Anda di halaman 1dari 19

Kepada Yth :

Rencana Baca :
Tempat : Rg.Pertemuan RSPTN UH Ged A Lt. 4 TUGAS PENDAHULUAN

HEMOLISIS INTRAVASKULAR
Calvarica Lun Lolongan, Nanda Amelia, Uleng Bahrun
Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar

I. PENDAHULUAN

Hemolisis adalah pemecahan abnormal dari sel darah merah; merupakan suatu masalah
klinis utama yang bisa jadi berdiri sendiri sebagai satu entitas penyakit atau merupakan
manifestasi dari penyakit lainnya. Pada saat sel darah merah mengalami destruksi secara
patologis, pada umumnya pasien akan mengalami gejala anemia seperti nyeri dada, nafas
pendek, dan kelelahan. Ketika gejala-gejala tersebut muncul, para klinisi relatif lebih mudah
mengenali dan menghubungkannya dengan penurunan sel darah merah, tetapi untuk
menegakkan gangguan hemolisis tersebut dibutuhkan pemeriksaan dari laboratorium rumah
sakit. Analisis dari pemeriksaan tersebut tidak hanya melibatkan satu pemeriksaan saja,
tetapi juga melibatkan beberapa divisi, seperti Hematologi, Urinalisis, Unit Transfusi Darah,
Kimia Klinik dan Imunologi.1
Berdasarkan lokasi, hemolisis dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu hemolisis
intravaskular dan hemolisis ekstravaskular. Hemolisis intravaskular adalah lisisnya eritrosit
di dalam pembuluh darah yang terjadi akibat aktivasi cepat antibodi (biasanya oleh antibodi
IgM). Hemolisis ekstravaskular adalah lisisnya eritrosit yang terjadi hampir selalu di dalam
organ, seperti hepar dan lien, bukan di dalam vaskular.1
Makalah ini bertujuan untuk membahas tentang proses hemolisis intravaskular dan
kaitannya dengan pemeriksaan laboratorium.

II. PATOFISIOLOGI HEMOLISIS INTRAVASKULAR


Secara klinis, gangguan yang ditimbulkan oleh proses hemolisis intravaskular biasanya
lebih berat. Ada 3 penyebab utama yang mendasari patofisiologi pada hemolisis
intravaskular:1
a. Fiksasi komplemen (yang tersering disebabkan oleh IgM) dan lisis eritrosit secara
langsung (misalnya pada kasus hemolisis intravaskular yang dimediasi imun).
Tugas Pendahuluan – Metabolisme 1
Protein
Contoh penyakitnya meliputi cold autoimmune hemolytic anemia dan anemia
hemolitik alloimun yang dimediasi oleh antibodi ABO setelah transfusi.1
b. Mekanik; lisis sel darah merah akibat gesekan, yakni hemolisis intravaskular yang
tidak berhubungan dengan reaksi imun. Contoh penyakitnya meliputi anemia
hemolitik mikroangiopati dan gangguan aliran vaskular seperti pada penyakit
gangguan katup jantung.1
c. Gangguan membran atau hemoglobin yang menyebabkan lisisnya sel darah merah.
Contoh penyakitnya meliputi sferositosis herediter, luka bakar derajat berat, sickle
cell anemia, dan talasemia.1

Pada saat sel darah merah mengalami destruksi di intravaskular, konten selulernya
akan keluar ke peredaran darah, mengakibatkan peningkatan hemoglobin dan enzim-enzim
seperti laktat dehidrogenase (LDH). Pasien pada kondisi ini akan mengalami anemia akut
dan signifikan. Selain itu, juga dapat terjadi kerusakan organ terutama sistem ginjal,
disebabkan oleh fiksasi komplemen itu sendiri atau peran patologis hemoglobin yang keluar
dari eritrosit yang pecah dan beredar bebas.2

Gambar 1. Mekanisme dasar hemolisis intravaskular dan ekstravaskular yang dimediasi imun.
Antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma dapat berupa IgM yang menginisiasi hemolisis
intravaskular yang dimediasi komplemen, ataupun berupa IgG yang menyebabkan coating
pada eritrosit dan berujung pada fagositosis ekstravaskular.1

Tugas Pendahuluan – Metabolisme 2


Protein
III. PEMERIKSAAN HEMATOLOGI DAN IMUNOLOGI SEBAGAI PENANDA
HEMOLISIS
Walaupun dapat dikenali mealui pemeriksaan fisis dan klinis, asesmen laboratorium
juga diperlukan untuk memastikan keadaan hemolisis dan juga untuk menentukan lokasi
hemolisis. Beberapa penanda hemolisis dapat menuntun klinisi untuk menentukan diagnosis
diferensial dan untuk memantau hasil terapi, misalnya retikulosit, kadar LDH, haptoglobin,
dan lain-lain. Beberapa tes, seperti direct antiglobulin test, juga digunakan sebagai metode
untuk mendiagnosis hemolisis autoimun. Penilaian klinis yang komprehensif,
dikombinasikan dengan evaluasi laboratoris yang memadai, dapat mengarahkan kita ke
diagnosis yang tepat serta membantu menentukan panel terapi yang sesuai untuk keadaan
hemolisis yang berbeda-beda. Berikut ini merupakan beberapa penanda yang dapat
digunakan:3

a. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin merupakan indikator yang paling jelas untuk menentukan tingkat
keparahan anemia. Level penurunan Hb dapat mendekati nilai normal pada anemia
ringan (Hb >10 g/dl), berkurang jelas pada anemia moderat (Hb 8-10 g/dl), berat (Hb
6-8 g/dl), ataupun berkurang signifikan pada anemia gravis (Hb <6 g/dl). Penurunan
Hb yang cepat dan drastis biasanya akan menimbulkan gejala klinis yang relevan
(kelelahan, takikardi, dispneu), sedangkan penurunan Hb secara kronik dan progresif
biasanya akan ditoleransi oleh tubuh sehingga tidak bergejala. Secara umum, laju
penghancuran eritrosit pada hemolisis intravaskular jauh lebih tinggi daripada
hemolisis ekstravaskular, dimana pada kasus hemolisis intravaskular penghancuran

Tugas Pendahuluan – Metabolisme 3


Protein
eritrosit dapat terjadi sebanyak 200 ml per jamnya, lebih tinggi 10 kali lipat dibanding
hemolisis ekstravaskular.3,4

b. Retikulosit
Retikulosit adalah prekursor langsung dari eritrosit dalam bentuk tidak berinti.
Jumlahnya hanya sedikit di peredaran darah perifer, hanya sekitar 1% dari total
eritrosit. Retikulosit dihasilkan di sumusm tulang dan merupakan penanda aktivitas
hemopoiesis, dimana peningkatan retikulosit menunjukkan adanya hemolisis (disebut
retikulositosis kompensatorik), baik keadaan patologis maupun fisiologis (misalnya
hemolisis fisiologis pada kehamilan ataupun proses persalinan).3,4
Pada keadaan hemolisis, retikulositosis kompensatorik bisa tidak adekuat
ataupun tidak terjadi sama sekali. Hal ini dapat terjadi pada beberapa kondisi,
diantaranya keadaan hemolisis dengan keterlibatan sumsum tulang (misalnya penyakit
onkologi hematologi seperti leukemis, diseritropoietik, atau sindrom kegagalan
sumsum tulang), defisiensi besi dan vitamin, infeksi, ataupun reaksi autoimun yang
menyerang prekursor sel eritropoietik.3,4
Ada beberapa indeks yang dapat digunakan terkait retikulosit, diantaranya
Reticulocytic Production Index (RPI) dan Bone Marrow Responsiveness Index
(BMRI). RPI merupakan perhitungan seberapa tinggi seharusnya nilai hitung
retikulosit untuk dapat efektif dalam menghadapi terapi anemia. Skor RPI 3 sugestif
ke arah hemolisis dan membutuhkan investigasi lebih lanjut.1
Retikulositopenia merupakan petanda emergensi pada pasien-pasien hemolisis,
dimana keadaan ini berarti pasien membutuhkan transfusi dalam jumlah besar dengan
prognosis yang buruk. BMRI merupakan suatu indeks yang dapat digunakan untuk
menunjukkan apakah hemolisis disertai dengan retikulositopenia inadekuat atau tidak.
Nilai BMRI didapatkan dengan mengalikan jumlah retikulosit absolut dengan Hb
pasien, dengan nilai batas <121 untuk hasil positif. Indeks BMRI ini ditemukan
memiliki sensitivitas sekitar 90% dan spesifisitas sekitar 65% pada penelitian yang
melibatkan 205 pasien dengan anemia diseritropoietik kongenital tipe II.4

c. Skistosit
Skistosit adalah eritrosit yang terfragmentasi, terlihat di apusan darah tepi
sebagai eritrosit yang berbentuk ireguler dengan dua ujung lancip tanpa gambaran
pucat di tengah. Skistosit berasal dari fragmentasi mekanik eritrosit akibat adanya

Tugas Pendahuluan – Metabolisme 4


Protein
hambatan di dalam pembuluh darah, misalnya bekuan fibrin, katup jantung buatan,
ataupun alat intravaskular lainnya. Pada orang yang sehat, jumlah hitung skistosit
normal adalah <0.5%. Nilai skistosit 0.5-1% sugestif ke arah koagulasi intravaskular
diseminata (DIC), sedangkan nilai skistosit >1% sugestif ke arah thrombotic
microangiopathies (TMA), paling sering berupa thrombotic thrombocytopenic
purpura (TTP). Adapun jenis TMA yang lain meliputi hemolytic uremic syndrome
(HUS) dan sindrom hemolysis with elevation of liver enzymes and low platelets
(HELLP) yang utamanya menyerang ibu hamil.3,5

