi
akuta (ARDS) sering bersamaan dengan cedera kepala berat, dan karenanya satu-
satunya aspek yang paling penting dalam pengelolaan segera pasien tersebut
adalah mempertahankan jalan nafas yang baik. Setiap pasien dengan cedera
kepala berat harus diintubasi segera. Kecermatan harus diperhatikan dalam
menjamin letak yang benar dari tube endotrakhea, bukan esofageal. Jarang, bila
perlu dilakukan trakheostomi emergensi, terutama pada pasien dengan cedera
maksilofasial berat dimana intubasi dihindari karena pembengkakan berat
jaringan lunak serta adanya distorsi anatomi.
Dalam usaha mempertahankan jalan nafas, saluran mulut dan nasal harus bersih
dari semua benda asing, sekresi, darah dan muntah. Sekali tube endotrakheal
pada tempatnya, balon harus digembungkan untuk mencegah atau mengurangi
aspirasi, dan pengisapan seksama saluran trakheal harus dilakukan.
b) Tekanan Darah
Pada pasien cedera kepala sering di temukan Hipotensi dan hipoksia.Bila jalan
nafas sudah diperbaiki, nadi dan tekanan darah pasien diperiksa dan siapkan
jalur vena. Minimum dua jalur vena (gunakan Jelcos 14 atau 16)
harus terpasang baik. Umumnya digunakan kateter vena
infraklavikular perkutaneus subklavian atau jugular, walau kadang-kadang
pembukaan vena safena atau brakhial diperlukan untuk mendapat jalur vena yang
memadai. Pada titik ini, darah bisa diambil untuk pemeriksaan rutin,
skrining koagulasi, kadar alkohol serum, contoh untuk bank darah serta gas darah
arterial. Bila pasien hipotensif, sangat penting untuk memperbaikinya sesegera
mungkin. Hipotensi biasanya tidak karena cedera kepala semata, kecuali pada
fase terminal dimana sudah terjadi kegagalan medullari. Jauh lebih umum,
hipotensi adalah pertanda kehilangan darah banyak,yang mana bisa tampak atau
tersembunyi, atau keduanya.
Pada pasien cedera dengan hipotensif, pertama harus dipikirkan cedera cord
spinal yang terjadi (dengan kuadriplegia atau paraplegia) serta kontusi atau
tamponade kardiak dan pneumotoraks tension sebagai penyebabnya. Selama
upaya mencari penyebab hipotensi, penggantian volume harus dimulai dengan
menggunakan salin normal atau plasmanat. Transfusi darah harus dilakukan
sesegera mungkin bila tekanan darah tidak bereaksi memadai terhadap
penggantian cairan atau bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gm% (HCT 30%).
Darah kelompok O Rh negatif mungkin bisa digunakan selama belum
tersedianya darah yang telah dibanding silang. Pentingnya parasentesis
abdominal rutin pada pasien koma dengan hipotensif sudah terbukti.
Harus ditekankan bahwa pemeriksaan neurologis tidak berarti sepanjang pasien
dalam hipotensif. Pasien yang tidak responsif terhadap stimulasi saat hipotensif,
sering kembali kepemeriksaan neurologis yang mendekati normal segera setelah
tekanan darah diperbaiki.
c) Kateter
Kateter Foley ( 16-18 French untuk dewasa) diinsersikan dengan hati-hati dan
urine dikirimkan untuk pemeriksaan urinalisis dan skrining toksik (bila tersedia).
Hematuria gross mengarah pada cedera renal dan iniindikasi untuk IVP
emergensi. Hematuria ringan mungkin sekunder atas kateterisasi traumatika,
kontusi renal atau jarang-jarang aneurisma aortik dissekting. Perhatian khusus
harus diberikan atas catatan masukan dan keluaran cairan, terutama pada anak
dan orang tua. Sebagai tambahan untuk menjamin keseimbangan cairan, setiap
catatan membantu penaksiran kehilangan darah serta pengamatan perfusi renal.
Setelah stabilitas pulmonal tercapai pada pasien yang mengalami cedera kepala
berat, maka di lanjutkan pada tahap berikutnya yaitu

b. Pemeriksaan Umum
Selama proses penstabilan kardiopulmoner, dilakukan pemeriksaan umum secara
cepat untuk mencari cedera lain. Lebih dari 50% pasien cedera kepala berat disertai
cedera sistemik major lainnya, memerlukan penanganan oleh spesialis lain. Perhatian
khusus diberikan pada : Cedera kepala dan leher: laserasi, tempat perdarahan, otorrhea,
rhinorrhea, mata racoon (ekkhimosis periorbital).
a) Cedera toraks: fraktura iga, pneumotoraks atau hemotoraks, tamponade
kardiak, (dengan bunyi jantung lemah, distensi vena jugular, dan hipotensi),
aspirasi, atau ARDS.
b) Cedera abdominal: terutama laserasi hati, limpa atau ginjal. Perdarahan
biasanya berakibat tenderness, guarding atau distensi abdominal. Namun tanda-
tanda ini mungkin tidak muncul dini dan mungkin tersembunyi pada pasien koma.
Adanya bising usus biasanya pertanda tenang.
c) Cedera pelvik: Cedera pada pasien yang tidak koma bisa ditetapkan secara
klinis. Konfirmasi radiologis biasanya diperlukan. Pemeriksaan rektal mungkin
berguna. Cedera pelvik sering bersamaan dengan kehilangan darah tersembunyi
dalam jumlah besar.
d) Cedera tulang belakang: Trauma kepala dan tulang belakang mungkin bersamaan,
dan kombinasi tersebut harus selalu dicari walau kejadiannya hanya 2 hingga 5%
dari pasien cederaCedera ekstremitas: Mungkin terjadi kerusakan tulang
atau jaringan lunak (otot, saraf, pembuluh darah). Fraktura pada pasien gelisah
harus dibidai segera untuk mencegah kerusakan saraf dan pembuluh
bersangkutan. Tindakan definitif pada kebanyakan pasien cedera ekstremitas
dapat ditunda hingga setelah tindakan terhadap masalah yang mengancam nyawa.
kepala berat. Tulang belakang leher paling sering dikenai.

c. Pemeriksaan Neurologis
Segera setelah status kardiopulmoner distabilkan, pemeriksaan neurologis cepat dan
terarah dilaksanakan. Walau berbagai faktor dapat menghalangi penilaian akurat dari
status neurologis pasien pada saat tersebut (hipotensi, hipoksia, atau intoksikasi), data
yang berharga dapat diperoleh. Antara alert penuh dan koma dalam, terjadi perubahan
kesadaran yang sinambung hingga sulit untuk melakukan penilaian secara
objektif. Sebagai dikemukakan didepan, untuk keperluan ini SKG digunakan secara
luas. Bila pasien menunjukkan respons yang bervariasi terhadap stimulasi, atau
responsnya berbeda pada setiap sisi, tampilan respons yang terbaik lebih merupakan
indikator prognostik yang lebih akurat dibanding respons yang terburuk. Untuk
mengikuti kecenderungan arah perjalanan penyakit, lebih baik melaporkan baik
respons terbaik maupun terburuk. Dengan kata lain, respons motor sisi kiri dan
kanan dicatat terpisah. Sebagai stimulus nyeri standar adalah penekanan dalam
terhadap bed kuku. Pemeriksaan tidak hanya terbatas pada parameter ketidaksadaran
yang digunakan dalam SKG (kemampuan membuka mata, respons motor serta
respons verbal), namun hal yang sama pentingnya dalam menaksir pasien dengan
gangguan kesadaran adalah usia, tanda-tanda vital, res- pons pupil, dan gerakan mata.
SKG memberikan grading sederhana dari arousal dan kapasitas fungsional korteks
serebral, dan respons pupil serta gerakan mata digunakan untuk menilai fungsi
batang otak. Usia lanjut, hipotensi, dan hipoksia semuanya mempengaruhi buruknya
outcome. Semua faktor tersebut berpengaruh dalam penentuan prognosis pada cedera
kepala berat.

