MULTIPLE TRAUMA
Oleh :
Pembimbing:
KABUPATEN PACITAN
2016
5 dr. Rona
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping
Portofolio
Portofolio
Nama Wahana: RSUD Kabupaten Pacitan
Topik: Ilmu Penyakit Saraf
Tanggal (Kasus): 15/10/16 Presenter: dr. Jehan Fauzi Rakhmandani
Tanggal Presentasi: Pendamping: dr. M. Wildan
Tempat Presentasi: di ruang IGD
Obyektif Presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Laki-laki, 22 th, post kecelakaan
Tujuan: Diagnostik dan tatalaksana pada multiple trauma
Tinjauan
Bahan Bahasan: Riset Kasus Audit
Pustaka
Presentasi dan
Cara Membahas: Diskusi Email Pos
Diskusi
Nama: Tn. S
Data Pasien: Nomor Registrasi : 24.61.27
Alamat : Teleng
Data Klinik: Jam 12.00 pm Terdaftar Sejak :
Data Utama untuk Bahan Diskusi
1. Diagnosis / Gambaran Klinis:
Pasien belum pernah menjalani pengobatan sebelumnya menurut alloanamnesis terhadap teman.
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit:
Riwayat asma, penyakit jantung, hipertensi, dan kencing manis tidak tahu.
5. Riwayat Pekerjaan dan Sosial:
AGD:
PH : 7,056
Pco2 :38,9
BE :-18,6
HCO3 :10,8
Po2 : 95,4
Total co2 :11,8
Spo2 : 95,5
Hasil Rontgen :
Rencana terapi:
Jam 23.30
O2 3 l/m >> cek saturasi 96%
Wt,pasang spalk
IVFD Nacl 0,9% 1000 cc
Inj. Ketorolac 1amp
Inj. Ranitidin 1 amp
Inj ondancetron 1 amp
Inj cithicolin 1 A
Inj kalnex 1a
Jam 02.00
SPO2 -84%
Pasang ETT
Daftar Pustaka:
1. Burgess at al, 2016. A Systemic reviewof RCT compacing HTS and Manitol for traumatic
Brain Injury. www.pubmed.com
2. Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC
3. Sabiston,2002., Textbook of Surgery : The Biological Basis of Modern Surgical Practice.
Edisi 16.USA: W.B Saunders companies.
4. Zehtabchi etal, 2014. Tranexamic Acid for TBI : a Systematic Review and Meta
Analysis.www.pubmed.com
Hasil Pembelajaran:
1. Identifikasi etiologi
2. Diagnosis
3. Identifikasi komplikasi dan faktor penyulit
4. Konseling Informasi dan Edukasi tentang terapi nya
1. Subjektif
Os kecelakaan di antar menggunakan mobil polisi, os kecelakaan tunggal, temukan di
jalan dengan keadaan tidak sadar, diduga os kencang dan menabrak pembatas
jalan,pingsan (+),luka terbuka (-).di mulut dan hidung darah (+) curiga berasa dari
dalam hidung. luka babras di tangan dan kaki. muntah di TKP ? di RS 1 x. pusing ?,
nyeri kepala ?. minuman keras ? sesampai di RS os sadar dan gelisah.
2. Objektif
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital berada dalam batas normal.
Status lokalis Kepala : luka terbuka (-), nyeri tekan ?.hematom (-), Tangan kanan :
nyeritekan pada humeri 1/3medial( +), edema (+), deformitas (+), Tangan kiri :
antebrachii 1/3 medial nyeri tekan (+), deformitas (+)
3. Assesment
Os kecelakaan di antar menggunakan mobil polisi, os kecelakaan tunggal, temukan di
jalan dengan keadaan tidak sadar, diduga os kencang dan menabrak pembatas
jalan,pingsan (+),luka terbuka (-).di mulut dan hidung darah (+) curiga berasa dari
dalam hidung. luka babras di tangan dan kaki. muntah di TKP ? di RS 1 x. pusing ?,
nyeri kepala ?. minuman keras ? sesampai di RS os sadar dan gelisah.
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital berada dalam batas normal.
Status lokalis Kepala : luka terbuka (-), nyeri tekan ?.hematom (-), Tangan kanan :
nyerit tekan pada humeri 1/3medial( +), edema (+), deformitas (+), Tangan kiri :
antebrachii 1/3 medial nyeri tekan (+), deformitas (+)
dx
multiple trauma
COB
Sepsis
4. Plan
Pengobatan
Airway
Bebaskan jalan nafas; jika diperlukan pasang gudel; kepala dan tubuh dalam posisi
30, dan kepala diganjal bantal
Breathing
Periksa kadar oksigen, bila hipoksia berikan oksigen 2-4 ltr/mnt.
Circulation
Pasang infus pada sisi yang sehat
Konsul dokter bedah dan saraf
Inj cithicolin 1 A
MOtivasi rujuk
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung maupun tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer
maupun permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan /benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
B. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii.Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.Kalvaria
khususnya di regio temporal adalah tipis namun disini dilapisi oleh otot
temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata dapat melikai bagian otak dasar
saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar
dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat
temporalis, dan fosa posterior ruang bagian bawah batang otak dan serebelum.
C. Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu:
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas 2 lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam
dari cranium.Karena tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya,
maka terdapat suatu ruangan potensial (ruangan subdura) yang terletak
antara durameter dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan
subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural.Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dan sinus sigmoideus.Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
cranium (ruang epidural).Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural.Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2. Selaput Arachnoid
Selaput arachnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arachnoid terletak antara pia meter sebelah dalam dan duramater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh
ruang potensial, disebut Spatium subdural dan dari pia mater oleh Spatium
Subarachnoid yang terisi oleh Liquor Serebrospnalis.Perdarahan sub
arachnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala .
3. Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan kortek serebri.Piamater adalah
membrane vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam.Membrane ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya.Arteri-arteri yang masuk
kedalam substansia otak juga diliputi oleh piamater.
D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar
14 kg.otak terdiri dari beberapa bagian yaitu Proensefalon(otak depan) terdiri
dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhomensefalaon (otak belakang) terdiri dari pons, medulla oblongata dan
serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus.Lobus frontal berkaitan dengan
emosi, fungsi motorik, dan pusat ekspresi bicara.Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.Lobus temporal mengatur fungsi
memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses
penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi system aktivasi
retukiler yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan.Pada medulla
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik.Serebellum bertanggung jawab
dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
E. Cairan Serebrosspinalis
Cairan serebrosspinalis (CSS) dihasilkan oleh pelsus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral
melalui foramen Monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi kedalam sirkulasi vena melalui granulasio
arachnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam
CSS dapat menyumbat granulasio arachnoid sehingga mengganggu
penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intracranial.Angka rata-
rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan
dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
F. Tentorium
Tentorium serebri membagi rongga tengkorak menjadi ruangan supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruangan infra
tentorial (berisi fosa kranii posterior).
G. Vaskularisasi Otak
Otak di suplai oleh 2 arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
sirkulus wilisi.Vena-vena otak tidak mempunyai katup.Vena tersebut kaluar
dari otak dan bermuara kedalam sinus venosus cranialis.
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
sekunder dan cedera primer. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala
dengan sesuatu benda keras maupun oleh proses akselerasi deselerasi gerakan
kepala dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan
dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut countercoup. Akselerasi-
deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma.Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansia solid)
dan otak (substansia semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intrakranialnya.Bergeraknya isi dalam tulang tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam otak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countercoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologi yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, krusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intracranial dan perubahan neurokimiawi.
3. Morfologi cedera
Secara morfologi cedera kepala daapat di bagi atas fraktur cranium dan
lesiintrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur
dasar tulang tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya
tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan
untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain
ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroaurikuler (battle
sign), kebocoran CSS (rhinorrhea, otorrea), dan paresis nervus fasialis.
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan hubungan antara
laserasi kulit kepala dan perukaan otak karena robeknya selaput
duramater.Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera.Adanya
fraktur tengkorak menunjukan bahwa benturan yang terjadi cukup berat
sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak.Frekuensi fraktur
tulang tengkorak bervariasi, fraktur kalvaria mempertinggi resiko
hematoma intracranial sebesar 400 kali pada pasien sadar dan 20 kali pada
pasien tidak sadar.Untuk alasan ini, adanya fraktur tulang tengkorak
mengharuskan pasien untuk dirawat di rumah sakit untuk pengamatan.
2. Lesi Intrakranial
Lesi intracranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal dan difusa, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan.Lesi fokal termasuk
hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intra
serebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan Ct scan normal maupun menunjukkan perubahan sensorium
atau bahkan koma dalam keadaan klinis.
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang
potensial antara tabula interna dan dura mater dengan ciri-ciri
berbentuk bikonvek menyerupai lensa cembung.Paling sering terletak
di region temporal atau temporopartial dan sering akibat dari robeknya
pembuluh meningeal media.Perdarahan biasanya dianggap berasal dari
arterial, namun mungkin sekunder dari perdaraahan vena pada
sepertiga kasus.Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya
sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fosa posterior.
Walau hematoma epidural relative tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu
diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera.Bila ditindak
segera, prognosis biasanya baik karena penekanan gumpalan darah
yang terjadi tidak berlangsung lama.keberhasilan pada penderita
perdarahan epidural berkaitan langsung dengan status neurologi
penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural
dapat menunjukan adanya lucid interval yang klasik dimana
penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and
die), keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan
memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.
Dengan pemeriksaan ct scan akan tampak area hiperdens yang tidak
selalu homogeny, bentuknya bikonveks sampai planoconveks, melekat
pada tabula interna dan mendesak kesisi kontralateral (space occupying
lesion). Batas dengan korteks licin, densitas duramater biasanya jelas,
bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena
sehingga tampak lebih jelas.
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun sangat
progresif.Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar
disekitar mata dan dibelakang telinga.Sering juga tampak cairan yang
keluar pada saluran hidung dan telinga.Pasien seperti ini harus
diobservasi secara teliti.Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang
bermacam-macam akibat dari cedera kepala.Banyak gejala yang
muncul secara bersamaan pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala- gejala yang sering tampak:
- Penurunan kesadaran, bias sampai koma.
- Bingung.
- Penglihatan kabur.
- Susah bicara.
- Nyeri kepala yang hebat.
- Keluar cairan darah dari hidung maupun telinga.
- Mual.
- Pusing.
- Berkeringat.
- Pucat.
- Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateralmenjadi lebar.
b. Hematom Subdural
1. SDH akut
Pada gambaran CT scan tampak gambaran hyperden sickle (seperti
bulan sabit) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural
hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya fissure di daerah
fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom
subdural . Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologic dalam 24
sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak
berat.Gangguan neurologic progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan
otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya control atas denyut nadi
dan tekanan darah.
3. SDH kronis
d. Cedera difus
Cedera otak difus maerupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi
pada cedera kepala.Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera
dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi
neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat.Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak
diperhatikan.Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah
keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih
kembali tanpa gejala sisa sama sekali. Cedera komosio yang lebih
berat menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia retrograde dan
amnesia ante grade.
Komosio serebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunnya atau hilangnya kesadaran.Keadaan ini selalu disertai
dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan
ukuran beratnya cidera.Dalam beberapa penderita dapat timbul deficit
neurologis untuk beberapa waktu. Deficit neurologis itu misalnya
kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia dan depresi serta gejala
lain. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindrom pasca komosio yang
dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (diffuse axonal injury, DAI) adalah keadaan
dimana penderita mengalami koma pasca cidera yang berlangsung
lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan
iskemik.Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap
koma selama beberapa waktu.Penderita sering menunjukan gejala
dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan
cacat berat, itupun bila bertahan hidup.Penderita sering menunjukan
gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hyperhidrosis, dan
hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera aksonal difus dan cedera
otak karena hipoksia secara klinis, dan memang dua keadaan tersebut
sering terjadi secara bersamaan.
2.3.2 Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. 5 Dalam mekanisme cedera kepala
dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.1 Akselarasi-
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).6
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan
neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.6
2.3.3 Manifestasi Klinik
Tanda-tanda dan gejala cedera kepala bisa terjadi segera atau timbul secara bertahap
selama beberapa jam. Jika setelah kepalanya terbentur, seorang anak segera kembali bermain
atau berlari-lari, maka kemungkinan telah terjadi cedera ringan. Tetapi anak harus tetap
diawasi secara ketat selama 24 jam karena gejalanya mungkin saja baru timbul beberapa jam
kemudian. Cedera kepala ringan bisa menyebabkan muntah, pucat, rewel atau anak tampak
mengantuk, tanpa disertai penurunan kesadaran maupun tanda-tanda lain dari kerusakan otak.
Jika gejala terus berlanjut sampai lebih dari 6 jam atau jika gejala semakin memburuk, segera
dilakukan pemeriksaan lebih jauh untuk mengetahui apakah telah terjadi cedera kepala yang
berat. Gejala berikut menunjukkan adanya cedera kepala serius yang memerlukan
penanganan medis segera adalah :
a Penurunan kesadaran
b Perdarahan
c laju pernafasan menjadi lambat
d linglung
e. kejang
f. patah tulang tengkorak
g memar di wajah atau patah tulang wajah
h keluar cairan dari hidung, mulut atau telinga (baik cairan jernih maupun berwarna
kemerahan)s
i sakit kepala (hebat)
j hipotensi (tekanan darah rendah)
k tampak sangat mengantuk.
l Rewel
m perubahan perilaku/kepribadian
n gelisah
o bicara ngawur
p kaku kuduk
q pembengkakan pada daerah yang mengalami cedera
r penglihatan kabur
s luka pada kulit kepala
t perubahan pupil (bagian hitam mata).
VII. PENATALAKSANAAN
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi
rawat antara lain:
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam).
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit).
3. Penurunan tingkat kesadaran.
4. Nyeri kepala sedang hingga berat.
5. Intoksikasi alkohol atau obat.
6. Fraktura tengkorak.
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea.
b. Pemeriksaan fisik
Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal
serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data
dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bisa diartikan
sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi
penyebabnya.
c. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada dan abdomen dibuat atas
indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis
diduga ada hematom intrakranial
d. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau
hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang
normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan
sebagai berikut:
1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol, dengan
sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti
berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg
dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dgn mengurangi hiperventilasi, bila TIK
naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan
hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan
drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt,
misalnya bila terjadi hidrosefalus
3. Terapi diuretik
o Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak
yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus
dihentikan.
Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam
selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm
Namun dalam penelitian pubmed, Larutan salin hipertonis untuk mengatasi tekanan
intrakranial yang meningkat : kajian literatur dengan meta-analisis
Tujuan. Saat ini, manitol merupakan pilihan utama agen hiperosmolar yang
direkomendasikan untuk pasien-pasien dengan tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat.
Beberapa penulis menyatakan bahwa cairan salin hipertonis (HTS) dapat menjadi agen yang
lebih efektif, namun belum ada consensus tentang indikasi yang tepat untuk penggunaannya,
konsentrasi dan metode pemberian yang terbaik. Agar dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut, maka penulis melakukan kajian literature terhadap penggunaan larutan
HTS untuk mengurangi TIK.
Hasil. Total sebanyak 36 artikel dipilih untuk dikaji lebih lanjut. Pada 10 artikel dilakukan uji
dengan metode prospektif terkontrol acak, 1 artikel diuji dengan metode prospektif dan
nonacak, 15 artikel diuji dengan metode prospektif observasional, dan 10 artikel diuji dengan
metode retrospektif. Penulis tidak membedakan antara kajian retrospektif observasional dan
uji perbandingan retrospektif. Kajian prospektif dipertimbangkan observasional apabila efek
dari terapi dievaluasi melebihi waktu namun tidak dibandingkan dengan terapi lainnya.
Kesimpulan. Data yang tersedia terbatas pada jumlah pasien, terbatasnya metode prospektif
control acak, dan inkonsistensi metode diantara tiap-tiap kajian. Namun sebagian besar data
menunjukkan bahwa HTS yang diberikan bolus atau infus berkelanjutan lebih efektif
daripada manitol dalam menurunkan episode meningkatnya TIK. Suatu meta-analisis
dilakukan terhadap 8 kajian prospektif control acak dan menunjukkan tingkat kegagalan
terapi atau insufisiensi yang tinggi dengan manitol atau larutan normal salin dibandingkan
dengan HTS. (DOI: 10.3171/2011.7.JNS102142) HTS diberi nacl 15% 0,42ml/kg bolus vena
sentral.
o Tranexamic acid for TBI a systematic and meta analysis menurunkan ICH namun
tidak pada klinisnya.( Zehtabchi et al, 2014)
f. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan
mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya
kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan bertambah bila ada demam. Setelah 3-
4 hari dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik
bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari
g. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi dan yang
terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada
anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien
dengan amnesia post traumatik yang panjang.
Pengobatan:
o Kejang pertama : Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
o Status epilepsi : diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cendrung
berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <4 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat
larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain
misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50
mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral
Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti
pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik
panjang
h. Komplikasi sistematik
1. Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti: pada fraktur
tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii
2. Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan menambah kerusakan
sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap kenaikan suhu harus
diatasi dengan menghilangkan penyebabnya, disamping tindakan menurunkan suhu dengan
kompres
3. Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal
lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadaan ini dapat dicegah dengan pemberian
antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor bloker.
4. Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo hiperagregasi
trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut ada yang bersifat sementara perlu cepat
ditanggulangi agar tidak memperparah kondisi pasien.
i. Neuroproteksi
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan jaringan saraf,
memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan. Manfaat obat-obat tersebut
masih diteliti pada penderita cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium, antagonis
glutama dan sitikolin
- Respon motorik
- Respon verbal
Pemeriksaan neurologis serial harus selalu dilakuakn untuk deteksi dini adanya
gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil
dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya.
C. Terapi medikamentosa
1. Cairan intravena
Bertujuan untuk resusitasi, agar penderita tetap dalam keadaan normovolemi.
Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemi yang
berakibat buruk pada cidera otak. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah
larutan garam fisiologi yaitu Ringers Laktat.
2. Hiperventilasi
Hiperventilasi dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama dan
agresif dapat menyebabkan iskemia otak akibat terjadinya vasokontriksi serebri berat
sehingga menimbulkan gangguan perfusi otak. PCO2 dipertahankan pada 35 mmHg
atau lebuh. Hiperventilasi dalam waktu singkat (PCO2 antara 25-30 mmHg).
3. Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Dosis yang
dipakai 1g/kgBB diberikan secara bolus intravena. Indikasi karena pemakaian manitol
adalah deteriosasi neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis
atau kehilangan kesadaran. Manitol menurunkan tekanan atau volume cairan
cerebrospinal dengan cara meninggikan tekanan osmotik plasma. Dengan cara ini, air
dari cairan otak akan berdifusi kembali ke plasma dan ke dalam ruangan ekstrasel.
Namun dalam penelitian HTS dan manitol. tdk signikan terhadap penurunan
ICP (Burgess etal 2016)
4. Furosemid atau Lasix
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis yang
adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara intravena. Pemberiannya bersamaan dengan manitol
karena mempunyai efek sinergis dan memperpanjang efek osmotik serum manitol.
5. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obat lain.
Namun barbiturat ini tidak dianjurkan pada fase akut resusitasi.
6. Antikonvulsan
Epilepsi pasca trauma terjadi 5% dengan cidera otak tertutup dan 15% pada
cidera kepala berat. Fenitoin bermanfaat untuk mengurangi terjadinya kejang dalam
minggu pertama. Untuk dosis awal adalah 1g secara intravena dengan kecepatan
pemberian 50mg/menit. Dosis pemeliharaan biasanya 100mg/8 jam. Pada pasien
dengan kejam lama, pemberian diazepam atau lorazepam sebagai tambahan fenitoin
sampai kejang berhenti. Karena dapat menyebabkan cidera otak sekunder.
DAFTAR PUSTAKA
Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta:
Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta
Burgess, 2016. A Systemic reviewof RCT compacing HTS and Manitol for
traumatic Brain Injury. www.pubmed.com
Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit
buku kedokteran EGC
Zehtabchi, 2014. Tranexmic Acid for TBI : a Systematic Review and Meta
Analysis.www.pubmed.com