Anda di halaman 1dari 30

Kasus Ujian Bedah Plastik

SEORANG LAKI-LAKI USIA 68 TAHUN DENGAN FRAKTUR LEFORT 2,


FRAKTUR RIMA ORBITA LATERAL, FRAKTUR OS ZIGOMATICUS
DEKSTRA, FRAKTUR OS FRONTAL

Oleh:
Azalia Virsaliana G99151036

Periode: 19 25 Maret 2017

Pembimbing :
dr. Amru Sungkar, Sp. B. Sp.BP-RE

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. DG
Umur : 68 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Ponorogo, Jawa Timur
Tanggal Masuk : 22 Maret 2017
Tanggal Periksa : 23 Maret 2017

2. Keluhan Utama
Bengkak pada wajah kanan setelah KLL

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien merupakan pasien rujukan dari RSUD Ponorogo dengan keluhan
bengkak pada wajah kanan. Pasien mempunyai riwayat kecelakaan pada tanggal
8 Maret 2017, kecelakaan motor dengan motor dari arah yang berlawanan di
jalan yang menurun dan beraspal. Pasien tidak menggunakan helm. Setelah
terjatuh pasien tidak sadar dan dibawa kerumah sakit RSUD Ponorogo oleh
saksi. Menurut keterangan keluarga, pasien tidak sadarkan selama hampir 5
jam. Setelah itu pasien merasakan bengkak pada bagian kanan wajah, namun
pasien tidak merasakan nyeri. Pasien mengeluh mata kanannya tidak dapat
melihat sama sekali setelah kejadian, sebelumnya mata kanan pasien dapat
melihat dengan normal.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat diabetes : disangkal
Riwayat trauma sebelumnya : disangkal

2
Riwayat mondok : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat diabetes : disangkal

6. Riwayat kebiasaan
Nutrisi : pasien makan 3 kali sehari dengan gizi seimbang.
Olahraga : pasien kurang melakukan aktivitas olahraga
Merokok : disangkal
Alkohol : disangkal

7. Riwayat sosial ekonomi


Pasien tinggal bersama anak dan cucunya. Pasien adalah seorang pensiunan.
Pasien berobat dengan pembiayaan BPJS.

GENERAL SURVEY
1. Primary Survey
a. Airway : bebas
b. Breathing :
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan // kiri, RR : 20x/menit
Palpasi : krepitasi (-/-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
c. Circulation : tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 88x/menit, CRT<2 detik
d. Disability : GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil anisokor (4mm/
3mm), lateralisasi (-/-)
e. Exposure : suhu 36,5C, Jejas (+) lihat status lokalis

2. Secondary Survey
a. Keadaan umum : sakit sedang, kesadaran: compos mentis, gizi kesan
cukup.
b. Kepala : mesocephal, hematom (-)
c.Wajah : oedem (-), nyeri tekan (-)
d. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik
(-/-), pupil anisokor (4mm/3mm), reflek cahaya (+/
+), hematom supraorbital (-/-), Visus (6/6 / 0), Gerak

3
bola mata (-/+), ptosis (+/-), vulnus sudah terjahit 3
simpul pada R.palpebra superior (d)
e.Telinga: sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid
(-/-), nyeri tragus (-/-), telechantus 4 cm
f. Hidung : bloody rhinorrhea (-/-)
g. Mulut : gusi berdarah (-), lidah kotor
(-), jejas (-), gigi goyang (-), gigi tanggal (-), lihat
status lokalis.
h. Leher : pembesaran tiroid (-),
pembesaran limfonodi (-), nyeri tekan (-), JVP tidak
meningkat.
i. Thorak : bentuk normochest, ketertinggalan
gerak (-).
j. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis teraba, tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising
(-).
k. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan // kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri, nyeri tekan (-/-).
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan
(-/-).
l. Abdomen
Inspeksi : distended (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defance muscular (-)
m. Genitourinaria : BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri

4
BAK (-).
n. Muskuloskletal : jejas (-), nyeri (-)
o. Ekstremitas
Akral dingin Oedema

- - - -
- - - -

3. Status Lokalis
Regio midfacialis D/S
Inspeksi : oedem (-/-), pendataran mallar imminens (+)
Palpasi : hipoestesi infraorbita (+), terdapat penonjolan dengan rabaan
keras pada regio zygomaticus dekstra
Regio intaoral
Inspeksi : maloklusi (+)
Palpasi : maxilla goyang (+), floating maxilla (+)

B. ASSESMENT 1
- Suspect fraktur os maxilla
- Suspect fractur rima orbita
- Suspect fraktur os nasal
- Suspect fraktur os zygoma
- Suspect fraktur os frontal

C. PLANNING 1
1. Pasang infus RL 20 tpm
2. Injeksi Ketorolac 30mg/8 jam
3. Injeksi Ranitidine 50 mg/12 jam
4. Cek laboratorium darah
5. MSCT kepala