d. Prosedur Diagnostik
Segera setelah keadaan kardiorespiratori distabilkan dan pemeriksaan neurologis
pendahuluan dilengkapkan, segera ditentukan adanya lesi massa intrakranial. Pasien
diintubasi dan diparalisakan memakai pankuronium (Pavulon) atau obat sejenis dan
dipasang ventilasi mekanik. Manuver ini mencegah pasien menggeliat atau bergerak,
yang berarti mencegah terjadinya peninggian TIK dan secara nyata menambah kualitas
pemeriksaan diagnostik. CT scanning mengungguli semua tes yang lebih kuno. Namun
tes lain digunakan juga baik sebagai pengganti CT scanning, atau tes angiografi untuk
melengkapi data tertentu.
ASUHAN KEPERAWATAN

CEDERA KEPALA BERAT (CKB)

1. Pengkajian

a. Identitas pasien
Nama, Umur, Jenis kelamin, Agama, Pendidikan, Pekerjaan, Alamat, Status
perkawinan
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Berisi data subyektif yang dirasakan pasien ketika masuk rumah sakit.
2) Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengalami penurunan kesadaran, latergi, mual muntah, nyeri kepala,
perdarahan, kelemahan, fraktur tengkorak, amnesia sesaat, gangguan pendengaran
penciuman penglihatan.
3) Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah mengalami penyakit sistem saraf, riwayat trauma terdahulu, riwayat
penyakit darah dan riwayat penyakit sistemik
4) Riwayat penyakit keluarga
Adanya riwayat penyakit menular
c. Pemeriksaan fisik
1) Kesadaran coma
GCS : 3-8
2) Vital sign
Tekanan darah : menunjukkan normal atau abnormal
Suhu : berada pada rentang hipertermi suhu > 38oC
Nadi : takikardi
RR : normal atau abnormal
3) 6 B
a) B1 (Breating)
Inspeksi : pasien terlihat menggunakan otot bantu nafas, terlihat peningkatan
frekuensi nafas
Auskultasi : terdapat bunyi stridor yang diakibatkan lidah jatuh ke belakang
ketika penurunan kesadaranataupun kejang. Terdengar suara ronchi akibat
penumpukan sputum pada jalan nafas
Perkusi : terdapat bunyi redup jika terdapat edema paru
Palpasi : tidak terdapat benjolan atau massa pada thorak

b) B2 (Blood)
Inspeksi : pasien terlihat pucat, sianosis jika terjadi gangguan perfusi. Terdapat
perdarahan di area kepala dengan fraktur atau dengan tanpa fraktur akibat
kerusakan jaringan
Auskultasi : terdengar suara bunyi jantung S1 S2 tunggal
Perkusi : tidak terdapat bunyi redup
Palpasi : terjadi peningkatan frekuensi nadi, nadi teraba lemah, distritmia, tidak
terdapat pembesaran vena jugularis

c) B3 (Brain)
Inspeksi : terjadi penurunan kesadaran, respon pupil menunjukkan mengecil
menandakan disfungsi enchepalo dan gangguan metabolisme. Terlihat sulit
menggerakkan bagian tubuh sebagian tergantung bagian otak mana yang
mengalami cedera
Palpasi : terdapat benjolan berupa hematoma karena adanya internal bledding,
terdapat nyeri tekan pada bagian yang mengalami luka

d) B4 (Blader)
Inspeksi : tidak terdapat luka pada area blader. Pasien mengalami oliguria dan
gangguan perfusi hingga ke ginjal akibat adanya gangguan metabolisme. Terjadi
inkontinensia urin akibat gangguan sistem saraf
Palpasi : teraba keras akibat terjadi retensi urin ataupun bendungan urin
Perkusi : terdengar bunyi redup jika terdapat bendungan urin

e) B5 (Bowel)
Inspeksi : pasien terlihat mual dan muntah akibat peningkatan TIK
Auskultasi : penurunan jumlah bising usus dan akan terdengar lemah
Palpasi : tidak terdapat asites atau benjolan
Perkusi : terdengar bunyi timpani

f) B6 (Bone)
Inspeksi : pasien datang terlihat parase atau paraplegi akibat bagian otak yang
rusak
Palpasi : terdapat nyeri tekan pada tulang tengkorak yang mengalami kontraktur
atau fraktur. Terdapat gangguan reflek patella sesuai letak otak yang mengalami
kerusakan serta penurunan tonus otot

2. DIAGNOSA

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan

b. Pola nafas tidak efektif b.d gangguan neuromuscular

c. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi perfusi

d. Risiko perfusi serebral tidak efektif b.d cedera kepala

e. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik


3. INTERVENSI
No SDKI SLKI SIKI

1 Bersihan jalan nafas a. Produksi sputum Manajemen jalan nafas


tidak efektif b.d sekresi menurun a. Monitor pola nafas
yang tertahan b. Mengi menurun (frekuensi, kedalaman,
c. Wheezing menurun usaha nafas)
d. Dispnea menurun b. Monitor bunyi nafas
e. Gelisah menurun tambahan
c. Monitor sputum
d. Pertahankan kepatenan
jalan nafas
e. Lakukan pengisapan
lender kurang dari 15
detik
f. Berikan oksigen

2 Pola nafas tidak efektif a. Ventilasi Manajemen jalan nafas


b.d gangguan meningkat Pemantauan respirasi
neuromuskular b. Dispneu a. Monitor frekuensi,
menurun irama, kedalaman, dan
c. Penggunaan otot upaya nafas
bantu nafas b. Monitor pola nafas
menurun c. Monitor adanya
d. Frekuensi nafas produksi sputum
membaik d. Monitor adanya
penyumbatan jalan nafas
e. Auskultasi bunyi nafas
f. Monitor saturasi oksigen
g. Monitor nilai AGD
h. Monitor hasil x-ray
toraks

3 Gangguan pertukaran a. Tingkat kesadaran Pemantauan respirasi


gas b.d meningkat Terapi oksigen
ketidakseimbangan b. Dispnea menurun a. Monitor kecepatan aliran
ventilasi perfusi c. Bunyi nafas oksigen
tambahan menurun b. Monitor posisi alat
d. Pusing menurun oksigen
e. Gelisah menurun c. Monitor aliran oksigen
f. PCO2 membaik d. Monitor tanda-tanda
g. PO2 membaik hipoventilasi
h. Takikardia e. Pertahankan kepatenan
membaik jalan nafas
i. Pola nafas membaik
j. Warna kulit
membaik
4 Risiko perfusi serebral a. Tingkat kesadaran Manajemen
tidak efektif b.d cedera meningkat peningkatan tekanan
kepala b. Sakit kepala intrakranial
menurun a. Identifikasi penyebab
c. Gelisah menurun peningkatan TIK
d. Kecemasan b. Monitor tanda dan
menurun gejala peningkatan TIK
e. Demam menurun c. Monittor MAP (Mean
f. Nilai rata-rata Atrial Pressure)
tekanan darah d. Monitor CPV (Central
membaik Venous Pressure) jika
perlu
e. Monitor PAWP, jika
perlu
f. Monitor PAP, jika
perlu
g. Monitor status
pernafasan
h. Monitor intake dan
output cairan
i. Kolaborasi pemberian
obat

5 Nyeri akut berhubungan a. Nyeri terkontrol Manajemen nyeri


dengan agen pencedera b. Kemampuan Pemberian analgetik
fisik mengenali penyebab a. Identifikasi karakteristik
nyeri nyeri
c. Kemampuan b. Identifikasi riwayat
menggunakan alergi obat
teknik non- c. Identifikasi kesesuaian
farmakologi jenis analgetik
d. Penggunaan d. Monitor tanda tanda vital
analgetik e. Monitor efektivitas
analgetik
f. Jelaskan efek terapi dan
efek samping obat
g. Kolaborasi pemberian
dosis dan jenis analgetik
sesuai indikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Mdikal Bedah, edisi 8. Jakarta :
EGC
Gallo & Hudak. 2001. Keperawatan Kritis, edisi VI. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
PPNI. 2018. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai