Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Otitis eksterna adalah gangguan inflamasi telinga luar yang bisa
terjadi akut atau kronis. Otitis eksterna umumnya dapat terjadi di seluruh
bagian dunia. Insiden ini tidak diketahui secara tepat, tetapi 10 % orang
diperkirakan telah mengalami kondisi ini. Otitis eksterna dapat mengenai
anak-anak tetapi lebih sering terjadi pada orang dewasa (Daniel Hajioff
2004).
Prevalensi dan distribusi usia data lengkap tentang didiagnosis
otitis eksterna di Inggris, sebuah survei penduduk dilakukan di Barat
Lancashire County, daerah perwakilan dari North West. Dari total populasi
108.378 orang, 52.237 laki-laki (48,2%) dan 56.141 perempuan (51,8%),
sampel acak dari 21.657 subyek, 10.708 laki-laki (49,4%) dan 10.949
perempuan (49,6%), terpilih untuk menjalani lengkap review catatan
medis terkomputerisasi untuk diagnosis otitis eksterna (ICD-9). Prevalensi
didiagnosis otitis eksterna adalah 3,6% pada laki-laki dan 4,2% pada
wanita. Jumlah prevalensi otitis eksterna adalah 3,9%. Segala usia yang
terpengaruh dengan kejadian puncak pada anak usia 5-16 tahun dan pada
orang dewasa berusia 35-65 tahun ( E Cervoni 2005).
Setiap tahun, otitis eksterna terjadi pada 4 dari setiap 1000 orang di
Amerika Serikat. Kejadian lebih tinggi selama musim panas, mungkin
karena partisipasi dalam kegiatan air lebih tinggi. Otitis eksterna akut,
kronis, dan eczematous merupakan otitis yang umum di Amerika Serikat.

Secara umum di dunia frekuensi otitis eksterna tidak diketahui, namun


insidennya meningkat di Negara tropis seperti Indonesia. Tidak ada ras
ataupun jenis kelamin yang berpengaruh terhadap angka kejadian otitis
eksterna. Umumnya, tidak ada hubungan antara perkembangan otitis
eksterna dan usia (Waitzman, 2004).
Otitis Eksterna dapat berkisar dari peradangan ringan, yang terjadi
pada sekitar 50 % kasus, infeksi tulang temporal yang mengancam jiwa
dalam waktu kurang dari 0,5%. Penelitian yang dilakukan oleh militer AS
di Selatan Pacific dikonfirmasi

bahwa Otitis Eksterna penyebabnya

didominasi oleh bakteri yang Sekitar 50 % kasus bakteri Pseudomonas


melibatkan aeruginosa, diikuti oleh Staphylococcus aureus dan kemudian
berbagai

bakteri aerobik dan anaerobik , sedangkan kejadian infeksi

akibat jamur hanya 10 % Kurang dari 5 % dari penyakit akut kasus dapat
dikaitkan dengan furunkulosis (biasanya staphylococcal) (J. David
Osguthorpe 2006).
Selama 40 tahun terakhir, rekreasi alat bantu pernapasan bawah air
mandiri seperti diving, snorkeling, SCUBA sebagai kegiatan rekreasi telah
meningkat popularitasnya. Kemampuan untuk menjelajahi kedalaman laut
merupakan daya tarik yang jelas bagi banyak orang. Pada tahun 1968,
hanya ada 11.668 sertifikasi dari anggota diving dari organisasi di seluruh
dunia "Professional Association of Diving Instructors" (PADI). Namun
pada tahun 2008, jumlah ini meningkat drastis menjadi 17.532.116
anggota. Studi

terbaru menemukan bahwa 80% dari masalah diving

melibatkan kepala hingga daerah leher dan yang paling umum pada
penyelam yaitu gangguan pada sistem pendengaran (Rachel 2012).
Pada tahun 2007, sebuah studi yang dilakukan oleh spesialis
telinga, hidung dan tenggorokan (THT) Jerman, Christoph Klingmann
menemukan lebih dari delapan keluhan pendengaran yang berbeda dan
kondisi di antaranya terdapat pada penyelam. Terdapat jumlah tambahan
penderita dengan keluhan di telinga sebanyak 35.325 penyelam baru-baru
ini direkam oleh sebuah organisasi yang terpisah yang dikenal sebagai
British Sub-Aqua Klub. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah para
penyelam harus lebih menyadari perawatan kesehatan pendengaran yang
berkaitan dengan menyelam (Rachel 2012).
Sebuah studi dari 429 penyelam berpengalaman aktif di Jerman
menunjukkan bahwa gangguan yang paling sering adalah otitis eksternal
(43,6%). Penulis juga melaporkan faktor predisposisi dari otitis eksternal
di penyelam ini termasuk lokal trauma, penghapusan lipid dari kulit,
eksposur yang lama untuk kelembaban tinggi dan suhu serta yang paling
umum yaitu mikroorganisme Pseudomonas aeruginosa (MH Azizi 2011)
Laporan pertama dari CDC (Center for Disease Control and
Prevention) yang menggambarkan secara keseluruhan epidemiologi otitis
eksterna akut di Amerika Serikat, diperkirakan bahwa 2,4 juta kunjungan
per tahun yang terdiagnosis di pusat kesehatan merupakan kasus otitis
eksterna akut (8,1 kunjungan per 1000 populasi) (Monica Lie Sedjati
2013).
Sampai dengan tahun 1996 Indonesia belum memiliki angka
gangguan pendengaran dan ketulian. Setelah dilakukan Survei Kesehatan

Indera Penglihatan dan Pendengaran (19941996) dengan sampel sebesar


19.375 di 7 Propinsi ( Sumbar, Sumsel, Jateng, Jatim, NTB, Sulsel dan
Sulut) baru diperoleh gambaran dari besaran masalah kesehatan telinga
dan pendengaran di Indonesia. Berdasarkan survei tsb, diketahui angka
morbiditas telinga ( ICD X) 18.5%. Sedangkan prevalensi gangguan
pendengaran dan ketulian masing masing 16.8 % dan 0.4 %. Bila saat ini
jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah 214,1 juta berarti diperkirakan
terdapat 36 juta orang yang mengalami gangguan pendengaran dan
850.000 orang penderita ketulian (Depkes RI 2009).
Berdasarkan penelitian dibeberapa rumah sakit pendidikan di
Indonesia yaitu data yang dikumpulkan mulai tanggal Januari 2000 s/d
Desember 2000 di Poliklinik THT RS H.Adam Malik Medan didapati
10746 kunjungan baru dimana, dijumpai 867 kasus (8,07 %) otitis
eksterna, 282 kasus (2,62 %) otitis eksterna difusa dan 585 kasus (5,44 %)
otitis eksterna sirkumskripta. Berdasarkan penelitian di poliklinik THT-KL
BLU RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado pada periode Januari
Desember 2011 memperlihatkan bahwa dari 5.297 pengunjung terdapat
440 (8,33%) kasus otitis eksterna. Penyakit ini sering diumpai pada
daerah-daerah yang panas dan lembab dan jarang pada iklim- iklim sejuk
dan kering (Pudjiono SA 2011 ).
Berdasarkan penelitian pada tahun 1996-1997 di Instalasi Rawat
Jalan (IRJ) THT-KL BLU RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado di
laporkan 10 penyakit THT terbanyak yaitu otitis eksterna, rinitis akut,
otitis media akut, rinitis kronik, otitis media kronik, faringitis kronik,

faringitis akut, oklusi tuba, rinitis vasomotor, dan sinusitis maksilaris.


Penelitian lain yang dilaksanakan pada tahun 2004-2007 di Instalasi Rawat
Jalan THT-KL RSU Prof. Dr. R.D. Kandou Manado, jumlah pasien yang
berkunjung semakin bertambah dengan rata-rata kunjungan 6714
pasien/tahun. Ada 10 penyakit terbanyak seperti, serumen obsturans, otitis
eksterna, sinusitis, faringitis kronik, faringitis akut, rinitis alergi, corpus
alineum MAE, presbiakusis, rinitis akut dan otitis media akut ( Pudjiono
SA 2011 ).
Prevalensi gangguan pendengaran (Serumen, benda asing liang
telinga, Otitis eksterna, Sumbatan tuba Eustachius, Otitis media serosa
akut dsb ) dan ketulian berdasarkan data dari RISKESDAS 2013 angka
tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (3,7%), dan terendah di Banten
(1,6%). Sedangkan

di NTB sendiri memiliki pravalensi gangguan

pendengaran sebesar 2% dimana terdapat pada kelompok umur 75 tahun


mempunyaii prevalensi tertinggi dalam hal keberadaan serumen, sekret
dalam liang telinga, dan abses/otitis eksterna, yaitu berturut-turut 37,3 % ,
3,8 % dan 0,77 % . Prevalensi terendah morbiditas telinga ditemukan
pada kelompok umur 15-24 tahun, yaitu untuk prevalensi serumen
(14,3%), 15-24 tahun dan 25-34 tahun untuk sekret (masing-masing
2,0%), dan 2-4 tahun untuk abses/otitis eksterna (RISKESDAS 2013).
Mayoritas infeksi telinga terlihat pada penyelam adalah dari telinga
luar, yaitu, otitis eksterna dimana infeksi saluran pendengaran eksternal ini
lebih dikenal sebagai telinga perenang (swimmers ear). Hal ini dapat
mempengaruhi kedua telinga dan sering berulang, terutama jika seorang

pasien tersebut dalam keadaan stres. Satu studi menemukan terjadinya


otitis eksterna akan

menyebabkan 36% dari pasien akan terganggu

kegiatan sehari-hari mereka dan 21 % membutuhkan istirahat.


1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah
Adakah Hubungan Snorkeling Dengan Kejadian Otitis Eksterna Di Poli
THT Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram Periode JanuariDesember 2015?.
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1.2.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan snorkeling dengan kejadian otitis
1.2.2

eksterna.
Tujuan khusus
1.2.2.1 Untuk mengetahui penderita otitis eksterna yang
memiliki riwayat snorkeling
1.2.2.2 Untuk mengetahui kelompok bukan penderita otitis
eksterna (control) yang memiliki riwayat snorkeling
1.2.2.3 Untuk mengetahui hubungan snorkeling dengan

kejadian otitis eksterna


1.4 MANFAAT PENELITIAN
1.4.1 Manfaat Bagi Pendidikan
Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan masukan data
dan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan pustaka guna
pengembangan ilmu mengenai hubungan snorkeling dengan
kejadian otitis eksterna
1.4.2

Manfaat Bagi Rumah Sakit


Hasil penelitian ini di harapkan dapat menjadi informasi bagi
Rumah Sakit untuk lebih meningkatkan pengawasan dan
memberikan penanganan untuk penderita otitis eksterna yang

memiliki riwayat snorkeling dengan melibatkan bidang cabang


Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT).
1.4.3

Manfaat Bagi Masyarakat


Dapat memberikan masukan kepada penderita, keluarga dan
masyarakat tentang pentingnya menjaga organ telinga pada saat
melakukan snorkeling untuk mencegah terjadinya otitis eksterna.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Telinga
2.1.1 Anatomi Telinga
Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam.
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai
membran timpani; telinga tengah terdiri dari membrane timpani,
tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, dan stapes), dan tuba
eustachius; sedangkan telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput)
dan kanalis semisirkularis. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar
berikut (Sosialisman 2007) :

Gambar 2-1. Anatomi Telinga


Sumber : Adaptasi dari Kaneshiro, N. K., 2010, Anatomi Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang
telinga sampai membran timpani. Daun telinga di bentuk
oleh tulang rawan dan otot serta ditutupi oleh kulit. Ke arah
liang telinga lapisan tulang rawan berbentuk corong
menutupi hampir sepertiga lateral, dua pertiga lainnya liang
telinga dibentuk oleh tulang yang ditutupi kulit yang
melekat erat dan berhubungan dengan membran timpani.
Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang
rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga
bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya
kira-kira 2,5 sampai dengan 3 cm. Akan menyebabkan
terjadinya resonansi bunyi sebesar 3500 Hz (Soepardi,
2012).
8

Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis


terletak di depan terhadap liang telinga sementara prosesus
mastoideus

terletak

di

belakangnya.

Saraf

fasialis

meninggalkan foramen stilomastoideus dan berjalan ke


lateral menuju prosesus stiloideus di posteroinferior liang
telinga, dan kemudian berjalan di bawah liang telinga untuk
memasuki kelenjar parotis. Rawan liang telinga merupakan
salah satu patokan pembedahan yang digunakan untuk
mencari saraf fasialis, patokan lainnya adalah sutura
timpanomastoideus (Boies, 2012).

Gambar 2-2. Anatomi daun telinga


Sumber : Iskandar Nurbaiti, dkk. 2007
2.1.1.1 Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah atau rongga timpani adalah ruang
dalam tulang temporal. Hal ini diisi dengan udara, yang
berasal dari bagian hidung dari faring melalui tuba eustachi.
Ini berisi tulang pendengaran, yang menghubungkan

dinding lateral ke dinding medial, dan berfungsi untuk


menyampaikan getaran kepada membran timpani di seluruh
rongga ke telinga dalam (Standring, 2008).
Rongga

timpani

bagian

lateral

dibatasi

oleh

membran timpani, median oleh dinding lateral telinga


internal

berturut-turut

dari

atas

ke

bawah

kanalis

semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong,


tingkap bundar, promontorium. Batas atas dengan segmen
timpani, bawah bulbus jugularis dan didepan dengan tuba
eustachii.
Di dalam kavum timpani terdapat tiga buah tulang
pendengaran (osikel), dari luar ke dalam maleus, inkus dan
stapes. Dua otot tensor timpani (muskulus tensor timpani)
dan otot stapedius. Selain itu terdapat juga korda timpani
merupakan cabang dari nervus fasialis masuk ke kavum
timpani dari analikulus posterior yang menghubungkan
dinding lateral. Saraf fleksus timpanikus yang berasal dari
nervus timpani cabang dari nervus glosofaringeus dan
dengan nervus karotikotimpani yang berasal dari fleksus
simpatetik di sekitar arteri karotis interna (Standring, 2008).
Membran timpani (membrana timpani) memisahkan
rongga timpani dari dasar meatus akustik eksternal. Ini
adalah membran, tipis semitransparan, bentuknya hampir

10

oval, agak lebih luas atas dari bawah, dan diarahkan sangat
miring ke bawah dan ke dalam sehingga membentuk sudut
sekitar lima puluh lima derajat dengan lantai meatus.
Diameternya terpanjang adalah ke bawah dan ke depan,
panjang vertical rata-rata 9-10 mm, ukuran diameter
terpendek antero posterior yang 8-9 mm. Sebagian besar
dari lingkar adalah menebal dengan ketebalan 0.1 mm, dan
membentuk sebuah cincin fibrokartilaginosa yang tetap
dalam sulkus timpani di ujung bagian dalam meatus
(Standring, 2008).
Secara Anatomis membrana timpani dibagi dalam 2
bagian yaitu pars tensa yang merupakan bagian terbesar dari
membran timpani, suatu permukaan yang tegang dan
bergetar dengan sekelilingnya yang menebal dan melekat di
anulus timpanikus pada sulkus timpanikus pada tulang dari
tulang temporal. Pars flaksida atau membran Shrapnell,
letaknya dibagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa.
Pars flaksida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu plika maleolaris
anterior (lipatan muka) dan plika maleolaris posterior
(lipatan belakang).

11

Gambar 2-3. Anatomi membran timpani


Sumber : Drake et al: Grays Anatomy for Students
www.studentconsult.com
Tabung pendengaran (tuba auditiva, tuba Eustachio)
adalah saluran melalui rongga timpani berhubungan dengan
bagian hidung faring. Panjangnya kira-kira 36 mm, dan
arahnya adalah ke bawah, ke depan, dan medial,
membentuk sudut sekitar 45 derajat dengan bidang sagital
dan salah satu dari 30 sampai 40 derajat dengan bidang
horisontal. Hal ini dibentuk sebagian dari tulang, sebagian
dari tulang rawan dan jaringan fibrosa.
Tuba eustachius, terdiri dari 2 bagian yaitu : bagian
tulang yang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3
bagian) dan bagian tulang rawan yang terdapat pada bagian
depan dan panjang (2/3 bagian). Fungsi tuba Eusthachius
untuk

ventilasi

telinga

yang

mempertahankan

12

keseimbangan tekanan udara di dalam kavum timpani


dengan tekanan udara luar, drainase sekret yang berasal dari
kavum timpani menuju ke nasofaring dan menghalangi
masuknya sekret dari nasofaring menuju ke kavum timpani
(Helmi, 2005).
2.1.1.2 Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang
berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri
dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak
koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa
skala timpani dengan skala vestibuli (Soepardi, 2012).
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara
tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak
lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala
vestibule sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan
skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibule
dan skala timpani berisi perilimfa sedangkan skala media
berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa
berbeda dengan endolimfa. Dimana cairan perilimfe tinggi
akan natrium dan rendah kalium, sedangkan endolimfe
tinggi akan kalium dan rendah natrium. Hal ini penting
untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai
membran vestibuli (Reissners Membrane) sedangkan dasar

13

skala media adalah membrana basalis. Pada membran ini


terletak organ korti (Soepardi, 2012).
Pada membran ini terletak organ korti yang
mengandung organel-organel penting untuk mekanisme
saraf perifer pendengaran. Organ corti terdiri dari satu baris
sel rambut dalam (3000) dan tiga baris sel rambut luar
(12000). Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang
lengan horizontal dari suatu jungkat jangkit yang dibentuk
oleh sel-sel penyokong (Boies, 2012).
Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung
bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat
stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya
yang cenderung datar, bersifat gelatinosa dan aselular,
dikenal sebagai membran tektoria.
Membran tektoria disekresi dan disokong oleh suatu
panggung yang terletak di medial disebut sebagai limbus.
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk
lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran
basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam,
sel rambut luar dan kanalis korti, yang membentuk organ
korti (Soepardi, 2012).
2.1.2

Fisiologi Pendengaran
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke
liang telinga dan mengenai membran timpani sehingga membran

14

timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran


yang berhubungan satu sama lain.
Selanjutnya stapes menggerakkan foramen ovale yang juga
menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan
melalui membran Reissner yang mendorong endolimfe dan membran
basalis ke arah bawah dan perilimfe dalam skala timpani akan
bergerak sehingga foramen rotundum terdorong ke arah luar.
Pada waktu istirahat, ujung sel rambut corti berkelok, dan
dengan terdorongnya membran basal, ujung sel rambut itu menjadi
lurus. Rangsangan fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat
adanya perbedaan ion Natrium dan Kalium yang diteruskan ke
cabang-cabang N. VIII (Nervus Vestibulokoklearis), kemudian
meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak
2.1.3

melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis (Soepardi, 2012).


Pemeriksaan Telinga dan Uji Fungsi Pendengaran
2.1.3.1 Pemeriksaan Telinga
Alat yang diperlukan untuk pemeriksaan telinga
adalah lampu kepala, corong telinga, otoskop, pelilit kapas,
pengait serumen, pinset telinga dan garputala (Soepardi,
2012).
Pasien duduk dengan posisi badan condong sedikit ke
depan dan kepala lebih tinggi sedikit dari kepala pemeriksa
untuk memudahkan melihat liang telinga dan membran
timpani (Soepardi, 2012).
Mula-mula dilihat keadaan dan bentuk daun telinga,
daerah belakang daun telinga (retro-aurikuler) apakah
terdapat tanda peradangan atau sikatriks bekas operasi.

