Anda di halaman 1dari 14

DEMAM TIFOID

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik akut yang disebabkan
oleh Salmonella enterik serotipe typhi atau paratyphi.
B. Epidemiologi
Demam tifoid dan paratifoid bersifat endemik dan sporadik di
Indonesia. Demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dengan
insidens tertinggi pada anak-anak. Penularan bakteri S. Typhi dapat
melalui fekal oral atau melalui carrier.
Insiden demam tifoid di tiap daerah berbeda-beda. Didaerah
rural (Jawa Barat) memiliki insiden sebanyak 157 kasus per 100.000
penduduk, sedangkan di daerah urban memiliki insiden sebanyak 760-
810 kasus per 100.000 penduduk. Hal ini berhubungan erat dengan
penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan, khususnya perkotan,
yang belum memadai. Selain itu faktor kebersihan lingkungan juga
mempengaruhi insidensi.
C. Etiologi
Ada lebih dari 2400 serotipe salmonella termasuk lebih dari
1400 dalam DNA hibridisasi group I yang dapat menginfeksi manusia.
Organisme hampir selalu masuk melalui jalan oral, biasanya dengan
mengkontaminasi makanan atau minuman. Diantara faktor tempat
yang mempengaruhi ketahanan terhadap infeksi salmonella adalah
keasaman lambung, flora normal dalam usus, dan ketahanan usus lokal.
Basil penyebab tifoid adalah salmonella typhi dan paratyphi dari
genus salmonella. Basil gram negative, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, tetapi memilki fimbria, bersifat aerob dan anaerob
fakultatif. Ukuran antara (2-4) x 0,6 μm. Suhu optimum untuk tumbuh
adalah 37⁰ C dengan PH antara 6-8. Perlu diingat bahwa basil ini dapat
hidup hingga beberapa minggu di dalam air es, sampah dan debu.
Reservoir satu-satunya adalah manusia, yaitu seseorang yang sedang
sakit atau karier.
D. Patogenesis
S. Typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan
air yang tercemar. Sebagian kuman yang masuk akan dihanurkan oleh
asam lambung tetapi tidak semua kuman dapat dihancurkan sehingga
sebagian lainnya dapat mencapai usus halus. Diusus halus, kuman yang
ada menuju ke plak peyeri untuk difagosit oleh makrofag.
Kuman yang telah difagosit memiliki mekanisme sehingga dapat
menghindari sistem imun yang ada dan menjadikan makrofag sebagai
kendaraan untuk menginfeksi sel lainnya.
Kuman yang ada nantinya akan menginfeksi duktus torasikus
sehingga terjadi bakteremia pertama. Pada fase ini pasien yang
terinfeksi tidak menunjukkan gejala-gejala tifoid. Setelah bakteremia
pertama, kuman yang ada akan menginfeksi sel-sel lainnya seperti hati
dan limpa. Infeksi ini menyebabkan bakteremia keda dan menyebabkan
gejala sistemik seperti demam. Jika hal ini terus terjadi akan
meyebabkan terjadinya erosi saluran cerna.
E. Gambaran Klinis
Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang ringan
sekali (sehingga tidak terdiaognosis), dan dengan gejala yang khas
(sindrom demam tifoid) sampai dengan gejala klinis berat yang disertai
komplikasi. Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut dengan
sindrom demam tifoid. Beberapa gejala klinis yang sering pada tifoid
diantaranya adalah :
1. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama tifoid. Pada awal sakit,
demam kebanyakan hanya samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh
sering turun-naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam hari
lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke hari intensitas demam
makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala di
daerah frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia, mual-
muntah.
Pada minggu ke 2 intensitas demam makin tinggi, kadang-
kadang terus-menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik maka
pada minggu ke 3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal
kembali pada akhir minggu ke 3. Perlu diperhatikan, bahwa demam
yang khas tifoid tersebut tidak selalu ada. Tipe demam menjadi tidak
beraturan. Hal ini mungkin karena intervensi pengobatan atau
komplikasi yang dapat terjadi lebih awal.
2. Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang
lama. Bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan
kotor dan ditutupi selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan
tremor.
Umumnya penderita sering mengeluh sakit perut, terutama
region epigastrik, disertai mual dan muntah. Pada awal sakit, sering
meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang
timbul diare.
3. Gangguan kesadaran
Beberapa kasus ditemukan adanya gangguan kesadaran yang
kebanyakan berupa penurunan kesadaran ringan. Sering didapatkan
kesadaran apatis dengan kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat,
tak jarang penderita sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-
gejala psychosis. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih
menonjol.
4. Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa
kenyal dan nyeri tekan.
5. Bradikardia relative dan gejala lain
Bradikardi relative jarang ditemukan, mungkin karena teknis
pemeriksaan yang sulit ditemukan. Bradikardi relative adalah
peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi
nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap peningkatan
suhu 1oC tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1
menit.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, pasien memiliki suhu febris,
bradikardi relatif, lidah berselaput, hepatomegali, splenomegali,
dan nyeri abdomen
2. Pemeriksaan lab
Pemeriksaan lab yang dapat dilakukan antara lain:
 Pemeriksaan darah perifer
Pada pemeriksaan hitung leukosit total terdapat
gambaran leukopeni (± 3000-8000 per mm³), limfositosis
relative, monositosis, dan eosinofilia dan trombositopenia
ringan.
Terjadinya leucopenia akibat depresi sumsum tulang
oleh endotoksin dan mediator endogen yang ada.
Diperkirakan kejadian leucopenia 25 %, namun banyak
laporan bahwa dewasa ini hitung leukosit kebanyakan
dalam batas normal atau leukositosis ringan. Terjadinya
trombositopenia berhubungan dengan produksi yang
menurun dan destruksi yang meningkat oleh sel-sel RES.
Sedangkan anemia juga disebabkan peroduksi hemoglobin
yang menurun dan adanya perdarahan intestinal yang tak
nyata (occult bleeding). Perlu diwaspadai bila terjadi
penurunan hemoglobin secara akut pada minggu ke 3-4,
karena bisa disebabkan oleh perdarahan hebat dalam
abdomen.
 Uji Widal
Tes serologis widal adalah reaksi antara antigen
dengan aglutinin yang merupakan antibody spesifik
terhadap komponen basil salmonella di dalam darah
manusia. Prinsip tesnya adalah terjadinya reaksi aglutinasi
antara antigen dan aglutinin yang dideteksi yakni aglutinin
O dan H.
Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu
pertama demam sampai puncaknya pada minggu ke 3-5.
Aglutinin ini dapat bertahan sampa lama 6-12 bulan.
Aglutinin H mencapai puncak lebih lambat, pada minggu
ke 4-6 dan menetap dalam waktu yang lebih lama, sampai
2 tahun kemudian.
Interpretasi Reaksi Widal :

