PENDAHULUAN
dan Switzerland adalah tes Sniffin Sticks. Tes ini dapat menilai ambang penghidu,
diskriminasi penghidu dan identifikasi penghidu . 2,7
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah adalah
pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, alar nasi, kolumela dan lubang
hidung(nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis),
prosesus frontalis osmaksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung,
yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilagoalar mayor, beberapa pasang kartilago alar
minor dan tepi anterior kartilago septum.
kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung
dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os rnaksila dan
ospalatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis,yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung.
bawah bulbusol faktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
rnukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
Sistem olfaktorius terdiri dari mukosa olfaktorius pada bagian atas kavum nasal,
fila olfaktoria, bulbus subkalosal pada sisi medial lobus orbitalis. Saraf ini merupakan saraf
sensorik murni yang serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan
menembus area kribriformis dari tulang etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius,
dari sini, traktusolfaktorius berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus temporal
bagian medial sisi yang sama. Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung
di dekat cribiform plate, septum nasi superior dan dinding nasal superolateral. Struktur ini
merupakan neuro epithelium pseudostratified khusus yang didalamnya terdapat reseptor
olfaktorius utama.
Variasi menghidu pada individu mencirikan struktur region penghidu, perbedaan ini
berhubungan dengan ketebalan mukosa (biasanya sekitar 60 mikron), ukuran sel dan
vesikel olfaktorius. Epitelium olfaktorius terdiri atas tiga lapisan sel yaitu saraf bipolar
olfaktorius, sel sustentakular penyokong yang besar jumlahnya dan sejumlah sel basal. Selsel olfaktorius merupakan suatu neuron bipolar. Ujung distal sel ini merupakan suatu
dendrit yang telah mengalami modifikasi yang menonjol di atas permukaan epitel
membentuk vesikel olfaktorius. Silia berdiri di atas tonjolan mukosa yang dinamakan
vesikel olfaktorius dan masuk ke dalam lapisan sel-sel reseptor olfaktoria. Pada permukaan
vesikel terdapat 10 sampai 15 silia nonmotil. Ujung proksimal sel membentuk akson, di
mana akson ini bergabung dengan akson lainnya membentuk neuron olfaktorius.
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
Neuron olfaktorius mempunyai akson yang tidak bermielin, akson dari sensosel
dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang melalui lamina kribrosa ke dalam
bulbus olfaktorius. Bulbus olfaktorius terletak di basal lobus frontalis. Bulbus olfaktorius
terdiri atas beberapa lapisan (dari luar ke dalam bulbus), yaitu lapisan gromerular, lapisan
pleksiformis eksternalis, lapisan sel mitral, lapisan pleksiformis internal dan lapisan sel
granula. Di dalam bulbus olfaktorius terjadi sinaps dengan dendrit neuron kedua. Aksonakson neuron kedua
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
10
2.4 Patogenesis
Aspek-aspek molekuler dari penciuman kini telah dipahami. Pada mammalia,
kemungkinan ada 300-1000 gen reseptor penciuman yang termasuk dalam 20 keluarga
yang berbeda yang terletak di berbagai kromosom dalam kelompok-kelompok. Gen-gen
reseptor ditemukan pada lebih dari 25 lokasi kromosom manusia. Protein-protein reseptor
penciuman adalah reseptor-reseptor tergabung protein G yang ditandai oleh keberadaan
domain transmembran 7 alfa-helikal. Masing-masing neuron penciuman hanya
mengekspresikan satu, atau paling banyak beberapa, gen reseptor, menjadi dasar molekuler
untuk pembedaan bau. Maka sistem penciuman ditandai oleh tiga hal yang penting:
1) keluarga gen reseptor yang besar yang menunjukkan keberagaman yang sangat baik
sehingga memungkinkan respon terhadap berbagai bau,
2) protein-protein reseptor yang menunjukkan spesifitas yang hebat sehingga memungkinkan
pembedaan bau, dan
3) hubungan-hubungan bau disimpan dalam ingatan lama sesudah peristiwa terjadinya
paparan dilupakan.
