Anda di halaman 1dari 16

2.

1 Manajemen Jalan Napas


Manajemen jalan napas mempunyai tujuan primer untuk memfasilitasi transpor
O2 yang adekuat ke paru-paru, sedangkan tujuan sekunder untuk melindungi jalan napas
dari kontaminasi dengan darah, cairan, maupun makanan. Dengan dilakukan
manajemen jalan napas diharapkan jalan napas menjadi bebas, oksigen tersedianya
dengan adekuat, dan ventilasi dapat terjamin dengan baik, ketika napas spontan tidak
ada / inadekuat. Hal pertama sebelum melakukan pertolongan pastikan keamanan
tempat kejadian dan diri sendiri sebagai penolong. Selalu gunakan alat pelindung diri.
Terbukanya airway merupakan langkah penting pertama untuk pemberian oksigen pada
korban. Bila airway tidak terbuka maka tidak ada oksigen yang masuk untuk
mengalami pertukaran gas. Pertolongan terhadap gangguan airway meliputi langkah-
langkah sebagai berikut: 1,2,4
1. Lakukan penilaian awal terhadap airway.
2. Buka jalan napas.
3. Lakukan penilaian derajat dan jenis sumbatan.
4. Lakukan tindakan membebaskan jalan napas dari sumbatan.
Posisi korban diusahakan dalam sniffing position, dengan cara:
a. Membuat fleksi cervical spine kurang lebih 15 derajat, dan
b. Memfleksikan sendi atlantooccipital secara maksimal
Atau posisi lateral dekubitus. Posisi tersebut dapat dicapai dengan cara chin-lift
and/or jaw-thrust maneuvers.
Cara membuka jalan napas dapat dilakukan dengan dua cara, baik dengan
ataupun tanpa bantuan alat khusus. Untuk membuka jalan napas tanpa alat bantu/ secara
manual dengan melakukan triple airway manuver, seperti: Head tilt , chin lift, dan jaw
thrust. Sedangkan dengan alat dapat menggunakan Oropharingeal Airway (OPA),
spatula lidah, dll. Manuver membuka jalan napas tanpa bantuan alat:1,4
1. Head tilt-chin lift manuever
Manuver ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong
mendorong dahi ke bawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong dagu
dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap keatas dan epiglotis
terbuka, sniffing position, posisi hitup.

2. Jaw thrust manuever


Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat dorong ke depan pada
sendinya tanpa menggerakkan kepala leher. Karena lidah melekat pada rahang
bawah, maka lidah ikut tertarik dan jalan nafas terbuka.
3. Triple airway manuver
Manuver ini dinamakan triple airway manuver karena merupakan gabungan dari
head tilt, chin lift, dan jaw thrush, yang dilakukan secara bersamaan. Tekniknya
terdiri dari: menengadahkan kepala, mendorong rahang bawah ke depan, disertai
dengan membuka rahang bawah. Cara ini tidak dianjurkan pada korban trauma
yang mengalami atau dicurai mengalami cedera leher.

Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit, letakkan pasien dalam posisi
terlentang, lakukan manuever triple airway (kepala tengadah, rahang didorong
kedepan, mulut dibuka) dan kalau rongga mulut ada cairan, lendir atau benda asing
lainnya, bersihkan dahulu sebelum memberikan nafas buatan.1
Pasien tidak sadar hendaknya diletakkan horisontal, tetapi kalau diperlukan
pembersihan jalan nafas maka pasien dapat diletakkan dengan posisi kepala dibawah
(head down tilt) untuk mengeluarkan benda asing cair oleh gravitasi. Jangan
meletakkan pasien pada posisi telungkup karena muka sukar dicapai, menyebabkan
sumbatan mekanis dan mengurang kekembungan dada.1
Posisi lurus terlentang ditopang dianjurkan utnuk pasien koma diawasi yang
memerlukan resusitasi. Peninggian bahu dengan meletakkan bantal atau handuk yang
dilipat dibawahnya mempermudah ekstensi kepala. Akan tetapi jangan sekali-kali
meletakkan bantal dibawah kepala pasien yang tidak sadar (dapat menyebabkan leher
fleksi sehingga menyebabkan sumbatan hipofaring) kecuali pada intubasi trakea.1
Pada kasus trauma pertahankanlah kepala-leher-dada pada satu garis lurus.
Ekstensikan kepala sedang, jangan maksimum. Jangan memutar kepala korban
kesamping, jangan memfleksikan kepalanya. Jika korban harus dimiringkan untuk
membersihkan jalan nafasnya, pertahankanlah kepala-leher-dada tetap dalam satu garis
lurus, sementara penolong lain memiringkan korban Posisi mantap dianjurkan utnuk
pasien koma bernafas spontan.1
Pada pasien uang dianestesi, hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas
menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh ke belakang ke arah dinding posterior faring.
Mengubah posisi kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai untuk