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hasil pemeriksaan laboratorium (22 Maret 2017)

5
Nilai
Pemeriksaan Hasil Satuan
Normal

6
Darah Rutin
Hemoglobin 11,8 g/dl 13.5 17.5
Hematokrit 36 % 33 45
Leukosit 7.8 ribu/ul 4.5 14.5
Trombosit 310 ribu/ul 150 450
Eritrosit 3.94 ribu/ul 4.50 5.90
Elektrolit
Natrium 137 mmol/L 136 145
Kalium 4,1 mmol/L 3.3 5.1
Klorida 100 mmol/L 98 106
Serologi
HBsAg Non-reaktif Non-reaktif
Hemostasis
PT 12,6 Detik 10,0 15,0
APTT 29,5 Detik 20,0 40,0
INR 1000
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 98 Mg/dl 60 140
Albumin 4,0 g/dl 3,2 4,6
Ureum 1,1 Mg/dl 0,8 1,3
Kreatinin 27 Mg/dl <50

b. Foto MSCT Kepala (20 Maret 2017)

7
FOTO KLINIS PASIEN

8
E. ASSESMENT II
- Fraktur lefort 2 (Fraktur maxilla dekstra et sinistra, fraktur naso-orbita-
ethmoid)

9
- Fraktur maxilla dekstra
- Fraktur rima orbita lateral
- Fraktur zigomaticus dekstra
- Fraktur frontal extend to rima orbita superior dekstra et sinistra
F. PLANNING II
Konsul dokter spesialis bedah plastik pro ORIF elektif
Konsul dokter mata

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Fraktur Maksilofasial
Fraktur maksilofasial adalah hilangnya kontiunitas pada tulang-tulang
pembentuk wajah akibat langsung dari trauma. Tulang-tulang maksilofasial
merupakan tulang-tulang pembentuk tengkorak bagian depan, terdiri dari
tulang-tulang pipih dan menonjol seperti tulang nasal, zigoma, maksila dan
mandibula sehingga lebih rentan terkena trauma dan terjadi fraktur.
2.2 Anatomi Maksilofasial
Struktur tulang maksilofasial yang terdiri atas os maksila, zygomatikus
dan etmoid yang tersusun secara khusus berperan sebagai peredam benturan
yang melindungi otak. Maksilofasial merupakan bagian penting dari tubuh
manusia karena terdapat organ atau struktur penglihatan, penciuman,
pengecapan, pendengaran, perabaan, mastikasi dan fonetik serta berbagai
saraf kranial yang menunjang kerja indra tersebut.
Kulit wajah dipersarafi oleh cabang-cabang ketiga divisi nervus
trigeminus yang juga merupakan saraf sensoris untuk mulut, gigi, rongga
hidung dan sinus paranasalis. Saraf sensoris wajah terdiri atas nervus
optalmikus, nervus maksilaris dan nervus mandibularis. Nervus fasialis
merupakan saraf untuk mempersarafi semua otot-otot ekspresi wajah. Nervus
fasialis berjalan kedepan di dalam substansi glandula parotidea. Saraf ini
terbagi atas lima cabang terminal yaitu ramus temporalis, ramus zigomatikus,
ramus buccalis, ramus mandibularis, ramus servikalis.
Wajah menerima pasokan darah yang banyak dari dua pembuluh utama
yaitu arteri fasialis dan arteri temporalis superfisial. Arteri fasialis
dipercabangkan dari arteri karotis eksterna. Arteri temporalis superfisial
bercabang menjadi arteri fasialis transversa. Vena fasialis menampung darah
dari cabang-cabang arteri fasialis. Bercabang menjadi vena fasialis profunda,
vena fasialis transversa dan vena maksilaris.

11
Otot-otot wajah berguna untuk ekspresi wajah, membuka/menutup
mulut, membuka/menutup mata dan lain-lain. Otot-otot wajah tertanam di
dalam fasia superfisialis, dan hampir seluruhnya berorigo pada tulang
maksilofasial dan berinsersio pada kulit. Otot-otot wajah terdiri dari otot-otot
palpebra, otot-otot lubang hidung, otot-otot bibir dan pipi, dan otot-otot
mastikasi.