Gambar 2.Apusan darah tepi; memperlihatkan skistosit (panah biru)1


d. Haptoglobin (Hp)
Haptoglobin merupakan glikoprotein yang disintesis di hepar, termauk dalam
jenis globulin alfa-2. Haptoglobin memiliki fungsi imunomodulator dan mengikat
hemoglobin yang beredar bebas di pembuluh darah sebagai akibat dari pemecahan
eritrosit (baik karena hemolisis atau karena proses fisiologis). Kompleks Hp-Hb yang
terbentuk akan masuk ke dalam sistem retikuloendotelial melalui reseptor CD163 dan
akan dihancurkan melalui proses endositosis untuk mencegah pembentukan reactive
oxygen species (ROS). Setelah endositosis, kompleks Hp-Hb akan didegradasi oleh
lisosom, dengan hasil akhir penurunan kadar haptoglobin.6
Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengukur kadar haptoglobin,
diantaranya melalui pendekatan imunorekatif, spektrofotometri, dan gel elektroforesis;
masing-masing atau gabungan dari metode di atas mungkin digunakan oleh beberapa
laboratorium untuk menentukan kadar haptoglobin. 7–9
Kadar haptoglobin pada kasus hemolisis intravaskular sangat berkurang,
disebabkan oleh meningkatnya kadar Hb bebas dalam plasma dan oleh karena itu akan

Tugas Pendahuluan – Metabolisme 5


Protein
berujung pada terbentuknya banyak kompleks Hp-Hb. Namun demikian, penurunan
kadar haptoglobin juga dapat disebabkan karena penyakit nonhemolitik, misalnya
gangguan fungsi hepar, infeksi berat, ataupun hipohaptoglobinemia kongenital. Pada
sebuah studi dikemukakan batas nilai haptoglobin <25 mg/dl cukup untuk
membedakan kausa hemolitik atau nonhemolitik dengan nilai sensitivitas 83% dan
spesifisitas 96%.3

e. Laktat Dehidrogenase (LDH)


Laktat dehidrogenase merupakan enzim yang berfungsi sebagai katalisator
dalam proses konversi laktat menjadi asam piruvat, terdapat pada sitoplasma dan
terdistribusi di beberapa organ (seperti jantung, otot, hepar, dan otak). Kadar LDH
dapat diukur dalam serum karena adanya turnover seluler yang fisiologis dan karena
adanya 5 isoenzim LDH yang diekspresikan di permukaan eritrosit, terutama isoenzim
LDH-1 dan LDH-2. Tabel 1 memperlihatkan 5 isoenzim LDH beserta lokasi organ
dimana terdapat konsentrasi yang tertinggi dari masing-masing isoenzim. Pemantauan
kadar LDH dapat menjadi salah satu petunjuk untuk membedakan kasus hemolisis
intravaskular dan ekstravaskular, dimana pada kasus hemolisis ekstravaskular terjadi
peningkatan yang ringan (>1x – 2x dari nilai batas atas), sedangkan pada hemolisis
intravaskular, peningkatan LDH dapat mencapai 4 – 5x dari nilai batas atas.3,10
Penanganan sampel yang akan diukur kadar LDHnya sedikit memerlukan
perhatian khusus karena proses pengambilan sampel akan sangat mempengaruhi kadar
LDH yang akan terdeteksi pada hasil. Sebagai contoh, kadar LDH serum lebih tinggi
daripada LDH plasma sebagai akibat dari terlepasnya LDH dari platelet selama proses
pemisahan serum.11 LDH juga diketahui terakumulasi dalam serum dan plasma seiring
dengan bertambahnya waktu, membuat pemeriksaan LDH pada sampel yang tua
(beberapa jam-hari) akan sulit diinterpretasi secara tepat karena akan menimbulkan
hasil positif palsu. Selain itu, mengingat kadar LDH yang terdapat di dalam eritrosit,
sampel yang terhemolisis secara mekanik karena proses pengambilan sampel,
misalnya proses flebotomi atau transport sampel yang kurang baik, akan menghasilkan
nilai LDH yang kurang akurat.1

Tabel 1. Isoenzim LDH dan lokasi sumber terbanyaknya3,10

Tugas Pendahuluan – Metabolisme 6


Protein
Jenis Isoenzim Lokasi Terbanyak

I Jantung > eritrosit > korteks renalis


Jantung > eritrosit > korteks renalis > paru-
II
paru
III Paru-paru > korteks renalis > eritrosit
Otot skelet dan paru-paru > korteks renalis >
IV
hepar
V Hepar > otot skelet

f. Bilirubin
Dalam kondisi normal, eritrosit yang sudah tua akan dihancurkan dan
hemoglobinnya akan dikonversi menjadi bilirubin, terutama bentuk bilirubin IXa.
Bilirubin IXa berasal dari katabolisme protoporfirin IX dari cincin hem, suatu jenis
protein yang terlibat dalam transport oksigen dan metabolisme. Bilirubin merupakan
suatu prediktor yang cukup baik untuk mendeteksi adanya hemolisis ekstravaskular,
utamanya, dan hemolisis intravaskular. Bilirubin, yang dihasilkan di perifer, akan
ditranspor balik ke hepar dengan terikat pada albumin (disebut bilirubin tidak
terkonjugasi atau bilirubin indirek). Di dalam hepar, bilirubin akan dikonversi menjadi
bilirubin mono dan diglukoronidase oleh enzim bilirubin UDP-glukuronosiltransferase
dan dieksresikan bersamaan dengan cairan empedu (disebut bilirubin terkonjugasi atau
bilirubin direk). Oleh karena itu, peningkatan kadar bilirubin dapat terjadi karena
peningkatan katabolisme hemoglobin (terjadi peningkatan bilirubin indirek) atau
karena penurunan klirens hepatik (terjadi peningkatan bilirubin direk). Pada kasus
hemolisis, eritrosit yang terpecah akan meningkatkan produksi bilirubin indirek akibat
pelepasan hemoglobin yang meningkat.1,3
Sebelum menentukan kadar bilirubin yang akurat, nilai batas atas harus
dikoreksi karena adanya perbedaan massa eritrosit yang beredar, dengan membagi
hematokrit pasien dengan 45, sehingga pasien dengan hematokrit yang rendah,
peningkatan bilirubin sedikit saja sudah dikatakan patologis. Kadar bilirubin total pada
pasien hemolisis biasanya tidak lebih dari 4 mg/dl. Jika kadarnya lebih dari itu, besar
kemungkinan juga terjadi penurunan fungsi hepar secara bersamaan, yang bisa
diketahui dengan pemeriksaan panel penanda fungsi hepar. Walaupun demikian, nilai
bilirubin indirek yang lebih dari 4 mg/dl dapat ditemukan pada reaksi akut hemolisis