2
membebaskan jalan nafas. Untuk mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan
(artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan
adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian posterior.1

2.2 Manajemen Jalan Napas dengan Alat


Pada keadan sulit mempertahankan terbukanya jalan napas korban dengan
manipulasi kepala dan rahang, dilakukan pemasangan oropharingeal airway (oral
airway/OPA) atau nasopharingeal airway (nasal airway). Pasien yang sadar atau dalam
anestesi ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat memasang jalan nafas
artifisial bila refleks laring masih intact. Macam-macam alat jalan napas:1,2,4,6

1. Oropharingeal Airway (Oral Airway/OPA)


Oropharingeal airway adalah alat yang dipasang dari mulut sampai faring,
berfungsi untuk menjaga agar pangkal lidah tidak jatuh ke belakang. Alat ini
biasanya terbuat dari plastik. Oropharingeal airway digunakan pada korban yang
tidak sadar dan tidak memiliki refleks muntah. Oropharingeal airway tersedia
dalam berbagai ukuran. Jangan dipakai jika reflex muntah masih (+), Derajat A dan
V dari AVPU atau GCS > 10.

Gambar 2.7 Macam-macam ukuran oropharingeal airway.

Pemasangan oropharingeal airway dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu


1. Menggunakan spatula lidah:

3
a. Lakukan penilaian awal. Pastikan korban tidak sadar dan buka jalan napas
korban.
b. Tentukan ukuran oropharingeal airway yang sesuai dengan korban. Ukuran
yang tepat adalah bila panjang oropharingeal airway sesuai dengan jarak
antara ujung bibir dengan ujung bawah daun telinga (anak telinga), atau jarak
antara pertengahan bibir dengan sudut rahang bawah. Lebih dianjurkan cara
mengukur panjang oropharingeal airway dari ujung bibir sampai ujung
bawah daun telinga (anak telinga).

Gambar 2.8 Penentuan ukuran oropharingeal airway.

c. Buka mulut korban, pastikan bahwa tidak ada benda asing yang dapat
terdorong masuk. Membuka mulut korban dilakukan dengan teknik cross
finger, yaitu ibu jari dan jari telunjuk salah satu tangan penolong disilangkan,
kemudian gerakkan ibu jari mendorong gigi bawah dan jari telunjuk
mendorong gigi atas, sehingga gigi atas dan bawah saling menjauhi.

Gambar 2.9 Teknik cross finger.

d. Gunakan spatula lidah untuk menekan lidah.

4
Gambar 2.10 Spatula lidah.
e. Masukkan pipa oropharingeal airway ke dalam mulut dengan lengkungan
cembung menghadap kearah langit-langit. Masukkan sampai mulut OPA
menyentuh gigi korban.
f. Fiksasi/ pertahankan posisi oropharingeal airway dengan menggunakan
plester, namun jangan sampai menutupi lubang oropharingeal airway.

Gambar 2.11 Pemasangan oropharingeal airway


Tanpa bantuan spatula lidah
1) Lakukan penilaian awal. Pastikan korban tidak sadar dan buka jalan napas
korban.
2) Tentukan ukuran oropharingeal airway yang sesuai dengan korban
3) Buka mulut korban, pastikan bahwa tidak ada benda asing yang dapat
terdorong masuk.
4) Masukan pipa oropharingeal airway ke dalam mulut dengan posisi terbalik,
yaitu lengkungan cembung menghadap ke lidah.
5) Dorong pipa perlahan sampai ada tahanan oleh langit-langit lunak.
6) Putar 180 derajat , masukkan sampai mulut oropharingeal airway menyentuh
gigi korban.
7) Fiksasi oropharingeal airway dengan menggunakan plester, namun jangan
sampai menutupi lubang oropharingeal airway.

Setelah memasang oropharingeal airway lakukan kembali evaluasi airway. Bila


pemasangan oropharingeal airway berhasil maka suara ngorok akan menghilang.

