oleh
Aldila Kurnia Putri, S.Kep
NIM 112311101006
1. Kasus
Anemia Hemolitik
c. Penyebab
Ada dua faktor utama dan mendasar yang memegang peranan penting untuk
terjadinya anemia hemolitik yaitu:
1. Faktor Intrinsik (Intra Korpuskuler)
Biasanya merupakan kelainan bawaan, diantaranya yaitu:
a) Kelainan membran
b) Kelainan molekul hemoglobin
c) Kelainan salah satu enzim yang berperan dalam metabolisme sel eritrosit.
2. Kelainan Faktor Ekstrinsik (Ekstra Korpuskuler)
Biasanya merupakan kelainan yang didapat (acquired) dan selalu disebabkan oleh
faktor imun dan non imun. Bila eritrosit normal ditransfusikan pada pasien ini,
maka penghancuran sel eritrosit tersebut menjadi lebih cepat, sebaliknya bila
eritrosit pasien dengan kelainan ekstra korpuskuler ditransfusikan pada orang
normal maka sel eritrosit akan normal.
Umur sel eritrosit yang memendek tidak selalu dikaitkan dengan anemia
hemolitik, ada beberapa penyakit yang menyebabkan anemia dengan umur eritrosit
yang pendek namun tidak digolongkan kedalam anemia hemolitik, diantaranya
yaitu leukemia, limfoma malignum, gagal ginjal kronik, penyakit liver kronik,
rheumatoid arthritis, anemia megaloblastik (Sulistyo, 2008).
d. Patofisiologi
Pada anemia hemolitik terjadi peningkatan hasil pemecahan eritrosit dalam
tubuh (hemolisis). Berdasarkan tempatnya dibagi menjadi 2, yaitu:
f. Penatalaksanaan
Terapi yang diberikan pada pasien dengan anemia hemolitik adalah:
1) Suportif dan simtomatik (sesuai kausa atau penyebab dasar)
Tujuan pengobatan anemia hemolitik meliputi:
a) Menurunkan atau menghentikan penghancuran sel darah merah.
b) Meningkatkan jumlah sel darah merah
c) Mengobati penyebab yang mendasari penyakit.
Pada hemolisis akut dimana terjadi syok dan gagal ginjal akut, maka untuk
mengatasi hal tersebut harus mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,
serta memperbaiki fungsi ginjal. Jika terjadi syok berat maka tidak ada pilihan
selain transfusi.
Indikasi transfusi darah untuk :
Perdarahan akut dan masif (yang mengancam jiwa penderita) atau tidak ada
respon sebelumnya dengan pemberian cairan koloid/kristaloid.
Penyebab anemia kongenital yang memerlukan transfusi darah secara periodik.
Setiap anemia dengan tanda-tanda anoksia akut dan berat yang mengancam
jiwa penderita.
Perhitungan dosis darah untuk transfusi didasarkan atas perhitungan sebagai
berikut:
Pada seorang normal dengan volume eritrosit 30 cc/kg bb konsentrasi Hb ialah
15 gr/dl. Jadi 2 cc eritrosit per kg bb setara dengan Hb 1 gr/dl. PRC
mengandung 60-70% eritrosit sehingga untuk menaikkan Hb 1 gr/dl diperlukan
3 cc/kg bb.
Terapi suportif-simtomatik untuk anemia hemolitik diberikan untuk
menekan proses hemolisis, terutama di limpa (lien). Obat golongan kortikosteroid
seperti prednison dapat menekan sistem imun untuk membentuk antibodi terhadap
sel darah merah. Jika tidak berespon terhadap kortikosteroid, maka dapat diganti
dengan obat lain yang dapat menekan sistem imun misalnya rituximab dan
siklosporin. Pada anemia hemolitik kronik dianjurkan pemberian asam folat 0,15-
0,3 mg/hari untuk mencegah krisis megaloblastik.
Pada thalasemia diberikan desferoxamine setelah kadar feritin serum sudah
mencapai 1000 mg/l secara subkutan dalam waktu 8-12 jam dalam dosis 25-50
mg/kgBB/hari minimal selama 5 hari setiap selesai transfusi.
