Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Insiden cedera traktus urinarius yang disertai dengan trauma abdominal adalah 10%.

Trauma ginjal sendiri terjadi 1-5% dari semua kasus trauma. Ginjal adalah organ genitourinarius

yang paling sering cedera, rasio laki-laki banding perempuan adalah 3:1. Meskipun trauma ginjal

secara akut dapat mengancam jiwa, namun penanganannya dapat secara konservatif. Selama 20

tahun terakhir, kemajuan dalam hal pencitraan dan strategi penatalaksanaannya dapat

menurunkan tindakan intervensi operasi dan meningkatkan perbaikan pada ginjal.

Ginjal mendapat proteksi dari otot lumbar, thoraks, badan vertebra dan viscera, tetapi ginjal

mempunyai mobilitas yang besar yang bisa mengakibatkan kerusakan parenchymal dan cedera

vaskular. Trauma sering disebabkan kerana jatuh, kecelakaan lalu lintas, luka tusuk, luka tembak

dan rupture spontan.

Frekuensi cedera ginjal tergantung pada populasi pasien yang dipertimbangkan. Trauma

ginjal menyumbang sekitar 3% dari seluruh penerimaan trauma dan sebanyak 10 % dari pasien

yang mempertahankan trauma abdomen. Dengan menggunakan Nasional Trauma Data Bank,

Grimsby et al. mengulas data cedera ginjal anak untuk menentukan mekanisme cedera dan kelas,

demografi, perawatan, dan pengaturan perawatan. Sebagian besar trauma ginjal pada anak-anak

ditemukan pada kelas rendah (79%) dan ditemukan trauma tumpul (>90%). Cedera usia rata-rata

adalah 13.7 tahun, yaitu 94% dari pasien adalah berusia 5 sampai 18 tahun. Hanya 12% dari

pasien dirawat di rumah sakit anak.

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL

Anatomi Ginjal

Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritoneum

(retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus

abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Di bagian

atas (superior) ginjal terdapat kelenjara drenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Kedua

ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada orang dewasa berukuran

panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kira-kira sebesar kepalan tangan

manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau kurang lebih

beratnya antara 120-150 gram.

Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap ke dalam.

Ukuran ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih

panjang dari pada ginjal wanita. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit ke bawah

dibandingkan ginjal kiri untuk memberi tempat lobus hepar kanan yang besar. Ginjal

dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua ginjal

dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu

meredam guncangan.

Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat

cortex renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla renalis di bagian

dalam yang berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk

kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang

terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis.

2
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya

pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong

yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga kaliks renalis

majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga kaliks renalis

minores. Medulla terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid

tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun dari segmen-segmen

tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau apeks dari tiap piramid membentuk

duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan bagian terminal dari banyak duktus

pengumpul.

Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah

pada tiap ginjal. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus,

tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus distal, yang

mengosongkan diri keduktus pengumpul.

3
Unit nephron dimulai dari pembuluh darah kapiler, bersifat sebagai saringan

disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus tersebut dan disaring sehingga terbentuk

filtrat yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui pipa/saluran

yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran Ureter, kandung kencing

kemudian ke luar melalui Uretra.

Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam

tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang

masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan

pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor.

Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin.

Vaskularisasi Ginjal

Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra

lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kava inferior yang terletak

disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut

bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya

membentuk arteri arkuata kemudian membentuk arteriola interlobularis yang tersusun

paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen

pada glomerulus.

4
Gambar 2. Vaskuarisasi Ginjal

Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian bercabang membentuk sistem

portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan disebut kapiler peritubular. Darah yang mengalir

melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam jalinan vena selanjutnya menuju vena

interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis untuk akhirnya mencapai vena

cava inferior. Ginjal dilalui oleh sekitar 1200 ml darah permenit suatu volume yang sama dengan

20-25% curah jantung (5000 ml/menit) lebih dari 90% darah yang masuk keginjal berada pada

korteks sedangkan sisanya dialirkan ke medulla. Sifat khusus aliran darah ginjal adalah

otoregulasi aliran darah melalui ginjal arteiol afferen mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat

merubah resistensinya sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah arteri dengan demikian

mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus tetap konstan.

Persarafan Ginjal

5
Menurut Price (1995) “Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis

(vasomotor), saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk kedalam

ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal.

Fisiologi Ginjal

Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak

(sangat vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah menyarin darah. Aliran darah

ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi

cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses

dalam Tubulus sehingga akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2

liter/hari.

Fungsi ginjal adalah

1. Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun.

2. Mempertahankan keseimbangan cairan tubuh

3. Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh

4. Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak

5. Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang

6. Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah

7. Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu pembuatan sel darah merah

Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam

sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier

membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium

kedalam cairan tubular “perjalanannya kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang

diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya.

6
Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan

ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang

pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa

hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti

mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada

awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara

theurapeutik.

Laju mortalitas dan morbiditas trauma ginjal bervariasi tergantung dari beratnya

trauma yang terjadi, derajat trauma yang mengenai organ lainnya dan rencana pengobatan

yang digunakan. Oleh karena itu, pilihan penanganan harus mempertimbangkan angka

mortalitas dan morbiditas. Secara keseluruhan, dengan tekhnik penanganan modern, laju

pemeliharaan ginjal mencapai 85-90%.

2.2. DEFINISI TRAUMA GINJAL

Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai macam

trauma baik tumpul maupun tajam. Trauma ginjal merupakan trauma yang terbanyak

pada sistem urogenitalia. Kurang lebih 10% dari trauma pada abdomen mencederai ginjal

(Purnomo, 2011).

2.3. ETIOLOGI

Cedera ginjal dapat terjadi secara:

a. Langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang.

b. Tidak langsung, yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan

ginjal secara tiba - tiba di dalam rongga retroperitoneum.

7
Jenis cedera yang mengenai ginjal dapat merupakan cedera tumpul, luka tusuk,

atau luka tembak. Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitoneum menyebabkan

regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis.

Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan darah yang selanjutnya dapat

menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabangcabangnya. Cedera ginjal dapat

dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, seperti hidronefrosis, kista

ginjal atau tumor ginjal (Purnomo, 2011).

Ada 3 penyebab utama dari trauma ginjal, yaitu

1. Trauma tajam

2. Trauma iatrogenik

3. Trauma tumpul

Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman merupakan 10 – 20 % penyebab

trauma pada ginjal di Indonesia.Baik luka tikam atau tusuk pada abdomen bagian atas

atau pinggang maupun luka tembak pada abdomen yang disertai hematuria merupakan

tanda pasti cedera pada ginjal.

Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau

radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography, percutaneous

nephrostomy dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin meningkatnya popularitas

dari teknik-teknik di atas, insidens trauma iatrogenik semakin meningkat, tetapi

kemudian menurun setelah diperkenalkan ESWL. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan

trauma ginjal.

8
Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya

pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat

kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat.

Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma

langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau

perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ

organ lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan

pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat

menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang

menimbulkan thrombosis.

2.4. PATOFISIOLOGI

Ginjal terletak di rongga retroperitonium dan terlindung oleh otot-otot punggung

di sebelah posterior dan oleh organ-organ intraperitoneal di sebelah anteriornya. Karena

itu cedera ginjal tidak jarang diikuti oleh cedera organ-organ yang mengitarinya.

Adanya cedera traumatik, menyebabkan ginjal dapat tertusuk oleh iga paling

bawah sehingga terjadi konstitusi dan ruptur, fraktur iga atau fraktur prosesus transversus

lumbar vertebra atas dapat dihubungkan dengan kontusi renal atau laserasi. Cedera dapat

tumpul (jatuh, cedera atletik, kecelakaan lalu lintas, akibat pukulan), dapat ditemukan

jejas pada daerah lumbal atau penetrasi (luka tembak, luka tusuk atau tikam) tampak

luka.

Kelalaian dalam menggunakan sabuk pengaman akan memberikan reaksi

goncangan ginjal didalam rongga retroperitoneum dan menyebabkan regangan pedikel

9
ginjal (batang pembuluh darah renal dan ureter) sehingga menimbulkan robekan tunika

intima arteri renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang

selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya.

Kondisi adanya penyakit pada ginjal seperti hidronefrosis, kista ginjal, atau tumor ginjal

akan memperberat suatu trauma pada kerusakan struktur ginjal.

Ginjal juga dapat rusak akibat dari tekanan dari bagian anterior abdomen sering

kali dalam kecederaan dalam kecelakaan lalu lintas. Trauma penetrasi yang sering kali

disebabkan oleh luka tusuk atau luka tembak sering ditemukan juga. Walaupun sering

ditemukan hematoma peri-renal, pasien mungkin tidak menunjukkan hematuria kecuali

luka mencapai calyx atau pelvis.

2.5.EPIDEMIOLOGI

Frekuensi cedera ginjal tergantung pada populasi pasien yang dipertimbangkan.

Trauma ginjal menyumbang sekitar 3% dari seluruh penerimaan trauma dan sebanyak 10

% dari pasien yang mempertahankan trauma abdomen.

Dengan menggunakan Nasional Trauma Data Bank, Grimsby et al. mengulas data cedera

ginjal anak untuk menentukan mekanisme cedera dan kelas, demografi, perawatan, dan

pengaturan perawatan. Sebagian besar trauma ginjal pada anak-anak ditemukan pada

kelas rendah (79%) dan ditemukan trauma tumpul (>90%). Cedera usia rata-rata adalah

13.7 tahun, yaitu 94% dari pasien adalah berusia 5 sampai 18 tahun. Hanya 12% dari

pasien dirawat di rumah sakit anak. Meskipun sebagian besar anak-anak dirawat secara

10
konservatif di rumah sakit dewasa, tingkat nefrektomi tiga kali lebih tinggi dibandingkan

pasien dirawat di rumah sakit anak (Grimsby et al, 2014).

2.6. KLASIFIKASI

Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan

menjadi:

a. cedera minor.

b. cedera mayor.

c. cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal.

Pembagian sesuai dengan skala cedera organ (organ injury scale) cedera ginjal

dibagi dalam 5 derajat sesuai dengan penemuan pada pemeriksaan pencitraan maupum

hasil eksplorasi ginjal. Sebagian besar (85%) trauma ginjal merupakan cedera minor

(derajat I dan II), 15% merupakan cedera mayor (derajat III dan IV), dan 1% merupakan

cedera pedikel ginjal (Purnomo, 2011). Klasifikasi trauma ginjal menurut Sargeant dan

Marquadt yang dimodifikasi oleh Federle :

11
12
Gambar 2.4. Klasifikasi trauma ginjal menurut AAST

Sumber: The American Association of the Surgery of Trauma (AAST), 2015

2.7. MANIFESTASI KLINIS

Tanda-tanda dan gejala trauma ginjal adalah :

a. Hematuria : Hematuria merupakan manifestasi yang umum terjadi. Oleh karena

itu, adanya darah dalam urin setelah suatu cedera menunjukkan kemungkinan

cedera ginjal. Namun demikian, hematuria mungkin tidak akan muncul atau

terdeteksi hanya melalui pemeriksaan mikroskopik.

b. Nyeri mungkin terlokalisasi pada satu daerah panggul atau di atas perut.

c. Syok atau tanda-tanda kehilangan darah.

13
d. Ekimosis pada daerah panggul atau kuadran atas perut.

e. Sebuah massa teraba mungkin merupakan retroperitoneal besarhematoma atau

kemungkinan ekstravasasi kemih.

f. Laserasi (luka) di abdomen lateral dan rongga panggul (Summerton etal, 2014).

2.8. DIAGNOSIS

Penilaian awal pada pasien trauma ginjal harus meliputi jalan nafas, mengkontrol

perdarahan yang tampak. Pada banyak kasus, pemeriksaan fisik dilakukan sesuai

dengan kondisi pasien. Apabila trauma ginjal dicurigai maka harus dilakukan evaluasi

lebih lanjut:

1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Indikasi yang memungkinkan bahwa terjadinya trauma ginjal

meliputi mekanisme deselerasi yang cepat seperti jatuh dari ketinggian,

kecelakaan bermotor dengan kecepatan yang laju, atau trauma langsung

pada region flank.

Riwayat penyakit sebelumnya harus digali, apakah adanya

disfungsi organ sebelum terjadinya trauma dan adanya riwayat penyakit

ginjal sebelumya yang dapat memperberat trauma (Cachecho et al.,

1994). Hidronefrosis, batu ginjal, kista, atau tumor telah dilaporkan dapat

menimbulkan komplikasi yang berat (Sebastià et al., 1999).

Pemeriksaan fisik adalah suatu pemeriksaan yang harus dilakukan

padanpasien trauma. Stabilitas haemodinamik merupakan faktor utama

dalam pengelolaan semua trauma ginjal. Vital sign harus dicatat untuk

mengevaluasi pasien (Summerton et al., 2014).

14
Pada pemeriksaan fisik harus dinilai adanya trauma tumpul atau

trauma tembus pada region flank, lower thorax, dan abdomen atas. Pada

luka tembus, panjang luka tidak menggambarkan secara akurat kedalaman

penetrasi. Penemuan seperti hematuria, jejas, dan nyeri pada daerah

pinggang, patah tulang iga bawah, atau distensi abdomen dapat dicurigai

adanya trauma pada ginjal (Summerton et al., 2014).

Kecurigaan adanya cedera ginjal jika terdapat :

 Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, dan

perut bahagian atas dengan disertai nyeri ataupun didapati adanya

jejas pada daerah tersebut.

 Hematuria

 Fraktur kosta sebelah bawah (T8-T12) atau fraktur prosesus

spinosus vertebra.

 Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang.

 Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau

kecelakaan lalu lintas (Purnomo, 2011).

2. Pemeriksaan Laboratorium

Urinalisa, darah rutin dan kreatinin merupakan pemeriksaan

laboratorium yang penting. Urinalisa merupakan pemeriksaan penting

untuk mengetahui adanya cedera pada ginjal. Hematuria mikroskopis atau

gross, sering terlihat tetapi tidak cukup sensitif dan spesifik untuk

membedakan apakah suatu trauma minor atau mayor (Buchberger et al.,

1993). Tambahan pula, untuk trauma ginjal yang berat seperti robeknya

15
ureteropelvic junction, trauma pedikel ginjal, atau trombosis arteri dapat

tampil tanpa disertai dengan hematuria (Eastham et al,1992).

Hematokrit serial dan vital sign merupakan pemeriksaan yang

digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma. Penurunan hematokrit dan

kebutuhan untuk transfusi darah merupakan tanda kehilangan darah dan

respon terhadap resusitasi akan menjadi pertimbangan dalam

pengambilan keputusan. Peningkatan kreatinin dapat dikatakan sebagai

tanda patologis pada ginjal.

3. Pemeriksaan Radiologi (Pencitraan)

Indikasi untuk melakukan pemeriksaan radiologi pada trauma

ginjal adalah gross hematuria, hematuria mikroskopik yang disertai syok,

atau cedera pada organ lain. Pada luka tembus, setiap kecurigaan adalah

luka yang mengarah pada ginjal maka perlu melakukan pemeriksaan

radiologi tanpa memperhatikan derajat hematuria.

a. Pemeriksaan Intravenous Urografi (IVU) atau disebut sebagai

Pielografi Intra Vena (PIV) atau Intravenous Pyelografi (IVP).

Pemeriksaan IVP adalah foto yang dapat mengambarkan keadaan

sistem urinaria melalui bahan kontras( dengan menyuntikkan bahan

kontras dosis tinggi ±2ml/kgBB) digunakan untuk menilai tingkat

kerusakan ginjal dan menilai keadaan ginjal kontralateral.

Pemeriksaan IVU dilakukan apabila diduga terdapat :

 Luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal.

16
 Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria

makroskopik.

 Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria

.mikroskopik dan disertai syok (Purnomo, 2011).

b. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) dilakukan sebagai pemeriksaan

penunjang apabila diduga cedera tumpul pada ginjal yang

menunjukkan tanda hematuria mikroskopik tanpa disertai syok.

Pemeriksaan USG ini dapat menemukan adanya kontusio parenkim

ginjal atau hematoma subkapsuler.

Dengan pemeriksaan ini dapat juga diperlihatkan ada atau tidak

robekan kapsulginjal. Pemeriksaan USG pada ginjal dipergunakan :

 Untuk mendeteksi keberadaan dan keadaan ginjal (hidronefrosis,

kista, massa, atau pengkerutan ginjal) yang menunjukkan non

visualized pada pemeriksaan IVU.

 Sebagai penuntun pada saat melakukan pungsi ginjal, atau nefrostomi

perkutan (Purnomo, 2011).

Pada color Droppler ginjal dan arteri renalis, dapat menentukan

adanya penyempitan (stenosis) karena arteriosklerosis menyebabkan

aliran darah ke ginjal menurun (Purnomo, 2011).

c. Pemeriksaan Computed Tomography (CT) adalah teknik pencitraan

non invasive, yang lebih superior daripada USG. Pemeriksaan CT scan

ini dilakukan untuk menerangkan kelainan pada ginjal, arteri dan vena

renalis, vena kava, dan massa di retroperitoneal. Pemeriksaan CT scan

17
dapat menunjukkan adanya robekan jaringan ginjal, ekstravasasi

kontras yang luas, dan adanya nekrosis jaringan ginjal. Selain itu,

pemeriksaan CT scan juga dapat mendeteksi adanya trauma pada

organ yang lain. Alat CT scan ini dapat mendeteksi kelainan dalam

waktu cepat (< 30 detik), sehingga dapat dipakai untuk menilai

penyebab kolik ureter atau ginjal. Pemeriksaan CT scan merupakan

pemeriksaan radiologi yang utama bagi pasien trauma ginjal dengan

hemodinamik stabil (Purnomo, 2011).

d. Angiography

Keuntungan pemeriksaan ini adalah

1) memiliki kapasitas untuk menolong dalam diagnosis dan

penanganan trauma ginjaL

2) lebih jauh dapat memberikan gambaran trauma dengan

abnormalitas IV atau dengan trauma vaskuler.

