Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indera penghidu yang merupakan fungsi nervus olfaktorius (N.I), sangat erat
hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V),
karena seringkali kedua sensoris ini bekerja bersama-sama, sehingga gangguan pada
salah satu indera tersebut biasanya turut mengganggu fungsi indera yang satu lagi.
Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian sepertiga atas.
Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid
menuju bulbus olfaktorius didasar fossakranii anterior. Partikel bau dapat mencapai
reseptor penghidu bila menarik napas dengan kuat atau partikel tersebut larut dalam
lendir yang terdapat di daerah olfaktorius. Disebut hiposmia bila daya menghidu
berkurang, anosmia bila daya menghidu hilang, parosmia bila sensasi penghidu berubah
dan kakosmia bila ada halusinasi bau
Daya menghidu yang hilang atau berkurang terjadi pada kira-kira 1% dari mereka
yang berusia di bawah 60 tahun dan lebih dari 50 % pada mereka yang berusia lebih dari
60 tahun. Hasil survei tahun 1994 menunjukkan bahwa 2,7 juta penduduk dewasa
Amerika menderita gangguan pembauan, sementara 1,1 juta dinyatakan menderita
gangguan pengecapan. Penelitian yang dilakukan sebelumnya menemukan bahwa 66%
penduduk merasakan bahwa mereka pernah mengalami penurunan ketajaman pembauan.
Insiden gangguan penghidu di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 1,4% dari
penduduk. Di Austria, Switzerland, dan Jerman sekitar 80.000 penduduk pertahun
berobat ke bagian THT dengan keluhan gangguan penghidu. Penyebab tersering
gangguan penghidu adalah trauma kepala, penyakit sinonasal dan infeksi saluran nafas
atas.
Ada beberapa modalitas pemeriksaan kemosensoris fungsi penghidu, tapi jarang
digunakan secara rutin di berbagai rumah sakit. Hal ini disebabkan harganya cukup mahal
dan odoran yang terdapat dalam pemeriksaan kemosensoris penghidu ini tidak familiar
antara suatu negara dengan negara lain.1,2 Alat pemeriksaan kemosensoris fungsi
penghidu yang berkembang dan banyak dipakai di negara Eropa seperti Jerman, Austria
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

dan Switzerland adalah tes Sniffin Sticks. Tes ini dapat menilai ambang penghidu,
diskriminasi penghidu dan identifikasi penghidu . 2,7

GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah adalah
pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, alar nasi, kolumela dan lubang
hidung(nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis),
prosesus frontalis osmaksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung,
yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilagoalar mayor, beberapa pasang kartilago alar
minor dan tepi anterior kartilago septum.

Gambar 1 : Anatomi Hidung Luar

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang,dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung
dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os rnaksila dan
ospalatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis,yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung.

Gambar 2: Kavum Nasi

2.1.1 Persarafan Hidung


Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalisanterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dan
n.oftalmikus (N.V-I). Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

bawah bulbusol faktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
rnukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.

Gambar 3: Nervus olfaktorius


2.1.2 Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi
atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh epitel toraks berlapis semu (pseudostratitied columnar epitelium) yang
mempunyai silia dan di antaranya terdapat sel-sel goblet.

GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

Gambar 4 : Mukosa hidung


Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas
dengan kuat. Mukosa ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia
(pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam
sel yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu
berwarna coklat kekuningan. Di antara sel-sel reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar
Bowman penghasil mukus (air, mukopolisakarida, enzim, antibodi, garam-garam dan
protein pengikat bau). Sejumlah besar kelenjar Bowman terdapat dalam lamina propria
pada region olfaktorius. Sel-sel reseptor bau merupakan satu-satunya sistem saraf pusat
yang dapat berganti secara regular (4-8 minggu).

GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

Gambar 5: Mukosa penghidu

Sistem olfaktorius terdiri dari mukosa olfaktorius pada bagian atas kavum nasal,
fila olfaktoria, bulbus subkalosal pada sisi medial lobus orbitalis. Saraf ini merupakan saraf
sensorik murni yang serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan
menembus area kribriformis dari tulang etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius,
dari sini, traktusolfaktorius berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus temporal
bagian medial sisi yang sama. Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung
di dekat cribiform plate, septum nasi superior dan dinding nasal superolateral. Struktur ini
merupakan neuro epithelium pseudostratified khusus yang didalamnya terdapat reseptor
olfaktorius utama.
Variasi menghidu pada individu mencirikan struktur region penghidu, perbedaan ini
berhubungan dengan ketebalan mukosa (biasanya sekitar 60 mikron), ukuran sel dan
vesikel olfaktorius. Epitelium olfaktorius terdiri atas tiga lapisan sel yaitu saraf bipolar
olfaktorius, sel sustentakular penyokong yang besar jumlahnya dan sejumlah sel basal. Selsel olfaktorius merupakan suatu neuron bipolar. Ujung distal sel ini merupakan suatu
dendrit yang telah mengalami modifikasi yang menonjol di atas permukaan epitel
membentuk vesikel olfaktorius. Silia berdiri di atas tonjolan mukosa yang dinamakan
vesikel olfaktorius dan masuk ke dalam lapisan sel-sel reseptor olfaktoria. Pada permukaan
vesikel terdapat 10 sampai 15 silia nonmotil. Ujung proksimal sel membentuk akson, di
mana akson ini bergabung dengan akson lainnya membentuk neuron olfaktorius.

GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

Neuron olfaktorius mempunyai akson yang tidak bermielin, akson dari sensosel
dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang melalui lamina kribrosa ke dalam
bulbus olfaktorius. Bulbus olfaktorius terletak di basal lobus frontalis. Bulbus olfaktorius
terdiri atas beberapa lapisan (dari luar ke dalam bulbus), yaitu lapisan gromerular, lapisan
pleksiformis eksternalis, lapisan sel mitral, lapisan pleksiformis internal dan lapisan sel
granula. Di dalam bulbus olfaktorius terjadi sinaps dengan dendrit neuron kedua. Aksonakson neuron kedua

membentuk traktus olfaktorius, yang berjalan ke otak untuk

berhubungan dengan sejumlah nuklei, fasikuli dan traktus lainnya.

