Anda di halaman 1dari 18

ASKEP PASIEN HIV/AIDS DENGAN

KOMPLIKASI DIARE

DI SUSUN OLEH:

R2A KEPERAWATAN

KELOMPOK III

ANDI ASRIZAL NINGRAWAN (201901003)

ARIFANDI (201901004)

NURUL HUMAIRAH (201901028)

RAHMA PUTRI SEPTIANI (201901029)

WIDYA SAPTRI (201901038)

WINDI ISTIQOMAH (201901039)

WINDY INDRIANI.P (201901040)

PROGRAM STUDI S1 NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA NUSANTARA PALU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur, kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmatdan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini berisikan tentang asuhan
keperawatan pasien HIV/AIDS dengan komplikasi diare.Diharapkan tugas ini, dapat
memberikan informasi kepada kita semua.

Adapun kiranya masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kami mengaturkan
permohonan maaf apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini. Kami pun berharap
membaca makalah ini dapat memberikan kritik dan sarannya kepada kami agar dikemudian
hari kami bisa menyusun makalah yang lebih sempurna lagi.

Palu, 17 maret 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................


DAFTAR ISI.........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................
A. Latar Belakan............................................................................................
B. Rumusan masalah.....................................................................................
C. Tujuan.......................................................................................................
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Definisi......................................................................................................
B. Anatomi Fisiologi.....................................................................................
1. Sistem Imun .......................................................................................
2. Imunitas Atau Respon Imun...............................................................
C. Etiologi......................................................................................................
D. Manifestasi Klinis.....................................................................................
E. Patofisiologi .............................................................................................
F. Penatalaksanaan ........................................................................................
G. Komplikasi................................................................................................
H. Pemeriksaan Penunjang............................................................................
BAB III TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian ................................................................................................
B. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan .....................................................
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................................
B. Saran.........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan virus yang dapat
menyebabkan acquired immune deficiency syndrome (AIDS). Human
Immunodeficiency Virus Infection dapat menyebabkan gangguan respon imunitas
yang progresif dengan menyerang sel limfosit CD4+, hal ini mengakibatkan
berkembangnya infeksi opurtunistik, salah satunya adalah infeksi penyebab diare.
Pasien yang terinfeksi oleh HIV kejadian diare merupakan penyebab mayor
dari kesakitan yang dialami oleh pasien serta penanda buruknya prognosis. Kejadian
diare pada pasien HIV sendiri memiliki prevalensi yang cukup tinggi, diperkirakan
60-90% kejadian diare di Afrika dialami oleh orang yang terinfeksi HIV.
Secara klinis penyebab diare yang sering ditemukan disebabkan oleh infeksi
dan keracunan. Di negara berkembang, diare pada orang yang imunokompeten dan
imunosupresi memiliki etiologi yang berbeda. Orang dengan imunokompeten
memilki penyebab diare tersering yaitu giardiasi, amebiasis, yersinosis, dan C.
difficile..Sementara pada pasien yang immuno-supresi, seperti pasien HIV, penyebab
diare tersering yaitu Cryptosporidium, I. belli,dan S. stercoralis. Pemberian
kotrimoksasol pada pasien HIV merupakan salah satu terapi profilaksis dalam
mencegah terjadinya diare. Di Afrikapemberian kotrimoksasol memberikan hasil
yang efektif dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta memberikan
efek yang baik pada kadar CD4 pasien HIV.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja konsep teori dari HIV terhadap komplikasi diare?
2. Bagaimana proses asuhan keperawatan HIV terhadap komplikasi diare?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui konsep teori dari HIV terhadap komplikasi diare
2. Memahami proses asuhan keperawatan HIV terhadap komplikasi diare
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
HIV merupakan salah satu penyakit menular seksual yang berbahaya di dunia
(Silalahi, Lampus, dan Akili, 2013). Seseorang yang terinfeksi HIV dapat diibaratkan
sebagai gunung es (Lestary, Sugiharti dan Susyanty, 2016) yang dimana HIV
memang tidak tampak tetapi penyebarannya mengakibatkan banyaknya kasus HIV
baik di Indonesia maupun di dunia.AIDS adalah Suatu kumpulan kondisi tertentu
yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Virginia Macedolan, 2008)
AIDS Kependekan dari A: Acquired: Didapat, Bukan penyakit
keturunanI:Immune:Sistem kekebalan tubuhD:Deficiency: KekuranganSyndrome Jadi
AIDS adalah berarti kumpulan gejala akibat kekurangan dan kelemahan system tubuh
yang dibentuk setelah kita lahir (Depkes,2007)