Terapi suportif pada malaria yaitu menjamin intake cairan dan elektrolit
sesuai kebutuhan per hari, transfusi PRC bila kadar Hb < 6 gr/dl, bila terjadi
renjatan ditangani sesuai protokol renjatan, bila terjadi kejang ditangani sesuai
protokol kejang pada anak. Dapat diberikan klorokuin bentuk tablet difosfat dan
sulfat, kina dalam bentuk tablet berlapis gula berisi 250 mg kina sulfat.
2) Operatif
Pada beberapa tipe anemia hemolitik seperti talasemia, sumsum tulang tidak
dapat membentuk sel darah merah yang sehat. Sel darah merah yang terbentuk
dapat dihancurkan sebelum waktunya. Sehingga transplantasi darah dan sumsum
tulang mungkin dapat dipertimbangkan untuk mengobati jenis anemia hemolitik
ini, transplantasi ini mengganti stem sel yang rusak dengan stem sel yang sehat
dari pendonor (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).
g. Komplikasi dan Prognosis
Anemia hemolitik dapat menimbulkan komplikasi yang berat berupa gagal
ginjal akut (GGA). Pada malaria yang berat dapat menimbulkan komplikasi seperti:
hiperpireksia, kolaps sirkulasi (renjatan), hemoglobinuria (black water fever),
hipogikemi (gula darah < 40 mg/dl).
Prognosis pada anemia hemolitik tergantung pada etiologi dan deteksi dini.
Prognosis jangka panjang pada pasien dengan penyakit ini baik. Splenektomi dapat
mengontrol penyakit ini atau paling tidak memperbaikinya. Pada anemia hemolitik
autoimun, hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan dan sebagian besar
memiliki perjalanan penyakit yang kronik. Sebagai contoh penderita dengan
hemolisis autoimun akut biasanya datang dengan keadaan yang buruk dan dapat
meninggal akibat hemolisis berlebihan (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia, 2007).
h. Pemeriksaan Penunjang
Kelainan laboratorium yang selalu dijumpai sebagai akibat meningkatnya
proses eritropoesis dalam sumsum tulang diantaranya yaitu:
1) Pada darah tepi bisa dijumpai adanya:
Retikulositosis (polikromatopilik, stipling)
Sel retikulosit merupakan sel eritrosit yang masih mengandung ribosom,
pemeriksaannya dilakukan dengan menggunakan pengecatan Brelian Cresiel
Blue (BCB), nilai normal berkisar antara 0,8–2,5 % pada pria dan 0,8–4,1 %
pada wanita, jumlah retikulosit ini harus dikoreksi dengan rasio
hemoglobin/hematokrit (Hb/0.45) sedang jumlah retikulosit absolut dapat
dihitung dengan mengkalikan jumlah retikulosit dengan jumlah eritrosit.
Perlu juga dihitung Retikulosit Production Index ( RPI ) yaitu:
Makrositosis
Sel eritrosit dengan ukuran lebih besar dari normal, yaitu dengan nilai Mean
Corpuscular Volume (MCV) > 96 fl.
Eritroblastosis
Leukositosis dan trombositosis
2) Pada sumsum tulang dijumpai adanya eritroid hiperplasia
3) Ferrokinetik:
Meningkatnya Plasma Iron Turnover ( PIT )
Meningkatnya Eritrosit Iron Turnover ( EIT )
4) Biokimiawi darah:
Meningkatnya kreatin eritrosit
Meningkatnya aktivitas dari enzim eritrosit tertentu diantaranya yaitu:
urophorphyrin syntese,hexokinase, SGOT.
Pemeriksaan laboratorium lainyang dapat dilakukan untuk membuat
diagnosa bandingadalah:
1) Kelainan bentuk sel eritrosit pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi yang sering
dilihat adalah bentuk:
Sel Spherosit: biasanya pada hereditary spherositosis immunohemolitik anemia
didapat, thermalinjury, hypophosphatemia, keracunan zat kimia tertentu.
Sel Akantosit, kelainan pada komposisi zat lemak sel eritrosit yaitu pada
abetalipoproteinemia.
Sel Spur biasanya ditemukan pada keadaan sirosis hati.