5
2. Nasopharingeal Airway (Nasal Airway)
Nasopharingeal airway adalah alat yang dipasang dari hidung sampai faring,
digunakan juga untuk menjaga agar pangkal lidah tidak jatuh ke belakang, terbuat
dari plastik lunak dan elastis. Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasopharingeal
airway tidak boleh digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak
dengan adenoid. Juga, nasopharingeal airway jangan digunakan pada pasien
dengan fraktur basis cranii. Nasopharingeal airway lebih ditoleransi
daripada oropharingeal airway pada pasien dengan anestesi ringan. Pada korban
tidak sadar yang sulit memasukkan alat bantu airway melalui mulut, misalnya bila
mulut terkatup rapat, nasopharingeal airway dapat digunakan sebagai pilihan.
Nasopharingeal airway tersedia dalam berbagai ukuran.
Pemasangan pipa nasofaring:
1. Pemilihan ukuran nasopharingeal airway yang paling besar yang sesuai dengan
pasien dengan cara menempatkan nasopharingeal airway di samping mulut,
dengan ujung yang melebar ditempatkan pada cuping hidung, ujung yang lain
harus berada di kanalis auditori eksterna. Yang perlu diperhatikan antara lain:
Ukuran pipa yang terlalu panjang dapat menyebabkan udara mengalir ke
lambung dan menyebabkan kembung (distensi lambung). Keadaan ini
menyebabkan korban potensial mengalami muntah. Ukuran untuk dewasa 7 mm
atau jari kelingking kanan
2. Beri pelumas/jelly pada nasopharingeal airway
3. Jika tidak ada kontraindikasi, berikan vasokonstriktor pada mukosa hidung
pasien
4. Masukkan nasopharingeal airway dengan lembut ke dalam rongga hidung
dengan ujung bevel menghadap ke septum
5. Setelah nasopharingeal airway masuk sempurna, putar 900 sehingga posisi
melengkung ke anterior.

6
Gambar 2.12 Pemasangan nasopharingeal airway.

3. Laryngeal Mask Airway (LMA)


LMA merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-
kempiskan seperti balon pada pipa trakea. LMA memiliki kelebihan istimewa
dalam menentukan penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan combitube. Ada
4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang, LMA yang
tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk memasukkan
pipa nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA
yang dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit. LMA
digunakan di banyak tempat, termasuk di ruang operasi, di departemen emergensi
dan di luar pelayanan rumah sakit karena LMA mudah dan cepat digunakan
walaupun oleh petugas yang tidak berpengalaman.

Gambar 2.13 LMA dengan variasi ukuran.

7
LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian
proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm,
dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat
pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara
membuta ke hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah
ada di muara laring. Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam
dibandingkan untuk memasukan oropharingeal airway. Posisi ideal dari balon
adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme dilateral, dan spincter
oesopagus bagian atas di inferior. Jika esophagus terletak di rim balon, distensi
lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi.
Variasi anatomi mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien.
Akan tetapi, jika LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba
memperbaiki masih tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain
yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan oleh epiglotis atau
ujung balon merupakan penyebab kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA
dengan penglihatan secara langsung dengan laringoskop atau bronchoskop
fiberoptik (FOB) menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian
balon digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester
seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap
regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya sampai
reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk atau
membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai lagi, dapat di
autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia dalam berbagai ukuran
LMA memberikan keamanan dan cara yang dapat dipercaya untuk ventilasi
daripada face mask. Walaupun LMA tidak memastikan proteksi absolut terhadap
aspirasi, penelitian telah menunjukkan bahwa regurgitasi lebih jarang terjadi
dengan LMA daripada dengan BVM dan jarang terjadi aspirasi. Ketika
dibandingkan dengan pipa trakea, LMA memberikan ventilasi yang sama, ventilasi
yang sukses selama CPR dilaporkan terjadi pada 71,5% sampai 97% pasien.

Tabel 2.2 Variasi ukuran LMA.

8
4. Esophageal Tracheal Combitube (ETC)
Esophagus tracheal Combitube (ETC) terbuat dari gabungan 2 pipa,
masing-masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Pipa biru yang
lebih panjang ujung distalnya ditutup. Pipa yang tranparant berukuran yang lebih
pendek punya ujung distal terbuka dan tidak ada sisi yang perporasi. ETC ini
biasanya dipasangkan secara buta melalui mulut dan dimasukkan sampai 2
lingkaran hitam pada batang batas antara gigi atas dan bawah. ETC mempunyai 2
balon untuk digembungkan, 100 ml untuk balon prosikmal dan 15 ml untuk balon
distal, keduanya harus dikembungkan secara penuh setelah pemasangan. Pipa yang
bening yang lebih pendek dapat digunakan untuk dekompresi lambung. Pilihan
lain, jika ETC masuk ke dalam trakhea, ventilasi melalui pipa yang bening akan
langsung gas ke trachea. Meskipun pipa kombinasi masih terdaftar sebagai pilihan
untuk penanganan jalan nafas yang sulit dalam algoritma Advanced Cardiac Life
Support, biasanya jarang digunakan oleh dokter anestesi yang lebih suka memakai
LMA atau alat lain untuk penanganan pasien dengan jalan nafas yang sulit.

Gambar 2.14 Pemasangan ETC.

9
5. Tracheal Tube (TT)
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea(TT) ke dalam trakea
melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan
trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. TT digunakan untuk mengalirkan gas
anestesi langsung ke dalam trachea dan mengijinkan untuk kontrol ventilasi dan
oksigenasi. Pabrik menentukan standar TT (American National Standards for
Anesthetic Equipment; ANSI Z-79). TT kebanyakan terbuat dari polyvinylchloride.
Pada masa lalu, TT diberi tanda IT atau Z-79 untuk indikasi ini telah dicoba
untuk memastikan tidak beracun. Bentuk dan kekakuan dari TT dapat dirubah
dengan pemasangan mandren. Ujung pipa diruncingkan untuk membantu
penglihatan dan pemasangan melalui pita suara. Pipa Murphy memiliki sebuah
lubang (mata Murphy) untuk mengurangi resiko sumbatan pada bagian distal tube
bila menempel dengan carina atau trachea.
Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga
dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran TT biasanya dipola
dalam milimeter untuk diameter internal atau yang tidak umum dalam scala Prancis
(diameter external dalam milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa selalu
hasil kompromi antara memaksimalkan flow dengan pipa ukuran besar dan
meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil.
Kebanyakan TT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri
dari katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangkan balon, dan balon
(cuff). Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk
memberikan petunjuk kasar dari balon yang digembungkan. Inflating tube
dihubungkan dengan klep. Dengan membuat trakhea yang rapat, balon TT
mengijinkan dilakukannya ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan
aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk
meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan post intubasi croup.

10
Gambar 2.15 Murphy tracheal tube.

Ada 2 tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan
tekanan rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya
iskhemia mukosa trachea dan kurang nyaman untuk intubasi pada waktu lama.
Balon tekanan rendah dapat meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas
area kontak mukosa), aspirasi, ekstubasi spontan, dan pemasangan yang sulit
(karena adanya floppy cuff). Meskipun demikian, karena insidensi rendah dari
kerusakan mukosa, balon tekanan rendah lebih dianjurkan.
Tekanan balon tergantung dari beberapa faktor: volume pengembangan,
diameter balon yang berhubungan dengan trachea, trachea dan komplians balon,
dan tekanan intratorak (tekanan balon dapat meningkat pada saat batuk). Tekanan
balon dapat menaik selama anetesi umum sebagai hasil dari difusi dari N 2O dari
mukosa tracheal ke balon TT.
TT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang lentur,
spiral, wire reinforced TT (armored tubes), tidak kinking dipakai pada operasi
kepala dan leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis baja
menjadi kinking akibat tekanan yang ekstrim (contoh pasien bangun dan menggigit
pipa), lumen pipa akan tetutup dan pipa TT harus diganti. Pipa khusus lainnya
termasuk pipa mikrolaringeal, RAE tube, dan lubang pipa ganda (double lumen
tube). Semua TT memiliki garis yang dilekatkan dan bersifat radiogopak yang
mengijinkan dapat dilihatnya ETT pada trachea.
Tabel 2.3 Variasi ukuran tracheal tube.
Usia Diameter (mm) Skala French Jarak sampai bibir (cm)
Prematur 2.0-2.5 10 10
Neonatus 2.5-3.5 12 11
1-6 bulan 3.0-4.0 14 11

11
-1 tahun 3.5-3.5 16 12
1-4 tahun 4.0-5.0 18 13
4-6 tahun 4.5-5.5 20 14
6-8 tahun 5.0-5.5 22 15-16
8-10 tahun 5.5-6.0 24 16-17
10-12 tahun 6.0-6.5 26 17-18
12-14 tahun 6.5-7.0 28-30 18-22
Dewasa wanita 6.5-8.5 28-30 20-24
Dewasa pria 7.5-10.0 32-34 20-24

Dalam pemasangan TT membutuhkan alat bantu yaitu laringoskop.


Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas
intubasi trachea. Handle biasanya berisi baterai untuk cahaya bola lampu pada
ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade.
Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar.

Gambar 2.16 Rigid Laryngoscope.

Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang


MRI. Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus.
Pemilihan dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien.
Disebabkan karena tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus
familier dan ahli dengan bentuk blade yang beragam.

12
Gambar 2.17 Macam blade laringoskop.

Dalam 15 tahun terakhir, terdapat 2 laringskop baru yang telah dibuat, untuk
membantu dokter anestesi menjamin jalan nafas pada pasien dengan jalan nafas
yang sulit- Laringokop Bullard dan laringoskop Wu.

Gambar 2.18 Laringokop Bullard dan laringoskop Wu.

Keduanya memiliki sumber cahaya fiberoptic dan blade yang melengkung


dengan ujung yang panjang, dan didisain untuk membantu melihat muara glotis
pada pasien dengan lidah besar atau yang memiliki muara glotis sangat anterior.
Banyak dokter anestesi percaya bahwa alat ini untuk mengantisipasi pasien yang
memiliki jalan nafas sulit. Bagaimanapun juga, seperti halnya alat-alat lain yang
digunakan jalan nafas pasien, pengalaman penggunaannya harus dilakukan pada
pasien normal sebelum digunakan pada saat penting dan memergensi pada pasien
dengan jalan nafas sulit.
Dalam beberapa situasi, -misalnya pasien dengan tulang cervical yang tidak
stabil, pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular join, atau dengan
13
kelainan kongenital atau kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi
langsung dengan penggunakan rigid laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan
atau tidak dimungkinkan. Suatu FOB yang feksibel memungkin visualisasi tidak
langsung dari laring dalam beberapa kasus atau untuk beberapa situasi dimana
direncanakan intubasi sadar (awake intubation). FOB dibuat dari fiberglass ini
mengalirkan cahaya dan gambar oleh refleksi internal-contohnya sorotan cahaya
akan terjebak dalam fiber dan terlihat tidak berubah pada sisi yang berlawanan.
Pemasangan pipa berisi 2 bundel dari fiber, masing-masing berisi 10.000 15.000
fiber. Satu bundel menyalurkan cahaya dari sumber cahaya (sumber cahaya bundel)
yang terdapat diluar alat atau berada dalam handle yang memberikan gambaran
resolusi tinggi.

Gambar 2.19 Laringokop fiberoptik.

Manipulasi langsung untuk memasangkan pipa dilakukan dengan kawat yang


kaku. Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari sekresi, insuflasi oksigen atau
penyemprotan anestesi lokal. Saluran aspirasi sulit untuk dibersihkan, akan tetapi,
sebagai sumber infeksi sehingga memerlukan kehati-hatian pada pembersihan dan
sterilisasi telah digunakan.
Pemasangan endotacheal tube (ET ) dilakukan bila :
Cara-cara lain untuk airway gagal
Sukar memberikan nafas buatan
Risiko aspirasi ke paru besar
Mencegah pCO2 (cedera kepala)
14
GCS < 8
Cara pemasangan :
Pilih ukuran ET yang sesuai.
Periksa cuff ET dengan cara menginflasi/mengembangkan.
Beri pelicin atau jeli lidokain pada daerah cuff sampai ujung distal ET.
Pilih jenis dan ukuran laringoskop yang sesuai, periksa lampu laringoskop.
Pasien terlentang dengan posisi sniffing untuk meluruskan aksis
Membuka mulut pasien dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kana
n menyentuh premolar mandibula dan maksila kanan secara menyilang.
Pegang laringoskop yang sudah menyala dengan tangan kiri dan masukkan
blade darisudut kanan mulut pasien. Dorong dan geser lidah ke kiri sehingga
lapang pandangantidak terhalang oleh lidah. Lindungi bibir dari cedera antara
gigi dan blade.
Perhatikan laring dengan cara geser dan angkat blade ke arah garis tengah
sampai terlihatuvula, faring dan epiglotis. Bila memakai blade yang lengkung/
curve (Macintosh), ujung blade diletakkan pada valekula, sebelah anterior
epiglotis, didorong ke depan sampaiterlihat rima glotis.

Gambar 2.20 Pengunaan Laringokop.

Masukkan ET yang sesuai ukurannya dengan tangan kanan melalui sudut kanan
mulut pasien ke dalam trakea.
Laringoskop ditarik sambil memasukan pipa orofaring
Cuff dikembangkan/diinflasi dengan udara lewat spuit sekitar 5-10 cc sesuai
dengan kebutuhan. Berikan ventilasi dan oksigenasi dengan ambu bag.
15
Auskultasi pada daerah epigastrium untuk menyingkirkan kemungkinan intubasi
esofagus. Auskultasi daerah apek dan basal paru kanan dan kiri untuk
menyingkirkankemungkinan intubasi bronkus (biasanya bronkus kanan)
Fiksasi ET dengan plester melingkar yang ditempatkan dibawah dan diatas bibir
yangdiperpanjang sampai ke pipi.

Gambar 2.21 Pemasangan ET.

16

Anda mungkin juga menyukai