Rencana Baca :
Tempat : Rg.Pertemuan RSPTN UH Ged A Lt. 4 TUGAS PENDAHULUAN
HEMOLISIS INTRAVASKULAR
Calvarica Lun Lolongan, Nanda Amelia, Uleng Bahrun
Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar
I. PENDAHULUAN
Hemolisis adalah pemecahan abnormal dari sel darah merah; merupakan suatu masalah
klinis utama yang bisa jadi berdiri sendiri sebagai satu entitas penyakit atau merupakan
manifestasi dari penyakit lainnya. Pada saat sel darah merah mengalami destruksi secara
patologis, pada umumnya pasien akan mengalami gejala anemia seperti nyeri dada, nafas
pendek, dan kelelahan. Ketika gejala-gejala tersebut muncul, para klinisi relatif lebih mudah
mengenali dan menghubungkannya dengan penurunan sel darah merah, tetapi untuk
menegakkan gangguan hemolisis tersebut dibutuhkan pemeriksaan dari laboratorium rumah
sakit. Analisis dari pemeriksaan tersebut tidak hanya melibatkan satu pemeriksaan saja,
tetapi juga melibatkan beberapa divisi, seperti Hematologi, Urinalisis, Unit Transfusi Darah,
Kimia Klinik dan Imunologi.1
Berdasarkan lokasi, hemolisis dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu hemolisis
intravaskular dan hemolisis ekstravaskular. Hemolisis intravaskular adalah lisisnya eritrosit
di dalam pembuluh darah yang terjadi akibat aktivasi cepat antibodi (biasanya oleh antibodi
IgM). Hemolisis ekstravaskular adalah lisisnya eritrosit yang terjadi hampir selalu di dalam
organ, seperti hepar dan lien, bukan di dalam vaskular.1
Makalah ini bertujuan untuk membahas tentang proses hemolisis intravaskular dan
kaitannya dengan pemeriksaan laboratorium.
Pada saat sel darah merah mengalami destruksi di intravaskular, konten selulernya
akan keluar ke peredaran darah, mengakibatkan peningkatan hemoglobin dan enzim-enzim
seperti laktat dehidrogenase (LDH). Pasien pada kondisi ini akan mengalami anemia akut
dan signifikan. Selain itu, juga dapat terjadi kerusakan organ terutama sistem ginjal,
disebabkan oleh fiksasi komplemen itu sendiri atau peran patologis hemoglobin yang keluar
dari eritrosit yang pecah dan beredar bebas.2
Gambar 1. Mekanisme dasar hemolisis intravaskular dan ekstravaskular yang dimediasi imun.
Antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma dapat berupa IgM yang menginisiasi hemolisis
intravaskular yang dimediasi komplemen, ataupun berupa IgG yang menyebabkan coating
pada eritrosit dan berujung pada fagositosis ekstravaskular.1
a. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin merupakan indikator yang paling jelas untuk menentukan tingkat
keparahan anemia. Level penurunan Hb dapat mendekati nilai normal pada anemia
ringan (Hb >10 g/dl), berkurang jelas pada anemia moderat (Hb 8-10 g/dl), berat (Hb
6-8 g/dl), ataupun berkurang signifikan pada anemia gravis (Hb <6 g/dl). Penurunan
Hb yang cepat dan drastis biasanya akan menimbulkan gejala klinis yang relevan
(kelelahan, takikardi, dispneu), sedangkan penurunan Hb secara kronik dan progresif
biasanya akan ditoleransi oleh tubuh sehingga tidak bergejala. Secara umum, laju
penghancuran eritrosit pada hemolisis intravaskular jauh lebih tinggi daripada
hemolisis ekstravaskular, dimana pada kasus hemolisis intravaskular penghancuran
b. Retikulosit
Retikulosit adalah prekursor langsung dari eritrosit dalam bentuk tidak berinti.