Gambar 6: Area olfaktorius

GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

2.2 Fisiologi Penciuman


Sensasi penghidu diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh zat - zat
kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang
terdapat dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup
turbulen dan bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas
stimulasi bau meliputi durasi, volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel reseptor
olfaktorius merupakan neuron bipolar sensorik utama.
Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron
olfaktorius bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang
terletak dibawahnya.Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari.
Pada inspirasi dalam, molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius
sehingga sensasi bau bisa tercium. Terdapat beberapa syarat zat-zat yang dapat
menyebabkan perangsangan penghidu yaitu zat-zat harus mudah menguap supaya mudah
masuk ke dalam kavum nasi, zat-zat harus sedikit larut dalam air supaya mudah melalui
mukus dan zat-zat harus mudah larut dalam lemak karena sel-sel rambut olfaktoria dan
ujung luar sel-sel olfaktoria terdiri dari zat lemak.
Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang
berada pada permukaan membran. Molekul bau yang larut dalam mukus akan terikat oleh
protein spesifik (G-PCR). G-protein ini akan terstimulasi dan mengaktivasi enzim Adenyl
Siklase. Aktivasi enzim Adenyl Siklase mempercepat konversi ATP kepada cAMP. Aksi
cAMP akan membuka saluran ion Ca++, sehingga ion Ca++ masuk ke dalam silia
menyebabkan membran semakin positif,terjadi depolarisasi hingga menghasilkan aksi
potensial. Aksi potensial pada akson-akson sel reseptor menghantar sinyal listrik ke
glomeruli (bulbus olfaktorius). Di dalam glomerulus, akson mengadakan kontak dengan
dendrit sel-sel mitral. Akson sel-sel mitral kemudiannya menghantar sinyal ke korteks
piriformis (area untuk mengidentifikasi bau), medial amigdala dan korteks enthoris
(berhubungan dengan memori).

GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

Gambar 7 : Transduksi sinyal olfaktori


Transmisi Sensasi Bau

GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

10

2.3 Definisi dan Macam-Macam Kelainan Penghidu


Gangguan penghidu/penciuman/osmia adalah terhalangnya partikel bau ke reseptor
saraf yang dapat disebabkan oleh terganggunya N.olfaktorius mulai dari reseptor
sampai pusat olfaktorius sehingga menyebabkan ketidak mampuan atau menurunya
kemampuan seseorang untuk mempresepsikan suatu bau. Adapun macam-macam
gangguan penghidu/penciuman antara lain :
1. Anosmia yaitu hilangnya kemampuan menghidu.
2. Agnosia yaitu tidak bisa menghidu satu macam odoran.
3. Hiposmia yaitu penurunan kemampuan menghidu baik berupa sensitifitas ataupun
kualitas penghidu.
4. Disosmia yaitu persepsi bau yang salah, termasuk parosmia dan phantosmia.
Parosmia yaitu perubahan kualitas sensasi penciuman, sedangkan phantosmia yaitu
sensasi bau tanpa adanya stimulus odoran/ halusinasi odoran.
5. Presbiosmia yaitu gangguan penghidu karena umur tua.
6. Hipernosmia yaitu penciuman yang berlebihan.

2.4 Patogenesis
Aspek-aspek molekuler dari penciuman kini telah dipahami. Pada mammalia,
kemungkinan ada 300-1000 gen reseptor penciuman yang termasuk dalam 20 keluarga
yang berbeda yang terletak di berbagai kromosom dalam kelompok-kelompok. Gen-gen
reseptor ditemukan pada lebih dari 25 lokasi kromosom manusia. Protein-protein reseptor
penciuman adalah reseptor-reseptor tergabung protein G yang ditandai oleh keberadaan
domain transmembran 7 alfa-helikal. Masing-masing neuron penciuman hanya
mengekspresikan satu, atau paling banyak beberapa, gen reseptor, menjadi dasar molekuler
untuk pembedaan bau. Maka sistem penciuman ditandai oleh tiga hal yang penting:
1) keluarga gen reseptor yang besar yang menunjukkan keberagaman yang sangat baik
sehingga memungkinkan respon terhadap berbagai bau,
2) protein-protein reseptor yang menunjukkan spesifitas yang hebat sehingga memungkinkan
pembedaan bau, dan
3) hubungan-hubungan bau disimpan dalam ingatan lama sesudah peristiwa terjadinya
paparan dilupakan.
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

11

2.5 Penyebab gangguan penghidu


Penyebab gangguan
Penyebab gangguan penghidu dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu gangguan transpor
odoran, gangguan sensoris, dan gangguan saraf. Gangguan transpor disebabkan
pengurangan odoran yang sampai ke epitelium olfaktorius, misalnya pada inflamasi kronik
dihidung . Gangguan sensoris disebabkan kerusakan langsung pada neuro epitelium
olfaktorius, misalnya pada infeksi saluran nafas atas, atau polusi udara toksik. Sedangkan
gangguan saraf disebabkan kerusakan pada bulbus olfaktorius dan jalur sentral olfaktorius,
misalnya pada penyakit neuro degeneratif, atau tumor intrakranial. Penyakit yang sering
menyebabkan gangguan penghidu adalah trauma kepala, infeksi saluran nafas atas, dan
penyakit sinonasal.
A.

Trauma kepala

Trauma kepala dapat menyebabkan kehilangan sebagian atau seluruh fungsi penghidu. Hal
ini disebabakan kerusakan pada epitel olfaktorius dan gangguan aliran udara dihidung.
Adanya trauma menyebabkan hematom pada mukosa hidung, atau luka pada epitel
olfaktorius. Kerusakan dapat terjadi pada serat saraf olfaktorius, bulbus olfaktorius dan
kerusakan otak di regio frontal, orbitofrontal, dan temporal. Prevalensi gangguan penghidu
yang disebabkan trauma kepala terjadi 15-30% dari kasus gangguan penghidu.
B.

Infeksi saluran nafas atas

Infeksi saluran nafas atas yang sering menyebabkan gangguan penghidu yaitu common
cold. Kemungkinan mekanismenya adalah kerusakan langsung pada epitel olfaktorius atau
jalur sentral karena virus itu sendiri yang dapat merusak sel reseptor olfaktorius. Prevalensi
gangguan penghidu yang disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas 11-40% dari kasus
gangguan penghidu. Gangguan penghidu yang disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas
tidak seberat gangguan penghidu yang disebabkan trauma kepala.

C.

Penyakit sinonasal

GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

12

Gangguan penghidu pada penyakit sinonasal seperti rinosinusitis kronik atau rinitis alergi
disebabkan inflamasi dari saluran nafas yang menyebabkan berkurangnya aliran udara dan
odoran yang sampai ke mukosa olfaktorius. Gangguan penghidu pada rinosinusitis kronik
dan rinitis alergi dapat berupa gangguan konduktif atau saraf. Perubahan pada aliran udara
di celah olfaktorius yang disebabkan rinosinusitis kronik yaitu edem atau adanya polip
yang menyebabkan gangguan konduksi. Inflamasi pada epitel olfaktorius menghasilkan
mediator inflamasi yang akan merangsang hipersekresi dari kelenjar bowmans. Hal ini
akan mengubah konsentrasi ion pada mukus olfaktorius yang akan mengganggu pada
tingkat konduksi atau transduksi. Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh limfosit,
makrofag, dan eosinofil yaitu sitokin yang bersifat toksik terhadap reseptor neuron
olfaktorius. Disini yang terlibat adalah proses di saraf. Proses inflamasi kronik bisa
menyebabkan kerusakan permanen pada reseptor olfaktorius. Hasil penelitian pada pasien
rinosinusitis kronik didapatkan 21%-25% anosmia. Guilermany21 mendapatkan pasien
dengan rinitis alergi persisten sedang berat yang mengalami hiposmia sebesar 84,8%, dan
rinitis alergi persisten ringan yang mengalami hiposmia sebesar 20%. Penyakit lain yang
menyebabkan gangguan penghidu adalah penyakit endokrin (hipotiroid, diabetes melitus,
gagal ginjal, penyakit liver), Kallmann syndrome, penyakit degeneratif (alzheimer,
parkinson, multipel sklerosis), pasca laringektomi, paparan terhadap zat kimia toksik,
peminum alkohol, skizofrenia, tumor intranasal atau intrakranial. Faktor lain yang juga
berpengaruh terhadap fungsi penghidu adalah usia. Kemampuan menghidu akan menurun
sejalan dengan bertambahnya usia. Ada banyak teori yang menerangkan penyebab
gangguan penghidu pada orang tua, diantaranya terjadi perubahan anatomi pengurangan
area olfaktorius, pengurangan jumlah sel mitral pada bulbus olfaktorius, penurunan
aktivasi dari korteks olfaktorius. Gangguan penghidu pada usia lebih dari 80 tahun sebesar
65%. Penelitian lain mendapatkan gangguan penghidu pada usia lebih dari 50 tahun
sebesar 24%. Doty2 menyatakan terdapatnya penurunan penghidu yang signifikan pada
usia lebih dari 65 tahun. temukan pada jenis kelamin perempuan dibandingkan laki-laki.
Pada penelitian Rouby16 ditemukan gangguan penghidu hiposmia ditemukan pada 61%
wanita dan 39% laki-laki. Gangguan penghidu juga ditemukan pada perokok. Disini
temukan kerusakan dari neuroepitel olfaktorius. Pada analisis imunohistokimia ditemukan
adanya apoptosis proteolisis pada neuroepitel olfaktorius. Obat-obatan dan polusi udara
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

13

juga berpengaruh terhadap fungsi penghidu seperti obat kanker, antihistamin, anti mikroba,
anti tiroid dan lain lain. Polusi udara yang berpengaruh yaitu aseton, gas nitrogen, silikon
dioksida, dan lain-lain.
ETIOLOGI GANGGUAN PENGHIDU

PENYAKIT YANG MENYEBABKAN


GANGGUAN PENGHIDU

INFEKSI/INFLAMASI

OBSTRUKSI

NERVUS

LAIN-LAIN

Sinusitis
Rinitis
Kebersihan gigi yang buruk
Infeksi mulut
Tumor nasal
Polip nasal
Furunkel pada hidung
Benda asing
Deviasi pada septum
Penyakit Alzheimer
Meningitis
Trauma kepala
Operasi otak
Kelainan syndrome
Hipotiroid
Diabetes mellitus
Hipoadrenalisme

2.6 Deskripsi Macam-Macam Gangguan Penghidu


2.6.1 Anosmia
A. Definisi
Salah satu penyakit pada indera penciuman yang mengakibatkan gangguan pada pembauan
adalah anosmia. Istilah anosmia berasal dari kosa kata Yunani an (tidak) dan osmia
(membau). Dari kosa kata ini diperoleh suatu terminologi, anosmia adalah hilang atau
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

14

terganggunya kemampuan indra penciuman dalam membaui suatu objek karena beberapa
sebab. Penyebab terbanyak adalah usia tua.
B. Etiologi
Anosmia terjadi akibat obstruksi saluran kelenjar hidung atau kerusakan syaraf. Anosmia
biasanya disebabkan proses natural dari penuaan ataupun kebanyakan karena common cold
(influenza), anosmia dapat juga disebabkan karena setelah operasi kepala atau alergi akut
atau kronik. Banyak obat-obatan yang dapat mengubah kemampuan penghidu. Sensasi
penghidu menghilang karena kelainan seperti tumor osteoma atau meningioma, sinus nasal
atau operasi otak. Dapat juga disebakan karena defisiensi zinc/ seng. Rokok tobacco adalah
konsentrasi terbanyak dari polusi yang dapat menyebabkan seorang menderita anosmia.
Faktor siklus hormonal atau gangguan dental juga dapat menyebabkan anosmia. Anosmia
dapat juga terjadi karena beberapa bagian otak yang mengalami gangguan fungsi
C. Patogenesis
Pada mekanisme fisiologi penciuman/penghidu apabila terdapat gangguan atau kerusakan
dari sel-sel olfaktorius menyebabkan reseptor tidak dapat meneruskan impuls menuju
susunan syaraf pusat. Ataupun terdapat kerusakan dari syarafnya sehingga tidak dapat
mendistribusikan impuls reseptor menuju efektor, ataupun kerusakan dari susunan syaraf
pusat di otak sehingga tidak dapat menterjemahkan informasi impuls yang masuk. Gejala
klinis dengan hilangnya sensasi penciuman dapat juga menyebabkan kehilangan sensasi
pengecap. Penyimpangan fungsi penciuman dan pengecap menyebabkan nafsu makan
berkurang, penderita tidak dapat membedakan rasa. Indera penghidu/pembau yang
merupakan fungsi saraf olfaktorius (N.I), sangat erat hubungannya dengan indera pengecap
yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V), karena seringkali kedua sensoris ini bekerja
bersama-sama. Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian
sepetiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina
kribrosa os etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fosa kranii anterior. Hilangnya fungsi
pembauan dan/atau pengecapan dapat mengancam jiwa penderita karena penderita tak
mampu mendeteksi asap saat kebakaran atau tidak dapat mengenali makanan yang telah
basi.
Gangguan penciuman bisa sekunder akibat proses perjalanan penyakit atau bisa juga
sebagai keluhan primer .Daya menghidu yang hilang atau berkurang terjadi pada kira-kira
1% dari mereka yang berusia di bawah 60 tahun dan lebih dari 50 % pada mereka yang
berusia lebih dari 60 tahun. Sel penciuman adalah sel saraf bipolar yang terdapat di daerah
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

15

yang terbentang di atas dari konka media sampai ke atap, dan daerah septum yang
berhadapan. Akson dari sensosel dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang
melalui lamina kribrosa ke dalam bulbus olfaktorius. Akson dari sel-sel ini membentuk
traktus olfaktorius yang menuju ke otak.
D. Penatalaksanaan
Kehilangan sensasi penciuman hanya bersifat sementara, dan kemampuan penciuman akan
kembali secara spontan, biasanya setelah flu atau infeksi virus. Pengobatan yang dapat
digunakan untuk memperbaiki kehilangan sensasi penciuman antara lain:
1. Pengobatan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kehilangan sesuai penciuman antara
lain antihistamin bila diindikasi penderita alergi
2. Berhenti merokok dapat meningkatkan fungsi penciuman.
3. Koreksi operasi yang memblok fisik dan mencegah kelebihan dapat digunakan
dekongostan nasal.
4. Suplemen zink kadang direkomendasikan
5. Kerusakan neuro olfaktorius akibat infeksi virus prognosisnya buruk, karena tidak dapat di
obati.
6. Terapi vitamin A sebagian besar dalam bentuk vitamin A 100.000 IU Sekali sehari selama 2
minggu diikuti 50.000 IU sekali sehari selama 6-12 minggu
7. Perbaiki penyebab obstruksi nasi
8. Zink sulfat 220 mg/oral 3 kali sehari

10. Mengunyah makanan lebih lama serta edukasi


2.6.2 Hiposmia
A. Definisi
Hiposmia adalah berkurangnya kemampuan untuk mencium bau. Kondisi yang
berhubungan dengan hiposmia adalah anosmia, yaitu suatu keadaan dimana tidak ada satu
bau pun yang dapat dicium.
B. Etiologi
Hiposmia dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sepanjang jalur olfaktorius.
Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengaran yaitu berupa defek konduktif
atau sensorineural. Pada defek konduktif (transport) terjadi gangguan transmisi stimulus
bau menuju neuroepitel olfaktorius. Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan
struktur saraf yang lebih sentral. Secara keseluruhan, penyebab defisit penghidu yang
utama adalah penyakit pada rongga hidung dan atau sinus, sebelum terjadinya infeksi
saluran nafas atas karena virus dan trauma kepala.
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

16

Defek konduktif
1. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan hiposmia. Kelainannya meliputi rhinitis
(radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika, akut, atau toksik
(misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit mukosa
yang progresif dan seringkali diikuti dengan hiposmia meski telah dilakukan intervensi
medis, alergis dan pembedahan secara agresif.
2. Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi aliran
odorant ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting
papilloma, dan keganasan.
3. Abnormalitas developmental

(misalnya

ensefalokel,

kista

dermoid)

juga

dapat

menyebabkan obstruksi.
4. Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hiposmia karena berkurang
atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakheotomi dan
dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang
tetap menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi
karena tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini.
Defek sentral/sensorineural
1. Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada

transmisi

sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis


(mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel.
2. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi
pembauan.
3. Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat menyebabkan regangan,
kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan anosmia.
4. Hiposmia juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan sistemik atau inhalasi
(aminoglikosida, formaldehid). Banyak obat-obatan dan senyawa yang dapat mengubah
sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan terlarut organik, dan pengolesan garam
zink secara langsung.
5. Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan.
6. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun. Berkurangnya
struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya sel-sel sensorik
pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan saraf pusat.
7. Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer disease, proses
penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer disease, hilangnya
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

17

fungsi pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses penyakitnya. Sejalan
dengan proses penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi
pengecapan, dimana penurunannya nampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh.
C. Penatalaksanaan
Hiposmia yang hilang timbul dan bervariasi derajatnya dapat disebabkan oleh
rhinitis vasomotor, rhinitis alergi atau sinusitis.Keluhan ini dapat hilang bila penyebabnya
diobati.Pada polip nasi, tumor hidung rhinitis kronis spesifik (rhinitis atrofi, sifilis, lepra,
skleroma, tuberkulosis) terjadi hiposmia akibat dari sumbatan, yang akan hilang bila
penyakitnya diobati.
Rinitis medikamentosa akibat dari pemakaian obat tetes hidung menyebabkan hiposmia
atau anosmia yang akan sembuh bila pemakaian obat-obatan penyebabnya dihentikan.
Tumor n.olfaktorius bentuknya mirip polip nasi. Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaaan
histologi dan diterapi dengan pembedahan.
Faktor usia lanjut dapat menyebabkan berkurang atau hilangnya daya penghidu,
terutamanya tidak mampu menghidu zat yang berbentuk gas. Kelainan ini tidak dapat
diobati.
Trauma kepala ringan atau berat dapat menimbulkan anosmia. Trauma dapat
mengenai daerah oksipital atau frontal. Pada pascatrauma, dapat terjadi parosmia, yaitu
penciuman bau sangat berbeda dengan yang seharusnya dan biasanya tercium bau yang
tidak enak dan kadang-kadang sensasi bau ini timbul secara spontan. Kelainan penghidu ini
mungkin dapat sembuh, yang akan terjadi dalam beberapa minggu setelah trauma. Bila
setelah tiga bulan tidak membaik, berarti prognosisnya buruk. Tumor intrakranial yang
menekan n.olfaktorius mula-mula akan menaikkan ambang penghidu dan mungkin akan
menimbulkan masa kelelahan penghidu yang makin lama makin memanjang. Osteomata
atau meningiomata di dasar tengkorak atau sinus paranasalis dapat menimbulkan anosmia
unilateral. Tumor lobus frontal selain menyebabkan gangguan penghidu sering juga disertai
dengan gejala lain, yaitu gangguan penglihatan, sakit kepala dan kadang-kadang kejang
lokal. Epilepsi lobus temporal dapat didahului oleh aura penghidu. Seringkali halusinasi
bau yang timbul adalah bau busuk atau bau sesuatu yang terbakar, jarang yang bau wangi.
Gejala ini tidak menetap
Kelainan psikologik seperti rendah diri mungkin menyebabkan merasa bau badan
atau bau napas sendiri. Pasien setelah diperiksa, bila ternyata tidak ada kelainan perlu
diyakinkan dan dihilangkan gangguan psikologiknya. Kelainan psikiatrik seperti depresi,
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

18

skizofrenia atau demensia senilis dapat menimbulkan halusinasi bau. Kasus demikian perlu
dirujuk ke seorang psikiater.

D. Prognosis
Prognosis hiposmia sebagian besar bergantung pada etiologinya. Hiposmia akibat obstruksi
yang disebabkan oleh polip, neoplasma, pembengkakan mukosa, atau deviasi septum dapat
disembuhkan. Bila sumbatan tadi dihilangkan, kemampuan penciuman semestinya
kembali. Sebagian besar pasien yang kehilangan indra penciumannya selama menderita
infeksi saluran napas bagian atas sembuh sempurna kemampuan penciumannya; namun,
sebagian kecil pasien tak pernah sembuh setelah gejala-gejala ISPA lainnya membaik.
Trauma kepala di daerah frontal paling sering menyebabkan hiposmia, meskipun
anosmia total lima kali lebih sering terjadi pada benturan terhadap oksipital. Penyembuhan
fungsi penciuman setelah cedera kepala traumatik hanyalah 10% dan kualitas kemampuan
penciuman setelah perbaikan biasanya buruk. Pajanan terhadap racun-racun seperti rokok
dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan dapat terjadi dengan
menghilangkan bahan penyebabnya.
2.6.3 Agnosia
A. Definisi
Agnosia adalah hilangnya kemampuan untuk mengenali bendabenda, orang,
suara, bentuk / bau sementara arti tertentu tidak cacat juga tidak ada kerugian
memori yang signifikan. Hal ini biasanya berhubungan dengan cedera otak /
penyakit syaraf, khususnya setelah kerusakan pada lobus temporal.
B. Etiologi
a. Stroke
b. Demensia / gangguan neurologist
c. Brain damage kerusakan otak
d. Dementia singkat akal
e. Neurological disorders (see cognitive impairment) gangguan syaraf
(gangguan kognitif)
f. Hereditary (turun temurun)
g. Head injury (cedera kepala)
h. Brain infection (infeksi otak)
C. Tanda dan Gejala
1.
Ketidakmampuan untuk mengenali obyek
2.
Ketidakmampuan untuk mengenali orang
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

19

3.
4.
5.
6.
7.

Ketidakmampuan untuk mengenali suara


Ketidakmampuan untuk mengenali suara yang akrab
Ketidakmampuan untuk mengenali bentuk
Ketidakmampuan untuk mengenali bau
Ketidakmampuan untuk mengenali benda asing

D. Patogenesis
Terjadinya agnosia karena adanya gangguan visual otaknya atau disfungsi
neurologist akibat dari stroke, demensia gangguan perkembangan atau kondisi
neurologist lainnya. Agnosia merupakan hasil dari kerusakan dari daerah tertentu
di otak lobus oksipital atau parietal otak, sehingga pada daera tersebut terdapat
lesi yang dapat menyebabkan kerusakan syaraf sehingga terjadi berbagai bentuk
agnosia.
2.6.4

Disosmia
A. Definisi
Disosmia adalah berubahnya penciuman yang menyebabkan penderita merasa
mencium bau yang tidak enak.
B. Etiologi
Disosmia bisa disebabkan oleh:
a.Infeksi di dalam sinus
b.

