Anda di halaman 1dari 18

Continuing Medical Education

IMPLEMENTING ORAL TREATMENT SRATEGIES


IN CLL: THE PATIENT FIRST RELAPSE AFTER
INITIAL THERAPY

Pembimbing :
dr. Wahyu Djatmiko, Sp. PD, KHOM

Oleh :
Revania Radina Thirza - G4A018080
Pendahuluan
• Tahun 2019, di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 20.720 kasus baru
dan 3.930 kematian terjadi akibat Chronic Lymphoctic Leukimia (CLL)

Secara Global insidensi CLL masih tetap yaitu pada angka 4-5 per 100.000
penduduk di Negara Barat dan 2 per 100.000 penduduk di Negara Timur.

Angka harapan hidup dalam 5 tahun meningkat secara tetap yaitu 65%
pada tahun 1970 menjadi 85.1% di tahun 2009-2015 di Amerika Serikat.

• Mayoritas pasien CLL adalah lansia yang rata-rata berusia diatas 70 tahun. Dimana pada lansia biasanya terdapat
heterogenitas kondisi kesehatan yang berbeda pada setiap individu, yang berkaitan dengan proses fisiologis penuaan
dan kondisi patologis lainnya (komorbid dan sindrom geriatri)
• Dalam tataaksana pasien lansia perlu ada pertimbangan berbagai faktor terkait risiko pada pasien maupun penyakit
pasien itu sendiri. Selain itu adanya kompleksitas genetik terkait penyakit pasien, khususnya CLL, membutuhkan
dilakukannya personalisasi terapi
• Saat ini personalisasi terapi pada pasien CLL masih menghadapi berbagai tantangan.
Pemeriksaan Sitogenetik
• Pemeriksaan akurat terkait abnormalitas sitogenetik merupakan hal krusial untuk menentukan terapi CLL
yang optimal. Tabel 1 menunjukan rekomendasi test sitogenetik minimal utuk pasien CLL.
• Guideline lain juga merekomendasikan penggunaan Fluorescene in Situ Hybridation (FISH) untuk mendeteksi
del(17p) dan mutasi IgHV.

Rekomendasi Test
• FISH untuk deteksi trisomi 12, del (11q), del (13q), dan del (17p), serta menyingkirkan t(11;14)
• Sekuensing TP53
• cpG (Cytosine-Phosphate-Guanosie) -stimulated metaphase karotype untuk complex karyotype
Favorabel Prognostic Finding Unfavorable Prognostic Findings
• del (13q) • del(17p), del(11q)
• TP53 wild-type • mutasi TP53
• Mutasi IgVH > 2% • Mutasi IgVH ≤2%
• Complex Karyotype : ≥3 abnormalitas
kromosom yang tidak terkait pada >1 sel
kariotipe
• Lebih dari 10% pasien CLL megalami mutasi TP53, dimana biasanya memiliki respon yang buruk pada
kemoterapi standar dan tingkat survival yang rendah.
• Penggunaan agen-agen dengan target sel B reseptor (Bruton Tyrosine Kinase (BTK) Inhibitor,
Phosphoinositide 3- Kinase (PI3K)) dan jalur apoptosis (B-Cell Lymphoma (BCL) inhibitor) memiliki efek yang
signifkan pada aktivitas mutasi TP53 dan IgHV yang tidak mengalami mutasi
• Pasien CLL dengan del(17p) cenderung resisten terhadap terapi alkylating agent dan analog purin. Pada
pasien CLL dengan del(11q) sebagian besar memiliki manifestasi bulky lymphadenopaty. Pasien dengan
delesi kromosom ini cenderung memiliki prognosis buruk

Mutasi gGVH < IgVH tidak mutasi < del(17p) del(11q)