Kerugian dari pemeriksaan ini adalah

1) pemeriksaan ini invasive

2) pemeriksaan ini memerlukan sumber-sumber mobilisasi untuk

melakukan pemeriksaan, seperti waktU

3) pasien harus melakukan perjalanan menuju ke ruang pemeriksaan.

e. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI digunakan untuk membantu penanganan trauma ginjal ketika

terdapat kontraindikasi untuk penggunaan kontras iodinated atau

ketika pemeriksaan CT-Scan tidak tersedia. Seperti pada pemeriksaan

18
CT, MRI menggunakan kontas Gadolinium intravena yang dapat

membantu penanganan ekstravasasi sistem urinarius. Pemeriksaan ini

merupakan pemeriksan terbaik dengan sistem lapangan pandang yang

luas.

Pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan :

Grade I

 Hematom minor di perinephric, pada IVP, dapat memperlihatkan gambaran ginjal

yang abnormal

 Kontusi dapat terlihat sebagai massa yang normal ataupun tidak

 Laserasi minor korteks ginjal dapat dikenali sebagai dfek linear pada parenkim atau

terlihat mirip dengan kontusi ginjal

 Yang lebih penting, pencitraan IVP pada pasien trauma ginjal grade I dapat

menunjukkan gambaran ginjal normal. Hal ini tidak terlalu menimbulkan masalah

karena penderit grade I memang tidak memerlukan tindakan operasi

 Pada CT Scan, daerah yang mengalami kontusi terlihat seperti massa cairan diantara

parenkim ginjal

Grade II

 Pada IVP dapat terlihat extravasasi kontras dari daerah yang mengalami laserasi

 Extravasasi tersebut bisa hanya terbatas pada sinus renalis atau meluas sampai ke

daerah perinefron atau bahkan sampai ke anterior atau posterior paranefron.

 Yang khas adalah, batas ;uar ginjal terlihat kabur atau lebih lebar.

 Dengan pemeriksaan CT Scan , fraktur parenkim ginjal dapat terlihats

19
 Akumulasi masif dari kontras, terutama pada ½ medial daerah perinefron, dengan

parenkim ginjal yang masih intak dan nonvisualized ureter, merupakan duggan kuat

terjadinya avulsi ureteropelvic junction

Grade III

 Secara klinis pasien dalam kadaan yang tidak stabil. Kdang kadang dapat terjadi

shock dan sering teraba massa pada daerah flank.dapt diertai dengan hematuria.

 Bila pasien sudah cukup stabil, dapat dilakukan pemeriksaan IVP, dimana terlihat

gangguan fungsi ekskresi baik parsial maupun total

 Ada 2 tipe lesi pada pelvis renalis yaitu trombosis A.Renalis dan avulsi A. Renalis.

Angiografi dapat memperlihtkan gambaran oklusi A.Renalis.

 Viabilitas dari fragmen ginjal dapat dilihat secara angiografi. Arteriografi

memperlihatkan 2 fragmen ginjal yang terpisah cukup jauh.fragmen yang viabel

akan terlihat homogen karena masih mendapat perfusi cukup baik. Fragmen

diantaranya berarti merupaka fragmen yang sudah tidak viable lagi.

Grade IV

 Grade IV meliputi avulsi dari ureteropelvic junction.

 Baik IVP maupun CT Scan memeperlihatkan adanya akumulasi kontras pada derah

perinefron tanpa pengisian ureter.

2.9. PENATALAKSANAAN

A. EMERGENSI DAN KONSERVATIF

20
Penanganan segera dari syok, perdarahan, resusitasi lengkap dan evaluasi cedera

lainnya. Jika kondisi pasien tidak stabil oleh karena trauma / cedera intra abdomen

maka diperlukan tindakan bedah laparotomi eksplorasi untuk resusitasi bedah. Jika

didapatkan hematoma retroperitoneal yang meluas dan pulsatil diindikasikan untuk

melakukan eksplorasi renal.

Urutan eksplorasi laparotomi:

 Mencari cedera/kelainan pembuluh darah besar intra abdomen,

 Eksplorasi organ Visceral dan intra abdomen lainnya harus dikerjakan

dahulu sebelum

 Eksplorasi renal, kecuali terjadi perdarahan ginjal yang masif dan

persisten maka harus dilakukan eksplorasi renal dahulu.