Kerusakan

parsial

pada saraf olfaktorius


c.Kebersihan mlut yang jelek, sehingga terjadi infeksi mulut yang berbau tidak
enak dan tercium oleh hidung
d.
Depresi.
Beberapa penderita kejang yang penyebabnya berasal dari bagian otak yang
merasakan bau (saraf olfaktorius) akan merncium bau yang tidak menyenangkan
(halusinasi olfaktori). Hal ini merupakan bagian dari kejang, bukan merupakan
disosmia.
2.7 Diagnosis
A. Anamnesis
Tahapan pertama dalam mendiagnosis adalah melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Pada anamnesis perlu ditanyakan lama keluhan,
apakah dirasakan terus-menerus atau hilang timbul dan apakah unilateral. Pada anamnesis
ditanyakan riwayat trauma kepala, penyakit sinonasal, dan infeksi saluran nafas atas,
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

20

riwayat penyakit sistemik, riwayat penyakit neurodegeneratif, kebiasaan merokok, dan


semua faktor yang bisa menyebabkan gangguan penghidu
B. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik THT meliputi pemeriksaan hidung dengan rinoskopi anterior,
posterior dan nasoendoskopi untuk menilai ada atau tidaknya sumbatan di hidung, seperti
inflamasi, polip, hipertrofi konka, septum deviasi, penebalan mukosa, dan massa tumor
akan mempengaruhi proses transport odoran ke area olfaktorius
Pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan lengkap pada telinga, saluran napas
bagian atas, kepala, dan leher. Kelainan pada masing-masing daerah kepala dan leher dapat
menyebabkan disfungsi penciuman. Keberadaan otitis media serosa dapat menunjukkan
adanya massa nasofaring atau peradangan. Pemeriksaan hidung yang

seksama untuk

mencari massa hidung, gumpalan darah, polip, dan peradangan membranhidung sangat
penting. Bila ada, rinoskopi anterior harus ditunjang dengan pemeriksaan endoskopik pada
rongga hidung dan nasofaring. Keberadaan telekantus pada pemeriksaan mata dapat
mengarah ke massa atau peradangan di sinus. Massa nasofaring yang menonjol ke rongga
mulut atau drainase purulen di orofaring dapat ditemukan pada pemeriksaan mulut. Leher
harus dipalpasi untuk mencari massa atau pembesaran tiroid. Pemeriksaan saraf yang
menekankan pada nervus kranialis dan fungsi sensori motorik sangat penting.
C. Pemeriksaan Pencitraan
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menyingkirkan kelainan intrakranial dan evaluasi
kondisi anatomis dari hidung, misalnya pada kasus tumor otak atau kelainan dihidung.
Pemeriksaan foto polos kepala tidak banyak memberikan data tentang kelainan ini.
Pemeriksaan tomografi komputer merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk
memperlihatkan adanya massa, penebalan mukosa atau adanya sumbatan pada celah
olfaktorius. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan
yang lebih sensitif untuk kelainan pada jaringan lunak. Pemeriksaan ini dilakukan bila ada
kecurigaan adanya tumor
D. Pemeriksaan kemosensoris penghidu.

GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

21

Pemeriksaan kemosensoris penghidu yaitu pemeriksaan dengan menggunakan odoran


tertentu untuk merangsang sistem penghidu. Ada beberapa jenis pemeriksaan ini,
diantaranya tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell Identification), Tes The
Connectitut Chemosensory Clinical Research Center (CCCRC), Tes Sniffin Sticks, Tes
Odor Stick Identification Test for Japanese (OSIT-J).
1. Tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell Identification).
Test ini berkembang di Amerika, pada tes ini terdapat 4 buku yang masing-masing
berisi 10 odoran. Pemeriksaan dilakukan dengan menghidu buku uji, dimana didalamnya
terkandung 10-50 odoran. Hasilnya pemeriksaan akan dibagi menjadi 6 kategori yaitu
normosmia, mikrosmia ringan, mikrosmia sedang, mikrosmia berat, anosmia, dan
malingering.

Gambar alat tes UPSIT


2. Tes The Connectitut Chemosensory Clinical Research Center (CCCRC).
Test ini dapat mendeteksi ambang penghidu, identifikasi odoran, dan evaluasi nervus
trigeminal. Untuk ambang penghidu digunakan larutan butanol 4% dan diencerkan dengan
aqua steril dengan perbandingan 1:3, sehingga didapat 8 pengenceran pada 8 tempat yang
berbeda. Tempat untuk butanol 4% diberi nomor 0, dilanjutkan dengan pengenceran diberi
sampai nomor 8. Dalam melakukan test dimulai dari nomor 8, nomor 7 dan seterusnya
sampai nomor 0. Untuk menghindari bias pasien disuruh menentukan mana yang berisi
odoran tanpa perlu mengidentifikasikannya. Ambang penghidu didapat bila jawaban betul
5 kali berturut-turut tanpa kesalahan. Pemeriksaan dikerjakan bergantian pada hidung kiri
dan kanan, dengan menutup hidung kiri bila memeriksa hidung kanan atau sebaliknya

GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

22

Tes kedua yaitu identifikasi penghidu, dengan menggunakan odoran kopi, coklat,
vanila, bedak talk, sabun, oregano, dan napthalene. Nilai ambang dan identifikasi
dikalkulasikan dan dinilai sesuai skor CCCRC

Gambar Alat tes CCCRC.27


3. Tes Sniffin Sticks.
Tes Sniffin Sticks adalah tes untuk menilai kemosensoris dari penghidu dengan alat yang
berupa pena. Tes ini dipelopori working group olfaction and gustation di Jerman dan
pertama kali diperkenalkan oleh Hummel28 dan kawan-kawan. Tes ini sudah digunakan
pada lebih dari 100 penelitian yang telah dipublikasikan, juga dipakai di banyak praktek
pribadi dokter di Eropa.
Panjang pena sekitar 14 cm dengan diameter 1,3 cm yang berisi 4 ml odoran dalam bentuk
tampon dengan pelarutnya propylene glycol.7 Alat pemeriksaan terdiri dari tutup mata dan
sarung tangan yang bebas dari odoran

GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

23

Gambar Alat tes Sniffin Sticks


Pengujian dilakukan dengan membuka tutup pena selama 3 detik dan pena diletakkan 2 cm
di depan hidung, tergantung yang diuji hidung sebelah kiri atau sebelah kanan.
Pemeriksaan dilakukan dengan menutup mata subyek untuk menghindari identifikasi
visual dari odoran

Gambar Cara melakukan test Sniffin sticks


Dari Tes ini dapat diketahui tiga komponen, yaitu ambang penghidu (Treshold/T),
diskriminasi penghidu (Discrimination/D), dan identifikasi penghidu (Identification/I).
Untuk ambang penghidu (T) digunakan n-butanol sebagai odoran. Tes ini menggunakan
triple forced choice paradigma yaitu metode bertingkat tunggal dengan 3 pilihan jawaban.
Pengujian dilakukan dengan pengenceran n-butanol, dimulai dengan 4% n-butanol, dan
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

24

dilanjutkan menjadi 16 serial pengenceran dengan perbandingan 1:2 dengan pelarut aqua
deionisasi. Tes dilakukan dengan menggunakan 3 buah pena dalam urutan acak, 2 pena
berisilarutan dan 1 pena berisi odoran. Pemeriksaan dilakukan dalam waktu 20 detik. Skor
yang diberikan untuk ambang penghidu adalah 0 sampai
Untuk diskriminasi penghidu (D), dilakukan dengan menggunakan 3 pena secara acak
dimana 2 pena berisi odoran yang sama dan pena ke-3 berisi odoran yang berbeda. Pasien
disuruh menentukan mana odoran yang berbeda dari 3 pena tersebut. Pemeriksaan 3
serangkai pena ini dilakukan 20-30 detik. Skor untuk diskriminasi penghidu adalah 0
sampai 16.
Untuk identifikasi penghidu (I), tes dilakukan dengan menggunakan 16 odoran yang
berbeda, yaitu jeruk, anis (adas manis), shoe leather (kulit sepatu), peppermint, pisang,
lemon, liquorice (akar manis), cloves (cengkeh), cinnamon (kayu manis), turpentine
(minyak tusam), bawang putih, kopi, apel, nanas, mawar dan ikan. Untuk satu odoran yang
betul diberi skor 1, jadi nilai skor untuk tes identifikasi penghidu antara 0-16. Interval
antara pengujian minimal 30 detik untuk proses desensitisasi dari nervus olfaktorius.
Untuk menganalisa fungsi penghidu seseorang digunakan skor TDI ( Treshold/
Discrimination/ Identification ). Hasil dari ketiga subtes Sniffin Sticks dinilai dengan
menjumlahkan nilai T-D-I. Dengan rentangan skor 1-48, bila skor 15 dikategorikan
anosmia, 16-29 dikategorikan hiposmia, dan 30 dikategorikan normosmia.30 Tes ini
menggambarkan tingkat dari gangguan penghidu, tapi tidak menerangkan letak anatomi
dari kelainan yang terjadi.
Odoran yang terdapat dalam tes Sniffin Sticks adalah odoran yang familiar untuk negara
eropa, tapi kurang familiar dengan negara lain. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan
istilah lain yang familiar untuk odoran tersebut.32 menurut Shu33 tes Sniffin Sticks
dapat digunakan pada penduduk Asia.
4. Tes Odor Stick Identification Test for Japanese (OSIT-J).
OSIT-J terdiri dari 13 bau yang berbeda tapi familiar dengan populasi Jepang yaitu
condessed milk, gas memasak, kari, hinoki, tinta, jeruk Jepang, menthol, parfum, putrid
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

25

smell, roasted garlic, bunga ros, kedelai fermentasi dan kayu. Odoran berbentuk krim
dalam wadah lipstik. Pemeriksaan dilakukan dengan mengoleskan odoran pada kertas
parafin dengan diameter 2 cm, untuk tiap odoran diberi 4 pilihan jawaban. Hasil akhir
ditentukan dengan skor OSIT-J
5. Pemeriksaan elektrofisiologis fungsi penghidu. Pemeriksaan ini terdiri dari
Olfactory Event-Related Potentials (ERPs), dan Elektro-Olfaktogram (EOG).
1. Olfactory Event - Related Potentials (ERPs). ERPs adalah salah satu pemeriksaan fungsi
penghidu dengan memberikan rangsangan odoran intranasal, dan dideteksi perubahan pada
elektroencephalogram (EEG). Rangsangan odoran untuk memperoleh kemosensori ERPs
harus dengan konsentrasi dan durasi rangsangan yang tepat. Waktu rangsangan yang
diberikan antara 1-20 mili detik. Jenis zat yang digunakan adalah vanilin, phenylethyl
alkohol, dan H2S.2,22
2. Elektro-Olfaktogram (EOG).
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menempatkan elektroda pada permukaan epitel
penghidu dengan tuntunan endoskopi. Kadang pemeriksaan ini kurang nyaman bagi pasien
karena biasanya menyebabkan bersin pada waktu menempatkan elektroda di regio
olfaktorius dihidung.
6. Biopsi neuroepitel olfaktorius.
Biopsi neuroepitel olfaktorius berguna untuk menilai kerusakan sistem penghidu. Jaringan
diambil dari septum nasi superior dan dianalisis secara histologis. Pemeriksaan ini jarang
dilakukan karena invasif
2.8 Penatalaksanaan
A. Kurang Penciuman Hantaran
Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis alergi, rhinitis
dan sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada rongga
hidung dapat dilakukan secara rasional dan dengan kemungkinan perbaikan yang tinggi.
Terapi berikut ini seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau: (1)
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

