Anda di halaman 1dari 34

PORTOFOLIO

MULTIPLE TRAUMA

Oleh :

dr. Jehan Fauzi Rakhmandani

Pembimbing:

Dr Netty Nurnaningtyas, Sp. EM

RSUD DR. DARSONO

KABUPATEN PACITAN

2016

BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO


Pada hari ini tanggal Oktober 2016 telah dipresentasikan portofolio oleh :

Nama peserta : dr. Jehan Fauzi Rakhmandani

Dengan topik : Multiple trauma

Nama pembimbing : dr. Netty Nurnaningtyas, Sp. EM

Nama wahana : RSUD dr. Darsono Kab. Pacitan

No Nama peserta presentasi Tanda tangan

1 dr. Rinansita Warihwati

2 dr. Nia Anestya

3 dr. Lailil Indah S

4 dr. Khandika Putra

5 dr. Rona

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pendamping

( dr. Netty Nurnaningtyas, Sp. EM)

Portofolio
Portofolio
Nama Wahana: RSUD Kabupaten Pacitan
Topik: Ilmu Penyakit Saraf
Tanggal (Kasus): 15/10/16 Presenter: dr. Jehan Fauzi Rakhmandani
Tanggal Presentasi: Pendamping: dr. M. Wildan
Tempat Presentasi: di ruang IGD
Obyektif Presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Laki-laki, 22 th, post kecelakaan
Tujuan: Diagnostik dan tatalaksana pada multiple trauma
Tinjauan
Bahan Bahasan: Riset Kasus Audit
Pustaka
Presentasi dan
Cara Membahas: Diskusi Email Pos
Diskusi
Nama: Tn. S
Data Pasien: Nomor Registrasi : 24.61.27
Alamat : Teleng
Data Klinik: Jam 12.00 pm Terdaftar Sejak :
Data Utama untuk Bahan Diskusi
1. Diagnosis / Gambaran Klinis:

Os kecelakaan di antar menggunakan mobil polisi, os kecelakaan tunggal, temukan di jalan


dengan keadaan tidak sadar, diduga os kencang dan menabrak pembatas jalan,pingsan (+),luka
terbuka (-).di mulut dan hidung darah (+) curiga berasa dari dalam hidung. luka babras di tangan
dan kaki. muntah di TKP ? di RS 1 x. pusing ?, nyeri kepala ?. minuman keras ? sesampai di RS
os sadar dan gelisah.
2. Riwayat Pengobatan:

Pasien belum pernah menjalani pengobatan sebelumnya menurut alloanamnesis terhadap teman.
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit:

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit.


4. Riwayat Keluarga:

Riwayat asma, penyakit jantung, hipertensi, dan kencing manis tidak tahu.
5. Riwayat Pekerjaan dan Sosial:

Os adalah seorang nelayan


6. Lain-lain
Kesadaran: somnolen
GCS : E2M4V2
Tanda vital:
Tekanan darah: 100/60 mmHg. Nadi: 100x/menit. Pernafasan : 26x/menit. SPO2; 96 %
Pemeriksaan Fisik:
Kepala Leher: mata konjunctiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), sianosis bibir(-), pupil :isokor
3mm/3mm. Edema palpebra (-) battle sign (-),racoon (-)
Thoraks: Inspeksi : simetris,
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), iktus kordis tteraba,
Perkusi : sonor kiri dan kanan,
Auskultasi Jantung : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : suara napas Vesikuler +/+ , Rhonki -/- , Wheezing -/-
Abdomen: Inspeksi : datar
Auskultasi: peristaltik (+)
Palpasi : massa (-), nyeri ?
Perkusi : timpani (+)
Ekstremitas : Akral dingin (+), edema tungkai (-/-), CRT < 2 second
Status lokalis
Kepala : luka terbuka (-), nyeri tekan ?.hematom (-)
Tangan kanan : nyeri tekan pada humeri 1/3medial( +), edema (+), deformitas (+),
Tangan kiri : antebrachii 1/3 medial nyeri tekan (+), deformitas (+)
Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium :
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
WBC 38,5 x 10^3/uL 5.0 12.0
Lymph 9,9 20.0 40.0
Mid 20 3.0 9.0
Gran 70% 50.0 70.0
HGB 9,4 g/dL 12.0 15.5
RBC 3,0 x 10^6/uL 4.00 5.20
HCT 26.8% 35.0 49.0
MCV 88.5% 82.0 95.0
MCH 31% 27.0 31.0
MCHC 34.4% 32.0 36.0
RDW-SD 36.6 fL 35.0 56.0
RDW-CV 13.3 % 11.5 14.5
PLT 206 x 10^3/uL 150 450