B. Anatomi Fisiologi

Imunologi Sistem
1. Sistem Imun
Sistem pertahanan internal tubuh yang berperan dalam mengenali dan
menghancurkan bahan yang bukan “normal self” (bahan asing atau abnormal
cells)
2. Imunitas atu Respon Imun
Kemampuan tubuh manusia untuk melawan organisme atau toksin yang
berbahaya Ada 2 macam RI, yaitu :
a. RI Spesifik : deskriminasi self dan non self, memori, spesifisitas.
b. RI non Spesifik : efektifuntuk semua mikroorganisme
Sel-sel yang berperan dalam respon Imuna.
a. Sel B
Sel B adalah antigen spesifik yang berproliferasi untuk merespons antigen
tertentu. Sel B merupakan nama bursa fabrisius, yaitu jaringan limfoid yang
ditemukan pada ayam. Jaringan sejenis yang ada pada mamalia yaitu sumsum
tulang, jaringan limfe usus, dan limpa. Sel B maturbermigrasi ke organ-organ
limfe perifer seperti limpa, nodus limfe, bercak Peyer pada saluran
pencernaan, dan amandel. Sel B matur membawa molekul immunoglobulin
permukaan yang terikat dengan membran selnya. Saat diaktifasi oleh antigen
tertentu dan dengan bantuan limfosit T, sel B akan derdiferensiasi melalui dua
cara, yaitu :
1) Sel plasma adalah: Sel ini mampu menyintesis dan mensekresi antibodi
untuk menghancurkan antigen tertentu.
2) Sel memori B adalah Sel memori menetap dalam jaringan limfoid dan siap
merespons antigen perangsang yang muncul dalam pajanan selanjutnya
dengan respons imun sekunder yang lebih cepat dan lebih besar.
b. Sel T
Sel T juga menunjukan spesifisitas antigen dan akan berploriferasi jika ada
antigen, tetapi sel ini tidak memproduksi antibodi. Sel T mengenali dan
berinteraksi dengan antigen melalui reseptor sel T, yaitu protein permukaan
sel yang terikat membran dan analog dengan antibodi. Sel T memproduksi zat
aktif secara imulogis yang disebut limfokin. Sub type limfosit T berfungsi
untuk membantu limfosit B merespons antigen, membunuh sel-sel asing
tertentu, dan mengatur respons imun. Respons sel T adalah :Sel T, seperti sel
B berasal dari sel batang prekusor dalam sumsum tulang. Pada periode akhir
perkembangan janin atau segera 9setelah lahir, sel prekusor bermigrasi menuju
kelenjar timus, tempatnya berproliferasi, berdiferensiasi dan mendapatkan
kemampuan untuk mengenali diri.Setelah mengalami diferensiasi dan
maturasi, sel T bermigrasi menuju organ limfoid seperti limpa atau nodus
limfe. Sel ini dikhususkan untuk melawan sel yang mengandung organisme
intraselular.
c. Sel T Efektor :
1) Sel T sitotoksik (sel T pembunuh) Mengenali dan menghancurkan sel yang
memperlihatkan antigen asing pada permukaannya.
2) Sel T pembantu Tidak berperan langsung dalam pembunuhan sel. Setelah
aktivasi oleh makrofag antigen, sel T pembantu diperlukan untuk sistesis
antibodi normal, untuk pngenalan benda asing sel T pembantu melepas
interleukin-2 yang menginduksi proliferasi sel T sitotoksik, menolong sel
T lain untuk merespons antigen dan sel T pembantu dpt memproduksi zat
(limfokin) yang penting dalam reaksi alergi (hipersensitivitas).
d. Sel T Supresor
Setelah diaktifasi sel T pembantu akan menekan respon sel B dansel T.
e. Makrofag
Makrofag memproses antigen terfagositosis melalui denaturasi atau mencerna
sebagian antigen untuk menghasilkan fragmen yang mengandung determinan
antigenic. Makrofag akan meletakkan fragmen antigen pada permukaan selnya
sehingga terpapar untuk limfosit T tertentu.

