ANEMIA HEMOLITIK
Oleh:
Putu Putri Andiyani D. G99161013
Elsa Candra R. G99161038
R. rr. Ervina K. W. G99161078
Febri Dwi N. G99162163
Pembimbing
ANEMIA HEMOLITIK
Oleh :
Putu Putri Andiyani D. G99161013
Elsa Candra R. G99161038
R. rr. Ervina K. W. G99161078
Febri Dwi N. G99162163
Pembimbing,
A. Latar Belakang
Anemia bisa terjadi jika sel eritrosit tidak mengandung cukup hemoglobin.
Hemoglobin adalah protein kaya zat besi yang membawa oksigen dari paru-paru ke
seluruh tubuh. Anemia memiliki tiga penyebab utama: kehilangan darah,
kekurangan produksi sel darah merah, atau tingginya tingkat kerusakan sel darah
merah.
Anemia hemolitik disebabkan oleh tingginya tingkat kerusakan eritrosit.
Eritrosit hidup selama 120 hari di aliran darah dan kemudian mati. Ketika sel darah
mati, sumsum tulang membuat lebih banyak sel darah untuk menggantikannya.
Namun, pada anemia hemolitik, sumsum tulang tidak bisa membuat eritrosit cukup
cepat untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Jadi, anemia hemolitik merupakan kondisi
di mana sel eritrosit hancur dan dikeluarkan dari aliran darah sebelum masa hidup
normal mereka berakhir.
Banyak penyakit, kondisi, dan faktor yang dapat menyebabkan tubuh
menghancurkan sel darah merahnya. Penyebab ini bisa diwariskan atau didapat.
Anemia hemolitik dapat menyebabkan banyak masalah kesehatan, seperti
kelelahan, aritmia, kardiomegali, dan gagal jantung.
Penatalaksanaan tergantung pada tipe anemia hemolitik dan seberapa
parahnya. Kondisinya bisa berkembang mendadak atau perlahan. Gejala bisa
berkisar dari ringan hingga berat. Anemia hemolitik memiliki prognosis baik yaitu
dapat berhasil diobati atau dikontrol. Anemia hemolitik ringan mungkin tidak
memerlukan pengobatan sama sekali. Anemia hemolitik berat membutuhkan
perawatan yang cepat dan tepat, jika tidak akan berakibat kematian. Oleh karena
itu, memahami gejala dan tanda, etiologi, patofisiologi, penegakan diagnosis, dan
tatalaksana anemia hemolitik sangat penting.
B. Batasan Penulisan
Dalam Refrat ini akan dibahas mengenai Anemia Hemolitik.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan Refrat ini adalah untuk memahami Anemia Hemolitik.
D. Metode Penulisan
Penulisan Refrat ini disusun berdasarkan metode tinjauan kepustakaan
dari beberapa literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses
hemolisis. Hemolisis adalah pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah
sebelum waktunya (sebelum masa hidup rata-rata eritrosit yaitu 120 hari).
Hemolisis berbeda dengan proses penuaan, yaitu pemecahan eritrosit karena
memang sudah cukup umurnya. Hemolisis dapat terjadi dalam pembuluh
darah (intravascular) atau diluar pembuluh darah (ekstravaskular) yang
membawa konsekuensi patofisiologik yang berbeda (Bakta, 2006).
Pada orang dengan sumsum tulang yang normal, hemolisis pada
darah tepi akan direspons oleh tubuh dengan peningkatan eritropoesis dalam
sumsum tulang. Kemampuan maksimum sumsum tulang untuk
meningkatkan eritropoesis adalah 6 sampai 8 kali normal. Apabila derajat
hemolisis tidak terlalu berat (pememndekan masa hidup eritrosis sekitar 50
hari) maka sumsum tulang masih mampu melakukan kompensasi sehingga
tidak timbul anemia. Keadaan ini disebut sebagai keadaan hemolisis
terkompensasi (compensated hemolytic state). Akan tetapi, jika
kemampuan kompensasi sumsum tulang dilampaui maka akan terjadi
anemia yang kita kenal sebagai anemia hemolitik (Bakta, 2006).
B. Epidemiologi
Anemia hemolitik mewakili sekitar 5% dari semua anemia. AIHA
akut relative jarang terjadi, dengan kejadian satu sampai tiga kasus per
100.000 penduduk per tahun. Anemia hemolitik tidak spesifik untuk ras
manapun. Namun, gangguan sel sabit ditemukan terutama di Afrika,
Amerika Afrika, beberapa orang Arab, dan Aborigin di India bagian selatan.
Sebagian besar kasus anemia hemolitik tidak spesifik terhadap jenis
kelamin. Namun AIHA sedikit lebih mungkin terjadi pada wanita daripada
pada pria. Meskipun anemia hemolitik dapat terjadi pada orang-orang dari
segala umur, penyakit keturunan biasanya terlihat sejak awal kehidupan.
AIHA lebih cenderung terjadi pada individu paruh baya dan lebih tua
(Schick, 2016).
C. Etiologi
Artikel terbaru telah mencatat bahwa terapi imunoglobulin G
(IVIG) intravena yang diberikan selama kehamilan, media kontras
iomeprol, dan penggantian katup mitral dapat menyebabkan hemolisis.
Penyakit herediter juga dapat menyebabkan hemolisis sebagai hasil dari
abnormalitas membrane eritrosit, defek enzimatik, dan abnormalitas dari
hemoglobin. Penyakit herediter termasuk:
- Defisiensi Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD)
- Sperositosis Herediter
- Anemia Sickle Cell
Penyebab hemolisis yang didapat antara lain:
- Penyakit imun
- Obat-obatan dan bahan kimia toksik
- Agen antiviral
- Infeksi
Autoimun hemolytic anemia (AIHA) dapat terjadi karena tipe
autoantibodi hangat (warm) atau dingin (cold) dan campuran, namun jarang
terjadi. Kebanyakan autoantibodi hangat termasuk kelas immunoglobulin
IgG. Antibodi ini dapat dideteksi dengan tes Coombs langsung, yang juga
dikenal sebagai Direct Antiglobulin Test (DAT). Microangiopathic
hemolytic anemia, yang menghasilkan produksi eritrosit terfragmentasi
(Schictocytes), dapat disebabkan dari salah satu berikut :
- Defective prosthetic cardiac valves
- Disseminated intravascular coagulation (DIC)
- Hemolytic uremic syndrome (HUS)
- Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP) (Schick P, 2016).
D. Patofisiologi
Menurut Bakta (2006), proses hemolisis akan menimbulkan, sebagai
berikut:
1. Penurunan kadar hemoglobin yang akan mengakibatkan anemia. Hemolisis
dapat terjadi perlahan-lahan sehingga dapat diatasi oleh mekanisme
kompensasi tubuh, tetapi dapat juga terjadi tiba-tiba sehingga dapat
menurunkan kadar hemoglobin. Tergantung derajat hemolisis, apabila
derajat hemolisis ringan sampai sedang maka sumsum tulang masih dapat
melakukan kompensasi 6 sampai 8 kali normal sehingga tidak terjadi
anemia. Keadaan ini disebut sebagai keadaan hemolitik terkompensasi
(compensated hemolytic state). Akan tetapi, apabila derajat hemolitik berat
maka mekanisme kompensasi tidak dapat mengatasi hal tersebut sehingga
terjadi anemia hemolitik. Derajat penurunan hemoglobin dapat terjadi
perlahan-lahan, tetapi sering sekali sangat cepat (lebih dari 2 g/dl dalam
waktu satu minggu).
2. Peningkatan hasil pemecahan eritrosit dalama tubuh. Hemolisis berdasarkan
tempatnya dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Hemolosis ekstravaskuler
Hemolisis ekstratravaskuler lebih sering dijumpai dibandingkan
dengan hemolisis intravaskuler. Hemolisis terjadi pada makrofag dari
system retikuloendothelial (RES) terutama pada lien, hepar dan sumsum
tulang karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis terjadi
karena kerusakan membrane (misalnya akibat reaksi antigen antibody),
presipitasi hemoglobin dalam sitoplasma, dan menurunnya fleksibilitas
eritrosit. Kapiler lien dengan diameter yang relatif kecil dan suasana
relative hipoksik akan memberikan kesempatan destruksi sel eritrosit,
mungkin melalui mekanisme fragmentasi.
Pemcegahan eritrosit ini akan menghasilkan globin yang akan
dikembalikan ke protein pool, serta besi yang dikembalikan ke
makrofag (cadangan besi) selajutnya akan dipakai kembali, sedangkan
protoporfirin akan menghasilkan CO dan bilirubin.bilirubin dalam darah
berikatan dengan albumin menjadi bilirubin indirek, mengalami
konjugasi dalam hati menjadi bilirubin direk kemudian dibuang melalui
empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen dalam reses dan
urobilinogen dalam urine
Sebagian hemoglobinogen akan lepas ke plasma dan diikat oleh
haptoglobin sehingga kadar haptoglbin juga menurun, tetapi tidak
serendah pada hemolisis intravascular.
Hemoglobin
Heme Globin
Besi Protoporfirin
Pool protein
CO Bilirubin unconjugated
Makrofag
Reutilisasi
(RES)
Hati
Reutilisas Expired
i air
Bilirubin conjugated
Empedu
Urobilinogen Sterkobilinogen
Urine Feces
b. Hemolisis intravaskuler
Pemehan eritrosit intravaskuler menyebabkan lepasnya hemoglobin
bebas ke dalam plasma. Hemoglobin bebas ini akan diikat oeh
haptoglobin (suatu globulin alfa)sehinggakadar haptoglobin plasma
akan menurut. Kompleks hemoglobin-haptoglobin akan dibersihkan
oleh hati dan RES dalam beberapa menit. Apabila kapasitas haptoglobin
dilampaui maka akanterjadilah hemoglobin bebas dalam lasma yang
disebut sebagai hemoglobinemia. Hemoglobin bebas akan mengalami
oksidasi menjadi methemoglobin sehingga terjadi methemoglobinemia.
Heme juga diikat oleh hemopeksin (suatu glikoprotein beta-1) kemudian
ditangkap oleh sel hepatosit. Hemoglobin bebas akan keluar melalui
urine sehingga terjadi hemoglobinuria. Sebagai hemoglobin dalam
tubulus ginjal akan diserap oleh sel epitel kemudian besi di simpan dalan
bentuk hemosiderin jika epitel mengalami deskuamasi maka
hemosiderin dibunag melalui urine (hemosiderinuria), yang merupakan
tanda hemolisis intravaskuler kronik.
E. Gambaran Klinik
Gambaran klinik sangat bervariasi, disebabkan oleh perjalan penyakit
(akut atau kronik) dan tempat kejadian hemolisis (ekstravaskular atau
intravaskuler) sehingga pada umumnya dilihat dari gejala kliniknya, anemia
hemolitik dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu :
a. Anemia hemolitik kronik herediter-familier
Didominasi oleh gejala akibat hemolisis ekstravaskuler yang
berlangsung perlahan-lahan
b. Anemia hemolitik akut didapat ( acquired)
Terjadi hemolisis ekstravaskuler masif atau hemolisis
ekstravaskuler.
Gejala klinik anemia hemolitik dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Gejala umum anemia
Gejala umum akan timbul jika hemoglobin turun < 7-8 g/dl. Makin
berat penurunan kadar hemoglobin makin berat gejala yang timbul.
Beratnya gejala juga ditentukan oleh kecepatan penurunan kadar
hemoglobin.
2. Gejala Hemolitik
Pada anemia hemolitik kronik familier herediter gejala klinik dapat
timbul berupa
a. Ikterus
Akibat dari peningkatan bilirubin indirekdi dalam darah
b. Splenomegali dan hepatomegali
Splenomegali pada umumnya ringan sampai sedang, tetapi
kadang-kadang dapat besar sekali. Hepatomegali lebih jarang
dijumpai dibandingkan splenomegali, karena makrofag dalam
limfa lebih aktif dibandingkan makrofag pada hati.
c. Kholelitiasis
d. Ulkus pada kaki
e. Kelainan tulang (Bakta, 2006)
F. Klasifikasi
Pada dasarnya anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 2 golongan besar,
yaitu:
1. Anemia hemolitik karena faktor di dalam eritrosit sendiri (intrakorpuskuler)
yang sebagian besar bersifat herediter-familier
a. Herediter-familier
1) Gangguan membran eritrosit (membranopati)
a) Hereditary spherocytosis
Merupakan anemia hemolitik herediter diturunkan secara
autosom dominan, paling umum di Eropa Utara disebabkan
cacat protein struktural dari membran sel darah merah / defek
membran. Sumsum tulang membuat sel darah merah normal
yang bikonkaf tetapi sel darah kehilangan membrannya saat
beredar melalui limpa dan sistem RES. Ratio permukaan sel
terhadap volume berkurang dan sel menjadi lebih sferis
sehingga kurang elastic melalui mikrosirkulasi dimana sferosit
pecah lebih dini (Gehrs & Friedberg, 2002).
Gambar 4. Eliptositosis
c) Hereditary stomatocytosis
Gambar 5. Stomatositosis
b. Didapat
1) Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH)
Hemoglobinuria Paroksismal Nokturnal adalah anemia hemolitik
yang jarang terjadi, yang menyebabkan serangan mendadak dan
berulang dari penghancuran sel darah merah oleh sistem
kekebalan.
Penghancuran sejumlah besar sel darah merah yang terjadi secara
mendadak (paroksismal), bisa terjadi kapan saja, tidak hanya pada
malam hari (nokturnal), menyebabkan hemoglobin tumpah ke
dalam darah.Ginjal menyaring hemoglobin, sehingga air kemih
berwarna gelap (hemoglobinuria).
Anemia ini lebih sering terjadi pada pria muda, tetapi bisa terjadi
kapan saja dan pada jenis kelamin apa saja. Penyebabnya masih
belum diketahui. Penyakit ini bisa menyebabkan kram perut atau
nyeri punggung yang hebat dan pembentukan bekuan darah dalam
vena besar dari perut dan tungkai.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium yang bisa
menemukan adanya sel darah merah yang abnormal, khas untuk
penyakit ini.
Untuk meringankan gejala diberikan kortikosteroid (misalnya
prednison). Penderita yang memiliki bekuan darah mungkin
memerlukan antikoagulan (obat yang mengurangi kecenderungan
darah untuk membeku, misalnya warfarin).
Transplantasi sumsum tulang bisa dipertimbangkan pada penderita
yang menunjukkan anemia yang sangat berat (Brodsky, 2014).
2) Aloimun
Pada anemia hemolitik aloimun, antibod yang dihasilkan oleh
seorang individu bereaksi dengan eritrosit individu lain. Dua
keadaan penting adalah transfusi darah yang tidak kompatibel ABO
(menyebabkan hemolisis yang parah) dan penyakit Rh pada
neonatus. Reaksi transfusi yang terlambat biasanya muncul 3 hingga
10 hari pasca transfusi dan biasanya disebabkan oleh titer antibody
yang rendah terhadap antigen eritrosit minor. Pada paparan berulang
terhadap antigen eritrosit, antibody ini terbentuk cepat dan
menyebabkan hemolisis ekstravaskuler. Sedangkan pada reaksi
transfusi akut terjadi aglutinasi oleh IgM yang menyebabkan fiksasi
komplemen hemolisis intravaskuler yang cepat. Dalam hitungan
menit, pasien menunjukkan gejala demam, menggigil, dyspnea,
hipotensi, dan shock (Calista dan Mulansari, 2014).
a) Hemolytic transfusion reactions
b) Hemolytic disease of newborn
c) Allograft (bone-marrow transplantation)
b. Drug associated
Obat-obatan dpaat menyebabkan anemia hemolitik imun melalui tiga
mekanisme:
- Antibody yang ditujukan terhadap kompleks obat-membran
eritrosit (misal penisilin, ampisilin). Ini hanya terjadi dengan dosis
antibiotik yang sangat besar.
- Deposisi komplemen melalui kompleks obat-protein (antigen)
antibody pada permukaan eritrosit (misal kuinidin, rifampisin)
- Anemia hemolitik autoimun sejati, pada keadaan ini peran obat
belum jelas (misal metildopa)
Pada setiap kasus, anemia hemolitik hilang perlahan jika obat
dihentikan.
c. Red cell fragmentation syndromes
1) Graft arteri
2) Katup jantung (buatan)
d. Mikroangiopatik
1) Thrombotic Thrombocytopenic Purpura (TTP)
2) Hemolytic Uremic Syndrome (HUS)
3) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
4) Pre eklampsia
e. March Hemoglobinuria
f. Infeksi
1) Malaria
2) Clostridia
g. Bahan kimia dan fisik
1) Obat
2) Bahan kimia dan rumah tangga
3) Luka bakar luas
h. Hipersplenisme (Calista dan Mulansari, 2014).
G. Diagnosis
1. Anamnesis
Anemia hemolitik autoimun seringkali menunjukkan gejala berupa
mudah lelah, malaise, dan demam, ikterus dan perubahan wama urin.
Seringkali gejala disertai dengan nyeri abdomen, gangguan pernapasan.
Tanda-tanda lain yaitu hepatomegali dan splenomegali. Gejala dan
tanda yang rimbul tidak saja tergantung dari beratnya anemia tetapi juga
proses hemolitik yang terjadi.
Evaluasi penderita dengan anemia dan untuk mengerucutkan
kemungkinan salah satu tipe anemia, pasien diarahkan untuk menjawab
pertanyaan- pertanyaan (Schrier, 2011):
Apakah penderita mengalami perdarahan saat ini atau sebelumnya?
Apakah didapatkan adanya bukti peningkatan destruksi sel darah
merah (hemolisis)?
Apakah terdapat supresi sumsum tulang?
Apakah terdapat defi siensi besi? Apakah penyebabnya?
Apakah terdapat defi siensi asam folat dan vitamin B12? Apakah
penyebabnya?
2. Riwayat penyakit
Beberapa komponen penting dalam riwayat penyakit yang
berhubungan dengan anemia (Schrier, 2011):
Riwayat atau kondisi medis yang menyebabkan anemia (misalnya,
melena pada penderita ulkus peptikum, artritis reumatoid, gagal
ginjal).
Waktu terjadinya anemia: baru, subakut, atau lifelong. Anemia yang
baru terjadi pada umumnya disebabkan penyakit yang didapat,
sedangkan anemia yang berlangsung lifelong, terutama dengan
adanya riwayat keluarga, pada umumnya merupakan kelainan
herediter (hemoglobinopati, sferositosis herediter).
Etnis dan daerah asal penderita: talasemia dan hemoglobinopati
terutama didapatkan pada penderita dari Mediterania, Timur
Tengah, Afrika sub-Sahara, dan Asia Tenggara.
Obat-obatan. Obat-obatan harus dievaluasi dengan rinci. Obat-obat
tertentu, seperti alkohol, asam asetilsalisilat, dan antiinfl amasi
nonsteroid harus dievaluasi dengan cermat.
Riwayat transfusi.
Penyakit hati.
Pengobatan dengan preparat Fe.
Paparan zat kimia dari pekerjaan atau lingkungan.
Penilaian status nutrisi.
3. Pemeriksaan fisik
Tujuan utamanya adalah menemukan tanda keterlibatan organ atau
multisistem dan untuk menilai beratnya kondisi penderita. Pemeriksaan
fisik perlu memperhatikan (Schrier, 2011):
Adanya takikardia, dispnea, hipotensi postural.
Pucat: sensitivitas dan spesifi sitas untuk pucat pada telapak tangan,
kuku, wajah atau konjungtiva sebagai prediktor anemia bervariasi
antara 19-70% dan 70-100%.
Ikterus: menunjukkan kemungkinan adanya anemia hemolitik.
Ikterus sering sulit dideteksi di ruangan dengan cahaya lampu artifi
sial. Pada penelitian 62 tenaga medis, ikterus ditemukan pada 58%
penderita dengan bilirubin >2,5 mg/dL dan pada 68% penderita
dengan bilirubin 3,1 mg/dL.
Penonjolan tulang frontoparietal, maksila (facies rodent/chipmunk)
pada talasemia.
Lidah licin (atrofi papil) pada anemia defisiensi Fe.
Limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri tulang (terutama di
sternum); nyeri tulang dapat disebabkan oleh adanya ekspansi
karena penyakit infi ltratif (seperti pada leukemia mielositik kronik),
lesi litik ( pada mieloma multipel atau metastasis kanker).
Petekhie, ekimosis, dan perdarahan lain.
Kuku rapuh, cekung (spoon nail) pada anemia defi siensi Fe.
Ulkus rekuren di kaki (penyakit sickle cell, sferositosis herediter,
anemia sideroblastik familial).
Infeksi rekuren karena neutropenia atau defi siensi imun.
4. Pemeriksaan Penunjang
Anemia didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi hemoglobin
dan massa eritrosit, MCV menjadi salah satu standar klasifikasi anemia
menjadi mikrositik (eritrosit <70 fl), normositik (eritrosit 71-79), dan
makrositik (eritrosit >85 fl) (Lanskowsky, 2005). Pemeriksaan darah perifer
adalah prosedur tunggal paling berguna sebagai evaluasi awal. Pertama-
tama harus diperiksa distribusi dan pewarnaan sel. Tanda sediaan yang tidak
baik adalah hilangnya warna pucat di tengah eritrosit, bentuk poligonal, dan
sferosit artefak. Sferosit artefak, berlawanan dengan artefak asli, tidak
menampakkan variasi kepucatan di tengah sel dan lebih besar dari eritrosit
yang normal. Sediaan yang tidak baik tidak boleh diinterpretasikan. Setelah
sediaan telah dipastikan kelayakannya, diperiksa pada pembesaran 50x dan
kemudian dengan 1000x. Sel-sel digradasikan berdasarkan ukuran,
intensitas pewarnaan, variasi warna, dan abnormalitas bentuk. Gangguan
hemolisis eritrosit dapat diklasifi kasikan menurut morfologi
predominannya. Terdapatnya stippling basofi lik dan sel inklusi juga perlu
diperhatikan (Nathan, 2008).
H. Penatalaksanaan
Pasien dengan anemia hemolitik autoimun Ig G atau Ig M ringan
kadang tidak memerlukan pengobatan spesifik, tetapi pada kondisi lain
dimana terdapat ancaman jiwa akibat hemolitik yang berat memerlukan
pengobatan yang intensif.
Tujuan tatalaksana :
1. Mengembalikan nilai-nilai hematologis normal
2. Mengurangi proses hemolitik
3. Menghilangkan gejala dengan efek samping minimal.
Terapi Transfusi
Secara prinsip, indikasi utama pada transfusi eritrosit adalah
pemberian eritrosit yang cukup untuk mencegah atau mengembalikan
keadaan hipoksia jaringan yang diakibatkan kompensasi yang tidak adekuat
(Sloan, 2009). Transfusi umumnya diberikan bila anemia terjadi secara akut
dan bergejala, pasien memiliki penyakit jantung atau paru, atau sebelum
pembedahan mayor (Tabel 4). Gejala simtomatik anemia antara lain
dispneu, takipneu, takikardia, apnea, bradikardi, kesulitan makan (feeding
difficulties), dan letargi (Strauss, 2007).
Splenektomi
Splenektomi dilakukan pada pasien dengan anemia hemolitik karena
dapat mengurangi anemia yang terjadi, namun pertimbangan untuk tindakan
tersebut harus dipikirkan dengan matang karena resiko komplikasi yang
mungkin terjadi. Secara umum, splenektomi dapat dipertimbangkan pada
anemia hemolitik berat dengan etiologi tertentu, seperti hereditary
spherocytosis, defisiensi piruvat kinase, warm-antibody autoimmune
hemolytic anemia, dan hemoglobinopati (sickle cell anemia,
thalassemia).Splenektomi pada defisiensi G6PD masih kontroversial.
Komplikasi dari splenektomi antara lain komplikasi pascasplenektomi
langsung (infeksi lokal, perdarahan, pankreatitis), sepsis pascasplenektomi,
peningkatan resiko infeksi babesiosis dan malaria, trombosis dan
tromboemboli (Park et al, 2012).
Strauss RG. Chapter 470. Red Blood Cell Transfusions and Erythropoetin
Therapy. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson
Textbook of Pediatrics. Philadelphia: Elsevier
Nathan DG, Orkin SH, Oski FA, Ginsburg D. Nathan and Oskis Hematology of
Infancy and Childhood. 7th ed. Philadelphia: Saunders; 2008. edition. Saunders,
2007. p. 2055-2056.
Schrier SL. Approach to the adult patient with anemia. January 2011. [cited 2011, June
9 ]. Available from: www.uptodate.com
Schrier SL. Approach to the diagnosis of hemolytic anemia in the adult. January 2011.
[cited 2011, June 9 ]. Available from: www.uptodate.com
Teff eri A. Anemia in adults : A contemporary approach to diagnosis. Mayo Clin Proc.
2003;78:1274-80.
Mehta BC. Approach to a patient with anemia. Indian J Med Sci. 2004;58:269.
Schrier SL. Macrocytosis. January 2011. [cited 2011, June 9 ]. Available from:
www.uptodate.com
Perkins S. Diagnosis of anemia. Sneek Peek Prac Diag of Hem Disorders, p : 3-16.
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.
18th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2007.
Rudolph CD, Rudolph AM, Hostetter MK, Lister G, Siegel NJ. Rudolphs Pediatrics.
21st ed. USA: McGraw-Hill; 2003.