DOSEN PEMBIMBING:
KELOMPOK 4
1. Oktavia Rohmawati
2. Evi Leidiana
3. Andika Pitro
4. Fuad Muzakki
5. Siti Komariyah
6. Feriyadin Satrio Wibowo
7. Cindy Mulyawati
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
LAMONGAN
2012
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui
Dosen Pembimbing
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah sistem
imunologi dan hematologi. Dalam makalah ini kami membahas tentang Asuhan
Keperawatan Anemia Hemolitik.
Penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis
membuka diri untuk menerima berbagai masukan dan kritikan dari semua pihak.
Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca
khususnya.
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1.Definisi
Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan oleh
proses hemolisis. Hemolisis adalah pemecahan eritrosit dalam pembuluh
darah sebelum waktunya (sebelum masa hidup rata-rata eritrosit yaitu 120
hari). Hemolisis dapat etrjadi dalam pembuluh darah (intravaskular) atau
diluar pembuluh darah (ekstravaskuler) yang membawa konsekuensi
patofisiologik yang berbeda.
Pada orang dengan sumsum tulang yang normal, hemolisis pada
darah tepi akan direspon oleh tubuh dengan peningkatan eritropoesis
dalam sumsum tulang. Kemampuan maksimum sumsum tulang untuk
meningkatkan eritropoesis adalah 6 sampai 8 kali normal. Apabila derajat
hemolisi tidak terlalu berat (pemendekan masa hidup eritrosit sekitar 50
hari). Maka sumsum tulang masih mampu melakukan kompensasi
sehingga mampu melakukan kompensasi sehingga tidak timbul anemia.
Keadaan ini disebut sebagai keadaan hemolisis terkompensasi
(compensated hemolytic state). Akan tetapi, jika kemampuan kompensasi
sumsum tulang dilampaui maka akan terjadi anemia yang kita kenal
anemia hemolitik.
2.2.Etiologi
Berdasarkan etiologinya, anemia hemolitik ini terbagi menjadi dua
klasifikasi:
1. intrakorpuskular: hemolitik akibat faktor-faktor yang ada pada eritrosit
itu sendiri, misalnya karena faktor herediter, gangguan
metabolismenya, gangguan pembentukan hemoglobinnya, dll.
2. ekstrakorpuskular: hemolitik akibat faktor-faktor dari luar yang
biasanya didapat, misalnya karena autoimun, pengaruh obat, infeksi,
dsb.
2.3.Klasifikasi
Pada dasarnya anemia hemolitik dapat dibagi menjadi dua golongan besar
sebagai berikut:
1) Anemia hemolitik karena factor didalam eritrosit sendiri
(intrakorpuskular), yang sebagian besar bersifat herediter-familiar.
2) Anemia hemolitik karena factor diluar eritrosit (ekstrakorpuskular)
yang sebagian besar bisa didapatkan.
Di klinik, khususnya penyakit dalam, anemia hemolitik yang paling
banyak dijumpai adalah anemia hemolitik autoimun. Agaknya anemia
hemolitik herediter-familier hanya sebagaian kecil yang dapat mencapai
usia dewasa, sehingga lebih banyak dijumpai di bagian anak.
2.4.Patofisiologi
Proses hemolysis akan menimbulkan beberapa gejala berikut ini:
1) Penurunan kadar hemoglobin yang akan mengakibatkan anemia.
Hemolysis dapat terjadi perlahan lahan, sehingga dapat diatasi oleh
mekanisme kompensasi tubuh, tetapi dapat juga terjadi tiba-tiba,
sehingga segera menurunkan kadar hemoglobin. Tergantung
derajat hemolisis, apabila derajat hemolisis ringan sampai sedang
maka sumsum tulang masih dapat melakukan kompensasi 6 sampai
8 kali normal sehingga tidak terjadi anemia. Keadaan ini disebut
sebagai keadaan hemolitik terkompensasi (compensated hemolytik
acute). Akan tetapi, apabila derajat hemolisis berat maka
kompensasi tidak dapat mengatasi hal tersebut sehingga terjadi
anemia hemolitik. Derajat penurunan hemoglobin dapat bervariasi
dari ringan sampai sedang. Penurunan hemoglobin dapat terjadi
perlahan-lahan, tetapi sering sekali sangat cepat (lebih dari 2 g/dl
dalam waktu satu minggu).
2) Peningkatan hasil pemecahan eritrosit dalam tubuh. Hemolisis
berdasarkan tempatnya dibagi menjadi dua.
a. Hemolisis ekstravaskular
Hemolisis terjadi pada sel makrofag dari sistem retikulo
endotelial (RES) terutama pada lien, hepar, dan sumsum
tulang karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase.
Lisis terjadi karena kerusakan membran, presipitasi
hemoglobin dalam sitoplasma, dan menurunnya
fleksibilitas eritrosit. Pemecahan eritrosit ini akan
menghasilkan globin yang akan dikembalikan ke protein
pool, serta besi yang dikembalikan ke makrofag
selanjutnya akan digunakan kembali, sedangkan
protoporfirin akan menghasilkan gas CO dan bilirubin.
Bilirubin dalam darah akan berikatan dengan albumin
menjadi bilirubin indirek, mengalami konjugasi dalam hati
menjadi bilirubin direk kemudian dibuang melalui empedu
sehingga meningkatkan sterkobilinogen dalam feses dan
urobilinogen dalam urine.
b. Hemolisis intravaskular
Pemecahan eritrosit intravaskular menyebabkan lepasnya
hemoglobin bebas kedalam plasma. Hemoglobin bebas ini
akan di ikat oleh hepatoglobin, sehingga kadar
hepatoglobin plasma akan menurun. Apabila kapasitas
hepatoglobin dilampaui, maka terjadilah hemoglobin bebas
dalam plasma yang disebut sebagai Hemoglobinemia.
Hemoglobin bebas akan mengalami oksidasi menjadi
metemoglobin sehingga terjadi metemoglobinemia.
Hemoglobin bebas akan keluar melalui urine sehingga
terjadi hemoglobinuria. Pemecahan eritrosit intravaskular
akan melepaskan banyak LDH yang terdapat dalam
eritrosit, sehingga serum LDH akan meni ngkat.
2.5.Pathway
Pathway dibagi 2 menurut tempat hemolisisnya:
1. Hemolisis ekstravaskuler
2. Hemolisis intravaskuler
2.6.Gejala Klinik
Gambaran klinik anemia hemolitik bervariasi disebabkan oleh
perjalanan penyakit (akut atau kronik) dan tempat kejadian hemolisis
(intravaskuler atau ekstravaskuler) sehingga pada umumnya dilihat dari
gejala kliniknya anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 2 golongan besar
yaitu
a. anemia hemolitik kronik heredirter-familier
b. anemia hemolitik akut didapat (acquired)
Di dapat
Pemeriksaan apusan darah meunjukkan adanya polikromasia (akibat RNA residu yang
ditemukan pada sel darah merah yang sudah tua) dan peningkatan jumlah retikulosit,
keduanya mengindikasikan adanya peningkatan produksi sel darah merah
2.8.Pendekatan Diagnostik
Diagnosis anemia hemolitik dilakukan dalam 2 tahap, yaitu:
1. Menentukan adanya anemia hemolitik.
Anemia hemolitik dapat di diagnosis jika terdapat anemia yang
disertai dengan tanda-tanda destruksi eritrosit, dan tanda-tanda
tingkatan eritropoesis. tapi tidak ada tes tunggal yang realiable untuk
memastikan diagnosis karena harus dilakukan kombinasi beberapa
macam tes, serta dengan penyisihna penyebab penyebab lain yang
memberikan tanda-tanda yang sama. Peningkatan eritropoesis
dijumpai juga pada perdarahan akut dan akibat respon terapi pada
anemia defisiensi (besi, asam folat, dan B 12) Yang sedang diobati.
Tanda-tanda destruksi eritrosit juga dijumpai pada eritropoesis infeksi,
gangguan katabolisme bilirubin, dan perdarahan kedalam rongga
tubuh. Jika keadaan ini dapat disisihkan, diagnosis anemia hemolitik
dapat ditegakkan.
Pada anemia hemolitik kronik tanda-tanda peningkatan
eritropoesis lebih menonjol, sedangkan pada anemia hemolitik akut
tanda peningkatan eritropoesis tidak begitu menonjol. Pada anemia
hemolitik akut dijumpai gejala acute febril illness, tanda-tanda
intravaskuler hemolisis, atau penurunan hemoglobin tiba-tiba, lebih
dari 1 g/dl dalam waktu satu minggu. Penurunan hemoglobin tiba-tiba
ini dijumpai juga pada perubahan akut dan hemodilusi. Jika kedua hal
ini dapat disingkirkan, diagnosis anemia hemolitik dapat ditegakkan.