C. Etiologi
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia yang termasuk dalam
keluarga lentivirus (termasuk pula virus imunodefisinsi pada kucing, virus
imunodefisiensi pada kera, visna virus pada domba, dan virus anemia infeksiosa pada
kuda).
Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi berhubungan secara
antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil diisolasi dari penderita AIDS.
Sebagian besar retrovirus, viron HIV-1 berbentuk sferis dan mengandung inti
berbentuk kerucut yang padat elektron dan dikelilingi oleh selubung lipid yang
berasal dari membran se penjamu. Inti virus tersebut mengandung kapsid utama
protein p24, nukleokapsid protein p7 atau p9, dua sirina RNA genom, dan ketiga
enzim virus (protease, reserve trancriptase, dan integrase).
Selain ketiga gen retrovirus yang baku ini, HIV mengandung beberapa gen
lain (diberi nama dengan tiga huruf, misalnya tat, rev, vif, nef, vpr dan vpu) yang
mengatur sintetis serta perakitan partikel virus yang infeksius. (Robbins dkk, 2011)
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011) virus HIV menular melalui enam
cara penularan, yaitu :
1. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan sesual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita HIV tanpa
perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksualberlangsusng, air
mani, cairan vagina, dan darah yang dapat mengenai selaput lendir, penis, dubur,
atau muluh sehingga HIV yang tedapa dalam cairan tersebut masuk ke aliran
darah (PELEKSI,1995 dalam Nursalam,2007 ). Selama berhubungan juga bisa
terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur dan mulut yang bisa menjadi jalan
HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual .
2. Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero). Berdasarkan
laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0.01%
sampai 7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS,
kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan gejala AIDS
sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50% (PELKESI,1995 dalam
Nursalam, 2007). Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui tranfusi
fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah
atau sekresi maternal saat melahirkan. (Lili V, 2004 dalam Nursalam, 2007).
Semakin lama proses melahirkan, semakin besar resiko penularan. Oleh karena
itu, lama persalinan bisa dipersingkat dengan operasi sectio caesaria (HIS dan
STB,2000 dalam Nursalam, 2007). Transmisi lain terjadi selam periode post
partum melaui ASI. Resiko bayi tertular melalui ASI dai Ibu yang positif sekitar
10% .
3. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menular HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan
menyebar ke seluruh tubuh.
4. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain yang
menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinveksi HIV, dan langsung
digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV, dan langsung digunakan
untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV bisa menular HIV .
5. Alat-alat untuk menoreh kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang, membuat
tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut
mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.
6. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan difasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh
para pengguna narkoba (Injecting Drug User-IDU) sangat berpotensi menularkan
HIV. Selain jarum suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-sama juga
menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga
berpotensi tinggi untuk menularkan HIV. HIV tidak menular melalui peralatan
makan, pakaian, handuk, sapu tangan, hidup serumah dengan penderita
HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan sosial yang lain.

D. Manifestasi Klinis
Pada suatu WHO Workshop yang diadakan di Bangui, Republik Afrika Tengah, 22–
24 Oktober 1985 telah disusun suatu defmisi klinik AIDS untuk digunakan oleh
negara-negara yang tidak mempunyai fasilitas diagnostik laboratorium. Ketentuan
tersebut adalah sebagai berikut :
1. AIDS dicurigai pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan
satu gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang diketahui
seperti kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.
a. Gejala mayor :
1) Penurunan berat badan lebih dari 10%
2) Diare kronik lebih dari 1 bulan
3) Demam lebih dari 1 bulan (kontinu atau intermiten).
b. Gejala minor :
1) Batuk lebih dari 1 bulan
2) Dermatitis pruritik umum
3) Herpes zoster rekurens
4) Candidiasis oro-faring
5) Limfadenopati umum
6) Herpes simpleks diseminata yang kronik progresif
2. AIDS dicurigai pada anak (bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan dua
gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang diketahui seperti
kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.
a. Gejala mayor :
1) Penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat yang abnormal
2) Diare kronik lebih dari 1 bulan
3) Demam lebih dari 1 bulan
b. Gejala minor :
1. Limfadenopati umum
2. Candidiasis oro-faring
3. Infeksi umum yang berulang (otitis, faringitis, dsb).
4. Batuk persisten
5. Dermatitis umum
6. Infeksi HIV maternal
Kriteria tersebut di atas khusus disusun untuk negara-negara Afrika yang mempunyai
prevalensi AIDS tinggi dan mungkn tidak sesuai untuk digunakan di Indonesia. Untuk
keperluan surveilans AIDS di Indonesia sebagai pedoman digunakan defmisi
WHO/CDC yang telah direvisi dalam tahun 1987. Sesuai dengan hasil Inter-country
Consultation Meeting WHO di New Delhi, 30-31 Desember 1985, dianggap perlu
bahwa kasus-kasus pertama yang akan dilaporkan sebagai AIDS kepada WHO
mendapat konfrrmasi dengan tes ELISA dan Western Blot.