Gambar 2.1 Anatomi tulang maksilofasial

12
Tulang-tulang maksilofasial terdiri dari:
1. Tulang hidung (os nasale)
Merupakan tulang yang mudah patah, kedua tulang hidung
membentuk batang hidung. Ke atas dihubungkan dengan tulang frontal oleh
sutura frontonasalis, ke bawah berartikulasi dengan tulang maksila,
kebelakang melekat dengan perpendikuler dari tulang etmoid.
2. Tulang zigomatikus (os zygomaticus),
Membentuk tonjolan pipi dan sebagian dinding lateral serta dasar
orbita. Tulang zigoma berhubungan antara tulang frontal, sfenoid dan maksila,
kemudian dihubungkan dengan temporal. Di medial bersendi dengan maksila,
di lateral dengan processus zygomaticus ossis temporalis membentuk arcus
zygomaticus, arkus ini yang menentukan dimensi anteroposterior dari tonjolan
pipi.
3. Tulang maksila (os maxilaris)
Kedua tulang maksila (maksila kiri dan kanan) merupakan bagian
utama dari wajah bagian tengah (mid face), membentuk rahang atas, pars
anterior palatum durum, sebagian dinding lateral cavum nasi, dan sebagian
dasar orbita. Bersama palatum merupakan penyangga dari gigi atas.
Mempunyai rongga udara yang paling besar di bagian maksilofasial, rongga
berbentuk piramid yang dilapisi mukosa disebut sinus maksilaris. Rongga ini
berhubungan dengan hidung dan berfungsi sebagai resonator udara. Tempat
keluarnya saraf infraorbitalis dan pembuluh darah infraorbitalis. Bersama
dengan tulang zigoma, frontal, etmoid, sisi medial nasal membentuk rongga
mata. Di posterior tulang maksila bergabung dengan tonjolan pterigoid dari
tulang sfenoid. Struktur tulang maksila kuat dan tebal di pilar lateralnya,
sedangkan pada bagian tengah dan depan tipis (rata-rata hanya 0,5 mm).
4. Tulang madibula (os mandibula)
Terdiri dari kondilus, prosesus koronoideus, ramus, angulus dan
korpus yang bergabung menjadi simfisis mandibula. Korpus berbentuk tapal
kuda dan bertemu dengan ramus masing-masing sisi pada angulus mandibula.
Foramen mentale dapat dilihat di bawah gigi premolar kedua, dari lubang ini

13
keluar arteri, vena dan nervus alveolaris inferior. Pinggir atas korpus
mandibula disebut pars alveolaris. Pada orang dewasa berisi 16 lubang untuk
akar-akar gigi. Tulang mandibula menonjol dan membentuk kontur wajah,
artikulasi dengan dasar tengkorak melalui kondilus yang bertumpu pada fossa
glenoidalis dan membentuk temporomandibular joint (TMJ). Mandibula dari
aspek fungsinya merupakan gabungan tulang berbentuk L bekerja untuk
mengunyah dengan dominasi terkuat m.temporalis yang berinsersi di sisi
medial pada ujung prosesus koroideus dan m.masseter yang berinsersi pada
sisi lateral angulus dan ramus mandibula. m. pterogoideus berinsersi pada sisi
medial bawah dari ramus dan angulus mandibula. m. masseter bersama m.
temporalis merupakan kekuatan untuk menggerakkan mandibula dalam proses
menutup mulut. M. pterigoid berperan untuk membuka madibula.
5. Os lacrimale
Merupakan tulang yang tipis dan tulang terkecil pembentuk wajah. Os
lacrimale berada di lateral dan posterior os nasale. Os nasale berisi fossa
lacrimale dan saccus lacrimale.
6. Os palatinum
Berbentuk huruf L yang membentuk bagian posterior palatum durum,
bagian dasar dan lateral rongga nasal. Bagian posterior palatum durum
dibentuk oleh lamina horizontal os palatinum.
7. Concha nasal inferior,
Lebih inferior dari concha nasal medial os ethmoid. Concha nasal
inferior merupakan tulang yang terpisah, dan bukan bagian dari os ethmoid.
Concha nasal inferior merupakan tulang pembentuk bagian dari dinding
lateral inferior rongga hidung.
8. Vomer
Merupakan tulang segitiga didasar rongga hidung yang berartikulasi
dengan lamina perpendicular os ethmoid pada bagian superior. Pada bagian
inferior berartikulasi dengan kedua maxilla dan os palatinum. Vomer
membentuk bagian inferior septum nasal.

2.3 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial

14
1. Fraktur Nasal
Fraktur nasal biasanya disebabkan oleh trauma langsung. Pada
pemeriksaan didapatkan pembengkakan, epitaksis, nyeri tekan dan teraba
garis fraktur. Foto rotgen dari arah lateral dapat menunjang diagnosis. Fraktur
tulang hidung ini harus segera direposisi dengan anastesia lokal dan
imobilisasi dilakukan dengan memasukkan tampon ke dalam lubang hidung
yang dipertahankan selama tiga sampai empat hari. Patahan dapat dilindungi
dengan gips tipis berbentuk kupu-kupu untuk satu hingga dua minggu.
2. Fraktur Maksila
Le Fort membedakan fraktur atas tiga macam yaitu fraktur sepertiga
atas (Le Fort III) dengan batas tepi atas orbita yaitu bagian os frontalis, fraktur
sepertiga tengah (Le Fort II) yang dibatasi oleh tepi atas orbita dan tepi bawah
baris gigi atas atau bagian maksila dan fraktur sepertiga bawah (Le Fort I)
yang meliputi daerah mandibula.