2.9.Diagnosis banding
Kelainan kelainan yang sering dikeluarkan dengan anemia hemolitik
yaitu:
1. anemia pasca perdarahan akut dan fase pemulihan anemia defisiensi
yang sedang mendapat terapi. Disini dapat dibedakan karena tidak
adanya ikterus dan kadar hemoglobin meningkat pada pemeriksaan
berikutnya.
2. Anemia karena ertropoesis infeksi sering disertai ikterus akholurik dan
hyperplasia normoblastik sumsum tulang, terapi disini retikolusit tidak
meningkat. Pada kasusu yang meragukan dilakukan pemeriksaan
survival eritrosit
3. Anemia yang disertai dengna perdarahan kerongga retropenia atau
kejaringan lain sering kali sulit dibedakan dengan anemia hemolitik.
Disini hemoglobin turun dengan cepat disertai retokolusitosis dan
ikterus akholurin. Kasus ini hanya dapat dibedakan kalu dapat
dilakukan pemeriksaan yang membuktikan adanya perdarahan ini.
4. Kasus dengan ikterus tanpa anemia seperti pada sindrom gilbert atau
kelainan metabolism yang lain perlu dibedakan keadaan hemolitik
rekompensasi. Disini tidak dijumpai kelainan morfologi eritrosit dan
retikulosit normal. Pada keadaan yang meragukan dilakukan
pemeriksaan survival eritrosit.
5. Adanya mioglobinuria seperti pada kerusakaan otot yang luas atau
krus sindrom perlu dibedakan dengan hemoglobinuria. Hal ini dapat
dibuktikan dengan elektroporesis.
2.10. Penatalaksanaan
Pengobatan anemia hemolitik sangat tergantung keadaan klinik kasus
tersebut serta penyebab hemolisisnya karena itu sangat bervariasi kasus
per kasus. Akan tetapi pada dasarnya anemia hemolitik dibagi menjadi 3
golongan besar, yaitu:
1. Terapi gawat darurat
Pada hemolisis akut terutama hemolisis intravaskuler, dimana terjadi
syok dan gagal ginjal akut maka harus diambil tindakan darurat untuk
mengatasi syok, mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,
serta memperbaiki fungsi ginjal. Jika terjadi anemia berat,
pertimbangan transfusi darah harus dilakukan dengan sangat hati-hati,
meskipun dilakukan dengan cross matching, hemolisis tetap dapat
terjadi sehingga memberatkan fungsi organ lebih lanjut. Akan tetapi,
jika syok berat maka tidak ada pilihan selain transfusi. Dilakukan
penentuan tipe genotipe golongan darah, dan penentuan antibodi
spesifik. Darah yang coco untuk sistem ABO dan sistem Rh harus di-
Cross match dengan darah penderita, hasil yang paling cocok dapat
diberikan. Namun, pengawasan harus betul-betul ketat apabila
hemolisis tetap terjadi dapat dipertimbangkan exchange transfusion.
Pada AIHA yang disertai hemolisis berat kadang-kadang diperlukan
tindakan darurat karena anemia berat yang terjadi tiba-tiba dapat
membahayakan fungsi jantung sehingga terjadi gagal jantung. Dalam
keadaan demikian, transfusi terpaksa dilakukan dengan kehati-hatian,
seperti tersebut diatas. Sebaiknya diberikan darah merah yang dicuci
(washed red cell) untuk mengurangi beban antibodi. Pada saat yang
sama dapat diberikan steroid parenteral dosis tinggi untuk menekan
fungsi makrofag atau pemberian hiperimun globulin dengan fungsi
yang sama.
2. Terapi supportif-simtomatik
Terapi supportif-simtomatik untuk anemia hemolitik diberikan untuk
menekan proses hemolisis terutama di limpa (lien). Eritrosit dengan
kerusakan ringan dikeluarkan lewat limpa, tetapi eritrosit dengan
kerusakan berat dikeluarkan lewat organ lain, terutama hati.
Splenektomi dapat menimbulkan remisi atau mengurangi gejala pada
beberapa bentuk anemia hemolitik kronik. Respon terbaik dan
konsisten terhadap splenektomi dijumpai pada sferositosis herediter.
Respon cukup baik juga diberikan oleh penderita eliptositosis
herediter. Respon parsial diberikan oleh anemia hemolitik dengan
gangguan enzim, seperti defisiensi piruvat kinase dan heksokinase.
Anemia imunohemolitik, terutama dengan antibodi panas memberikan
respon cukup baik terhadap splenektomi, disamping berkurangnya
tempat destruksi eritrosit, tetapi karena limpa juga merupakan tempat
pembentuk antibodi.