Tugas Pendahuluan – Metabolisme 7


Protein
masif (misalnya pada kasus defisiensi G6PD atau reaksi transfusi) dan juga pada
sindroma Gilbert.3

g. Ferritin
Ferritin merupakan protein intraseluler yang menyimpan besi untuk sewaktu-
waktu dilepaskan jika dibutuhkan. Ferritin akan meningkat pada beberapa kondisi
hemolisis kronik, seperti defek membran kongenital dan enzimopati, penyakit cold
agglutinin kronik, dan anemia diseritropoietik kongenital.3,12 Meskipun mekanisme
pastinya belum sepenuhnya diketahui, hipotesis dari penelitian-penelitian mengatakan
bahwa besi yang dihasilkan dari proses eritropoiesis yang tidak efektif dan dari proses
hemolisis tidak dapat dieliminasi dengan sempura. Selain itu, keadaan anemia itu
sendiri juga merupakan stimulus bagi sel-sel di apikal mikrovili usus untuk mengambil
besi lebih banyak lagi, sehingga kadar ferritin juga akan meningkat. Alasan lain
mengemukakan bahwa pada orang-orang dengan kasus hemolisis, transfusi darah
merupakan terapi yang utama sehingga juga akan meningkatkan probabilitas untuk
kadar ferritin yang meningkat karena dengan adanya transfusi, berarti semakin banyak
pula eritrosit yang nantinya akan dihancurkan dan oleh karena itu, akan banyak pula
ferritin yang dihasilkan.3

h. Ceruloplasmin
Fungsi utama dari pemeriksaan kadar ceruloplasmin dalam keadaan hemolisis
adalah untuk mendeteksi adanya penyakit Wilson.13,14 Pada pasien dengan
abnormalitas enzim hati yang tak bisa dijelaskan (dan bukti klinis penyakit hati),
ditambah dengan adanya anemia hemolitik non imun, penyakit Wilson merupakan
diferensial diagnosis utama dan analisis kadar ceruloplasmin harus segera
dilaksanakan. Ceruloplasmin adalah protein plasma yang berfungsi untuk mengikat
tembaga di serum. Pada keadaan penyakit Wilson, terjadi penurunan kadar
ceruloplasmin dengan berbagai level. Penelitian menunjukkan bahwa kadar
ceruloplasmin yang mencapai 0.1 – 0.2 g/l merupakan sugestif ke penyakit Wilson,
sedangkan kadar ceruloplasmin <0.1 g/l hampir pasti mengarah ke penyakit
Wilson.1,13,14
Meskipun ceruloplasmin cukup sensitif untuk menilai keberadaan penyakit
Wilson, ada beberapa keadaan dan penyakit yang juga dapat menunjukkan hasil level
ceruloplasmin yang rendah. Sebagai contoh, mutasi pada gen ATP7A pada Menkes
disease dapat menunjukkan kadar ceruloplasmin yang sangat rendah, bahkan hampir
Tugas Pendahuluan – Metabolisme 8
Protein
tidak terdeteksi. Selain itu, ada beberapa kasus pasien dengan aceruloplasminemia
kongenital, suatu entitas penyakit yang dikenal dengan trias ceruloplasmin yang tidak
terdeteksi, keadaan overload besi, dan kelainan neurologis.15

i. Hemopexin (Hpx)
Hemopexin merupakan protein plasma terbanyak keempat setelah albumin,
transferrin, dan haptoglobin. Hpx adalah protein yang mengikat hem, digunakan untuk
menilai derajat keparahan hemolisis intravaskular karena konsentrasinya di dalam
plasma menurun seiring dengan banyaknya komponen hem yang terlepas dari eritrosit
ke dalam plasma. Kadar Hb bebas di serum akan diikat oleh haptoglobin membentuk
kompleks Hb-Hp dengan hemoglobin binding capacity (HBC) ~ 1 g/l. Ketika jumlah
kompleks Hb-Hp meningkat karena peningkatan destruksi eritrosit (> 6 mg/l), HBC
juga akan meningkat, dan pada titik ini kadar Hpx akan mulai menurun. Semakin
rendah kadar Hpx, maka derajat hemolisis juga semakin berat.16