• Tes molekular kedua direkomendasikan untuk
semua pasien yang mengalami progresifitas
penyakit. Selain itu, tes ini juga berguna untuk
menilai adanya mutasi didapat yang dihubungkan
dengan resistensi BTK inhibitor (seperti BTK, PLCG2)
• Progresivitas penyakit dapat teradi akibat
transformasi Ritcher atau mutasi yang terjadi akibat
resistensi terapi
• Pada beberapa studi, pasien CLL yang mendapat
terapi agen tunggal ibrutinib dan menggalami
progresivitas, mutasi BTK dan PLCG2 merupakan hal
yang umum terjadi.
• Mutasi BTK (Cys48) dan/atau PLCG2 ditemukan pada
8 dari 10 pasien yang mengalami progresivitas CLL
dan 1 pasien dengan transformasi polimorfik

Selama tes molekular kedua pada pasien yang mengalami progresivitas CLL dilakukan, terapi sebelumnya
tidak boleh dihentikan tiba-tiba, karena akan terjadi pertumbuhan CLL yang sangat cepat.
Pertimbangan Terapi
Terapi CLL diindikasikan untuk pasien pada semua stadium, termasuk severe fatigue, penurunan BB, keringat mal
am hari, demam tanpa infeksi, ancaman kegagalan fungsi organ, bulky disesase (pembesaran lien dan limfonodi) y
ang progresif, anemia atau trombositopenia yang progresif, atau steroid-refractory autoimmune cytopenia.
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum inisiasi terapi meliputi usia pasien, tingkat kebugaran pasie
n, dan ada atau tidaknya hasil pemeriksaan sitogenetik yang merugikan (unfavorable)
Terdapat berbagai macam regimen terapi oral yang saat digunakan untuk CLL, yaitu analog nukleosid, agent alkyl
ating, agen biologik, dan terapi target, yang dapat diberikan sebagai monoterapi atau terapi kombinasi.
Allogenic hematopoietic stem cell transpantation (alloHCT) saat ini merupakan satu-satunya terapi kuratif yang dik
etahui, meskipun pada pasien dengan mutasi IgHV yag menerima FCR (fludarabine, cyclophosphamaide, dan ritux
imab) dapat mencapai prolong treatement-free remission, sehinngga dapat bersifat kruratif.
Pasien CLL biasanya merupakan lansia yang juga memiliki beban komorbiditas yang tinggi (seperti penyakit jantun
g, ginjal, dan paru; diabetes, artritis, ganggan kognitif, depresi). Terapi pada pasien CLL sendiri dapat menimbulkan
atau memperparah komorbiditas (seperti neuropati, penyakit kardiak, penyakit ginjal, dan insufisiensi hepatik). P
asien dengan komorbiditas lebih toleran pada agen biologis, terapi antibodi monoklonal, atau agen kemoterapi st
andar dengan modifikasi dosis yang dikombinasikan dengan rituximab.
Alkylating Agent Analog nukleotida
Nitrogen mustards (eg, bendamustine, chlorambucil,
Fludarabine
cyclophosphamide, ifosfamide, mechlorethamine,
melphalan)
Terapi Target
Nitrosoureas (eg, carmustine, lomustine, streptozocin)
Target Reseptor Sel B Jalur Apoptosis
BTK Inhibitor PI3K BCL Inhibitor
Alkyl sulfonates (eg, busulfan)
Ibrutinib Idelalisib (IdR) Venetoclax
Triazines (eg, dacarbazine, temozolomide) Zanubrutinib Copanlisib
Aclabrutinib Duvelisib
Ethylenimines (eg, altretamine, thiotepa) Alpelisib
First Line Therapy