Jumlahnya hanya sedikit di peredaran darah perifer, hanya sekitar 1% dari total
eritrosit. Retikulosit dihasilkan di sumusm tulang dan merupakan penanda aktivitas
hemopoiesis, dimana peningkatan retikulosit menunjukkan adanya hemolisis (disebut
retikulositosis kompensatorik), baik keadaan patologis maupun fisiologis (misalnya
hemolisis fisiologis pada kehamilan ataupun proses persalinan).3,4
Pada keadaan hemolisis, retikulositosis kompensatorik bisa tidak adekuat
ataupun tidak terjadi sama sekali. Hal ini dapat terjadi pada beberapa kondisi,
diantaranya keadaan hemolisis dengan keterlibatan sumsum tulang (misalnya penyakit
onkologi hematologi seperti leukemis, diseritropoietik, atau sindrom kegagalan
sumsum tulang), defisiensi besi dan vitamin, infeksi, ataupun reaksi autoimun yang
menyerang prekursor sel eritropoietik.3,4
Ada beberapa indeks yang dapat digunakan terkait retikulosit, diantaranya
Reticulocytic Production Index (RPI) dan Bone Marrow Responsiveness Index
(BMRI). RPI merupakan perhitungan seberapa tinggi seharusnya nilai hitung
retikulosit untuk dapat efektif dalam menghadapi terapi anemia. Skor RPI 3 sugestif
ke arah hemolisis dan membutuhkan investigasi lebih lanjut.1
Retikulositopenia merupakan petanda emergensi pada pasien-pasien hemolisis,
dimana keadaan ini berarti pasien membutuhkan transfusi dalam jumlah besar dengan
prognosis yang buruk. BMRI merupakan suatu indeks yang dapat digunakan untuk
menunjukkan apakah hemolisis disertai dengan retikulositopenia inadekuat atau tidak.
Nilai BMRI didapatkan dengan mengalikan jumlah retikulosit absolut dengan Hb
pasien, dengan nilai batas <121 untuk hasil positif. Indeks BMRI ini ditemukan
memiliki sensitivitas sekitar 90% dan spesifisitas sekitar 65% pada penelitian yang
melibatkan 205 pasien dengan anemia diseritropoietik kongenital tipe II.4
c. Skistosit
Skistosit adalah eritrosit yang terfragmentasi, terlihat di apusan darah tepi
sebagai eritrosit yang berbentuk ireguler dengan dua ujung lancip tanpa gambaran
pucat di tengah. Skistosit berasal dari fragmentasi mekanik eritrosit akibat adanya
f. Bilirubin
Dalam kondisi normal, eritrosit yang sudah tua akan dihancurkan dan
hemoglobinnya akan dikonversi menjadi bilirubin, terutama bentuk bilirubin IXa.
Bilirubin IXa berasal dari katabolisme protoporfirin IX dari cincin hem, suatu jenis
protein yang terlibat dalam transport oksigen dan metabolisme. Bilirubin merupakan
suatu prediktor yang cukup baik untuk mendeteksi adanya hemolisis ekstravaskular,
utamanya, dan hemolisis intravaskular. Bilirubin, yang dihasilkan di perifer, akan
ditranspor balik ke hepar dengan terikat pada albumin (disebut bilirubin tidak
terkonjugasi atau bilirubin indirek). Di dalam hepar, bilirubin akan dikonversi menjadi
bilirubin mono dan diglukoronidase oleh enzim bilirubin UDP-glukuronosiltransferase
dan dieksresikan bersamaan dengan cairan empedu (disebut bilirubin terkonjugasi atau
bilirubin direk). Oleh karena itu, peningkatan kadar bilirubin dapat terjadi karena
peningkatan katabolisme hemoglobin (terjadi peningkatan bilirubin indirek) atau
karena penurunan klirens hepatik (terjadi peningkatan bilirubin direk). Pada kasus
hemolisis, eritrosit yang terpecah akan meningkatkan produksi bilirubin indirek akibat
pelepasan hemoglobin yang meningkat.1,3
Sebelum menentukan kadar bilirubin yang akurat, nilai batas atas harus
dikoreksi karena adanya perbedaan massa eritrosit yang beredar, dengan membagi
hematokrit pasien dengan 45, sehingga pasien dengan hematokrit yang rendah,
peningkatan bilirubin sedikit saja sudah dikatakan patologis. Kadar bilirubin total pada
pasien hemolisis biasanya tidak lebih dari 4 mg/dl. Jika kadarnya lebih dari itu, besar
kemungkinan juga terjadi penurunan fungsi hepar secara bersamaan, yang bisa
diketahui dengan pemeriksaan panel penanda fungsi hepar. Walaupun demikian, nilai
bilirubin indirek yang lebih dari 4 mg/dl dapat ditemukan pada reaksi akut hemolisis
g. Ferritin
Ferritin merupakan protein intraseluler yang menyimpan besi untuk sewaktu-
waktu dilepaskan jika dibutuhkan. Ferritin akan meningkat pada beberapa kondisi
hemolisis kronik, seperti defek membran kongenital dan enzimopati, penyakit cold
agglutinin kronik, dan anemia diseritropoietik kongenital.3,12 Meskipun mekanisme
pastinya belum sepenuhnya diketahui, hipotesis dari penelitian-penelitian mengatakan
bahwa besi yang dihasilkan dari proses eritropoiesis yang tidak efektif dan dari proses
hemolisis tidak dapat dieliminasi dengan sempura. Selain itu, keadaan anemia itu
sendiri juga merupakan stimulus bagi sel-sel di apikal mikrovili usus untuk mengambil
besi lebih banyak lagi, sehingga kadar ferritin juga akan meningkat. Alasan lain
mengemukakan bahwa pada orang-orang dengan kasus hemolisis, transfusi darah
merupakan terapi yang utama sehingga juga akan meningkatkan probabilitas untuk
kadar ferritin yang meningkat karena dengan adanya transfusi, berarti semakin banyak
pula eritrosit yang nantinya akan dihancurkan dan oleh karena itu, akan banyak pula
ferritin yang dihasilkan.3
h. Ceruloplasmin
Fungsi utama dari pemeriksaan kadar ceruloplasmin dalam keadaan hemolisis
adalah untuk mendeteksi adanya penyakit Wilson.13,14 Pada pasien dengan
abnormalitas enzim hati yang tak bisa dijelaskan (dan bukti klinis penyakit hati),
ditambah dengan adanya anemia hemolitik non imun, penyakit Wilson merupakan
diferensial diagnosis utama dan analisis kadar ceruloplasmin harus segera
dilaksanakan. Ceruloplasmin adalah protein plasma yang berfungsi untuk mengikat
tembaga di serum. Pada keadaan penyakit Wilson, terjadi penurunan kadar
ceruloplasmin dengan berbagai level. Penelitian menunjukkan bahwa kadar
ceruloplasmin yang mencapai 0.1 – 0.2 g/l merupakan sugestif ke penyakit Wilson,
sedangkan kadar ceruloplasmin <0.1 g/l hampir pasti mengarah ke penyakit
Wilson.1,13,14
Meskipun ceruloplasmin cukup sensitif untuk menilai keberadaan penyakit
Wilson, ada beberapa keadaan dan penyakit yang juga dapat menunjukkan hasil level
ceruloplasmin yang rendah. Sebagai contoh, mutasi pada gen ATP7A pada Menkes
disease dapat menunjukkan kadar ceruloplasmin yang sangat rendah, bahkan hampir
Tugas Pendahuluan – Metabolisme 8
Protein
tidak terdeteksi. Selain itu, ada beberapa kasus pasien dengan aceruloplasminemia
kongenital, suatu entitas penyakit yang dikenal dengan trias ceruloplasmin yang tidak
terdeteksi, keadaan overload besi, dan kelainan neurologis.15
i. Hemopexin (Hpx)
Hemopexin merupakan protein plasma terbanyak keempat setelah albumin,
transferrin, dan haptoglobin. Hpx adalah protein yang mengikat hem, digunakan untuk
menilai derajat keparahan hemolisis intravaskular karena konsentrasinya di dalam
plasma menurun seiring dengan banyaknya komponen hem yang terlepas dari eritrosit
ke dalam plasma. Kadar Hb bebas di serum akan diikat oleh haptoglobin membentuk
kompleks Hb-Hp dengan hemoglobin binding capacity (HBC) ~ 1 g/l. Ketika jumlah
kompleks Hb-Hp meningkat karena peningkatan destruksi eritrosit (> 6 mg/l), HBC
juga akan meningkat, dan pada titik ini kadar Hpx akan mulai menurun. Semakin
rendah kadar Hpx, maka derajat hemolisis juga semakin berat.16
Pada orang dewasa yang sehat, konsentrasi Hpx serum berkisar di antara 0.40 –
1.50 g/dl. Pada bayi yang baru lahir, kadar Hpx hanya ~ 20% dari total kadar Hpx
orang dewasa, dan nilai ini akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Selain
pada serum, Hpx juga dapat ditemukan pada urin normal dengan konsentrasi kurang
lebih 2 mg/l, pada cairan semen dengan konsentrasi 1.0 – 2.2 mg/l, dan pada cairan
serebrospinal dengan konsentrasi 1.8 – 3.4 mg/l.16
a. Urobilinogen
Pada keadaan normal, mayoritas urobilinogen diproduksi di feses dan akan
terbuang bpada proses defekasi. Hanya sedikit sekali urobilinogen yang akan diserap
kembali ke dalam peredaran darah dan dibuang di urin. Pada kondisi yang
menyebabkan penghancuran eritrosit secara masif seperti pada hemolisis,
pembentukan bilirubin akan sangat meningkat dan oleh karena itu menyebabkan
pembentukan urobilinogen juga meningkat. Jumlah yang meningkat ini akan dibuang
melalui feses dan urin, menyebabkan terdeteksinya urobilinogen melalui dipstick.