Steroid memberikan respon pada kasus imunohemolitik tertentu,
terutama yang disertai antibodi panas. Penderita yang tidak
memberikan respon terhadap steroid dapat dicoba dengan obat
imunosupresif lain, seperti azathioprin.
Pada anemia hemolitik kronik familier-herediter sering diperlukan
transfusi darah teratur umtuk mempertahankan kadar hemoglobin.
Bahkan pada thalasemia mayor dipakai teknik supertransfusi atau
hipertransfusi untuk mempertahankan keadaan umum dan
pertumbuhan pasien.
Pada anemia hemolitik kronik dianjurkan pemberian asam folat 0,15-
0,3 mg/hari untuk mencegah krisis megaloblastik.
3. Terapi kausal
Terapi kausal tentunya menjadi harapan untuk dapat memberikan
kesembuhan total. Tetapi sayang sekali sebagian kasus bersifat
idiopatik, atau disebabkan oleh penyebab herediter-familier yang
belum dapat dikoreksi. Tetapi bagi kasus yang etiologinya jelas maka
terapi kausal harus segera dilaksanakan. Pemaparan terhadap bahan
kimia, fisik, atau obat harus dihentikan. Jika penyebabnya infeksi
maka infeksi harus diobati dengan sebaik-baiknya.
Transplantasi sumsum tulang memberikan harapan penyembuhan
pada kasusu anemia hemolitik herediter-familier terutama thalasemia.
BAB III
STUDI KASUS
3.1. Pengkajian
A. Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan dahulu
i. Kemungkinan klien pernah terpajan zat-zat kimia atau mendapatkan
pengobatan seperti anti kanker, analgetik dll.
ii. Kemungkinan klien pernah kontak atau terpajan radiasi dengan kadar
ionisasi yang besar
iii. Kemungkinan klien kurang mengkonsumsi makanan yang
mengandung as. Folat,Fe dan Vit12.
iv. Kemungkinan klien pernah menderita penyakit-penyakit infeksi
v. Kemungkinan klien pernah mengalami perdarahan hebat
2. Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit anemia dapat disebabkan olen kelainan/kegagalan genetik yang
berasal dari orang tua yang sama-sama trait sel sabit
3. Riwayat kesehatan sekarang
i. Klien terlihat keletihan dan lemah
ii. Muka klien pucat dan klien mengalami palpitasi
iii. Mengeluh nyeri mulut dan lidah
B. Fungsional Gordon
1. Pola aktivitas sehari-hari
Keletihan, malaise, kelemahan
Kehilangan produktibitas : penurunan semangat untuk bekerja
2. Sirkulasi
Palpitasi, takikardia, mur mur sistolik, kulit dan membran
mukosa (konjungtiva, mulut, farink dan bibir) pucat
Sklera : biru atau putih seperti mutiara
Pengisian kapiler melambat atau penurunan aliran darah
keperifer dan vasokonstriksi (kompensasi)
Kuku : mudah patah, berbentuk seperti sendok
Rambut kering,mudah putus,menipis dan tumbuh uban secara
prematur
3. Eliminasi
Diare dan penurunan haluaran urin
4. Integritas ego
Depresi, ansietas, takut dan mudah tersinggung
5. Makanan dan cairan
Penurunan nafsu makan
Mual dan muntah
Penurunan BB
Distensi abdomen dan penurunan bising usus
Nyeri mulut atau lidah dan kesulitan menelan
6. Higiene
Kurang bertenaga dan penampilan tidak rapi
7. Neurosensori
Sakit kepala, pusing, vertigo dan ketidak mampuan
berkonsentrasi
Penurunan penglihatan
Gelisah dan kelemahan
8. Nyeri atau kenyamanan
Nyeri abdomen samar dan sakit kepala
9. Pernafasan
Nafas pendek pada istirahat dan aktivitas (takipnea, ortopnea
dan dispnea)
10. Keamanan
Gangguan penglihatan, jatuh, demam dan infeksi
11. Seksualitas
Perubahan aliaran menstruasi ( menoragia/amenore)
Hilang libido
Impoten
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
4.3. Daftar Pustaka
Handayani, Wiwik & andi S.H. 2008. Asuhan Keperawatan Pada
Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Slaemba
Medika. Hal 59-62.
Bakta, Prof.Dr. I Made.2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta:
EGC.
davey, patrick. 2005. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga. Hal. 307.