Eksplorasi renal dimulai dengan kontrol pembuluh darah renalis, dengan cara

insisi peritoneum posterior (white line) di atas aorta, sebelah medial ke arah interior

vena mesenterika. Vena renalis kiri mudah dikenali, terletak anterior aorta;

merupakan landmark untuk identifikasi pembuluh darah renal yang lain. Setelah

pembuluh renal teridentifikasi maka lakukan kontrol-kendali pembuluh darah, guna

mngurangi blood loss (pada kasus perdarahan). Hal ini menurunkan angka

nefrektomi, dari sekitar 56% menjadi 18%. Kadang oklusi pembuluh darah ini

diperlukan (20%) pada staging bedah cedera ginjal atau pada repair ginjal.

Tindakan konservatif ini ditujukan pada trauma minor. Pada keadaan ini

dilakukan observasi status ginjal dengan pemeriksaan kondisi lokal (tanda-tanda

vital), kemungkinan adanya penambahan massa di pinggang, adanya pembesaran

21
lingkar perut, penurunan kadar hemoglobin darah, hematokrit dan perubahan warna

urine pada pemeriksaan urine serial.

Pasien trauma minor agar dianjurkan tirah baring sampai hematuria hilang. Infus

intravena mungkin diperlukan karena perdarahan retroperitoneal dapat menyebabkan

reflek ileus paralitik. Medikasi antimikrobial dapat diresepkan untuk mencegah

infeksi akibat hematoma perirenal atau urinoma (sebuah kista yang mengandung urin)

pasien harus dievaluasi dengan sering selama hari-hari pertama setelah cedera untuk

mendeteksi nyeri panggul dan abdominal, spasme otot, serta bengkak di panggul. Jika

selama observasi didapatkan adanya tanda-tanda perdarahan atau kebocoran urine

yang menimbulkan infeksi, harus segera dilakukan tindakan operasi.

Pasien dengan cedera major dapat ditangani secara konservatif, jika cedera tidak

terlalu parah. Jika kondisi pasien dan asal cederanya tidak dapat ditangani secara

konservatif maka dapat dilakukan operasi

B. OPERATIF

 TRAUMA TUMPUL

Cedera ginjal minor (85%) biasanya tidak memerlukan tindakan operasi.

Perdarahan berhenti spontan dengan tirah baring dan hidrasi. Operasi

dilakukan pada kasus perdarahan retroperitoneal persisten, ekstravasasi urin

(drainase), kematian parenkim ginjal dan cedera pedikel ginjal (<5% dari

cedera ginjal). Penilaian staging cedera pra bedah harus dilakukan secara

lengkap sebelum operasi.

Evaluation of blunt renal trauma in adults

22
 LUKA TUSUK/TEMBUS

Luka tusuk harus dilakukan eksplorasi, kecuali dari pemeriksaan yang

lengkap hanya didapat cedera parenkim minor tanpa ekstravasasi urin.

Delapan puluh persen luka tembus disertai cedera organ lain yang

memerlukan operasi segera.

Indikasi eksplorasi renal dibagi menjadi indikasi absolut dan relatif.

Perdarahan ginjal yang terus menerus, ditandai dengan hematoma yang

meluas di daerah atas retroperitoneal atau hematoma yang paliatif dan

konsisten, serta berhubungan dengan laserasi parenkim renal mayor atau

pembuluh darah ginjal merupakan indikasi absolut eksplorasi renal.

Sedangkan adanya ekstravasasi urin oleh karena laserasi pelvis renal

avibat ekstensi laserasi parenkim hingga sistem pengumpul adalah indikasi

23
relatif. Indikasi relatif lainnya adalah ditemukannya nonviable tissue,

incomplete staging dan adanya trombosis arteri yang biasanya menyertai

perdarahan dan kombinasi dari kombinasi hal-hal di atas.

Salah satu prinsip yang menyebabkan dilakukannya nefrektomi setelah

trauma adalah perdarahan ginjal, kerusakan masif. Sedangkan kerusakan

ginjal lainnya dapat dilakukan repair atau rekonstruksi.

Prinsip-prinsip repair pada trauma ginjal :

1) total renal exposure penting untuk mengamati cedera secara penuh,

2) debridement,

3) hemostasis,

4) collecting system closure dengan cara-cara seperti penutupan defek

(defect coverage), nefrektomi parsial, dan renorrhaphy.

Evaluation of penetrating renal trauma in adults

24
2.10. KOMPLIKASI

A. KOMPLIKASI AWAL

Perdarahan merupakan komplikasi segera yang paling penting pada cedera ginjal.

Pasien harus diawasi dengan ketat, monitoring tekanan darah dan hematokrit, ukuran

dan ekspansi massa yang dapat dipalpasi. Perdarahan berhenti pada 80-85% kasus.

Perdarahan retroperitoneal yang terus menerus atau gross hematuri hebat mungkin

perlu tindakan operasi segera.

Ekstravasasi urin dari ginjal dapat berupa massa (urinoma) di retro peritoneal

yang mana rentan untuk terbentuknya abses dan sepsis. Febris ringan dapat terjadi

pada hematom retroperitoneal yang diresorbsi, bila suhu lebih tinggi menunjukkan

adanya inflamasi Abses perinefrik dapat terbentuk, yang mengakibatkan nyeri tekan

perut dan nyeri flank, merupakan indikasi untuk operasi segera.

B. KOMPLIKASI LANJUT

Hipertensi, hidronefrosis, fistel arteriovena, batu dan pielonefritis merupakan

komplikasi lanjut. Pengawasan tekanan darah selama beberapa bulan diperlukan

untuk menilai adanya hipertensi. Sesudah 3 - 6 bulan, dilakukan pemeriksaan ekskresi

urografi untuk memastikan jaringan parut perinefrik yang ada tidak menyebabkan

hidronefrosis atau gangguan vaskuler. Gangguan vaskuler lengkap dapat

menyebabkan atrofi ginjal. Perdarahan lambat yang hebat dapat terjadi 1 - 4 minggu

pasca trauma.

2.11. PROGNOSIS

25
Hasil yang didapatkan dari pengobatan bervariasi tergantung pada penyebab dan

luasnya trauma (ruptur). Kerusakan kemungkinan ringan dan reversible, kemungkinan

membutuhkan penanganan yang sesegera mungkin dan munkin juga menghasilkan

komplikasi.

Dengan pengawasan yang baik biasanya cedera ginjal memiliki prognosis baik.

Pengawasan ketat tekanan darah, follow up ekskresi urografi dapat mendeteksi adanya

hidronefrosis atau hipertensi

26
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama : I Made Sudana

TTL : 01 Juli 1997

Usia : 20 tahun

Alamat : Br. Nyalian

No RM : 267352

Tanggal MRS : 08 Januari 2018

Pekerjaan : Mahasiswa

Agama : Hindu

Suku : Bali

II. ANAMNESIS

Keluhan utama : Nyeri pada buah zakar

Riwayat penyakit : Pasien datang dengan keluhan nyeri pada buah zakar,

nyeri dirasakan sejak 3 hari sebelum MRS. Keluhan awalnya dirasakan nyeri seperti

tertusuk benda tajam dan disertai seperti rasa terbakar dan panas pada buah zakar kiri.

Sehari setelah nyeri, buah zakar bengkak dan kemerahan. pasien tidak mengeluh sering

buang air kecil namum sedikit kesusahan jika BAB, BAK dalam batas normal, BAB

dalam batas normal. Sejak 2 hari yang lalu pasien mengeluh demam. Tidak ada riwayat

BAB berdarah maupun bercampur nanah.

27
• Riwayat pengobatan : (-)

• Riwayat penyakit dahulu:

Hipertensi : (-)

Jantung : (-)

Diabetes Melitus : (-)

Asma : (-)

• Riwayat Penyakit Keluarga:

Hipertensi : (-)

Jantung : (-)

Diabetes Melitus : (-)

Asma : (-)

III. STATUS FISIK

 STATUS PRESENT

a. Keadaan umum : Sakit Sedang

b. Kesadaran/GCS : Compos Mentis/E4V5M6

c. Tanda vital

- Tekanan darah : 110/70 mmHg

- Frekuensi nadi : 96x/menit

- Frekuensi napas : 20 x/menit

- Suhu : 37,4oC

 STATUS GENERAL

 Kepala : Normocephal

28
 Mata :Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor,

reflek cahaya (+/+)

 Hidung : Tidak ada pernafasan cuping hidung, mukosa tidak

hiperemis, sekret tidak ada, tidak ada deviasi septum

 Telinga : Simetris, tidak ada kelainan, otore (-/-)

 Mulut : Bibir tidak sianosis, gusi tidak ada perdarahan,

lidah tidak kotor,faring tidak hiperemis

 Leher : Tidak ada deviasi trakhea, tidak ada pembesaran,

kelenjar tiroid dan getah bening, JVP tidak meningkat

 Thorax

Paru-paru :

Inspeksi : Bentuk dan pergerakan pernafasan kanan-kiri simetris

Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan-kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Suara nafas vesikuler pada seluruh lapangan paru, wheezing (-/-),

ronkhi (-/-)

Jantung :

Inspeksi : Ictus cordis terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba, dan kuat angkat.

