Anda di halaman 1dari 26

Anemia Hemolitik

Samuel Wiratama - 10 2009 142 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara no. 6 Jakarta Barat Email : iamsawi@yahoo.com

Pendahuluan Anemia hemolitik merupakan kondisi dimana jumlah sel darah merah (HB) berada di bawah nilai normal akibat kerusakan (dekstruksi) pada eritrosit yang lebih cepat dari pada kemampuan sumsum tulang mengantinya kembali. Jika terjadi hemolisis (pecahnya sel darah merah) ringan/sedang dan sumsum tulang masih bisa mengompensasinya, anemia tidak akan terjadi, keadaan ini disebut anemia terkompensasi. Namun jika terjadi kerusakan berat dan sumsum tulang tidak mampu menganti keadaan inilah yang disebut anemia hemolitik. Anemia hemolitik sangat berkaitan erat dengan umur eritrosit. Pada kondisi normal eritrosit akan tetap hidup dan berfungsi baik selama 100 - 120 hari, sedang pada penderita anemia hemolitik umur eritrosit tidak dapat selama itu. Anamnesis Apakah merasakan berdebar - debar Apakah sering merasa pusing Apakah merasa gelap saat bangun dari tidur atau dari posisi duduk Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali. Jika sebelum ini pernah mengalami hal yang sama, apakah ada faktor tertentu yang menurut pasien memicu kondisi tersebut Riwayat penggunaan obat - obatan
1

Riwaya keluarga dengan penyakit yang sama Apakah baru saja mendapatkan transfusi darah Apakah baru saja mengalami kecelakaan/ pendarahan

Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dapat diperiksa : 1 Tanda - tanda anemia pada konjunctiva, mukosa, serta ujung kuku. Pembesaran hepar dan limpa (schuffner) Pemeriksaan kulit di bagian distal, apakah terdapat ulkus Nyeri kuadran kanan atas abdomen mungkin menunjukkan

cholelithiasis (bilirubin batu empedu) dan penyakit kandung empedu. Pemeriksaan Penunjang 1. Complete Blood Count (CBC) 2,3,4 Pemeriksaan CBC atau darah lengkap meliputi : Angka sel darah merah : jumlah SDM, hemoglobin, hematokrit Kadar Hb Pria dewasa Wanita dewasa 14 - 17 g/dL 12 - 15 g/dL Hematokrit 42 - 53 % 38 - 46 % 31 - 43 % Jumlah Eritrosit 4,6 - 6,2 juta/L 4,2 - 5,4 juta/L 3,8 - 5,8 juta/L

Anak - anak (3 10 - 14,5 g/dL bulan - 13 tahun)

Pada wanita hamil, terdapat penurunan Hb sampai 11 - 12 g/dL pada trimester kedua dan ketiga, penurunan ini disebabkan oleh ekspansi volume plasma dan tidak merepresentasikan anemia. Pada bayi baru lahir, hemoglobin rata - rata berkisar antara 17 g/dL dengan hematokrit 52 %. Nilai eritrosit rata - rata : o MCV - Mean Corpuscular Volume, nilai rujukan 82 - 92 fL o MCH - Mean Corpuscular Hemoglobin, nilai rujukan 27 - 31 pg
2

o MCHC - Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration, nilai rujukan 32 37 % Jumlah trombosit Hitung jenis leukosit dan morfologi Morfologi darah : ukuran sel, hemoglobinisasi, anisositosis, poikilositosis, polikromasi Hitung retikulosit : indeks produksi retikulosit, normal berkisar antara 0,5 - 1,5 % Apabila pemeriksaan darah lengkap dapat dilakukan secara otomatis, maka red cell distribution width (RDW) juga dapat ditentukan. Normalnya adalah 11.5-14.5 coefficient of variation. Peningkatan RDW menunjukkan anisositosis yang merujuk pada anemia hemolitik. Laju endap darah (LED): pria (0-15 mm/jam); wanita (0-20 mm/jam)

2. Pemeriksaan sumsun tulang 2,3,5 Pemeriksaan meliputi morfologi sel, selularitas, precursor hematopoietik, dan cadangan besi (pewarnaan Prussian blue) 3. Test of iron supply 2 - 6 a. Serum iron level (SI), merupakan pemeriksaan untuk menilai jumlah besi yang terikat pada transferin. Nilai normal berkisar antara 50 - 150 g/dL. Pembuatan eritrosit dan hemoglobin pada sumsum tulang dipengaruhi oleh besi serum. b. Total iron binding capacity (TIBC), mengukur jumlah besi yang dapat diikat oleh transferin. Nilai normal 300 - 360 g/dL. c. Serum ferritin, nilai normal pada laki - laki dewasa 50 - 150 g/L. 4. Permeriksaan untuk mencari penyebab pada hemolitik anemia : 3 a. Hemoglonin elektroforesis (hemoglobinopati) b. Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit (AIHA) Direct Antiglobulin Test (direct Coombs test): sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi
3

monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplomen, terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi. Indirect Antiglobulin Test (indirect Coombs test): untuk

mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi. c. Titer agglutinin tipe dingin / cold agglutinin titer (AIHA) d. Level haptoglobin (hemolisis) e. Serum / urin hemosiderin (intravascular hemolisis) f. Fragilitas osmotik (sferositosis herediter) g. G6PD screen h. Heat/isopropanol denaturation test (hemoglobin tidak stabil) 5. Pemeriksaan laju dekstruksi sel darah merah dapat terlihat melalui pemeriksaan : 4,5 a. Indeks produksi retikulosit, jika pada pemeriksaan menunjukkan angka 3x dari normal, dapat diasumsikan bahwa dekstruksi sel darah merah juga 3x dari normal. b. Laktat dehidrogenase dan bilirubin indirek untuk penilaian kualitatif, pada laju dekstruksi yang signifikan, LDH akan naik sampai 1000 IU (normal 103333IU/L) dan indirek bilirubin pada 1-3 mg/dL (normal 0,2 - 0,7 mg/dL). Untuk mendeteksi hemolisis intravaskular : 4 Plasma hemoglobin level, pada angka di atas 50 mg/dL mengindikasikan adanya intravaskular hemolisis. Ketika melewati 150 - 200 mg/dL, juga akan terjadi hemoglobinuria Hemoglobin urin Hemosiderin urin Serum haptoglobin (normal 50 - 200 mg/dL) Methemalbumin, merupakan heme yang terikat pada albumin.

Diagnosis Kerja Pendarahan atau hemolisis akan menstimulasi produksi sel darah merah untuk respon mengkompensasi. Kenaikan dekstruksi pada anemia hemolitik dikarakteristikan pada kenaikan indeks produksi retikulosit sampai lebih dari tiga kali normal dan kenaikan pada rasio E/G (precursor eritroid : granulositik pada sumsum tulang) lebih dari 1 : 1. Ini dapat berdampak pada terdapatnya retikulosit yang cukup banyak pada sediaan hapus darah tepi. 4 Perbedaan anemia hmolitik dengan anemia yang lain adalah meningkatnya laju dekstruksi sel darah merah matur. Tanda dan gejala anemia berbeda - beda, tergantung dari mekanisme pengahancuran sel darah merah. Hemolisis intravascular secara tiba - tiba ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria, sedangkan hemolisis ekstravaskular oleh sistem monosit-makrofag menunjukkan turunnya hemoglobin dan meningkatnya serum bilirubin dan laktat dehidrogenase (LDH). Pemeriksaan lebih lanjut diperlukan untuk menentukan etiologi dari anemia hemolitik.

Diagnosis Banding 2 - 6 Autoimun Idiopatik Anemia Hemolitik (AIHA) Anemia hemolitik autoimun merupakan suatu kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel - sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek. Pada AIHA pasien biasanya tidak memiliki gejala penyakit lain; yang ditemukan hanya ekstravaskular hemolitik anemia. Profile eritopoetik yang didapatkan tipikal pada anemia hemolitik yang parah, indeks retikulosit yang didapatkan lebih dari tiga kali nilai normal. Morfologi sel darah merah umumnya normositik normokrom, walau kemungkinan terdapat beberapa jumlah sel yang berbentuk sferosit. Tidak didapatkan fragmentasi dan poikilositosis. Pemeriksaan laboratorium dekstruksi sel (serum bilirubin indirek dan LDH) meningkat. AIHA diklasifikasikan dengan tes laboratorium menurut penyebabnya, yaitu antibodi tipe hanngat (IgG) atau tipe dingin (IgM). Pembagian ini memerlukan tes DAT - Direct Antiglobulin Test (tes Coombs) menggunakan antibodi monospesifik pada IgG dan C3, serta pengukuran titer
5

agglutinin tipe dingin. Pasien dengan tipe dingin (IgM) AIHA akan menghasilkan tes negative pada pemeriksaan DAT untuk IgG dan positif untuk C3; deteksi IgM pada permukaan sel darah merah belum memungkinkan. Pembagian klasifikasi AIHA sangat penting untuk diagnosis dan penatalaksanaan. AIHA tipe hangat (IgG) lebih sering dikaitkan dengan limfoma dan kelainan kolagen pembuluh darah dan biasanya responsive pada terapi steroid. Pada AIHA tipe dingin (IgM) lebih resisten terhadap terapi dan seringkali terjadi pada awal keganasan limfopoietik, serta dapat dihubungkan dengan intoleransi suhu dingin yang parah, yang menyebabkan memburuknya proses hemolisis seiring dengan menurunnya suhu lingkungan. AIHA Tipe hangat 70 % 20 % 10 % Tipe dingin Positif Positif Negatif Negatif Positif Positif Positif lemah Positif 1/512 - 1/10.000 < 1/256 Anti IgG Anti C3 Aglutinin tipe dingin

Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi bereaksi secara optimal pada suhu 37C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan : Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7 g/dl Pemeriksaan Coomb direk biasanya positif Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua sel eritrosit normal. Autoantiodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh. Pada AIHA tipe dingin terjadinya hemolisis diperantarai antibodi dingin yaitu aglutinin dingin dan antibodi Donath-Landstainer. Kelainan ini secara karakteristik memiliki aglutinin dingin IgM monoklonal. Spesifisitas aglutinin dingin adalah terhadap antigen I/i. Sebagian besar

IgM yang punya spesifisitas terhadap anti-I memiliki VH4-34. Pada umumnya aglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat rendah, dan titer ini akan meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi. Antigen I/i bertugas sebagai reseptor mycoplasma yang akan meyebabkan perubahan presentasi antigen dan menyebabkan produksi autoantibodi. Pada limfoma sel B, aglutinin dingin ini dihasilkan oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan berikatan dengan sel darah merah dan terjadi lisis langsung dan fagositosis. Pada pemeriksaan lab didapatkan anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs positif. Pada AIHA tipe hangat : Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuria. Ikterik terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60%, hepatomegali terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25% pasien yang tidak disertai pembesaran organ dan limfonodus. AIHA tipe dingin : Sering terjadi aglutinisasi pada suhu dingin. Hemolisi berjalan kronik. Anemia biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl. Sering didapatkan akrosianosis, dan splenomegali

Anemia hemolitik et causa medikamentosa Riwayat pemakaian obat tertentu positif. Pasien yang timbul hemolisis melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka hemolisis akan terjadi secara berat,

mendadak, dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemaparan dengan dosis tunggal.