Gambar 2.2 Fraktur Maksila Le Fort I, II, III

Lefort 1 merupakan fraktur transversal yang melalui lantai rongga


sinus maksila diatas gigi, sehingga memisahkan prosesus alveolaris, palatum
dan prosesus pterigoid dari struktur tengkorak wajah diatasnya.

15
Lefort II membentuk patahan fraktur berbebntuk piramida. garis
fraktur berjalan diagonal dari lempeng pterigoid melewati maksila menuju
tepi inferior orbita dan ke atas melewati sisi medial orbita hingga mencapai
hidung, sehingga memisahkan slveolus maksila, dinding medial orbita dan
hidung sebagai bagian tersendiri.
Lefort III merupakan fraktur yang melewati sutura zigomatikofrontalis,
berlanjut kedasar orbita hingga sutura nasofrontalis. pada tipe ini tulang-
tulang wajah terpisah dari kranium.
Gejala klinis yang ditimbulkan akibat fraktur maxilla dapat berupa
nyeri, bengkak terutama pada jaringan periorbita, hematom periorbita,
maloklusi yaitu rasa tidak nyaman ketika menggigit karena gigi geligi pada
rahang atas tidak pas terkatup dengan gigi geligi pada rahang bawah, laserasi
intraoral, nyeri ketika mengunyah, krepitasi, deformitas, floating maxilla,
epistaksis, dan rinore.
Penegakan fraktur maksila dilakukan dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fraktur maxilla
dilakukan dengan pemeriksaan floating maxilla dengan cara dahi difiksasi
dengan tangan kiri, kemudian maxilla dipegang dengan ibu jari di luar dan
telunjuk di palatum durum, gerakan maksila ke depan dan ke belakang
menunjukkan adanya fraktur maxilla. Floating maxilla akan lebih nyata pada
fraktur maxilla Le Fort II dan Le Fort III dibandingkan dengan Le Fort I.
Pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis fraktur maksila
dapat dilakukan dengan CT-scan 3D yang merupakan gold standard
pemeriksaan pada pasien yang dicurigai mengalami fraktur maksilofasial.
Pemeriksaan fraktur maksila juga dapat dilakukan dengan menggunakan foto
polos Waters, Caldwel, submentovertek, dan lateral.

3. Fraktur Kompleks Zigoma

16
Tulang zigoma sangat berdekatan dengan tulang frontal dan tulang
temporal, yang mana ketika terjadi fraktur, maka bagian tulang yang
berdekatan biasanya juga ikut fraktur. Cedera yang menimbulkan fraktur
zigoma biasanya akibat suatu benturan pada korpus zigoma atau tonjolan
malar. Dasar orbita juga dapat mengalami fraktur pada proses tersebut
sehingga akan menimbulkan desakan pada cavum orbita dan diteruskan ke
dinding-dinding cavum orbita, dimana daerah yang lemah adalah tepi medial
bawah cavum orbita (lamina papirasea) menyebabkan terjadinya fraktur di
daerah tersebut disertai bola mata masuk ke dalam (enoftalmus) disertai
dengan terjepitnya m. rektus inferior di dalam patahan sehingga gerakan bola
mata sangat terganggu dan mengalami diplopia. Gejala lain yaitu keliling mata
kehitaman, yakni ekhimosis dan pembengkakan pada kelopak mata,
hipoestesi/anestesi pipi akibat cedera n. infraorbitalis atau hipoestesi/anestesi
dahi karena kerusakan n. supraorbitalis.
Gejala klinis fraktur zigoma dapat berupa pipi menjadi lebih rata jika
dibandingkan dengan sisi kontralateral atau sebelum trauma, diplopia atau
terbatasnya gerakan bola mata, edema periorbita dan ekimosis, perdarahan
subkonjungtiva, enoftalmus, ptosis, terdapatnya hipestesia atau anetesia
karena kerusakan saraf infra orbitalis, terbatasnya gerakan mandibula,
emfisema subkutis, dan epistaksis yang terjadi pada antrum.
Pada fraktur zigoma dapat dilakukan pemeriksaan dengan cara
meletakkan dua pensil pada masing masing sisi wajah. Sisi kedua pensil
harus terletak sejajar satu sama lain. Jika ujung akhir dari satu pensil miring
ke arah dalam, maka zigoma pasien menaji pipih pada sisi tersebut.
Penggunaan CT-scan dan foto rontgen sangat membantu menegakkan
diagnosa, mengetahui luasnya kerusakan akibat trauma, dan perawatan. CT-
scan pada potonan axial maupun coronal merupakan gold standard pada pasien
dengan kecurigaan fraktur zigoma. Penilaian foto polos untuk menilai

17
kecurigaan fraktur zigoma dapat menggunakan foto Waters, Caldwel,
submentovertek, dan lateral.
1. Fraktur Mandibula
Fraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan dari trauma
kecepatan tinggi dan trauma kecepatan rendah. Fraktur mandibulka dapat
terjadi akibat kegiatan olah raga, terjatuh, kecelakan sepeda motor, dan trauma
interpersonal. Mandibula dapat fraktur di semua bagian dan fraktur dapat
dikenali dengan rasa nyeri ketika mandibula diraba atau ditekan dengan
lembut, dan menyebabkan gangguan oklusi geligi. Mandibula cenderung
terkena cedera karena posisinya yang menonjol, sehingga sering menjadi
sasaran pukulan dan benturan. Pada pemeriksaan harus diperhatikan adanya
asimetri dan maloklusi. Pada palpasi dapat teraba garis fraktur dan mati rasa
bibir bawah akibat kerusakan pada n.mandibularis. Fraktur mandibula
umumnya disertai dislokasi fragmen tulang sesuai dengan tonus otot yang
berinsersi ditempat tersebut. Pada fraktur daerah dagu, otot akan menarik
fragmen tulang ke arah dirsikaudal, sedangkan pada fraktur bagian lateral
patahan tulang akan tertarik ke arah kranial

Gambar 2.3 Fraktur Mandibula

Dingman mengklasifikasikan fraktur mandibula secara sederhana,


dibagi menjadi tujuh regio yaitu : badan (corpus), simfisis, sudut (angulus),

18
ramus, prosesus koroideus, prosesus kondilus, prosesus alveolar. Fraktur yang
terjadi dapat pada satu, dua atau lebih pada regio mandibula ini.

5. Fraktur Multipel Maksilofasial


a. Fraktur Nasoorbitoetmoidalis
Fraktur pada daerah nasoorbitoethmoid (NOE) yang terdiri dari os.
frontal, nasal, maksila, lakrimal, etmoid dan sfenoid sering terjadi karena
benturan dengan kecepatan tinggi dan biasanya disertai trauma lain seperti
toraks dan abdomen.
b. Fraktur Tripod
Fraktur tripod disebabkan oleh trauma tumpul yang kuat pada wajah.
Fraktur tripod meliputi tiga titik pemisahan yaitu fraktur pada rima
infraorbitalis, diastasis sutura zigomatikus-temporalis pada arkus zigomatikus,
dan terputusnya sutura zigomatikus-frontal pada dinding lateral orbita. Tiga
garis fraktur dapat menyebabkan terbentuknya fragmen tulang yang
mengambang bebas menyerupai tripod. Pemeriksaan fisik dapat
memperlihatkan asimetri wajah, perdarahan subkonjungtiva lateral, ekimosis
periorbita, distopia vertikal, dan epistaksis.
c. Fraktur Panfasial
Fraktur panfasial adalah fraktur yang mencakup dua dari tiga area
wajah yaitu tulang frontal, wajah tengah dan mandibula. Dengan
pemerikasaan ct-scan 3D, keparahan dan pola fraktur pansial dapat ditentukan
dengan seksama sehingga rekonstruksi dapat direncanakan dengan baik.

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa
a. Dislokasi, berupa perubahan posisi yang menyebabkan maloklusi
terutama pada fraktur mandibula
b. Pergerakan abnormal pada sisi fraktur

19
c. Rasa nyeri pada sisi fraktur
d. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan
lokasi daerah fraktur
e. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran
f. Laserasi yang terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar
fraktur
g. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
h Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda,
penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus.

2.6 Diagnosis
Diagnosis fraktur maksilofasial ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pendekatan awal terhadap
pasien fraktur maksilofasial sedikit berbeda dengan cedera yang lain.
Perhatian harus segera diarahkan terhadapat saluran pernapasan, adekuatnya
ventilasi, dan kontrol perdarahan eksternal. Sebelum melakukan pemeriksan
vital signs, gangguan saluran pernapasan dan perdarahan yang mengancam
jiwa pasien harus ditangani terlebih dahulu. Setelah itu baru dilakukan
pemeriksaan vital signs dan status neurologis pasien setidaknya mengenai
tingkat kesadaran, yaitu orientasi terhadap waktu dan tempat.
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan setelah pasien stabil, dapat dilakukan
autoanamnesia bila pasien sadar dan tidak terdapat gangguan berbicara atau
alloanamnesis kepada keluarga/orang yang mengantarkan pasien. Selain
menanyakan keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, dahulu, keluarga dan
alergi, juga ditanyakan etiologi dan mekanisme terjadinya trauma agar dapat
diperkirakan jenis fraktur dan keparahannya. Aspek yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut : Bagaimana mekanisme cedera?

20
Apakah pasien kehilangan kesadaran atau mengalami perubahan status
mental? Jika demikian berapa lama? Apakah ada gangguan penglihatan,
kilatan cahaya, fotopobia, diplopobia, pandangan kabur, nyeri, ada perubahan
gerakan mata? Apakah pasien memiliki kesulitan bernafas melalui hidung ?
Apakah pasien memiliki manifestasi berdarah seperti keluar darah
dari hidung atau telinga? Apakah pasien mengalami kesulitan membuka atau
menutup mulut? Apakah pasien ada merasakan seperti kedudukan gigi tidak
normal ?
b. Pemeriksaan Fisik
1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak,
ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka
terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu
kerikil.
2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran
supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic,
dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan
rahang atas.
4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos
atau enophthalmos, ketajaman visual, kelainan gerakan okular dan
ukuran pupil, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan
konsensual.
5. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.
6. Periksa hidung meraba fraktur dan krepitasi.
7. Periksa septum hidung untuk hematoma, laserasi, fraktur, atau
dislokasi,
8. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau
bengkak. Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-
tanda krepitasi atau mobilitas.

21
Pemeriksaan fisik yang teliti dilakukan agar dapat mengetahui lokasi
dan keadaan fraktur dari tulang-tulang maksilofasial tersebut dengan tepat.12
Pemeriksaan fisik fraktur masilofasial meliputi pemeriksaan kepala,
pemeriksaan wajah bagian tengah, pemeriksaan mandibulla, pemeriksaan
tenggorokan dan rongga mulut.
a. Pemeriksaan kepala
Pemeriksaan ini meliputi seluruh kerangka kraniomaksilofasial. Pasien
harus dibersihkan dari semua darah dan benda asing. Dilakukan pemeriksaan
cedera pada jaringan lunak yang dapat dikarakteristikan menjadi abrasi,
kontusion, luka bakar, avulsi, dan laserasi.
Rangka kraniofasial terdiri dari pertautan dan penonjolan tulang, oleh
karena itu dilakukan pemeriksaan ada atau tidaknya step atau jarak,
diskontinuitas, pergeseran, dan hilangnya penonjolan. Dilakukan paslpasi
terhadap kranium, naso-orbitals kompleks, artikulasi zygomatik, dan
mandibula.
b. Pemeriksaan wajah bagian tengah
Diawali dengan pemeriksan ada atau tidaknya mobilitas maksila sebagai
struktur dari maksila itu sendiri atau hubungannya dengan zygoma atau tulang
nasal. Pemeriksaannya dapat dilakukan dengan cara menekan kening pasien
cukup kuat dengan satu tangan. Dengan ibu jari dan telunjuk tanga lainnya
mencengkram maksila pada satu sisi dan digerakkan dengan tekanan yang stabil
sehingga dapat diperoleh kepastian ada atau tidaknya mobilitas maksila.
Pemeriksaan dengan palpasi dimulai dari arah superior ke inferior. Pemeriksaan
dimulai dari aspek medial dari cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal
dan saluran nasofrontalis dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri. Palpasi
diteruskan ke arah menyilang cincin supraorbital menuju sutura
zygomatikofrontalis. Cincin ingfraorbital dipalpasi dari medial kearah lateral
untuk mengevaluasi sutura zygomatikofrontalis. Dilakukan pengamatan pada
bagian-bagian yang mengalami nyeri tekan dan baal. Hal ini dapat menunjukan
adanya fraktur atau cedera pada persarafan. Arcus dari zygomatikus juga

22
dilakukan palpasi secara bilateral dan diamatin apakah terdapat tanda asimetri.
Selanjutkan juga dilakukan pemeriksaan pergeseran septum dengan memeriksa
vestibulum nasi.
Pemeriksaan mata secara lengkap juga dilakuka walaupun terkadang akan
mengalami kesulitan pada pasien dengan cedera neurologis. Pemeriksaan yang
dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan jari, deteksi gerakan jari, dan
penggunaan sinar.
Hematoma artikuler merupakan kegawatdaruratan yang harus segera
didiagnosa dan ditangani. Mastodi harus diperiksa apakah terdapat ekimosis
yang disertai hemotimpanum dan otorrhea dimana merupakan tanda dari fraktur
basis kranial. Laserasi yang ditemukan ditelinbga merupakan kemungkinan
cedera pada kondil mandibula.
Kerusakan dan pergerakan tulang hidung harus segera dilakukan
pemeriksaan. Hematoma septum hidung harus segera didiagnosis dan
dievakuasi untuk menghindari terjadinya nekrosis tulang rawan hidung.
Tiga persarafan trigeminal harus diperiksa untuk mengetahui
kemungkinan adanya anestesi atau parestesi. Saraf kranialis tiga, empat, lima,
enam, tujuh diperiksa adakah palsi.
c. Pemeriksaan mandibula
Lokasi mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap digaris tengah
ataukan mengalami pergeseran baik ke lateral atau inferior. Apabila ada meatus
akustikus eksternus penuh dengan darah dan cairan, jari telunjuk dapat
dimasukkan guna palpasi endaural terhadap caput condillus pada saat istirahan
dan bergerak. Pada fraktur subcondilus tertentu dijumpai nyeri tekan. Tepi
inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai dari processus kondilaris
sampai simphisis mandibula. Fraktur pada mandibula diklasifikasikan berdasar
letak anatomi yaitu kondiler, ramus, angle, body, simphisis, alveolar, dan daerah
processus koronoid. Selain itu tipe fraktur juga ditentukan.
d. Pemeriksaan tenggorokan dan rongga mulut
Pertama kali yang dilihat secara intraoral adalah oklusi. Dataran oklusi
maksila mandibula diperiksa kontinuitasnya dan diperiksa adakah step

23
deformitas. Jaringan lunak mulut diperiksa dalam kaitannya dengan luka,
kontusio, abrasi, ekimoss, dan hematom. Dasar mulut dilihat apakah terdapat
bekuan darah atau serpihan gigi. Arcus zygomatikus dan basisnya dipalpasi
bilateral. Maksila diperiksa dengan memberikan tekanan pada processus
alveolaris sebelah anterior dengan tetap menahan kepala. Adanya step atau
pergeseran oklusi merupakan indikasi terjadinya fraktur dentoalveolar ataupun
fraktur rahang. Gigitan terbuka (open bite lateral) mengindikasikan fraktur
mandibulla. Sedangkan gigitan terbuka anterior menandakan Fraktur Le Fort.

2.6 Penatalaksanaan
Fraktur pada maksilofasial mempunyai cara penanganan pertama
dengan primary survey, resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi
definitif. Medikamentosa bertujuan untuk mengurangi morbiditas pada pasien,
dengan pemberian analgetik, antibiotik, ATS, dan antiemetik. Prinsip
penanganan fraktur maksila sama dengan penanganan fraktur yang lain yaitu
reposisi, fiksasi, imobilisasi dan rehabilitasi. Tindakan penanganan fraktur
secara definitif yaitu reduksi/reposisi fragmen fraktur, fiksasi fragmen fraktur
dan imobilisasi sehingga fragmen tulang yang telah dikembalikan tidak
bergerak sampai fase penyambungan dan penyembuhan tulang selesai. Pada
teknik tertutup, fiksasi fraktur dan imobilisasi fraktur dilakukan dengan jalan
menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular misalnya dengan arch bar
atau interdental wiring. Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka
dengan pembedahan, dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung
dengan menggunakan kawat (wiring) atau mini plat dan skrup (mini plate).
Reposisi terbuka pada fraktur maxilla bertujuan untuk melakukan
koreksi deformitas dan maloklusi yang dapat dilakukan dengan:
1. Suspensi zygomatico circumferential wiring adalah tindakan operasi untuk
stabilisasi tulang maxilla yang patah dengan jalan menggantungkan ke

24
arkus zigomatikus dengan menggunakan kawat. Suspensi ini digunakan
untuk fraktur maxilla Le Fort I atau Le Fort II.
2. Suspensi fronto circumferential wiring ialah tindakan operasi untuk
stabilisasi tulang maxilla yang terlepas dari dasar tengkorak dengan jalan
menggantungkan ke prosesus zigomatikus tulang frontalis, bisa dilakukan
untuk fraktur maxilla Le Fort I, II, dan III.
3. Interoseus wiring adalah tindakan operasi untuk fiksasi antara dua
fragmen tulang yang patah dengan cara mengikat kedua fragmen
menggunakan kawat kecil.
Pada fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang
bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi intermaksilar menggunakan kawat
baja atau mini-plate sesuai garis fraktur sehingga oklusi gigi menjadi
sempurna.
Pada kebanyakan fraktur zigoma, intervensi tidak selalu diperlukan
karena banyak fraktur yang tidak mengalami pergeseran atau hanya
mengalami pergeseran minimal. Indikasi operasi pada patah tulang zigoma
adalah fraktur dengan deformitas disertai diplopia, menyebabkan hiperaestesi,
atau juga menyebabkan trismus. Reduksi fraktur zigoma dilakukan melalui
insisi kombinasi, sebagai prinsip umum kesegarisan (aligment) os zigoma
harus ditetapkan pada setidaknya 3 area dan difiksasi di setidaknya 2 area
dengan miniplate dan sekrup.
Penanggulangan fraktur mandibula dilakukan dengan menggunakan mini
atau mikroplate yang dipasang dengan skrup. Pada fraktur tulang hidung yang
mengakibatkan terjadinya deviasi septum akibat dislokasi tulang hidung,
digunakan cunam Asch dengan cara memasukan masing-masing sisi (blade)
ke dalam kedua rongga sambil menekan septum dengan kedua sisi. Sesudah
fraktur hidung dikembalikan pada keadaan semula dilakukan pemasangan
tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat ditambah
dengan antibiotika.

25
BAB III

PENUTUP

3.1 Ringkasan

26
1. Fraktur maksilofasial adalah fraktur pada tulang-tulang pembentuk wajah akibat
langsung dari trauma.
2. Fraktur maksilofasial melibatkan tulang tulang penyusun wajah atau tengkorak
bagian depan dan bisa terjadi hanya pada satu tempat ataupun kompleks. Tulang-
tulang maksilofasial terdiri dari tulang-tulang pipih dan menonjol seperti tulang
nasal, zigoma, maksila dan mandibula sehingga lebih rentan terkena trauma dan
terjadi fraktur. Diagnosa klinis fraktur maksilofasial ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Alvi A, Doherty T, Lewen G; Facial fractures and concomitant injuries in trau


ma patients. Laryngoscope. 2003 Jan;113(1):1026.
2. Arslan D et al (2014) Assesment of maxillaofacial trauma in emergency
department. International Surgery Journal 2014 9: 13

27
3. Arslan et al (2014).. Assesment of maccilofacial trauma in emergency
department. World Journal of Emergency Surgery, 9:13.
4. Becker et al (2016). Nasal and Septal Fracture. Medscape.
5. Casto AL, Priolo GD, Gafuri A, et al ; Imaging Evaluation of Facial Complex
Strut Fractures. Elsevier.2012. 33:396-409.
6. Dev et al (2016). Nasal Fracture Surgery. Medscape.
7. Dries et al (2017). Initial evaluation of Trauma Patient. Medscape.
8. Fahrev. Penanganan Kegawatdaruratan Pada Pasien Trauma Maksilofasial. Skripsi.
Departemen Bedah mulut dan Maksilofasial. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara. Medan. 2009.
9. Haraldson et al (2016). Nasal fractur. Medscape.
10. Haraldson et al (2016). Nasal fracture treatment and management. Medscape.
11. Huempfner-Hierl et al (2015). Does facial soft tissue protect against
zygomatic fractures? Results of a finite element analysis. Head & Face
Medicine (2015) 11:21
12. Jong de W, Sjamsuhidrajat R, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC ;
2000.
13. Kita et al (2016) Efficacy and complication of submental tracheal intubation
compared with tracheostomy in maxillofacial trauma patients. Journal of oral
scince vol 58 No 1, 23-28
14. Love (2010). Nasal fractures: patient satisfaction following closed reduction.
Journal of the New Zealand Medical Association.
15. Mansjoer A S, Wardhani WI, Setiowulan. Kapita Selekta kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media
Aesculapius Fakultas kdokteran Universitas Indonesia. 2000
16. Mathur et al (2017). Orbital Fractures. Medscape
17. Maung et al (2015). Two different presentations of fracture zygoma. Myanmar
Medical Journal.
18. Mayorga et al (2016). Nasal Fracture Reduction. Medscape.
19. Murni M, Widiami D, Thamrin M. Trauma Muka. Dalam Soepardi EA, Iskandar N. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2001.
20. Noor M, et al(2017) Frequency of intfra orbital nerve injury after a
Zygomaticomaxillary complex fracture and its functional recovery after open
reduction. International Surgery Journal 2017 4 (2)

28
21. Ogura et al (2016) Characteristic of Maxillofacial Fracture in Elderly Patients
Compared with Young Patients. Journal of oral scince vol 15 No 1, 10-16
22. Reksoprawiro. Epidemiologi fraktur maksilofasial. Surabaya : Divisi Bedah
Kepala Leher, Bagian/SMF Ilmu Bedah. FK UNAIR/RSU Soetomo.
23. Ronis et al (2016). Nasal Bone Fractures in Children and Adolescents. Patient
demographics, Etiology of the Fracture and Evaluation of Plain Film
Radiology as Diagnostic Method in Childrens Clinical University Hospital.
MMSE Journal.
24. Rupp et al (2016). Facial Fracture Treatment and Management. Medscape
25. Rupp et al (2016). Facial Fracture. Medscape
26. Scheyener J et al (2015) Maxillofacial injuries in severly injured patient.
Journal of trauma management & outcome 2015 : 9(4)
27. Scheyerer et al (2015). Maxillofacial injuries in severely injured
patients.Journal of Trauma Management & Outcomes 9:4
28. Shetawi et al. (2016). Initial Evaluation and Management of Maxillofacial
Injuries. Medscape.
29. Snell SR. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2006.
30. Suardi et al (2017) Fraktur pada Tulang Maksila. Universitas Udayana Bali
31. Tanuhendra A, et al (2015) Hubungan antara Fraktur maksilofasial dengan
terjadinya lesi intrakranial. Universitas Sam Ratulangi Manado
32. Turkaslan et al (2009). The esthetic rehabilitation of misplace dental arch
fracture of anterior maxillae. Cases Journal, 2:8723
33. Volk et al. (2010). Modern concepts in facial nerve reconstruction. Head &
Face Medicine, 6:25
34. Widell et al (2016). Orbital Fracture in Emergency Medicine. Medscape

29
30

Anda mungkin juga menyukai