AGD:
PH : 7,056
Pco2 :38,9
BE :-18,6
HCO3 :10,8
Po2 : 95,4
Total co2 :11,8
Spo2 : 95,5

Hasil Rontgen :

Rontgen thorax dan skull tidak dapat dilakukan


Diagnosis: multiple trauma
COB
Cf 1/3 medial humeri
Cf 1/3medial radius ulna
Sepsis

Rencana terapi:
Jam 23.30
O2 3 l/m >> cek saturasi 96%
Wt,pasang spalk
IVFD Nacl 0,9% 1000 cc
Inj. Ketorolac 1amp
Inj. Ranitidin 1 amp
Inj ondancetron 1 amp
Inj cithicolin 1 A
Inj kalnex 1a

Pasang NGT = cairan bercampur ampas makanan, darah (-)


Pasang DC = 200 cc bercampur darah
MOtivasi rujuk

Jam 02.00
SPO2 -84%
Pasang ETT

Daftar Pustaka:

1. Burgess at al, 2016. A Systemic reviewof RCT compacing HTS and Manitol for traumatic
Brain Injury. www.pubmed.com
2. Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC
3. Sabiston,2002., Textbook of Surgery : The Biological Basis of Modern Surgical Practice.
Edisi 16.USA: W.B Saunders companies.
4. Zehtabchi etal, 2014. Tranexamic Acid for TBI : a Systematic Review and Meta
Analysis.www.pubmed.com

Hasil Pembelajaran:
1. Identifikasi etiologi
2. Diagnosis
3. Identifikasi komplikasi dan faktor penyulit
4. Konseling Informasi dan Edukasi tentang terapi nya

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subjektif
Os kecelakaan di antar menggunakan mobil polisi, os kecelakaan tunggal, temukan di
jalan dengan keadaan tidak sadar, diduga os kencang dan menabrak pembatas
jalan,pingsan (+),luka terbuka (-).di mulut dan hidung darah (+) curiga berasa dari
dalam hidung. luka babras di tangan dan kaki. muntah di TKP ? di RS 1 x. pusing ?,
nyeri kepala ?. minuman keras ? sesampai di RS os sadar dan gelisah.
2. Objektif
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital berada dalam batas normal.
Status lokalis Kepala : luka terbuka (-), nyeri tekan ?.hematom (-), Tangan kanan :
nyeritekan pada humeri 1/3medial( +), edema (+), deformitas (+), Tangan kiri :
antebrachii 1/3 medial nyeri tekan (+), deformitas (+)

3. Assesment
Os kecelakaan di antar menggunakan mobil polisi, os kecelakaan tunggal, temukan di
jalan dengan keadaan tidak sadar, diduga os kencang dan menabrak pembatas
jalan,pingsan (+),luka terbuka (-).di mulut dan hidung darah (+) curiga berasa dari
dalam hidung. luka babras di tangan dan kaki. muntah di TKP ? di RS 1 x. pusing ?,
nyeri kepala ?. minuman keras ? sesampai di RS os sadar dan gelisah.
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital berada dalam batas normal.
Status lokalis Kepala : luka terbuka (-), nyeri tekan ?.hematom (-), Tangan kanan :
nyerit tekan pada humeri 1/3medial( +), edema (+), deformitas (+), Tangan kiri :
antebrachii 1/3 medial nyeri tekan (+), deformitas (+)

dx

multiple trauma

COB

Cf 1/3 medial humeri L

Cf 1/3medial radius ulna D

Sepsis

4. Plan
Pengobatan
Airway
Bebaskan jalan nafas; jika diperlukan pasang gudel; kepala dan tubuh dalam posisi
30, dan kepala diganjal bantal
Breathing
Periksa kadar oksigen, bila hipoksia berikan oksigen 2-4 ltr/mnt.
Circulation
Pasang infus pada sisi yang sehat
Konsul dokter bedah dan saraf

IVFD Nacl 0,9% 800 cc

Inj. Ketorolac 1amp

Inj. Ranitidin 1 amp

Inj ondancetron 1 amp

Inj cithicolin 1 A

Inj tranexamic acid 1A

Pasang NGT = cairan bercampur ampas makanan, darah (-)


Pasang DC = 200 cc bercampur darah

MOtivasi rujuk
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung maupun tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer
maupun permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan /benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

II. ANATOMI KEPALA


A. Kulit kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan disebut sebagai SCALP yaitu:


Skin atau kulit.
Connective tissue atau jaringan penghubung.
Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang
berhubungan dengan tengkorak.
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar.
Perikranium jaringan penunjang longgar memisahkan galea
aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat biasa terjadinya
perdarahan sub galeal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah
sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
mengakibatkan kehilangan banyak darah terutama pada anak-anak dan
penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga
membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya

B. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii.Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.Kalvaria
khususnya di regio temporal adalah tipis namun disini dilapisi oleh otot
temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata dapat melikai bagian otak dasar
saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar
dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat
temporalis, dan fosa posterior ruang bagian bawah batang otak dan serebelum.

C. Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu:
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas 2 lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam
dari cranium.Karena tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya,
maka terdapat suatu ruangan potensial (ruangan subdura) yang terletak
antara durameter dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan
subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural.Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dan sinus sigmoideus.Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
cranium (ruang epidural).Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural.Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2. Selaput Arachnoid
Selaput arachnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arachnoid terletak antara pia meter sebelah dalam dan duramater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh
ruang potensial, disebut Spatium subdural dan dari pia mater oleh Spatium
Subarachnoid yang terisi oleh Liquor Serebrospnalis.Perdarahan sub
arachnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala .
3. Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan kortek serebri.Piamater adalah
membrane vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam.Membrane ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya.Arteri-arteri yang masuk
kedalam substansia otak juga diliputi oleh piamater.
D. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar
14 kg.otak terdiri dari beberapa bagian yaitu Proensefalon(otak depan) terdiri
dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhomensefalaon (otak belakang) terdiri dari pons, medulla oblongata dan
serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus.Lobus frontal berkaitan dengan
emosi, fungsi motorik, dan pusat ekspresi bicara.Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.Lobus temporal mengatur fungsi
memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses
penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi system aktivasi
retukiler yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan.Pada medulla
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik.Serebellum bertanggung jawab
dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
E. Cairan Serebrosspinalis
Cairan serebrosspinalis (CSS) dihasilkan oleh pelsus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral
melalui foramen Monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi kedalam sirkulasi vena melalui granulasio
arachnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam
CSS dapat menyumbat granulasio arachnoid sehingga mengganggu
penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intracranial.Angka rata-
rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan
dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
F. Tentorium
Tentorium serebri membagi rongga tengkorak menjadi ruangan supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruangan infra
tentorial (berisi fosa kranii posterior).
G. Vaskularisasi Otak
Otak di suplai oleh 2 arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
sirkulus wilisi.Vena-vena otak tidak mempunyai katup.Vena tersebut kaluar
dari otak dan bermuara kedalam sinus venosus cranialis.

III. FISIOLOGIS KEPALA


A. Tekanan Intra Kranial
Berbagai proses patologi pada otak apat meningkatkan tekanan intracranial
yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak
buruk pada penderita. Tekanan intra kranial yang tinggi dapat menimbulkan
konsekwensi yang mengganggu fungsi otak.TIK normal kira-kira sebesar 10
mmHg.TIK lebih tinggi dari 20 mmHG dianggap tidak normal.Semakin tinggi
TIK setelah cidera kepala, semakin buruk prognosisnya.
B. Hukum Monroe-kellie
Konsep utama volume intracranial dalah selalu konstan karena sifat dasar dari
tulang tengkorak yang tidak elastic. Volume intracranial (vic) adalah sama
dengan jumlah total volume konponen-komponennya yaitu volume jaringan
otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).
C. Tekanan Perfusi Otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata (mean
arterial presure) dengan tekanan intracranial. Apalagi TPO kurang dari 70
mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.
D. Aliran Darah Otak (ADO)
ADO normal berkisar 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO
menurun sampai 20-25 ml/ 100 gr/menit maka sel-sel otak akan mengalami
kematian dan kerusakan yang menetap.

IV. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA


Benturan pada kepala dapat terjadi 3 jenis keadaan:
1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak.
Kekuatan benda yang bergerak akan menyebabkan deformitas akibat
percepatan, perlambatan dan rotasi yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba
terhadao kepala dan jaringan otak. Trauma tersebut bias menimbulkan
kompresi dan regangan yang bias menimbulkan robekan jaringan dan
pergeseran sebagian jaringan terhadap jaringan otak yang lain.
2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam.
Kepala yang sedang bergerak kemudian membentur suatu benda yang keras,
maka akan terjadi perlambatan yang tiba-tiba. Sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan ditempat benturan dan pada sisi yang berlawanan. Pada
tempat benturan terdapat tekanan yang paling tinggi, edang pada tempat yang
berlawanan terdapat tekanan negative paling rendah sehingga terjadi rongga
dan akibatnya dapat terjadi robekan.
3. Kepala yang tidak bergerak karena menyender pada benda lain dibentur oleh
benda yang bergerak (kepala tergencet).
Pada kepala yang tergencet pada awalnya dapat terjadi retak atau hancur
tulang tengkorak. Bila gencetannya hebat tentu saja dapat mengakibatkan
hancurnya otak.