Sel Stomatosit, ada hubungannya dengan kation eritrosit jarang pada keadaan
penyakit hemolitik yang diturunkan biasa terjadi pada keracunan alcohol.
Sel Target, spesifik untuk: penyakit thalassemia, LCAT defisiensi dan post-
splenektomi.
Elliptocyte bentuk eritrositnya oval.
Sickle Cell.
Schistocyte, Helmet Bel dan fragmentosit sel, biasanya ada hubungannya
dengan trauma pada sel eritrosit.
2) Eritrophagositosis, merupakan kelainan yang jarang yaitu adanya fagositik sel
yang mengandung eritrosit hal ini memberi kesan adanya kerusakan pada
permukaan sel eritrosit terutama oleh adanya induced komplement fixing antibody,
protozoa, infeksi bakteri dan keracunan zat kimia tertentu.
3) Autoaglutinasi, hal ini merupakan karakteristik utama dari adanya penyakit cold
aglutinin immunohemolitik, autoaglunatinasi harus dibedakan dengan rouleaux
formation yang sering kita jumpai pada multiple mieloma dan hal ini sering diikuti
dengan peningkatan laju endap darah (LED).
4)Osmotic Fragility Test yaitu mengukur ketahanan sel eritrosit untuk menjadi lisis
oleh proses osmotik dengan menggunakan larutan saline hipotonik dengan
konsentrasi berbeda-beda. Pada keadaan normal lisis mulai terjadi pada
konsentrasi saline 0745-0,50 gr/l dan lisis sempurna terjadi pada konsentrasi 0730-
0,33 gr/l. Median Corpuscular Fragility (MCF) yang meninggi akan menyebabkan
terjadinya pergeseran kurva ke kiri hal ini ada hubungannya dengan spherositosis,
sebaliknya nilai MCF yang menurun (fragilitas menurun atau osmotik resisten
yang meningkat) maka kurva akan bergeser ke kanan, hal ini sering kita temui
pada thalassemia, sickle cell anemia, leptositosis, sel target, dengan kata lain
osmotik fragiliti sitosis penting dalam menentukan adanya kelainan morfologi
eritrosit (Smeltzer, 2001).
i. Pencegahan
Menurut Tarwoto, dkk (2010), upaya-upaya untuk mencegah anemia
secara umum antara lain sebagai berikut:
1) Makan makanan yang mengandung zat besi dari bahan hewani (daging,
ikan, ayam, hati, dan telur); dan dari bahan nabati (sayuran yang berwarna
hijau tua, kacang-kacangan, dan tempe).
2) Banyak makan makanan sumber vitamin c yang bermanfaat untuk meningkatkan
penyerapan zat besi, misalnya: jambu, jeruk, tomat, dan nanas.
3) Minum 1 tablet penambah darah setiap hari, khususnya saat mengalami
haid.
4) Bila merasakan adanya tanda dan gejala anemia, segera konsultasikan ke
dokter untuk dicari penyebabnya dan diberikan pengobatan.
Faktor Interinsik
3. a. Pohon Masalah Kelainan Membran Faktor Eksterinsik
Kelainan HB Imun
Kelaian Enzim Non imun
G6PD
Distensi
Sel-sel berisi molekul Hb
Sesak, kelemahan
yang tidak sempurna
fisik
Intoleransi aktifitas
Cacat kaku
Ketidakmampuan
Tirah baring lama mengunyah makanan
Kurang pengetahuan Sel-sel macet di pembuluh darah
4) Diagnosis Keperawatan
a. Gangguanperfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan sirkulasi
darah ke daerah perifer
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan mencerna makanan
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan dinding
perut karena pembesaran limpa
d. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi terkait proses
penyakit (NANDA, 2011).
4.Rencana Tindakan Keperawatan
Betz, Cecily L. dan Sowden, Linda A. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik
(Mosby’s Pediatric Nursing Reference). Jakarta: EGC.
NANDA. 2011. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbitan IPD FKUI Pusat.
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC.
Smeltzer, C. Suzanne. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and
Suddarth. Jakarta. EGC.
Sulistyo A. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
Tarwoto, dkk. 2010. Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya. Jakarta: Salemba
Medika.
Wilkinson, Judith M. 2006.Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi
NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.