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
11
Trauma kepala
Trauma kepala dapat menyebabkan kehilangan sebagian atau seluruh fungsi penghidu. Hal
ini disebabakan kerusakan pada epitel olfaktorius dan gangguan aliran udara dihidung.
Adanya trauma menyebabkan hematom pada mukosa hidung, atau luka pada epitel
olfaktorius. Kerusakan dapat terjadi pada serat saraf olfaktorius, bulbus olfaktorius dan
kerusakan otak di regio frontal, orbitofrontal, dan temporal. Prevalensi gangguan penghidu
yang disebabkan trauma kepala terjadi 15-30% dari kasus gangguan penghidu.
B.
Infeksi saluran nafas atas yang sering menyebabkan gangguan penghidu yaitu common
cold. Kemungkinan mekanismenya adalah kerusakan langsung pada epitel olfaktorius atau
jalur sentral karena virus itu sendiri yang dapat merusak sel reseptor olfaktorius. Prevalensi
gangguan penghidu yang disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas 11-40% dari kasus
gangguan penghidu. Gangguan penghidu yang disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas
tidak seberat gangguan penghidu yang disebabkan trauma kepala.
C.
Penyakit sinonasal
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
12
Gangguan penghidu pada penyakit sinonasal seperti rinosinusitis kronik atau rinitis alergi
disebabkan inflamasi dari saluran nafas yang menyebabkan berkurangnya aliran udara dan
odoran yang sampai ke mukosa olfaktorius. Gangguan penghidu pada rinosinusitis kronik
dan rinitis alergi dapat berupa gangguan konduktif atau saraf. Perubahan pada aliran udara
di celah olfaktorius yang disebabkan rinosinusitis kronik yaitu edem atau adanya polip
yang menyebabkan gangguan konduksi. Inflamasi pada epitel olfaktorius menghasilkan
mediator inflamasi yang akan merangsang hipersekresi dari kelenjar bowmans. Hal ini
akan mengubah konsentrasi ion pada mukus olfaktorius yang akan mengganggu pada
tingkat konduksi atau transduksi. Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh limfosit,
makrofag, dan eosinofil yaitu sitokin yang bersifat toksik terhadap reseptor neuron
olfaktorius. Disini yang terlibat adalah proses di saraf. Proses inflamasi kronik bisa
menyebabkan kerusakan permanen pada reseptor olfaktorius. Hasil penelitian pada pasien
rinosinusitis kronik didapatkan 21%-25% anosmia. Guilermany21 mendapatkan pasien
dengan rinitis alergi persisten sedang berat yang mengalami hiposmia sebesar 84,8%, dan
rinitis alergi persisten ringan yang mengalami hiposmia sebesar 20%. Penyakit lain yang
menyebabkan gangguan penghidu adalah penyakit endokrin (hipotiroid, diabetes melitus,
gagal ginjal, penyakit liver), Kallmann syndrome, penyakit degeneratif (alzheimer,
parkinson, multipel sklerosis), pasca laringektomi, paparan terhadap zat kimia toksik,
peminum alkohol, skizofrenia, tumor intranasal atau intrakranial. Faktor lain yang juga
berpengaruh terhadap fungsi penghidu adalah usia. Kemampuan menghidu akan menurun
sejalan dengan bertambahnya usia. Ada banyak teori yang menerangkan penyebab
gangguan penghidu pada orang tua, diantaranya terjadi perubahan anatomi pengurangan
area olfaktorius, pengurangan jumlah sel mitral pada bulbus olfaktorius, penurunan
aktivasi dari korteks olfaktorius. Gangguan penghidu pada usia lebih dari 80 tahun sebesar
65%. Penelitian lain mendapatkan gangguan penghidu pada usia lebih dari 50 tahun
sebesar 24%. Doty2 menyatakan terdapatnya penurunan penghidu yang signifikan pada
usia lebih dari 65 tahun. temukan pada jenis kelamin perempuan dibandingkan laki-laki.