a. Batas titer yang dijadikan diagnosis, hanya berdasarkan


kesepakatan atau perjanjian pada suatu daerah, dan
berlaku untuk daerah tersebut. Kebanyakan pendapat
bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis
demam tifoid.
b. Reaksi widal negative tidak menyingkirkan diagnosis
tifoid.
c. Diagnosis demam tifoid dianggap diagnosis pasti
adalah bila didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat pada
pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari. Perlu
diingat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi
reaksi widal sehingga mendatangkan hasil yang keliru
baik negative palsu atau positif palsu. Hasil tes
negative palsu seperti pada keadaan pembentukan anti
bodi yang rendah yang dapat ditemukan pada keadaan-
keadaan gizi jelek, konsumsi obat-obat imunosupresif,
penyakit agammaglobuilinemia, leukemia, karsinoma
lanjut, dll. Hasil tes positif palsu dapat dijumpai pada
keadaan pasca vaksinasi, mengalami infeski sub klinis
beberapa waktu yang lalu, aglutinasi silang, dll.
 Pemeriksaan Bakteriologis
a. Biakan darah :
Biakan pada agar darah dan agar Mac Conkey
menunjukkan bahwa kuman tumbuh tanpa meragikan
laktosa, gram negative dan menunjukkan gerak positif.
b. Biakan bekuan darah :
Bekuan darah dibiakkan pada botol berisi 15 ml
kaldu empedu. Biakkan ini lebih sering memberikan hasil
positif.
c. Biakan tinja :
Hasil positif selama masa sakit. Diperlukan biakan
berulang untuk mendapatkan hasil positif. Biakan tinja
lebih berguna pada penderita yang sedang diobati dengan
kloramfenikol.
d. Biakan empedu :
Penting untuk mendeteksi adanya karier dan pada
stadium lanjut penyakit. Empedu dihisap melalui tabung
duodenum dan diolah dengan cara seperti tinja.
e. Biakan air kemih :
Pemeriksaan ini kurang berguna bila dibandingkan
dengan biakan darah dan tinja. Biakan air kemih positif
pada minggu sakit ke 2 dan 3.
f. Biakan salmonella typhi :
Specimen untuk biakan dapat diambil dari darah,
sumsum tulang, feses, dan urin. Spesimen darah diambil
pada minggu I sakit saat demam tinggi. Spesimen feses
dan urin pada minggu ke II dan minggu-minggu
selanjutnya. Pembiakan memerlukan waktu kurang lebih
5-7 hari. Bila laporan hasil biakan menyatakan “basil
salmonella tumbuh”, maka penderita sudah pasti
mengidap demam tifoid. Spesimen ditanam dalam biakan
empedu. Sensitifitas tes ini rendah, dapat disebabkan oleh
beberapa hal: pasien telah dapat antibiotik sebelumnya,
waktu pengambilan spesimen tidak tepat, volume darah
yang diambil kurang, darah menggumpal, dll. Spesimen
darah dari sumsum tulang mempunyai sensitifitas yang
lebih tinggi.
 Uji Tubex
Uji tubex merupakan uji semikuantitatif kolometrik
untuk deteksi antibodi anti S. typhi O9. Hasil positif
menunjukkan infeksi Salmonellae serogroup D dan tidak
spesifik S. typhi.infeksi S. paratyphi menunjukkan hasil
negatif. Sensitivitas uji ini sebesar 75-80% dan spesifitas
sebesar 75-90%
 Uji typhidot
Uji typhidot dilakukan untuk mendeteksi IgM dan
IgG pada membran luar S. typhi. Hasil positif diperoleh 2-
3 hari setelah infeksi dan spesifik mengidentifikasi IgM
dan IgG terhadap S. typhi.sensitivitas uji ini mencapai
98% dann spesifitas sebesar 76,6%
 Uji IgM Dipstick
Uji ini digunakan untuk mengidentifikasi IgM
spesifik S. typhi pada spesimen serum atau darah dengan
menggunakan strip yang mengandung lipopolisakarida S.
typhi dan anti IgM sebagai kontrol. Sensitivittas uji ini
sebesar 65-77% dan spesifitasnya sebesar 95-100%.
Akurasi uji ini diperoleh jika pemeriksaan dilakukan 1
minggu setelah timbul gejala
G. Diagnosis
Sindroma klinis adalah kumpulan gejala-gejala demam tifoid.
Diantara gejala klinis yang sering ditemukan pada tifoid yaitu: demam,
sakit kepala, kelemahan, nausea, nyeri abdomen, anoreksia, muntah,
gangguan gastrointestinal, insomnia, hepatomegali, splenomegali,
penurunan kesadaran, bradikardi relative, kesadaran berkabut, dan feses
berdarah.
Diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas 3 :
1. Suspek demam tifoid (suspect case)
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala
umum, gangguan saluran cerna dan lidah tifoid. Jadi sindrom demam
tifoid didapatkan belum lengkap. Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat
pada pelayanan kesehatan dasar.
2. Demam tifoid klinis (probable case)
Telah didapatkan gejala klinis yang lengkap atau hampir
lengkap, serta didukung oleh gambaran laboratorium yang
menunjukkan demam tifoid.
3. Demam tifoid konfirmasi (confirm case = demam tifoid
konfirmasi)
Bila gejala klinis sudah lengkap dan ditemukannya basil kuman
Salmonella typhoid, maka pasien sudah pasti menderita demam tifoid.
Cara yang dianggap paling tepat dalam mendeteksi adanya kuman
salmonella typhi adalah dengan melakukan pemeriksaan biakan
salmonella typhi, pemeriksaan pelacak DNA Salmonella Typhi dengan
PCR (polymerase Chain Reaction), dan adanya kenaikan titer 4 kali
lipat pada pemeriksaan widal II, 5-7 hari kemudian.
H. Penatalaksanaan
a. Bedrest
Penderita yang dirawat harus bedrest total untuk mencegah
terjadinya komplikasi terutama perdarahan dan perforasi. Bila
penyakit mulai membaik dilakukan mobilisasi secara bertahap,
sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. BAB dan BAK
sebaiknya dibantu perawat. Hindari pemasangan kateter urine tetap,
bila tidak ada indikasi.
b. Nutrisi
- Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara
oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada
penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta
pada pasien yang sulit makan. Dosis parenteral sesuai dengan
kebutuhan harian. Bila ada komplikasi dosis cairan disesuaikan
dengan kebutuan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori
yang optimal.
- Diet
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup.
Sebaiknya rendah selulose untuk mencegah komplikasi,
perdarahan dan perforasi. Diet diklasifikasikan atas : diet cair,
bubur lunak (tim), dan nasi biasa bila keadaan penderita
membaik, diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim. Namun
bila penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan
bubur atau diet cair yang selanjutnya dirubah secara bertahap
sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita.
c. Terapi simptomatik
Terapi simptomatik dapat diberikan dengan
pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum penderita :
 Roboransia/vitamin
 Antipiretik diberikan untuk kenyamanan penderita,
terutama untuk anak-anak
 Antiemetik diperlukan bila penderita muntah-muntah
berat
 Antimikroba
Kebijakan dasar pemberian anti mikroba
 Antimikroba segera diberikan bila diagnose klinis demam
tifoid telah dapat ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis
konfirmasi, propable, maupun suspek.
 Anti mikroba yang dipilih harus dipertimbangkan :
1. Telah dikenal sensitif dan potensial untuk demam
tifoid.
2. Mempunyai sifat farmakokinetik yang dapat
berpenetrasi dengan baik ke jaringan serta mempunyai
afinitas yang tinggi menuju organ sasaran.
3. Berspektrum sempit.
4. Cara pemberian yang mudah dan dapat ditoleransi
dengan baik oleh penderita termasuk anak dan wanita
hamil.
5. Efek samping yang minimal.
6. Tidak mudah resisten dan efektif mencegah karier.
Pilihan anti mikroba untuk demam tifoid
TABEL ANTIMIKROBA UNTUK PENDERITA DEMAM TIFOID

Antibiotika Dosis Kelebihan dan


keuntungan
50 mg/Kg bb/Hr - Merupakan obat yang
Dewasa : 4 x 500 mg (2 gr) sering digunakan dan
Anak : 100 mg/Kg BB/Hr, telah lama dikenal efektif
Kloramfenikol max 2 gr selama 10 hr untuk demam tifoid
dibagi dalam 4 dosis - Murah dan dapat diberi
per-oral, sensitivitas
masih tinggi
- Pemberian PO/IV
- Tidak diberikan bila
leukosit <2000/mm³
Dewasa : 2-4 gr/Hr selama - Cepat menurunkan suhu,
Seftriakson 3-5 hr lama pemberian pendek
Anak : 80 mg/Kg BB/Hr dan dapat dosis tunggal
dosis tunggal selama 5 hari serta cukup aman untuk
anak
- Pemberian IV
Dewasa : 3-4 gr/Hr - Aman untuk penderita
Anak : 100 mg/Kg BB/Hr hamil
Ampisilin & selama 10 hari - Sering dikmbinasi
amoksisilin dengan kloramfenikol
pada pasien kritis
- Tidak mahal
- Pemberian PO/IV
Dewasa : 2x 160-800 mg - Tidak mahal
TMP-SMX selama 2 minggu - Pemberian per oral
(Kotrimoksasol) Anak : TMP 6-10 mg/Kg
BB/Hr atau SMX 30-50
mg/Kg/Hr selama 10 hari
Siprofloksasin : 2x500 mg - Pefloksasin dan
selama 1 minggu fleroksasin lebih cepat
Ofloksasin : 2x200-400 mg menurunkan suhu
Quinolone selama 1 minggu - Efektif mencegah relaps
Plefoksasin : 1x400 mg dan karier
selama 1 minggu - Pemberian per oral
Fleroksasin : 1x400 mg - Anak : tidak dianjurkan
selama 1 minggu karena efek samping
pada pertumbuhan tulang
Cefixim Anak : 15-20 mg/KgBB/ Hr - Aman untuk anak
dibagi dalam 2 dosis selama - Efektif
10 hari - Pemberian per oral
Dewasa : 4x500 mg - Dapat untuk anak dan
Tiamfenikol Anak : 50 mg/Kg BB/Hari dewasa
selama 5-7 hari bebas panas - Dilaporkan cukup
sensitif pada beberapa
daerah

Strategi pemberian antimikroba untuk tifoid


o Antimikroba segera diberikan bila diagnosis telah dibuat
o Antimikroba yang diberikan sebagai terapi awal adalah dari kelompok
anti mikroba lini pertama untuk tifoid. Pilihan ini seseuai dengan
antimikroba dengan kepekaan tertinggi pada suatu daerah
I. Komplikasi
demam tifoid dapat memiliki komplikasi pada berbagai sistem organ.
Komplikasi tersebu antara lain sebagau berikut:
1. Komplikasi intestinal: perdarahan usus, perforasi usus, ileus
paralitik
2. Komplikasi kardiovaskular: ayok, myokarditis
3. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, DIC,
sindrom uremia hemolitik
4. Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis
5. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis
6. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis
7. Komplikasi tulang: osteomyelitis, periostitis, spondilitis, artritis
J. Pencegahan
1. Membudayakan cuci makan sebelum dan sesudah makan
2. Peningkatan hygiene pada makanan dan minuman dengan cara
mencuci makanan (Khususnya buah dan sayuran), memasak
makanan dengan tepat dan memasak air minum sebelum
dikonsumsi
3. Perbaikan sanitasi lingkungan, seperti pembuatan saluran
pembuangan khusus limbah dan menjaga sumber air bersih
4. Penyediaan jamban keluarga yang sesuai standar
5. Mengobati pasien tifoid atau karier tifoid secara tuntas
BAB III
SIMPULAN

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh


Salmonella enterik serotipe typhi atau paratyphi. Salmonella typhi dan Salmonella
paratyphi merupakan bagian dari genus salmonella. Kuman ini memiliki basil gram
negative, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, tetapi memilki fimbria, bersifat
aerob dan anaerob fakultatif.
Demam tifoid dan paratifoid bersifat endemik dan sporadik di Indonesia.
Demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dengan insidens tertinggi pada anak-
anak. Penularan bakteri S. Typhi dapat melalui fekal oral atau melalui carrier.
Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang ringan sekali
(sehingga tidak terdiaognosis), dan dengan gejala yang khas (sindrom demam tifoid)
sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Kumpulan gejala-gejala
klinis tifoid disebut dengan sindrom demam tifoid. Beberapa gejala klinis yang
sering pada tifoid diantaranya adalah demam, sakit kepala di daerah frontal, nyeri
otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia, mual-muntah. Gejala lain yang menyertai
demam tifoid anara lain gangguan saluran pencernaan dan dapat menyebabkan
gangguan kesadaran jika semakin berat
Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada penderita demam tifoid antara lain
pemeriksaan darah perifer, uji widal, uji bakteriologi, uji tubex, uji IgM dipstick dan
uji typhidot. Masing-masing uji memiliki kadar sensitivitas dan spesifitas yang
berbeda-beda.
Tata laksana pada penyakit ini terbagi menjadi tata laksana non farmakologis
dan farmakologis. Tata laksana non farmakologis meliputi tirah baring, diet lunak
dan terapi cairan. Sedangkan tata laksana farmakologis utama yaitu pemberian
antibiotik. Antibiotik lini pertama yang diberikan adalah kloramfenikol. Selain itu
pasien juga diberikan terapi simptomatik untuk menurunkan panas dan mual.
Daftar Pustaka

2000 Redbook, American Academy of Pediatrics, hal. 501 – 506

Aru W. Sudoyo, dkk. 2010. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing

Fisiology Guyton & Hall. Edisi 9. 2007. EGC. Jakarta

http://emedicine.medscape.com/article/231135
http://www.emedicine.com/med/topic2331.htm

Manuel of Pediatric Therapeutics 1994, Little Brown, hal. 440 – 441

N Engl J Med 2006; 347:1770-1782November 28, 2006. Typhoid Fever, Christopher M,dll.

Price, Sylvia dan Lorraine Wilson. 2003. Patofisiologi. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai