Anda di halaman 1dari 16

Anemia Hemolitik Autoimun pada

Wanita Muda
Santi Prima Natasia Pakpahan
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna No.6 Jakarta 11510
tasyapakpahan.dr@gmail.com

Pendahuluan
Tiap hari kita membuat sekitar 1012 eritrosit (sel darah merah) baru
melalui proses eritropoiesis yang kompleks dan teratur dengan baik.
Eritropoiesis berjalan dari sel punca yang merupakan prekursor eritrosit
pertama yang dapat dikenali dalam sumsum tulang, yaitu pronormoblas.
Pronormoblas meningkatkan serangkaian normoblas yang lebih kecil melalui
sejumlah

pembelahan

sel.

Normoblas

makin

banyak

mengandung

hemoglobin dalam sitoplasma nya. Inti akhirnya dikeluarkan dari normoblas


akhir di dalam sumsum tulang dan menghasilkan stadium retikulosit.
Hasilnya adalah eritrosit matang yang seluruhnya terpulas merah muda,
yang merupakan cakram bikonkaf tak berinti. Satu pronormoblas biasanya
menurunkan

16

eritrosit

matang.

Eritropoiesis

diatur

oleh

hormon

eritropoietin. Secara normal, 90% hormon ini dihasilkan dalam sel-sel


interstisial peritubular ginjal dan 10% di hati dan tempat lain sebagai
respons terhadap suplai oksigen (O2). Produksi eritropoietin meningkat pada
anemia, ketika hemoglobin karena suatu alasan metabolik atau struktural
tidak mampu melepaskan O2 secara normal.1

Gambar 1. Urutan pematangan dalam perkembangan eritrosit matang dari


pronormoblas

Destruksi eritrosit normal


Destruksi eritrosit pada keadaan normal terjadi setelah jangka hidup
rata-rata 120 hari pada saat sel disingkirkan di ekstravaskular oleh makrofag
sistem retikuloendotel (RE), khususnya di dalam sumsum tulang tetapi juga
di hati dan limpa. Oleh karena sel-sel eritrosit tidak berinti, metabolisme
eritrosit mengalami degradasi dan tidak digantikan dan sel menjadi tidak
hidup. Pemecahan heme dari eritrosit membebaskan besi untuk sirkulasi
ulang melalui transferin plasma terutama ke eritroblas sumsum tulang, dan
protoporfirin yang dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin bersirkulasi ke hati
tempat ia mengalami konjugasi dengan glukuronida yang diekskresikan ke
duodenum melalui empedu dan dikonversi menjadi sterkobilinogen dan
sterkobilin direabsorpsi sebagian dan diekskresikan dalam urin sebagai
urobilinogen dan urobilin. Rantai globin dipecah menjadi asam amino yang
digunakan ulang untuk sintesis protein umum dalam tubuh. Hemolisis
intravaskular (pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah) memainkan
peran kecil atau tidak berperan dalam destruksi eritrosit normal.1
Kemampuan

maksimum

sumsum

tulang

untuk

meningkatkan

eritropoiesis adalah 6 sampai 8 kali normal. Apabila derajat hemolisis tidak


terlalu berat (pemendekan masa hidup eritrosit sekitar 50 hari) maka
sumsum tulang masih mampu melakukan kompensasi sehingga tidak timbul
anemia. Keadaan ini disebut sebagai keadaan hemolisis terkompensasi. Akan
tetapi, jika sumsum tulang tidak dapat berkompensasi akibat proses
hemolisis maka akan terjadi anemia yang kita kenal sebagai anemia
hemolitik.6

Gambar 2. Pemecahan eritrosit normal di luar dan dalam pembuluh darah.

Pengantar Anemia Hemolitik


Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses
hemolisis. Hemolisis adalah pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah
sebelum waktunya (sebelum masa hidup rata-rata eritosit 120 hari).
Hemolisis berbeda dengan proses penuaan (senescence), yaitu pemecahan
eritrosit karena memang sudah cukup umurnya. Hemolisis dapat terjadi
dalam pembuluh darah (intravaskular) atau di luar pembuluh darah
(ekstravaskular).1

Skenario 5
Seorang wanita, 25 tahun, datang dengan keluhan mudah lelah kurang
lebih 2-3 minggu ini, dan wajahnya terlihat agak pucat. Pasien tidak
merasakan demam, mual, muntah, BAK frekuensi dan warna dalam batas
normal, dan BAB frekuensi, warna, dan konsistensi masih dalam batas
normal.

Anamnesis
Anemia bisa dibilang sebagai penyakit dan hanya sebagai gejala dari
penyakit

yang

anamnesis,

mendasarinya.

pemeriksaan

fisik

Oleh
dan

sebab

itu

kita

pemeriksaan

wajib

melakukan

penunjang

untuk

mengetahui secara pasti diagnosis dari keluhan yang berhubungan dengan


anemia.
Pada skenario, keluhan utama pasien tersebut adalah mudah lelah. Selain itu
wajah nya terlihat agak pucat.
Hal yang dapat ditanyakan bagi seorang dokter adalah :
1. Mudah lelah, sudah sejak kapan? Mendadak atau bertahap ?
2. Lelah nya kapan terjadi? Saat beraktifitas atau beristirahat ?
3. Ada keluhan lain seperti pusing, mual, muntah, dan sesak nafas ? jika
ada, tanyakan bagaimana intensitas gejala tersebut? Pada saat sedang

beraktifitas atau beristirahat gejala tersebut muncul? Apakah

gejala

tersebut muncul tiba-tiba atua perlahan?


4. Bagaimana warna, bau dan frekuensi BAK dan BAB?
Karena pasien pada kasus tersebut adalah seorang perempouan pada
riwayat penyakit dahulu ditanyakan,
5. Bagaimana riwayat menstruasi? Teratur atau tidak ? Saat menstruasi,
berapa kali ganti pembalut?
6. Adakah gangguan saluran pencernaan ?
7. Adakah riwayat trauma atau perdarahan pada saluran pencernaan ?
8. Apakah sedang mengkonsumsi obat-obatan jantung, obat diabetes,
antibiotik?
Riwayat penyakit keuarga ditanyakan,
9. Apakah keluarga ada yang menderita anemia?
Riwayat sosial
10.
11.

Bagaimana pengaturan pola makan?


Apakah mengkonsumsi minuman beralkohol, merokok atau obat-

obatan terlarang?
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pada penderita anemia adalah
pemeriksaan tanda-tanda ital, inspeksi, dan palpasi.
Pemeriksaan fisik khusus diberikan pada berikut :
a. Warna kulit : pucat, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

seperti jerami.
Purpura : petechie dan echymosis
Kuku : koilonychia (kuku sendok).
Mata : ikterus konjungtiva pucat, perubahan fundus
Mulut : ulserasi, hipertofi gusi, atrofi papil lidah
Limfadenopati
Hepatomegali
splenomegali

Pemeriksaan Penunjang
Uji Hematokrit
Nilai Rujukan

Neonatus : 55%-68%

Bayi usia 1 bulan : 37%-49%

Lelaki dewasa : 42%-52%


4

Perempuan dewasa : 36%-48%

Hitung Retikulosit
Retikulosit membetuk 0,5%-2,5% hitung SDM total. Pada bayi, hitung
retikulosit yang normal berkisar dari 2%-6% pada saat lahir, yang menurun
ke kadar dewasa dalam 1-2 minggu.2

Hemoglobin Total
Nilai Rujukan
Konsentrasi Hb bervariasi bergantung pada jenis sampel yang diambil serta
usia dan jenis kelamin :

Neonatus : 17-22 g/dl

Anak-anak : 11-13 g/dl

Lelaki dewasa : 14-17,4 g/dl

Perempuan dewasa : 12-16 g/dl

Temuan abnormal
Konsentrasi

Hb

yang

rendah

mungkin

menunjukkan

anmeia,

perdarahan yang baru terjadi, atau retensi cairan, yang menyebabkan


hemodilusi. Kadar Hb yang tinggi mengarahkan pada dugaan adanya
hemokonsentrasi akibat polisitemia atau dehidrasi.

Indeks Sel Darah Merah


Nilai Rujukan
Indeks yang diperiksa meliputi volume korpuskular rata-rata (MCV),
hemoglobin korpuskular rata-rata (MCH), dan konsentrasi hemoglobin
korpuskular rata-rata (MCHC).
MCV, rasio antara HCT (volume packed red cell) dengan hitung SDM
mencerminkan ukuran rata-rata dari eritrosit dan menunjukkan apakah SDM
berukuran kecil (mikrositik), besar (makrositik),atau normal (normositik).
MCH, rasio Hb-SDM, memberikan berat Hb dalam suatu SDM rata-rata.
MCHC, rasio antara berat Hb dan HCT, menentukan konsentrasi Hb dalam
100 ml packed red cell. MCHC membantu membedakan SDM yang normal
5

berwarna (normokromik) dan SDM yang lebih pucat (hipokromik). Kisaran


indeks SDM yang normal adalah sebagai berikut :

MCV : 84-99 mikro(m)3

MCH : 26-32 pg/sel

MCHC : 30-36 g/dl

Temuan abnormal
MCV dan MCHC yang rendah menunjukkan adanya anemia mikrositik,
hipokromik yang disebabkan oleh defisiensi besi, anemia responsif terhadap
piridoksin, atau talasemia. MCV yang tinggi memberi kesan adanya anemia
makrositik yang disebabkan oleh anemia megaloblastik, defisiensi asam folat
atau vitamin B12, gangguan sintesis asam deoksiribonukleat turunan, atau
retikulositosis. Karena MCV mencerminkan volume rata-rata dari banyak sel,
nilainya dalam kisaran normal dapat meliputi SDM dalam berbagai ukuran,
dari mikrositik sampai makrositik.

Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit


Direct Antiglobulin Test (direct Coombs Test): sel eritrosit pasien dicuci
dari protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau
antibodi

monoclonal

terhadap

berbagai

immunoglobulin

dan

fraksi

komplemen, terutama IgG dan C3d. Bila permukaan sel terdapat salah satu
atau kedua IgG dan C3d maka akan terjadi aglutinasi. 3
Indirect Antiglobulin Test (indirect Coombs test): untuk mendeteksi
auntoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan
sel-sel reagen. Imunoglobolin yang beredar pada serum akan melekat pada
sel-sel reagen, dan dapat dideteksi degan antiglobolin serta dengan
terajadinya aglutinasi. 3

Gejala Klinis
Gambaran klinik anemia hemolitik sangat bervariasi disebabkan oleh
perjalanan penyakit (akut dan kronik) dan tempat kejadian hemolisis
(intravaskuler atau ekstravaskuler) sehingga pada umumnya dilihat dari
gejala kliniknya anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 2 golongan besar,
yaitu :
a. Anemia hemolitik kronik herediter-familier. : sferositosis herediter,
defisiensi G6PD, anemia sel sabit.
6

b. Anemia hemolitik akut (AHA) didapat : AHA autoimun, AHA karena


obat.

Kedua jenis hemolisis ini mempunyai gambaran klinik yang berbeda,


dimana anemia hemolitik kronik herediter-familier didominasi oleh gejala
akibat

hemolisis

sedangkan

pada

ekstrevaskuler
anemia

yang

hemolitik

berlangsung

akut

didapat

perlahan-lahan,
terjadi

hemolisis

ekstravaskuler masif atau hemolisis intravaskuler. Namun, kedua golongan


ini tidak selalu dapat dipisahkan secara tegas. Gejala klinik anemia hemolitik
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Gejala umum anemia (anemic syndrome)
2. Gejala hemolisis baik ekstravaskuler maupun intravaskuler.
3. Gejala penyakit dasar (penyebab) masing-masing anemia hemolitik
tersebut.1

Gejala umum anemia


Sepertri pada semua anemia lainnya, gejala umum anemia akan timbul
jika hemoglobin turun <7-8 g/dl. Makin berat penurunan kadar hemoglobin
makiin berat gejala yang timbul. Di samping itu, beratnya gejala juga
ditentukan oleh kecepatan penurunan kadar hemoglobin. Pada anemia
hemolitik akut dimana penurunan hemoglobin terjadi cepat pada uumnya
gejala lebih menyolok dibandingkan dengan anemia hemolitik kronik.1

Gejala hemolitik
Pada anemia hemolitik kronik familier-herediter gejala klinik dapat
timbul berupa ikterus, splenomegali, atau hepatomegali, kholelithiasis,
kelainan tulang, ukus pada kaki serta timbulnya krisis.1
Ikterus
Ikterus timbul karena peningkatan bilirubin indirek dalam darah
sehingga ikterus bersifat acholuric jaundice, bahwa dalam urin tidak
dijumpai bilirubin. Ikterus dapat hanya ringan, tetapi dapat juga berat
terutama pada anemia hemolitik.1
Splenomegali dan hepatomegali
Splenomegali hampir selalu dijumpai pada anemia hemolitik
kronik familier-herediter, kcuali pada anemia sl sabit (sickle cell
disease) dimana limpa mengecil karena terjadinya infark. Splenomegali
7

pada umumnya rigan sampai sedang, tetapi kadang-kadang dapat


besar sekali.
Hepatomegali
Hepatomegali

lebih

jarang

dijumpai

dibandingkan

dengan

splenomegali karena makrofag dalam limpa lebih aktif dibandingkan


dengan makrofag pada hati.1
Ulkus pada kaki
Ulkus pada kaki dapat dijumpai pada anemia sel sabit dan
sferositosis herediter, dapat juga dijumpai pada anemia hemolitik
kronik

familier0-herediter

yang

lain.

Pada

anemia

sel

sabit

prevalensinya sekitar 5%. Ulkus terjadi di sebelah proksimnal malleolus


medialis dan lateralis dan sering bersifat bilateral.1

Differential DIagnosis
Sferositosis Herediter
Sferositosis herediter (SH) adalah anemia hemolitik herediter yang paling
sering ditemukan pada orang Eropa utara. Kelainan ini khas :
1. Diturunkan secara autosomal dominan dengan ekspresi bervariasi.
2. Dijumpai makrosferosit pada hapusan darah tepi.
3. Memberi respons baik terhadap splenektomi.
Patogenesis
Kelainan dasar sferositosis herediter terletak pada protein struktural
membran eritrosit. SH biasanya disebabkan oleh defek protein yang terlibat
dalam interaksi vertikal antara rangka membran dan lipid lapis ganda pada
eritrosit. Hilangnya membran mungkin disebabkan oleh lepasnya bagianbagian lipid ganda yang tidak didukung oleh rangka. Pada SH, sumsum
tulang menghasilkan eritrosit dengan bentuk bikonkaf yang normal tetapi
eritrosit ini kehilangan membran dan menjadi makin sferis (hilangnya luas
permukaan relatif terhadap volume) seiring eritrosit bersirkulasi melalui
limpa dan sistem RE lainnya. Pada akhirnya, sferosit tidak mampu melalui
mikrosirkulasi limpa dimana mereka mati sebelum waktunya.
Gambaran klinik
Sferositosis herediter menimbulkam anemia dari bayi sampai usia tua.
Dijumpai ikterus yang berfluktuasi. Splenomegali hampir selalu dijumpai.
Pada sebagian besar penderita dijumpai batu empedu.1

Gambaran laboraturik
Apusan darah tepi menunjukkan sferosit, eritrosit kelihatan lebih bulat
dengan bagian pucat di tengah (central pallor) menghilang. Dijumpai juga
polikromasia, kadang-kadang terdapat normoblast. Retikulosit meningkat 520%. Sumsum tulang menunjukkan aktivitas eritropoiesis meningkat berupa
hiperplasia normoblastik. Pemeriksaan biokimia darah menunjukkan bilirubin
indirek

darah meningkat. Untuk

pemeriksaan

khusus

yaitu

tes

mengkonfirmasi diagnosis
fragilitas

osmotik.

Tes

diperlukan

coombs

akan

memberikan hasil negatif.1

Gambar 3. sediaan hapus darah tepi pada sferositosis herediter.

Terapi pilihan pada HS adalah splenektomi yang memberikan respon


yang sangat baik pada sebagian penderita. Splenektomi sebaiknya jangan
dilakukan pada umur di bawah 5 tahun karena penderita mudah mengalami
sepsis pneuokokus. Sebaiknya diberikan vaksinasi pneumokokus setelah
splenektomi. Asam folat diberikan untuk mencegah krisis megaloblastik.2

DEFISIENSI G6PD

PENGERTIAN/GAMBARAN UMUM
G6PD adalah sejenis enzim yang diperlukan untuk menstabilkan membran
sel darah merah dengan pengaktifan (inactivation) komponen oksidan. Jika
G6PD berkurang, sel-sel darah merah akan menjadi rusak dan pecah
(hemolisis) apabila orang yang sakit tersebut memakan obat-obatan yang
memiliki ciri pengoksida.
Defisiensi enzim glukosa-6-fosfat merupakan penyakit yang jarang terjadi.
Penyakit

ini

disebabkan

karena

kekurangan

enzim

glukosa-6-fosfat

dehydrogenase (glucose-6- phospate dehydrogenase deficiency). Enzim ini


penting dalam pembuatan sel darah merah. Bila kekurangan enzim ini,
tenaga

yang

dihasilkan

glukosa

menjadi

kurang.

Glukosa-6-fosfat

dehidrogenase (G6PD) berfungsi mereduksi nikotinamida adenin dinukleotida


(NADPH) sambil mengoksidasi glukosa-6-fosfat. Ini adalah satu-satunya
sumber NADPH dalam eritrosit dan NADPH diperlukan untuk produksi
9

glutation tereduksi sehingga defisiensi enzim ini menyebabkan eritrosit


rentan terhadap stres oksidasi.

Etiologi dan Epidemiologi


Defisiensi enzim ini paling sering mengakibatkan hemolisis. Enzim ini
dikode oleh gen yang terletak di kromosom X sehingga defisiensi G6PD lebih
sering

mengenai

laki-laki.

Pada

perempuan

biasanya

carrier

dan

asimptomatik. G6PD normal disebut tipe B. Diantara varian G6PD yang


bermakna secara klinik adalah tipe-A. Tipe ini ditemukan pada orang
keturunan Afrika. Tipe Mediteranian relatif sering ditemukan diantara orang
Mediteranian asli, dan lebih berat dari varian A- karena dapat mengakibatkan
anemia hemolitik nonsferositik tanpa adanya stres oksidatif yang jelas.2
Manifestasi Klinis
Aktivitas G6PD yang normal menurun -50% pada waktu eritrosit
mencapai 120 hari. Pada tipe A- penurunan terjadi sedikit lebih cepat dan
lebih cepat lagi pada varian mediteranian. Meskipun umur eritrosit pada tipe
A- lebih pendek namun tidak menimbulkan anemia kecuali bila terpajan
dengan infeksi virus dan bakteri di samping obat-obatan atau toksin yang
dapat berperan sebagai oksidan yang mengakibatkan hemolisis. Obatobatan atau zat yang dapat mempresipitasi hemolisis pada pasien G6PD
adalah asetanilid, fuzolido,.isobutil nitrit, metilen blue, asam nalidiksat,
naftalen,

niridazol,

nitrofuranton,

fenazopiridin,

primakuin,

pamakuin,

dapson, sulfasetamid, sulfametoksazol, sulfapiridin, tiazolsulfon, toluidin


blue, trinitrotoluen, urat oksidase, vitamin K, doksorubisin. Hemolisis akut
terjadi setelah beberapa jam terpajan dengan oksidan, diikuti hemogloburia
dan kolaps pembuluh darah perifer pada kasus yang berat. Hemolisis
biasanya self-limited karena yang mengalami destruksi hanya populasi
eritrosit yang tua saja. Pada tipe A- massa eritrosit menurun hanya 25-30%.
Ketika hemolisis akut hematokrit turun cepat diiringi oleh peningkatan
hemoglobin dan bilirubin tak terkonyugasi dan penurunan haptoglobin.
Hemoglobin mengalami oksidasi dan membentuk Heinz bodies yang tampak
pada pewarnaan supravital dengan violet kristal. Heinz bodies tampak pada
hari pertama atau sampai badan inklusi ini siap dikeluarkan oleh limpa
sehingga membentuk bite cells. Mungkin juga ditemukan beberapa sperosit.
Sebagian kecil pasien defisiensi G6PD ada yang sangat sensitive dengan
fava beans (buncis) dan dapat mengakibatkan krisis hemolisis pulminan
setelah terpajan.2
Diagnosis G6PD dipikirkan jika ada episode hemolisis akut pada lakilaki keturunan Afrika atau mediteranian. Pada anamnesis perlu ditanyakan
tentang kemungkinan terpajan dengan zat-zat oksidan, misalnya obat atau
10

zat yang telah disebutkan diatas. Pemeriksaan aktivitas enzim mungkin false
negatif jika eritrosit tua defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu
pemeriksaan aktivitas enzim perlu diulang dua sampai tiga bulan kemudian
ketika ada sel-sel yang tua.2
Terapi
Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-, hemolisis terjadi selflimited sehingga tidak perlu terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi yang
mendasari dan menghindari obat-obatan atau zat yang mempresipitasi
hemolisis serta mempertahankan aliran ginjal yang adekuat karena adanya
hemoglobinuria saat hemolisis akut. Pada hemolisis berat, yang biasa terjadi
pada varian Mediteranian, mungkin diperlukan transfusi darah. Yang
terpenting adalah pencegahan episode hemolisis dengan cara mengobati
infeksi dengan segera dan memperhatikan resiko penggunaan obat-obatan,
zat oksidan dan fava beans. Khusus untuk orang Afrika atau Mediteranian
sebaiknya sebelum diberikan zat oksidan harus dilakukan skrining untuk
mengetahui adanya defisiensi G6PD.2

Anemia Sel Sabit (Sickle Cell Anemia)


Anemia sel sabit adalah bentuk homozigot penyakit HbS (a2b2s),
dapat juga disebabkan oleh heterosigot ganda dengan Hbpati lain (HbC) atau
thalassemia. Anemia sel sabit banyak dijumpai di Afrika Barat dan orang kulit
hitam di Amerika Serikat. Sekitar 8% orang kulit hitam di Amerika Serikat
menderita heterozigot HbS dan 0,25% anemia sel sabit (homosigot). Gejala
mulai pada bayi umur 6 bulan setelah HbF jumlahnya berkurang. Penderita
sel sabit resisten terhadap infeksi malaria.

Patogenesis
Secara molekuler HbS timbul karena mutasi satu kodon pada gen beta,
yaitu adenine (A) diganti oleh thymine (T) sehingga setelah translasi
menghasilkan asam amino glutamic acid yang seharusnya valine pada rantai
beta. HbS pada tekanan oksigen yang rendah bersifat tidak larut, mengalami
presipitasi (sickling) sehingga menyebabkan perubahan bentuk eritrosit,
seperti bulan sabit. Sel sabit disekuestrasi oleh limpa sehingga timbul
anemia hemolitik. Karena bentuknya abnormal, sel sabit sulit melalui kapiler
dan menimbulkan penyumbatan pembuluh darah (vasooklusi).

11

Gejala klinik
1. Gejala klinik berupa anemia hemolitik kronik berat diselingi oleh krisis.
2. Gejala klinik mulai tampak setelah umur 6 bulan, timbul dactylitis akut
karena nekrosis tulang jari.
3. Gejala anemia lebih ringan dari derajat penurunan hemoglobin karena
HbS lebih mudah melepaskan oksigen.
4. Ulkus pada kaki (sekitar malleolus) dijumpai pada 75% kasus karena
iskhemia akibat oklusi vaskuler.
5. Splenomeglai dijumpai pada anak kecil, setelah dewasa limfa sering
mengecil karena infark berulang.
6. Infark ginjal dapat menmimbulkan hematuria
7. Komplikasi l;ain berupa batu empedu, osteomielitis, mudah infeksi
pneumokokus, hemofilus, dan samonella.
8. Krisis pada anemia sel sabit dipicu oleh infeksi, asidosis, dehidrasi,
tekanan oksigen rendah (misalnya, di pesawat terbang), latihan berat,
operasi/anestesi. Krisis dapat berupa :
a. Oainfull vaso-occlusive : organ yang kena hanya tulangf (femur,
bahu, vertebra). Infark tulang jari menimbulkan sindrom handfoot.
b. Visceral sequestration crisis : dapat timbul acute sickle chest
syndrome dengan gejala sesak nafas, tekanan oksigen arteri
menurun, nyeri dada, infiltrat paru yang dapat bersifat fatal.
c. Aplastic crisis : sering dipicu oleh infeksi parvovirus, disertai ejala
pansitopenia dan retikulositopenia.
d. Hemolytic crisis : hemoglobin tiba-tiba

menurun

disertai

retikuosis dan nyeri.


Kelainan laboraturium
Pada anemia sel sabit dapat dijumpai :
1. Anemia sedang dengan Hb 6-9 g/dl.
2. Pada apusan darah tepi ditemukan sel sabit, sel target dan atnda atrofi
lien, yaitu howell-jolly body.
3. Tes sickling : darah dibuat

mengalami

deoksigenasi

dengan

penambahan dithionate dan Na2HPO4.


4. Tanda hemolisis seperti bilirubin indirek meningkat dan retikulositosis
5. Pada elektroforesis Hb, dijumpai HbS 25-40%, HbA kosong dan HbF 515%.
Terapi
Pada penderita anemia sel sabit, misalnya :
1. Berikan asam folat 5 mg/hari
2. Berikan makanan bergizi dan minum yang cukup
3. Pencegahan krisis terdiri atas :
a. Transfusi teratur (supertransfusi) dapat dipertimbangkan pada
penderita krisis berulang-ulang untuk mengurangi sintesis HbS
internal.
12

b. Hidroksiurea dengan dosis 15-20 mg/kg dapat meningkatkan HbF


dan mengurangi sickling. Obat ini dapat diberikan dalam waktu
lama.
4. Jika terjadi krisis : berikan suasana hangat, berikan infus salin fisiologik
3 liter per hari, infeksi diatasi, berikan analgetik secukupnya.
5. Transplantasi sumsum tulang yang berhasil memberikan kesembuhan

Anemia Hemolitik Akut karena Obat (drug induced AIHA)


Obat dapat menimbulkan hemolisis dengan 3 cara :
1. Innocent by stander : komplek Ag-Ab melekat secara pasif pada
eritrosit, contoh : phenacetin, qunine, quinidin, chlorpropamide.
2. Obat sebagai hapten : obat sebagai hapten yang bergabung dengan
protein membran eritrosit menjadi antigen komplit, contoh : penisilin
dan cephalotin.
3. AHA karena obat yang sebenarnya : obat menyebabkan perubahan
pada

membran

eritrosit

sehingga

membentuk

autoantigen

dari

membran sendiri, contoh : methyldopa dan fludarabine.1


Gambaran klinik AHA karena obat sama dengan gambaran klinik AHA pada
umumnya. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang teliti tentang
adanya pemaparan pada obat tertentu. Tetapi utama adalah menghindari
obat tersebut.
Anemia Hemolitik Autoimun
Anemia hemolitik autoimun (AHA) atau autoimmune hemolytic anemia
(AIHA) disebabkan oleh produksi antibodi oleh tubuh terhadap eritrositnya
sendiri. Kelainan ini ditandai dengan uji antiglobulin langsung (direct
antiglobulin test / DAT), yang juga dikenal sebagai uji Coombs yang positif,
dan dibedakan berdasarkan sifat reaksi antibodi, dibagi menjadi 2 golongan :
1. AHA Tipe Panas (Warm AIHA) : reaksi antigen-antibodi terjadi maksimal
pada suhu tubuh (37oC).
2. AHA Tipe Dingin (Cold AIHA) : reaksi antigen-antibodi terjadi maksimal
pada suhu rendah (4oC).1

AHA Tipe Panas


Etiologi
Secara garis besarnya penyebab AHA tipe panas dapat dibagi menjadi
dua golongan beaar, yaitu bentuk primer (idiopatik) dan bentuk sekunder
yang terdiri atas akibat gangguan reaktivitas imun (SLE dan limfoma

13

maligna), mieloma multiple, karsinoma dan kolitis ulserativa, dan setelah


penggunaan obat metildopa.1
Patogenesis
Sekitar 60% AHA tipe panas menunjukkan IgG, 50% kombinasi IgG dan
komplemen, 10% hanya komplemen saja. Eritrosit yang diselimuti IgG atau
komplemen difagositir oleh makrofag dalam lien dan hati sehingga terjadi
hemolisis ekstravaskuler yang menimbulkan anemia dan ikterus karena
bilirubinemia indirek.1
Gejala klinik
AHA tipe panas terjadi pada semua umur, tetapi lebih seringh\ pada wanita
muda.

Gejala

yang

menonjol

adalah

anemia,

demam,

ikterus

dan

splenomegali. Gejala sering hilang timbul.


Kelainan laboratorik
Pada AHA tipe panas dijumpai kelainan laboraturium sebagai berikut :
1. Darah tepi
a. Anemia dapat sampai berat, terdapat mikrosferosit, polikromasia
dan sering ada normoblast dalam darah tepi. Morfologi anemia
pada umumnya ialah normokromik normositer.
b. Retikulosit sangat meningkat
2. Bilirubin serum meningkat 2-4 mg/dl, dengan bilirubin indirek lebih
tinggi dari bilirubin direk.
3. Tes Coombs direk (DAT) positif.1
Diagnosis
Diagnosis AHA tipe panas dapat ditegakkan jika dijumpai,
1. Tanda anemia hemolitik didapat (gejala klinik, anemia normokrom
normositer, hemolisis ekstravaskuler, kompensasi sumsum tulang)
2. Tes antiglobulin direk (Coombs) positif. Hanya sebagian kecil penderita
menjunjukkan tes negatif. Jika gambaran klinik menjurus kearah AHA
tipe panas, tetapi tes Coombs negatif maka terapi ex juvativus dengan
obat

imunosupresif

dengan

pengawasan

ketat

dapat

dipertimbangkan.2
Terapi
Terapi untuk AHA tipe panas meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Obati/ hilangkan penyakit dasar : jika penyebab diketahui dan dapat
diobati

maka

penyakit

tersebut

seperti

SLE

dan

penyakit

14

limfoproliferatif diobati dengan sebaik-baiknya. Pemakaian obay,


seperti methildopa harus dihentikan.
2. Kortikosteroid dosis tinggi merupakan salah satu obat piluihan untuk
AHA tipe panas. Prednison diberikan secara oral dengan dosis 60-100
mg per hari. Jika terdapat kenaikan Hb yang baik maka dosis obat
diteruskam selaman 2 minggu setelah Hb stabil, kemudian dillakukan
tapering off. Selain itu metilprednisolon dapat juga diberikan dengan
dosis yang disesuaikan. Lebih dari 50% kasus memberikan respon baik
yang ditunjukkan dengan peningkatan kadar Hb dalam dua minggu
pertama.
3. Splenektomi dipertimbangkan jika tidak ada respon kortikosteroid
dalam waktu 2-3 minggu.
4. Obat imunosupresif lain yang dapat dipakai adalah azathioprim atau
siklofosfamid dengan dosis 1000 mg iv dalam 1-3 kali pemberian dan
obat imunosupresif yang paling mutakhir adalah mycophenolate
mofetil (Cellcept).
5. Transfusi hanya jika terdapat anemia berat.2

AHA tipe dingin


AHA tipe dingin lebih jarang dijumpai dibandingkan dengan AHA tipe
panas. Di sini reaksi antigen-antibodi terjadi pada suhu dingin (<32 oC),
antibodi termasuk golongan IgM, dapat berisifat monoklonal pada yang
idiopatik, dapat juga piloklonal pada yang post infeksi.1
Etiologi
Dilihat dari sudut penyebabnya maka AHA tipe dingin dapat digolongkan
menjadi 3, yaitu :
1. Idiopatik
2. Sekunder terdiri atas :
a. Infeksi : Mycoplasma pneumonia, Mononucleosis infectiosa,
Cytomegalo virus.
b. Limfoma maligna
3. Paroxymal cold hemoglobin (PCH).1
Patogenesis
Pada AHA tipe dingin autoantibodi IgM mengikat antigen membran
eritrosit (terutama I antigen) dan membawa Clq ketika melewati bagian
yang dingin, kemudian terbentuk kompleks penyerang membran, yaitu suatu
kompleks komplemen yang terdiri atas C56789. Kompleks penyerang ini
menimbulkan kerusakan membran eritrosit, apabila terjadi kerusakan
membran yang hebat akan terjadi hemolisis intravaskuler jika kerusakan
minimal terjadi fagositosis oleh makrofag dalam RES sehingga terjadi
hemolisis ekstravskuler.1
15

Manifestasi klinik
AHA tipe dingin dapat bermanifestasi klinik dalam 2 bentuk :
1. Acute postinfectious cold agglutinin induced hemolysis. Terjadi
setelah infeksi, biasanya infeksi virus, dengan gambaran klinik yang
terdiri atas :
a. Hemolisis transient tapi berat
b. Tampak aglutinasi, polikromasi, makrosit, dan sferosit
c. Titer aglutinin tinggi. Tes Coombs direk positif.
2. Chronic cold agglutinin disease
Merupakan AHA tipe dingin yang berjalan lebih perlahan-lahan, dengan
gambaran sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.

Kulit jari tangan / kaki mati rasa pada udara dingin (akrosianosis)
Anemia bisa ada bisa tidak
Retikulosit tinggi, tanmpak autoaglutinasi
Tes aglutinin dingin dijumpai titer tinggi dan tes Coombs direk

positif.
e. Terapi untuk tipe ini adalah menghindari udara dingin, mengobati
penyakit dasar, kadang-kadang diperlukan splenektomi. Di sini
kortikosteroid tidak efektif. Khlorambusil dapat memberikan hasil
pada beberapa kasus.2

DAFTAR PUSTAKA
1. Hoffbrand A.V. Kapita Selekta Hematologi. Ed 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran Indonesia EGC. 2011
2. Mansjoer Arif, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Ed 3. Jakarta:
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001.
3. Defisiensi G6PD. 20 mei 2009. Diunduh dari http://scrib.com. 20 April
2015.
4. Sudoyo W. Aru, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Ed 5.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009.

16

Anda mungkin juga menyukai