26

pengelolaan alergi; (2) terapiantibiotik; (3) terapi glukokortikoid sistemik dan topikal; dan
(4) operasi untuk polip nasal,deviasi septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik.
B. Kurang Penciuman Sensorineural
Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang penciuman
sensorineural. Untungnya, penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter
menganjurkan terapi seng dan vitamin. Defisiensi seng yang mencolok tak diragukan lagi
dapat menyebabkan kehilangan dan gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan
masalah klinis kecuali didaerah-daerah geografik yang sangat kekurangan. Terapi vitamin
sebagian besar dalam bentuk vitamin A. Degenerasi epitel akibat defisiensi vitamin A dapat
menyebabkan anosmia, namun defisiensi vitamin A bukanlah masalah klinis yang sering
ditemukan di negara-negara barat. Pajanan pada rokok dan bahan-bahan kimia beracun di
udara yang lain dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan spontan
dapat terjadi bila faktor pencetusnya dihilangkan; karenanya, konseling pasien sangat
membantu pada kasus-kasus ini.
C. Kurang Penciuman Akibat Penuaan (Presbiosmia)
Seperti dijelaskan sebelumnya, lebih dari separuh orang yang berusia di atas 60 tahun
menderita disfungsi penciuman. Belum ada terapi yang efektif untuk presbiosmia namun
sangat penting untuk membicarakan masalah ini dengan pasien-pasien usia lanjut; dapat
menenangkan bagi pasien ketika seorang dokter mengenali dan membicarakan bahwa
gangguan penciuman memang umum terjadi. Selain itu, manfaat langsung dapat diperoleh
dengan mengidentifikasi masalah tersebut sejak dini; insidensi kecelakaan akibat gas alam
sangat tinggi pada usia lanjut, kemungkinan sebagian karena penurunan kemampuan
membau secara bertahap. Merkaptan, bau busuk pada gas alam, adalah perangsang
olfaktorius, bukan trigeminal. Banyak pasien yang lebih tua dengan disfungsi penciuman
mengalami penurunan sensasi rasa dan lebih suka memakan makanan-makanan yang lebih
kaya rasa. Metode yang paling umum adalah meningkatkan jumlah garam dalam diitnya.
Konseling dengan seksama dapat membantu pasien-pasien ini mengembangkan strategistrategi yang sehat untuk mengatasi gangguan kemampuan membaunya.
2.9 Prognosis
Hasil akhir disfungsi penciuman sebagian besar bergantung pada etiologinya.
Disfungsi penciuman akibat sumbatan yang disebabkan oleh polip, neoplasma,
pembengkakan mukosa, atau deviasi septum dapat disembuhkan. Bila sumbatan tadi
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

27

dihilangkan, kemampuan penciuman semestinya kembali. Sebagian besar pasien yang


kehilangan indra penciumannya selama menderita infeksi saluran napas bagian atas
sembuh sempurna kemampuan penciumannya;namun, sebagian kecil pasien tak pernah
sembuh setelah gejala-gejala ISPA lainnya membaik. Karena alasan-alasan yang belum
jelas, pasien-pasien ini sebagian besar adalah wanita pada dekade keempat, kelima, dan
keenam kehidupannya. Prognosis penyembuhannya biasanya buruk. Kemampuan dan
ambang pengenalan bau secara progresif turun seiring bertambahnya usia. Trauma kepala
di daerah frontal paling sering menyebabkan kurang penciuman, meskipun anosmia total
lima kali lebih sering terjadi pada benturan terhadap oksipital. Penyembuhan fungsi
penciuman setelah cedera kepala traumatik hanyalah 10% dan kualitas kemampuan
penciuman setelah perbaikan biasanya buruk. Pajanan terhadap racun-racun seperti rokok
dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan dapat terjadi dengan
penghilangan bahan penyebabnya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Fungsi penghidu pada manusia memegang peranan penting. Area penghidu terdapat di
atap rongga hidung, stimuli akan diteruskan ke bulbus olfaktorius, dan traktus olfaktorius di otak.
Penyebab gangguan penghidu adalah gangguan transport, gangguan sensoris, dan gangguan pada
saraf olfaktorius. Penyakit gangguan penghidu adalah trauma kepala, penyakit sinonasal, dan
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

28

infeksi saluran nafas atas.Pemeriksaan kemosensoris untuk gangguan penghidu ada beberapa
macam, diantaranya tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell Identification), tes The
Connectitut Chemosensory Clinical Research Center (CCCRC), tes Sniffin Sticks, dan Odor
Stick Identification Test for Japanese (OSIT-J). Kelebihan tes Sniffin Stick dibandingkan
pemeriksaan kemosensoris penghidu lainnya adalah tes ini sederhana, dapat menentukan 3
subtest yaitu ambang penghidu (T), Diskriminasi penghidu (D), dan Identifikasi penghidu (I).

Daftar Pustaka
1. Adams, Boeis, Higler, Buku Ajar Penyakit THT BOIES, Edisi ke 6, 1997, Penerbit
Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
2. Devanand DP, Michaels-Marston KS, Liu X, et al: Olfactory deficits in patients with
mild cognitive impairment predict Alzheimers disease at follow-up. Am J Psychiatry
2014 July ; 157(9): 1399-405.
3. Doty RL, Deems DA, Olfactory Function and Dysfunction In : Bailey BJ, Calhoun KH,
Healy GB et al Editors. Texbooks Bailey Head and Neck Surgery Otolaryngology. 3 th
ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 2001; p.246-260.
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

29

4. Huriyati Effi dkk. Gangguan fungsi penghidu dan pemeriksaannya. Jurnal : Bagian
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas Padang. jurnal.fk.unand.ac.id/images/articles/vol3/no1/01-07.pdf (02.06.2014)
5. Leopold DA, Holbrook EH, Noell CA, Mabry RL, Disorders of Taste and Smell.
2014:1-8. http://www.emedicine.com.
6. Lumbantobing SM.2000.Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta
7. Mangunkusumo E. Gangguan Penghidu. In : Soepardi EA, Iskandar N editors.
8. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 5 th ed. Jakarta:
Balai Penerbit FK-UI, 2006; p.130-131

GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU

30

Anda mungkin juga menyukai