Pada penelitian Rouby16 ditemukan gangguan penghidu hiposmia ditemukan pada 61%
wanita dan 39% laki-laki. Gangguan penghidu juga ditemukan pada perokok. Disini
temukan kerusakan dari neuroepitel olfaktorius. Pada analisis imunohistokimia ditemukan
adanya apoptosis proteolisis pada neuroepitel olfaktorius. Obat-obatan dan polusi udara
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
13
juga berpengaruh terhadap fungsi penghidu seperti obat kanker, antihistamin, anti mikroba,
anti tiroid dan lain lain. Polusi udara yang berpengaruh yaitu aseton, gas nitrogen, silikon
dioksida, dan lain-lain.
ETIOLOGI GANGGUAN PENGHIDU
INFEKSI/INFLAMASI
OBSTRUKSI
NERVUS
LAIN-LAIN
Sinusitis
Rinitis
Kebersihan gigi yang buruk
Infeksi mulut
Tumor nasal
Polip nasal
Furunkel pada hidung
Benda asing
Deviasi pada septum
Penyakit Alzheimer
Meningitis
Trauma kepala
Operasi otak
Kelainan syndrome
Hipotiroid
Diabetes mellitus
Hipoadrenalisme
14
terganggunya kemampuan indra penciuman dalam membaui suatu objek karena beberapa
sebab. Penyebab terbanyak adalah usia tua.
B. Etiologi
Anosmia terjadi akibat obstruksi saluran kelenjar hidung atau kerusakan syaraf. Anosmia
biasanya disebabkan proses natural dari penuaan ataupun kebanyakan karena common cold
(influenza), anosmia dapat juga disebabkan karena setelah operasi kepala atau alergi akut
atau kronik. Banyak obat-obatan yang dapat mengubah kemampuan penghidu. Sensasi
penghidu menghilang karena kelainan seperti tumor osteoma atau meningioma, sinus nasal
atau operasi otak. Dapat juga disebakan karena defisiensi zinc/ seng. Rokok tobacco adalah
konsentrasi terbanyak dari polusi yang dapat menyebabkan seorang menderita anosmia.
Faktor siklus hormonal atau gangguan dental juga dapat menyebabkan anosmia. Anosmia
dapat juga terjadi karena beberapa bagian otak yang mengalami gangguan fungsi
C. Patogenesis
Pada mekanisme fisiologi penciuman/penghidu apabila terdapat gangguan atau kerusakan
dari sel-sel olfaktorius menyebabkan reseptor tidak dapat meneruskan impuls menuju
susunan syaraf pusat. Ataupun terdapat kerusakan dari syarafnya sehingga tidak dapat
mendistribusikan impuls reseptor menuju efektor, ataupun kerusakan dari susunan syaraf
pusat di otak sehingga tidak dapat menterjemahkan informasi impuls yang masuk. Gejala
klinis dengan hilangnya sensasi penciuman dapat juga menyebabkan kehilangan sensasi
pengecap. Penyimpangan fungsi penciuman dan pengecap menyebabkan nafsu makan
berkurang, penderita tidak dapat membedakan rasa. Indera penghidu/pembau yang
merupakan fungsi saraf olfaktorius (N.I), sangat erat hubungannya dengan indera pengecap
yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V), karena seringkali kedua sensoris ini bekerja
bersama-sama. Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian
sepetiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina
kribrosa os etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fosa kranii anterior. Hilangnya fungsi
pembauan dan/atau pengecapan dapat mengancam jiwa penderita karena penderita tak
mampu mendeteksi asap saat kebakaran atau tidak dapat mengenali makanan yang telah
basi.