E. Patofisiologi
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS diperkirakan
antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50% orang yang terinfeksi
HIV akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun pertama, dan mencapai 70% dalam
sepuluh tahun akan mendapat AIDS. Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel
target dalam waktu singkat, virus HIV menyerang sel target dalam jangka waktu
lama. Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah
putih yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang
terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel
serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian
menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya.
Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang
disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah marker atau
penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel
limfosit.Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfosit
T penolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel
lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T
sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme
asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi
kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong
melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang sehat memiliki
limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah
terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini
penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang
terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak
mampu meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam
darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel
CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus
yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam
menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun sebelum
terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya
mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit
yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang
berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang
dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan
berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran
limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan
tubuh dalam mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang.
Setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan
sebelum titer antibodi terhadap HIV positif. Fase ini disebut “periode jendela”
(window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang selama lebih
kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya terhadap HIV tetap
positif (fase ini disebut fase laten) Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran
klinik AIDS yang lengkap (merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan
penyakit infeksi HIVsampai menjadi AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan,
bahkan ada yang lebih dari 10 tahun setelah diketahui HIV positif. (Heri : 2012.)

F. Penatalaksanaan
1. Aspek Psikologis, meliputi :
a. Perawatan personal dan dihargai
b. Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalah-masalahnya
c. Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya
d. Tindak lanjut medis
e. Mengurangi penghalang untuk pengobatan
f. Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka
2. Aspek Sosial.Seorang penderita HIV AIDS setidaknya membutuhkan bentuk
dukungan dari lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi 3 hal:
a. Emotionalsupport, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan
diperhatikan
b. Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat
3. Materials support, meliputi bantuan/pelayanan berupa sesuatu barang dalam
mengatasi suatu masalah. Dukungan sosial terutama dalam konteks hubungan
yang akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga barangkali
merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting. House (2006)
membedakan empat jenis dimensi dukungan sosial :
a. Dukungan Emosional
Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap pasien dengan
HIV AIDS yang bersangkutan
b. Dukungan Penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat/penghargaan positif untuk orang lain itu,
dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan
perbandingan positif orang itu dengan orang lain
c. Dukungan Instrumental
Mencakup bantuan langsung misalnya orang memberi pinjaman uang, kepada
penderita HIV AIDS yang membutuhkan untuk pengobatannya
d. Dukungan Informatif
Mencakup pemberian nasehat, petunjuk, sarana.

G. Komplikasi
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
2. Neurologik
Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency
Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan
kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social. Enselophaty akut,
karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit,
meningitis/ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise,
total/parsial. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik,
dan maranik endocarditis. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan
Human Immunodeficienci Virus (HIV)
3. Gastrointestinal
a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam
atritis.
c. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-
gatal dan siare.
4. Respirasi
a. Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri,
hipoksia, keletihan, gagal nafas.
5. Dermatologik
a. Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena
xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek
nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
6. Sensorik
a. Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
b. Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri.