Pada orang dewasa yang sehat, konsentrasi Hpx serum berkisar di antara 0.40 –
1.50 g/dl. Pada bayi yang baru lahir, kadar Hpx hanya ~ 20% dari total kadar Hpx
orang dewasa, dan nilai ini akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Selain
pada serum, Hpx juga dapat ditemukan pada urin normal dengan konsentrasi kurang
lebih 2 mg/l, pada cairan semen dengan konsentrasi 1.0 – 2.2 mg/l, dan pada cairan
serebrospinal dengan konsentrasi 1.8 – 3.4 mg/l.16

IV. PEMERIKSAAN URINALISIS SEBAGAI PENANDA HEMOLISIS


Pemeriksaan urin rutin merupakan satu contoh pemeriksaan sederhana yang dapat
memberikan informasi mengenai keadaan hemolisis. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan

Tugas Pendahuluan – Metabolisme 9


Protein
dengan mencelupkan alat dipstick (gambar 2) ke dalam urin dan mengamati hasilnya melalui
perubahan warna pada dipstick. Semakin tinggi kadar suatu zat terdeteksi di dalam urin,
semakin jelas pula perubahan warna yang dapat diamati pada dipstick. Berikut ini beberapa
jenis pemeriksaan pada urinalisis yang dapat memberikan petunjuk mengenai kemungkinan
adanya proses hemolisis:1,11

a. Urobilinogen
Pada keadaan normal, mayoritas urobilinogen diproduksi di feses dan akan
terbuang bpada proses defekasi. Hanya sedikit sekali urobilinogen yang akan diserap
kembali ke dalam peredaran darah dan dibuang di urin. Pada kondisi yang
menyebabkan penghancuran eritrosit secara masif seperti pada hemolisis,
pembentukan bilirubin akan sangat meningkat dan oleh karena itu menyebabkan
pembentukan urobilinogen juga meningkat. Jumlah yang meningkat ini akan dibuang
melalui feses dan urin, menyebabkan terdeteksinya urobilinogen melalui dipstick.
Peningkatan kadar urobilinogen dapat dilihat sebagai peningkatan intensitas warna
pada dipstick, disebabkan oleh reaksi antara urobilinogen dengan zat kimia pada
detektor dipstick, seperti paradimetilaminobenzaldehida atau 4-metoksibenzena-
diazonium-tetra fluroborat.11

b. Hemosiderin
Hemosiderin merupakan salah satu produk yang terbentuk dalam proses
degradasi eritrosit. Hemoglobin yang terlepas dari proses penghancuran eritrosit akan
membentuk kompleks Hb-Hp, namun apabila jumlah hemoglobin melebihi kapasitas
ikat haptoglobin, maka hemoglobin
ini akan disaring di glomerulus dan
direabsorpsi di tubulus kontortus proksimal.
Disini besi dalam cincin hem akan dilepas
dan disimpan dalam bentuk ferritin atau
hemosiderin dan akan diekskresikan di urin.
Jumlah hemosiderin yang tinggi
mengindikasikan penghancuran
eritrosit berlebih.3
Hemosiderinuria biasanya
didapatkan pada kasus paroxysmal

Tugas Pendahuluan – Metabolisme 10


Protein
nocturnal hemoglobinuria (PNH), transfusi sampel darah yang inkompatibel, defisiensi
G6PD, luka bakar derajat berat, dan infeksi berat. Hemosiderinuria biasanya terlihat 3-
4 hari setelah onset hemolisis dan dapat bertahan hingga berminggu-minggu bahkan
berbulan-bulan setelah hemolisis berhenti.3

Gambar 3. Contoh gambar dipstick yang belum digunakan. Tampak beberapa parameter
pemeriksaan dan warna dasarnya sebelum dicelupkan ke dalam urin.3
V. TES KHUSUS TERKAIT BANK DARAH DAN KEDOKTERAN TRANSFUSI UNTUK
PENILAIAN HEMOLISIS
Pada keadaan tertentu, hasil pemeriksaan hematologi dan urinalisis bisa jadi
inkonklusif dan tidak memberi banyak petunjuk yang berarti. Oleh karena itu, perlu
dilakukan beberapa jenis tes untuk membantu penegakan diagnosis. Berikut ini merupakan
beberapa jenis tes yang biasa dilakukan dalam investigasi kasus hemolisis:1

a. Indirect Antiglobulin Test (IAT)


IAT, baik itu dilakukan secara manual memakai tabung uji, maupun
menggunakan analiser otomatis, memiliki prinsip kerja mereaksikan plasma pasien
(yang diduga memiliki antibodi tertentu) dengan reagen berupa eritrosit donor.17
Seperti yang terlihat pada gambar 4, titik akhir dari IAT adalah fenomena aglutinasi
reagen eritorsit, yang menandakan adanya satu atau lebih antibodi spesifik eritrosit.
Aglutinasi dinilai secara kualitatif dengan angka 0 – 4+, dimana 0 berarti tidak ada