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
sekunder dan cedera primer. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala
dengan sesuatu benda keras maupun oleh proses akselerasi deselerasi gerakan
kepala dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan
dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut countercoup. Akselerasi-
deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma.Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansia solid)
dan otak (substansia semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intrakranialnya.Bergeraknya isi dalam tulang tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam otak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countercoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologi yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, krusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intracranial dan perubahan neurokimiawi.

V. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA


Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Berdasarkan mekanisme cedera kepala dibagi atas cedera epala tumpul dan
cedera kepala tembus.Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil atau montor, jatuh atau terkena pukulan benda
tumpul.Sedangkan cedera kepala tembus biasaanya disebabkan oleh peluru
atau tusukan.
2. Beratnya Cidera
Cedera kepala diklasifikasikan menurut nilai Glasgoe Coma Scale, adalah
sebagai berikut:
a. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepala
berat.
b. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13.
c. Cedera kepala ringan memiliki nilai GCS 14-15.

3. Morfologi cedera
Secara morfologi cedera kepala daapat di bagi atas fraktur cranium dan
lesiintrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur
dasar tulang tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya
tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan
untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain
ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroaurikuler (battle
sign), kebocoran CSS (rhinorrhea, otorrea), dan paresis nervus fasialis.
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan hubungan antara
laserasi kulit kepala dan perukaan otak karena robeknya selaput
duramater.Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera.Adanya
fraktur tengkorak menunjukan bahwa benturan yang terjadi cukup berat
sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak.Frekuensi fraktur
tulang tengkorak bervariasi, fraktur kalvaria mempertinggi resiko
hematoma intracranial sebesar 400 kali pada pasien sadar dan 20 kali pada
pasien tidak sadar.Untuk alasan ini, adanya fraktur tulang tengkorak
mengharuskan pasien untuk dirawat di rumah sakit untuk pengamatan.
2. Lesi Intrakranial
Lesi intracranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal dan difusa, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan.Lesi fokal termasuk
hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intra
serebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan Ct scan normal maupun menunjukkan perubahan sensorium
atau bahkan koma dalam keadaan klinis.
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang
potensial antara tabula interna dan dura mater dengan ciri-ciri
berbentuk bikonvek menyerupai lensa cembung.Paling sering terletak
di region temporal atau temporopartial dan sering akibat dari robeknya
pembuluh meningeal media.Perdarahan biasanya dianggap berasal dari
arterial, namun mungkin sekunder dari perdaraahan vena pada
sepertiga kasus.Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya
sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fosa posterior.
Walau hematoma epidural relative tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu
diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera.Bila ditindak
segera, prognosis biasanya baik karena penekanan gumpalan darah
yang terjadi tidak berlangsung lama.keberhasilan pada penderita
perdarahan epidural berkaitan langsung dengan status neurologi
penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural
dapat menunjukan adanya lucid interval yang klasik dimana
penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and
die), keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan
memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.
Dengan pemeriksaan ct scan akan tampak area hiperdens yang tidak
selalu homogeny, bentuknya bikonveks sampai planoconveks, melekat
pada tabula interna dan mendesak kesisi kontralateral (space occupying
lesion). Batas dengan korteks licin, densitas duramater biasanya jelas,
bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena
sehingga tampak lebih jelas.
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun sangat
progresif.Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar
disekitar mata dan dibelakang telinga.Sering juga tampak cairan yang
keluar pada saluran hidung dan telinga.Pasien seperti ini harus
diobservasi secara teliti.Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang
bermacam-macam akibat dari cedera kepala.Banyak gejala yang
muncul secara bersamaan pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala- gejala yang sering tampak:
- Penurunan kesadaran, bias sampai koma.
- Bingung.
- Penglihatan kabur.
- Susah bicara.
- Nyeri kepala yang hebat.
- Keluar cairan darah dari hidung maupun telinga.
- Mual.
- Pusing.
- Berkeringat.
- Pucat.
- Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateralmenjadi lebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bias di jmpai


hemiparese atau serangan epilepsy fokal. Pada perjalanannya,
pelebaran pupil kan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada masa
permulaan masih positif menjadi negative. Inilah tanda sudah terjadi
herniasi tentorial.Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi.Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam,
pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua
pupil tidak menunjukan reflek cahaya lagi yang merupakan tanda
kematian.Gejala-gejala respirasi yang timbul selanjutnya,
mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak. Jika
epidural hematom disertai dengan cedera otak seperti memar otak,
interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya
akan kabur.

b. Hematom Subdural

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara


duramater dan arachnoid.SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat.Terjadi paling
sering akibat robeknya vena bridging antara kortek serebral dan sinus
draining. Namun ia dapat juga berkaitan dengan laserasi permukaan atau
substansia otak. Fraktur tengkorak mungkin ada atau tidak.

Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta


biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma
epidural.Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan
operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.Subdural hematom
terbagi menjadi akut dan kronis.

1. SDH akut
Pada gambaran CT scan tampak gambaran hyperden sickle (seperti
bulan sabit) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural
hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya fissure di daerah
fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom
subdural . Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologic dalam 24
sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak
berat.Gangguan neurologic progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan
otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya control atas denyut nadi
dan tekanan darah.

2. SDH sub akut

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari


48 jamtetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma
subdural akut,hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam
ruangan subdural.Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya
trauma kepalayang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti
perbaikan statusneurologik yang perlahan-lahan.Namun jangka waktu tertentu
penderitamemperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang
memburuk.Tingkatkesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa
jam.Denganmeningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma,
penderitamengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon
terhadaprangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan
peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan
menimbulkan herniasiunkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda
neurologik dari kompresi batangotak.

3. SDH kronis

Pada CT scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi,


kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam-macam perubahan, oleh karena
tidak ada pola tertentu. Pada Ct scan aakan tampak area hipoden, isoden, atau
sedikit hiperden, berbentuk bikonvek, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi
pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens.Yang
semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isoden, bahkan
akhirnya menjadi hipoden.

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan


bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah
satu venayang melewati ruangan subdural.Terjadi perdarahan secara lambat
dalam ruangansubdural.Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi,
darah dikelilingi olehmembrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan
osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan
sel-sel darah dalam hematoma.Penambahan ukuran hematoma ini yang
menyebabkan perdarahan lebih lanjutdengan merobek membran atau
pembuluh darah di sekelilingnya, menambahukuran dan tekanan hematoma.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering


terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada
kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu
gejalanya tidak dihiraukan.Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa
menunjukkan adanyagenangan darah.Hematoma subdural pada bayi bisa
menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih
lembut dan lunak.Hematomasubdural yang kecil pada dewasa seringkali
diserap secara spontan.Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan
gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

c. Kontusi dan Hematoma Intraserebral

Kontusi serebral murni biasanya jarang terjadi.Selanjutnya, kontusi


otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut.Majoritas
terbesar kontusi terjadi di lobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada
setiap tempat termasuk pada serebelum dan batang otak.Perbedaan antara
kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas
batasnya.Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara
lambat laun menjadi hematoma intraserebral pada beberapa hari. Hematoma
intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim)
otak.Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang
menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada didalam jaringan otak
tersebut.Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis.Lesi
perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya
(countercoup).Deficit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan
tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.

d. Cedera difus
Cedera otak difus maerupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi
pada cedera kepala.Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera
dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi
neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat.Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak
diperhatikan.Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah
keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih
kembali tanpa gejala sisa sama sekali. Cedera komosio yang lebih
berat menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia retrograde dan
amnesia ante grade.
Komosio serebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunnya atau hilangnya kesadaran.Keadaan ini selalu disertai
dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan
ukuran beratnya cidera.Dalam beberapa penderita dapat timbul deficit
neurologis untuk beberapa waktu. Deficit neurologis itu misalnya
kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia dan depresi serta gejala
lain. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindrom pasca komosio yang
dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (diffuse axonal injury, DAI) adalah keadaan
dimana penderita mengalami koma pasca cidera yang berlangsung
lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan
iskemik.Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap
koma selama beberapa waktu.Penderita sering menunjukan gejala
dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan
cacat berat, itupun bila bertahan hidup.Penderita sering menunjukan
gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hyperhidrosis, dan
hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera aksonal difus dan cedera
otak karena hipoksia secara klinis, dan memang dua keadaan tersebut
sering terjadi secara bersamaan.

2.3 Cedera Kepala Berat


2.3.1 Definisi
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih
dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intracranial.

2.3.2 Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. 5 Dalam mekanisme cedera kepala
dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.1 Akselarasi-
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).6

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan
neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.6
2.3.3 Manifestasi Klinik