Anemia defisiensi G6PD Sebagian besar manusia dengan defisiensi G6PD tetap asimtomatik selama hidupnya, akan tetapi mereka semua beresiko tinggi mengalami neonatal jaundice dan anemia hemolitik akut. Pada bayi dengan defisiensi G6PD, neonatal jaundice dapat menjadi berat, yang jika tidak diatasi dengan tepat dapat menyebabkan kernikterus dan kerusakan saraf yang permanen. Anemia hemolitik akut pada pasien yang defisiensi G6PD biasanya dipicu oleh fava beans, infeksi, dan obat-obatan. Biasanya, serangan hemolitik diawali dengan malaise, kelemahan, dan nyeri abdominal atau lumbal. Kemudian dalam beberapa jam atau 2-3 hari, pasien mengalami jaundice dan sering kali menghasilkan urin berwarna gelap akibat hemoglobinuria. Onsetnya bisa tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Anemia yang terjadi bisa ringan sampai berat. Anemia biasanya normositik dan normokrom karena hemolisis yang terjadi intravaskular. Oleh sebab itu, muncul hemoglobinuria, hemoglobinemia, LDH (Laktat dehidrogenase) yang tinggi dan plasma haptoglobin yang rendah atau tidak ada sama sekali. Dari pemeriksaan darah, ditemukan hemighosts (sel darah merah dengan hemoglobin tidak merata) dan bite cells atau blister cells (sel darah merah yang tampak seperti digigit) yang merupakan ciri khas dari anemia hemolitik akut. Sferositosis herediter Jika pada anamnesis ditemukan bahwa ada keluarga dekat pasien yang di diagnosis menderita sferosit herediter, maka diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan mudah. Akan tetapi, jika tidak ada kejelasan tetang riwayat penyakit keluarga, maka diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan terhadap morfologi sel darah merah dan uji osmotic-fragility. Hasil uji osmotic-fragility pada darah pasien sferosit herediter akan didapati penurunan daya tahan osmotik sel darah merah, karena sel darah sferosit mudah lisis walaupun sudah menggunakan larutan yang isotonis. Selain itu, diagnosis sferosit herediter dapat dicapai dengan membedakan sel sferosit yang juga ada pada anemia hemolitik autoimun melalui uji Coombs. Pada anemia hemolitik

autoimun, uji Coombs direk akan positif (abnormal), sedangkan pada sferosit herediter, hasilnya negatif (normal).

Gejala klinis mayor sferosis herediter adalah anemia, splenomegali, dan ikterus. Ikterus dapat terjadi secara berkala sehingga luput dari perhatian orang tua saat anak masih kecil. Akibat peningkatan produksi pigmen empedu karena destruksi eritrosit, sering terbentuk batu empedu berpigmen, bahkan pada masa kanak-kanak. 4-7 Hiperplasia sel eritroid sumsum tulang sebagai kompensasi destruksi sel eritrosit terjadi melalui perluasan sumsum merah ke bagian tengah tulang panjang. Tidak jarang terjadi eritropoiesis ekstra meduler di para vertebral, yang secara kebetulan terlihat pada foto toraks.

Kompensasi sumsum tulang tersebut terkadang mengalami gangguan akibat keadaan hipoplasia eritroid yang dipicu adanya infeksi terutama oleh Parvovirus. Splenomegali merupakan hal yang umum terjadi. Kecepatan hemolisis meningkat perlahan selama terjadinya infeksi sistemik, merangsang pembesaran limpa. 4-7

Pada pemeriksaan mikroskopik, didapatkan sel eritrosit yang kecil berbentuk bulat dengan bagian sentral yang pucat. Hitung MCV biasanya normal/sedikit menurun. MCHC meningkat sampai 350-400 g/dl. Untuk mengetahui secara kuantitatif sferodisitas dilakukan pengukuran fragilitas osmotik eritrosit dengan menggunakan cairan hipoosmotik. Anemia defisiensi besi Ketika supply besi untuk pembentukan sel darah merah di sumsum tulang berkurang, produksi sel darah merah tidak sempurna dan sel baru yang dilepaskan ke peredaran darah kurang terhemoglobinisasi. Walaupun besi tidak banyak dibuang, tetapi manusia memerlukan zat besi dari diet sekitar 1 - 4 mg per hari untuk menjaga keseimbangan normal zat besi. Zat besi dibawa oleh transferin di peredaran darah menuju sumsum tulang, zat besi digunakan untuk mensintesis heme atau disimpan dalam bentuk ferritin. Zat besi yang berasal dari dekstruksi sel darah merah dibawa kembali oleh transferin dari sistem RES dan limpa

menuju sumsum tulang, dari proses dekstruksi ini, kira - kira 25 - 30 mg dari zat besi diserap kembali. Laki - laki dewasa normal memiliki sekitar 4000 mg zat besi, termasuk 500 - 1000 mg cadangan besi di hepar dan sistem retikuloendotelial. Pada anemia defisiensi besi didapatkan : Tanda dan gejala serupa dengan anemia pada tahap ringan, seperti lelah, dan intoleransi pada waktu berolahraga+ Morfologi sel darah merah mikrositik hipokrom Pada pemeriksaan lab serum besi : o Serum iron level (SI), merupakan pemeriksaan untuk menilai jumlah besi yang terikat pada transferin. Nilai normal berkisar antara 50 - 150 g/dL. Pembuatan eritrosit dan hemoglobin pada sumsum tulang dipengaruhi oleh besi serum. o Total iron binding capacity (TIBC), mengukur jumlah besi yang dapat diikat oleh transferin. Nilai normal 300 - 360 g/dL. o Saturasi besi dalam transferin (SI / TIBC) pada keadaan zt besi normal berkisar antara 20 - 50% o Serum ferritin, nilai normal pada laki - laki dewasa 50 - 150 g/L. Pada anemia defisiensi besi, SI menurun dan TIBC meningkat. Ketikda saturasi besi transferin turun sampai di bawah 20%, eritroid sumsum tulang kesulitan mendapat besi untuk menyokong kebutuhan eritropoiesis. Cadangan besi sumsum tulang, menggunakan pewarnaan Prussian blue, dinilai dengan skala 0 - +4 Eritrosit Zinc Protoporfirin, digunakan untuk mendeteksi awal anemia defisiensi besi. Protoporfirin intrasel akan meningkat sebelum terjadi anemia. Proses ini terjadi akibat tidak seimbangnya supply besi dengan produksi protoporfirin oleh mitokondria. Nilai normalnya berkisar antara 30 g/dL. Pada defisiensi besi, nilainya dapat meningkat sampai 100 g/dL. Hasil juga dapat meningkat pada keracunan timah, dimana pembentukan heme terhambat.

10

Kadar ferritin

Saturasi transferin Kadar hemoglobin

1 2 3

Menurun Menurun Menurun

Normal Menurun Menurun

Normal Normal Menurun

Sickle Cell Anemia Sickle cell anemia terjadi karena terdapat pergantian asam amino valin dengan glutamate pada posisi 6 rantai globin beta. Pada penderita dengan homozigot, terjadi pada awal kehidupan dengan anemia hemolisis yang parah. Anak yang terkena pada awalnya mengeluh krisis nyeri rekuren yang terasa pada tulang dan sendi, yang tidak diasosiasikan dengan penyakit lain. Terdapat kegagalan organ karena vasooklusi pada sumsum tulang, limpa, ginjal, dan sistem saraf pusat.. infark limpa terjadi dalam decade pertama, kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan lama - kelamaan hilang, dan pasien dapat mengalami gross hematuri. Dapat juga ditemukan ulkus pada kaki pasien akibat terhalangnya peredaran darah. Anemia sel sabit adalah gangguan resesif autosomal yang disebabkan pewarisan dua salinan gen hemoglobin defektif, masing-masing satu dari orang tua. Hemoglobin yang cacat tersebut, yang disebut hemoglobin S (HbS), menjadi kaku dan membentuk konfigurasi seperti sabit jika terpajan oksigen berkadar rendah. Tekanan oksidatif juga memicu produksi hasil akhir glikasi yang masuk ke dalam sirkulasi, sehingga memperburuk proses patologi vaskular pada individu yang mengidap anemia sel sabit. Sel darah merah pada anemia sel sabit ini kehilangan kemampuan untuk bergerak dengan mudah melewati pembuluh yang sempit dan akibatnya terperangkap di dalam mikrosirkulasi. Hal ini menyebabkan penyumbatan aliran darah ke jaringan di bawahnya, akibatnya timbul nyeri karena iskemia jaringan. Meskipun bentuk sel sabit ini bersifat reversible atau dapat kembali ke bentuk semula jika saturasi hemoglobin kembali normal, sel sabit sangat rapuh dan banyak yang sudah hancur di dalam pembuluh yang sangat kecil, sehingga menyebabkan anemia. Sel-sel yang telah hancur disaring dan dipindahkan dari sirkulasi ke dalam limpa; kondisi ini mengakibatkan limpa bekerja lebih berat. Jaringan parut dan kadang-kadang infark (sel yang sudah mati) dari berbagai organ,
11

terutama limpa dan tulang, dapat terjadi. Disfungsi multiorgan sering terjadi setelah beberapa tahun. Kondisi-kondisi yang dapat menstimulasi sel sabit antara lain hipoksia, ansietas, demam, dan terpajan dingin. Karena limpa merupakan organ imun yang penting, infeksi, terutama yang disebabkan bakteri, umumnya dan sering menstimulasi krisis sel sabit.

Morfologi sel darah merah

Normositik

normokromik,

sampai

sedikit

mikrositik, bentuk sell abnormal (sickle sell, target sell, dll) Polikromasia Sel darah merah dengan inti Indeks retikulosit Rasio E/G sumsum tulang Bilirubin / LDH Besi serum (SI)/ TIBC Serum ferritin Profil eritropoietik hemoglobinopati Pemeriksaan elektrofiresis hemoglobin juga dilakukan untuk membantu diagnosis. Hipersplenisme Hipersplenisme adalah suatu keadaan di mana : a. Anemia, leucopenia, trombositopenia, atau kombinasinya b. Normal atau hiperseluler sumsum tulnang c. Pembesaran limpa d. Klinis membaik bila dilakukan splenektomi Hipersplenisme dapat terjadi primer atau sekunder. Primer tidak diketahui penyebabnya, sedangkan sekunder dapat disebabkan penyakit infeksi atau parasit, leukemia, limfosarkoma, bendungan splenomegali, dan hyperplasia splenomegali. Ada Ada, setelah infark limpa >3-5 >1:1 Meningkat Normal - meningkat > 100 g/dL

12

Gejala klinis yang sering dijumpai adalah rasa sakit di perut karena pembesaran limpa dan peregangan kapsul limpa, infark ataupun inflamasi dari kapsul limpa. Gejala klinis lainnya tergantung dari penyakit yang mendasarinya.