Tugas Pendahuluan – Metabolisme 11


Protein
aglutinasi dan 4+ berarti aglutinasi hebat. Tes ini dapat dilakukan dalam suhu ruang
pada fase yang disebut immediate spin, dengan tujuan untuk mendeteksi antibodi
dingin (cold antibodies) kelas IgM. Fase selanjutnya dari tes ini adalah fase hangat
(37OC), dimana tes dilakukan pada ruangan atau inkubator dengan suhu 37 OC untuk
mendeteksi antibodi hangat (warm antibodies) kelas IgG. Fase terakhir unutk
memperjelas adanya aglutinasi disebut fase AHG (antihuman globulin). AHG
berfungsi untuk menjembatani eritrosit-eritrosit yang telah dipenuhi oleh IgG dari
plasma pasien.1,17
Pemeriksaan IAT memainkan peran krusial dalam mencegah terjadinya
hemolisis terkait transfusi dengan cara mendeteksi alloantibodi yang dapat
menimbulkan inkompatibilitas dan reaksi transfusi apabila tidak terdeteksi1,17

Gambar 4. Indirect Antiglobulin Test (IAT), disebut juga sebagai indirect Coomb’s
test. Prinsip kerjanya yaitu mendeteksi antibodi pada plasma pasien dengan cara
mereaksikannya dengan eritrosit donor. IAT dapat dilakukan dalam 3 tahap: tahap
immediate spin, tahap hangat, dan tahap AHG.1

b. Direct Antiglobulin Test (DAT)


DAT, atau biasa juga disebut direct Coomb’s test, kurang lebih memiliki
prinsip yang sama dengan IAT. Perbedaan mendasar keduanya adalah pada DAT,
eritrosit pasien diuji untuk menentukan ada tidaknya antibodi atau komplemen,
sedangkan pada IAT yang diuji adalah plasma pasien. DAT merupakan alat utama
untuk mendeteksi anemia hemolitik autoimun. 18 Aglutinasi pada DAT juga dinilai
secara kualitatif dari 0 – 4+. Hasil positif dengan AHG sangat sugestif dengan
autoantibodi hangat reaktif, sedangkan hasil C3 positif menunjukkan adanya anemia

Tugas Pendahuluan – Metabolisme 12


Protein
hemolitik autoimun tipe dingin.1,18
Langkah awal pelaksanaan DAT sama dengan IAT, yakni pemisahan plasma
dan sel darah pasien melalui proses sentrifugasi. Setelah itu, eritrosit pasien, yang
dipenuhi oleh IgG ataupun C3, melewati 2 fase tes. Pertama, sampel darah pasien akan
dites dengan reagen polispesifik (‘poly’), yang akan menunjukkan aglutinasi pada
eritrosit yang dipenuhi oleh antibodi IgG ataupun C3. Jika hasil fase pertama negatif,
maka tes tidak akan dilanjutkan dan akan berakhir pada kesimpulan negatif. Namun
jika ada aglutinasi, sampel akan diteruskan ke fase kedua, dimana sampel akan
direaksikan dengan reagen AHG dan anti-C3 untuk menentukan secara spesifik
antibodi apa yang menempel pada eritrosit: apakah antibodi IgG (yang dideteksi
melalui AHG) ataukah C3 (yang dideteksi melalui anti-C3). Proses pelaksanaan DAT
dijelaskan melalui gambar 4.1,18

Gambar 4. Direct Antiglobulin Test (DAT), disebut juga sebagai direct Coomb’s test.
Prinsip kerjanya yaitu mendeteksi antibodi pada eritrosit pasien dengan cara mereaksikannya
dengan reagen AHG ataupun anti-C3.1

c. Donath-Landsteiner Test (D-L Test)


Donath-Landsteiner test merupakan salah satu jenis tes yang dapat
membantu penegakan diagnosis paroxysmal cold hemoglobinuria (PCH). Pada
penyakit ini, pasien memiliki autoantibodi patologis yang dikenal dengan “biphasic
hemolysin”, artinya antibodi IgG ini dapat bereaksi pada suhu hangat dan dingin
dengan terikat pada komplemen. Ketika eritrosit yang terbungkus oleh antibodi ini
bersirkulasi ke area vaskular yang lebih hangat (misalnya di dekat jantung),
komplemen mencapai ambang batas hangat optimalnya dan terjadilah hemolisis

Tugas Pendahuluan – Metabolisme 13


Protein
intravaskular. Ini berarti bahwa hemolisis dapat terjadi melalui dua proses, yakni fase
dingin dimana antibodi dan komplemen terfiksasi pada eritrosit, dan fase hangat
dimana terjadi hemolisis. D-L test memiliki prinsip untuk meniru proses transformasi
dingin-hangat ini secara in vitro dan melihat reaksi yang terjadi.1,19
Secara keseluruhan, proses pelaksanaan tes ini dirangkum dalam gambar 5. Tes
ini dimulai dengan proses inkubasi plasma pasien dengan eritrosit donor yang
didinginkan di suhu 0 – 4OC selama 30 menit, dilanjutkan dengan dihangatkan di suhu
37OC dalam waktu 60 menit. Hasil positif akan menunjukkan hemoglobinemia,
ditandai dengan perubahan warna supernatan plasma pasien menjadi salem-oranye.
Karena beberapa sampel pasien mungkin kurang mengandung komplemen, banyak
institusi akan melanjutkan tes ini dengan menambahkan serum segar. Hasil positif
ditandai dengan perubahan warna supernatan plasma pasien juga menjadi warna salem-
oranye. Selama tes berlangsung, beberapa sampel kontrol berjalan secara paralel,
dengan spesimen plasma pasien + eritrosit donor didiamkan di suhu dingin (0 – 4 OC)
dan suhu hangat (37OC). Hemolisis tidak akan terjadi pada sampel kontrol,
menunjukkan bahwa hemolisis hanya akan terjadi ketika sampel melalui perubahan
suhu dingin ke hangat.19