Hingga saat ini bendamustine-rituximab (BR) dan FCR (fludarabine, cyclophosphamaide, dan rituxim
ab) masih menjadi terapi lini pertama untuk pasien CLL dengan/tanpa mutasi IGVH, selama TP53 tidak
mengalami mutasi atau ada del(17p).
Studi terbaru juga menunjukan terdapat peningkatan survival pada pemberian ibrutinib atau ibrutini
b-rituximab dibandingkan chemoimmunitherapy (CIT) berbasis rituximab, baik pada pasien tua ataup
un muda.
Venetoclax juga telah disetujui oleh European Medicines Agency (EMA) sebagai lini pertama terapi CL
L.
Terapi lini pertama pada pasien CLL ini dapat mempengaruhi terapi selanjutnya pada pasien yang men
galami relapsed/refractory (R/R) CLL.
Terapi setelah BTK-Inhibitor
Venetoclax merupakan inihibitor selektif BCL-2 yang memicu apoptosis, dan seperti BTK inhibitor memiliki aktivit
as tinggi pada mutasi TP53 .
Namun penggunaan Venetoclax sebagai terapi memiliki risiko terjadnya TLS (Tumor Lysis Syndorome) yang jauh l
ebih tinggi dibandingkan penggunaan terapi CLL lain.
Mekanisme : venetoclax secara cepat membersihkan sel CLL dalam darah, yang dapat memicu peningkatan kadar
Kalium, Fosfor, dan asam urat (dari metabolisme purin). Ketidakseimbangan inilah yag disebut TLS, dimana TLS in
i dapat menyebabkan acute kidney injury yang mengancam jiwa, aritmia, dan komplikasi neurologis.
Pemberian venetoclax dimulai dari dosis 20 mg setiap hari, kemudian ditingkatkan setiap minggu menjadi 50 mg,
100 mg, 200 mg, hingga mencapai dosis target 400 mg.
Peningkatan terapi ini diikuti dengan monitoring risiko TLS melalui pemeriksaan laboratoris meliputi pemeriksaa
n kimia darah (Kalium, asam urat, fosfor, kalsium, dan kreatinin)
Prinsip manajemen TLS adalah hidrasi yang adekuat; pemantauaan elektrolit ketat, asam urat, dan fungsi ginjal; se
rta kontrol asam urat, fosfor, dan kalium dengan pemberian allopurinol atau rasburicase, fosfat binder, dan agen p
enurun kalium. Manajemen TLS juga dilakukan berdasarkan tingkatan tumor burden.
Pada pasien dengan CrCl <80 ml/min dan medium tumor burden, pertimbangkan untuk melakukan manajemen T
LS sebagai risiko tinggi
Monitoring Risiko TLS
Prophylaxis
Tumor Burden Anti- Blood Chemistry Monitoring
Hydration
Hyperuremics*
Low Oral (1.5 sampai Allopurinol Rawat Jalan
Semua LB < 5 cm 2 L) • Pada dosis pertama 20 mg dan 50 mg : pre-dose, pada 6-8
dan ALC < 25 x jam, 24 jam
109/L • Pada dosis berikutnya : pre-dose
Medium Oral (1.5 sampai Allopurinol Pertimbangkan Rawat Inap
LN 5-10 cm atau 2 L) dan dapat Pada dosis pertama 20 mg dan 50 mg untuk pasien dengan CrCl
ALC ≥25x109/L ditambahkan < 80 ml/min : lihat monitoring di rumah sakit pada tabel dibawah
melalui IV
Rawat Jalan
• Pada dosis pertama 20 mg dan 50 mg : pre-dose, pada 6-8
jam, 24 jam
• Pada dosis berikutnya : pre-dose, pada 6-8 jam, 24 jam dapat
dipertimbangkan

High Oral (1.5 sampai Allopurinol, Di Rumah Sakit


LN ≥10 cm atau 2 L) dan IV (150 pertimbangkan Pada dosis pertama 20 mg dan 50 mg : pre-dose, 4, 8, 12, dan
ALC ≥25 x109/L sampai200 penggunaan 24 jam
dam :N ≥5 cm ml/jam) rasburicase jika
baseline asam urat Rawat Jalan
meningkat Pada dosis berikutnya : pre-dose, 6 hingga 8 jam, 24 jam
PI3K (Phosphoinositide 3- Kinase) Inhibitor
Pada sebuah penelitian studi fase 3, perbandingan respon pada pasien yang sebelumnya belum pernah meneri
ma agen target (seperti BTK inhibitor) kemudian diberikan rituximab dan idelalisib dibandingkan rituximab dan
plasebo, perbandingan respon tersebut adalah 81% dan 13%.
Duvelisib adalah bentuk oral dual inhibitor PI3K yaitu delta dan gamma. Duvelisib secara signifikan dapat meni
ngkatkan survival dibandingkan ofatumumab pada pasien yang mengalami refrakter CLL/Small Lymphocytic L
ymphoma (SLL).