Tanda-tanda dan gejala cedera kepala bisa terjadi segera atau timbul secara bertahap
selama beberapa jam. Jika setelah kepalanya terbentur, seorang anak segera kembali bermain
atau berlari-lari, maka kemungkinan telah terjadi cedera ringan. Tetapi anak harus tetap
diawasi secara ketat selama 24 jam karena gejalanya mungkin saja baru timbul beberapa jam
kemudian. Cedera kepala ringan bisa menyebabkan muntah, pucat, rewel atau anak tampak
mengantuk, tanpa disertai penurunan kesadaran maupun tanda-tanda lain dari kerusakan otak.
Jika gejala terus berlanjut sampai lebih dari 6 jam atau jika gejala semakin memburuk, segera
dilakukan pemeriksaan lebih jauh untuk mengetahui apakah telah terjadi cedera kepala yang
berat. Gejala berikut menunjukkan adanya cedera kepala serius yang memerlukan
penanganan medis segera adalah :
a Penurunan kesadaran
b Perdarahan
c laju pernafasan menjadi lambat
d linglung
e. kejang
f. patah tulang tengkorak
g memar di wajah atau patah tulang wajah
h keluar cairan dari hidung, mulut atau telinga (baik cairan jernih maupun berwarna
kemerahan)s
i sakit kepala (hebat)
j hipotensi (tekanan darah rendah)
k tampak sangat mengantuk.
l Rewel
m perubahan perilaku/kepribadian
n gelisah
o bicara ngawur
p kaku kuduk
q pembengkakan pada daerah yang mengalami cedera
r penglihatan kabur
s luka pada kulit kepala
t perubahan pupil (bagian hitam mata).

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera
kepaladiindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan
kegunaanyang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih
dari 5 cm,Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas
kepala (dariinspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal
neurologis,Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi
janganmendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi
syarat, Padakecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos
posisi AP/lateral dan oblique.
B. CT scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT scan adalah
1) Nyeri kepala menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obatobatan analgesia/anti muntah.
2) Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat
lesiintrakranial dicebandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor faktor ekstracranial
telahdisingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal
terjadishock, febris, dll).
4) Adanya lateralisasi.
5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur
depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
C. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
D. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
E. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
F. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
G. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil.
H. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
I. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahansubarachnoid.
J. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah
pernapasan(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.
K. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial.
L. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan.
M. Kesadaran

VII. PENATALAKSANAAN
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi
rawat antara lain:
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam).
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit).
3. Penurunan tingkat kesadaran.
4. Nyeri kepala sedang hingga berat.
5. Intoksikasi alkohol atau obat.
6. Fraktura tengkorak.
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea.

Penanganan Cedera Kepala Berat


a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC) Pasien dengan cedera
kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan
kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah:
o Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau
perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir
atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan
aspirasi muntahan.
o Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral
adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan
central neurogenikhyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada,edema
paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan
hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab
dan kalau perlu memakai ventilator.
o Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang
hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni
berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan
sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung danmengganti darah yang hilang dengan
plasma, hydroxyethyl starch atau darah.
Terapi Cairan pada Cedera Kepala
Pada pasien dengan cedera kepala, manajemen cairan bertujuan untuk memelihara
normovolemia serta mencegah hipotensi. Terapi cairan dipandu dengan kondisi klinis,
laboratorik, serta monitor ketat. Jumlah cairan pemeliharaan yang diperlukan adalah 30-40
mL/kgBB/hari. Pemilihan cairan
cenderung berdasar nilai osmolaritas dibanding tekanan onkotik, sehingga penggunaan cairan
hipotonik dihindari dan serum osmolaritas dijaga pada nilai 290-300 mOsm/l untuk
mencegah perpindahan cairan ke otak yang cedera. Selain hal tersebut, dihindari juga cairan
yang mengandung dekstrosa karena air yang tersisa setelah glukosa termetabolisme akan
memperberat edema serebri serta kenaikan gula darah pasien akan memperjelek kondisi
pasien. Penggunakan 3% NaCl pada pasien dengan edema serebri oleh karena cedera kepala
dengan tujuan untuk menaikkan nilai natrium plasma dan osmolalitas sehingga akan
mengurangi tekanan intrakranial.
Pencegahan terjadinya hipotensi pada cedera kepala sangatlah penting karena hipotensi ini
merupakan salah satu faktor penyebab cedera kepala sekunder. Dilaporkan hipotensi pada
cedera kepala (tekanan darah sistolik <90 mmHg) pasca cedera kepala akan menurunkan
outcome secara nyata.
Untuk meningkatkan tekanan darah karena hipovolemia dapat diberikan kristaloid isotonik.
Hindari cairan hipotonik, karena akan memperburukedema serebral. Dekstrosa merupakan
kontra indikasi karena rendah natrium dan tinggi glukosa. Dimana bias mengakibatkan
edema serebri dan asidosis laktat.
Koloid seperti albumin, HES dan plasmanate lebih efisien untuk meningkatkan volume
intravaskuler, akan tetapi dengan rusaknya sawar darah otak, edema serebri akan bertambah
karena masuknya partikel dengan berat molekul besar tersebut ke dalam sel otak dan
terakumulasi di sana.
Cairan isotonic lebih umum dipakai dengan catatan tanpa dekstrose sebagai cairan resusitasi
pada cedera kepala.penggunaan normal saline (NaCl0,9%) lebih menguntungkan karena
osmolaritasnya lebih tinggi dari plasma yaitu 308 mOsm/l. Hindari RL karena osmolaritasnya
kurang dariosmolaritas plasma (273 mOsm/l), apalagi cairan hipotonik seperti NaCl 0,45%,
D 5%, D5W karena menurunkan tekanan osmotic plasma.

b. Pemeriksaan fisik
Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal
serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data
dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bisa diartikan
sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi
penyebabnya.
c. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada dan abdomen dibuat atas
indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis
diduga ada hematom intrakranial
d. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau
hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang
normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan
sebagai berikut:
1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol, dengan
sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti
berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg
dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dgn mengurangi hiperventilasi, bila TIK
naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan
hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom

2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan
drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt,
misalnya bila terjadi hidrosefalus
3. Terapi diuretik
o Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak
yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus
dihentikan.
Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam
selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm
Namun dalam penelitian pubmed, Larutan salin hipertonis untuk mengatasi tekanan
intrakranial yang meningkat : kajian literatur dengan meta-analisis

Tujuan. Saat ini, manitol merupakan pilihan utama agen hiperosmolar yang
direkomendasikan untuk pasien-pasien dengan tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat.
Beberapa penulis menyatakan bahwa cairan salin hipertonis (HTS) dapat menjadi agen yang
lebih efektif, namun belum ada consensus tentang indikasi yang tepat untuk penggunaannya,
konsentrasi dan metode pemberian yang terbaik. Agar dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut, maka penulis melakukan kajian literature terhadap penggunaan larutan
HTS untuk mengurangi TIK.

Metode. Dilakukan pencarian data di PubMed untuk mendapatkan tulisan-tulisan yang


membahas tenang penggunaan HTS. Pencarian ini lalu dipersempit hanya untuk
mendapatkan kajian klinis yang berkaitan dengan penggunaan HTS untuk menurunkan TIK.

Hasil. Total sebanyak 36 artikel dipilih untuk dikaji lebih lanjut. Pada 10 artikel dilakukan uji
dengan metode prospektif terkontrol acak, 1 artikel diuji dengan metode prospektif dan
nonacak, 15 artikel diuji dengan metode prospektif observasional, dan 10 artikel diuji dengan
metode retrospektif. Penulis tidak membedakan antara kajian retrospektif observasional dan
uji perbandingan retrospektif. Kajian prospektif dipertimbangkan observasional apabila efek
dari terapi dievaluasi melebihi waktu namun tidak dibandingkan dengan terapi lainnya.

Kesimpulan. Data yang tersedia terbatas pada jumlah pasien, terbatasnya metode prospektif
control acak, dan inkonsistensi metode diantara tiap-tiap kajian. Namun sebagian besar data
menunjukkan bahwa HTS yang diberikan bolus atau infus berkelanjutan lebih efektif
daripada manitol dalam menurunkan episode meningkatnya TIK. Suatu meta-analisis
dilakukan terhadap 8 kajian prospektif control acak dan menunjukkan tingkat kegagalan
terapi atau insufisiensi yang tinggi dengan manitol atau larutan normal salin dibandingkan
dengan HTS. (DOI: 10.3171/2011.7.JNS102142) HTS diberi nacl 15% 0,42ml/kg bolus vena
sentral.

o Tranexamic acid for TBI a systematic and meta analysis menurunkan ICH namun
tidak pada klinisnya.( Zehtabchi et al, 2014)

o Loop diuretik (Furosemid)


Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan
cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema serebri. Pemberiannya bersamaan
manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol.
Dosis 40 mg/hari/iv
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang
tersebut diatas.
Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu
pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK
terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya pada
cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera
kepala
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala
sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi,
supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
e. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri
dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan
koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl
0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena
terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila
tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume urin normal
>30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada
keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan
harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of
inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar
eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.

f. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan
mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya
kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan bertambah bila ada demam. Setelah 3-
4 hari dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik
bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari
g. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi dan yang
terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada
anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien
dengan amnesia post traumatik yang panjang.
Pengobatan:
o Kejang pertama : Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
o Status epilepsi : diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cendrung
berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <4 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat
larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain
misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50
mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral
Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti
pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik
panjang
h. Komplikasi sistematik
1. Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti: pada fraktur
tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii
2. Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan menambah kerusakan
sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap kenaikan suhu harus
diatasi dengan menghilangkan penyebabnya, disamping tindakan menurunkan suhu dengan
kompres
3. Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal
lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadaan ini dapat dicegah dengan pemberian
antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor bloker.
4. Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo hiperagregasi
trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut ada yang bersifat sementara perlu cepat
ditanggulangi agar tidak memperparah kondisi pasien.
i. Neuroproteksi
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan jaringan saraf,
memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan. Manfaat obat-obat tersebut
masih diteliti pada penderita cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium, antagonis
glutama dan sitikolin