15

Dengan menarik daun telinga keatas dan ke belakang, liang


telinga menjadi lebih lurus dan akan mempermudah untuk
melihat keadaan liang telinga dan membran timpani. Pakailah
otoskop untuk melihat lebih jelas bagian-bagian membran
timpani. Otoskop dipegang dengan tangan kanan untuk
memeriksa telinga kanan pasien dan dengan tangan kiri bila
memeriksa telinga kiri. Supaya posisi otoskop ini stabil maka
jari kelingking tangan yang memegang otoskop ditekankan
pada pipi pasien. Akhir-akhir ini banyak spesialis THT yang
menggunakan endoskop atau mikroskop untuk memeriksa
telinga lebih jelas dan pasien juga dapat melihat ditelinganya
melalui TV monitor (Soepardi, 2012).
2.1.3.2 Tes Fungsi Pendengaran
Untuk memeriksa pendengaran dilakukan pemeriksaan
hantaran melalui udara dari melalui tulang dengan memakai
garputala atau audiometer nada murni (Soepardi, 2012).
Pemeriksaan pendengaran dilakukan dengan :
1 Tes penala
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Terdapat
berbagai macam tes penala, seperti:
a) Tes rinne
Tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan
hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa.
Tangkai penala yang bergetar di tempelkan pada
mastoid pasien (hantaran tulang) hingga bunyi tidak
lagi terdengar, penala kemudian dipindahkan ke dekat
telinga sisi yang sama (hantaran udara). Telinga normal

16

masih akan mendengar penala melalui hantaran udara,


temuan ini disebut Rinne Positif (HU>HT). Hasil ini
dapat dijelaskan sebagai hambatan yang tak sepadan.
Pasien dengan gangguan pendengaran sensorineural
juga akan memberi rinne positif seandainya sungguhsungguh dapat

mendengar

bunyi

penala,

sebab

gangguan sensorineural seharusnya mempengaruhi baik


hantaran udara maupun hantaran tulang (HU>HT).
Istilah Rinne negatif dipakai bila pasien tidak dapat
mendengar melalui hantaran udara setelah penala tidak
lagi terdengar melalui hantaran tulang (HU<HT).
Interprestasi uji Rinne di ringkas dalam tabel berikut
(Boies, 2012).
Tabel 2-1. Hasil Uji Rinne, Macam Gangguan
Pendengaran dan Lokasi Gangguan Telinga
Hasil Uji

Status

Lokus

Rinne
Positif

Pendengaran
Normal atau

Tidak ada

HUHT

gangguan

atau

sensorineural

koklearis -

Negatif

Gangguan

retrokoklearis
Telinga luar

HU<HT

Konduktif

atau tengah

17

Gambar 2-4. Cara Melakukan Tes Rinne


Sumber : medicastore.com
b) Tes Weber
Tes pendengaran untuk membandingkan hantaran
tulang telinga kiri dengan telinga kanan. Uji Weber
adalah seperti mengingat kembali pengalaman yang
tidak asing, yaitu dapat mendengarkan suara sendiri
lebih keras bila satu telinga ditutup. Gagang penala
yang bergetar ditempelkan di tengah dahi dan pasien
diminta melaporkan apakah suara terdengar ditelinga
kiri atau, kanan atau keduanya.
Umumnya pasien mendengar bunyi penala pada
telinga dengan konduksi tulang yang lebih baik atau
dengan komponen konduktif yang lebih besar. Jika
nada terdengar pada telinga yang dilaporkan lebih
buruk, maka tuli konduktif perlu dicurigai pada telinga
tersebut. Jika terdengar pada telinga yang lebih baik,
maka dicurigai tuli sensorineural pada telinga yang
terganggu. Fakta bahwa pasien mengalami lateralisasi

18

pendengaran pada telinga dengan gangguan konduksi


dan bukannya pada telinga yang lebih baik mungkin
terlihat aneh bagi pasien dan kadang pemeriksa (Boies,
2012).
c) Tes Swabach
Membandingkan hantaran tulang orang yang
diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya
normal. Pasien diminta melaporkan saat penala bergetar
yang ditempelkan pada mastoidnya tidak terdengar lagi.
Pada saat itu, pemeriksa memindahkan penala ke
mastoidnya sendiri dan menghitung berapa lama (dalam
detik) ia masih dapat menangkap bunyi.
Uji Swabach dikatakan normal apabila hantaran
tulang pasien dan pemeriksa hampir sama. Uji swabach
memanjang atau meningkat bila hantaran tulang pasien
lebih lama dibandingkan pemeriksa, misalnya pada
kasus pendengaran konduktif. Jika telinga pemeriksa
masih dapat mendengar penala setelah pasien tidak lagi
mendengarnya, maka dikatakan swabach memendek.
Interprestasi Uji Swabach diperlihatkan pada tabel
berikut.
Tabel 2-2. Hasil Uji Swabach, Macam Gangguan
Pendengaran dan Lokasi Gangguan Telinga
Hasil Uji

Status

Lokus

Swabach
Normal

Pendengaran
Normal

Tidak Ada

19

Memanjang

Tuli Konduktif

Telinga
Luar
dan/atau

Memendek

Tuli

tengah
Koklearis

Sensorineural

dan/atau
retrokokle
aris

d) Tes bing ( tes oklusi)


Cara pemeriksaan : tragus telinga yang diperiksa
ditekan sampai menutup liang telinga, sehingga
terdapat

tuli

konduksi

kira-kira

30dB.

Pelana

digetarkan dan diletakkan pada pertengahan kepala


(seperti pada tes weber).
Penilaian : bila terdapat lateralisasi ke telinga yang
ditutup, berarti telinga tersebut normal. Bila bunyi pada
telinga yang ditutup tidak bertambah keras, berarti
telinga tersebut menderita tuli konduksi.
e) Tes stinger
Digunakan pada pemeriksaan tuli anorganik (stimulasi
atau pura-pura tuli).
cara pemeriksaan : menggunakan prinsip masking.
Misalnya pada penderita yang pura-pura tuli pada
telinga kiri. Dua buah pelana yang sama digetarkan
masing-masing diletakkan didepan telinga kiri atau
kanan, dengan cara tidak terlihat oleh yang akan

20

diperiksa.

Pelana

yang

pertama

digetarkan

dan

diletakkan didepan telinga kanan (yang normal)


sehingga jelas terdengar. Kemudian pelana yang kedua
digetarkan lebih keras didepan telinga kiri (yang purapura tuli). Apabila kedua telinga normal karena efek
masking, hanya telinga kiri yang mendengar bunyi, jadi
telinga kanan tidak akan mendengar bunyi. Tetapi bila
telinga kiri tuli, telinga kanan akan tetap mendengar
2

bunyi.
Tes berbisik
Pemeriksaan

ini

bersifat

semi-kuantitatif,

menentukan derajat ketulian secara kasar, hal yang perlu


diperhatikan ialah ruangan cukup tenang, dengan
panjang minimal 6 meter (Soepardi, 2012).
3

Audiologi nada murni


Untuk membuat audiogram diperlukan audiometer.
Pada pemeriksaan audiometri nada murni perlu dipahami
hal-hal seperti ini, nada murni, bising NB (narrow band)
dan WN (white noise), frekuensi, intensitas bunyi,
ambang dengar, nilai audiometrik, standar ISO dan ASA,
notasi pada audiogram, jenis dan derajat ketulian serta
gap dan masking (Soepardi, 2012).

2.2 OTITIS ESKTERNA


2.2.1 Definisi

21

Otitis eksterna adalah radang liang telinga akut maupun kronis


yang disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur dan virus. Faktor yang
mempermudah radang telinga luar ialah perubahan pH di liang telinga,
yang biasanya normal atau asam. Bila pH menjadi basa , proteksi
terhadap infeksi menurun. Pada keadaan yang hangat dan lembab,
kuman dan jamur mudah tumbuh. Predisposisi otitis eksterna yang
lain adalah trauma telinga ringan ketika mengorek telinga. (Soepardi,
2012).
Istilah otitis eksterna telah lama dipakai untuk menjelaskan
sejumlah kondisi. Spektrum infeksi dan radang mencakup bentukbentuk akut atau kronis. Dalam hal infeksi perlu dipertimbangkan
agen bateri, virus dan jamur. Radang non-infeksi termasuk pula
dermatosis, beberapa diantaranya merupakan kondisi primer yang
langsung menyerang liang telinga (Boeis 2012).
Otitis eksterna, juga dikenal sebagai telinga perenang atau
swimmers ear, adalah radang telinga luar baik akut maupun kronis.
Kulit yang melapisi saluran telinga luar menjadi merah dan bengkak
karena infeksi oleh bakteri atau jamur dengan tanda-tanda khas yaitu
rasa tidak enak di liang telinga, deskuamasi, sekret di liang telinga,
dan kecenderungan untuk kambuh kembali. Pengobatan amat
sederhana tetapi membutuhkan kepatuhan penderita terutama dalam
menjaga kebersihan liang telinga. Infeksi ini sangat umum dan
mempengaruhi semua kelompok umur. Saluran telinga luar adalah
sebuah terowongan pendek yang berjalan dari lubang telinga hingga

22

gendang telinga yang berada di dalam telinga. Secara normal bagian


ini dilapisi kulit yang mengandung rambut dan kelenjar yang
memproduksi lilin (Boeis 1994, Soepardi 2010).
Otitis eksternal atau telinga perenang adalah kondisi di mana ada
peradangan pada pendengaran kanal eksternal. Hal ini dapat
disebabkan

oleh

alergi

penyakit

dermatologis.

penyebab

paling

dan

merupakan

sejumlah

faktor,

Infeksi

umum

Otitis eksternal dapat terjadi pada

termasuk

dari

infeksi,

bakteri
otitis

akut

eksternal.

semua kelompok umur.

Diperkirakan 10% dari populasi akan mengalami

otitis eksternal

selama hidup mereka. Otitis eksterna lebih sering terjadi pada anakanak, dan puncaknya pada kelompok usia 10 sampai 14 tahun.
Biasanya, hal itu terjadi di musim panas dan bukan musim dingin,
karena peningkatan partisipasi dalam kegiatan air di luar ruangan saat
itu lebih sering dilakukan (Karen Koch, 2012).
Otitis eksterna adalah suatu inflamasi, iritasi, atau infeksi kulit dari
liang/saluran telinga luar (meatus akustikus eksterna) yang disebabkan
oleh kuman maupun jamur (otomikosis) dengan tanda-tanda khas
yaitu rasa tidak enak di liang telinga, deskuamasi, sekret di liang
telinga dan kecenderungan untuk kambuhan. Infeksi ini bisa
menyerang seluruh saluran (otitis eksterna generalisata) atau hanya
pada daerah tertentu sebagai bisul (furunkel) atau jerawat (Soepardi
2.2.2

2007).
Etiologi

23

Pada umumnya penyebab dari otitis eksterna adalah infeksi bakteri


seperti Staphyilococcus aureus, Staphylococcus albus, E. colli. Selain
itu juga dapat disebabkan oleh penyebaran yang luas dari proses
dermatologis yang non-infeksius (Sander, 2001).
Otitis eksterna dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur dan
virus. Bakteri penyebab otitis eksterna biasanya Staphylococcus
aureus atau Staphylococcus albus, Escherichia coli.
Di Amerika Serikat sekitar 98% otitis eksterna disebabkan oleh P.
aeruginosa. Kasus sisanya mungkin disebabkan oleh

Proteus

vulgaris, Escherichia coli, S. aureus dan jamur seperti Candida


albicans, Aspergillus sp dan Mucor sp.(Cody, 1997).
Dimana infeksi ini dapat terjadi sebagai akibat

faktor-faktor

predisposisi tertentu sebagai berikut (Soepardi, 2012, Boeis,2012) :


Perubahan pH kulit kanalis yang biasanya asam menjadi basa.
Perubahan lingkungan terutama gabungan peningkatan suhu dan

kelemababan.
Suatu trauma

ringan

seringkali

karena

berenang

atau

membersihkan telinga secara berlebihan (Boeis,2012).


