Anda di halaman 1dari 2

FARMAKOLOGI RANITIDIN

Antagonis reseptor H2 diperkenalkan pada pertengahan tahun 1970-an, senyawa ini


telah digunakan secara luas. Empat obat yang digunakan di AS : simetidin, ranitidin,
famotidin dan nizatidin. Pemberian dosis tunggal obat-obat ini mampu mereduksi lebih dari
90 % dalam basal, rangsangan makanan dan sekresi nokturnal asam lambung. Banyak
percobaan telah memperlihatkan keefektifannya dalam meningkatkan proses penyembuhan
ulkus lambung dan ulkus duodenum serta mencegah kekambuhan penyakit (Katzung,
1997).
Antagonis reseptor H2 dapat berkompetisi secara reversibel dengan histamin pada
reseptor H2. Cara kerja ini sangat selektif dimana antagonis H2 tidak mempengaruhi kerja
yang diperantarai reseptor H1. Kerja antagonis reseptor H2 yang paling penting adalah
mengurangi sekresi asam lambung. Obat-obat ini menghambat sekresi asam yang
dirangsang histamin, gastrin, obat-obat kolinomimetik dan rangsangan vagal. Volume
sekresi lambung dan konsentrasi pepsin juga berkurang. Semua antagonis reseptor H 2 pada
umumnya dapat ditoleransi dengan baik dengan laporan efek samping yang sedikit.
Ranitidin kecil pengaruhnya terhadap fungsi otot polos lambung dan tekanan sfingter
esofagus yang lebih bawah (Katzung, 1997).
Untuk ulkus yang aktif, ranitidin dapat diberikan dengan dosis 150 mg 2x sehari atau
300 mg pada waktu tidur. Dengan dosis yang menghambat sekresi asam lambung, ranitidin
mempunyai efek rendah terhadap jantung dan tekanan darah (Katzung, 1997).
Diperkirakan 10 % orang dewasa di Barat akan menderita penyakit tukak lambung
dalam hidupnya. Meskipun angka mortalitas rendah, angka kejadian cukup tinggi dan
memakan biaya sosioekonomik. Karena sudah dikenal bahwa tidak ada asam = tidak ada
tukak, maka terapi medis sebelum era penghambatan H 2 ditujukan untuk menurunkan
keasaman dengan obat-obat antimuskarinik dan antasida. Namun obat anti muskarinik
harus digunakan dalam dosis tinggi sehingga menyebabkan efek samping yang cukup
besar. Antasida mengurangi gejala dan dalam dosis tinggi akan mempercepat kesembuhan.
Namun diperlukan dosis berulang dan kepatuhan pasien kurang kecuali selama fase
simtomatik akut pada penyakit. Kemampuan antagonis reseptor H2 menurunkan keasaman
lambung di samping dengan toksisitas rendah merupakan kemajuan dalam pengobatan
penyakit itu.
Antagonis histamin

(H-2 blocker) yang sering digunakan dalam medis untuk

profilaksis stress ulcer. Obat ini umum digunakan termasuk cimetidine, ranitidin, dan
famotidin. Cimetidme memiliki efek samping berupa perubahan status mental yang telah
didokumentasikan lebih dari 30 kasus. Meskipun kurang umum, ranitidin telah terlibat dalam

beberapa kasus delirium. Delirium terkait dengan famotidin telah dilaporkan hanya dua
kasus.
Efek samping pemberian ranitidin antara lain reaksi Susunan Saraf Pusat (SSP),
termasuk malaise, pusing, mengantuk, dan sakit kepala, terjadi pada kurang dari 3% pasien.
Efek samping lainnya yang jarang terjadi yaitu delirium, agitasi, depresi, dan halusinasi
telah dilaporkan, terutama pada pasien sakit parah dan usia lanjut. Berdasarkan penelitian
Walt et al bahwa ranitidin dapat melewati blood brain barrier (BBB) dalam jumlah kecil
pada orang normal dan berdasarkan Schentag et al bahwa tingkat simetidin dalam melewati
BBB atau cerebroSpinal Fluid (CSF) jauh lebih tinggi pada pasien kondisi kritis.
Dibawah ini gambar mekanisme berbagai macam kerja obat dalam pengobatan
dyspesia syndrome:

DAFTAR PUSTAKA:
1. Katzung, B. (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik (edisi 4) (Agus. A., Chaidir. J.,
Munaf. S., Tanzil. S., Kamaluddin. M. T., Nattadiputra . S., dkk, penerjemah). Jakarta:
EGC. (Buku asli diterbitkan 1995).
2. Dawn PP, Joseph RD, Walter FB. 1995. H-2 Blocker Delirium. Psychosomatics. Vol.
36; Number 1. http://psy.psychiatryonline.org/cgi/reprint/36/1/74.pdf.

Anda mungkin juga menyukai