Tugas Pendahuluan – Metabolisme 14


Protein
Gambar 6. Proses pelaksanaan Donath-Landsteiner Test1,19

VI. PERTIMBANGAN LAINNYA TERKAIT HEMOLISIS PADA KASUS LANGKA


Apabila melalui pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium disimpulkan bahwa secara

Tugas Pendahuluan – Metabolisme 15


Protein
umum terjadi hemolisis dalam tubuh namun kita tidak dapat menyimpulkan penyebab
spesifik melalui panel pemeriksaan yang dilakukan, maka kita dapat menyimpulkan bahwa
bentuk hemolisis pada penyakit langka mungkin terjadi. Keadaan tersebut hanya dapat
dideteksi melalui pemeriksaan di laboratorium dengan fasilitas yang canggih. Penyakit dan
pemeriksaan-pemeriksaan tersebut meliputi:1
a. Hemolisis intravaskular terkait infeksi Clostridium spp., dapat dideteksi melalui
pemeriksaan mikrobiologis.20
b. Paparan terhadap panas dan menimbulkan luka bakar berat, bermanifestasi sebagai
adanya piropoikilositosis, dapat dideteksi melalui pemeriksaan apusan darah tepi.21
c. Infeksi bakteri Eschericia coli yang positif shiga-toxin atau infeksi bakteri positif
toksin lainnya yang mengakibatkan hemolytic-uremic syndrome (HUS), dapat
dideteksi melalui pemeriksaan mikrobiologis.22
d. Komponen komplemen kongenital atau adanya mutasi faktor H/faktor I/faktor B yang
beruhubungan dengan HUS atipikal, dapat dideteksi melalui pemeriksaan sekuens gen
dan targeted molecular assay.23
e. Defisiensi gen ADAMTS13 kongenital ataupun didapat, yang berhubungan dengan
kejadian thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP), dapat dideteksi melalui
pemeriksaan fluorescence resonance energy transfer (FRET)-based assay.24
f. Penyakit langka terkait kelainan pembentukan membran dan metabolisme eritrosit,
dapat dideteksi melalui pemeriksaan targeted enzymatic assays, pemeriksaan biologi
molekular, dan sekuens gen.25
VII. KESIMPULAN

Hemolisis merupakan suatu proses destruksi sel darah merah yang abnormal.
Hemolisis intravaskular merupakan salah satu jenis hemolisis berdasarkan lokasi terjadinya,
yakni di dalam pembuluh darah. Hemolisis intravaskular hampir selalu dimediasi oleh IgM
dan sistem komplemen, menyebabkan gejala klinis yang berat dan kegagalan organ apabila
tidak segera ditangani.

Ada beberapa penanda laboratorium yang dapat membantu menegakkan diagnosis


hemolisis intravaskular, di antaranya dari segi pemeriksaan hematologi rutin, apusan darah
tepi, imunoserologi, dan dari periksaan urinalisis. Beberapa kasus memerlukan pemeriksaan
khusus untuk membantu mengerucutkan diagnosis, seperti pemeriksaan indirect
antiglobulin test (IAT), direct antiglobulin test (DAT), dan Donath-Landsteiner test (D-L
test). Beberapa kasus penyakit langka membutuhkan pemeriksaan spesifik yang hanya ada

Tugas Pendahuluan – Metabolisme 16


Protein
di fasilitas tertentu yang memiliki peralatan yang canggih. Kombinasi antara pemeriksaan
fisis dan pemeriksaan penunjang berupa laboratorium diharapkan dapat menjadi alat bagi
klinisi untuk mendiagnosis kasus-kasus hemolisis intravaskular.

DAFTAR PUSTAKA

1. Siddon AJ, Tormey CA. The chemical and laboratory investigation of hemolysis. In: Advances in Clinical
Chemistry. Vol 89. Academic Press Inc.; 2019:215-258. doi:10.1016/bs.acc.2018.12.006
2. Hendrickson JE, Tormey CA. The RBC as a Target of Damage. In: Pathobiology of Human Disease.
Elsevier; 2014. doi:10.1016/B978-0-12-386456-7.06203-1
3. Barcellini W, Fattizzo B. Clinical Applications of Hemolytic Markers in the Differential Diagnosis and
Management of Hemolytic Anemia. Disease Markers. 2015;2015. doi:10.1155/2015/635670
4. Russo R, Gambale A, Langella C, Andolfo I, Unal S, Iolascon A. Retrospective cohort study of 205 cases
with congenital dyserythropoietic anemia type II: Definition of clinical and molecular spectrum and
identification of new diagnostic scores. American Journal of Hematology. 2014;89(10).
doi:10.1002/ajh.23800
5. Pourrat O, Coudroy R, Pierre F. Differentiation between severe HELLP syndrome and thrombotic
microangiopathy, thrombotic thrombocytopenic purpura and other imitators. European Journal of Obstetrics
& Gynecology and Reproductive Biology. 2015;189. doi:10.1016/j.ejogrb.2015.03.017
6. Ratanasopa K, Chakane S, Ilyas M, Nantasenamat C, Bulow L. Trapping of Human Hemoglobin by