Otitis eksterna juga dapat disebabkan oleh berbagai macam trauma,
seperti yang dihasilkan dari cara membersihkan yang berlebihan atau
menggaruk dari liang telinga secara berlebihan, hal ini akan
menyebabkan lecet di sepanjang lapisan kulit tipis

pada saluran

telinga yang kemudian memungkinkan organisme untuk mendapatkan


akses ke jaringan yang lebih dalam. Adapun penyebab lain dari otitis
eksterna yaitu :

24

Perangkat yang menyumbat saluran telinga, seperti alat bantu

dengar, earphone, atau alat menyelam.


dermatitis kontak alergi , yang biasanya disebabkan oleh
ototopical obat, misalnya neomycin, benzocaine, dan propilen

glikol, serta kosmetik atau shampoo.


kondisi dermatologis, misalnya psoriasis dan dermatitis atopik.
Setelah kerusakan pada pertahanan alami terjadi, organisme
patogen seperti Pseudomonas aeruginosa (38%), Staphylococcus
epidermiis (9%) dan S. aureus (8%) akan menggantikan flora
alami. Organisme lain yang dapat menyebabkan infeksi termasuk
bakteri patogen

anaerob (25,4%), seperti Bacteroides dan

peptostreptococci,

dan infeksi jamur (2-10%) ( Karen Koch, 2012).


Selain itu juga otitis eksterna bisa terjadi akibat menyelam . (MH
Azizi 2011).
Bentuk

yang

paling

umum

adalah

bentuk

boil

(furunkulosis) salah satu dari satu kelenjar sebasea 1/3 liang


telinga luar. Pada otitis eksterna difuse disini proses patologis
membatasi kulit sebagian kartilago dari otitis liang telinga luar,
konka daun telinga penyebabnya idiopatik, trauma, iritan, bakteri
atau fungal, alergi dan lingkungan. Kebanyaan disebabkan alergi
pemakaian topikal obat tetes telinga. Alergen yang paling sering
adalah antibiotik contohnya : neomycin, framycetyn, gentamicyn,
polimixin, anti bakteri dan anti histamin. Sensitifitas poten
lainnya adalah metal dan khususnya nikel yang sering muncul

25

pada kertas dan klip rambut yang mungkin digunakan untuk


2.2.3

mengorek telinga (Abdulah F 2003).


Epidemiologi
Setiap tahun, otitis eksterna terjadi pada 4 dari setiap 1000 orang di
Amerika Serikat. Kejadian lebih tinggi selama musim panas, mungkin
karena partisipasi dalam kegiatan air lebih tinggi. Otitis eksterna akut,
kronis, dan eczematous merupakan otitits yang umum di Amerika
Serikat, namun otitis necrotizing jarang terjadi. Secara umum di dunia
frekuensi otitis eksterna tidak diketahui, namun insidennya meningkat
di Negara tropis seperti Indonesia.
Tidak ada ras ataupun jenis kelamin yang berpengaruh terhadap
angka kejadian otitis eksterna. Umumnya, tidak ada hubungan antara
perkembangan otitis eksterna dan usia. Sebuah studi epidemiologi
tunggal di Inggris menemukan prevalensi selama 12-bulan yang sama
untuk individu yang berusia 5-64 tahun dan prevalensinya meningkat

2.2.4

pada usia lebih dari 65 tahun (Selesnick SH, 1994).


Patofisiologi
Secara alami, sel-sel kulit yang mati, termasuk serumen, akan
dibersihkan dan dikeluarkan dari gendang telinga melalui liang
telinga. Cotton bud (pembersih kapas telinga) dapat mengganggu
mekanisme pembersihan tersebut sehingga sel-sel kulit mati dan
serumen akan menumpuk di sekitar gendang telinga. Masalah ini juga
diperberat oleh adanya susunan anatomis berupa lekukan pada liang
telinga. Keadaan diatas dapat menimbulkan timbunan air yang masuk
ke dalam liang telinga ketika mandi atau berenang. Kulit yang basah,

26

lembab, hangat, dan gelap pada liang telinga merupakan tempat yang
baik bagi pertumbuhan bakteri dan jamur (Soperdi 2007, Boeis 1997).
Saluran telinga dirancang untuk memerangi partikel asing dan
infeksi. Bagian tulang rawan luar dilapisi dengan folikel rambut dan
kelenjar serumen. Lapisan saluran telinga mengalami terus menerus
peluruhan sel, migrasi dari yang memungkinkan penghapusan puingpuing keratin dan serumen. Serumen mempertahankan lingkungan
asam di saluran telinga eksternal, dan keadaan yang lengket pada
telinga akan menciptakan perangkap partikel yang mencegah penetrasi
lebih dalam ke telinga. Adanya serumen yang merupakan penghalang
adalah langkah pertama dalam patogenesis otitis eksterna. Hal ini
dapat disebabkan oleh paparan air dari kolam. Kelembaban berlebih
menyebabkan maserasi kulit dan kerusakan penghalang kulit serumen,
mengubah mikroflora saluran telinga didominasi bakteri gram negatif
(Karen Koch 2012).
Adanya faktor predisposisi otitis eksterna dapat menyebabkan
berkurangnya lapisan protektif yang menimbulkan edema epitel
skuamosa. Keadaan ini menimbulkan trauma lokal yang memudahkan
bakteri masuk melalui kulit, terjadi inflamasi dan cairan eksudat. Rasa
gatal memicu terjadinya iritasi, berikutnya infeksi lalu terjadi
pembengkakan dan akhirnya menimbulkan rasa nyeri. Proses infeksi
menyebabkan peningkatan suhu lalu menimbulkan perubahan rasa
nyaman dalam telinga. Selain itu, proses infeksi akan mengeluarkan
cairan/nanah yang bisa menumpuk dalam liang telinga (meatus

27

akustikus eksterna) sehingga hantaran suara akan terhalang dan


terjadilah penurunan pendengaran. Infeksi pada liang telinga luar
dapat menyebar ke pinna, periaurikuler dan tulang temporal ( Kotton
C 2004)
Otalgia pada otitis eksterna disebabkan oleh:
a. Kulit liang telinga luar beralaskan periostium & perikondrium
bukan bantalan jaringan lemak sehingga memudahkan cedera atau
trauma. Selain itu, edema dermis akan menekan serabut saraf yang
mengakibatkan rasa sakit yang hebat.
b. Kulit dan tulang rawan pada 1/3 luar liang telinga luar bersambung
dengan kulit dan tulang rawan daun telinga sehingga gerakan
sedikit saja pada daun telinga akan dihantarkan ke kulit dan tulang
rawan liang telinga luar sehingga mengakibatkan rasa sakit yang
hebat pada penderita otitis eksterna (Soepardi 2007, Boeis 1997).
2.2.5 Klasifikasi
2.2.5.1 Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel=Bisul)
Oleh karena kulit disepertiga luar liang telinga
mengandung adneksa kulit, seperti folikel rambut, kelenjar
sebasea dan kelenjar serumen, maka ditempat itu dapat
terjadi infeksi pada pilosebaseus, sehingga membentuk
furunkel(Soepardi, 2012).
Kuman penyebab biasanya Staphylococcus aureus atau
Staphylococcus albus. Gejalanya ialah rasa nyeri yang
hebat, tidak sesuai denga besar bisul. Hal ini disebabkan
karena kulit liang telinga tidak mengandung jaringan
loggar pada penekanan perikondrium. Rasa nyeri juga
dapat timbul spontan pada waktu membuka mulut. Selain

28

itu terdapat juga gangguan pendengaran, bila furunkel


besar dan menyumbat liang telinga (Soepardi, 2012).
Terapi tergantung pada keadaan furunkel. Bila sudah
menjadi

abses,

di

aspirasi

secara

steril

untuk

mengeluarkan nanahnya. Lokal diberikan antibiotika


dalam bentuk salep, seperti pymixin B atau bacitacin atau
antiseptik. Kalau dinding furunkel tebal, dilakukan insisi ,
kemudian dipasang salir (drain) untuk mengalirkan
nanahnya. Biasanya tidak perlu diberikan antibiotika
secara sistemik, hanya diberikan obat simtomatik seperti
analgetik dan obat penenang (Soepardi, 2012).
Kondisi umum ini terbatas pada bagian kartilaginosa
meaatus akustikus eksternus. Jika pemeriksa memasukkan
spekulum kedalam kanalis tanpa terlebih dahulu menarik
aurikula untuk memeriksa telinga, maka infeksi ini dapat
terluputkan. Furunkulosis dimulai dari suatu folikel
pilosebaseus dan biasanya disebabkan oleh Staphylococus
aureus atau S. Albus. Pada kasus yag leih berat, selulitis
pada jaringan sekitar dapat meluas melampaui daerah ini.
Nyeri dapat cukup hebat karena terbatasnya ruangan untuk
perluasan edema pada daerah anatomi ini. Akhirnya
terbentuk abses dengan suatu mata, pada saat ini dapat
dilakukan drainasedengan jarum. Bila tidak terbentuk
abses maka pengobatan bergantung pada ukuran furunkel

29

dan reaksi jaringan sekitar. Terapi sistemik dapat


dianjurkan dan biasanya diberikan pengobatan topikal,
pemanasan dan analgetik (Boeis 2012).
2.2.5.2 Otitis Eksterna Difus
Biasanya mengenai kulit liang telinga duapertiga
dalam. Tampak kulit liang telinga hoeremis dan edema
yang tidak jelas batasnya(Soepardi, 2012).
Kuman penyebab biasanya golongan Psodomonas.
Kuman lain yang dapat sebagai penyebab lain ialah
Staphylococcus albus, Escherichia coli dan sebagainya.
Ititis eksterna difus dapat juga terjadi sekunder pada otitis
medoa supuratif kronis (Soepardi, 2012).
Gejalanya adalah nyeri tekan tragus, liang telinga
sangat sempit, kadang kelenjat getah bening regional
membesar dan nyeri tekan, terdapat sekret yang berbau.
Sekret ini tidak mengandung lendir seperti sekret yang
keluar dari kavum timpani pada otitis media (Soepardi,
2012).
Pengobatannya dengan membersihkan liang telinga,
memasukkan tampon yang mengandung antibiotika ke
liang telinga supaya terdapat kontak yang baik antara obat
dengan kulit yang meradang. Kadang-kadang diperlukan
obat antibiotika sistemik (Soepardi, 2012).
Infeksi ini dikenal juga dengan nama swimmers
ear. Biasanya terjadi pada cuaca yang panas dan lembab,
terutama disebabkan oleh kelompok Pseudomonas dan