Gangguan penciuman bisa sekunder akibat proses perjalanan penyakit atau bisa juga
sebagai keluhan primer .Daya menghidu yang hilang atau berkurang terjadi pada kira-kira
1% dari mereka yang berusia di bawah 60 tahun dan lebih dari 50 % pada mereka yang
berusia lebih dari 60 tahun. Sel penciuman adalah sel saraf bipolar yang terdapat di daerah
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
15
yang terbentang di atas dari konka media sampai ke atap, dan daerah septum yang
berhadapan. Akson dari sensosel dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang
melalui lamina kribrosa ke dalam bulbus olfaktorius. Akson dari sel-sel ini membentuk
traktus olfaktorius yang menuju ke otak.
D. Penatalaksanaan
Kehilangan sensasi penciuman hanya bersifat sementara, dan kemampuan penciuman akan
kembali secara spontan, biasanya setelah flu atau infeksi virus. Pengobatan yang dapat
digunakan untuk memperbaiki kehilangan sensasi penciuman antara lain:
1. Pengobatan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kehilangan sesuai penciuman antara
lain antihistamin bila diindikasi penderita alergi
2. Berhenti merokok dapat meningkatkan fungsi penciuman.
3. Koreksi operasi yang memblok fisik dan mencegah kelebihan dapat digunakan
dekongostan nasal.
4. Suplemen zink kadang direkomendasikan
5. Kerusakan neuro olfaktorius akibat infeksi virus prognosisnya buruk, karena tidak dapat di
obati.
6. Terapi vitamin A sebagian besar dalam bentuk vitamin A 100.000 IU Sekali sehari selama 2
minggu diikuti 50.000 IU sekali sehari selama 6-12 minggu
7. Perbaiki penyebab obstruksi nasi
8. Zink sulfat 220 mg/oral 3 kali sehari
16
Defek konduktif
1. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan hiposmia. Kelainannya meliputi rhinitis
(radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika, akut, atau toksik
(misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit mukosa
yang progresif dan seringkali diikuti dengan hiposmia meski telah dilakukan intervensi
medis, alergis dan pembedahan secara agresif.
2. Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi aliran
odorant ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting
papilloma, dan keganasan.
3. Abnormalitas developmental
(misalnya
ensefalokel,
kista
dermoid)
juga
dapat
menyebabkan obstruksi.
4. Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hiposmia karena berkurang
atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakheotomi dan
dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang
tetap menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi
karena tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini.
Defek sentral/sensorineural
1. Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada
transmisi
17
fungsi pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses penyakitnya. Sejalan
dengan proses penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi
pengecapan, dimana penurunannya nampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh.
C. Penatalaksanaan
Hiposmia yang hilang timbul dan bervariasi derajatnya dapat disebabkan oleh
rhinitis vasomotor, rhinitis alergi atau sinusitis.Keluhan ini dapat hilang bila penyebabnya
diobati.Pada polip nasi, tumor hidung rhinitis kronis spesifik (rhinitis atrofi, sifilis, lepra,
skleroma, tuberkulosis) terjadi hiposmia akibat dari sumbatan, yang akan hilang bila
penyakitnya diobati.
Rinitis medikamentosa akibat dari pemakaian obat tetes hidung menyebabkan hiposmia
atau anosmia yang akan sembuh bila pemakaian obat-obatan penyebabnya dihentikan.
Tumor n.olfaktorius bentuknya mirip polip nasi. Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaaan
histologi dan diterapi dengan pembedahan.
Faktor usia lanjut dapat menyebabkan berkurang atau hilangnya daya penghidu,
terutamanya tidak mampu menghidu zat yang berbentuk gas. Kelainan ini tidak dapat
diobati.