Penatalaksanaan awal cedera otak berat


Definisi : penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana
Kesadaran menurun GCS 3-8
Pemeriksaan :
- ABCDE
- Primary survey dan resusitasi
- Secondary survey
- Re evaluasi neurologis
- Respon buka mata

- Respon motorik

- Respon verbal

- Reflek cahaya pupil


- Obat-obatan
- manitol
- hiperventilasi sedang (PCO2 < 35 mmHg)
- antikonvulsan

V.II Penatalaksanaan non operatif


A. Primary survey dan resusitasi
Cidera otak sering diperburuk akibat cidera otak sekunder. Penderita cidera otak berat
dengan hipotensi mempunyai mortalitas 2 kali lebih banyak dibanding penderita tanpa
hipotensi.
a. Airway dan Breathing
Terhentinya pernafasan sementara sering terjadi pada cidera otak dan dapat
mengakibatkan gangguan sekunder. Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan
pada penderita koma. Dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%.
b. Sirkulasi
Hipotensi biasanya disebabkan oleh cidera otak itu sendiri kecuali pada
stadium terminal dimana medula oblongata sudah mengalami gangguan. Perdarahan
intrakranial tidak dapat menyebabkan syok hemoragik. Pada penderita dengan
hipotensi harus segera dilakukan stabilisasi untuk mencapai euvolemia. Pemberian
cairan untuk mengganti volume yang hilang.
B. Secondary Survey

Pemeriksaan neurologis serial harus selalu dilakuakn untuk deteksi dini adanya
gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil
dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya.

C. Terapi medikamentosa

Tujuan utama perawatan intensif adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan


sekunder terhadap otak yang telah mengalami cidera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf
diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan dapat berfungsi normal
kembali.

1. Cairan intravena
Bertujuan untuk resusitasi, agar penderita tetap dalam keadaan normovolemi.
Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemi yang
berakibat buruk pada cidera otak. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah
larutan garam fisiologi yaitu Ringers Laktat.
2. Hiperventilasi
Hiperventilasi dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama dan
agresif dapat menyebabkan iskemia otak akibat terjadinya vasokontriksi serebri berat
sehingga menimbulkan gangguan perfusi otak. PCO2 dipertahankan pada 35 mmHg
atau lebuh. Hiperventilasi dalam waktu singkat (PCO2 antara 25-30 mmHg).
3. Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Dosis yang
dipakai 1g/kgBB diberikan secara bolus intravena. Indikasi karena pemakaian manitol
adalah deteriosasi neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis
atau kehilangan kesadaran. Manitol menurunkan tekanan atau volume cairan
cerebrospinal dengan cara meninggikan tekanan osmotik plasma. Dengan cara ini, air
dari cairan otak akan berdifusi kembali ke plasma dan ke dalam ruangan ekstrasel.
Namun dalam penelitian HTS dan manitol. tdk signikan terhadap penurunan
ICP (Burgess etal 2016)
4. Furosemid atau Lasix
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis yang
adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara intravena. Pemberiannya bersamaan dengan manitol
karena mempunyai efek sinergis dan memperpanjang efek osmotik serum manitol.
5. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obat lain.
Namun barbiturat ini tidak dianjurkan pada fase akut resusitasi.
6. Antikonvulsan
Epilepsi pasca trauma terjadi 5% dengan cidera otak tertutup dan 15% pada
cidera kepala berat. Fenitoin bermanfaat untuk mengurangi terjadinya kejang dalam
minggu pertama. Untuk dosis awal adalah 1g secara intravena dengan kecepatan
pemberian 50mg/menit. Dosis pemeliharaan biasanya 100mg/8 jam. Pada pasien
dengan kejam lama, pemberian diazepam atau lorazepam sebagai tambahan fenitoin
sampai kejang berhenti. Karena dapat menyebabkan cidera otak sekunder.
DAFTAR PUSTAKA

Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta:
Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta

Burgess, 2016. A Systemic reviewof RCT compacing HTS and Manitol for
traumatic Brain Injury. www.pubmed.com

Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit
buku kedokteran EGC

Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif.


SumatraUtara: USU Press.

Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia:


LippicottWilliams and Wilkins

Zehtabchi, 2014. Tranexmic Acid for TBI : a Systematic Review and Meta
Analysis.www.pubmed.com

Anda mungkin juga menyukai