Anda di halaman 1dari 7

N0.

1
Defenisi
Gangguan penghidu adalah gangguan dari saraf olfaktorius, yang merupakan saraf untuk
menghidu. Gangguan penghidu disebut dengan osmia. Gangguan pembauan dapat bersifat total
(seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau), atau spesifik (hanya satu atau sejumlah kecil bau).

Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah adalah pangkal
hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, alar nasi, kolumela dan lubang hidung (nares
anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os
maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago
alar mayor, beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.

Gambar 1 :Anatomi Hidung Luar

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh
septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk
kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior
(koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.Di antara konka-konka dan
dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak
meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di
antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.Dinding inferior merupakan dasar rongga
hidung dan dibentuk oleh os rnaksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat
sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga
hidung.

Gambar 2: Kavum Nasi

Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior,
yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dan n.oftalmikus (N.V-I).Nervus
olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada rnukosa olfaktorius di daerah sepertiga
atas hidung.
Gambar 3: Nervus olfaktorius

Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa
pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan
terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel toraks
berlapis semu (pseudostratitied columnar epitelium) yang mempunyai silia dan diantaranya
terdapat sel-sel goblet.

Gambar 4:Mukosa hidung


Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga
hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.Partikel bau dapat mencapai daerah ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Mukosa olfaktorius
terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.Mukosa ini
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated
epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel yaitu sel penunjang, sel basal dan sel
reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Di antara selsel
reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar Bowman penghasil mukus (air, mukopolisakarida,
enzim, antibodi, garam-garam dan protein pengikat bau). Sejumlah besar kelenjar Bowman
terdapat dalam lamina propria pada region olfaktorius. Sel-sel reseptor bau merupakan
satusatunya
sistem saraf pusat yang dapat berganti secara regular (4-8 minggu).

Fisiologi Penciuman
Sensasi penghidu diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh zat - zat kimia
yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang terdapat
dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup turbulen dan
bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas stimulasi bau meliputi
durasi, volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan neuron
bipolar sensorik utama.
Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron olfaktorius
bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak dibawahnya.
Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari.Pada inspirasi dalam, molekul
udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius sehingga sensasi bau bisa tercium. Terdapat
beberapa syarat zat-zat yang dapat menyebabkan perangsangan penghidu yaitu zat-zat harus
mudah menguap supaya mudah masuk ke dalam kavum nasi, zat-zat harus sedikit larut dalam air
supaya mudah melalui mukus dan zat-zat harus mudah larut dalam lemak karena sel-sel rambut
olfaktoria dan ujung luar sel-sel olfaktoria terdiridari zat lemak.Zat-zat yang ikut dalam udara
inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang berada pada permukaan membran. Molekul bau
yang larut dalam mukus akan terikat oleh protein spesifik (GPCR).G-protein ini akan
terstimulasi dan mengaktivasi enzim Adenyl Siklase. Aktivasi enzim Adenyl Siklase
mempercepat konversi ATP kepada cAMP. Aksi cAMP akan membuka saluran ion Ca++,
sehingga ion Ca++ masuk ke dalam silia menyebabkan membran semakin positif, terjadi
depolarisasi hingga menghasilkan aksi potensial. Aksi potensial pada akson-akson sel reseptor
menghantar sinyal listrik ke glomeruli (bulbus olfaktorius). Di dalam glomerulus, akson
mengadakan kontak dengan dendrit sel-sel mitral. Akson sel-sel mitral kemudiannya menghantar
sinyal ke korteks piriformis (area untuk mengidentifikasi bau), medial amigdala dan korteks
enthoris (berhubungan dengan memori).

Gambar 5 :Transduksi sinyal olfaktori


Transmisi Sensasi Bau

Gangguan Penghidu
Macam-macam kelainan penghidu :
1. Agnosia : tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita dapat
mendeteksi bau.
2. Anosmia : tidak bisa mendeteksi bau. Anosmia dapat timbul akibat trauma di daerah
frontal atau oksipital, setelah infeksi oleh virus, tumor, proses degenerasi pada orang tua.
3. Hiposmia : penurunan kemampuan dalam mendeteksi bau
4. Hiperosmia : peningkatan sensistivitas mendeteksi bau
5. Disosmia : distorsi identifikasi bau
6. Parosmia : perubahan persepsi pembauan meskipun terdapat sumber bau, biasanya bau
tidak enak, biasanya disebabkan oleh trauma.
7. Kakosmia : timbul pada epilepsi unsinatus, lobus temporalis, kelainan psikologikatau
kelainan psikiatri seperti depresi dan psikosis
8. Phantosmia : persepsi bau tanpa adanya sumber bau
9. Presbiosmia : penurunan atau kehilangan persepsi pembauan yang terjadi pada orang tua
Referensi:

 Adams, Boeis, Higler, Buku Ajar Penyakit THT BOIES, Edisike – 6, 1997,
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
 Soepardi EA, Iskandar N, Buku Ajar IlmuKesehatanTelinga – Hidung-
Tenggorok – Kepala leher, 2007, FakultasKedokteranUniversitas Indonesia :
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai