Anda di halaman 1dari 10

BAB II PEMBAHASAN KASUS & PENEGAKAN DIAGNOSIS

A. Anemia Hemolitik Autoimun Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis. Hemolisis mempunyai pengertian pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya (Bakta, 2006). Sedangkan anemia hemolitik autoimun (AIHA) ialah suatu anemia hemolitik yang timbul karena terbentuknya autoantibodi terhadap eritrosit sendiri sehingga menimbulkan destruksi (hemolisis) eritrosit. Sebagian referensi menyebutkan anemia hemolitik autoimun ini merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek (Sudoyo et.al., 2006). Anemia hemolitik autoimun memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Etiologi pasti dari penyakit hemolitik autoimun belum jelas, kemungkinan terjadi karena gangguan central tolerance dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual. Fenomena autoimun sering menyertai penyakit lain seperti leukemia limfositik kronis, limfoma, lupus eritematosus, dan infeksi virus seperti mononukleosis infeksiosa dan hepatitis. Pada keadaan ini disebut autoimun sekunder (Widmann, 1995). Anemia hemolitik autoimun biasanya digolongkan sesuai dengan suhu optimum untuk aktivitas anitibodi. Antibodi panas (warm antibodies) bekerja paling baik pada suhu 370C, sedangkan antibodi dingin (cold antibodies) mempunyai suhu optimum dibawah 370C. Anemia hemolitik autoimun terjadi akibat destruksi eritrosit yang melalui proses hemolisis ekstravaskuler dan intravaskuler. Pada AIHA tipe hangat melibatkan proses hemolisis ekstravaskuler dan pada AIHA tipe dingin melibatkan hemolisis intravaskuler (Widmann, 1995).

Gejala dan manifestasi klinik Gejala hemolisis yang dapat timbul antara lain: a. Ikterus Ikterus timbul karena peningkatan bilirubin indirek dalam darah sehingga ikterus bersifat acholuric jaundice, bahwa dalam urin tidak dijumpai bilirubin. b. Splenomegali dan hepatomegali Splenomegali hampir selalu dijumpai pada anemia hemolitik kronik familial-herediter, kecuali pada anemia sel sabit dimana limpa mengecil karena terjadinya infark. Hepatomegali lebih jarang dijumpai karena makrofag dalam limpa lebih aktif dibandingkan makrofag pada hati. c. Kholelithiasis Batu yang terbentuk disebut black pigment stone, terdiri dari cross link polymer dan bilirubinat. Batu empedu paling sering dijumpai pada sferositosis herediter dan anemia sel sabit. d. Kelainan tulang Kelainan tulang dapat terjadi apabila proses hemolisis terjadi pada saat fase pertumbuhan, maka ekspansi sumsum tulang akan menimbulkan: tower shaped skull, penebalan tulang frontalis dan parietalis. Kelainan ini paling sering terjadi pada thalassemia mayor/ pada foto rontgen terlihat sebagai hair on-end appearance. e. Krisis Pada anemia hemolitik kronik sering terjadi penurunan kadar hemoglobin secara tiba-tiba yang disebut krisis. Krisis dapat berupa krisis aplastik, krisis hemolitik, dan krisis megaloblastik. (Bakta, 2006)

Sedangkan pada anemia hemolitik autoimun, gejala klinik yang dapat muncul antara lain: Anemia hemolitik autoimun tipe hangat:

Biasanya gejala anemia ini terjadi perlahan-lahan, ikterik, demam, dan kadang disertai nyeri abdomen, limpa biasanya membesar, urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuria. Pada AIHA splenomegali terjadi pada 50-60%, ikterik terjadi pada 49%, hepatomegali 30% pasien dan limfadenopati pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi. Anemia hemolitik autoimun tipe dingin Pada tipe dingin ini sering terjadi aglutinasi pada suhu dingin. Hemolisis berjalan kronik. Anemia ini biasanya ringan dengan Hb 9-12 g/dl. Sering juga terjadi akrosinosis dan splenomegali. Pada cuaca dingin akan menimbulkan penghancuran sel darah merah, memperburuk nyeri sendi dan bisa menyebabkan kelelahan dan sianosis pada tangan dan lengan. (Sudoyo et.al., 2006)

Kelainan laboratorium Kelainan laboratorium pada anemia hemolitik dapat digolongkan menjadi: anemia, kelaian laboratorium akibat proses hemolisis, kelainan laboratorium akibat kompresi sumsum tulang, kelainan laboratorium akibat penyakit dasar penyebab hemolisis. a. Anemia Anemia pada anemia hemolitik sebagian besar bersifat normokromik normositer, tetapi ada juga yang bersifat hipokromik mikrositer, seperti pada thalassemia. Penurunan kadar Hb bervariasi, dapat berlangsung cepat, tetapi dapat juga berlangsung perlahan-lahan. Penurunan kadar Hb >1 g/dl dalam waktu seminggu tanpa disertai perdarahan merupakan petunjuk ke arah anemia hemolitik. b. Penurunan masa hidup eritrosit Cara pengukuran yang paling umum yaitu random labeling with
51

chromicum.

c. Peningkatan katabolisme heme Peningkatan kadar bilirubin serum tergantung dari kecepatan pembentukan dan kecepatan ekskresinya oleh hati. d. Hemoglobinemia Destruksi eritrosit 10-20 ml intravaskuler akan menimbulkan

hemoglobinemia yang memberi warna merah muda pada plasma. Jika diukur maka kadar hemoglobin bebas dalam plasma sekitar 50 mg/dl, apabila meningkat menjadi 150-200 mg/dl, plasma berwarna merah terang dan akan mulai terjadi hemoglobinuria. Hemoglobin bebas dalam urin dapat diukur dengan reaksi bensidin. e. Hemoglobinuria Hemoglobinuria dicurigai jika urine berwarna merah, kecoklatan atau hitam coklat seperti cola (black water), setelah dilakukan sentrifugasi untuk menghilangkan eritrosit yang intak. f. Hemosiderinuria Ekskresi normal adalah 0,1 mg/hari, pada anemia hemolitik meningkat menjadi 3-11 mg/hari. g. Haptoglobin serum Haptoglobin serum menurun pada hemolisis intravaskular maupun

ekstravaskular berat. h. Tanda-tanda eritropoesis meningkat Dapat dijumpai retikulositosis, polikromasia, dan stiplling pada gambaran darah tepi. Sedangkan pada sumsum tulang dijumpai hiperplasia

normoblastik. (Bakta, 2006)

Pemeriksaan laboratorium pada anemia hemolisis autoimun didapatkan: AIHA tipe hangat 1. Gambaran darah tepi terdapat mikrosferosit, polikromasia dan normoblast. Morfologi anemia ini pada umumnya ialah normokromik normositer dan juga terdapat peningkatan retikulosit.

2. Bilirubiin serum meningkat 2-4 mg/dl, dengan bilirubin indirek lebih tinggi daripada bilirubin direk. 3. Tes Coombs direk (DAT) positif. 4. Hemoglobin di bawah 7 gr/dl. 5. Yang paling menonjol pada pemeriksaan darah tepi ditemuklan sferositosis.

AIHA tipe dingin Tes aglutinasi dingin dijumpai titer tinggi dan tes Coombs direk positif. Pada gambaran darah tepi biasanya dijumpai leukosit yang tinggi sampai >50.000/mmk yang biasanya dijumpai pada proses yang akut, selain itu dijumpai hitung trombosit yang meningkat.

Pendekatan Diagnostik Diagnosis anemia hemolitik dilakukan dalam 2 tahap, yaitu: a. Menentukan adanya anemia hemolitik Anemia hemolitik dicurigai jika didapatkan: 1. Tanda-tanda destruksi eritrosit berlebihan bersamaan dengan tanda-tanda peningkatan eritropoesis. Hal ini ditandai dengan anemia, retikulositosis dan peningkatan bilirubin indirek dalam darah. 2. Anemia persisten disertai retikulositosis tanpa ada tanda-tanda perdarahan yang jelas. Jika perdarahan dan pemulihan anemia defisiensi akibat terapi dapat disingkirkan, maka diagnosis anemia hemolitik ditegakkan. 3. Apabila terdapat penurunan hemoglobin lebih dari 1 g/dl dalam waktu satu minggu (melebihi kemampuan kompensasi eritropoesis) serta perdarahan akut dan hemolisis dapat disingkirkan maka anemia hemolitik dapat ditegakkan. 4. Apabila dijumpai hemoglobinuria atau tanda hemolisis intravaskuler yang lain. (Wintrobe, 2005)