30

kadang- kadang juga Staphylococus albus, Escherichia


colli dan Enterobacter aerogenosa. Danau, laut dan kolam
renang pribadi merupaka sumber potensial untuk infeksi
ini. Gambaran diagnostik antara lain :
1. Nyeri tekan tragus
2. Nyeri hebat
3. Pembengkakan sebagian

besar

dinding

kanalis
4. Sekret yang sedikit
5. Pendengaran normal atau sedikit berkurang
6. Tidak adanya partikel jamur
Stroma yang menutupi tulang pada sepertiga bagian
dalam

liang

telinga

sangat

tipis

sehingga

hanya

memungkinkan pembengkakan minimal. Maka gangguan


subjektif yang dialami pasien seringkali tidak sebanding
dengan beratnya penyakit yang diamati pemeriksa.
Karena edema dinding kanalis yang sirkumferensial,
maka untuk menempelkan obat pada dinding kanalis
seringkali perlu memakai sumbu. Untuk itu dapat
digunakan gulungan kasa ukuran kecil, namun kini
tersedia produk-produk yang khusus dirancang untuk
keperluan tersebut dan umumnya lebih disukai seperti
Pope Otowick. Forsep aligator dapat dipakai untuk
memasukkan sumbu telinga yang telah dibasahi terlebih
dahulu dengan solusio telinga yang dipilih. Terdapat
beberapa pilihan obat telinga untuk terapi otitis eksterna
31

difus (tabel). Tetes telinga yang sering digunakan adalah


Cortisporin (polimiksin B, neomisin, hidrokortison), ColiMycin S (kolistin, neomisin, hidrokortison), Pyocidin
(polymiksin B, hidrokortison), Vosol HC (asam asetatnonakueus

2%,

hidrokortison),

dan

Chloromycetin

(kloramfenikol).
Terapi sistemik hanya dipertimbangka pada kasuskasus berat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
kepekaan

bakteri.

Antibiotik

sistemik

khususnya

diperlukan jika dicurigai adanya perikondritis pada tulang


rawan telinga. Otitis eksterna difuse dapat pula timbul
sekunder dari otitis media akut atau kronik. Pada kasus
demikian, pengobatan terutama ditujukan pada penyakit
telinga tengah (Boeis 2012).
2.2.6

Manifestasi Klinis
Tanda otitis eksterna menggunakan otoskop yaitu kulit pada
saluran telinga tampak kemerahan, membengkak, bisa berisi nanah
dan serpihan sel-sel kulit yang mati (Abdullah F 2003).
Gejala otitis eksterna umumnya adalah rasa gatal dan sakit
(otalgia). Otalgia merupakan keluhan paling sering ditemukan. Otalgia
berat biasa ditemukan pada otitis eksterna sirkumskripta. Keluhan ini
bervariasi dan bisa dimulai dari perasaan sedikit tidak enak, perasaan

32

penuh dalam telinga, perasaan seperti terbakar, hingga rasa sakit hebat
dan berdenyut. Hebatnya rasa nyeri ini tidak sebanding dengan derajat
peradangan yang ada. Rasa nyeri terasa makin hebat bila menyentuh,
menarik, atau menekan daun telinga. Juga makin nyeri ketika pasien
sedang mengunyah ( Soepardi 2007, Abdullah F 2003).
Rasa penuh pada telinga merupakan keluhan yang umum pada
tahap awal dari otitis eksterna difusa dan sering mendahului terjadinya
rasa sakit dan nyeri tekan daun telinga. Gatal-gatal paling sering
ditemukan dan merupakan pendahulu otalgia pada otitis eksterna akut.
Pada kebanyakan penderita otitis eksterna akut, tanda peradangan
diawali oleh rasa gatal disertai rasa penuh dan rasa tidak enak pada
telinga (Abdullah F 2003).
Pendengaran berkurang atau hilang. Tuli konduktif ini dapat terjadi
pada otitis eksterna akut akibat sumbatan lumen kanalis telinga luar
oleh edema kulit liang telinga, sekret serous atau purulen, atau
penebalan kulit progresif pada otitis eksterna lama. Selain itu,
peredaman hantaran suara dapat pula disebabkan tertutupnya lumen
liang telinga oleh deskuamasi keratin, rambut, serumen, debris, dan
obat-obatan

yang

dimasukkan

ke

dalam

telinga.

Gangguan

pendengaran pada otitis eksterna sirkumskripta akibat bisul yang


sudah besar dan menyumbat liang telinga (Abdullah F 2003).
Selain gejala-gejala diatas otitis eksterna juga dapat memberikan
gejala-gejala klinis berikut:

33

1.
2.
3.

Deskuamasi.
Tinnitus.
Discharge dan otore. Cairan (discharge) yang mengalir dari liang
telinga (otore). Kadangkadang pada otitis eksterna difus
ditemukan sekret / cairan berwarna putih atau kuning, atau nanah.
Cairan tersebut berbau yang tidak menyenangkan. Tidak

4.
5.
6.

bercampur dengan lendir (musin).


Demam.
Nyeri tekan pada tragus dan nyeri saat membuka mulut.
Infiltrat dan abses (bisul). Keduanya tampak pada otitis eksterna
sirkumskripta. Bisul menyebabkan rasa sakit berat. Ketika pecah,

7.

darah dan nanah dalam jumlah kecil bisa bocor dari telinga.
Hiperemis dan udem (bengkak) pada liang telinga. Kulit liang
telinga pada otitis eksterna difus tampak hiperemis dan udem
dengan batas yang tidak jelas. Bisa tidak terjadi pembengkakan,
pembengkakan ringan, atau pada kasus yang berat menjadi
bengkak yang benar-benar menutup liang telinga (Abdullah F

2.2.7

2003, Boeis 1997).


Penatalaksanaan
Terapi topikal untuk penyakit saluran yang umum digunakan yaitu
astringent dan alkohol. Dua persen asam asetat (Vosol), kadangkadang diencerkan dalam setengah oleh 90% sampai 95% alkohol,
efektif untuk profilaksis terhadap OE akut dan, dengan atau tanpa
penambahan steroid, untuk pengobatan penyakit ringan . Peringatan
bahwa pengobatan ini dapat menyebabkan terasa menyengat dan
iritasi jika diaplikasikan pada kulit yang sangat meradang.
Sepuluh persen dari OE akut yang berasal dari jamur persentase
nya lebih tinggi tetapi OE akut tidak sepenuhnya merespon tetes

34

antibakteri. Dalam situasi ini, pilihan ototopical awal, dan


kemungkinan sensitivitas kontak atau suprainfection jamur, harus
tidak lama dipertimbangkan. Infeksi jamur tidak rumit biasanya
bermanifestasi dengan kapas keputihan seperti helai (misalnya,
Candida). Infeksi campuran bakteri dan jamur yang umum setelah
pengobatan ototopical yang memadai dari bakteri OE akut.
Kebanyakan infeksi jamur ringan dan dapat diobati dengan asam
asetat 2% dan / atau 90% sampai 95% larutan alkohol. Penyakit yang
lebih mapan membutuhkan agen topikal seperti 1% clotrimazole
(Lotrimin) atau tolnaftate (Tinactin) (J. David 2006).
Otitis eksterna difusa harus diobati dalam keadaan dini sehingga
dapat menghilangkan edema yang menyumbat liang telinga.
Dengan demikian, biasanya perlu disisipkan tampon berukuran x
5 cm kedalam liang telinga mengandung obat agar mencapai kulit
yang terkena. Setelah dilumuri obat, tampon kasa disisipkan
perlahan-lahan dengan menggunakan forsep aligator. Penderita
harus meneteskan obat tetes telinga pada kapas tersebut satu hingga
dua kali sehari. Dalam 48 jam tampon akan jatuh dari liang telinga
karena lumen sudah bertambah besar. Polimiksin B dan
colistemethate merupakan antibiotik yang paling efektif terhadap
Pseudomonas dan harus menggunakan vehiculum Hidroskopik seperti
glikol propilen yang telah diasamkan bahan kimia lain, seperti
gentian violet 2% dan perak nitrat 5% bersifat bakterisid dan bisa
diberikan langsung ke kulit liang telinga. Setelah reaksi

35

peradangan berkurang, dapat ditambahkan alcohol 70% untuk


membuat liang telinga bersih dan kering. Terapi sistemik hanya
dipertimbangkan pada kasus berat, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan kepekaan bakteri. Antibiotik sistemik khususnya
diperlukan jika dicurigai adanya perikondritis atau kondritis pada
tulang rawan telinga.
Pasien harus diingatkan mengenai kemungkinan kekambuhan
yang mungkin terjadi pada pasien, terutama setelah berenang.
Untuk menghindarinya pasien harus menjaga agar telinganya
selalu kering, dengan cara menggunakan alkohol encer secara rutin
tiga kali seminggu. Pasien juga harus diingatkan agar tidak
menggaruk / membersihkan telinga dengan cotton bud terlalu
2.2.8

sering (Kartika, Henny 2008)


Diagnosa
2.2.8.1 Anamnesa
Pasien mungkin melaporkan gejala berikut:

Otalgia
Rasa penuh ditelinga
Gatal
Discharge (Awalnya, debit mungkin tidak jelas dan
tidak berbau, tetapi dengan cepat menjadi bernanah

dan berbau busuk)


penurunan pendengaran
tinnitus
Demam (jarang)
Gejala bilateral (jarang)

2.2.8.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan (Nussenbaum
Brian 2011) :

36

1. Adanya inflamasi yang terlihat pada liang telinga luar


dan jaringan lunak periaurikuler
Nyeri yang hebat, yang ditandai adanya kekakuan
pada jaringan lunak pada ramus mandibula dan
mastoid
Jaringan granulasi terdapat pada dasar hubungan

tulang

dan

patognomonik
Pemeriksaan

tulang
pada

rawan.
otitis

otoskopi

Jaringan

eksterna

juga

dapat

ini

maligna.
melihat

keterlibatan tulang.
2. Nervus kranialis (V-XII) harus diperiksa
3. Status mental harus diperiksa. Gangguan status
mental dapat menunjukkan komplikasi intrakranial
4. Membran timpani biasanya intak
5. Demam tidak umum terjadi.
2.2.8.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Jumlah leukosit
- Jumlah leukosit biasanya normal atau sedikit
-

meninggi
Adanya pergeseran ke kiri

b. Laju endap darah


- Laju endap darah meningkat bervariasi dengan
-

rata-rata 87 mm/jam
Laju endap darah dapat digunakan untuk
mendukung diagnosis klinik dari otitis eksternal
akut atau keganasan pada telinga yang tidak

menyebabkan peningkatan tes ini.


c. Kimia darah
- Pasien yang diketahui dengan diabetik perlu
pemeriksaan kimia darah untuk menentukan
-

intoleransi glukosa basal.