Perkusi : Batas Atas : linea para sternalis sinistra ICS 2

Batas kanan : linea sternalis dextra ICS 4

Batas Kiri : linea midclavicula sinistra ICS 5

Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, gallop (-), mur-mur (-)

29
 Abdomen :

Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding dada, ascites (-),

distensi (-). jejas (+) pinggang kanan, hematom (-)

Auskultasi : BU (+) normal

Perkusi : timpani

Palpasi : nyeri tekan (+) pada pinggang sampai perut bagian kanan

- Genitalia : dijelaskan pada pemeriksaan status lokalis

- Ekstremitas

Superior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-)

Inferior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-)

 STATUS LOKALIS

Pada regio genitalia : Inspeksi: scrotum terlihat edema, hiperemis,

skrotum tidak tampak lebih tinggi dari kontralateralnya

Palpasi : nyeri (+) pada testis sinistra, saat diangkat testis

nyeri (+) konsistensi kenyal

Uji transluminasi : negatif

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Darah Lengkap Tanggal 08 Januari 2018

WBC 10.0 3,5 : 10.0

HGB 14.0 11.5 :16.5

RBC 5.15 3.50 : 5.50

30
HCT 43.1 35.0 :55.0

PLT 348 150 : 400

Hasil Urine Lengkap Tanggal 08 Januari 2018

Kejernihan Jernih

Berat Jenis 1.010

Ph 6

Protein Negatif

Eritrosit 0-1

Leukosit Banyak

Bakteri Positif

V. DIAGNOSIS KERJA

 Orchiepididimitis sinistra

VI. PENATALAKSANAAN

- MRS

- Konsul dr. Nyoman Supratika Sp.B

VII. CATATAN PERKEMBANGAN

Waktu Subjektif Objektif Assesment Rencana

09/01/18 Nyeri (+), TD : 100/70 mmHg Orchiepididimitis - IVFD RL 20 tpm

kemerahan (+), N : 94 x/menit sinistra - Biocef 3x1 gram

BAK (+) jernih RR : 20 x/menit - Ketorolac 3x30 mg iv

To : 37,2oC - Bed rest

31
KU : tampak sakit - Banyak minum air putih

sedang

St. lokalis region

scrotum sinistra:

edema (+),

hiperemis (+),

Nyeri tekan (+)

10/01/18 Nyeri (+), TD : 100/70 mmHg Orchiepididimitis - IVFD RL 20 tpm

kemerahan (+), N : 90 x/menit sinistra - Biocef 3x1 gram

BAK (+) RR : 20 x/menit - Ketorolac 3x30 mg iv

jernih, To : 36.8oC - Ranitidine 2x50 mg iv

BAB (-) KU : tampak sakit - Bed rest

sedang - Banyak minum air putih

St. lokalis region - Cek Urine lengkap

scrotum sinistra:

edema (+),

hiperemis (+),

Nyeri tekan (+)

11/01/18 Nyeri scrotum TD : 120/70mmHg Orchiepididimitis - IVFD RL 20 tpm

(+) berkurang, N : 90 x/menit sinistra - Biocef 3x1 gram

BAB (+) RR : 20 x/menit - Ketorolac 3x30 mg iv

normal, BAB To : 36.6oC - Ranitidine 2x50 mg iv

(+). KU : tampak sakit - Bed rest

32
sedang - Banyak minum air putih

St. lokalis region - Hasil UL:

scrotum sinistra: Kejernihan : jernih

edema (+), Berat jenis : 1.010

berkurang, Ph : 6.5

hiperemis (+), Leukosit : 5-9

Nyeri tekan (+) Bakteri : negatif

berkurang.

12/01/18 Nyeri mulai TD : 110/70 mmHg Orchiepididimitis - IVFD RL 20 tpm

berkurang, N : 90 x/menit sinistra - Biocef 3x1 gram

kemerahan (+), RR : 20 x/menit - Ketorolac 3x30 mg iv

bengkak (+), To : 36,5oC - Ranitidine 2x50 mg iv

BAB dan BAK St. lokalis region - Bed rest

dalam batas scrotum sinistra: - Banyak minum air putih

normal. edema (+), - Jaga kebersihan daerah

berkurang, genitalia

hiperemis (+),

Nyeri tekan (+)

berkurang.

33
BAB IV

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :

DAFTAR PUSTAKA

1. Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy of Family

Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at October 20th 2011. From:

http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.html

34
2. Mansjoer, Arif, dkk (editor). 2000. Kapita Selekta Kedokteran. EGC: Jakarta.

3. Owen TD, Williams H, Stiff G, Jenkinson LR, Rees BI. Evaluation of the Alvarado score in

acute Appendicitis. Retrieved at June 25th 2007. From:

http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?artid=1294889&blobtype=pdf

4. Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Jilid II.

EGC : Jakarta.

5. Syamsuhidayat, R dan de Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC.2004

35

Anda mungkin juga menyukai