b. Menentukan penyebab spesifik anemia hemolitik Menentukan penyebab anemia hemolitik dimulai dengan anamnesis yang teliti, pemeriksaan apusan darah dan tes Coombs. Untuk itu, pasien dapat dikelompokkan menjadi 5 kelompok, yaitu: 1. Kasus dengan diagnosis yang sudah jelas karena adanya pemaparan terhadap infeksi, bahan kimia dan bahan fisik. 2. Kasus dengan tes Coombs direk positif maka ditetapkan sebagai anemia imunohemolitik. Langkah selanjutnya mencari penyakit dasar (underlying disease) dan tes serologi untuk menetapkan sifat antibodi yang dijumpai. 3. Kasus dengan sferositik disertai tes Coombs negatif, kemungkinan adalah sferositosis herediter. 4. Kasus dengan kelainan morfologi eritrosit yang lain. Sel target menjurus ke thalassemia, sel sabit patognomonik pada anemia sel sabit, fragmentasi eritrosit ekstensif menjurus ke arah anemia hemolitik mikroangiopati. 5. Kasus tanpa kelainan morfologi yang khas dan tes Coombs direk negatif memerlukan penunjang yang lain. (Bakta, 2006)

Penegakan diagnosis anemia berat dd e.c autoimun hemolitik anemia (AIHA) pada Ny. S, berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pendekatan diagnosis anemia pada pasien ini didapatkan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh lemas seluruh tubuh, terus menerus, tidak berkurang dengan makan dan istirahat. Pasien lemas sehingga tidak dapat beraktifitas. Nggliyer (+), berkunang-kunang pada perubahan posisi dari tidur ke duduk atau ke berdiri. Sakit kepala (+), pusing (+), telinga berdenging (+), lesu (+). Dari pemeriksaan fisik didapatkan kunjungtiva pucat, kulit kering, Batas jantung kesan melebar caudolateral, auskultasi didapatkan bising 3/6 di seluruh katub sistolik. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan anemia berat (Hb 3,7; Hct 13,2; AE 1,07), LED 1 jam 95 mm/jam dan pada pemeriksaan foto thorax PA kesan cardiomegali. Hal tersebut merupakan keluhan dan gejala dari anemia. Pada pasien ini, anemia merupakan proses yang kronik. Selanjutnya, pendekatan diagnosis pada pasien dengan anemia mengikuti algoritma dibawah ini.

Algoritma diagnosis anemia normokromik normositik (Sudoyo, et. al. 2009).

Dari pemeriksaan laboratorium darah diperoleh hasil perhitungan index eritrosit yaitu anemia normokromik normositik. Selanjutnya diperiksa kadar retikulosit dan didapatkan hasil yang meningkat, yaitu 28,80%. Pasien juga mengeluh badan kuning di seluruh tubuh sejak 1 minggu SMRS, awalnya hanya mata yang berwarna kuning kemudian seluruh tubuh menyusul jadi kuning, dari pemeriksaan fisik mata dengan sklera ikterik, dan ikterik di seluruh tubuh. Pada ektremitas ditemukan ikterik di seluruh ekstremitas. Keluhan tersebut merupakan tanda-tanda ikterik. Pasien juga mengeluhkan 2 minggu SMRS BAK berwarna seperti teh. Dari pemeriksaan fisik didapatkan pada palpasi abdomen ditemukan pembesaran hepar dan pembesaran lien. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan Alkali phospatase 105 U/L, Hiperbilirubin (Bilirubin total 6,42 mg/dl, bilirubin indirect 5,02 mg/dl, bilirubin direct 1,4 mg/dl), dari pemeriksaan urin didapatkan urobilinogen 4, bilirubin urin 1. Keluhan dan hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan telah ada hepatosplenomegali. Trombositopenia disimpulkan dari pemeriksaan laboraorium darah yang menunjukkan jumlah selalu dibawah batas normal, yaitu 140-440.103/L. Pada AIHA tipe hangat, eritrosit yang diselimuti IgG atau komplemen difagositik oleh makrofag dalam lien dan hati sehingga terjadi hemolisis ekstravaskuler. Adapun hemolisis ekstravaskuler terjadi pada sel makrofag dari sistem retikuloendotelial (RES) terutama pada lien, hepar, dan sumsum tulang karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis ini terjadi karena kerusakan membran (akibat reaksi antigen antibodi). Eritrosit yang pecah akan menghasilkan globulin yang akan dikembalikan ke protein pool, serta besi yang dikembalikan ke makrofag (cadangan besi) yang selanjutnya akan dipakai kembali, sedangkan protoporfirin akan menghasilkan gas CO dan bilirubin. Bilirubin dalam darah berikatan dengan albumin menjadi bilirubin indirek, mengalami konjugasi dalam hati menjadi bilirubin direk kemudian dibuang melalui empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen dalam feses dan urobilinogen dalam urin (Bakta, 2006).

Akibat dari proses tersebut, akan meningkatkan kerja hepar dan lien sehingga terjadi pembesaran hepar dan lien. Hipersplenisme (pembesaran limpa) dapat juga menyebabkan hemolisis akibat peningkatan nyata SDM yang terperangkap dan hancur. Karena limpa yang membesar mengisolasi semua jenis sel darah, seorang pasien dengan hipersplenisme akan memperlihatkan adanya pansitopenia dan sumsum tulang yang normal atau hiperseluler (Price & Wilson, 2006).

B. ISK Asimptomatis Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi bakteri yang terjadi pada saluran kemih. Tidak semua ISK menimbulkan gejala, ISK yang tidak menimbulkan gejala disebut sebagai ISK asimptomatis.

Pembagian ISK Berdasar anatomi


Bawah : uritritis, sistitis (infeksi superfisialis vesika urinaria), prostatitis Atas : pielonefritis (proses inflamasi parenkim ginjal), abses ginjal

Berdasar Klinis

Tanpa komplikasi : sistitis pada wanita hamil kelainan neurologis atau struktural yang mendasarinya

Dengan Komplikasi : infeksi saluran kemih atas atau setiap kasus ISK pada laki-laki, atau perempuan hamil, atau ISK dengan kelainan neurologis atau struktural yang mendasarinya

Pemeriksaan Mikrobiologis

ISK tanpa kompliksi : E. Coli (80%), proteus, klebsiella, enterokokus ISK dengan komplikasi : E. Coli (30%) enterokokus (20%), pseudononas (20%), S. Epidermidis (15%), batang gram negatif lainya.

ISK yang berhubungan dengan kateter : jamur (30%), E . coli (25%), batang gram negatif lainya, enerokokus, S.epidermis

Uritritis : chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae

Manifestasi klinis

Sistitis : piuria urgensi, frekuensi miksi meningkat perubahan warna dan bau urine, nyeri suprapublik, demam biasanya tidak ada.

Uretritis : mungkin mirip dengan sistitis kecuali adanya discharge uretra Prostatitis: serupa dengan sistitis kecuali gejala obstruksi orifisium uretra (contoh: hestansi, aliran lemah).

Pielonefrritis : demam, menggigil, nyeri punggung atau bokong, mual, muntah, diare

Abses ginjal (intrarenal atau perinefrik); serupa dengan pielonefritis kecuali demam menetap meskipun di obati dengan antibiotik.

Diagnosis

Urinalisis : piuria + bakteriuria hematuria Hitung bakteri bermakna: 105 unit koloni/ml pada perempuan yang asimtomatik 103 unit koloni/ml pada laki-laki 102 unit koloni/ml pada pasien simtomatik atau dengan karakter piuria steril uretritis, tuberkulosis ginjal, benda asing.

Kultur dan pewarnaan gram urine (dari urine porsi tengah atau spesimen lansung dari katater)

Pada perempuan hamil dan pasien yang menjalani pembedahan urologi lakukan skrining terhadap bakteriuria asimtomatik

Kultur darah : pertimbangkan pada ISK dengan komplikasi Deteksi DNA atau kultur terhadap C. Trachomatis, N. gonorrhoeae pada pasien yang kegiatan seksualnya aktif atau pada piuria steril

Spesimen urine porsi pertama dan porsi tengah, pemijatan prostat, dan spesimen urine

Pada pasien ini, dari anamnesis tidak didapatkan keluhan dan gejala dari ISK. Diagnosis ISK ditegakkan dari pemeriksaan urin yang ditemukan eritrosituria, leukosituria, nitrit positif dan bakteriuria.

Anda mungkin juga menyukai