BAB I
PENDAHULUAN
I.2.3. Manfaat
BAB II
Tinjauan Pustaka
Syok adalah salah satu kondisi klinis yang paling sering didiagnosis,
tetap saja kompleksitasnya masih sulit dipahami hingga saat ini. Bahkan
definisi yang paling memadai untuk menjelaskannya masih kontroversial
terutama karena presentasi variabel dan etiologinya yang memang sangat
multifaktorial (Cheatham, 2003).
Syok distributif diartikan sebagai maldistribusi aliran darah oleh karena
adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara
efektif tidak memadai untuk perfusi jaringan (Kamus Dorland, 2006).
Seperti halnya tipe kolaps kardiovaskular lainnya, syok distributif juga
dikarakterisasi oleh perfusi jaringan yang inadekuat, dengan manifestasi
klinis berupa perubahan kondisi mental, takikardi, hipotensi, maupun
oliguria (Weil, 2007).
Dalam definisi yang lebih kompleks, syok distributif dikaitkan dengan
perubahan resistensi pembuluh darah ataupun akibat perubahan
permeabilitasnya, dimana faktor inilah yang mencetuskan terjadinya
hipoperfusi sistemik. Perubahan-perubahan tersebut langsung
mempengaruhi distribusi volume darah yang beredar secara efektif untuk
kebutuhan jaringan tubuh, sehingga sebagai dampaknya akan muncul
hipotensi, diikuti dengan gangguan perfusi jaringan serta hipoksia sel.
Meskipun efek hipoksik dan metabolik akibat hipoperfusi pada mulanya
hanya menyebabkan jejas sel secara reversibel, syok yang terus terjadi
pada akhirnya akan mengakibatkan jejas jaringan secara ireversibel dan
dapat berpuncak pada kematian pasien (Robbins dkk, 2007).
Ada berbagai penyebab dari syok distributif. Beberapa di antaranya
adalah sepsis, SIRS, kegagalan tonus vasomotor dan reaksi anafilaksis.
Syok septik adalah bentuk paling umum dari syok distributif dengan angka
kematian yang cukup besar. Sama halnya dengan sepsis, systemic
4
Insufisiensi adrenal
Renjatan Anafilaktik
Heat Stroke
Syok Neurogenik
Protein Heterolog :
Seperti racun serangga, makanan,
serbuk sari, dan produk serum darah
(Kanaparthi, 2012).
Heat Stroke Suhu tubuh yang meningkat melebihi
suhu kritis, dalam rentang 105o
sampai 108oF (Guyton & Hall, 2006).
Syok neurogenik Trauma/cedera ataupun karena
penggunaan zat anestesi pada medula
spinalis di segmen toraks bagian atas
(Cheatham, 2003).
(Data dirangkum kembali dari berbagai sumber)
II.5. Patofisiologi
3. Insufisiensi adrenal
4. Reaksi anafilaksis
5. Heat Stroke
Bila udara kering dan arus konveksi udara cukup mengalir untuk
meningkatkan evaporasi yang cepat dari tubuh, orang tersebut dapat
bertahan selama beberapa jam pada suhu udara 130oF. Sebaliknya, bila
udara dilembabkan 100% atau bila tubuh berada dalam air, suhu tubuh
akan mulai meningkat saat lingkungan mengalami peningkatan suhu di
atas 94oF. Jika seseorang sedang melakukan aktivitas berat, suhu
lingkungan kritis di atas tempat kecenderungan terjadinya heat stroke
dapat serendah 85o sampai 90oF.
Heat stroke, akan dialami seseorang apabila suhu tubuh meningkat
melebihi suhu kritis, dalam rentang 105o sampai 108oF. Gejalanya
meliputi pusing, rasa tidak enak pada perut yang kadang disertai
muntah, delirium, bahkan hilang kesadaran andaikata suhu tubuh tidak
segera turun (Guyton & Hall, 2006). Jadi, heat stroke dapat diartikan
sebagai keadaan gawat darurat yang dikarakterisasi oleh elevasi suhu
tubuh yang meningkat di atas 40oC dan disfungsi saraf otonom yang
menimbulkan kejang, delirium, hingga koma (Bouchama dan Knochel,
2002).
Gejala heat stroke diakibatkan oleh gangguan metabolik dan
kematian sel. Kreatin kinase, aspartan aminotransferase (AST) dan
enzim serum dehidrogenase laktat meningkat dan dapat terus meningkat
selama 7-10 hari pada keadaan ini. Rabdomiolisis yang diakibatkan
oleh mioglobinuria, dapat menimbulkan gagal ginjal akut bahkan di sisi
lain, waktu pembekuan kadang-kadang memanjang meskipun DIC
jarang terjadi.
Satu poin yang sangat penting untuk dicatat, yakni kondisi-kondisi di
atas sering sekali dieksaserbasi oleh syok sirkulasi, yang dapat memiliki
komponen baik syok hipovolemik (kehilangan plasma melalui
evaporasi) maupun syok distributif (maldistribusi cairan dalam tubuh).
Meskipun terdapat peningkatan curah jantung, hipotensi dapat timbul
karena vasodilatasi perifer berat dan penurunan volume. Tahanan
vaskular sistemik akan segera jatuh drastis akibat vasodilatasi sekunder.
Pada temperatur 40oC kontraksi jantung ikut menurun seiring
22
6. Syok Neurogenik
Sepsis berat
Sepsis disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi
termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaran.
Sepsis dengan hipotensi
Sepsis dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau penurunan
tekanan darah sistolik > 40 mmHg dan tidak ditemukan penyebab
hipotensi lainnya.
Renjatan Septik (Septic shock)
Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan
secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk
mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ.
(Sudoyo et al, 2009)
Tabel 2.3 merangkum berbagai pembakuan definisi dari SIRS dan juga
sepsis. Definisi inilah yang menjadi pegangan berbagai kalangan dalam
menegakkan diagnosa terkait sindroma di atas. Namun demikian,
manifestasi klinisnya tidaklah sesederhana itu. Baik sepsis maupun SIRS
merupakan reaksi yang sifatnya sistemik. Ini berarti bahwa perjalanan
kedua sindrom tersebut secara langsung melibatkan berbagai sistem organ
lainnya dengan gambaran klinis berupa konsekuensi yang tidak dapat
diabaikan.
1) Gangguan kardiovaskular
2) Disfungsi respirasi
Riwayat penyakit yang
menyokong
ALI PaO2/FIO2 < 300 mmHg (Acuan lainnya
sama dengan acuan pada ARDS)
(Lumb, 1991)
3) Disfungsi ginjal
4) Disfungsi gastrointestinal
5) Disfungsi neurologis
Disfungsi pada SSP menjadi salah satu dari konsekuensi SIRS jika
selama respon inflamasi berlangsung ditemukan skor glasgow coma
scale dengan nilai ≤ 6 tanpa pemberian bahan yang bersifat sedatif
(McKinlay, 2003)
Nyeri (44-85%)
Muntah (25-26%)
Mual (20 %)
Diare
Gejala-mirip-influenza
Nyeri kepala
Dyspnea (Sharma, 2006)
C. Insufisiensi Adrenal
a. Tatalaksana suportif
- Oksigenasi
Terapi ini terutama diberikan apabila ditemukan tanda-tanda
pasien mengalami hipoksemia dan hipoksia berat. Dalam
tatalaksana hipoksemia dan hipoksia semua faktor yang
mempengaruhi baik ventilasi, perfusi, delivery dan penggunaan
oksigen perlu mendapat perhatian dan dikoreksi. Pada keadaan
hipoksemia berat dan gagal nafas bila disertai penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik perlu
segera dilakukan.
- Terapi cairan
Hipovolemia pada syok distributif perlu segera diatasi dengan
pemberian cairan baik kristaloid (NaCL 0,9 % maupun ringer
laktat) maupun koloid. Kristaloid merupakan pilihan terapi awal
karena mudah didapatkan, tetapi perlu diberikan dalam jumlah
banyak. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor
kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Pada keadaan
albumin < 2 gr/dl koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi
eritrosit diperlukan pada keadaan pendarahan aktif atau bilamana
kadar hemoglobin rendah pada keadaan iskemia miokardial dan
renjatan septik. Kadar HB yang dicapai pada SIRS dipertahankan
di atas 8 hingga 10 g/dl. Namun pertimbangan kadar HB bukan
hanya berdasarkan kadar HB semata, melainkan juga keadaan
klinis pasien, sarana yang tersedia, serta keuntungan dan kerugian
pemberian transfusi.
36
- Kortikosteroid
Beberapa penelitian akhir-akhir ini membuktikan bahwa dengan
pemberian kortikosteroid dengan dosis fisiologis didapatkan
perbaikan syok dan disfungsi organ (Bone, 1992).
b. Kontrol Kausa
- Antibiotik
Usaha mencari pathogen penyebab infeksi harus dilakukan
maksimal, termasuk kultur darah dan cairan badan, pemeriksaan
serologi dan aspirasi perkutan. Pemberian antimikroba yang tepat
pada awal perjalanan penyakit infeksi akan memperbaiki
prognosis dan bersama-sama dengan pencegahan infeksi sekunder
serta penyakit nosokomial akan menurunkan insiden MODS.
- Pembedahan
Umumnya dilakukan pada tatalaksana SIRS yang disebabkan oleh
trauma. Sumber dari respon inflamasi tidak selalu jelas, kadang-
kadang diperlukan pembedahan eksplorasi terutama bila dicurigai
sumber inflamasi berasal dari intra-abdomen.
- Kontrol kausa lainnya
Faktor-faktor lain seperti burns (luka bakar) dan trauma disertai
fraktur dapat memicu respon inflamasi sistemik. Untuk itu, fiksasi
patah tulang yang lebih dini, debridemen luka bakar, reseksi usus
yang iskemik atau jaringan mati serta pengasatan pus perlu
dilakukan untuk mengontrol penyebab SIRS (Bone, 1992).
38
c. Terapi inovatif
- Modulasi imun
Penelitian berskala besar dengan pemberian antibodi monoklonal
serta obat-obatan lain yang bertujuan untuk memanipulasi sistem
imun menunjukkan tidak adanya penurunan presentasi mortalitas
pasien-pasien Sepsis.
- Inhibitor NO
Dari penelitian terbukti pemberian inhibitor NOS bahkan
meningkatkan mortalitas. Di masa mendatang mungkin inhibitor
yang selektif terhadap iNOS mempunyai peranan dalam
tatalaksana MODS
- Filtrasi darah
Hemofiltrasi volume tinggi (2-6 filtrasi/jam) mungkin dapat
menyaring sitokin-sitokin dan mediator inflamasi lainnya dan
mengeluarkannya dari jaringan.
- Manipulasi kaskade pembekuan darah
Pemberian terapi ini menghasilkan penurunan mortalitas pada
pasien sebesar 6% (Bone, 1992).
39
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
III.2. Saran
Walaupun dalam dua dekade terakhir ini banyak banyak dilakukan penelitian
mengenai terapi yang tepat pada pasien yang mengalami syok distributif, hasilnya
masih jauh dari memuaskan. Adanya tumpang tindih dari berbagai terapi
membuat penatalaksanaan dari fenomena medis ini kadang tetap saja gagal dalam
menyelamatkan pasien. Karena itu, sangat disarankan untuk terus menggali
informasi yang lebih rinci lagi mengenai materi ini.