Manifestasi Klinis Terdapat sangat sedikit tanda dan gejala yang khas pada anemia hemolitik. Pada akut intravascular hemolisis dapat diasosiasikan dengan demam, menggigil, dan nyeri punggung bawah. Takikardi, dispnea, berat. Fungsi angina, dan kelemahan terjadi terhadap anoxia. pada pasien dengan anemia

jantung peka

Hemolisis persistent dapat dengan

mengakibatkan pembentukan batu

empedu bilirubin. Pasien-pasien mungkin datang

nyeri perut. Urin gelap dapat disebabkan oleh hemoglobinuria. Pasien mungkin melaporkan penggunaan terakhir obat yang kina, quinidine,dan L-dopa. 4,5 dapat menyebabkan hemolisis imun, ini termasuk penisilin,

Etiologi Intravaskular hemolisis akut : 4 Transfusi darah o ABO mismatched transfusion o Darah terinfeksi Terbakar Gigitan ular Infeksi parasit/ bakteri o Sepsis Clostridial o Malaria o Bartonellosis o Mycoplasma pneumonia
13

Mechanical heart valve Paroxysmal hemoglobinuria

Ekstravaskular hemolisis : 4 Infeksi bakteri dan virus o Malaria o Mycoplasma pneumonia o Mononucleosis Hemolisis karena obat o Defisiensi G6PD o Reaksi autoimun akibat obat - obatan o Bahan kimia Autoimun hemolisis (AIHA) o Tipe hangat (IgG) o Tipe dingin (IgM) Hemoglobinopati Defek membran structural o Sferositosis herediter Kelainan lingkup ruang o Keganasan/DIC o Eklampsia atau preeklampsia

Epidemiologi 7 Anemia hemolitik mewakili sekitar 5% dari semua anemia.. AIHA relatif jarang terjadi, dengan kejadian kasus 1-3 per 100.000 penduduk per tahun. Anemia hemolitik tidak spesifik untuk setiap suku bangsa. Namun, gangguan sel sabit yang ditemukan terutama di Afrika, Afrika Amerika, beberapa orang Arab, dan Aborigin di India selatan. Sebagian besar kasus anemia hemolitik tidak spesifik seks.Namun, AIHA sedikit lebih mungkin terjadi pada wanita dibandingkan pada pria. Defisiensi G-6-PD adalah gangguan
14

resesif terkait-X. Oleh karena itu, laki-laki biasanya terpengaruh,dan perempuan adalah karier. Meskipun anemia hemolitik dapat terjadi pada segala usia,

gangguan herediter biasanya jelas terlihat sejak awal kehidupan.AIHA lebih cenderung terjadi pada individu setengah baya dan lebih tua.

Patofisiologi 2 - 6 Penggantian sel darah merah normal Sel darah normal sangat lentur dan kuat, dan dapat bertahan 100 - 120 hari di sirkulasi. Kemampuannya dalam bertahan bergantung pada kekuatan membran dan jalur metabolik yang menyuplai fosfat energi tinggi untuk menjaga membran dan hemoglobin dalam keadaan yang optimal. Saat sel darah merah bertambah tua, kemampuan jalur metabolik menurun, hemoglobin teroksidasi bertambah banyak, dan fosfolipid yang teroksidasi timbul dalam permukaan sel. Seiring dengan kehilangan fleksibilitas, sel kehilangan kemampuan untuk bergerak dalam mikrovaskular dan menginisiasikan proses penghancuran oleh sistem monosit-makrofag melalui reseptor CD 36. Peran limpa Limpa memiliki pran penting dalam dekstruksi sel darah merah. Struktur limpa merupakan tempat untuk menguji coba fleksibilitas dan kelangsungan hidup sel darah merah. Darah masuk melalui arteriol terminal melalui rongga - rongga sinusoid, di mana volume plasma berkurang dan sel terpapar dalam keadaan lingkungan yang sedikit hipoksia. Sel - sel yang tidak dapat melewati sinusoid akan terfagositosis dan dihancurkan oleh sel retikuloendotelial. Morfologi sel darah merah yang serupa bergantung pada fungsi limpa melalui mekanisme trapping-filterin. Sel - sel retikuloendotelial pada limpa juga memiliki reseptor untuk fragmen Fc dari immunoglobulin dan komponen C3 komplemen. Pada pasien anemia hemolitik autoimun, limpa merupakan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis dan morfologi sel darah merah abnormal

15

Laju hemolisis yang tinggi dapat mengganggu proses pengambila besi dari sel darah merah yang terdekstruksi. Terdapat batasan pada fungsi RES dalam mendekstrusi sel darah merah. Kerika batas ini terlewati, sel darah merah dengan morfologi yang berbeda muncul di sirkulasi. Haptoglobin dan Hemopexin Haptoglobin dan hemopexin berfungsi untuk mengikat hemoglobin bebas yang terdapat di dalam peredaran darah. Ketika haptoglobin dan hemopexin terikat dengan hemoglobin, kompleks ini dibersihkan oleh hepatosit. Jumlah hemoblogin yang dapat diikat tergantung dari banyaknya produksi haptoglobind an hemopexin. Ketika dekstruksi sel darah merah berlebihan, dan terdapat hemoglobin bebas dalam peredaran darah, haptoglobin bebas dalam darah akan sangat berkurang. Ketika hal ini terjadi, hemoglobin bebas akan terdeteksi dalam serum dan urin pasien.

Anemia hemolitik autoimun Perusakan sel - sel eritrosit yang diperantarai antibodi terjadi melalui aktivasi sistem komplemen, aktivasi mekanisme seluler, atau keduanya 1. Aktifasi sistem komplemen Menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler, yang ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuri. Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai agglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut agglutinin hangat karena beraksi pada suhu tubuh. a. Aktifasi komplemen jalur klasik Reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang dikenal sebagai recognition unit. C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktifserta mampu mengkatalisis reaksi - reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1
16

akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b (C3-convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d, C3g, dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5 convertase) C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul C5b, C6, C7, C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur. b. Aktifasi komplemen jalur alternative Aktifator jalur alternative akan mengaktifkan C3, dan C4b yang terjadi akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian melekat pada C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Va dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada C3b. ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran. 2. Aktivasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel - sel retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.

17

Anemia hemolitik et causa medikamentosa Ada beberapa mekanisme yang menAyebabkan hemolisis karena obat yaitu : hapten/penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan kompleks ternary, induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerapan/absorbsi protein nonimunologis terkait obat akan

menyebabkan tes Coomb positif tanpa kerusakan eritrosit. Pada mekanisme hapten/absorbsi obat, obat akan melapisi eritrosit dengan kuat. Antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat di permukaan eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yang sama (misal : penisilin). Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit obat, tempat ikatan obat permukaan sel target, antibodi, atau aktivasi komplemen. Antibodi melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun membran eritrosit. Beberapa antibodi tersebut memiliki spesifitas pada antigen golongan darah tertentu seperti Rh, Kell, Kidd, atau I/i. Pemeriksaan Coomb biasanya positif. Setelah aktivasi komplemen terjadi hemolisis intravaskuler, hemoglobinemia, dan hemoglobinuria. Mekanisme ini biasanya terjadi pada hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamide, sulfonylurea, dan thiazide. Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog, seperti methyldopa. Methyldopa yang bersirkulasi dalam plasma akan menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh pada permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah merah adalah autoantibodi, obat tidak melekat. Mekanisme bagaimana induksi formasi autoantibodi tidak diketahui. Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena hemoglobin mengikat oksigen, maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidatif. Eritrosit makin tua makin mudah mengalami trauma oksidatif. Tanda hemolisis karena proses oksidasi adalah dengan ditemukannya methemoglobin, sulfhemoglobin, Heinz body, blister cells, bite cells, dan eccentrocytes. Contoh obat yang menyebabkan hemolisis oksidatif adalah nitrofurantoin, phenazopyridin, dan aminosalicylic acid.

18

Anemia defisiensi G6PD Mutasi pada gen pengkode G6PD yang menyebabkan tidak terbentuknya enzim G6PD. Enzim ini mengatalisis langkah awal dalam oksidasi glukosa melalu jalan heksosa monofosfat. Jalan ini menghasilkan NADPH, yang agaknya diperlukan untuk memelihara fragilitas sel darah merah normal. Dengan demikian, defisiensi G6PD dapat menyebabkan sel darah merah menjadi lebih rentan untuk mengalami hemolisis. Hemolisis pada orang dengan defisiensi G6PD dapat dipicu oleh tiga faktor yaitu infeksi, stress, dan obat. Obat-obatan yang sering menyebabkan hemolisis pada defisiensi G6PD adalah primakuin, dapson, sulfametoksazol, kotrimoksazol, asam nalidiksat, nitrofurantoin, niridazol, fenazopiridin, dan asam asetilsalisilat.

Anemia sel sabit Anemia sel sabit muncul karena HbS yang merupakan hemoglobin abnormal tidak dapat melakukan tugasnya mengikat oksigen maupun karbondioksida dengan baik. Hemoglobin yang abnormal juga menyebabkan eritrosit menjadi rapuh terhadap kekurangan oksigen. normalnya, jika eritrosit tidak mengandung oksigen, bentuknya akan tetap bertahan sampai mencapai paruparu untuk menukar karbondioksidanya dengan oksigen yang baru. Namun berbeda dengan eritrosit yang mengandung HbS, eritrosit ini begitu tidak mengikat oksigen, maka tidak bisa mempertahankan bentuk normalnya dan menjadi berbentuk sel sabit. Pada saat eritrosit dengan HbS mengalami proses pelepasan oksigen, sickling proses terjadi. HbS menyebabkan tiga kondisi yaitu penurunan kelarutan (solubility), peningkatan viskositas, dan pembentukan polimer sampai konsentrasi diatas 30g/dL. Ketiga kondisi tersebut membentuk substansi menyerupai gel (disebut tactoids) yang mengisi eritrosit. Peningkatan substansi berbentuk gel dalam eritrosit akibat HbS dipengaruhi oleh kadar oksigen, konsentrasi HbS sendiri, dan keberadaan hemoglobin tipe lain. Semakin tinggi kadar HbS dalam eritrosit dan semakin rendah kadar oksigen, semakin tinggi pula bentuk gel dalam eritrosit. Isi eritrosit yang menyerupai gel itulah yang menyebabkan bentuk eritrosit seperti sel sabit. Apabila proses sickling terjadi berulang kali, maka kerusakan membran terjadi dan eritrosit tidak dapat mencapai bentuk bikonkaf meskipun sudah diberi oksigen lagi. 5-50% dari total jumlah sel darah merah dapat mengalami kondisi tersebut, berada dalam bentuk sel sabit.

19

Manifestasi klinis dari pasien dengan eritrosit sel sabit dapat muncul pada tulang, ginjal, limpa, dan berupa anemia hemolitik. Manifestasi klinis tersebut terjadi karena bentuk eritrosit yang menyerupai sel sabit memiliki daya larut yang rendah (bisa mengendap) sehingga dapat menyebabkan sumbatan-sumbatan pada pembuluh darah. Sumbatan yang terbentuk

menyebabkan terjadinya hipoksia berulang pada banyak organ dan menghasilkan kerusakan. Penumpukan sel sabit yang tiba-tiba pada limpa juga menyebabkan splenomegali mendadak yang memberikan rasa nyeri. Hipoksia menyebabkan penurunan nitrit oksida (NO) yang mengakibatkan eritrosit berbentuk sabit mudah menempel pada endotel dan makrofag. Penempelan tersebut menyebabkan teraktivasinya proses perusakan eritrosit, mengarah pada peningkatan hemolisis sel darah merah. Hemolisis sel darah menghasilkan hemoglobin bebas yang merupakan penghambat NO, sementara NO sendiri merupakan vasodilator. Oleh sebab itu, jika terjadi hipoksia, maka terjadi vasokonstriksi yang dapat memperburuk hipoksia dan menyebabkan nekrosis jaringan.

Sferositosis herediter Defisiensi sejumlah protein pada membran sel menyebabkan defek vertikal, hilangnya lemak membran, dan luas permukaan secara progresif diikuti pembentukan mikrosferosit. Akibat kelainan tersebut terjadi peningkatan fragilitas osmotik eritrosit menyebabkan bentuk sferosit dan eritrosit yang rapuh. Limpa yang berfungsi untuk menyisihkan eritrosit yang rapuh bekerja berat karena banyak eritrosit yang terjebak di limpa, menyebabkan splenomegali.

Tatalaksana 2 - 6 AIHA tipe hangat 1. Kortikosteroid : 1-1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan menunjukkan respon klinis baik (Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes coombs direk positif lemah, tes coomb indirek negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respon terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis < 30mg/hari dapat diberikan secara
20

selang sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah, namun bila dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain. 2. Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%, namun tidak bersifat permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah splenektomi. 3. Imunosupresi. Azathioprin 50-200 mg/hari (80 mg/m2), siklofosfamid 50-150 mg/hari (60 mg/m2) 4. Terapi lain: Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol diturunkan menjadi 200-400 mg.hari. Kombinasi Danazol dan prednison memberikan hasil yang bagus sebagai terapi inisial dan memberikan respon pada 80% kasus. Efek danazol berkurang bila diberikan pada kasus relaps atau Evans Syndrome Terapi immunoglobulin intravena (400 mg/kgBB per hari selama 5 hari) menunjukkan perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada beberapa pasien lain. Jadi terapi ini diberikan bersama terapi lain dan responnya bersifat sementara. Mycophenolate mofetil 500 mg perhari sampai 1000 mg per hari dilaporkan memberikan hasil yang bagus pada AIHA refrakter. Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan respon yang cukup menggembirakan sebagai salvage therapy. Dosis Rituximab 100 mg per minggu selama 4 minggu tanpa memperhitungkan luas permukaan tubuh. Terapi plasmafaresis masih kontroversial.

5. Terapi transfusi: terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb 3 g/dl) transfusi dapat diberikan, sambil menunggu steroid dan immunoglobulin untuk berefek.
21

AIHA tipe dingin 1. Menghindarai udara dingin yang dapat memicu hemolisis 2. Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu 3. Chlorambucil 2-4 mg/hari

Anemia hemolitik et causa medikamentosa Secara non-medikamentosa dengan menghantikan obat yang menjadi pemicu dan transfusi darah jika perlu, hemolisis dapat dikurangi. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan secara medikamentosa adalah pemberian kortikosteroid jika kondisi benar-benar berat.

Anemia defisiensi G6PD Pada pasien dengan defisiensi G6PD, hemolisis yang terjadi self-limited sehingga tidak memerlukan terapi khusus kecuali jika ada infeksi yang mendasari dan menghindari obat-obatan yang dapat mempresipitasi hemolisis. Tindakan nonmedikamentosa yang dapat dilakukan adalah mempertahankan aliran ginjal yang adekuat karena adanya hemoglobinuria saat hemolisis akut. Pada hemolisis yang berat, dapat diberikan transfusi darah.

Anemia sel sabit Nonmedikamentosa : penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk kondisi nyeri akibat manifestasi dari anemia sel sabit adalah resusitasi cairan yang memadai. Jika nyeri terjadi di bagian dada, maka resusitasi cairan yang terpantau ketat (menghindari edema pulmoner) dapat ditambah dengan pemberian oksigen dengan agresif untuk menjaga kadar oksigen dalam pembuluh darah. Splenektomi dan transplantasi sumsum tulang dapat dilakukan. Transfusi darah dilakukan untuk menjaga agar hematokrit tetap terjaga pada level >30. Medikamentosa : pemberian hidroksiurea 10-30 mg/kg/hari dapat diberikan untuk meningkatkan kadar fetal hemoglobin dan menjaga kondisi eritrosit. Hidroksiurea hanya diberikan pada pasien dengan kondisi yang parah. Untuk meningkatkan efektivitasnya, pemberian imunosupresan juga dianjurkan.

22

Sferosit herediter Belum ditemukan penatalaksanaan yang dapat memperbaiki defek pada membran sel darah merah. Akan tetapi, telah lama disadari bahwa limpa memegang peranan penting dalam proses hemolitik pada sferosit herediter. Pada pasien dengan sferosit herediter, limpa dapat menjadi satu-satunya tempat destruksi sel darah merah ataupun sebagai lokasi yang dilewati sel darah merah yang sudah rapuh sehingga menyebabkan sel darah yang rapuh itu semakin mudah lisis (meskipun destruksi tidak langsung terjadi di limpa). Oleh sebab alasan tersebutlah splenectomy menjadi lini pertama dalam penatalaksanaan sferosit herediter. Namun, splenectomi tidak boleh dilaksanakan pada kasus sferosit herediter yang ringan, pasien yang belum menjalani vaksinasi antipneumococcal, dan pada pasien dibawah 4 tahun (karena belum melewati masa puncak tertinggi resiko sepsis pasca operasi).

Prognosis Prognosis untuk pasien dengan anemia hemolitik tergantung pada penyebab yang

mendasarinya. Secara keseluruhan, tingkat kematian rendah. Namun, risikonya lebih besar pada pasien yang lebih tua dan pasien dengan gangguan kardiovaskular. Morbiditas tergantung pada etiologi dari hemolisis dan gangguan
7

yang

mendasarinya seperti anemia sel sabit atau malaria. Anemia hemolitik autoimun

Setelah kondisi autoimun teraktivasi, perjalanan penyakit akan menjadi kronis. Tetapi prognosis masih baik dengan persentasi survival yang tinggi (70%). 4,5

Anemia hemolitik et causa medikamentosa Prognosis baik.

Anemia defisiensi G6PD Prognosis baik.

23

Anemia sel sabit Anemia sel sabit yang ringan memiliki prognosis yang baik. Akan tetapi ada tiga kondisi yang dapat menunjukkan prognosis yang buruk yaitu dactylitis (hand-foot syndrome) yang muncul pada anak-anak dibawah satu tahun, Hb dibawah 7g/dL, dan tidak ditemukannya leukosit saat terjadi infeksi. Disebutkan juga semakin muda gejala klinis termanifestasi, semakin buruk prognosisnya. 5 Sferosit herediter Prognosis membaik setelah dilakukannya splenektomi.

Komplikasi 2 - 6 Anemia hemolitik autoimun , anemia hemolitik et causa medikamentosa, anemia defisiensi G6PD Komplikasi yang mungkin adalah gagal ginjal kronis, splenomegali, sepsis, disfungsi hepar, dan keracunan preparat besi.

Anemia sel sabit Komplikasi berupa infeksi oleh bakteri Streptococcus pneumoniae biasa terjadi setelah splenektomi atau jika pasien memiliki limpa yang fibrotik. Jika kondisi vaso-oklusi tidak tertangani, maka dapat terjadi nekrosis pada jaringan yang vaskularisasinya terhambat. Stroke pada usia muda juga sering terjadi pada anemia sel sabit yang tidak terdeteksi dini. Gagal ginjal kronis juga sering dialami oleh pasien dengan anemia sel sabit. Proliverative sickle retinopathy juga dapat terjadi, oleh sebab itu diperlukan pemeriksaan mata berkala (3-6 bulan).

Sferosit herediter Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien dengan sferosit herediter biasanya terjadi akibat kesalahan diagnosis yang menyebabkan pemberian preparat besi berlebihan sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada hepar. Diagnosis yang tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi.

24

Pencegahan Anemia hemolitik autoimun Tidak ada pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah kondisi autoimun. Namun jika pasien telah terdeteksi memiliki tipe dingin, udara dingin.

Anemia hemolitik et causa medikamentosa Menghindari penggunaan obat-obatan yang berpotensi tinggi menyebabkan hemolisis.

Anemia defisiensi G6PD dan Sferosit herediter Mencegah faktor pencetus hemolisis seperti stress, obat-obatan, dan infeksi. Skrining tes perlu dilakukan untuk deteksi dini sehingga pasien dapat menjaga makanan, obat-obatan, dan pola hidupnya.

Anemia sel sabit Pemeriksaan genotip sebelum pernikahan dapat menjadi pencegahan yang mungkin dilakukan.

25

Daftar Pustaka

1. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan.edisi 8. Jakarta:EGC;2009. Hal. 166-290. 2. Sudoyo AW. Setiyohadi B. Alwi I. Simadibrata MK. Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi ke-5. Jakarta : Balai penerbit FKUI;2009.p.1152 - 65. 3. Fauci AS, et al. Harrisons principles of internal medicine.Edisi 18. USA: McGraw-Hill Companies; 2011. Hal. 872-86. 4. Hillman R, Ault K, Rinder H. Hematology in clinical practice. Edisi 4. USA: McGraw-Hill Companies; 2002. Hal. 12 - 27, 134 - 52. 5. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi edisi 6 buku 2. Jakarta : EGC; 2005.p. 445-508.
6. Linker C. Blood disorders. Lange Current Medical Diagnosis and Treatment. Mcgraw-Hill 2010;13:439-55. 7. Schick P. Hemolytic anemia. 2011. Available from URL :

http://emedicine.medscape.com/article/201066-overview

26

Anda mungkin juga menyukai