Tugas Pendahuluan – Metabolisme 17


Protein
Haptoglobin: Molecular Mechanisms and Clinical Applications. Antioxidants & Redox Signaling.
2013;18(17). doi:10.1089/ars.2012.4878
7. Haptoglobin, ARUP Laboratory Test Directory, Salt Lake City (UT): ARUP Laboratory. Published 2019.
Accessed September 19, 2021. http://ltd.aruplab.com/Tests/Pub/0050280
8. Haptoglobin, Mayo Clinic Laboratories Test Catalog, Rochester (MN): Mayo Clinical Laboratories.
Published 2019. Accessed September 19, 2021. https://www.mayomedicallaboratories.
com/test-catalog/Performance/9168
9. Shih AWY, McFarlane A, Verhovsek M. Haptoglobin testing in hemolysis: Measurement and interpretation.
American Journal of Hematology. 2014;89(4). doi:10.1002/ajh.23623
10. Barcellini W, Fattizzo B, Zaninoni A, et al. Clinical heterogeneity and predictors of outcome in primary
autoimmune hemolytic anemia: a GIMEMA study of 308 patients. Blood. 2014;124(19). doi:10.1182/blood-
2014-06-583021
11. Jacobs DS, DeMott WR, Oxley DK. Laboratory Test Handbook. In: 5th ed. Lexi-Comp; 2001.
12. Mariani M, Barcellini W, Vercellati C, et al. Clinical and hematologic features of 300 patients affected by
hereditary spherocytosis grouped according to the type of the membrane protein defect. Haematologica.
2008;93(9). doi:10.3324/haematol.12546
13. Siotto M, Pasqualetti P, Marano M, Squitti R. Automation of o-dianisidine assay for ceruloplasmin activity
analyses: usefulness of investigation in Wilson’s disease and in hepatic encephalopathy. Journal of Neural
Transmission. 2014;121(10). doi:10.1007/s00702-014-1196-0
14. Linder MC. Ceruloplasmin and other copper binding components of blood plasma and their functions: an
update. Metallomics. 2016;8(9). doi:10.1039/C6MT00103C
15. Schilsky ML. Wilson Disease. Clinics in Liver Disease. 2017;21(4). doi:10.1016/j.cld.2017.06.011
16. Delanghe JR, Langlois MR. Hemopexin: A Review of Biological Aspects and the Role in Laboratory
Medicine. Vol 312.; 2001. www.elsevier.comrlocaterclinchim
17. Hendrickson JE, Tormey CA. Red Blood Cell Antibodies in Hematology/Oncology Patients.
Hematology/Oncology Clinics of North America. 2016;30(3). doi:10.1016/j.hoc.2016.01.006
18. Parker V, Tormey CA. The Direct Antiglobulin Test: Indications, Interpretation, and Pitfalls. Archives of
Pathology & Laboratory Medicine. 2017;141(2). doi:10.5858/arpa.2015-0444-RS
19. Zeller MP, Arnold DM, al Habsi K, et al. Paroxysmal cold hemoglobinuria: a difficult diagnosis in adult
patients. Transfusion. 2017;57(1). doi:10.1111/trf.13888
20. Martí Gelonch L, Jiménez Agüero R, Rodríguez Canas N, Enríquez Navascués JM. Massive haemolysis due
to sepsis caused by Clostridium perfringens secondary to liver abscess. Presentation of two cases with a
similar history. Gastroenterología y Hepatología (English Edition). 2018;41(9).
doi:10.1016/j.gastre.2018.11.005

Tugas Pendahuluan – Metabolisme 18


Protein
21. Thomas B, Perrin J. Acquired “pyro”-poikilocytosis. Blood. 2017;130(25). doi:10.1182/blood-2017-08-
802678
22. Jokiranta TS. HUS and atypical HUS. Blood. 2017;129(21). doi:10.1182/blood-2016-11-709865
23. Dixon BP, Gruppo RA. Atypical Hemolytic Uremic Syndrome. Pediatric Clinics of North America.
2018;65(3). doi:10.1016/j.pcl.2018.02.003
24. Mancini I, Valsecchi C, Lotta L, et al. FRETS-VWF73 rather than CBA assay reflects ADAMTS13
proteolytic activity in acquired thrombotic thrombocytopenic purpura patients. Thrombosis and Haemostasis.
2014;112(08). doi:10.1160/TH13-08-0688
25. Gallagher PG. Diagnosis and management of rare congenital nonimmune hemolytic disease. Hematology.
2015;2015(1). doi:10.1182/asheducation-2015.1.392

Tugas Pendahuluan – Metabolisme 19


Protein

Anda mungkin juga menyukai