Trauma kepala ringan atau berat dapat menimbulkan anosmia. Trauma dapat
mengenai daerah oksipital atau frontal. Pada pascatrauma, dapat terjadi parosmia, yaitu
penciuman bau sangat berbeda dengan yang seharusnya dan biasanya tercium bau yang
tidak enak dan kadang-kadang sensasi bau ini timbul secara spontan. Kelainan penghidu ini
mungkin dapat sembuh, yang akan terjadi dalam beberapa minggu setelah trauma. Bila
setelah tiga bulan tidak membaik, berarti prognosisnya buruk. Tumor intrakranial yang
menekan n.olfaktorius mula-mula akan menaikkan ambang penghidu dan mungkin akan
menimbulkan masa kelelahan penghidu yang makin lama makin memanjang. Osteomata
atau meningiomata di dasar tengkorak atau sinus paranasalis dapat menimbulkan anosmia
unilateral. Tumor lobus frontal selain menyebabkan gangguan penghidu sering juga disertai
dengan gejala lain, yaitu gangguan penglihatan, sakit kepala dan kadang-kadang kejang
lokal. Epilepsi lobus temporal dapat didahului oleh aura penghidu. Seringkali halusinasi
bau yang timbul adalah bau busuk atau bau sesuatu yang terbakar, jarang yang bau wangi.
Gejala ini tidak menetap
Kelainan psikologik seperti rendah diri mungkin menyebabkan merasa bau badan
atau bau napas sendiri. Pasien setelah diperiksa, bila ternyata tidak ada kelainan perlu
diyakinkan dan dihilangkan gangguan psikologiknya. Kelainan psikiatrik seperti depresi,
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
18
skizofrenia atau demensia senilis dapat menimbulkan halusinasi bau. Kasus demikian perlu
dirujuk ke seorang psikiater.
D. Prognosis
Prognosis hiposmia sebagian besar bergantung pada etiologinya. Hiposmia akibat obstruksi
yang disebabkan oleh polip, neoplasma, pembengkakan mukosa, atau deviasi septum dapat
disembuhkan. Bila sumbatan tadi dihilangkan, kemampuan penciuman semestinya
kembali. Sebagian besar pasien yang kehilangan indra penciumannya selama menderita
infeksi saluran napas bagian atas sembuh sempurna kemampuan penciumannya; namun,
sebagian kecil pasien tak pernah sembuh setelah gejala-gejala ISPA lainnya membaik.
Trauma kepala di daerah frontal paling sering menyebabkan hiposmia, meskipun
anosmia total lima kali lebih sering terjadi pada benturan terhadap oksipital. Penyembuhan
fungsi penciuman setelah cedera kepala traumatik hanyalah 10% dan kualitas kemampuan
penciuman setelah perbaikan biasanya buruk. Pajanan terhadap racun-racun seperti rokok
dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan dapat terjadi dengan
menghilangkan bahan penyebabnya.
2.6.3 Agnosia
A. Definisi
Agnosia adalah hilangnya kemampuan untuk mengenali bendabenda, orang,
suara, bentuk / bau sementara arti tertentu tidak cacat juga tidak ada kerugian
memori yang signifikan. Hal ini biasanya berhubungan dengan cedera otak /
penyakit syaraf, khususnya setelah kerusakan pada lobus temporal.
B. Etiologi
a. Stroke
b. Demensia / gangguan neurologist
c. Brain damage kerusakan otak
d. Dementia singkat akal
e. Neurological disorders (see cognitive impairment) gangguan syaraf
(gangguan kognitif)
f. Hereditary (turun temurun)
g. Head injury (cedera kepala)
h. Brain infection (infeksi otak)
C. Tanda dan Gejala
1.
Ketidakmampuan untuk mengenali obyek
2.
Ketidakmampuan untuk mengenali orang
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
19
3.
4.
5.
6.
7.
D. Patogenesis
Terjadinya agnosia karena adanya gangguan visual otaknya atau disfungsi
neurologist akibat dari stroke, demensia gangguan perkembangan atau kondisi
neurologist lainnya. Agnosia merupakan hasil dari kerusakan dari daerah tertentu
di otak lobus oksipital atau parietal otak, sehingga pada daera tersebut terdapat
lesi yang dapat menyebabkan kerusakan syaraf sehingga terjadi berbagai bentuk
agnosia.
2.6.4
Disosmia
A. Definisi
Disosmia adalah berubahnya penciuman yang menyebabkan penderita merasa
mencium bau yang tidak enak.
B. Etiologi
Disosmia bisa disebabkan oleh:
a.Infeksi di dalam sinus
b.
Kerusakan
parsial
20
seksama untuk
mencari massa hidung, gumpalan darah, polip, dan peradangan membranhidung sangat
penting. Bila ada, rinoskopi anterior harus ditunjang dengan pemeriksaan endoskopik pada
rongga hidung dan nasofaring. Keberadaan telekantus pada pemeriksaan mata dapat
mengarah ke massa atau peradangan di sinus. Massa nasofaring yang menonjol ke rongga
mulut atau drainase purulen di orofaring dapat ditemukan pada pemeriksaan mulut. Leher
harus dipalpasi untuk mencari massa atau pembesaran tiroid. Pemeriksaan saraf yang
menekankan pada nervus kranialis dan fungsi sensori motorik sangat penting.
C. Pemeriksaan Pencitraan
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menyingkirkan kelainan intrakranial dan evaluasi
kondisi anatomis dari hidung, misalnya pada kasus tumor otak atau kelainan dihidung.
Pemeriksaan foto polos kepala tidak banyak memberikan data tentang kelainan ini.
Pemeriksaan tomografi komputer merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk
memperlihatkan adanya massa, penebalan mukosa atau adanya sumbatan pada celah
olfaktorius. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan
yang lebih sensitif untuk kelainan pada jaringan lunak. Pemeriksaan ini dilakukan bila ada
kecurigaan adanya tumor
D. Pemeriksaan kemosensoris penghidu.
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
21
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
22
Tes kedua yaitu identifikasi penghidu, dengan menggunakan odoran kopi, coklat,
vanila, bedak talk, sabun, oregano, dan napthalene. Nilai ambang dan identifikasi
dikalkulasikan dan dinilai sesuai skor CCCRC
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
23
24
dilanjutkan menjadi 16 serial pengenceran dengan perbandingan 1:2 dengan pelarut aqua
deionisasi. Tes dilakukan dengan menggunakan 3 buah pena dalam urutan acak, 2 pena
berisilarutan dan 1 pena berisi odoran. Pemeriksaan dilakukan dalam waktu 20 detik. Skor
yang diberikan untuk ambang penghidu adalah 0 sampai
Untuk diskriminasi penghidu (D), dilakukan dengan menggunakan 3 pena secara acak
dimana 2 pena berisi odoran yang sama dan pena ke-3 berisi odoran yang berbeda. Pasien
disuruh menentukan mana odoran yang berbeda dari 3 pena tersebut. Pemeriksaan 3
serangkai pena ini dilakukan 20-30 detik. Skor untuk diskriminasi penghidu adalah 0
sampai 16.
Untuk identifikasi penghidu (I), tes dilakukan dengan menggunakan 16 odoran yang
berbeda, yaitu jeruk, anis (adas manis), shoe leather (kulit sepatu), peppermint, pisang,
lemon, liquorice (akar manis), cloves (cengkeh), cinnamon (kayu manis), turpentine
(minyak tusam), bawang putih, kopi, apel, nanas, mawar dan ikan. Untuk satu odoran yang
betul diberi skor 1, jadi nilai skor untuk tes identifikasi penghidu antara 0-16. Interval
antara pengujian minimal 30 detik untuk proses desensitisasi dari nervus olfaktorius.
Untuk menganalisa fungsi penghidu seseorang digunakan skor TDI ( Treshold/
Discrimination/ Identification ). Hasil dari ketiga subtes Sniffin Sticks dinilai dengan
menjumlahkan nilai T-D-I. Dengan rentangan skor 1-48, bila skor 15 dikategorikan
anosmia, 16-29 dikategorikan hiposmia, dan 30 dikategorikan normosmia.30 Tes ini
menggambarkan tingkat dari gangguan penghidu, tapi tidak menerangkan letak anatomi
dari kelainan yang terjadi.
Odoran yang terdapat dalam tes Sniffin Sticks adalah odoran yang familiar untuk negara
eropa, tapi kurang familiar dengan negara lain. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan
istilah lain yang familiar untuk odoran tersebut.32 menurut Shu33 tes Sniffin Sticks
dapat digunakan pada penduduk Asia.
4. Tes Odor Stick Identification Test for Japanese (OSIT-J).
OSIT-J terdiri dari 13 bau yang berbeda tapi familiar dengan populasi Jepang yaitu
condessed milk, gas memasak, kari, hinoki, tinta, jeruk Jepang, menthol, parfum, putrid
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
25
smell, roasted garlic, bunga ros, kedelai fermentasi dan kayu. Odoran berbentuk krim
dalam wadah lipstik. Pemeriksaan dilakukan dengan mengoleskan odoran pada kertas
parafin dengan diameter 2 cm, untuk tiap odoran diberi 4 pilihan jawaban. Hasil akhir
ditentukan dengan skor OSIT-J
5. Pemeriksaan elektrofisiologis fungsi penghidu. Pemeriksaan ini terdiri dari
Olfactory Event-Related Potentials (ERPs), dan Elektro-Olfaktogram (EOG).
1. Olfactory Event - Related Potentials (ERPs). ERPs adalah salah satu pemeriksaan fungsi
penghidu dengan memberikan rangsangan odoran intranasal, dan dideteksi perubahan pada
elektroencephalogram (EEG). Rangsangan odoran untuk memperoleh kemosensori ERPs
harus dengan konsentrasi dan durasi rangsangan yang tepat. Waktu rangsangan yang
diberikan antara 1-20 mili detik. Jenis zat yang digunakan adalah vanilin, phenylethyl
alkohol, dan H2S.2,22
2. Elektro-Olfaktogram (EOG).
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menempatkan elektroda pada permukaan epitel
penghidu dengan tuntunan endoskopi. Kadang pemeriksaan ini kurang nyaman bagi pasien
karena biasanya menyebabkan bersin pada waktu menempatkan elektroda di regio
olfaktorius dihidung.
6. Biopsi neuroepitel olfaktorius.
Biopsi neuroepitel olfaktorius berguna untuk menilai kerusakan sistem penghidu. Jaringan
diambil dari septum nasi superior dan dianalisis secara histologis. Pemeriksaan ini jarang
dilakukan karena invasif
2.8 Penatalaksanaan
A. Kurang Penciuman Hantaran
Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis alergi, rhinitis
dan sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada rongga
hidung dapat dilakukan secara rasional dan dengan kemungkinan perbaikan yang tinggi.
Terapi berikut ini seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau: (1)
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
26
pengelolaan alergi; (2) terapiantibiotik; (3) terapi glukokortikoid sistemik dan topikal; dan
(4) operasi untuk polip nasal,deviasi septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik.
B. Kurang Penciuman Sensorineural
Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang penciuman
sensorineural. Untungnya, penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter
menganjurkan terapi seng dan vitamin. Defisiensi seng yang mencolok tak diragukan lagi
dapat menyebabkan kehilangan dan gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan
masalah klinis kecuali didaerah-daerah geografik yang sangat kekurangan. Terapi vitamin
sebagian besar dalam bentuk vitamin A. Degenerasi epitel akibat defisiensi vitamin A dapat
menyebabkan anosmia, namun defisiensi vitamin A bukanlah masalah klinis yang sering
ditemukan di negara-negara barat. Pajanan pada rokok dan bahan-bahan kimia beracun di
udara yang lain dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan spontan
dapat terjadi bila faktor pencetusnya dihilangkan; karenanya, konseling pasien sangat
membantu pada kasus-kasus ini.
C. Kurang Penciuman Akibat Penuaan (Presbiosmia)
Seperti dijelaskan sebelumnya, lebih dari separuh orang yang berusia di atas 60 tahun
menderita disfungsi penciuman. Belum ada terapi yang efektif untuk presbiosmia namun
sangat penting untuk membicarakan masalah ini dengan pasien-pasien usia lanjut; dapat
menenangkan bagi pasien ketika seorang dokter mengenali dan membicarakan bahwa
gangguan penciuman memang umum terjadi. Selain itu, manfaat langsung dapat diperoleh
dengan mengidentifikasi masalah tersebut sejak dini; insidensi kecelakaan akibat gas alam
sangat tinggi pada usia lanjut, kemungkinan sebagian karena penurunan kemampuan
membau secara bertahap. Merkaptan, bau busuk pada gas alam, adalah perangsang
olfaktorius, bukan trigeminal. Banyak pasien yang lebih tua dengan disfungsi penciuman
mengalami penurunan sensasi rasa dan lebih suka memakan makanan-makanan yang lebih
kaya rasa. Metode yang paling umum adalah meningkatkan jumlah garam dalam diitnya.
Konseling dengan seksama dapat membantu pasien-pasien ini mengembangkan strategistrategi yang sehat untuk mengatasi gangguan kemampuan membaunya.
2.9 Prognosis
Hasil akhir disfungsi penciuman sebagian besar bergantung pada etiologinya.
Disfungsi penciuman akibat sumbatan yang disebabkan oleh polip, neoplasma,
pembengkakan mukosa, atau deviasi septum dapat disembuhkan. Bila sumbatan tadi
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Fungsi penghidu pada manusia memegang peranan penting. Area penghidu terdapat di
atap rongga hidung, stimuli akan diteruskan ke bulbus olfaktorius, dan traktus olfaktorius di otak.
Penyebab gangguan penghidu adalah gangguan transport, gangguan sensoris, dan gangguan pada
saraf olfaktorius. Penyakit gangguan penghidu adalah trauma kepala, penyakit sinonasal, dan
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
28
infeksi saluran nafas atas.Pemeriksaan kemosensoris untuk gangguan penghidu ada beberapa
macam, diantaranya tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell Identification), tes The
Connectitut Chemosensory Clinical Research Center (CCCRC), tes Sniffin Sticks, dan Odor
Stick Identification Test for Japanese (OSIT-J). Kelebihan tes Sniffin Stick dibandingkan
pemeriksaan kemosensoris penghidu lainnya adalah tes ini sederhana, dapat menentukan 3
subtest yaitu ambang penghidu (T), Diskriminasi penghidu (D), dan Identifikasi penghidu (I).
Daftar Pustaka
1. Adams, Boeis, Higler, Buku Ajar Penyakit THT BOIES, Edisi ke 6, 1997, Penerbit
Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
2. Devanand DP, Michaels-Marston KS, Liu X, et al: Olfactory deficits in patients with
mild cognitive impairment predict Alzheimers disease at follow-up. Am J Psychiatry
2014 July ; 157(9): 1399-405.
3. Doty RL, Deems DA, Olfactory Function and Dysfunction In : Bailey BJ, Calhoun KH,
Healy GB et al Editors. Texbooks Bailey Head and Neck Surgery Otolaryngology. 3 th
ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 2001; p.246-260.
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
29
4. Huriyati Effi dkk. Gangguan fungsi penghidu dan pemeriksaannya. Jurnal : Bagian
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas Padang. jurnal.fk.unand.ac.id/images/articles/vol3/no1/01-07.pdf (02.06.2014)
5. Leopold DA, Holbrook EH, Noell CA, Mabry RL, Disorders of Taste and Smell.
2014:1-8. http://www.emedicine.com.
6. Lumbantobing SM.2000.Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta
7. Mangunkusumo E. Gangguan Penghidu. In : Soepardi EA, Iskandar N editors.
8. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 5 th ed. Jakarta:
Balai Penerbit FK-UI, 2006; p.130-131
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU
30