Peningkatan kadar urobilinogen dapat dilihat sebagai peningkatan intensitas warna
pada dipstick, disebabkan oleh reaksi antara urobilinogen dengan zat kimia pada
detektor dipstick, seperti paradimetilaminobenzaldehida atau 4-metoksibenzena-
diazonium-tetra fluroborat.11
b. Hemosiderin
Hemosiderin merupakan salah satu produk yang terbentuk dalam proses
degradasi eritrosit. Hemoglobin yang terlepas dari proses penghancuran eritrosit akan
membentuk kompleks Hb-Hp, namun apabila jumlah hemoglobin melebihi kapasitas
ikat haptoglobin, maka hemoglobin
ini akan disaring di glomerulus dan
direabsorpsi di tubulus kontortus proksimal.
Disini besi dalam cincin hem akan dilepas
dan disimpan dalam bentuk ferritin atau
hemosiderin dan akan diekskresikan di urin.
Jumlah hemosiderin yang tinggi
mengindikasikan penghancuran
eritrosit berlebih.3
Hemosiderinuria biasanya
didapatkan pada kasus paroxysmal
Gambar 3. Contoh gambar dipstick yang belum digunakan. Tampak beberapa parameter
pemeriksaan dan warna dasarnya sebelum dicelupkan ke dalam urin.3
V. TES KHUSUS TERKAIT BANK DARAH DAN KEDOKTERAN TRANSFUSI UNTUK
PENILAIAN HEMOLISIS
Pada keadaan tertentu, hasil pemeriksaan hematologi dan urinalisis bisa jadi
inkonklusif dan tidak memberi banyak petunjuk yang berarti. Oleh karena itu, perlu
dilakukan beberapa jenis tes untuk membantu penegakan diagnosis. Berikut ini merupakan
beberapa jenis tes yang biasa dilakukan dalam investigasi kasus hemolisis:1
Gambar 4. Indirect Antiglobulin Test (IAT), disebut juga sebagai indirect Coomb’s
test. Prinsip kerjanya yaitu mendeteksi antibodi pada plasma pasien dengan cara
mereaksikannya dengan eritrosit donor. IAT dapat dilakukan dalam 3 tahap: tahap
immediate spin, tahap hangat, dan tahap AHG.1
Gambar 4. Direct Antiglobulin Test (DAT), disebut juga sebagai direct Coomb’s test.
Prinsip kerjanya yaitu mendeteksi antibodi pada eritrosit pasien dengan cara mereaksikannya
dengan reagen AHG ataupun anti-C3.1
Hemolisis merupakan suatu proses destruksi sel darah merah yang abnormal.
Hemolisis intravaskular merupakan salah satu jenis hemolisis berdasarkan lokasi terjadinya,
yakni di dalam pembuluh darah. Hemolisis intravaskular hampir selalu dimediasi oleh IgM
dan sistem komplemen, menyebabkan gejala klinis yang berat dan kegagalan organ apabila
tidak segera ditangani.
DAFTAR PUSTAKA
1. Siddon AJ, Tormey CA. The chemical and laboratory investigation of hemolysis. In: Advances in Clinical
Chemistry. Vol 89. Academic Press Inc.; 2019:215-258. doi:10.1016/bs.acc.2018.12.006
2. Hendrickson JE, Tormey CA. The RBC as a Target of Damage. In: Pathobiology of Human Disease.
Elsevier; 2014. doi:10.1016/B978-0-12-386456-7.06203-1
3. Barcellini W, Fattizzo B. Clinical Applications of Hemolytic Markers in the Differential Diagnosis and
Management of Hemolytic Anemia. Disease Markers. 2015;2015. doi:10.1155/2015/635670
4. Russo R, Gambale A, Langella C, Andolfo I, Unal S, Iolascon A. Retrospective cohort study of 205 cases
with congenital dyserythropoietic anemia type II: Definition of clinical and molecular spectrum and
identification of new diagnostic scores. American Journal of Hematology. 2014;89(10).
doi:10.1002/ajh.23800
5. Pourrat O, Coudroy R, Pierre F. Differentiation between severe HELLP syndrome and thrombotic
microangiopathy, thrombotic thrombocytopenic purpura and other imitators. European Journal of Obstetrics
& Gynecology and Reproductive Biology. 2015;189. doi:10.1016/j.ejogrb.2015.03.017
6. Ratanasopa K, Chakane S, Ilyas M, Nantasenamat C, Bulow L. Trapping of Human Hemoglobin by