Pasien tanpa riwayat diabetes perlu diperiksa

toleransi glukosanya
d. Kultur dan tes sensivitas dari liang telinga

37

Kultur dari drainase telinga perlu dilakukan

sebelum pemberian antibiotik


Organisme penyebab utama otitis eksterna
maligna adalah P. Aeruginosa (95 %).
Organisme ini anaerobik, gram negatif.
Spesies pseudomonas mempunyai lapisan
mukoid untuk fagositosis. Eksotoksin (yaitu
eksotoksin A, kolagenase, elastase) dapat
menyebabkan

nekrosis

jaringan,

dan

beberapa strain menghasilkan neurotoksin


yang

menyebabkan

neuropati

cranial

(Nussenbaum Brian 2011).


2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan ini penting untuk menentukan adanya
osteomielitis, perluasan penyakit, dan respon terapi, antara
lain : CT scan dan MRI keduanya berguna untuk
memeriksa perluasan inflamasi terhadap anatomi jaringan
lunak,
2.2.9

pembentukan

abses,

komplikasi

intracranial

(Nussenbaum Brian 2011).


Komplikasi
Ketika terapi awal gagal, dokter harus mempertimbangkan
kemungkinan alasan lain, termasuk ketepatan diagnosis awal . Dalam
hal yang tidak biasa perkembangan penyakit dengan manifestasi
ekstra-kanal (misalnya selulitis auricular, adenopati serviks, atau
parotitis). Antibiotik oral juga harus dipertimbangkan untuk moderat
OE

akut

pada

pasien

yang

lebih

tua,

pada

pasien

yang

immunocompromised, dan pada pasien dengan diabetes dengan otitis


media, atau otitis eksternal ganas. Otitis eksternal ganas adalah
osteomyelitis dari kanal telinga. Ini sering melibatkan mastoid
berdekatan dan harus dicurigai ketika nekrosis kulit kanal atau
38

granulasi muncul rasa sakit yag

tidak proporsional, suhu pasien

melebihi 102,2 F (39 C), atau kelumpuhan wajah, vertigo, atau


tanda-tanda meningeal terjadi. Sebuah furunkel dapat terjadi di
saluran telinga atau sebagai akibat dari peradangan akut atau kronis (J.
David 2006).
Komplikasi otitis eksterna yang dapat terjadi meliputi lower
cranial neuropathies, paresis atau paralisis nervus fasial, meningitis,
abses otak dan kematian. Pada otitis eksterna maligna peradangan
meluas secara progresif ke lapisan subkutis, tulang rawan, dan ke
tulang disekitarnya, sehingga timbul kondritis, osteitis, osteomielitis,
2.3

yang menghancurkan tulang temporal (Nussenbaum Brian 2011).


PENYELAM (DIVING)
2.3.1 Definisi
Penyelaman adalah kegiatan yang dilakukan manusia di
lingkungan bertekanan tinggi yang lebih dari satu atmosfir, yang
dikenal sebagai lingkungan hiperbarik. Manusia sebagai makhluk
yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Pencipta dapat hidup dengan
normal hanya di lingkungan bertekanan satu atmosfir (1ATM) atau
atmosfir normal. Walaupun demikian melalui mekanisme adaptif,
manusia dapat pula hidup atau beraktivitas di lingkungan bertekanan
lebih dari 1 atmosfer.
Penyelaman pada hakekatnya merupakan aktivitas manusia di
lingkungan lebih dari satu atrnosfir absolut yang dapatt berbetuk
udara/gas

bertekanan

atau

di

dalam

air.

"Stresor"

berupa

meningkatnya tekanan udara lingkungan merupakan penyebab utama


terjadi nya perubahan ketidakseimbangan fisiologi (strain) seorang

39

penyelam. Sedangkan mekanisme adaptif itu sendiri merupakan


mekanisme di dalam tubuh manusia sebagai upaya mengurangi stresor
tekanan tinggi dan perubahan fisiologi (strain) yang ditimbulkannya,
untuk mencapai keadaan "keseimbangan".
Pada keadaan tertentu kondisi keseimbangan tidak dapat
dicapai

hingga

mencapai

Ketidakseimbangan antara
telinga

dengan

tekanan

udara bertekanan

rongga

suatu
udara

keadaan
fisiologis

patologi.
dalam

udara di sekelilingnya/di lingkungan

tinggi (hiperbarik),

dapat

menyebabkan

kerusakan jaringan tellnga yang dapat mengakibatkan gangguan


pendengaran. Keadaan demikian disebut Barotrauma Telinga.
Dalain dunia penyelaman dikenal sebagai penyelaman basah
untuk kegiatan penyelaman di dalam air dan sebutan penyelaman
kering bagi kegiatan penyelaman yang dilaksanakan di dalam ruangan
yang bertekanan tinggi (RUBT= Ruang Udara Bertekanan Tinggi).
Penyelaman basah maupun kering

sama-sama mempunyai risiko

akibat menghisap gas-gas pemafasan tekanan tinggi dengan segala


akibatnya (Tuti Ekawati 2005).
2.3.2 Klasifikasi
Menurut tujuannya dikenal beberapa golongan penyelaman
seperti (Tuti Ekawati 2005):
Penyelaman militer, adalah penyelaman yang dilakukan untuk

1.

kepentingan operasi-operasi militer, misalnya operasi pengintaian,


operasi penyusupan, dan perusakan fasilitas-fasilitas musuh
(Raid). Operasi militer umumnya memerlukan mobilitas dan
kerahasiaan yang sangat tinggi, untuk itu alat yang sering dipakai

40

adalah

closed

circuit

scuba

karena

tidak

mengeluarkan

gelembung-gelembung udara sehingga kerahasiaannya dapat


2.

terjamin.
Penyelaman komersial, misalnya penyelaman untuk melakukan
kegiatan photography di dalam air ( Underwater Photography ),
dan penyelaman untuk mencari benda-benda berharga yang

3.

terpendam di dasar laut ( Underwater Treasure Hunting).


Penyelaman ilmiah (Scientific Diving), adalah penyelaman yang

4.
5.

dilakukan untuk penelitian ilmiah.


Penyelaman olah raga dan rekreasi/wisata.
Penyelaman tradisional, biasa dilakukan oleh nelayan dan pekerja
dilaut.
Teknologi penyelaman bawah air yang kini dilaksanakan adalah

1.

(Tuti Ekawati 2005) :


Penyelaman tahan nafas

(Breath Hold

Diving),

adalah

penyelaman tanpa alat bantu pernafasan,

penyelam

hanya

mengandalkan

kemampuannya dalam menahan nafas. Ada 2

macam penyelaman tahan nafas, yaitu:


a. Gogling, adalah penyelaman tahan

nafas

dengan

menggunakan kacamata renang. Kerugiannya, penyelam


sulit

melakukan

squeeze
b.

mata

equalisasi,

dan

sehingga mudah terkena

barotrauma

telinga

yang

dapat

menyebabkan ketulian.
Snorkelling, adalah penyelaman tahan nafas dengan
menggunakan masker kacamata (face mask) yang menutupi
mata dan hidung, sehingga memiliki keuntungan yaitu
penyelam mudah melakukan equalisasi. Tetapi kerugiannya,

41

kedalaman dan lama penyelaman sangat

terbatas.

Penyelaman tahan nafas ini biasa digunakan oleh penyelam


tahan nafas untuk melakukan pekerjaan dalam air yang di
selesaikan dalam waktu singkat di tempat dangkal atau
dapat dilakukan berulang, misalnya pencarian tripang,
c.

kerang, mutiara dan lain lain.


Penyelaman Scuba (Scuba Diving), adalah penyelaman
yang menggunakan alat bantu pernafasan SCUBA (Self
Contained Underwater Breathing Aparatus ), dengan udara

d.

terkompresi sampai kedalaman 40 meter.


Penyelaman Dekompresi, adalah penyelaman dengan gas
campur sampai kedalaman 70 meter. Pada penyelaman
dekompresi, penyelam berenang ke permukaan dengan
kecepatan 60 feet permenit (I8 meter/menit) dan berhenti
pada stadium-stadium dekompresi tertentu sesuai prosedur

e.

dekompresi.
Penyelaman Saturasi, adalah penyelaman

dengan

gas

campur, biasa dilakukan pada kedalaman tertentu dalam


waktu yang cukup lama (sampai kedalaman 700 meter
f.

untuk masa kerja lama).


Penyelaman dengan kapal selam, robot berawak/tidak
berawak, adalah penyelaman

g.

yang bisa mencapai

kedalaman sampai 1000 meter.


Penyelaman Hookah, adalah teknologi penyelaman yang
digunakan oleh nelayan penyelam dengan menggunakan

42

suplai udara dari permukaan laut yang bersumber dari


kompresor biasa.
2.3.3 Persyaratan Kesehatan Penyelam
Persyaratan kesehatan bagi seorang penyelam agak berbeda
dengan persyaratan untuk olahragawan lainnya, hal ini disebabkan
karena ada beberapa kondisi khusus yang merupakan kontra indikasi
untuk menyelam.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan oleh seorang dokter yang
melakukan pemeriksaan fisik seorang penyelam adalah (Tuti Ekaati
2005):
a.

b.

Psikologis
-

Mempunyai kepribadian yang mantap

Mampu mengatasi tekanan mental dan fisik

Tidak mudah gelisah

Teliti
Umur
Untuk melaksanakan kegiatan penyelaman pada dasarnya
tidak ada batasan umur yang tegas asal memenuhi persyaratan
menyelam. Umur yang ideal untuk belajar menyelam adalah 1635 tahun. Sedangkan penyelam profesional/pekerja batasan
umur sesuai dengan undang-undang/peraturan ketenagakerjaan.

c.

Pekerjaan
Sesuai jenis pekerjaan dan risiko bekerja.

d.

Jantung

43

Jantung harus normal

Tekanan darah normal

e.

Paru-paru
-

Memiliki pernafasan yang sempurna

Tidak sakit asma, bronchitis, fibrosis, kista dan cidera rongga


dada

f.

Tidak pernah operasi rongga dada


Hidung dan Tenggorakan

Sakit influenza dilarang sementara menyelam

Alergi berulang-ulang, hayfever, sinusitis, tonsillitis

g.

Telinga
-

Tidak ada radang telinga


Gendang telinga (membrana timpani) harus utuh, tidak terjadi
perforasi dan terlihat bergerak sewaktu melakukan prosedur
valsava.

h.

Gigi
Kesehatan gigi pada penyelaman harus mendapatkan
perhatian,

tambalan

gigi

yang

tidak

sempurna

akan

menimbulkan rasa sakit pada waktu menyelam.


i.

Mata
-

Berpenglihatan
penglihatan

baik, apabila terdapat gangguan ketajaman

dapat

menggunakan

masker dengan

lensa

koreksi
-

Sebaiknya tidak

buta warna, apabila buta

warna pada

44

waktu menyelam harus berpasangan.


j.

2.3.4

Otak
-

Tidak menderita epilepsi

Tidak menderita hipertensi

Peralatan Penyelaman
Berbagai peralatan penyelaman dibuat oleh manusia bertujuan
agar dapat digunakan untuk mengadaptasikan keadaan tubuh pada
suatu lingkungan cair, diantaranya : dapat memberikan sebuah
rongga udara di depan kedua mata, merupakan

suatu

bentuk

isolasi (pelindung) untuk tubuh, merupakan suatu pertolongan


untuk mengatur

keterapungan, dan merupakan peralatan yang

memungkinkan penyelam dapat bertahan lama di dalam air.


Peralatan-peralatan tersebut antara lain (Tuti Ekawati 2005) :
a. Peralatan Dasar (Skin Diving), terdiri dari :
-

Masker kacamata (face mask)

Snorkel

Fin dan Boots

Rompi apung

b. Peralatan Scuba Diving (peralatan dasar dilengkapi peralatan


Scuba Diving), terdiri dari :
-

Tank (Tab ng Sciam)

Regulator lengkap dengan :

ukuran kedalaman ( Depth Gauge)

45

ukuran tekanan tabung (Preasure Gauge)

Octopus (Regula/ore cadangan)

Kompas, jam selam

Sabuk pemberat ( Weight: blt)

Bouyance Compensato

Sarung tangan

c. Peralatan Tambahan terdiri dari


- Tabel penyelam
- Pisau selam
- Sabak bawah air/slate
- Dive Flag
- Senter selam
2.4 HUBUNGAN MENYELAM DENGAN OTITIS EKSTERNA
Saat ini, menyelam memiliki banyak kegunaan bagi peminatnya dan
banyak orang lainnya, yaitu untuk tujuan komersial, rekreasi, militer,
konstruksi bawah air, industri minyak, arkeologi bawah air, dan penilaian
ilmiah kehidupan laut.

Dengan meningkatkan popularitas penyelaman

bawah air, beberapa kondisi medis yang terkait hal ini menjadi perhatian dan
menciptakan tantangan baru untuk profesi medis, dan juga karena itu,
munculnya sebutan pengobatan penyelaman mulai diperhatikan.
Lingkungan bawah air merupakan lingkungan yang berpotensi agresif
untuk manusia. Skues menuliskan bahwa tekanan meningkat seiring
bertambahnya kedalaman, penglihatan sering buruk, dan temperature
biasanya rendah pada dunia bawah air. Sebagai tambahan, tubuh manusia

46

akan kekurangan mekanisme adaptif yang biasanya bisa ditemukan pada


mamalia laut untuk beradaptasi dengan tekanan bawah laut yang meningkat,
yang mana pada penyelaman laut yang dalam, penyelam dapat mengalami
berbagai penyakit terkait medis yang dapat mengarahkan pada kematian.
Cedera penyelaman diteliti pada survei yang dilakukan kepada 682
penyelam. Sekitar 80% dari yang memiliki surat ijin, 32.7% melaporkan
berbagai macam masalah medis misalnya hipertensi, asma, diabetes mellitus,
dan epilepsi. Penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara pemilik surat ijin menyelam dalam hal frekuensi menyelam,
kondisi medis, merokok, dan penggunaan obat-obatan terlarang dan alkohol.
Sebagian besar penyakit terkait menyelam muncul pada bagian kepala dan
leher. Penyakit terkait pekerjaan menyelam yang paling sering ditemukan
adalah penyakit telinga. Otitis eksterna dilaporkan sebagai masalah medis
yang paling sering terjadi pada penyelam bawah air. Eksostosis kanal telinga
eksternal dapat terbentuk pada penyelam sebagai hasil dari penyelaman
dalam air dingin yang terlalu lama. Penyakit telinga dan sinus paranasal
lainnya

disebabkan

terutama

karena

perubahan

tekanan

barometri

(contohnya, barotrauma), dan pada tingkat yang lebih rendah misalnya


penyakit dekompresi. Barotrauma telinga bagian tengah merupakan jenis
barotrauma yang paling sering terjadi pada penyelam. Barotrauma pada
telinga bagian dalam, meskipun penting, lebih jarang ditemui (MH Azizi
2011).
2.5 Kerangka Teori
Aktifitas
menyelam
diantaranya

Berenan
g
Snorkelin
g

47

Trauma ringan

Trauma lokal

akibat

yang

membersihkan

memudahkan

liang telinga

bakteri mudah

secara berlebihan

Adanya timbunan air


dalam liang telinga

Mengganggu

liang teinga dari

kulit

Terjadi proses

mekanisme
pembersihan

masuk melalui

Keadaan liang telinga


lembab dan basah

inflamasi dan
cairan eksudat
berlebih

kuman dan
bakteri oleh
serumen

Pertumbuhan bakteri
dan jamur

Diteliti

Otitis Eksterna

Tidak diteliti

Bagan 2-5 Kerangka teori Hubungan menyelam dengan


kejadian Otitis Eksterna
2.6 Kerangka Konsep

Snorkeling

Otitis
eksterna
48

Diving, berenang,
scuba,
OMA,OMSK

Bagan 2-6 Kerangka Konsep


2.7 Hipotesis
H1 : Ada hubungan antara snorkeling dengan kejadian otitis eksterna
di Poli THT RSUD Kota Mataram.
Ho : Tidak ada hubungan antara snorkeling dengan kejadian otitis
eksterna di Poli THT RSUD Kota Mataram.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan
pendekatan

rancangan

cross

sectional.

Penelitian

analitik

observational / survey analitik adalah penelitian yang mencoba


menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi.
49

Kemudian melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena atau


antara faktor resiko dengan faktor efek (Notoatmodjo, 2010).
Penelitian cross sectional adalah suatu penelitian untuk
mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dan efek,
dengan cara pendekatan, observasional atau pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat (point time apporoach).
Pada penelitian ini, peneliti berangkat dari pengambilan data
rekam medis pasien penderita Otitis Eksterna (Otitis Eksterna Difus
atau Otitis Eksterna Sirkumskripta) yang memiliki riwayat snorkeling
atau tidak snorkeling. Dari kedua riwayat tersebut kemudian dicari
terdapat hubungan atau tidak berhubungan antara riwayat snorkeling
dengan kejadian Otitis Eksterna.
3.2 Lokasi Peneitian dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Poli THT RSUD Kota Mataram dengan
mengambil waktu penelitian pada bulan Maret - April 2016
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.3.1 Variabel yang diteliti
3.3.1.1 Variabel Bebas (Independen)
Variabel bebas atau independent variable adalah suatu
variabel yang fungsinya menerangkan atau mempengaruhi
terhadap variabel lainnya (Notoadmojo S, 2010). Variabel
bebas dalam penelitian ini adalah riwayat snorkeling.
3.3.1.2 Variabel Terikat (Dependent)
Variabel terikat atau dependent variable suatu variabel yang
dikenai pengaruh atau diterangkan oleh variabel lain
(Notoadmojo S, 2010). Variabel terikat dala peneletian ini
3.3.2

adalah kejadian Otitis Eksterna.


Definisi Operasional

50

Definisi

operasional

dibuat

sebagai

batasan

dalam

penelitian yang bertujuan agar tidak terdapat makna ganda pada


penelitian (Notoadmojo S, 2010).
Tabel 3-1. Definisi Operasional
No

Variabel

Definisi Operasional

Alat

Hasil Ukur

Skala Ukur

1. Ada

nominal

Ukur

1.

Riwayat

Seseorang

yang

pernah RM

snorkeling

melakukan kegiatan snorkeling

dan
kuesion

riwayat
snorkeling
2. Tidak ada

er
riwayat
2.

Kejadian

Status

seseorang

Otitis

menderita radang liang telinga Medis

Eksterna

akut

maupun

kronis

yang Rekam

snorkeling
1. Otitis
eksterna
2. Tidak Otitis

yang
Eksterna

disebabkan

oleh

infeksi

bakteri, jamur dan virus


3.4 Subyek Penelitian
3.4.1

Populasi
Populasi untuk penelitian ini adalah seluruh pasien di Poli
THT RSUD Kota Mataram yang telah terdiagnosa Otitis
eksterna dalam waktu Januari sampai dengan Desember 2015.
Kriteria inklusi dan eksklusi
1. Kriteria inklusi

51

nominal

Pasien yang sudah terdiagnosa Otitis eksterna


sebagai kelompok kasus

Pasien yang tidak terdiagnosa Otitis Eksterna


(OMA dan OMSK) sebagai kelompok kontrol

2. Kriteria Eksklusi
-

Pasien yang memiliki penyakit telinga lainnya


selain radang telinga yaitu kelainan congenital pada
telinga, penyakit telinga akibat komplikasi dari
penyakit lain (tuli sensorineural akibat DM)

Gangguan pendengaran akibat bising

Jumlah populasi yang diperoleh dari data di Poli THT RSUD


Kota Mataram berdasarkan jumlah pasien yang datang berobat
selama periode Januari-Desember 2015 dengan diagnosa
Otitis eksterna, OMA dan OMSK adalah 350 pasien.
3.4.2

Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut. Karena keterbatasan waktu,
tenaga dan dana maka peneliti menggunakan sampel yang
diambil dari populasi tersebut. Dengan syarat sampel harus
benar-benar mewakili (representative) (Sugiyono, 2012).
a. Tehnik pengambilan sampel
Hakikat dari pengambilan simple random sampling adalah
bahwa setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai
kesempatan yang sama untuk di seleksi sebagai sampel.

52

Cara pengambilannya di bagi menjadi 2 yaitu dengan


mengundi aggota populasi atau dengan undian, dan dengan
menggunakan tabel bilangan atau angka acak.
Rumus Slovin yang digunakan dalam pengambilan
sampel adalah sebagai berikut :

Keterangan :
n = Besar sampel
N = Besar populasi
d2 = Tingkat kepercayaan atau ketetapan yang diizinkan
10%
Jadi besar sampel pada penelitian ini adalah :
N . d2
1+
N
n=

n=

350
2
1+(350. 0,1 )

n=

350
1+3,5
n=

350
4,5

n=77,7 ,

53

n=78

3.5 Instrument Penelitian


3.5.1

Kuesioner
Kuesioner adalah alat pengumpulan data yang berupa
pertanyaan pertanyaan tertulis untuk memperoleh informasi
tentang adanya riwayat snorkeling.

3.5.2

Alat Tulis
Alat tulis dalam penelitian ini digunakan untuk mencatat hasil
pemeriksaan dan mengisi kuesioner.

3.6 Cara Penelitian (Alur Penelitian)


Membuat surat pengantar dari kampus kepada
BAPEDA

Surat Penelitian Ke RSUD Kota Mataram

Surat Penelitian RSUD Kota Mataram di Poli


THT, Rekam Medis

Populasi

Pasien Otitis Eksterna

Pasien tidak Otits


Eksterna
54

Riwayat
snorkeling

Tidak ada riwayat


snorkeling

Riwayat
snorkeling

Tidak ada riwayat


snorkeling

Bagan 3.6 Alur Penelitian


3.7 Metode Pengambilan Data
Penelitian ini menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data. Data primer
dikumpulkan dengan mecari orang yang sudah terdiagnosa Otitis Eksterna
dan tidak terdiagnosa Otitis Eksterna (OMA, OMSK) yang di dalam
rekam medis tidak terdapat penyebab ataupun riwayat snorkeling. Data
sekunder adalah data jumlah pasien yang telah terdiagnosa Otitis eksterna,
OMA dan OMSK di Poli THT RSUD Kota Mataram dalam waktu Januari
sampai dengan Desember 2015
3.8 Analisa Hasil
Analisa data merupakan bagian penting dari suatu penelitian. Dimana
tujuan dari analisa ini adalah agar diperoleh suatu kesimpulan masalah yang
diteliti. Data yang telah terkumpul akan diolah dan dianalisa dengan
menggunakan program komputer. Adapun langkah-langkah pengolahan data
meliputi :
3.8.1

Editing adalah pekerjaan memeriksa validitas data yang masuk,


seperti memeriksa hasil pemeriksaan.

55

3.8.2

Coding adalah suatu kegiatan memberi tanda atau kode tertentu


terhadap data yang telah diedit dengan tujuan mempermudah
pembuatan tabel.

3.8.3

Entry adalah kegiatan memasukkan data yang telah didapat kedalam


program komputer yang ditetapkan (program Statistical Product and
Service Solution (SPSS) for Windows versi 13).
Analisa dalam penelitian ini menggunakan :
a. Analisa Univariat
Analisa ini digunakan untuk mendiskripsikan masingmasing variabel, baik variabel bebas dan variabel terikat.
Adapun yang dianalisa adalah adanya riwayat snorkeling
pada pasien yang tediagnosa Otitis Eksterna
b. Analisa Bivariat
Analisa yang digunakan untuk mengetahui hubungan
antara variable bebas (independent) dan variable terikat
(dependent) yaitu riwayat snorkeling dan kejadian Otitis
Eksterna
Karena rancangan penelitian ini adalah cross
sectional, hubungan antara variabel independent dengan
varibel dependent maka untuk mengetahui pengaruh
variabel independent terhadap variabel dependent dapat
dihitung dengan rumus Rasio Prevalensi, Rasio Prevalensi
(RP) = A/(A+B) : C/(C+D ) yakni perbandingan antara
prevalens efek pada kelompok subyek yang memiliki

56

faktor resiko dengan prevalensi efek pada kelompok


subyek tanpa faktor resiko, digunakan tabel kontingensi
2x2 dengan tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05). Adapun
tampilan tabel 2x2 dan perhitungan rasio prevalens
sebagai berikut (Sastroasmoro, 2014)
Tabel 3-2. Tabel 2x2 Snorkeling dan Otitis Eksterna
Snorkeling

Otitis Eksterna
Otitis
Otitis

TOTAL

Snorkeling

Eksterna (+)
A

Eksterna (-)
B

A+B

(+)
Snorkeling

C+D

(-)
TOTAL

A+C

B+D

A+B+C+D

DDalam penelitian ini juga digunakan uji korelasi


koefisien kontingensy untuk mengukur keeratan hubungan
(asosiasi atau korelasi) antara 2 variabel yang keduanya
bertipe data nominal (kategorik). Rumus koefisien
kontingensy sebagai berikut :
X2
C=
2
N +X

Keterangan :
C
= Koefisien kontingensi
N
= Jumlah keseluruhan sampel
2
X
= Chi kuadrat
Ho ditolak apabila Pvalue 0,05 dan Ho diterima bila
Pvalue > 0,05.

57

3.9 Etika Penelitian


Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan masalah
etika penelitian. Etika penelitian meliputi :
a. Informed consent (lembar persetujuan)
Sebelum dilaksanakan penelitian, peneliti memberikan informasi
tentang tujuan dan manfaat penelitian. Setelah sifat keikutsertaan
dalam penelitian. Sampel penelitian yang setuju berpartisipasi
dalam penelitian dimohon untuk menandatangani lembar
persetujuan penelitian.
b. Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan responden dalam penelitian maka
peneliti tidak mencantumkan nama pada lembar penelitian cukup
dengan memberi nomor kode pada masing-masing lembar yang
hanya diketahui oleh peneliti.
c. Confidentiality (kerahasiaan)
Peneliti menyimpan data penelitian pada dokumen pribadi
penelitian dan data-data penelitian dilaporkan dalam bentuk
kelompok bukan sebagai data-data yang mewakili pribadi sampel
penelitian (Sastroasmoro, 2014).

58

Daftar Pustaka
Abdullah, F, 2003, Uji Banding Klinis Pemakaian Larutan Burrowi Saring
Dengan Salep Ichthyol Pada Otitis Eksterna Akut, Di unduh dari:
http://www.usudigitallibrary.com.

Di Akses pada tanggal : 25 Januari

2016.
Adam GL, Boies LR, Higler PA; Wijaya C: alih bahasa; Effendi H, Santoso K:
editor. Penyakit telinga luar dalam Buku Ajar Ilmu Panyakit THT. Edisi 6.
Jakarta: EGC. 1997.78-84.
Azizi, MH, 2011, Ear Disorders In Scuba Divers, Academy of Medical Sciences
of the IR Iran, Tehran, Iran, volume 2 number 1
Cervoni, E, 2005, Complete Prevalence Of Otitis Externa In UK: A Survey In
West

Lancashire, UK, The Internet Journal of

Otorhinolaryngology, Volume 4 Number 2


Depkes, 2009, Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan 20072009. Departemen Kesehatan RI
Ekawati, Tuti, 2010, analisis Faktor Resiko Barotrauma Membrana Timpani
Pada Nelayan Penyelam Tradisional Di Kecamatan Semarang Utara Kota
Semarang, Di Unduh dari http:// www.eprints.undip.ac.id/14995/,Akses
pada tanggal 28 Januari 2016
Hajioff, Daniel, 2004, Otitis Eksterna, Charing Cross Hospital, London, United
Kingdom Am Fam Physician, volume 9 number 1741-1742

59

Helmi, 2005, Otitis Media Supuratif Kronik, Dalam: Otitis Media Supuratif
Kronik: Pengetahuan Dasar Terapi Medik, Mastoidektomi, Timpanoplasti,
Balai Penerbit FKUI, Jakarta, Hal 76-92
Kartika,

Henny.

2008.

Otitis

Eksterna.

Availble

from

http://library.usu.ac.id/modules.php&id. Akses Pada Tanggal 28 Januari


2016
Kaneshiro, N. K., 2010, Ear Infection Acute Images : Ear Anatomy. Adam, Inc.
Diunduh dari : http://www.healthline.com/images/adam/big/1092.jpg,
Akses 25 Februari 2016
Koch, Karen, 2012, Managing Otitis Eksterna, S Afr Pharm J, Vol 79 No 8, di
Unduh dari http://www.sapj.co.za/index.php/sapj/article/download/, Di
Akses Pada Tanggal 28 Januari 2016
Kotton, C. 2004. Otitis Eksterna. Di unduh dari: http://www.sav-ondrugs.
com/shop/templates/encyclopedia/ENCY/article/000622.asp. Akses pada
tanggal : 28 Januari 2016
Notoatmodjo, S., 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta
Nussenbaum Brian, MD, FACS. External Ear, Malignant External Otitis.
Available from http://emedicine.medscape.com/article/845525-overview.
Akses pada tanggal : 28 Januari 2016
Osguthorpe, David J, 2006, Otitis Eksterna Review And Clinical Update,
American Academy of OtolaryngologyHead and Neck Surgery,
Alexandria, Virginia, web site at www.aafp.org/afp
Pudjiono, 2011, Pola penyakit penderita rawat jalan di poliklinik THT-KL RSUP
Prof. dr. R.D. Kandou Manado, Manado FK UNSRAT.
Rachel A. Evens, Barry Bardsley, Vinaya K. C., Manchaiah, 2012, Auditory
Complaints in Scuba Divers: an Overview, Indian J Otolaryngol Head
Neck

Surg.

2012

Mar;

64(1):

7178.

Di

Unduh

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3244586/,

Dari

Akses

Pada

Tanggal 28 Januari 2016


Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS), 2013, Laporan Nasional Riskesdas 2013,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta.

60

Sastroasmoro, S., Ismael, S., 2014, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis,


Edisi ke-5, Binarupa Aksara, Jakarta
Sedjati, Lie Monica, 2013, Pola

Kuman Penyebab Otitis Eksterna dan Uji

Kepekaan Antibiotik di Poli Klinik THT-KL BLU RSUP Prof.Dr.R.D.


Kandou Manado Periode November-Desember 2013, Manado FK
Universitas Sam Ratulangi
Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashirudin, J., Restuti, R.D., editor. 2012. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Sosialisman, Alfian F.Hafil, & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. dr.
H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT, dkk (editor). Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2007. Hal : 58-59.
Sugiyono, 2012, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan RD, Alfabeta,
Bandung
Susan, Standring, 2008, Gray's Anatomy, 40th edition, Churchill Livingstone, Di
unduh dari :

http://www.amazon.com/Grays-Anatomy-Anatomical-

Clinical- Practice/dp/0443066841, Di Akses Pada Tanggal 28 Jauari 2016


Waitzman, 2004, Otitis Externa, http:// www.emedicine.com. Di Akses Pada
Tanggal 28 Januari 2016

61

62

Anda mungkin juga menyukai