H. Pemeriksaan Penunjang
1. ELISA (enzyme-linkedimmunoabsorbentassay)
Elisa adalah suatu tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV. Untuk
mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak
selalu spesifik, maksudnya penyakit lain juga bisa menunjukkan hasil positif
sehingga menyebabkan positif palsu diantaranya penyakit autoimun ataupun
karena infeksi. Sensivitas ELISA antara 98,1%-100% dan dapat mendeteksi
adanya antibodi terhadap HIV dalam darah.
2. Western Blot
Western Blot memiliki spesifisitas (kemampuan test untuk menemukan orang
yang tidak mengidap HIV) antara 99,6% –100%. Namun pemeriksaannya cukup
sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Tes Western Blot mungkin
juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena
itu, tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika test
Western Blottetap tidak bisa disimpulkan, maka test Western Blotharus diulangi
lagi setelah 6 bulan
3. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah metode untuk amplifikasi
(perbanyakan) primer oligonukleotida diarahkan secara enzimatik urutan DNA
spesifik. Teknik ini mampu memperbanyak sebuah urutan 105-106-kali lipat dari
jumlah nanogram DNA template dalam latar belakang besar pada sequence yang
tidak relevan (misalnya dari total DNA genomik). Sebuah prasyarat untuk
memperbanyak urutan menggunakan PCR adalah memiliki pengetahuan, urutan
segmen unik yang mengapit DNA yang akan diamplifikasi, sehingga
oligonucleotides tertentu dapat diperoleh. Hal ini tidak perlu tahu apa-apa tentang
urutan intervening antara primer
BAB III
TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas Klien
2. Identitas Penanggung Jawab
3. Keluhan utama
4. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
b. Riwayat kesehatan masa lalu
c. Riwayat kesehatan keluarga
5. Riwayat nutrisi
a. Nutrisi sebelum sakit dan saat sakit
b. Cairan sebelum sakit dan saat sakit
6. Riwayat Psichososial
a. Tempat tinggal
b. Lingkungan rumah
c. Hubungan antara anggota keluarga
7. Riwayat Spritural
a. Support system dalam keluarga
b. Kegiatan keagamaan
c. Pemahaman keluarga tentang sakit dan rawat inap
d. Pemahan anak tentang sakit dan rawat inap
8. Aktivitas sehari-hari
9. Eliminasi
a. BAB, sebelum sakit dan saat sakit
b. BAK, sebelum sakit dan saat sakit
10. Istirahat / tidur, sebelum sesudah sakit dan saat sakit
11. Olahraga
12. Personal hygiene, sebelum sesudah sakit dan saat sakit
13. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum klien
b. Tanda-tanda vital
c. Antropometri
d. Sistem pernapasan
e. Sistem kardiovaskuler
f. Sistem pencernaan
g. Sistem indra
1) Mata
2) Hidung
3) Telinga
h. Sistem saraf
1) Fungsi cerebra
2) Fungsi cranial : nervus 1 sampai nervus 12
3) Fungsi motoric
4) Fungsi sensori
5) Reflex bisep
i. Sistem muskulo skeletal
Kepala, vertebra, pelvis, lutut, kaki dan tangan
j. Sistem integument
Rambut, kulit, kuku
k. Sistem endokrin
Kelenjar thyroid dan eksreasi urine
l. Sistem perkemihan
m. Sistem reproduksi
n. Sistem imunisasi
14. Riwayat alergi

B. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


1. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
kehilangancairan skunder terhadap diare
Intervensi :
a. Pantau tanda dan gejala kekurangan cairan dan elektrolit
Rasional : Penurunan sisrkulasi volume cairan menyebabkan kekeringan
mukosa dan pemekataj urin. Deteksi dini memungkinkan terapi pergantian
cairan segera untuk memperbaiki deficit.
b. Pantau intake dan output
Rasional : Dehidrasi dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus membuat
keluaran tak aadekuat untuk membersihkan sisa metabolisme.
c. Timbang berat badan setiap hari
Rasional : Mendeteksi kehilangan cairan , penurunan 1 kg BB sama dengan
kehilangan cairan 1 lt
d. Anjurkan keluarga untuk memberi minum banyak pada kien, 2-3 lt/hr
Rasional : Mengganti cairan dan elektrolit yang hilang secara oral
e. Kolaborasi :
Pemeriksaan laboratorium serum elektrolit (Na, K,Ca, BUN)
Rasional : koreksi keseimbang cairan dan elektrolit, BUN untuk mengetahui
faal ginjal.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak
adekuatnya intake dan out put
Intervensi :
a. Diskusikan dan jelaskan tentang pembatasan diet (makanan berserat tinggi,
berlemak dan air terlalu panas atau dingin)
Rasional Serat tinggi, lemak,air terlalu panas / dingin dapat merangsang
mengiritasi lambung dan sluran usus.
b. Ciptakan lingkungan yang bersih, jauh dari bau yang tak sedap atau sampah,
sajikan makanan dalam keadaan hangat
Rasional : situasi yang nyaman, rileks akan merangsang nafsu makan.
c. Berikan jam istirahat (tidur) serta kurangi kegiatan yang berlebihan
Rasional Mengurangi pemakaian energi yang berlebihan
d. Monitor intake dan out put dalam 24 jam
Rasional Mengetahui jumlah output dapat merencenakan jumlah makanan.
e. Kolaborasi dengan tim kesehtaan lain :
1) Terapi gizi : Diet TKTP rendah serat, susu
2) Obat-obatan atau vitamin ( A)
Rasional Mengandung zat yang diperlukan , untuk proses pertumbuhan
DAFTAR PUSTAKA

Esmi Sinaga,Asuhan Keperawatan Anak Pada Anak C Pasien Diare Ruang Rawat Nginap Di
Puskesmas Puuwatu Tahun 2018
Lidia Paramita,Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Diare Di Ruang 2 Ibu Dan Anak Rs
Reksodiwiryo Padang2017
http://repo.stikesperintis.ac.id/141/1/19%20SARI%20RAHMADHANI.pdf
http://repo.stikesperintis.ac.id/126/1/05%20FERDY%20SAPUTRA.pdf
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/4502/3/BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf

Anda mungkin juga menyukai