Berikut merupakan rangkuman perbandingan antara Ibrutinib, Venetoclax, dan Idealisib

Agen Kelebihan Kekurangan Interaksi Obat


Ibrutinib • Follow-up PFS terpanjang hingga • Risiko perdarahan tinggi termasuk kadar • Antikoagulan (hindari jika
saat ini platelet rendah <30x109/L memungkinkan, khususnya
• Respon cepat pada penyakit nodal- • Myelosupresif warfasin, dan jika dibutuhkan,
predominan • Cardiotoxic gunakan NOACs)
• Meningkatkan risiko Infeksi • Hindari penggunaan dual
• Sulit mengontrol hipertensi dan atrial fibrilasi antiplatelet therapy
• Autoimunitas aktif dapat menunjukan serangan • Hindari CYP3A inhibitor kuat
awal sebelum mencapat kontrol jangka • CYP3A inhibitor sedang :
panjang mengurangi dosis ibrutinib
• Studi saat ini menunjukan terdapat outcome
yang buruk pada pasien dengan komorbid
Agen Kelebihan Kekurangan Interaksi Obat
Venetoclax ± • Sangat efektif dalam clearance • Toxic terhadap ginjal • Hindari penggunaan CYP3A
rituximab sumsum tulang, dean berpotensi • Spontan TLS inhibitor kuat atau gunakan
untuk mencapai MRD secara • Myelosupresi penurunan dosis yang
negatif • Tolerasi terhadap ciran dan peningkatan dosis signifikan
• DMemungkinkan durasi terapi sulit • CYP3A inhibitor sedang atau P-
yang tetap Glycoprotein inhibitor :
• Menurunkan risiko infeksi mengurangi dosis 50%
• Mungkin lebih aman pada kondisi • meningkatkan konsentrasi
autoimunitas yang aktif serum warfarin

Idelalisib + • Respon cepat pada penyakit nodal- • Profil AE dapat merupakan tantangan namun • CYP3A inhibitor kua
rituximab predominan kemungkinannya lebih baik pada pasien yang
• Bukan kontraindikasi pada penyakit lebih tua yang pernah mendapatkan multiple
kardiak atau ginjal therapy sebelumnya (teruatma CIT)
• Terdapat percobaan yang • Myelosupresi
memberikan obat ini pada pasien • Penyakit hepatik
dengan komorbiditas medis tinggi • Inflammatory Bowel Disease
• Autoimunitas Aktif
• Infeksi Aktif
Terapi Lain

Lisocabtagene maraleucel merupakan anti-CD19 chimeric antigen receptor (CAR) terapi


sel T.
Pada 23 pasien, yang diberikan Lisocabtagene maraleucel, dimana 83% pasien memiliki
penyakit yang berisiko tinggi, semuanya telah menerima Ibrutinib, dan 56,5% menerima ve
netoclax. Respon terapi pemberian Lisocabtagene maraleucel adalah 82%
Dua dari 22 pasien mengalami cytokine realease syndrome dengan derajat ≥3 dan 5 dianta
ar 22 pasien mengalami neurologic events derajat ≥3.
Monitoring Respon dan Prognosis
Kriteria iwCLL ( International Workshop on Chronic Lymphocytic Leukemia)
Kelompok Parameter Complete Response Progressive Stable Disease Progressive Disease
Response
A (TumorLoad) Limfonodi tidak ≥ 15 cm Berkurang ≥ 50% (dari Perubahan dari -49% Peningkatan ≥ 50% dari
baseline) hingga +49% baseline atau dari respon
Pembesaran hepar Ukuran lien < 13 cm, Berkurang ≥ 50% (dari Perubahan dari -49% Peningkatan ≥ 50% dari
dan/atau lien ukuran hepar normal baseline) hingga +49% baseline atau dari respon
Gejala konstitusional Tidak ada ada ada ada
Limfosit Count pada Normal Berkurang ≥ 50% (dari Perubahan dari -49% Peningkatan ≥ 50% dari
sirkulasi baseline) hingga +49% baseline atau dari respon
B (Marrow Platelet Count ≥100 x 109/L ≥ 100 x 109/L atau Perubahan dari -49% Penurunan ≥ 2g/dL dari
Function) peningkatan ≥50% hingga +49% baseline sekunder dari
melebihi baseline CLL

Hemoglobin ≥ 11.0 g/dL (unsaturated ≥ 11 gdL atau Peningkatan <11.0 g/dL Penurunan ≥ 2g/dL dari
dan tanpa eritropoietin) peningkatan ≥50% atau <50% melebihi baseline sekunder dari
melebihi baseline baseline, atau CLL
penurunan <2g/dL
Marrow Normoselular, tidak ada sel ada sel CLL, atau Tidak ada perubahan Peningkatan sel CLL ≥
CLL, tidak ada nodulB- Nodul B-Lymphoid pada infiltrat sumsu 50% pada biopsi
Limfoid tulang
Sequence of Treatments
Pengobatan CLL berkembang dengan cepat, meskipun masih ada banyak ketidakpastian sehubungan dengan urutan ter
api. Dengan demikian, dalam praktiknya terdapat variasi yang luas dalam pola pengobatan .
Dalam studi CLL Collaborative of Real-World Evidence (CORE) studi di Amerika Serikat pada 267 pasien dengan CLL 87%
telah menerima agen baru di beberapa titik dalam perjalanan perawatan mereka (15% lini pertama; 58% lini kedua; 27
% ≥ lini ketiga). Dari jumlah tersebut, 86% menerima ibrutinib
Dari semua 267 pasien, 54% menerima kemoterapi dan / atau imunoterapi, diikuti oleh agen baru; 24% menerima agen
baru, diikuti oleh agen baru kedua; 7% menerima agen baru diikuti oleh kemoterapi dan / atau imunoterapi; dan 18% m
enerima kemoterapi dan / atau imunoterapi baik pada terapi lini pertama dan selanjutnya
Sekitar sepertiga dari pasien yang menerima ibrutinib melanjutkan untuk menerima venetoclax di lini terapi berikutnya
Sekitar 71% pasien yang menerima rejimen venetoclax menerima monoterapi; 24% menerima venetoclax plus rituxima
b; <5% menerima venetoclax plus obinutuzumab. Hampir setengah dari pasien yang menerima venetoclax sebagai agen
novel pertama melanjutkan untuk menerima ibrutinib di baris kedua

Berdasarkan pendapat para ahli, direkomendasikan bahwa pada pasien lansia dan lemah ditawarkan pengobatan de
ngan agen yang lebih baru, dengan panduan yang jelas tentang kapan harus berhenti dan selalu melakukan monitoring
efek samping. Toksisitas ibrutinib membuat agen ini kurang dapat ditoleransi dengan baik pada pasien yang lebih tua, se
dangkan toksisitas dari inhibitor BTK yang lebih baru seperti acalabrutinib, dan agen lain seperti venetoclax, PI3K inhi
bitor, dan kemoterapi yang lebih ringan, seperti chlorambucil, lebih mudah ditoleransi dan lebih disukai pada pasien y
ang lemah dan memiliki komorbiditas yang signifikan.
BTK Inhibitor setelah CIT
Delesi 17p atau mutasi TP53 dikaitkan dengan prognosis yang buruk. CLL dengan mutasi ini membe
rikan respons yang buruk terhadap CIT standar (misalnya, BR, FCR). Ibrutinib terbukti efektif terhad
ap CLL dengan del (17p) pada pasien dengan R / R CLL
Acalabrutinib telah menunjukkan kemanjuran dan keamanan yang signifikan dalam uji klinis.
Acalabrutinib dikaitkan dengan toksisitas yang lebih rendah daripada Idelalisb (IdR) / BR.
Berdasarkan uji coba MURANO, venetoclax plus rituximab juga akan menjadi opsi yang disetujui dan
sesuai.
Inhibitor BTK dan venetoclax efektif pada CLL dengan mutasi TP53
Umum untuk menemukan pasien dengan CLL yang kambuh setelah CITs seperti BR dan FCR. Agen p
ertama yang paling umum yang diterima pasien adalah ibrutinib, dan, pada tingkat lebih rendah,
venetoclax / rituximab, acalabrutinib, dan IdR
Thank You

Anda mungkin juga menyukai