Anda di halaman 1dari 5

Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik adalah kurangnya kadar hemoglobin akibat kerusakan pada


eritrosit yang lebih cepat daripada kemampuan sumsum tulang untuk
menggantinya kembali.

Epidemiologi

Prevalensi dan angka kejadian anemia hemolitik antara laki-laki


dan perempuan memiliki jumlah yang sama. Angka kejadian tahunan anemia hem
olitikautoimun dilaporkan mencapai 1/100.000 orang pada populasi secara umum.
 
Sferositosis herediter (SH) merupakan anemia hemolitik yang paling sering
dijumpai,angka kejadiannya mencapai 1/5000 orang di negara Eropa, di Indonesia
belumdiketahui dengan pasti. Hingga saat ini belum tersedia data epidemiologi
SH diIndonesia. Rekam medis Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSCM belummencatat pasien dengan diagnosis SH. Lembaga Biologi Molekular
Eijkmanmenemukan 12 pasien yang terbukti SH sejak tahun 2002 sampai 2008.

Eliptositosis paling sering pada orang Afrika dan Amerika. Di Amerika,


prevalensi eliptositosis kira-kira 3-5/10.000 kasus dan di Afrika eliptositosis
terjadi sekitar 20,6% dari populasi. Bentuk lain penyakit ini juga terjadi di Asia
Tenggara, ditemukan sekitar 30% dari populasi yang diturunkan secara
dominanautosomal.
 
Defisiensi G6PD menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan
anemiahemolitik akut di kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia insidennya
diperkirakan 1-14%, prevalensi defisiensi G6PD di Jawa Tengah sebesar 15%, di
Indonesia bagianTimur disebutkan bahwa insiden defisiensi G6PD adalah 1,6 -
6,7% .

Etiologi

Berdasarkan etiologinya, anemia hemolitik ini terbagi menjadi dua klasifikasi:

1. Intrakorpuskular: hemolitik akibat faktor-faktor yang ada pada eritrosit itu


sendiri, misalnya karena faktor herediter, gangguan metabolismenya,
gangguan pembentukan hemoglobinnya, dll.
2. Ekstrakorpuskular: hemolitik akibat faktor-faktor dari luar yang biasanya
didapat, misalnya karena autoimun, pengaruh obat, infeksi, dsb.
Patofisiologi

Pada proses hemolisis akan terjadi dua hal berikut:

1. Turunnya kadar Hemoglobin. Jika hemolisisnya ringan atau sedang,


sumsum tulang masih bisa mengkompensasinya sehingga tidak terjadi
anemia. Keadaan ini disebut dengan hemolitik terkompensasi. Tapi jika
derajat hemolisisnya berat, sumsum tulang tidak mampu
mengompensasinya, sehingga terjadi anemia hemolitik.
2. Meningkatnya pemecahan eritrosit. Untuk hal ini ada tiga mekanisme:
o Hemolitik ekstravaskuler. Terjadi di dalam sel makrofag dari
sistem retikuloendotelial, terutama di lien, hepar dan sumsum
tulang karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis
terjadi jika eritrosit mengalamai kerusakan, baik di membrannya,
hemoglobinnya maupun fleksibilitasnya. Jika sel eritrosit dilisis
oleh makrofag, ia akan pecah menjadi globin dan heme. Globin ini
akan kembali disimpan sebagai cadangan, sedangkan heme nanti
akan pecah lagi menjadi besi dan protoporfirin. Besi diangkut lagi
untuk disimpan sebagai cadangan, akan tetapi protoforfirin tidak, ia
akan terurai menjadi gas CO dan Bilirubin. Bilirubin jika di dalam
darah akan berikatan dengan albumin membentuk bilirubin indirect
(Bilirubin I), mengalami konjugasi di hepar menjadi bilirubin
direct (bilirubin II), dieksresikan ke empedu sehingga
meningkatkan sterkobilinogen di feses dan urobilinogen di urin.
o Hemolitik intravaskuler. Terjadi di dalam sirkulasi. Jika eritrosit
mengalami lisis, ia akan melepaskan hemoglobin bebas ke plasma,
namun haptoglobin dan hemopektin akan mengikatnya dan
menggiringnya ke sistem retikuloendotelial untuk dibersihkan.
Namun jika hemolisisnya berat, jumlah haptoglobin maupun
hemopektin tentunya akan menurun. Akibatnya, beredarlah
hemoglobin bebas dalam darah (hemoglobinemia). Jika hal ini
terjadi, Hb tsb akan teroksidasi menjadi methemoglobin, sehingga
terjadi methemoglobinemia. Hemoglobin juga bisa lewat di
glomerulus ginjal, hingga terjadi hemoglobinuria. Namun beberapa
hemoglobin di tubulus ginjal nantinya juga akan diserap oleh sel-
sel epitel, dan besinya akan disimpan dalam bentuk hemosiderin.
Jika suatu saat epitel ini mengalami deskuamasi, maka hanyutlah
hemosiderin tersebut ke urin sehingga terjadi hemosiderinuria, yg
merupakan tanda hemolisis intravaskuler kronis.
o Peningkatan hematopoiesis. Berkurangnya jumlah eritrosit di
perifer akan memicu ginjal mengeluarkan eritropoietin untuk
merangsang eritropoiesis di sumsum tulang. Sel-sel muda yang ada
akan ‘dipaksa’ untuk dimatangkan sehingga terjadi peningkatan
retikulosit (sel eritrosit muda) dalam darah, mengakibatkan
polikromasia.
Manifestasi Klinis

Gejala umum: gejala anemia pada umumnya, Hb < 7g/dl.

Gejala hemolitik: diantaranya berupa ikterus akibat meningkatnya kadar bilirubin


indirek dlm darah, tapi tidak di urin (acholuric jaundice); hepatomegali,
splenomegali, kholelitiasis (batu empedu), ulkus dll.

Gejala penyakit dasar (penyebab) masing2 anemia hemolitik tsb.

Diagnosis dan Pemeriksaan Laboratorium

Beberapa hasil pemeriksaan lab yang menjurus pada diagnosis anemia hemolitik
adalah sbb:

1. Sedian hapus darah tepi pada umumnya terlihat eritrosit normositik


normokrom, kecuali diantaranya thalasemia yang merupakan anemia
mikrositik hipokrom.
2. Penurunan Hb >1g/dl dalam 1 minggu
3. Penurunan masa hidup eritrosit <120hari
4. Peningkatan katabolisme heme, biasanya dilihat dari peningkatan bilirubin
serum
5. Hemoglobinemia, terlihat pada plasma yang berwarna merah terang
6. Hemoglobinuria, jika urin berwarna merah, kecoklatan atau kehitaman
7. Hemosiderinuria, dengan pemeriksaan pengecatan biru prusia
8. Haptoglobin serum turun
9. Retikulositosis
Penatalaksanaan

Pengobatan tergantung keadaan klinis dan penyebab hemolisisnya, namun secara


umum ada 3:

1. Terapi gawat darurat; atasi syok, pertahankan keseimbangan cairan dan


elektrolit, perbaiki fungsi ginjal. Jika berat perlu diberi transfusi namun
dengan pengawasan ketat. Transfusi diberi berupa washed red cell untuk
mengurangi beban antibodi. Selain itu juga diberi steroid parenteral dosis
tinggi atau juga bisa hiperimun globulin untuk menekan aktivitas
makrofag.
2. Terapi suportif-simptomatik; bertujuan untuk menekan proses hemolisis
terutama di limpa dengan jalan splenektomi. Selain itu perlu juga diberi
asam folat 0,15 – 0,3 mg/hari untuk mencegah krisis megaloblastik.
3. Terapi kausal; mengobati penyebab dari hemolisis, namun biasanya
penyakit ini idiopatik dan herediter sehingga sulit untuk ditangani.
Transplantasi sumsum tulang bisa dilakukan contohnya pada kasus
thalassemia.

Prognosis

Prognosis pada anemia hemolitik tergantung pada etiologi dan deteksi


dini.Prognosis jangka panjang pada pasien dengan penyakit ini baik. Splenektomi
dapat mengontrol penyakit ini atau paling tidak memperbaikinya. Pada anemia
hemolitik autoimun, hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan dan
sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang kronik. Sebagai contoh
penderita denganhemolisis autoimun akut biasanya datang dengan keadaan yang
buruk dan dapatmeninggal akibat hemolisis berlebihan.

Referensi:

Hematologi klinik ringkas oleh Prof.Dr.I Made Bakta

Jurnal “Anemia hemolitik” by : Tondy Winoto,dr.Msi,Med,.,SpA

Jurnal Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia, by: “ Amaylia Oehadian”


Subbagian Hematologi Onkologi Medik, Bagian Penyakit Dalam RS Hasan Sadikin,
Bandung 2012

Anda mungkin juga menyukai